Uploaded by User85310

9. Tingkat Penularan DBD di Bekasi

advertisement
SLIR{T KETERANGAN KONTRIBUSI KEPENGARANGAN
Kamr yang bertandatangan dt bawah ini menyatakan bahwa makalah dengan judul
'(Tingkat Penularan Kasus Dengue Berdasarkan Karakteristik Hatritat Larva Aedes sp. Di
Kecamatart Mustikajaya, Kota Bekasi" yang diterbitkan
September 2018,
di
Jurnal Ekologi l(esehatan,
Vol 17 No. 2 : 105-l 13 dengan susunan kontnbusi
kepengarangan sebagai
berikut;
Kontributor
A. Utan-ra
Tanda 'r1ynean
Nama
)!
RinaMarina
(/t^
''l .'
/t
B. Anggota
(-"-j,'\p.t
Ema Hermawati
L/'
1
Demikian keterangan tersetrut kami buat agar dapat dimanfaatkan dengan baik.
J
Januari 2019
Marina
1980091 52A08t22002
Volume 17 Nomor 2 September 2018
ARTIKEL PENELITIAN
PENGARUH KONDISI KESEHATAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL EKONOMI
TERHADAP KESEHATAN MENTAL DI INDONESIA
DETERMINAN EKSES IODIUM PADA ANAK SEKOLAH DI WILAYAH DENGAN
RIWAYAT EKSES IODIUM DI INDONESIA
PENGGUNAAN LEM SEPATU DAN GANGGUAN KESEHATAN PEKERJA INDUSTRI
SEPATU DI CIOMAS, BOGOR
KEJADIAN GASTROENTERITIS DAN FAKTOR PENYEBABNYA PADA SISWA SD DI
KELURAHAN BEJI TIMUR, KOTA DEPOK
TINGKAT PENULARAN KASUS DENGUE BERDASARKAN KARAKTERISTIK
HABITAT LARVA AEDES SP. DI KECAMATAN MUSTIKAJAYA, KOTA BEKASI
INDIKATOR ENTOMOLOGI DALAM PENGENDALIAN VEKTOR TERPADU (PVT)
MENUJU ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN NUNUKAN, KALIMANTAN
UTARA
Jurnal Ekologi Kesehatan adalah media informasi hasil penelitian
dan pengembangan bidang ekologi kesehatan untuk
Pengelola Program Kesehatan dan masyarakat,
serta merupakan sarana komunikasi para peneliti/pengelola/peminat
bidang ekologi kesehatan
Jurnal Ekologi Kesehatan
Vol. 17
No. 2
Hal
64 - 122
Jakarta
September 2018
Terakreditasi Nomor : 762/AU1 /P2MI-LIPI/10/2016
Terbit 3 kali setahun
ISSN
1412-4025
Volume 17 Nomor 2 September 2018
p-ISSN : 1412-4025
e-ISSN : 2354-8754
Jurnal
Ekologi Kesehatan
The Indonesian Journal of Health Ecology
Diterbitkan oleh
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta
Jalan Percetakan Negara 29 Kotak Pos 1226 Jakarta 10560 indonesia
Telp/Fax. (021) 42872392, 4241921
Email: [email protected]
Website: http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek
Penanggung Jawab/Pimpinan Umum
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat
Ketua Dewan Redaksi
Dra. Athena, A. M.Si. (Kesehatan Lingkungan Balitbangkes, Indonesia)
Wakil Ketua Dewan Redaksi
Dr. Ir. Anies Irawati, M.Kes. (Gizi Masyarakat, Balitbangkes, Indonesia)
Anggota Dewan Redaksi
Dr. Dede Anwar Musadad, S.K.M, M.Kes. (Kesehatan Lingkungan, Balitbangkes)
Drs. Kasnodihardjo (Sosiologi Kesehatan, Balitbangkes)
Drs. M. Hasyimi, M.K.M. (Biologi Lingkungan, Balitbangkes)
Sri Irianti, SKM., M.Phil, Ph.D. (Kesehatan Lingkungan, Balitbangkes)
Dr. Ir. Inswiasri, M.Kes. (Kimia Lingkungan, Balitbangkes)
Dr. Dwi Hapsari, S.K.M, M.Kes. (Epidemiologi dan Biostatistik, Balitbangkes)
Dr. Joko Irianto, S.K.M, M.Kes. (Epidemiologi dan Biostatistik, Balitbangkes)
Dr. dr. Felly Philipus Senewe, M.Kes. (Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes)
Dr.dr.Harimat Hendarwan, M.Kes. (Sistem Kesehatan, Balitbangkes)
Dra. Rr. Rachmalina S.,M.Sc.P.H. (Antropologi Kesehatan, Balitbangkes)
Dr. Miko Hananto, S.K.M., M.Kes. (Kesehatan Lingkungan, Balitbangkes )
Dr. Agus Triwinarto, S.K.M., M.Kes. (Gizi Masyarakat, Balitbangkes)
Nunik Kusumawardani, S.K.M., M.Sc.P.H., Ph.D. (Promosi Kesehatan, Balitbangkes)
Dra. Jusniar Ariati, M.Si. (Biologi Lingkungan, Balitbangkes )
Zahra,S.Si., M.K.M. (Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes)
Mitra Bestari
Prof. dr. Umar Fahmi Achmadi, M.P.H., Ph.D. (Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Mohammad Sudomo, SCOPUS ID = 6602156083; h-index = 5 (WHO, Indonesia)
Prof. Drh Upik Kesumawati Hadi MS. Ph.D. (Institut Pertanian Bogor, Indonesia)
Prof. Dr. Ridad Agoes, M.P.H. SCOPUS ID = 6506160395; h-index = 5 (Universitas Padjadjaran, Indonesia)
Prof Dr. Ir. Dodiek Briawan, M.S. (Institut Pertanian Bogor, Indonesia)
Prof. Dr. Drs. Amrul Munif, M.S. (Balitbangkes, Indonesia)
Dr. Drs. Ida Bagus Indra Gotama, S.K.M., M.Si. (Poltekkes Jakarta II, Indonesia)
Drs. Bambang Wispriyono, Apt., Ph.D., SCOPUS ID = 6602212375; h-index = 9, (Universitas Indonesia)
Dr. Semiarto Aji Purwanto (Universitas Indonesia)
Tri Prasetyo Sasimartoyo, M.Sc., Ph.D. (Peneliti Independen, Indonesia)
Dr. Asep Sofyan, S.T., M.T. (Institut Teknologi Bandung, Indonesia)
Dr. Salahudin Muhidin, Ph.D., (SCOPUS ID = 16242218900 ; h-index = 3 (Macquarie University, Australia)
Dr. Ir. Mursid Raharjo, M.Si. (Universitas Diponegoro, Indonesia)
Dr. dr. Suhartono Damas, M.Kes. (Universitas Diponegoro, Indonesia)
Dr.Lukman Hakim, S.K.M., M.Kes. (Global Fund, Kementerian Kesehatan, Indonesia)
Atmarita, M.P.H., Dr.P.H. (Asosiasi Peneliti Kesehatan Indonesia /APKESI))
Dra. Zubaidah Alatas, M.Si. (Badan Tenaga Nuklir Nasional, Indonesia)
Drh. Basundari Sri Utami, M.Kes. (Peneliti Independen, Indonesia)
Bambang Sukana, S.K.M., M.Kes. (Balitbangkes, Indonesia)
Editor Bahasa
Cahyorini, S.T., M.T. (Teknik Lingkungan, Balitbangkes)
Nurillah Amaliah, S.P., M.K.M. (Gizi Masyarakat, Balitbangkes)
Kencana Sari, S.K.M., M.P.H. (Gizi Masyarakat, Balitbangkes)
Sugiharti A., S.K.M., M.Si. (Kesehatan Reproduksi, Balitbangkes)
Editor Pelaksana
Rianto Purnama, S.Kom. (Balitbangkes, Indonesia)
Penunjang Teknologi Informasi
Ginoga Veridona, S.Kom. (Balitbangkes, Indonesia)
Sekretaris Editor Pelaksana
Heny Lestary, S.K.M., M.K.M. (Balitbangkes, Indonesia)
Staf Sekretariat
Junimar Usman, S.K.M., M.P.H. (Balitbangkes, Indonesia)
Siti Masitoh S.K.M. (Balitbangkes, Indonesia)
Ahmad Syaifudin (Balitbangkes, Indonesia)
JURNAL EKOLOGI KESEHATAN
The Indonesian Journal of Health Ecology
ISSN 1412-4025
This abstract sheet may be reproduce without permission or charge
Ika Dharmayanti, Dwi Hapsari Tjandrarini, Puti Sari
Hidayangsih, Olwin Nainggolan
PENGARUH
KONDISI
KESEHATAN
LINGKUNGAN DAN SOSIAL EKONOMI
TERHADAP
KESEHATAN
MENTAL
DI
INDONESIA
Conditions of housing and residential environment are one of
the factors that cause mental emotional disorder. This is
related to the quality of residential environment and socioeconomic conditions of the community. Residential
environment derived from variabels of healthy housing,
overcrowding, and residence area. Social economy was a
combination of economic quintile, housing ownership,
subsidized rice for the poor programmed and healthcare for
the poor. Family history of mental disorders and the search for
medical treatment was also been studied. The aim of this
analysis was to find the relationship between residential
environment and economic status as well as family history of
mental emotional condition and the pursuit for medical
treatment among population aged 15 years old and over. To
measure mental emotional was Self Reporting Questioner
(SRQ) consisted of 20 items in Riskesdas 2013 instrument.
The results showed the relationship between residential
environment and economic status of individual mental health.
A history of mental disorders in the family also contributes to
improving mental health disorders. Housing environment is a
dominant factor associated with mental disorders. People who
has a mental illness family member has a risk of 4,5 times
experiencing mental disorders. Therefore, government support
was needed to provide a decent, affordable and healthy
housing for the poor.
Keywords: Residential, economic status, mental emotional
Ina Kusrini, Muhamad Samsudin, M Arif Mussodaq,
Sidiq Purwoko, Basuki Budiman
DETERMINAN EKSES IODIUM PADA ANAK
SEKOLAH DI WILAYAH DENGAN RIWAYAT
EKSES IODIUM DI INDONESIA
Iodine is the micronutrient needed for synthesis of thyroid
hormones. Excess or lack of iodine will cause disruption of
thyroid function. The results of previous studies indicate that
there is an increased prevalence of excess iodine in school-age
children. The purpose of this study was to determine the
determinants of excess iodine in school-age children aged 6 to
12 years in Demak, Grobogan, and Dharmasraya Regencies.
The number of sample of school-age children was 750 in three
district, with the inclusion criteria for length of stay in the
study area was >6 months, and the exclusion criteria was they
did not have severe illness. The status of iodine was measured
through iodine content in urine using spectrophotometric
methods. To determine iodine intake, iodine levels were
measured in salt and in water, and the interview used food
frequency questionaire (FFQ). The results showed that the
iodine status of respondents in Dharmasraya Regency was at
the optimal category (EIU: 225 µg / l, whereas in Demak and
Grobogan districts the iodine were at excess category (EIU:
446 /l and 453µg / l) with the intake source came from
drinking water and noodles (more than 10 ppb). It can be
concluded that the determinants of excess iodine in three
locations were iodine levels in drinking water, and noodles
with consumption >3 times per week. It is recommended that
the iodized salt program in the three research locations needs
to be reconsidered.
Keywords: Determinant, iodine, excess
Eva Laelasari, Dewi Kristanti, Basuki Rahmat
PENGGUNAAN
LEM
SEPATU
DAN
GANGGUAN
KESEHATAN
PEKERJA
INDUSTRI SEPATU DI CIOMAS, BOGOR
The use of glue in shoe manufactures may cause health
impacts among workers due to hazardous chemical exposure
in glue such as benzene and toluene. The government has
issued policies to prevent the workers from occupational
illness by reducing the hazardous chemical exposure in the
workplace. This study was conducted to find out health
impacts due to benzenae and toluene exposure from the use of
glue in the workplace of shoe manufactures in Ciomas, Bogor
in 2017. Design of the study was cross sectional with
variables of benzene and toluene content in indoor workspace,
consentration of urinary S-PMA, and perceived health
symptoms of workers. Samples of 34 respondents were
obtained from 5 selected workshop. Analysis of the data was
carried out descriptively. It was found that the content of
benzene and toluene in glue are 0.1% and 55% respectively,
indoor benzene vapor was below detection limit of the
instrument (undetected), and concentration of urinary S-PMA
was 0.24 µg/g creatinine. There was no benzene exposure to
the workers in this study. High percentage of worker risk
behavior were smoking, the use of PPE, and hand washing.
Perceived symptoms of workers (more than 60%) were
fatigue, headache, tingling. It is necessary to improve
workplace with healthier and more conducive environment,
and educate workers to use the PPE.
Keywords: Shoe glue, benzene, toluene, exposure, small
scale shoe manufacture
Halimatussa’diah, Zahra, Athena A
KEJADIAN GASTROENTERITIS DAN FAKTOR
PENYEBABNYA
PADA
SISWA
SD
DI
KELURAHAN BEJI TIMUR, KOTA DEPOK
Gastroenteritis is an inflammation of the mucous membranes
of the digestive tract which is characterized by diarrhea or
vomiting. One of the causes is the consumption of unhygienic
food. This study aims to determine the incidence of
gastroenteritis in elementary students in Beji Timur Village,
Depok City and its determinant factors. The study design was
cross-sectional. The data collected included the incidence of
gastroenteritis obtained by interviewing 120 students from
two elementary schools, the content of Salmonella sp. bacteria
in 46 types of school snacks (PJAS), students' hygienic
behavior and PJAS handlers / sellers. The results showed that
11.5% of students experienced gastroenteritis and 4% of PJAS
contained Salmonella sp.. Bivariate analysis of several risk
factor variables showed contamination of Salmonella sp
bacteria in snack foods had the highest risk of gastroenteritis
in elementary students (OR 7.86 ; 95% CI: 2.07–29.86). It is
recommended to improve supervision of PJAS and its
handlers / sellers, and improve the public health promotion
efforts, especially the habit of washing hands using soap and
running water before consuming food or after defecation.
Keywords: Gastroenteritis, elementary students, kids school
snack
Rina Marina, Ema Hermawati
TINGKAT PENULARAN KASUS DENGUE
BERDASARKAN KARAKTERISTIK HABITAT
LARVA
AEDES
SP.
DI
KECAMATAN
MUSTIKAJAYA, KOTA BEKASI
The cycle of dengue virus transmission is influenced by the
interaction between humans, dengue virus, vector (mosquito),
and the environment. Density of Aedes sp. larvae can affect
the transmission status of DHF cases. The research was
conducted to determine the relationship between the
characteristics of the larval density of Aedes sp. This is an
observational with a cross sectional study design, with a total
sample of 280 households. The results showed that for regions
with high DHF transmission, entomology indices showed
House Index (HI), Container Index (CI), Bretau Index (BI)
and Density Figure (DF) respectively were 36%, 20%, 54 with
density figures at high risk of transmission. In areas with low
DHF transmission, the figure is 19%, 8%, 24, and the density
figures at moderate risk of transmission. Characteristic factors
of containers in areas with high transmission status that can
affect the presence of Aedes sp. larvae are species (p = 0.00;
OR = 12.26), location (p = 0.00; OR = 5.05) and ingredients
(p = 0.00; OR = 2.9), whereas in the low transmission region
are types (p = 0.01; OR = 15.15), color (p = 0.00; OR = 4.29)
and ingredients (p = 0.00; OR = 4.05). It can be concluded
that abandoned containers have a great chance to become
habitat for Aedes sp. larvae which can contribute to the
transmission of dengue virus. There is a need for community
participation, which is supported by community leaders and
cross-sectoral officers, to properly manage outdoors and
neglected containers so they do not have the chance to
become larval habitats.
Keywords: Dengue, larvae, habitat, Aedes sp.
Sugiarto, Upik Kesumawati Hadi, Susi Soviana,
Lukman Hakim, Jusniar A
INDIKATOR
ENTOMOLOGI
DALAM
PENGENDALIAN VEKTOR TERPADU (PVT)
MENUJU
ELIMINASI
MALARIA
DI
KABUPATEN
NUNUKAN,
KALIMANTAN
UTARA
Nunukan Regency is one of the malaria endemic areas in
North Kalimantan Province. This study aims to identify the
entomology indicators in integrated vector management in
Nunukan District to further be considered in achieving
malaria elimination in the region. The study was carried out
on Sebatik Island, Nunukan Regency, North Kalimantan
Province. Data analysis was carried out descriptively. The
results showed that the value of vectorial capacity (VC)
calculation for An. peditaeniatus (0.008) and An. sundaicus
(0.057). Entomological inoculation rate (EIR) An.
peditaeniatus and An. sundaicus is 0.08 (~ 28 infective bites /
person / year). It can be concluded that vectorial capacity and
entomological inoculation rate can be used as an indicator of
entomology of malaria transmission and malaria transmission
patterns in Sungai Nyamuk Village. Intensification of vector
control in an integrated manner is needed in order to
accelerate malaria elimination in Nunukan District. Integrated
Vector Managemen (IVM) on Sebatik Island involves crosssectoral participation, namely from the Health Office, the
Public Works Agency, the Agriculture and Livestock Services
Office, the Plantation Service Office, and the active
community participation approach.
Keywords: Malaria, Anopheles sp, integrated vector
manajemen
Volume 17 Nomor 2 September 2018
ISSN : 1412-4025
JURNAL EKOLOGI KESEHATAN
The Indonesian Journal of Health Ecology
DAFTAR ISI
I.
Editorial
II.
Artikel
Halaman
1.
Pengaruh Kondisi Kesehatan Lingkungan dan Sosial Ekonomi
Terhadap Kesehatan Mental di Indonesia………………………............
Oleh : Ika Dharmayanti, Dwi Hapsari Tjandrarini, Puti Sari
Hidayangsih, Olwin Nainggolan
2.
Determinan Ekses Iodium Pada Anak Sekolah di Wilayah Dengan
Riwayat Ekses Iodium di Indonesia …………………………................
Oleh : Ina Kusrini, Muhamad Samsudin, M Arif Mussodaq, Sidiq
Purwoko, Basuki Budiman
75-84
3.
Penggunaan Lem Sepatu dan Gangguan Kesehatan Pekerja Industri
Sepatu di Ciomas, Bogor …….........………...........................................
Oleh : Eva Laelasari, Dewi Kristanti, Basuki Rahmat
85-95
4.
Kejadian Gastroenteritis dan Faktor Penyebabnya Pada Siswa SD di
Kelurahan Beji Timur, Kota Depok ………………….………………...
Oleh : Halimatussa’diah, Zahra, Athena A
96-104
5.
Tingkat penularan kasus dengue berdasarkan karakteristik habitat larva
Aedes sp. di kecamatan mustikajaya, kota bekasi …………………......
Oleh : Rina Marina, Ema Hermawati
105-113
6.
Indikator Entomologi Dalam Pengendalian Vektor Terpadu (PVT)
Menuju Eliminasi Malaria di Kabupaten Nunukan, Kalimantan
Utara………………………………………………………….................
Oleh : Sugiarto, Upik Kesumawati Hadi, Susi Soviana, Lukman
Hakim, Jusniar A
114-122
64-74
EDITORIAL
Jurnal Ekologi Kesehatan yang terbit pada volume 17 nomor 2 tahun 2018, menyajikan berbagai
artikel dengan topik cukup beragam, mulai dari menyoroti peran lingkungan rumah dengan
kesehatan jiwa, determinan ekses iodium pada beberapa kabupaten di Indonesia, pengaruh
pajanan bahan berbahaya di industri sepatu rumahan, bakteri salmonella dalam makanan jajanan
anak sekolah, sampai topik terkait DBD dan malaria.
Lingkungan rumah merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan gangguan kesehatan
mental. Hasil penelitian meunjukkan bahwa seseorang yang tinggal bersama anggota rumah
tangga yang mengalami gangguan jiwa berat mempunyai risiko 4,5 kali mengalami gangguan
mental emosional.
Iodium adalah mikronutrien yang diperlukan untuk sintesa hormon tiroid, kelebihan maupun
kekurangan iodium dapat menyebabkan gangguan fungsi tiroid. Penelitian pada anak sekolah
yang dilakukan di wilayah ekses iodium di tiga kabupaten di Indonesia, mendapatkan hasil
bahwa determinan ekses iodium di tiga lokasi tersebut adalah kadar iodium dalam air minum dan
bahan makanan (mie) dengan konsumsi lebih dari 3 kali per minggu.
Penggunaan lem di industri alas kaki (sepatu/sandal) rumahan di diduga dapat mempengaruhi
kesehatan pekejanya. Salah satu lokasi industri yang bekembang cukup pesat, adalah sentra
industri sepatu/sandal di Ciomas, Kabupaten Bogor. Industri sepatu/sandal tersebut
menggunakan lem putih dan lem kuning, dimana pelarutnya merupakan bahan berbahaya, seperti
benzena atau toluena. Hasil pengukuran menunjukkan belum terdeteksi kedua bahan berbahaya
tersebut di udara ruang kerja industri. Keluhan/gangguan kesehatan yang dirasakan masih
bersifat umum, seperti cepat lelah, sakit kepala, kesemutan.
Dari hasil pemerikasaan jajanan yang dilakukan di salahsatu sekolah dasar (SD) di Kota depok,
terdapat sampel makanan yang mengandung bakteri salmonella. Terdeteksinya bakteri
salmonella dalam makanan jajanan, kemungkinan disebabkan karena higiene penjamah makanan
dan penggunaan air bersih yang tercemar. Dari hasil wawancara diketahui bahwa beberapa siswa
SD yang mengkonsumsi makanan jajanan yang tercemar mengalami gastroenteritis.
Topik terkait dengan nyamuk (DBD dan malaria) masih merupakan topik yang menarik, karena
sampai saat ini kedua tular vektor masih menjadi masalah di Indonesia.
Demikian editorial Jurnal Ekologi Kesehatan edisi ini
SELAMAT MEMBACA
TINGKAT PENULARAN KASUS DENGUE BERDASARKAN
KARAKTERISTIK HABITAT LARVA AEDES SP. DI KECAMATAN
MUSTIKAJAYA, KOTA BEKASI
Level of Dengue Transmission Based on Habitat Characteristic of Aedes sp. Larvae
in Mustikajaya District, Bekasi City
Rina Marina1,2, Ema Hermawati1
1
Universitas Indonesia
Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan Kemenkes RI
Email : [email protected]
2
Diterima: 16 Juli 2018; Direvisi: 13 Agustus 2018; Disetujui: 28 September 2018
ABSTRACT
The cycle of dengue virus transmission is influenced by the interaction between humans, dengue virus,
vector (mosquito), and the environment. Density of Aedes sp. larvae can affect the transmission status of
DHF cases. The research was conducted to determine the relationship between the characteristics of the
larval density of Aedes sp. This is an observational with a cross sectional study design, with a total sample
of 280 households. The results showed that for regions with high DHF transmission, entomology indices
showed House Index (HI), Container Index (CI), Bretau Index (BI) and Density Figure (DF) respectively
were 36%, 20%, 54 with density figures at high risk of transmission. In areas with low DHF transmission,
the figure is 19%, 8%, 24, and the density figures at moderate risk of transmission. Characteristic factors
of containers in areas with high transmission status that can affect the presence of Aedes sp. larvae are
species (p = 0.00; OR = 12.26), location (p = 0.00; OR = 5.05) and ingredients (p = 0.00; OR = 2.9),
whereas in the low transmission region are types (p = 0.01; OR = 15.15), color (p = 0.00; OR = 4.29) and
ingredients (p = 0.00; OR = 4.05). It can be concluded that abandoned containers have a great chance to
become habitat for Aedes sp. larvae which can contribute to the transmission of dengue virus. There is a
need for community participation, which is supported by community leaders and cross-sectoral officers, to
properly manage outdoors and neglected containers so they do not have the chance to become larval
habitats.
Keywords: Dengue, larvae, habitat, Aedes sp.
ABSTRAK
Siklus penularan virus dengue dipengaruhi oleh interaksi antara manusia, virus dengue, vektor (nyamuk),
dan lingkungan. Kepadatan dari larva Aedes sp. dapat mempengaruhi status transmisi kasus DBD.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik dengan kepadatan larva Aedes sp.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan studi potong lintang, dengan total
sampel sebanyak 280 rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan untuk wilayah dengan transmisi DBD
tinggi, indeks entomologi berturut-turut menunjukkan House Indeks (HI), Container Index (CI), Bretau
Index (BI) dan Density Figure(DF) adalah 36%, 20%, 54 dengan kategori density figure pada risiko
penularan tinggi. Pada wilayah dengan transmisi DBD rendah menunjukkan angka 19%, 8%, 24, dan
density figure pada risiko penularan sedang. Faktor-faktor karakteristik dari kontainer pada wilayah dengan
status transmisi tinggi yang dapat mempengaruhi keberadaan larva Aedes sp. adalah jenis (p=0,00;
OR=12,26), letak (p=0,00; OR=5,05) dan bahan (p=0,00; OR=2,9), sedangkan pada wilayah transmisi
rendah adalah jenis (p=0,01; OR=15,15), warna (p=0,00; OR=4,29) dan bahan (p=0,00; OR=4,05). Dapat
disimpulkan bahwa kontainer yang terbengkalai berpeluang besar menjadi habitat larva Aedes sp. yang
dapat berkontribusi terjadinya transmisi virus dengue. Diperlukan adanya peran serta masyarakat, yang
didukung oleh tokoh masyarakat dan petugas lintas sektor, untuk mengelola dengan baik kontainerkontainer di luar rumah dan terbengkalai agar tidak berpeluang menjadi habitat larva..
Kata kunci: Dengue, larva, habitat, Aedes sp.
105
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 17 No 2, September 2018 : 105 - 113
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD)
merupakan penyakit tular vektor yang
cenderung mengalami peningkatan kasus
setiap tahunnya. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) menyatakan lebih lebih dari 40%
populasi dunia berisiko terinfeksi DBD
(WHO, 2014). Di Indonesia kasus DBD
pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di
Jakarta dan Surabaya (Sumarmo, 1987).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
(Ditjen P2P) Kementerian Kesehatan RI,
sampai
tahun
2016 sebanyak
463
kabupaten/kota di 34 Provinsi di Indonesia
(90,1%) sudah endemis DBD (Ditjen P2P,
2017).
Jumlah penderita dan luas daerah
penyebaran kasus DBD semakin bertambah
seiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan
penduduk.
Pertumbuhan
urbanisasi, buruknya drainase, lokasi tempat
tinggal dan bangunan industri yang kurang
beraturan
di
sebagian
besar
kota,
mempengaruhi populasi nyamuk dan
intensitas transmisi demam berdarah (Dom,
Ahmad dan Ismail, 2013).
Data kasus Incidence Rate (IR) DBD
di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 50,75
‰ dengan jumlah kasus sebanyak 129.650
penderita. Angka ini kemudian mengalami
peningkatan di tahun 2016, dengan jumlah
penderita sebanyak 204.171 kasus dan IR
sebesar 78,85 ‰ (Ditjen P2P, 2017). Kota
Bekasi merupakan salah satu daerah endemis
DBD di Provinsi Jawa Barat. Jumlah kasus
DBD di Kota Bekasi berfluktuatif dari tahun
ke tahun. Tahun 2014 jumlah penderita DBD
sebanyak 805 orang dengan jumlah kematian
13 orang (IR=32,06 ‰ dan CFR = 1,61%),
meningkat pada tahun 2015 menjadi 1010
penderita dengan jumlah kematian 11 orang
(IR=37,2 ‰ dan CFR=1,09%). Pada tahun
2016, terjadi peningkatan kasus yang cukup
signifikan menjadi 3813 penderita dengan
jumlah kematian 50 orang (IR=136,8 dan
CFR=1,31%) (Dinas Kesehatan Kota Bekasi,
2017). Pada tahun 2016 Kota Bekasi
merupakan tahun dengan jumlah kasus
tertinggi di Provinsi Jabar (Ditjen P2P,
2017).
106
Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan kasus DBD dipengaruhi oleh
interaksi antara virus, nyamuk vektor,
manusia, dan faktor lingkungan (Guzman dan
Harris, 2015). Keadaan lingkungan yang
kurang
baik
akan
mendukung
perkembangbiakan vektor DBD (Tambunan,
2013), sehingga pengendalian DBD saat ini
lebih diprioritaskan pada pengendalian vektor
untuk memutus rantai penularan kasus
(Darwin, Pujiyanti dan Heriyanto, 2013).
Berbagai cara dilakukan dalam pengendalian
vektor,
diantaranya
adalah
melalui
pengendalian habitat larva pada kontainer
atau tempat penampungan air (TPA) yang
ada di sekitar rumah. Cara ini dapat
mengestimasi kepadatan populasi nyamuk
Aedes sp. sebagai vektor nyamuk DBD.
Vektor DBD spesies Aedes sp. dapat
ditemukan dengan mudah baik pada
kontainer alami maupun kontainer buatan
yang berisi air bersih. Karakteristik habitat
larva Aedes sp. berbeda-beda untuk setiap
wilayah, hal ini dipengaruhi oleh berbagai
faktor, diantaranya topografi wilayah,
kepercayaan
masyarakat
(Wongkoon,
Jaroensutasinee dan Jaroensutasinee, 2005),
dan tinggi rendahnya kasus DBD (Promprou,
Jaroensutasinee dan Jaroesutasinee, 2007).
Madzlan et al. juga menyebutkan bahwa
karakteristik
daerah
tempat
perkembangbiakan
nyamuk
dapat
mempengaruhi
kepadatan
larva
dan
memberikan dampak pada kualitas hidup
nyamuk vektor DBD (Madzlan et al., 2016).
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh karakteristik habitat
perkembangbiakan
larva
Aedes
sp.
berdasarkan jenis, letak, keberadaan penutup,
warna, dan bahan kontainer air terhadap
keberadaan larva di Kecamatan Mustikajaya,
Kota Bekasi.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional dengan rancangan cross
sectional. Pengambilan data dilakukan di
Kelurahan Mustikajaya (sebagai kasus DBD
tinggi) dan Kelurahan Mustikasari (sebagai
kasus DBD rendah), dimana ke 2 kelurahan
ini pada tahun 2018 dinyatakan sebagai
kelurahan dengan kasus DBD tinggi dan
Tingkat Penularan Kasus Dengue...(Rina M, Ema H)
rendah di Kecamatan Mustikajaya, Kota
Bekasi. Penentuan cut off point kategori
tinggi dan rendah kasus DBD diambil
berdasarkan nilai median kasus DBD di Kota
Bekasi periode tahun 2014 – 2016. Jumlah
sampel rumah tangga diperoleh dengan
menggunakan rumus uji beda populasi
(Lemeshow et al., 1997) dengan nilai α =
95%, kekuatan uji (β) adalah 80%, nilai
proprosi (p1) daerah kasus DBD rendah
sebesar 0,39 dan proporsi (p2) daerah kasus
DBD tinggi sebesar 0,61 (Sari, Martini dan
Ginanjar, 2012). Dengan rumus sampel
tersebut, maka diperoleh jumlah sampel
sebanyak 280 rumah tangga untuk kedua
lokasi penelitian dengan masing-masing
lokasi penelitian sebanyak 140 rumah tangga.
Cara penarikan sampel dilakukan dengan
multistage sampling, yaitu tingkat pertama
dipilih masing-masing satu kelurahan untuk
kasus DBD yang tinggi dan rendah dalam
satu kecamatan. Kemudian pada tingkat
kedua dipilih masing-masing 1 Rukun Warga
(RW), pada tingkat ketiga dipilih 3 Rukun
Tetangga (RT) pada masing-masing RW
dengan cara simple random sampling.
Penentuan rumah tangga di tingkat RT dipilih
secara acak dengan menggunakan daftar
kerangka sampel yang tersedia. Setiap rumah
tangga terpilih dilakukan observasi dan
pencatatan
karakteristik
tempat
penampungan air/kontainer yang berpotensi
sebagai habitat perkembangbiakan larva
Aedes sp. Karakteristik kontainer yang
diamati berupa jenis, letak, keberadaan
penutup, warna, dan bahan. Jenis kontainer
yang
diamati
dikategorikan
menjadi
kontainer terkendali/controllable containers
(CC), seperti ember yang masih dipakai, bak
mandi, tempat minum burung, disenpenser,
dan lain sebagainya, dan kontainer
bekas/disposable containers seperti ember
bekas, lubang pohon, dan lain sebagainya
(Dhewantara dan Dinata, 2015). Letak
kontainer dikategorikan menjadi di luar dan
di dalam rumah, sedangkan bahan kontainer
dikategorikan menjadi bahan plastik dan
bukan/non plastic (bahan yang terbuat dari
semen/keramik, logam/besi, kaca, tumbuhan,
dan
karet).
Keberadaan
penutup
dikategorikan menjadi ada dan tidak ada
penutup, sedangkan warna kontainer
dikategorikan menjadi warna gelap dan
terang. Warna kontainer dikategorikan terang
jika kontainer dapat ditembus cahaya oleh
senter dan atau pengamat dapat melihat larva
Aedes sp. tanpa bantuan senter, sedangkan
kondisi sebaliknya dikategorikan sebagai
kontainer berwarna gelap.
Penghitungan house index (HI),
container index (CI), dan bretau index (BI)
sesuai dengan metode WHO (Depkes,
2003).dUkuran tingkat risiko penularan
berdasarkan
density
figure
(DF)
menggunakan tabel 1 yang dikembangkan
oleh Service (1993). Risiko penularan
dikategorikan rendah jika DF kurang dari 1;
risiko penularan sedang jika DF antara 1
sampai dengan 5; dan risiko penularan tinggi
jika DF lebih dari 5 (Service, 1993).
Tabel 1. Ukuran kepadatan larva Aedes sp. menggunakan larva indeks
Density Figure
(DF)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
House Index (HI)
Container Index
(CI)
Breteau Index
(BI)
1-3
4-7
8 - 17
18 - 29
30 - 37
38 - 49
50 - 59
60 - 76
≥ 77
1-2
3-5
6-9
10 - 14
15 - 20
21 - 27
28 - 31
32 - 40
> 41
1-4
5 -9
10 - 19
20 - 34
35 - 49
50 74
75 -99
100 - 199
≥ 200
Analisis data dilakukan secara
bivariat antara variabel karakteristik tempat
perkembangbiakan dengan keberadaan larva
Aedes sp. (chi-square) dan multivariat regresi
logistik dengan batas kemaknaan sebesar
0,05. Penelitian ini telah mendapatkan
persetujuan etik/ ethical approval dari
Komisi Etik Fakultas Kesehatan Masyarakat,
107
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 17 No 2, September 2018 : 105 - 113
Universitas Indonesia, dengan no surat .
128/UN2.F10/PPM.00.02/2018.
HASIL
Berdasarkan hasil pengamatan pada
140 rumah tangga pada wilayah kasus
transmisi DBD yang tinggi di Kecamatan
Mustikajaya diperoleh nilai HI, CI, dan BI
berturut-turut sebesar 36%, 20%, dan 54
dengan density figure pada kategori risiko
penularan tinggi (5-6). Sedangkan pada
wilayah kasus transmisi DBD yang rendah di
Kecamatan Mustikajaya nilai HI, CI, dan BI
berturut-turut diperoleh sebesar 19%, 8%,
dan 24 dengan density figure pada kategori
risiko penularan sedang (3-4). (Tabel 2).
Tabel 2. Indeks entomologi dan Kepadatan larva Aedes
sp. pada wilayah kasus DBD tinggi dan rendah
di Kota Bekasi
Kasus transmisi DBD
Variabel
Tinggi
Rendah
Jumlah rumah
140
140
Jumlah rumah positif larva
50
27
Jumlah TPA
385
406
Jumlah TPA positif larva
76
33
Larva Index
HI
36
19
DF HI
5
4
CI
20
8
DF CI
5
3
BI
54
24
DF BI
6
4
Jenis
controllable
containers
ditemukan lebih banyak dibandingkan jenis
disposable containers pada kedua lokasi
penelitian di Kecamatan Mustikajaya, Kota
Bekasi. Di wilayah kasus DBD tinggi
ditemukan 384 jenis controllable container
dan 22 jenis disposable container, sedangkan
di wilayah kasus rendah ditemukan 378 jenis
controllable container dan 7 jenis disposable
container. Berdasarkan keberadaan larva
Aedes sp., jenis disposal container lebih
banyak ditemukan larva Aedes sp.
dibandingkan dengan jenis controllable
container pada kedua lokasi penelitian. Hasil
analsis bivariat dengan menggunakan uji chisquare menunjukkan adanya perbedaan
proporsi keberadaan larva Aedes sp. yang
signifikan antara controllable container dan
disposable container (p=0,00) (Tabel 3).
Kontainer yang terletak di dalam
rumah lebih banyak ditemukan dibandingkan
di luar rumah pada kedua lokasi penelitian,
yaitu masing-masing sebayak 347 kontainer
yang terletak di dalam rumah baik untuk
wilayah kasus DBD tinggi maupun kasus
DBD rendah. Namun keberadaan larva Aedes
sp. lebih banyak ditemukan diluar rumah,
108
yaitu sebesar 54,2% untuk wilayah kasus
DBD tinggi dan 21,1% untuk wilayah kasus
DBD rendah. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa
terdapat
perbedaan
proporsi
keberadaan larva Aedes sp. antara container
air yang berada di dalam rumah dan di luar
rumah pada kedua lokasi penelitian (p <
0,05).
Mayoritas ditemukan kontainer yang
tidak memiliki penutup pada kedua lokasi
penelitian, dan keberadaan larva Aedes sp.
pun lebih banyak ditemukan pada kontainer
tersebut, yaitu 21% untuk wilayah kasus
DBD tinggi, dan 9,3% di wilayah kasus DBD
rendah. Hasil uji dengan chi-square
menunjukkan perbedaan proporsi keberadaan
larva Aedes sp. antara kontainer dengan
penutup dan tanpa penutup di wilayah kasus
DBD tinggi (p=0,03), namun hasil uji
statistik
tidak
menunjukkan
adanya
perbedaan proporsi keberadaan larva Aedes
sp. antara container dengan penutup dan
tanpa penutup di wilayah kasus DBD rendah
(p=0,23).
Berdasarkan
ditemukan dominan
warna
kontainer
warna gelap yaitu
Tingkat Penularan Kasus Dengue...(Rina M, Ema H)
sebanyak 114 kontainer pada wilayah kasus
DBD tinggi. Sedangkan pada wilayah kasus
DBD rendah, kontainer yang ditemukan lebih
banyak berwarna terang yaitu sebanyak 316
kontainer. Kondisi yang berbeda ditemukan
untuk keberadaan larva, pada kontainer yang
berwarna terang lebih banyak ditemukan
larva (21,2%) di wilayah kasus DBD tinggi,
namun pada wilayah kasus DBD rendah lebih
banyak ditemukan pada kontainer berwarna
gelap (23,2%). Uji statistik menggunakan chi
square menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan proporsi keberadaan larva Aedes
sp. antara kontainer berwarna gelap dan
berwarna terang di kedua lokasi penelitian (p
< 0,05).
Berdasarkan
bahan
pembentuk
kontainer, ditemukan paling banyak berbahan
plastik pada kedua lokasi penelitian, yaitu
masing-masing 347 kontainer bahan plastik
pada kedua lokasi penelitian. Namun, larva
Aedes sp. lebih banyak ditemukan pada
kontainer bahan non plastik, yaitu 35,6% di
wilayah kasus DBD tinggi dan 28,9% di
wilayah kasus DBD rendah. Analisis bivariat
menunjukan terdapat perbedaan proporsi
keberadaan larva Aedes sp. yang signifikan
antara bahan plastik dan non plastik di kedua
lokasi penelitian (p < 0,05).
Tabel 3. Karakteristik Kontainer Positif Larva Aedes sp. di Wilayah Kasus DBD Tinggi dan Rendah Bulan Maret –
April Tahun 2018 di Kota Bekas
Kasus Tinggi
Kasus Rendah
Variabel
Keberadaan
larva
Keberadaan
larva
∑
P-value
∑
P-value
+
%
%
+
%
%
Jenis
DC
22
19 86,4
3 13,6
0,00*
7
5 71,4
2 28,6
0,00*
CC
384
57 14,8 327 85,2
378 28
7,4 350 92,6
Letak kontainer
Di luar
59
32 54,2
27 45,8
0,00*
38
8 21,1
30 78,9
0,01*
Di dalam
347
44 12,7 303 87,3
347 25
7,2 322 92,8
Keberadaan Penutup
tidak ada
324
68
21 256
79
0,03*
345 32
9,3 313 90,7
0,23
Ada
82
8
9,8
74 90,2
40
1
2,5
39 97,5
Warna
gelap
114
14 12,3 100 87,7
0,05*
69 16 23,2
53 76,8
0,00*
terang
292
62 21,2 230 78,8
316 17
5,4 299 94,6
Bahan Container
Non-Plastik
59
21 35,6
38 64,4
0,01*
38 11 28,9
27 71,1
0,001*
Plastik
347
55 15,9 292 84,1
347 22
6,3 325 93,7
Keterangan : * Nilai statistik uji yang signifikan (p-value < 0,05)
Hasil analisis multivariat regresi
logistik menunjukkan bahwa keberadaan
larva Aedes sp. di daerah kasus DBD yang
tinggi dipengaruhi oleh jenis, letak dan bahan
kontainer (Tabel 4). Berdasarkan jenis
kontainer diperoleh nilai Odds Ratio (OR)
sebesar 12,26, artinya bahwa jenis disposable
container berisiko 12,26 kali ditemukannya
larva Aedes sp. dibandingkan dengan
controllable container. Kemudian diperoleh
nilai OR untuk variabel letak kontainer pada
daerah kasus DBD tinggi sebesar 5,05
artinya bahwa kontainer yang berada di luar
rumah berisiko 5,05 kali lebih tinggi
ditemukannya larva Aedes sp. dibandingkan
dengan di dalam rumah. Berdasarkan bahan
kontainer diperoleh nilai OR sebesar 2,29,
hal ini berarti bahwa bahan kontainer non
plastik berisiko 2,29 kali lebih tinggi
ditemukannya larva Aedes sp. dibandingkan
dengan kontainer dengan bahan plastik.
Pada kelurahan dengan transmisi
kasus DBD yang rendah menunjukkan bahwa
jenis, warna, dan bahan kontainer
mempengaruhi keberadaan larva Aedes sp.
Nilai OR sebasar 15,15 untuk variabel jenis
kontainer
mempunyai
makna
bahwa
disposable container berisiko 15,15 kali
ditemukan larva Aedes sp. dibandingkan
dengan
jenis
controllable
container.
109
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 17 No 2, September 2018 : 105 - 113
Demikian halnya dengan variabel warna
kontainer memiliki nilai OR sebesar 4,29,
artinya bahwa kontainer yang berwarna gelap
berisiko 4,29 kali lebih tinggi ditemukannya
larva Aedes sp. dibandingkan dengan
kontainer berwarna terang. Berdasarkan
bahan container, diperoleh nilai OR sebesar
4,05, ini artinya bahan kontainer non plastik
berisiko 4,05 kali ditemukannya larva Aedes
sp. dibandingkan dengan kontainer bahan
plastik.
Tabel 4. Hasil analisis regresi logistik multivariat faktor karakteristik container
terhadap keberadaan larva Aedes sp. pada wilayah kasus DBD tinggi dan
wilayah kasus DBD rendah
Variabel
p-value
Kasus Tinggi
95% CI
OR
p-value
Jenis
3,24 – 46,39
DC
0,00*
12,26
0,01*
CC
Letak Container
2,49 – 10,19
Di luar
0,00*
5,05
Di dalam
Keberadaan Penutup
tidak ada
ada
Warna
gelap
0,00*
terang
Bahan Container
Non plastik
1,50 – 5,98
0,00*
0,00*
2,99
Plastik
Keterangan : * Nilai statistik uji yang signifikan (p-value < 0,05)
PEMBAHASAN
Daerah dengan jumlah kasus DBD
yang tinggi cenderung memiliki jumlah
kepadatan nyamuk yang tinggi pula. Indeks
entomologi yaitu HI, CI, dan BI di Kelurahan
Mustikajaya tergolong risiko penularan tinggi
sedangkan di Kelurahan Mustikasari
tergolong risiko penularan rendah. Dengan
demikian, kondisi tersebut diduga merupakan
salah satu penyebab angka kasus DBD di
Kelurahan Mustikajaya lebih tinggi bila
dibandingkan dengan Keluruhan Mustikasari.
Dom et al., (2013) mengemukakan bahwa
penilaian lokal spesifik tentang karakteristik
ekologis larva Aedes sp. dapat membantu
meningkatkan pengelolaan lingkungan dan
tindakan pengendalian lainnya dengan
menargetkan kategori pencegahan yang
paling efektif.
Berdasarkan laporan data kasus
Dinas Kesehatan Kota Bekasi tahun 20142016, Kelurahan Mustikajaya merupakan
wilayah yang selalu menempati urutan
pertama dalam jumlah kasus DBD
dibandingkan dengan kelurahan lainnya di
110
Kasus Rendah
95% CI
OR
15,15
2,22 – 103,34
-
-
-
-
4,29
1,93 – 9,55
4,05
1,59 – 10,29
Kecamatan Mustikajaya (Dinas Kesehatan
Kota Bekasi, 2017). Indikator entomologi
menunjukkan keberadaan larva Aedes sp.
yang ditemukan baik pada setiap kontainer
ataupun rumah yang diperiksa. Sehingga,
keberadaan larva Aedes sp., lebih banyak
ditemukan pada kelurahan dengan transmisi
kasus DBD tinggi yaitu Kelurahan
Mustikajaya. Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan
di
Kabupaten
Semarang
menunjukkan bahwa keberadaan larva pada
kontainer air merupakan faktor risiko insiden
dengue (Sucipto dan Raharjo, 2015).
Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara kepadatan
larva Aedes sp. dengan kejadian DBD di
Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Koto
Tangah Kota Padang (Sari dan Nofita, 2017).
Larva nyamuk berkembang menjadi
empat tahap/instar dengan mengkonsumsi
detritus dan jenis mikroba lainnya untuk
mendapatkan nutrisi atau makanan yang
berguna bagi pertumbuhan hidupnya. Jenisjenis kontainer, kualitas air, dan kondisi
tempat penampungan air diperlukan sebagai
Tingkat Penularan Kasus Dengue...(Rina M, Ema H)
tempat perkembangbiakan nyamuk (Madzlan
et al., 2016). Karakteristik lingkungan
diketahui juga dapat mempengaruhi seleksi
habitat perkembangbiakan Aedes sp. untuk
kelangsungan hidup dan kepadatan populasi
nyamuk tersebut (Dom, Ahmad dan Ismail,
2013).
Keberadaan larva Aedes sp. pada dua
lokasi penelitian lebih banyak ditemukan
pada jenis disposable container. Hasil
analisis multivariate juga menunjukkan
bahwa jenis kontainer turut mempengaruhi
keberadaan larva Aedes sp. baik pada
wilayah transmisi kasus DBD tinggi maupun
renah. Kondisi serupa juga ditemukan di
Marilia, Brasil bahwa disposable container,
seperti jenis kaleng, botol plastik, dan ban
bekas telah menyebabkan hampir setengah
dari habitat kontainer yang ditemukan positif
larva Aedes aegypti (Mazine et al., 1996).
Disposable container ini berasal dari sampah
atau barang bekas yang keberadaannya
cenderung kurang diperhatikan masyarakat
(Dhewantara dan Dinata, 2015). Mazine et
al., (1996) dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa kondisi ini lebih disebabkan karena
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
risiko kesehatan seperti demam berdarah
terkait pembuangan sampah atau barang yang
sudah tidak dapat digunakan kembali.
Keberadaan disposable containers
tidak bisa diabaikan begitu saja. Upaya
peningkatan sanitasi lingkungan dengan
pengelolaan sampah dan barang bekas yang
baik diperlukan untuk meminimalisir
keberadaan larva Aedes sp. di sekitar
lingkungan tempat tinggal masyarakat.
Peranan pemerintah khususnya dari sektor
kesehatan
sangat
diperlukan
untuk
memberikan edukasi terkait pemahaman
masyarakat tentang dampak atau risiko yang
ditimbulkan dalam hal pengelolaan sampah
yang tidak atau kurang baik di masyarakat.
Berdasarkan letak kontainer, lebih
banyak kontainer ditemukan di dalam rumah
dibandingkan dengan di luar rumah, akan
tetapi keberadaan larva Aedes sp. lebih
banyak ditemukan di luar rumah pada kedua
lokasi penelitian, hal ini dikarenakan
kontainer yang berada diluar rumah sebagian
besar terabaikan kebersihannya sehingga
nyamuk dengan mudah hidup dan
berkembang biak pada tempat tersebut. Hasil
ini sejalan dengan penelitian di wilayah kerja
Puskesmas Ketapang Dua bahwa larva Aedes
sp. banyak ditemukan pada kontainer di luar
rumah dibandingkan dengan di dalam rumah
(Wahyudi, Ginanjar dan Saraswati, 2013).
Hasil observasi lapangan diperoleh
bahwa larva Aedes sp. ditemukan lebih
banyak pada kontainer tanpa penutup pada
kedua lokasi penelitan. Penelitian di
Kecamatan Beras, Kabupaten Mamuju utara
mengungkapkan hasil yang serupa bahwa
keberadaan
penutup
pada
container
mempengaruhi keberadaan larva Aedes
aegypti (Gafur dan Saleh, 2015). Namun
hasil penelitian yang berbeda ditemukan di
Kota Tasikmalaya, bahwa keberadaan
penutup tidak berhubungan secara statistik
dengan keberadaan larva Aedes sp. (Riandi,
Hadi dan Soviana, 2017). Keberadaan
penutup berfungsi untuk menghalangi
nyamuk berkembangbiak di dalam kontainer
air, namun hal ini juga bergantung pada
bagaimana cara penutup air tersebut
digunakan dengan baik dan benar. Hal ini
dikarenakan sedikit saja penutup kontainer
air terbuka maka potensi nyamuk untuk
berkembangbiak akan tetap ada.
Berdasarkan
warna
kontainer
diperoleh bahwa warna gelap beresiko lebih
tinggi
ditemukan
larva
Aedes
sp.
dibandingkan dengan kontainer berwarna
terang. Hasil penelitian sejalan dengan
Budiyanto (2012) di wilayah Kecamatan
Baturaja Timur, bahwa terdapat korelasi
positif antara container yang berwarna gelap
dan berwarna terang dengan keberadaan
larva Aedes sp. Nyamuk Aedes sp. lebih
memilih meletakkan telurnya (oviposisi)
pada kondisi yang gelap, hal ini dilakukan
karena pada fase telur merupakan satusatunya fase yang tidak memiliki kapasitas
dispersi aktif sehingga nyamuk Aedes sp.
betina memilih tempat oviposisi untuk
memastikan kondisi yang tepat agar telur
Aedes sp. tetap bertahan dan berkembang ke
fase berikutnya yaitu stadium larva (Farnesi
et al., 2018).
Kontainer bahan plastik lebih banyak
ditemukan pada kedua lokasi penelitian,
namun keberadaan larva lebih banyak
ditemukan pada kontainer dengan bahan non
plastik.
Hasil
analisis
multivariat
menunjukkan kontainer dengan bahan non
111
Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 17 No 2, September 2018 : 105 - 113
plastik lebih berisiko tinggi ditemukan larva
Aedes sp. dibandingkan dengan kontainer
dengan bahan plastik. Jenis kontainer non
plastik yang paling banyak ditemukan positif
larva Aedes sp. di lokasi penelitian adalah
bak mandi dengan bahan dasar semen, hal ini
terutama bak mandi yang terbengkalai dan
sudah tidak dipergunakan kembali oleh
masyarakat. Penelitian di Propinsi Sumatera
Selatan menunjukkan hasil yang sejalan
bahwa kontainer berupa bak mandi
merupakan tempat bersarang larva Aedes sp.
yang terbanyak ditemukan di Desa Saung
Naga, Kecamatan Baturaja Barat.
Keberadaan larva Aedes sp. menjadi
salah satu faktor risiko terjadinya kasus DBD
di suatu daerah, sehingga diperlukan upaya
untuk menekan keberadaan larva Aedes sp.
tersebut di lingkungan masyarakat. Beberapa
upaya yang dapat dilakukan untuk
menurunkan kepadatan larva Aedes sp., salah
satunya dengan intervensi ovitrap atau alat
perangkap telur nyamuk. Penelitian yang
dilakukan di Malang menggunakan intervensi
ovitrap atau alat perangkap telur nyamuk
yang telah dimodifikasi diketahui efektif
menurunkan angka kepadatan larva Aedes
aegypti (Zuhriyah, Baskoro dan Kusnanto,
2016). Penelitian lain di Kota Makasar
sebagai daerah endemis DBD juga
menunjukkan hasil yang sama bahwa
intervensi ovitrap dengan menggunakan
bahan antraktan menyebabkan penurunan
kepadatan larva Aedes sp. (Ermayana, Ishak
dan Hakim, 2015).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian,
diperoleh nilai HI, CI, BI yang ada di
wilayah dengan transmisi kasus DBD yang
tinggi berturut-turut adalah 36%, 20%, dan
54 dengan density figure 5-6 artinya berada
pada kategori risiko penularan DBD tinggi,
sedangkan pada wilayah dengan transmisi
kasus DBD yang rendah berturut-turut adalah
19%, 8%, dan 24 dengan density figure 3-4
artinya berada pada kategori risiko penularan
DBD sedang. Faktor yang mempengaruhi
keberadaan larva Aedes sp. di wilayah
transmisi kasus DBD yang tinggi adalah
karakteristik container yang meliputi jenis,
112
letak, dan bahan kontainer sedangkan di
wilayah transmisi kasus DBD yang rendah
adalah karakteristik kontainer yang meliputi
jenis, warna, dan bahan kontainer.
Saran
Saran yang dapat disampaikan adalah
adanya pengawasan ditingkat RT, RW dan
Kelurahan, untuk kontainer-kontainer air
yang terletak diluar rumah maupun kontainer
yang terbengkalai, supaya dikelola dengan
benar untuk mencegah menjadi tempat
perkembangbiakan larva Aedes sp. Kegiatan
ini diupayakan dilakukan sebagai peran serta
masyarakat, yang didukung oleh tokoh
masyarakan dan petugas lintas sektor.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
diberikan kepada Badan PPSDM Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI yang telah
memberikan bantuan dana pendidikan,
Kepala Dinas Kesehatan beserta staf, Kepala
Puskesmas Mustikajaya beserta staf yang
telah berkenan memberikan ijin dan data
pendukung penelitian, Ibu Dr. Laila Fitria
yang telah memberikan saran dan masukan
yang bermanfaat dalam pembuatan artikel
ini, serta Bapak Herri Andris dan ibu-ibu
kader di kelurahan Mustikajaya dan
Mustikasari yang telah banyak membantu
dalam proses pengumpulan data.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto, A. (2012) “Perbedaan warna kontainer
berkaitan dengan keberadaan jentik Aedes
aegypti di Sekolah Dasar,” Jurnal Biotek
Medisiana Indonesia, 1(2), hal. 65–71.
Darwin, A., Pujiyanti, A. dan Heriyanto, B. (2013)
“Model Pengendalian Terpadu Vektor
Demam Berdarah Dengue di Kota Salatiga,”
Jurnal Vektora, V(1), hal. 1–6.
Depkes (2003) Pencegahan dan Penanggulangan
Penyakit Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue : Terjemahan dari WHO
Regional Publication Searo No. 29,
“Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever.” Diedit oleh
T. Suroso et al. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
Dhewantara, P. W. dan Dinata, A. (2015) “Analisis
Risiko Dengue Berbasis Maya Index Pada
Rumah Penderita DBD di Kota Banjar Tahun
2012,” Balaba, 11(01), hal. 1–8.
Tingkat Penularan Kasus Dengue...(Rina M, Ema H)
Dinas Kesehatan Kota Bekasi (2017) Laporan Kasus
DBD Tahun 2014 - 2016 Kota Bekasi.
Bekasi.
Ditjen P2P (2017) Laporan Program Subdit
Arbovirosis : Data Kasus DBD berdasarkan
Kab/Kota di Indonesia Tahun 2011 - 2016.
Kemenkes RI - Jakarta.
Dom, N. C. et al. (2013) “Assessing the Risk of
Dengue Fever Based On the Epidemiological,
Environmental
and
Entomological
Variables,” Procedia - Social and Behavioral
Sciences. Elsevier B.V., 105, hal. 183–194.
doi: 10.1016/j.sbspro.2013.11.019.
Dom, N. C., Ahmad, A. H. dan Ismail, R. (2013)
“Habitat Characterization of Aedes sp.
Breeding in Urban Hotspot Area,” Procedia Social and Behavioral Sciences. Elsevier
B.V.,
85,
hal.
100–109.
doi:
10.1016/j.sbspro.2013.08.342.
Ermayana, D., Ishak, H. dan Hakim, B. H. (2015)
“Effect of Ovitrap Modification and
Attractant Substances to the Mosquito Aedes
sp. Density base on the Endemicity in
Makassar City,” International journal of
sciences Basic and Applied Research, 24(3),
hal. 236–243.
Farnesi, L. C. et al. (2018) “The influence of a light and
dark cycle on the egg laying activity of Aedes
aegypti ( Linnaeus, 1762 ) (Diptera :
Culicidae),” Mem Inst Oswaldo Cruz, 113(4),
hal. 4–9. doi: 10.1590/0074-02760170362.
Gafur, A. dan Saleh, M. (2015) “Hubungan Tempat
Penampungan Air dengan Keberadaan Jentik
Aedes aegypti di Perumahan Dinas Type E
Desa Motu Kecamatan Baras Kabupaten
Mamuju Utara,” Higiene, 1(2), hal. 92–99.
Guzman, M. G. dan Harris, E. (2015) “Dengue,” The
Lancet, 385(9966), hal. 453–465. doi:
10.1016/S0140-6736 (14) 60572 - 9.
Seminar.
Lemeshow, S. et al. (1997) Besar Sampel Dalam
Penelitian Kesehatan. Edisi 1. Diedit oleh H.
Kusnanto. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Madzlan, F. et al. (2016) “Breeding Characteristics of
Mosquitoes in Dengue Risk Area,” Procedia
- Social and Behavioral Sciences. The
Author(s), 234, hal. 164–172. doi: 10.1016/j.
sbspro. 2016. 10.231.
Mazine, C. A. B. et al. (1996) “Disposable containers
as larval habitats for Aedes aegypti in a city
with regular refuse collection: A study in
Marilia, Sao Paulo State, Brazil,” Acta
Tropica. Elsevier Science B.V. All rights
reserved,
62(1),
hal.
1–13.
doi:
10.1016/S0001 - 706X (96) 00013-7.
Promprou, S., Jaroensutasinee, M. dan Jaroesutasinee,
K. (2007) “High and Low Risk Dengue
Haemorrhagic Fever Areas Affecting Key
Breeding Place of Aedes aegypti (L.) and Ae.
albopictus (Skuse) in Nakhon Si Thammarat,
Southern Thailand,” Walailak J Sci & Tech,
4(1), hal. 9–22.
Riandi, M. U., Hadi, U. K. dan Soviana, S. (2017)
“Karakteristik Habitat dan Keberadaan Larva
Aedes sp. pada Wilayah Kasus Demam
Berdarah Dengue Tertinggi dan Terendah di
Kota Tasikmalaya,” Aspirator, 9(1), hal. 43–
50.
Sari, I. P. dan Nofita, E. (2017) “Artikel Penelitian
Hubungan Kepadatan Larva Aedes sp.
dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue
di Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Koto
Tangah Kota Padang,” Jurnal Kesehatan
Andalas, 6(1), hal. 41–48.
Sari, P., Martini dan Ginanjar, P. (2012) “Hubungan
Kepadatan Jentik Aedes sp dan Praktik PSN
dengan Kejadian DBD di Sekolah Tingkat
Dasar di Kota Semarang,” Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 1(2), hal. 413–422.
Service, M. (1993) Mosquito Ecology Field Sampling
Methods. London: Chapman and Hall.
Sucipto, P. T. dan Raharjo, M. (2015) “Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Jenis
Serotipe Virus Dengue di Kabupaten
Semarang,” Jurnal Kesling Indonesia, 14(2),
hal. 51–56. doi: 10.3389/fphys.2015.00151.
Sumarmo (1987) “Dengue Haeomorrhagic Fever in
Indonesia,” Southeast Asian J Trop Med
Public Health, 18, hal. 269–74.
Tambunan, H. N. R. (2013) Faktor Lingkungan Dan
Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Daerah Endemis Kecamatan Gading
Cempaka Kota Bengkulu Tahun 2012.
Universitas Gadjah Mada. Tersedia pada:
http://etd.repository.
ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail
&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html
&buku_id =67427 (Diakses: 6 Desember
2017).
Wahyudi, R. I., Ginanjar, P. dan Saraswati, L. D.
(2013) “Pengamatan Keberadaan Jentik
Aedes sp. Pada Tempat Perkembangbiakan
dan PSN DBD Di Kelurahan Ketapang (Studi
Di Wilayah Kerja Puskesmas Ketapang
Dua),” Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia, 2(2).
WHO (2014) World Health Day 2014: WHO
Highlights on Preventing Dengue, Malaria,
Other Vector-Borne Diseases. US ed.
International Business Times.
Wongkoon,
S.,
Jaroensutasinee,
M.
dan
Jaroensutasinee, K. (2005) “Locations and
Religious Factors Affecting Dengue Vectors
in Nakhon Si Thammarat, Thailand,”
Walailak J Sci Tech, 2(1), hal. 47–58.
Zuhriyah, L., Baskoro, T. dan Kusnanto, H. (2016)
“Efektifitas Modifikasi Ovitrap Model
Kepanjen
untuk Menurunkan
Angka
Kepadatan Larva Aedes aegypti di Malang,”
Jurnal Kedokteran Brawijaya, 29 (2), hal.
157–164.
doi:
10.21776/ub.
jkb.2016.029.02.10.
113
Download