Uploaded by irmarizkihdyt

Prescil Asoka

advertisement
PRESENTASI KASUS
CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN ANEMIA
Pembimbing :
dr. Much. Maschun Syarifudin, Sp.PD
Disusun oleh :
Ilham Pribadi
1710221089
Irma Rizki Hidayati
1710221069
Karunia Putri Amalia
G4A016078
Erine Della Aprila
G4A016074
Ika Tyas Agus Pratiwi
G4A016076
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN ANEMIA
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Disusun oleh :
Ilham Pribadi
1710221089
Irma Rizki Hidayati
1710221069
Karunia Putri Amalia
G4A016078
Erine Della Aprila
G4A016074
Ika Tyas Agus Pratiwi
G4A016076
Telah dipresentasikan pada
Tanggal,
Februari 2018
Pembimbing,
dr. Much. Maschun Syarifudin, Sp.PD
2
I. PENDAHULUAN
Perubahan pola penyakit tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap
terjadinya transisi epidemiologi, dengan semakin meningkatnya kasus-kasus tidak
menular. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2005 proporsi
kesakitan dan kemaitan di dunia yang disebabkan oleh penyakit tidak menular sebesar
47% morbiditas dan 54% mortalitas, dan diperkirakan pada tahun 2020 proporsi
morbiditas ini akan meningkat menjadi 60% dan proporsi mortalitas menjadi 73%.
Angkat penyakit tidak menular yang juga mengalami peningkatan adalah penyakit
ginjal kronik (PGK) (Bustan, 2015).
Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah
dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan cairan
dalam tubuh, mejaga level elektrolit seperti natrium, kalium dan fosfat tetap stabil,
serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam mengendalikan tekanan
darah, membuat sel darah dan menjaga tulang tetap kuat (Kemenkes RI, 2017).
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan global dengan
prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya
yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia
lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10
populasi dunia mengalami PGK pada stadium tertentu. Hasil systematic reiew dan
metanalisis yang dilakukan oleh Hill et al., 2016 mendapatkan prevalensi global PGK
sebesar 13,4%. Menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan
penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi
urutan ke-18 pada tahun 2010. Jumlah penderita PGK di Indonesia pada tahun 2011
tercatat 22.304 dengan 68,8% kasus baru dan pada tahun 2012 meningkat menjadi
28.782 dengan 68,1 kasus baru (PERNEFRI, 2012). Menurut dara Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013, PGK masuk dalam daftar 10 penyakit tidak menular.
Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua
pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung (Kemenkes RI,
2017).
3
PGK biasanya tidak memiliki gejala atau asimtomatik, tetapi dapat terdeteksi,
dan tes untuk menguji PGK sangat mudah dan tersedia di berbagai tempat. terdapat
bukti bahwa tatalaksana dapat mencegah atau menunda progresitas dari PGK,
mengurangi atau mencegah perkembagan komplikasi dan mengurangi risiko penyakit
kardiovaskular. Bagaimanapun juga PGK sering tidak dapat diketahui karena tidak
ada gejala yang spesifik, dan sering tidak terdiagnosis atau terdiagnosis pada stadium
akhir (NICE, 2014).
4
II. STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama
:
S
Umur
:
39 tahun
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Alamat
:
Gumiwang RT 4 RW 9, Purwanegara
Pekerjaan
:
Wiraswasta
Agama
:
ISLAM
No RM
:
02018604
Tgl. Masuk RS
:
19/02/2018
Tgl Periksa
:
22/02/2018
Bangsal
:
Asoka
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : lemas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli penyakit dalam Rumah sakit margono soekarjo
pada tanggal 19 Januari 2018 dengan keluhan utama lemas. Lemas dirasakan
sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Selain itu, pasien juga mengeluhkan
nyeri pada ulu hati disertai mual. Keluhan mual timbul ketika pasien sedang
akan makan maupun tidak. Keluhan tersebut sangat mengganggu pasien
hingga pasien muntah. Keluhan membaik ketika pasien meminum obat
antimual namun tidak lama setelah itu akan timbul kembali. Keluhan
memberat ketika pasien akan makan. Pasien juga mengeluhkan kepala terasa
pusing, pusing dirasakan seperti pasien akan jatuh.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat hipertensi
: diakui
b. Riwayat DM
: disangkal
c. Riwayat penyakit jantung
: disangkal
5
d. Riwayat penyakit ginjal
: diakui, rutin HD
e. Riwayat alergi
: disangkal
`
f. Riwayat sakit kuning
: disangkal
g. Riwayat stroke
: disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a.
Riwayat hipertensi
: disangkal
b.
Riwayat DM
: disangkal
c.
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
d.
Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
e.
Riwayat alergi
: disangkal
`
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal bersama dengan istri dan anaknya. Pasien tinggal di
rumah yang berukuran 18x10 m dan berisikan 4 kamar tidur, 1 kamar
mandi, ruang keluarga, dapur. Lantai rumah sudah menggunakan keramik
dan pencahayaan rumah diakui pasien cukup.
b. Occupational
Pasien adalah seorang wiraswasta yang bekerja pada pukul 08.00
WIB dan selesai pada pukul 16.00 WIB.
c. Personal Habit
Pasien memiliki kebiasaan olahraga sewaktu muda. Kebiasaan
merokok diakui oleh pasien.
d. Drugs and Diet
Pasien rutin hemodialisa. Pasien tidak pernah mengkonsumsi
minuman beralkohol. Menu makan pasien terdiri dari nasi, banyak sayurmayur, dan lauk-pauk. Pasien makan 3 kali sehari.
6
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
:
Tampak sakit sedang
Kesadaran
:
Compos mentis
Vital Sign
:
TD : 190/100 mmhg
N : 77x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36.5 OC
BB/TB
:
48 kg/163 cm
Status Generalis
Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala
:
Mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)
Rambut
:
Warna hitam, mudah rontok (-), distribusi merata
Pemeriksaan Mata
Palpebra
: Edema (-/-), ptosis (-/-)
Konjunctiva
: Anemis (+/+)
Sklera
: Ikterik (-/-)
Pupil
: Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
Pemeriksaan Telinga
: Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
Pemeriksaan Hidung
: Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),
rinore (-/-)
Pemeriksaan Mulut
: Bibir sianosis (-), tepi hiperemis (-), bibir
kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), ikterik (-),
sariawan (-)
Pemeriksaan Leher
Trakea
:
Deviasi trakea (-)
Kelenjar Tiroid
:
Tidak membesar
Kel. Limfonodi
:
Tidak membesar, nyeri tekan (-)
JVP
:
Dalam batas normal, 5+2 cmH2O
Status Lokalis
Paru-Paru
7
Inspeksi
: Hemithorax dextra = sinistra, ketinggalan gerak (-)
Palpasi
: Vocal fremitus apex dextra = sinistra
Vocal fremitus basal dextra = sinistra
Perkusi
: Sonor, batas paru hepar SIC V LMCD
Auskultasi
: SD vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari medial LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi
Auskultasi
: Batas Jantung
Kanan atas
: SIC II LPSD
Kanan bawah
: SIC V LPSD
Kiri bawah
: SIC VI, 2 jari medial LMCS
: S1>S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi
: Cembung
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi
: Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-)
Hepar
: Tidak teraba pembesaran
Lien
: Tidak teraba pembesaran
8
Extremitas
Pemeriksaan
Ekstremitas
superior
Ekstremitas
inferior
Dextra
Dextra
Sinistra
Sinistra
Edema
-
-
-
-
Sianosis
-
-
-
-
Kuku kuning
(ikterik)
Akral dingin
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
+
+
Reflek fisiologis
Bicep/tricep
Patela
Reflek patologis
Reflek
babinsky
Sensoris
-
-
-
-
D=S
D=S
D=S
D=S
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium DL 15/02/18 08:11
Pemeriksaan
Darah Lengkap
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Hasil
Nilai Rujukan
5.3 L
5300 L
16 L
2.1 L
92000 L
77 L
25 L
33
50.0 H
6.6 L
11,2 – 17,3 g/dL
3800 –10600 U/L
40– 52 %
4,4 – 5,9 ^6/uL
150.000– 440.000 /uL
80 – 100 fL
26 – 34 Pg/cell
32 – 36 %
11,5 – 14,5 %
9,4 – 12,4 fL
9
Kimia Klinik
Ureum Darah
Kreatinin Darah
171.6 H
14.00 H
14,98 – 38,52 mg/dL
0,80 – 1,30 mg/dL
Pemeriksaan Laboratorium DL 22/02/18
Pemeriksaan
Darah Lengkap
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Hasil
Nilai Rujukan
8.2 L
3680
24 L
3.0 L
105000
80.0
27.8
34.7
15.8 H
8.5 L
11,2 – 17,3 g/dL
3800 –10600 U/L
40– 52 %
4,4 – 5,9 ^6/uL
150.000– 440.000 /uL
80 – 100 fL
26 – 34 Pg/cell
32 – 36 %
11,5 – 14,5 %
9,4 – 12,4 fL
E. DIAGNOSIS KERJA
- CKD
- Anemia
10
F. TERAPI
- Inf kidmin 200cc/24 jam
- Inj furosemid 1 amp/24 jam
- Transfusi prc hingga hb>10 dengan premedikasi lasik 1 amp
- Po asam folat 3x1
- Po calos 3x1
- Po adfer 3x1
- Po valsartan 1x160 mg
- Po Amlodipin 1x10 mg
- HD
G.
PROGNOSIS
a. Ad vitam
: dubia ad malam
b. Ad functionam
: dubia ad malam
c. Ad sanationam
: dubia ad malam
HASIL FOLLOW UP
Tanggal
23/02/18
S-O
A
P
Subyektif:
CKD
- Inf kidmin 200cc/24 jam
Badan masih
Anemia
- Inj furosemid 1 amp/24 jam
terasa lemas,
- Po asam folat 3x1
mual dan muntah
- Po calos 3x1
berkurang
- Po adfer 3x1
- Po valsartan 1x160 mg
Obyektif:
- Po Amlodipin 1x10 mg
TD : 160/100
BLPL:
mmHg
- Po asam folat 3x1
Nadi : 82x/menit
- Po calos 3x1
11
RR : 20x/menit
- Po adfer 3x1
Suhu: 37.1 C
- Po valsartan 1x160 mg
- Po Amlodipin 1x10 mg
12
III.
TINJAUAN PUSTAKA
A. CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD )
1.
Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan fungsi ginjal
ireversibel yang memberikan efek pada hampir seluruh sistem organ. Kidney
Disease Quality Outcome Initiative (K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai
kerusakan ginjal atau Glomerular Filtration Rate (GFR) < 60 mL/min/1.73
m2 selama 3 bulan atau lebih (Levey et., al., 2005). Pasien dengan CKD
akan memiliki perjalanan penyakit yang progresif menuju End Stage Renal
Disease (ESRD) (McCance dan Sue, 2006).
2.
Klasifikasi
Chronic Kidney Disease diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang
dilihat dari derajat penyakit dan nilai GFR/LFG, semakin besar derajat CKD
prognosis penyakit akan semakin buruk.
Tabel 3.1. Klasifikasi CKD (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005)
Derajat
Deskripsi
1
4
Kerusakan ginjal
dengan GFR Normal
atau meningkat
Kerusakan ginjal
dengan penurunan
GFR ringan
Penurunan GFR
sedang
Penurunan GFR berat
5
Gagal ginjal
2
3
Klasifikasi Berdasarkan Keparahan
GFR
Keadaan Klinis
mL/min/1.73 m2
Albuminuria,
≥ 90
proteinuria,
hematuria
Albuminuria,
60-89
proteinuria,
hematuria
Insufisiensi ginjal
30-59
kronik
Insufisiensi ginjal
15-29
kronik, pre-ESRD
< 15
Gagal ginjal,
Atau dialisis
uremia, ESRD
13
3.
Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
a. Gangguan imunologis
1) Glomerulonefritis
2) Poliartritis nodosa
3) Lupus eritematous
b. Gangguan metabolik
1) Diabetes Mellitus
2) Amiloidosis
3) Nefropati Diabetik
c. Gangguan pembuluh darah ginjal
1) Arterisklerosis
2) Nefrosklerosis
d. Infeksi
1) Pielonefritis
2) Tuberkulosis
e. Gangguan tubulus primer
Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
f. Obstruksi traktus urinarius
1) Batu ginjal
2) Hipertopi prostat
3) Konstriksi uretra
g. Kelainan kongenital
1) Penyakit polikistik
2) Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia
renalis)
4.
Epidemiologi
Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah
100 juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar
14
8% setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di
Malaysia, dandi negara berkembang lainnya, insidensi ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.Penyakit gagal ginjal kronik
lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.Insidennya pun lebih sering
pada kulit berwarna hitam daripada kulit putih(Suwitra, 2007).
Beberapa penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia
pada
tahun
2000
antara
lain
Glomerulonefritis(46,39%),
Diabetes
Mellitus(18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi(8,46%), dan
penyebab yang lain dengan presentase sebesar (13,65%) (Murray et al,
2007).
5.
Patofisiologi
CKD merupakan keadaan gangguan fungsi ginjal progresif yang
dapat disebabkan oleh banyak faktor, namun hipertensi dan diabetes mellitus
merupakan 2 buah penyebab yang paling sering mendasari terjadinya CKD
(McCance dan Sue, 2006). Penyebab lain yang dapat menyebabkan
gangguan fungsi ginjal progresif adalah reduksi massa ginjal dikarenakan
infeksi dan obstruksi ginjal (Lopez-Novoa et., al., 2010).
Nefropati Hipertensif
Hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya CKD melalui beberapa
mekanisme:
a. Vaskulopati ginjal yang terjadi pada arteri dan arteriol preglomerular.
Vaskulopati yang terjadi diakibatkan oleh aterosklerosis, disfungsi
endotel, penebalan dinding pembuluh darah, serta fibrosis pada
hipertensi
b. Kerusakan mikrovaskuler pada kapiler glomerulus
c. Kerusakan barrier filtrasi (podosit, sel mesangial, dan membrana
basalis) di glomerulus karena glumerulosklerosis.
d. Fibrosis interstitial.
15
Hipertensi dapat meningkatkan aliran darah ginjal pada glomerulus
yang secara progresif akan menyebabkan kerusakan endotel dan barrier
filtrasi glomerulus. Kerusakan sel tersebut akan diikuti inflamasi yang
menyebabkan kematian sel podosit dan sel mesangial. Disfungsi endotel
akan menyebabkan vasokonstriksi sehingga mengurangi aliran darah ke
glomerulus ginjal. Penurunan aliran darah akan diikuti penurunan tekanan
glomerulus yang mengakibatkan penurunan pada GFR. Inflamasi dan
kematian sel yang terjadi akibat kerusakan pada ginjal akan menyebabkan
fibrosis dan glomerulosklerosis(Lopez-Novoa et., al., 2010).
Fibrosis
dan
glomerulosklerosis
menyebabkan
tereduksinya
kemampuan ginjal untuk melakukan fungsinya. Keadaan ini dikompensasi
oleh tubuh dengan mengeluarkan zat vasoaktif dan growth factor yang
menyebabkan hipertrofi structural dari neuron yang tersisa.Usaha tersebut
dalam tujuan mengembalikan fungsi normal ginjal, dalam keadaan ini LFG
dapat normal atau bahkan meningkat. Hipertrofi ginjal secara progresif akan
berubah menjadi fungsi yang tidak sesuai oleh Karena tingginya beban kerja
yang
harus
ditanggung.
Hipertrofi
glomerulus
berlanjut
menjadi
glomerulosklerosis sehingga menurunkan aliran darah ginjal. Penurunan
aliran darah ginjal tersebut akan diikuti penurunan tekanan darah pada
glomerulus yang menyebabkan penurunan GFR (Lopez-Novoa et., al.,
2010).
Perjalanan penyakit CKD secara umum terjadi dalam beberapa
tahapan, yaitu (McCance dan Sue, 2006):
a. Penurunan Fungsi Ginjal.
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR < 50%. Pada
keadaan ini, tanda dan gejala CKD belum muncul, namun sudah
terdapat peningkatan pada ureum dan kreatinin darah.
b. Insufisiensi Ginjal.
Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak dapat
lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR
16
mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi
ginjal yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan
melakukan kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan
konsentrasi urin, nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjal
saat stres dapat terjadi pada tahapan ini.
c. Gagal Ginjal.
Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia,
asidosis,
ketidakseimbangankonsentrasi
urin, anemia berat,
dan
gangguan elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia).
Keadaan gagal ginjal terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai
memberikan efek pada sistem organ lain.
d. ESRD.
End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari
gangguan fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang
berat. GFR hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi
juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit,
regulasi cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan
kardiovaskuler, hematologi, neurologi,
gastrointestinal, endokrin,
metabolik, gangguan tulang dan mineral juga dapat terjadi.
17
Jumlah Nefron ↓
Hiperfiltrasi Adaptative Glomerolus
↑ Permeabilitas
Glomerolus
↑ RAAS
↑ SNGFR
HT
↑ Filtrasi
Makromolekul
dan Protein
Protenuria
Inflamasi nefrotoksik
atau remodelling
Fibrosis tubulointerstisial dan
focal glomerulosclerosis
↓ GFR
↓ EPO
Anemia
Uremia
Disfungsi
Platelet
↑ Tendensi
Perdarahan
↓ Urine
Output
Gangguan
ekskresi Na,
Air dan K
Edema perifer
dan pulmo
Komplikasi
Sistemik
Gangguan kadar
serum PO4, vit
D, PTH
Hiperparathyroidism
sekunder
Gambar 3.1. Patofisiologi CKD(Lopez-Novoa et., al., 2010)
6.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran
cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al.,
2007).
18
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien
gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal
lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
ataupun kronik (Suwitra, 2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10
g/dL atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi
(kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron
binding Capacity(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya
(Murray et al., 2007; Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007).
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis
mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan
dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia
inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan
usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
19
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika(Murray et al.,
2007).
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium
pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier(Murray et al., 2007).
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum
jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder.
Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi.
Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal
urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost(Kumar et al., 2007).
e. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis Gagal Jantung Kongestif (GJK) pada gagal ginjal
kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung(Murray et al., 2007).
20
7.
Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis CKD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan dibantu hasil
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti DM, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi,
lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
2) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer,
pruritus, perikarditis, kejang sampai koma.
3) Gejala komplikasinya, seperti anemia, asidosis metabolik, dan
sebagainya.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik
normokrom dan terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan
trombosit masih dalam batas normal. Klirens kreatinin meningkat
melebihi laju filtrasi glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5
ml/menit pada gagal ginjal terminal. Dapat ditemukan proteinuria
200-1000mg/hari.
2) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin
serum.
3) Kelainan biokimiawi darah seperti penurunan kadar hemoglobin
dan asam urat.
4) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria dan leukosuria.
c. Gambaran radiologis;
1) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
21
2) USG bisa memperlihatkanukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.
d. Biopsi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan
pada penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal,
dimana diagnosis secara invasif sulit ditegakkan (Suwitra, 2007).
8.
Penatalaksanaan
Diagnosis CKD harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan
patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang tepat
untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan umum. Tujuan
dari terapi CKD adalah (K/DOQI, 2002):
a. Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak
terjadi.Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi,
biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik.Sebaliknya, bila LFG sudah menurun
sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah
tidak banyak bermanfaat (Suwitra, 2006).
b. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien penyakit ginjal kronik.Hal ini untuk mengetahui
kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktorfaktor komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit
dasarnya (Suwitra, 2006).
c. Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal
22
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi
hiperfiltrasi glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2006):
1) Pembatasan asupan protein
Pembatasan mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak
selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,350,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah
kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari.Bila terjadi
malnutrisi,
jumlah
asupan
kalori
dan
protein
dapat
ditingkatkan(Suwitra, 2006).
Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein
tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi
nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal.Selain itu,
makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, fosfat,
sulfat, dan ion nonorganic lain juga diekskresikan melalui ginjal.
Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit
ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen
dan ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolic yang disebut uremia, dengan demikian pembatasan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik
(Suwitra, 2006).
Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan
aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan
progresivitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan
fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasa fosfat perlu
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia (Suwitra, 2006).
2) Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus
23
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus.Selain itu,
sasaran
terapi
farmakologis
sangat
terkait
dengan
derajat
proteinuria, karena proteinuria merupakan factor risiko terjadinya
pemburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama
golongan ACE inhibitormelalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006).
d. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular.Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan
terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, anemia, hperfosfatemia, dan terapi terhadap cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit.Semua ini terkait dengan terapi dan
pencegahan
terhadap
koplikasi
penyakit
ginjal
kronik
secara
keseluruhan (Suwitra, 2006).
e. Pencegahan dan Terapi terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi, yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2006):
1) Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89
ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat
2) Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia,
hipokalsemia,
anemia,
hiperparatiroid,
hipertensi,
dan
hiperhomosisteinemia
3) Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis
metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia
4) Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
f. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
24
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG ≤ 15 ml/menit.Terapi pengganti tersebut
dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal
(Suwitra, 2006).Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum,
kreatinin, Hb, dan Gula darah juga perlu dilakukan untuk mecegah
progresivitas penyakit untuk berkembang lebih cepat (K/DOQI, 2002).
9.
Komplikasi
Pasien dengan CKD akan mengalami peningkatan kadar urea dan
serum darah karena gagalnya sekresi yang disebabkan oleh penurunan fungsi
filtrasi pada glomerulus. Kalium juga merupakan ion yang disekresikan
melalui ginjal. Pasien CKD akan mengalami keadaan hiperkalemia. Pasien
CKD dapat mengalami veskulopati serta retensi cairan dalam tubuh.
Vaskulopati
dapat
menyebabkan
kerusakan
endotel
serta
respon
vasokonstriksi pembuluh darah yang berujung pada keadaan hipertensi.
Retensi cairan yang terjadi dalam jangka waktu lama akan menyebabkan
overload cairan. Hasil limbah nitrogen (ureum dan kreatinin) dapat memicu
reaksi inflamasi pada organ organ di sekitar ginjal. Reaksi inflamasi pada
jantung yang diikuti dengan hipertensi dan overload cairan akan membebani
kerja jantung. Jantung yang tidak dapat mengkompensasi akibat dari CKD
dapat berakhir pada keadaan gagal jantung kongestif (CHF). CHF yang
berkelanjutan dapat mengakibatkan edema pulmo apabila tidak ditangani
(McCance dan Sue, 2006).
Pasien CKD harus mendapatkan monitoring terhadap kemungkinan
adanya DM, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penyakit kronis
lainnya pada pasien tersebut. Monitoring tersebut penting untuk dilakukan
karena keadaan gagal ginjal dapat memperburuk progresifitas penyakit yang
ada dan sebaliknya (Eknoyan, 2009).
25
10. Prognosis
Pasiendengangagalginjalkronikumumnyaakanmenujustadium
terminal ataustadium V. Angka progesivitasnyatergantungdari diagnosis
yang mendasari, keberhasilanterapi, dan juga dariindividumasing-masing.
Pasien yang menjalanidialisiskronikakanmempunyaiangkakesakitan dan
kematian
yang
tinggi.
Pasiendengangagalginjalstadiumakhir
menjalanitranspantasiginjalakanhiduplebih
menjalanidialisiskronik.
lama
daripada
yang
yang
Kematianterbanyakadalahkarenakegagalanjantung
(45%), infeksi (14%), kelainanpembuluhdarahotak (6%), dan keganasan
(4%) (Medscape, 2011).
B. ANEMIA PADA CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
1. Definisi
a. Definisi Anemia: jika kadar hemoglobin (Hb) <14 g/dl (laki-laki) atau <12
g/dl (perempuan)
b. Definisi Anemia renal: anemia pada CKD yang terutama disebabkan
penurunan kapasitas produksi eritropoietin. Faktor anemia renal seperti
defisiensi besi, umur eritrosit yang memendek, hiperparatiroid sekunder,
dan infeksi inflamasi.
c. Definisi anemia defisiensi besi pada CKD:
1) Anemia defisiensi besi absolut: bila saturasi transferin (ST) <20% dan
feritin serum (FS) <100 ng/ml (CKD non dialisis, CKD peritoneal
dialisis) dan <200 ng/ml (CKD HD).
2) Anemia defisiensi besi fungsional: bila ST <20% dan FS ≥100 ng/ml
(CKD non dialisis, CKD peritoneal dialisis) dan ≥200 ng/ml (CKD HD).
2. Etiologi Anemia Renal
Pemeriksaan laboratorium awal ditujukan untuk mengidentifikasi
penyebab lain dari anemia renal karena selain defisiensi eritropoietin sebagai
26
penyebab utama, banyak faktor lain yang berkontribusi pada anemia renal.
Berikut faktor lain yang berkontribusi pada anemia renal (Perneferi, 2011)
yaitu:
a. Defisiensi besi
b. Umur eritrosit yang memendek
c. Hiperparatiroid berat
d. Inflamasi dan infeksi
e. Toksisitas aluminium
f. Defisiensi asam folat
g. Hipotiroid
h. Hemoglobinopati
3. Evaluasi anemia renal
Skrining Hb pada pasien CKD dilakukan minmal satu kali setahun. Jika
didapatkan anemia dilanjutkan dengan pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht,
Indeks eritrosit, leukosit dan hitung jenis, hitung trombosit), apusan darah
tepi, hitung retikulosit, uji darah samar feses, evaluasi status besi (besi serum,
kapasitas ikat besi total, saturasi transferin, feritin serum).
Anemia renal umunya mulai terjadi pada CKD satidum 3 dan hampir
selalu ditemukan pada CGK stadium 5. Pemeriksaan kadar Hb lebih
dianjurkan daripada Ht, oleh karena variabilitas pemeriksaan Hb antar
laboratorium lebih kecil, dan kadar Hb tidak dipengaruhi oleh waktu
penyimpanan darah ataupun kadar glukosa serum. Pada pasien CKD waktu
yang dianjurkan untuk pemeriksaan Hb adalah sebelum tindakan hemodialisis
dilakukan (pre-HD). Umumnya anemia renal merupakan anemia normositik
normokromik. Karakteristik anemia renal adalah hipoproliferatif, dimana
aktivitas eritropoiesis rendah karena stimulasi eritropoietin kurang. Hitung
retikulosit absolut merupakan petanda semikuantitatif terhadap aktivitas
eritropoiesis.
27
4. Terapi anemia defisiensi besi
a. Indikasi terapi besi: anemia defisiensi besi absolut, anemia defisiensi besi
fungsional, tahap pemeliharaan status besi
b. Kontraindikasi terapi besi: hipersensitifitas terhadap besi, gangguan fungsi
hati berat, kandungan besi tubuh berlebih (iron overload)
c. Sediaan besi:
1) parenteral (iron sucrose, iron dextran): diindikasikan pada pasien CKD
HD
2) oral (ferrous gluconate, ferrous sulphate, ferrous fumarate, iron
polysaccharide): diindikasikan pada pasien CKD non dialisis, CKD
peritoneal dialisis dengan anemia defisiensi besi. Jika setelah tiga bulan
ST tidak dapat dipertahankan ≥ 20% dan atau FS ≥100 ng/ml, maka
dianjurkan untuk pemberian terapi besi parenteral.
Absorbsi besi dipengaruhi oleh makanan dan antasida, karena itu
besi oral diberika dinatara dua waktu makan. Dosis minimal 200 mg
besi elemen/hari, dalam dosis terbagi 2-3x/hari. Sediaan generic ferrous
sulphate 325 mg (besi elemental 65 mg), iron polysaccharide (besi
elemental 50-300 mg), ferrous gluconate 325 mg (besi elemental 35
mg), ferrous fumarate 325 mg (besi elemental 108 mg).
28
Gambar 1. Algoritma terapi besi(Perneferi, 2011).
5. Target Hb pada terapi Erythropoietin Stimulating Agent (ESA)
a. Terapi ESA dimulai pada kadar Hb <10g/dl
b. Target Hb pada pasien CKD-HD, CKD peritoneal dialisis, dan CKD non
dialisis yang mendapat terapi ESA adalah 10-12 g/dl.
c. Kadar Hb tidak boleh >13 g/dl.
29
Gambar 2. Terapi ESA (Perneferi, 2011).
6. Indikasi dan kontraindikasi ESA
a. Indikasi
Bila Hb <10 g/dl dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syaratnya
yaitu tidak ada anemia defisiensi besi absolut (ST <20% dan FS <100
ng/ml pada CKD non dialisis, CKD peritoneal dialisis, <200 ng/ml CKD
HD), tidak ada infeksi yang berat.
b. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap ESA.
7. Efek samping terapi ESA
a. Hipertensi
b. Trombosis
c. Kejang
30
d. Pure red cell aplasia (PRCA)
8. Transfusi darah
a. Indikasi: Hb <7 g/dl dengan atau tanpa gejala anemia, Hb <8 g/dl dengan
gangguan kardiovaskular yang nyata, perdarahan akut dengan gejala
gangguan hemodinamik, pasien yang akan menjalani operasi
b. Target Hb: Target pencapaian Hb dengan transfusi 7-9 g/dl (tidak sama
dengan target Hb pada terapi ESA).
9. Patofisiologi anemia pada CKD
Pasien GGK biasanya mengalami anemia. Penyebab utamanya adalah
defisiensi
produksi
eritropoietin
(EPO)
yang
dapat
meningkatkan
risikokematian,uremia penghambat eritropoiesis, pemendekan umur eritrosit,
gangguanhomeostasis zat besi. Antagonis EPO yaitu sitokin proinflamasi
bekerja denganmenghambat sel-sel progenitor eritroid dan menghambat
metabolisme besi.Resistensi EPO disebabkan oleh peradangan maupun
neocytolysis. Beberapamekanisme patofisiologi mendasari kondisi ini,
termasuk terbatasnya ketersediaan besi untuk eritropoiesis, gangguan
proliferasi sel prekursor eritroid, penurunan EPOdan reseptor EPO, dan
terganggunya sinyal transduksi EPO. Penyebab lainanemia pada pasien CKD
adalah infeksi dan defisiensi besi mutlak. Kehilangandarah adalah penyebab
umum dari anemia pada CKD. Hemolisis, kekuranganvitamin B12 atau asam
folat, hiperparatiroidisme, hemoglobinopati dan keganasan,terapi angiotensinconverting-enzyme
(ACE)
inhibitor
yang
kompleks
dapatmenekan
eritropoiesis (Perneferi, 2011).
Pasien
CKD
mengalami
defisiensi
zat
besi
yang
ditunjukkan
denganketidakseimbangan pelepasan zat besi dari penyimpanannya sehingga
tidak dapatmemenuhi kebutuhan untuk eritropoiesis yang sering disebut
jugareticuloendothelial cell iron blockade. Reticuloendothelial cell iron
blockade dangangguan keseimbangan absorbsi zat besi dapat disebabkan oleh
31
kelebihanhepsidin. Hepsidin merupakan hormon utama untuk meningkatkan
homeostasissistemik zat besi yang diproduksi di liver dan disekresi ke
sirkulasi
darah.
Hepsidinmengikat
dan
menyebabkan
pembongkaran
ferroportin pada enterosit duodenum,retikuloendotelial makrofag, dan
hepatosit untuk menghambat zat besi yang masukke dalam plasma.
Peningkatan kadar hepsidin pada pasien CKD dapat
menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia (Perneferi, 2011).
32
DAFTAR PUSTAKA
Bustan NM. 2015. Manajeman Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta:
Rineka Cipta.
Eknoyan, Garabed. 2009. Definition and Classification of Chronic Kidney Disease.
US Nephrology: 13-7.
IDI. 2013. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta : IDI.
Kemenkes RI. 2017. Pusat Data dan Informasi : Situasi Penyakit Ginjal Kronis.
Jakarta. ISSN 2442-7659.
Kidney Disease Outcome Quality Initiative. 2002. Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. New
York: National Kidney Foundation.
Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. 2007. Robbins buku ajar
patologi volume 2 edisi 7. Jakarta: EGC.
Levey, Andrew S., Kai-Uwe E., Yusuke T., Adeera L., Josef C., Jerome R., Dick
DZ., Thomas H. H., Norbert L., Garabed E. 2005. Definition and
Classification of Chronic Kidney Disease: A Position Statement from
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). Kidney
International: 67; 2089-2100.
Lopez-Novoa, Jose M., Carlos MS., Ana B. RP., Francisco J. L. H. 2010. Common
Pathophysiological Mechanism of Chronic Kidney Disease: Therapeutic
Perspectives. Pharmacology and Therapeutics: 128; 61-81.
McCance, K. L., Sue E. Huether. 2006. Pathophysiology: The Biologic of Disease in
Adults and Children. Canada: Elsevier Mosby.
Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of
Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.
NICE. 2014. Chronic Kidney Diasease in Adults: assessment and management.
Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses
perjalanan penyakit, volume 1, edisi 6. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid I.
Jakarta Balai Penerbit FKUI. p. 725 – 33 ; 766 – 71.
33
Suwitra, K.2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus
SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.hlm 570-3.
Perneferi. 2011. Konsensus manajemen anemia pada penyakit ginjal kronik. Edisi 2,
Educational Grant: Jakarta
34
Download