Desember 2014/Vol. 16/No 3 ANALISIS LONGSOR CILILIN DAN MODEL PENGUPAYAAN KESTABILAN LERENGNYA ANALISIS OF CILILIN LANDSLIDE AND EFFORT MODEL OF ITS SLOPE STABILITY Wisyanto BPPT, Gedung 820, Geostech, Puspiptek, Serpong, Tangerang 15314 Pusat Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Wilayah dan Mitigasi Bencana, BPPT Email: [email protected] Diterima (received) : 23-09-2014, Direvisi (reviewed) : 26-09-2014 Disetujui (accepted) : 27-10-2014 Abstrak Bencana tanah longsor telah terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Demikian halnya dengan Jawa Barat, tidak sedikit daerahnya telah berulang kali mengalami longsor. Seharusnya dengan telah banyaknya kejadian longsor, kita mampu mengupayakan program penurunan risiko longsor secara baik. Memang kejadian longsor bergantung pada banyak variabel, dimana dari satu daerah dengan daerah yang lain akan sangat memungkinkan mempunyai variabel yang berbeda, sehingga tidak mungkin kita membuat generalisasi penerapan suatu teknologi mitigasinya untuk semua daerah rawan longsor. Penelitian longsor di Cililin dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya bencana di sekitar daerah Longsor Cililin 2013 yang lalu. Melalui pengamatan kondisi litologi, keairan, tutupan lahan dan bentang alam yang ada, serta pertimbangan akan dimensi luas pijakan bangunan, jarak batas bangunan dengan lereng dan lain sebagainya, telah ditentukan beberapa upaya penurunan risiko bencana di daerah sekitar longsor terhadap potensi kejadian longsor dimasa mendatang. Kata kunci: longsor, penurunan risiko, pijakan bangunan, Cililin Abstract Landslides have occurred in various places in Indonesia. Likewise with West Java, there were many regions that has experienced repeated landslides. Having many experience of occurrences of landslides, we should have had a good landslide risk reduction program. Indeed, the incidence of landslides depends on many variables. Due to that condition, it may that a region would have different variable with another region. So it is impossible to generalize the implementation of a mitigation technology for all areas prone to landslides. Research of the Cililin's landslide is to anticipate the next disasters that may happen in around the area of 2013 Cililin Landslide. Through observation lithological conditions, water condition, land cover and landscape, as well as consideration of wide dimension of the building footing, the distance of building to the slopes and so forth, it has been determined some efforts of disaster risk reduction in the area around the landslide against the occurrence of potential landslide in the future. Keywords: Landslide, risk reduction, footing of building, Cililin 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geologis, Wilayah Pulau Jawa merupakan bagian dari Busur Kepulauan Sunda, sebagai hasil dari proses penunjaman / subduksi. Dengan adanya proses penunjaman ini, maka pergerakan vertikal dari proses endogen daratan JSTI : Analisis Longsor Cililin...(Wisyanto) Pulau Jawa sangat kuat. Demikian halnya dengan Wilayah Jawa Barat, selain dengan kuatnya proses endogen, juga karena proses pelapukannya terjadi secara intensif, maka morfologi Wilayah Jawa Barat menjadi sangat kasar dan terdiri dari wilayah bergelombang sampai terjal. Kondisi topografi yang curam dan intensitas curah hujan yang tinggi merupakan faktor utama penyebab terjadinya tanah longsor di Jawa Barat. 33 Desember 2014/Vol. 16/No 3 Pada kenyataannya, tidak menutup kemungkinan adanya faktor pengontrol lain, seperti kondisi pengkekaran (struktur geologi) pada tubuh lereng sangat berperan dalam proses gerakan tanahnya. Faktor struktur geologi yang sangat berperan dalam longsor pernah terjadi di Jawa Barat dan menelan banyak korban, diantaranya adalah longsor jatuhan (rock fall) di Cikangkareang, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Cianjur pada tahun 2009 (Tejakusuma, dkk. 2009). Jawa Barat merupakan daerah dengan tingkat kerawanan akan bencana longsor tertinggi di Indonesia. Daerah rawan longsor biasanya merupakan daerah (lereng) dengan tingkat pelapukan tinggi sehingga mempunyai soil yang cukup tebal. Morfologi di bawah lereng biasanya berupa landaian atau bahkan dataran dengan soil yang tebal dan subur sebagai hasil akumulasi dari erosi lambat dari lereng diatasnya. Karena kesuburan, morfologi agak landai dan berada dibawah / di kaki lereng (terkait dengan mataair) sangat diminati masyarakat untuk difungsikan sebagai ladang dan pemukiman. Kecenderungan akan pembukaan tempat tinggal dan tempat bercocok tanam dibawah lereng seperti yang disebutkan diatas adalah merupakan kebiasaan yang kurang baik karena berpotensi besar menjadi obyek terjadinya bencana tanah longsor. Menyikapi akan hal tersebut, maka diperlukan suatu kajian kestabilan lereng pada daerah-daerah yang bersentuhan / dekat dengan pemukiman. Seringkali kita melakukan upaya mitigasi tanah longsor dengan memakai pengalaman dari tindakan yang pernah dilakukan di daerah lain. Padahal, kejadian longsor dari satu tempat dengan tempat lain adalah sangat berbeda. Perbandingan kejadiankejadian gerakantanah dari tempat-tempat yang berbeda adalah kurang tepat untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan banyaknya variable dari parameter yang ada dan proses-proses yang terjadi di alam, seperti kemiringan lereng, perlapisan tanah/batuan, mikro topografi, tutupan tanaman serta faktor-fakor pemicunya, seperti jumlah dan intensitas hujan serta kelembaban tanah sebelum gerakantanah terjadi (Steinacher, 2009). Dengan demikian maka dalam menentukan cara untuk mengatasi gerakantanah, tidak dapat dilakukan hanya dengan meniru dengan cara-cara yang dilakukan di tempat lain, melainkan harus memahami karakteristik lereng yang akan diatasi. Untuk itu, dalam upaya mitigasi tanah longsor di Desa Muka Payung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Cianjur harus dilakukan analisis mekanisme longsor yang baru saja terjadi dan menentukan cara mitigasi longsor yang sesuai bagi daerah di sekitarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan asumsi bahwa kondisi alam daerah di sekitarnya relatif masih memiliki sifat yang hampir sama dengan daerah longsor tadi. 34 1.2. Tujuan Kegiatan kajian tanah longsor ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor pada tanggal 25 Maret 2013, sehingga paham akan mekanisme longsornya. Selanjutnya dengan memahami kondisi dan mekanisme kejadian longsornya, dapat ditentukan cara yang cocok untuk memitigasi kemungkinan terjadinya bencana longsor dikemudian hari bagi daerah di sekitarnya. 2. METODOLOGI Untuk mendapatkan hasil telitian yang baik, cocok dan dapat diaplikasikan sebagai pilihan pengupayaan penurunan risiko longsor di Desa Muka Payung, metoda penelitian yang dipakai adalah sebagai berikut: Mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan longsor di Desa Muka Payung, diantaranya peta topografi, citra satelit (tutupan lahan) dan peta geologi, serta situasi, jenis dan jumlah korban akibat longsor yang baru saja terjadi. Mengamati dan mempelajari kondisi keairan, lereng, jenis dan tebal soil, perlapisan tanah dan jenis dan kondisi tutupan lahannya. Mengukur dimensi dan arah longsorannya Menganalisis data, baik sekunder maupun primer yang sudah didapatkan untuk mengetahui secara detail mekanisme longsornya Dengan mengetahui kondisi longsornya dan dengan berbekal pada macam-macam pilihan upaya mitigasi longsor sudah pernah dikaji, maka dapat ditentukan upaya apa yang cocok dan mungkin dilakukan untuk menurunkan risiko bencana longsor di daerah sekitarnya. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Data 3.1.1 Lokasi Penelitian dan Dampak Longsor Daerah longsor yang dikaji, secara administratif terletak di Kampung Nagrok, Desa Muka Payung, Kec Cililin, Kab. Bandung Barat dan terletak kurang-lebih di sebelah tenggara-selatan Waduk Saguling, 20 km di sebelah baratdaya Kota Bandung dan 6 km selatan Cililin. Daerah ini merupakan daerah rawan longsor dan terbukti bahwa di daerah ini telah berkali-kali terjadi longsor, diantaranya terjadi pada tahun 2001, 2009, dan 2012. Berdasarkan analisis risiko bencana longsor JSTI : Analisis Longsor Cililin...(Wisyanto) Desember 2014/Vol. 16/No 3 yang dilakukan oleh BNPB pada tahun 2012, diketahui bahwa Kecamatan Cililin memiliki area seluas 29,35% berisiko tinggi dan 70,65% berisiko sedang dan tanpa memiliki daerah dengan tingkat risiko rendah (BNPB, 2012). Bencana tanah longsor Cililin terjadi pada hari Senin pagi tanggal 25 Maret 2013. Berdasarkan pengamatan sepintas di lapangan, ternyata Morfologi daerah ini memang sangat kasar yaitu berupa perbukitan terjal, dimana kemiringannya didominasi oleh kemiringan > 25% (Tabel 1.), dimana kemiringan ini termasuk kemiringan curam, tak stabil dan berpotensi longsor. Peristiwa longsor di Cililin, didahului dengan hujan dalam durasi yang cukup lama, mulai jam 11 malam sampai jam 4 pagi. Peristiwa tanah longsor di Daerah Cililin ini tidak terdiri dari satu peristiwa saja, melainkan terdiri dari 3 longsoran utama. Longsoran pertama terjadi pada jam 04.00 dan merusak 2 rumah tanpa korban jiwa, dilanjutkan dengan peristiwa longsor kedua yang terjadi pada jam 05.00 dan merusak beberapa rumah tanpa menelan korban jiwa. Tidak selang berapa lama kira-kira jam 05.30 terjadi longsor besar di Kampung Nagrog dan telah menimbun 10 rumah serta menelan korban 12 orang ditambah dengan 5 orang yang tidak berhasil diketemukan. Lokasi ketiga longsor tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Tabel 1. Kaitan kelas lereng dengan klasifikasi bentuk lereng (Nicholas and Edmunson, 1975) NO. 1. 2. 3. 4. 5. KELAS (%) 0-8 8-15 15-25 25-45 > 45 BENTUK LERENG Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam - Tegak Gambar 1. Lokasi 3 longsor di Wilayah Kecamatan Cililin, dimana urutan longsornya adalah Lg-1, Lg-2 dan terakhir adalah simbol yang bertuliskan Longsor dan merupakan longsor besar yang menelan banyak korban jiwa 3.1.2 Kondisi Geologi Daerah Penelitian Wilayah Desa Muka Payung, dimana ketiga longsor terjadi, tersusun oleh beraneka ragam batuan volkanik. Beberapa batuan yang dijumpai oleh penulis selama melakukan pengamatan longsor di lapangan adalah batupasir tufaan, breksi dan batupasir breksian. Dilihat dari Citra Satelit yang ada, nampaknya daerah ini juga dipengaruhi oleh struktur Geologi yang cukup intensif. Struktur Geologi disini telah meningkatkan proses pelapukan JSTI : Analisis Longsor Cililin...(Wisyanto) yang terjadi, sehingga tanah pelapukan yang terbentuk cukup tebal. Beberapa contoh batuan yang ditemukan di lapangan adalah Batupasir lanauan (kurang kompak dengan permeabilitas sedangburuk) yang ditemukan sebagai batuan segar dari tubuh lereng yang longsor pertama atau Lg-1 dan dapat dilihat pada Gambar 2. Pada perjalanan menuju Longsor Besar dan masih berada dekat dengan lereng Lg-2, ditemukan batuan lanau pasiran dengan sedikit dijumpai fragmen berukuran kerakal 35 Desember 2014/Vol. 16/No 3 keatas (kurang kompak dan permeabilitas sangat buruk), batuan ini dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 2. Batupasir lanauan produk gunungapi yang merupakan batuan segar dari tubuh lereng Lg-1 Batulanau dan batulempung merupakan batuan dengan tingkat permeabilitas buruk sampai kedap air (impermeabel). Saat dimana batuan lanau dekat permukaannya melapuk maka batuan yang segar akan bertindak sebagai lapisan yang kedap/impermeabel (terlebih lagi dengan batu lempung) dan dapat bertindak sebagai bidang gelincir bagi pergerakan masa diatasnya. Disisi lain, batulempung yang bersifat mudah mengembang sangat berperan dalam hal gerakan tanah. Batulempung ini pada musim kering akan menyusut dan membentuk banyak rekahan, sedang saat musim hujan tiba, rekahan-rekahan tadi dapat terisi oleh air sehingga menjadikan tubuh batulempung menjadi lunak dan berpotensi untuk longsor. Gambar 3. Batulanau pasiran yang diperkirakan merupakan batuan segar penyusun lereng Lg-2 36 3.2. Analisis dan Pembahasan Terjadinya longsor dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor pengontrol (properti fisik batuan/tanah penyusun lereng, struktur geologi, kemiringan lereng dan hidrologi) dan faktor pemicu (curah hujan, vegetasi penutup, penggunaan lahan dan getaran gempa). Peristiwa longsor yang terjadi di Desa Muka Payung ini, tidak terlepas dari kedua faktor tersebut. Khusus untuk masalah curah hujan, hal ini sangat penting diperhatikan bagi keperluan pemanfaat alat deteksi dini longsor. Dengan mengetahui riwayat intensitas hujan yang ada dapat ditentukan ambang batas curah hujan yang berpotensi menciptakan longsor. Ambang batas curah hujan sangat dipengaruhi oleh material penyusun lereng dan kemiringan lereng (Tuhua et al., 2015). Penentuan ambang batas ini dapat dibuat berdasarkan histori data longsor dan curah hujan yang mendahuluinya. Akan tetapi pada kenyataannya, data tentang waktu kejadian susah didapatkan, sehingga dalam menghubungkan pengaruh topografi, lithologi, kondisi tanah dan vegetasi terhadap ambang batas curah hujan sulit dilakukan (Van Westen et al., 2006). Bila dilihat dari banyaknya jumlah longsor yang terjadi pada waktu yang hampir bersamaan, meskipun yang berskala cukup besar hanya 3 longsoran, ini sebenarnya dapat menjadi indikasi bahwa faktor pemicu memegang peranan penting. Sebaliknya, bila yang menjadi penyebab utama longsor adalah dominan karena faktor pengontrolnya, maka kejadiaannya tidak akan serentak dan dalam wilayah yang cukup luas. Lebih jauh lagi bila dilihat dari adanya peristiwa hujan dengan durasi panjang yang mengawali longsor, lebih menguatkan atas perkiraan tersebut diatas, dimana faktor hujan menjadi penyebab utama dari terjadinya longsor dibanyak tempat dan dalam waktu yang hampir bersamaan. Adapun dimensi besar kecilnya tubuh longsor sangat bergantung pada bentuk morfologi detail dan tebal soil yang ada. Hal inilah yang membedakan antara longsor 1, 2 dan 3 di Desa Muka Payung. Dari ketiga longsor yang ada, longsor pertama atau Lg-1 merupakan longsor dengan dimensi yang paling kecil. Longsor ini terjadi pada bukit dengan ukuran yang paling kecil dibanding dengan 2 lainnya. Pada longsor kedua atau Lg-2, dimensi longsornya lebih besar dibandingkan dengan Lg-1. Perbandingan bukit dengan besar longsoran dapat dilihat pada Gambar 4. Longsor Lg-1 dengan dimensi longsor paling kecil, yaitu dengan ukuran lebar terpanjangnya ± 15m dan panjang ± 25m, sedangkan tubuh longsor kedua (Lg-2) mempunyai dimensi lebar terpanjangnya ± 25m dan panjang ±50m. Dimensi ini merupakan panjang perkiraan dari tubuh lereng utama yang longsor, bukan panjang aliran longsor. JSTI : Analisis Longsor Cililin...(Wisyanto) Desember 2014/Vol. 16/No 3 Gambar 4a (kiri) .Menunjukkan tubuh longsoran Lg-1, dimana bukitnya relatif kecil, sedangkan Gambar 4b (kanan) menunjukkan tubuh lereng Lg-2, bukitnya cukup besar dimana bangunan rumah kelihatan sangat kecil dibandingkan dengan ukuran bukitnya. Longsor di Kampung Nagrog merupakan longsor yang paling besar, dimana lebar terpanjangnya ±50m dan panjang tubuh longsor ±100m. Panjang disini juga bukan panjang aliran longsor melainkan hanya dimensi lereng utama yang longsor (tubuh longsor). Dalam perjalanan mengalir turun kebawah, material lengsoran juga menggerus dasar lairannya, sehingga total material yang bergerak akan lebih besar dibandingkan dengan volume lereng yang longsor. Pada awalnya, aliran longsor berarah N 102o E dan kemudian berbelok arah menjadi N 126o E (lihat Gambar 5). Morfologi daerah seperti yang terlihat citra di bawah, menununjukkan bahwa lembahnya berbentuk tapal kuda. Dimana semua air hujan yang jatuh dalam daerah tangkapan (―mini sub DAS‖) akan meresap kebawah (vertikal) sampai ke batuan segarnya, selanjutnya dengan mengikuti permukaan batuan segar tersebut, air hujan tadi mulai bergerak secara ―horisontal‖. Karena lembahnya berbentuk tapal kuda tadi, maka air tadi akan bergerak memusat dan menjadi aliran yang lebih besar, selanjutnya turun lagi mengikuti lekuk terendahnya kearah N 102o E, seperti ranting pola aliran permukaan, tetapi disini berupa aliran permukaan batuan segar. Disisi lain, ujung kaki lembah aliran tersebut berupa batuan segar (tanpa lapisan tanah) karena terpotong oleh aliran sungai kecil dari utara ke selatan (gambar biru). Dengan kata lain, ujung aliran tadi seolah-olah menjadi mata air, dimana saat aliran sudah membesar, material tanah di seluruh permukaan batuan segar tadi akan mulai bergerak dan bertindak sebagai bidang gelincir terjadinya Longsor Cililin 2013 ini. Gambar 5. Longsor di Kampung Nagrog, dimana topografi lengkung seolah-olah telah membentuk sub sistem DAS sendiri dan mempermudah terjadinya penjenuhan tanah/soil yang berada diatas batuan segarnya, sedang dibawah lereng terpotong oleh sungai kecil (biru). JSTI : Analisis Longsor Cililin...(Wisyanto) 37 Desember 2014/Vol. 16/No 3 Bila dilihat dari bentuk lengkung-lengkung topografinya, daerah ini mungkin (sebelumnya) secara periodik (ratusan-ribuan tahun) mengalami longsor dengan arah belokan yang hampir sama yaitu N 126o E. Ini diawali dengan terbentuknya suatu lereng berkemiringan homogen, selanjutnya berkembang proses erosi normal membentuk alur erosi. Dengan semakin berkembangnya proses pelapukan, ketebalan soil yang ada pada lereng akan semakin menebal. Kemudian mulai terjadi longsor dibagian bawah lereng, demikian seterusnya, longsor terjadi secara berulang dengan bidang longsor (crown) yang bergeser kearah hulu. Perkembangan longsor dengan bidang barunya yang bergeser kearah atas sering disebut dengan retrogressive landslide (Cooper, 2007). Akan tetapi pada kenyataannya, pada kasus di Cililin ini proses perkembangannya terjadi lama, bahkan dari satu proses dengan proses berikutnya tidak teramati oleh rentang kehidupan manusia 1 generasi. Bukti dari proses ini dapat dilihat pada lengkung-lengkung topografi yang terdapat dalam satu kesatuan lereng dan lembah tempat dimana Longsor Cililin 2013 terjadi. Pada kejadian longsor 2013 ini, ternyata masih ada keluarga yang tidak mau tinggal di lembah yang mungkin menurut nalurinya itu adalah hal yang membahayakan jiwa. Untuk itu mereka membangun tempat tinggalnya di daerah di luar lembah dan terbukti mereka terhindar dari bencana 2013 ini (lihat Gambar 6). Gambar 6. Memperlihatkan adanya dua bangunan rumah yang ―terbebas‖ dari aliran longsor Meskipun telah terhindar dari bencana longsor yang lalu, perlu diperhatikan lagi adalah kondisi kestabilan lereng, dimana lereng dibawahnya sudah banyak yang tergerus oleh aliran longsor. Bila melihat komponen beban rumah pada bibir lereng, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah mengetahui batas tekanan rata-rata (p) yang bekerja diatas pijakannya, yaitu dengan memperhatikan beberapa komponennya, yaitu lebar pijakan/fondasi (B), tinggi lereng (H), jarak dengan bibir lereng (L), sudut lereng (ß), bebarn tambahan (q), berat jenis tanah (γ) dan kuat geser tanah penyusun lereng (Cu). Adapun persamaan dan ilustrasinya adalah sebagai berikut (Shiau, 2011). Gambar 7. Notasi dan Mekanisme potensi Pergeserannya. 38 JSTI : Analisis Longsor Cililin...(Wisyanto) Desember 2014/Vol. 16/No 3 Pada peristiwa longsor 2013 ini, tutupan lahan diatas tubuh lereng cukup baik dan dengan kanopi yang baik. Akan tetapi, kearah bawah tepat pada mahkota dan tubuh longsor, keadaannya menjadi lebih terbuka dibandingkan dengan diatasnya yang lebat tertutup oleh tanaman tinggi. Kemungkinan besar, daerah yang lebih terbuka ini karena tanahnya diolah sebagai lahan matapencaharian (dalam proses penanaman Jabon). Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi karena daerah ini relatif lebih landai dibandingkan dengan daerah di atasnya, akan tetapi dalam masalah kestabilan lereng hal ini sangat tidak dianjurkan (Gambar 8). Berdasarkan pengamatan di lapangan, potensi bahaya menjadi meningkat, selain karena keadaan lahannya yang terbuka, juga karena bentuk topografinya berupa lembah (concave, vertikal) yang melengkung (horisontal) sehingga berfungsi memusatkan air hujan (―membentuk sub sistem DAS‖) seperti yang telah disebutkan diatas tadi. Pada umumnya bentuk lereng yang cembung (convex) diyakini lebih stabil, sedangkan lereng berbentuk cekung (concave) merupakan tempat terkonsentrasinya air bawah permukaan, sehingga akan menjadikan lereng tersebut rentan terhadap erosi dan pergerakan tubuh lereng (Rickli, 2001). Dengan adanya proses pengolahan tanah oleh penduduk, maka bagian permukaan akan menjadi lebih lunak (loose), sehingga banyak air yang mampu meresap dan akan menambah beban massa tubuh lereng, disisi lain dengan jarangnya tanaman maka daya ikat akar ke batuan segar menjadi kurang baik. Infiltrasi air hujan adalah baik bagi konservasi air, tetapi akan menambah beban massa lerengnya dan sebaliknya dengan jarangnya tanaman di permukaan tanah, infiltrasi berkurang tetapi akan meningkatkan erosi tanah pada permukaan lereng. Jadi yang terbaik adalah dengan mempertimbangkan kedalaman dan kemiringan batuan segar (bidang gelincir), luasan tangkapan air dan saat kapan musim hujan tiba dan berakhir, maka akan dapat ditentukan waktu pembukaan lahan, penanaman (jenis tanaman) dan perbandingan aliran permukaan dengan infiltrasi airnya. Gambar 8. Gambar yang menunjukkan adanya perlapisan dengan tingkat resistensi berbeda, sehingga membentuk morfologi undak Gambar 9. Foto yang menunjukkan perubahan bentuk akibat dari longsor susulan yang terjadi saat pengamatan dilakukan. Foto kiri adalah sebelum longsor susulan. Tubuh lereng yang longsor terdiri dari batuan pasir breksian dengan fragmen yang dapat mencapai > 1m. Hasil rongga yang ditinggalkan oleh fragmen juga terlihat pada tebing (scarp) utama longsor. Rongga tersebut membentuk cekungan yang dapat menampung air (panah pada Foto 5 kiri). Tampungan air inilah yang akan membuat kondisi di JSTI : Analisis Longsor Cililin...(Wisyanto) bawahnya bebannya meningkat. Dengan jenuhnya air sehingga beban bertambah akan memembuat lereng berpotensi sekali terjadi longsor susulan. Hal tersebut terbukti terjadi saat penulis melakukan pengamatan dilapangan. Hal ini merupakan bukti dan peringatan bagi masyarakat, bahwa dengan adanya tubuh air di atas lereng merupakan hal yang 39 Desember 2014/Vol. 16/No 3 berbahaya dan wajib dihindari. Longsor susulan ini telah merubah bentuk tebing yang asalnya ada cekungan tampungan (kecil) air menjadi lenyap. Pada tebing bekas longsor juga terlihat adanya kesan perlapisan, dimana dari adanya perbedaan batuan ini (perbedaan resistensinya) juga telah membentuk undak-undak kecil (Gambar 9). Mickovski, S.B. and L. P. H. van Beek, 2009, Root morphology and effects on soil reinforcement and slope stability of young vetiver (Vetiveria zizanioides) plants grown in semi-arid climate, Springer Science, Business Media B.V. Rickli, C., P. Zimmerli, A. Boll, 2001, Effects of Vegetation on Shallow Landslide: An Analysis of the Events of August 1997 in Sachseln, Switzerland, Proceedings International Conference on Lansslides, Davos. 4. KESIMPULAN Melihat kejadian longsor pada Lg 1 dan Lg 2, dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya material yang longsor sangat bergantung dari ketebalan dan jenis penyusun (material) lereng, serta luasan sistem lengkung lembahnya. Longsor susulan akibat dari adanya cekungan / tampungan air diatasnya telah menjadikan peringatan bagi masyarakat untuk menghindari terjadinya genangan di atas lereng. Steinacher, R., G. Medicus, W. Fellin dan C. Zangerl, 2009, The Influence of Deforestation on Slope Stability, Austrian Journal of Erath Sciences v. 102. Vienna. Pemanfaatan lahan landai di lereng perlu dihindari karena hal ini menjadikan awal penjenuhan air dibawahnya oleh air hujan. Waktu Penanaman jenis tanaman produktif dan tanaman keras sebagai penahan longsor harus diperhatikan. Pengalaman menanam tanaman keras pada permualaan musim hujan sangat mengganggu kestabilan lereng, khususnya saat musim hujan tiba. Shiau, J.S., R.S. Merifield, A.V. Lyamin and S. W. Sloan, 2011, Undrained Stability of Footings on Slopes, International Journal of Geomechanics © ASCE. Disarankan, terhadap 2 bangunan penduduk yang telah terhindar dari longsor (terbesar) 2013, karena dengan adanya aliran longsor yang menggerus lereng samping kedua bangunan tadi, telah membuat kondisi kestabilan lerengnya berkurang. Dengan demikian, bila bangunan tersebut tetap akan digunakan maka perlu dilakukan penguatan lereng dibawahnya. DAFTAR PUSTAKA Cooper, R.G. (2007), Mass Movements in Great Britain, Geological Conservation Review Series, No. 33, Joint Nature Conservation Committee, Peterborough. 40 Van Westen, C.J., T.W.J. Van Asch and R. Soeters, 2006. Landslide Hazard and Risk Zonation— why is it still so difficult? Bull. Eng. Geol. Environ. 65. Tejakusuma, I.G., S. Prawiradisastra dan H.S. Naryanto, 2009, Kajian Longsor Cikangkareang, Cibinong, Laporan Teknis, BPPT. ----------------, 2012, Materi Penyusunan Altas Risiko Bencana di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). ----------------, 2013, Laporan berita longsor Cililin, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). http://bnpb.go.id/berita/1320/mengapa-terjadilongsor-di-cililin Tuhua, M., L. Changjiang, L. Zhiming and L.B. Qiyun, 2015, Rainfall intensity–duration thresholds for the initiation of landslides in Zhejiang Province, China, Journal of Geomorphology 245, Elsevier. JSTI : Analisis Longsor Cililin...(Wisyanto)