LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN CKR (Cedera Kepala Ringan) A. Konsep Dasar Penyakit 1. Pengertian Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif , psikososial, bersifat temporer atau permanen (Riskesdas,2013). Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala , bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Snell,2010). Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Hudak&Gallo,2010) Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral do sekitar jaringan otak. (Batticaca Fransisca, 2008, hal 96). Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnyakontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271). 2. Etiologi a) Trauma tajam adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam yang dapat mengakibatkan cedera setempat dan menimbulkan cedera local. Kerusakan local meliputi Contosio serebral,hematom serebral,kerusakan otak sekunder b) Trauma tumpul trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh menyebabkan kerusakan secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer,cerebral,batang otak atau keduanya (Wijaya,2013). 3. Klasifikasi Cedera Kepala menurut dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasglow Coma Scale) adalah sebagai berikut : Tabel 4.1. Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) Penentuan Deskripsi Keparahan Minor/ringan GCS 13-15 Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit dan disorientasi. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia, cerebral dan hematoma. Sedang GCS 9-12 Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah yang sederhana atau amnesia lebih dari 30 mneit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. 4. Manifestasi klinis Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain : a) Skull fracture Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung (othorrea, rinhorhea), darah dibelakang membran timphani perobital ecimos (brill haematoma), memar di daerah mastoid (battle sign), perubahan penglihatan, hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata dan vertigo. b) Concussion Tanda yang didapat dalah menurunnya tingkat kesadarn kurang dari 5 menit, amnesia retrogade, pusing, nyeri kepala, mual dan muntah. Contusion dibagi menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat adalah sebagai berikut : 1) Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secraa perlahan atau cepat. 2) Pupil biasanya mengecil, equl, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalam pupil. 5. Patofisiologi Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat. a) Proses Primer Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena. b) Proses Sekunder Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. 6. Pemeriksaan Penunjang a) CT Scan: tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. b) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. c) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang. d) Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial. e) Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial. f) MRI (Magnetic Resonance Imaging) : untuk mengevaluasi cedera vascular serebral dengan cara noninvasive. g) EEG (elektro ensefalogram) : mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan neurologis abnormal. h) BAER (Brainsteam Auditory Evoked Responses) dan SSEP (Somatosensory Evoked Potensial) : pemeriksaan prognostic yang bermanfaat pada pasien cedera kepala. Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat membantu menegakan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak akan menghasilkan pemulihan fungsional yang bermakna. 7. Komplikasi a) Edema Pulmonal Komplikasi paru-paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema paru. Ini mungkin terutama berasal dari gangguan neurologis atau akibat dari sindrom distress pernapasan dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya refleks cushing. b) Kebocoran Cairan Serebral Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak untuk mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basiliar bagian petrous dari tulang temporal c) Kerusakan saraf cranial 1) Anosmia Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia. 2) Gangguan penglihatan Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita. d) Disfasia Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy. e) Hemiparesis Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial. f) Sindrom pasca trauma kepala Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual. 9. Penatalaksanaan Medis a. Penatalaksaan Keperawatan Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat. Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal. Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial. Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea. B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial. (Muttaqin, 2008) a. Identitas Klien Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis. b. Keluhan utama Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, nyeri kepala hebat, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran. c. Riwayat penyakit sekarang Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial. d. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. e. Pengkajian psikososiospiritual Pengkajian psikologis klien stroke meliputi bebera pa dimensi yang memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Sedangkan menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma kepala dapat dilakukan primary dan secondary survei. Yaitu sebagai berikut : 1) Primary Survey a) Airway Kaji ada tidaknya sumbatan pada jalan nafas pasien. L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi perawat b) Breathing Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien. c) Circulation Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil.Kaji juga kondisi akral dan nadi pasien. d) Disability Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU. Namun sebelum melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman penolong, aman korban dan aman lingkungan. A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P. P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata (supra orbital). U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan unresponsive. e) Exposure of extermitas Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas, laserasi, contusio, bullae, atau abrasi. 2) Secondary Survey Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tandatanda syok telah mulai membaik. Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007): a) A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan) b) M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat c) P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal) d) L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini) e) E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama) f. Pemeriksaan fisik 1) Kulit kepala Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Arif Muttaqin, 2008). 2) Wajah Ingat prinsip look-listen-feel.Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Reevaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS. a) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakahisokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia. b) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur. c) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, perdarahan, penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum. d) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas e) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur f) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri. 3) Vertebra servikalis dan leher Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal.Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder. 4) Toraks a) Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Musliha, 2010) b) Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. c) Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan. d) Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub). 5) Neurologis Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sendorik.Perubahan dalam status neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer.Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. 1. Diagnosa Keperawatan a) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan penurunan suplai darah dan oksigen ke jaringan oksigen. b) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. c) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan. d) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma. e) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan bentuk tulang 2. INTERVENSI KEPERAWATAN No 1 Diagnosa Keperawatan Gangguan perfusi jaringan (spesifik1. serebral) b.d aliran2. arteri dan atau vena terputus. 1. · · · 2. Tujuan dan kriteria Intervensi hasil NOC: Monitor Tekanan Intra Kranial Status sirkulasi 1. Catat perubahan respon klien Perfusi jaringan terhadap stimulus / rangsangan serebral 2. Monitor TIK klien dan respon neurologis terhadap aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Monitor intake dan output selama ….x 24 jam, 4. Pasang restrain, jika perlu klien mampu men- 5. Monitor suhu dan angka leukosit capai : 6. Kaji adanya kaku kuduk Status sirkulasi 7. Kelola pemberian antibiotik dengan indikator: 8. Berikan posisi dengan kepala elevasi Tekanan darah sis30-40O dengan leher dalam posisi tolik dan diastolik netral dalam rentang yang 9. Minimalkan stimulus dari diharapkan lingkungan Tidak ada ortostatik hipotensi 10. Beri jarak antar tindakan Tidak ada tanda tankeperawatan untuk meminimalkan da PTIK peningkatan TIK Perfusi jaringan 11. Kelola obat obat untuk serebral, dengan mempertahankan TIK dalam batas indicator : · · · · · 2 Klien mampu berkomunikasi dengan je-las dan sesuai kemampuan Klien menunjukkan perhatian, konsen-trasi, dan orientasi Klien mampu memproses informasi Klien mampu membuat keputusan de-ngan benar Tingkat kesadaran klien membaik Nyeri akut b.d NOC: 1. dengan agen injuri1. Nyeri terkontrol 2. Tingkat Nyeri fisik. 3. Tingkat kenyamanan 2. Setelah dilakukan asuhan keperawatan3. selama …. x 24 jam, klien dapat : 4. 1. Mengontrol nyeri, dengan indikator: Mengenal faktor-5. faktor penyebab Mengenal onset6. nyeri spesifik Monitoring Neurologis (2620) 1. Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi dan bentuk pupil 2. Monitor tingkat kesadaran klien 3. Monitor tanda-tanda vital 4. Monitor keluhan nyeri kepala, mual, dan muntah 5. Monitor respon klien terhadap pengobatan 6. Hindari aktivitas jika TIK meningkat 7. Observasi kondisi fisik klien Terapi Oksigen (3320) 1. Bersihkan jalan nafas dari secret 2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif 3. Berikan oksigen sesuai instruksi 4. Monitor aliran oksigen, kanul oksigen, dan humidifier 5. Beri penjelasan kepada klien tentang pentingnya pemberian oksigen 6. Observasi tanda-tanda hipoventilasi 7. Monitor respon klien terhadap pemberian oksigen 8. 8Anjurkan klien untuk tetap memakai oksigen selama aktivitas dan tidur Manajemen nyeri (1400) Kaji keluhan nyeri, lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, dan beratnya nyeri. Observasi respon ketidaknyamanan secara verbal dan non verbal. Pastikan klien menerima perawatan analgetik dg tepat. Gunakan strategi komunikasi yang efektif untuk mengetahui respon penerimaan klien terhadap nyeri. Evaluasi keefektifan penggunaan kontrol nyeri Monitoring perubahan nyeri baik aktual maupun potensial. - Tindakan7. Sediakan lingkungan yang nyaman. pertolong-an non8. Kurangi faktor-faktor yang dapat farmakologi menambah ungkapan nyeri. Menggunakan anal-9. Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi getik sebelum atau sesudah nyeri berlangsung. Melaporkan gejala-10. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain gejala nyeri kepada tim untuk memilih tindakan selain obat kesehatan. untuk meringankan nyeri. Nyeri terkontrol 11. Tingkatkan istirahat yang adekuat untuk meringankan nyeri. 2. Menunjukkan tingkat nyeri, dengan Manajemen pengobatan (2380) indikator: 1. Tentukan obat yang dibutuhkan klien Melaporkan nyeri dan cara mengelola sesuai dengan Frekuensi nyeri anjuran/ dosis. Lamanya episode2. Monitor efek teraupetik dari nyeri pengobatan. Ekspresi nyeri; wa-3. Monitor tanda, gejala dan efek samping jah obat. Perubahan respirasi4. Monitor interaksi obat. rate 5. Ajarkan pada klien / keluarga cara Perubahan tekanan mengatasi efek samping pengobatan. darah 6. Jelaskan manfaat pengobatan yg dapat Kehilangan nafsu mempengaruhi gaya hidup klien. makan Pengelolaan analgetik (2210) 3. Tingkat kenyamanan,1. Periksa perintah medis tentang obat, dengan indicator : dosis & frekuensi obat analgetik. Klien melaporkan2. Periksa riwayat alergi klien. kebutuhan tidur dan3. Pilih obat berdasarkan tipe dan beratnya nyeri. istirahat tercukupi 4. Pilih cara pemberian IV atau IM untuk pengobatan, jika mungkin. 5. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik. 6. Kelola jadwal pemberian analgetik yang sesuai. 7. Evaluasi efektifitas dosis analgetik, observasi tanda dan gejala efek samping, misal depresi pernafasan, mual dan muntah, mulut kering, & konstipasi. 8. Kolaborasi dgn dokter untuk obat, dosis & cara pemberian yg diindikasikan. 9. Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas, dan keparahan sebelum pengobatan. 10. Berikan obat dengan prinsip 5 benar 11. Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek yang tidak diinginkan 3 Defisit self careNOC: b.d Perawatan diri : de-ngan kelelahan, (mandi, Makan nyeri. Toiletting, berpakaian) 1. Setelah diberi motivasi perawatan selama ….x24 jam, ps2. mengerti cara3. memenuhi ADL secara bertahap sesuai kemam-puan, dengan kriteria : · Mengerti secara1. seder-hana cara mandi, makan, toileting, dan2. berpakaian serta mau mencoba se-cara aman3. 4. tanpa cemas · Klien mau5. berpartisipasi dengan senang hati tanpa keluhan dalam 1. memenuhi ADL 2. 3. NIC: Membantu perawatan diri klien Mandi dan toiletting Aktifitas: Tempatkan alat-alat mandi di tempat yang mudah dikenali dan mudah dijangkau klien Libatkan klien dan dampingi Berikan bantuan selama klien masih mampu mengerjakan sendiri NIC: ADL Berpakaian Aktifitas: Informasikan pada klien dalam memilih pakaian selama perawatan Sediakan pakaian di tempat yang mudah dijangkau Bantu berpakaian yang sesuai Jaga privcy klien Berikan pakaian pribadi yg digemari dan sesuai NIC: ADL Makan Anjurkan duduk dan berdo’a bersama teman Dampingi saat makan Bantu jika klien belum mampu dan beri contoh 4. Beri rasa nyaman saat makan 1. DAFTAR PUSTAKA Adams, et al., (2007). American of Academy of Neurology affirms the value of this guidelineasan Quality of Care Outcames in Research Interdiciplinary Working. Groups. Stroke,;38:16655-1771. Journal Of Nursing 1(1). Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. (2009). Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: ECG. Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2014). Peningkatan Tekanan intrakranial & gangguan peredaran darah otak. Yogyakarta: ANDI. Emergency Nurses Association. (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby. Hudak dan Gallo. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Kementerian Kesehatan RI, (2013), Pusat Data dan Informasi Kesehatan, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafa. Jakarta : Salemba Medika. Musliha.(2010). Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika. RISKESDAS, (2013). Profil Kesehatan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tanto, Judha M.S. (2011). KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN. Edisi 4. Jakarta : Media Aescupius. Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2013). Keperawatan Medikal bedah 2.Yogyakarta : Salemba Medika. Wilkinson, M. Judith. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC. Edisi 9. Jakarta: EGC Medikal Publisher.