Uploaded by badruzys17

Resolusi al-Qur’an di Era Post Truth

advertisement
Resolusi al-Qur’an Menghadapi Tantangan Digital di Era Post-Truth
Oleh:
M. Badruz Zaman
Santri Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang
“Masyarakat berlomba menjadi yang tercepat dalam membagi informasi di
media sosial. Terkadang tanpa cek dan ricek. Yang viral dianggap sebagai
sebuah kebenaran.” -Rosarita Niken Widastuti.
Kutipan dari Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, dalam kesempatan talkshow peluncuran
Seri Workshop Konten Informasi Digitial (KIDi) pada 25 Januari 2019 tersebut,
menggambarkan fenomena post-truth yang terjadi di masyarakat modern. Lalu, apa itu
post-truth?
Merujuk pada kamus Oxford, post-truth didefinisikan sebagai gambaran kehidupan
masyarakat yang membentuk opini berdasarkan keyakinan pribadi dan emosionalnya
dengan tidak menghiraukan kebenaran data dan fakta. Sehingga, nilai kebenaran menjadi
kabur dan cenderung diabaikan. Post-truth semakin mencuat ke permukaan ketika istilah
ini menjadi yang paling fenomenal (word of the year) pada 2016 menurut kamus Oxford.
Fenomena yang terjadi di era pascakebenaran menjadi lebih deras dengan semakin
canggihnya dunia digital. Platform-platform digital yang dapat dengan mudah kita akses,
menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi semua elemen masyarakat, baik individu, kelompok,
maupun pemerintah.
Sayangnya, dampak dari era post-truth lebih banyak bermuatan negatif. Kominfo
Indonesia mencatat hasil penanganan konten bermuatan negatif meliputi berita bohong
(hoax), ujaran kebencian (hatespeech), radikalisme, perundungan di dunia maya
(cyberbullying), pornografi, pembajakan dan penipuan dari media sosial dan situs website
masing-masing sebesar 653.959 dan 1.204.595 penanganan kasus (LAPTAH KOMINFO
2019, 24). Angka yang dahsyat bagi bangsa Indonesia ini menjadi tugas serius untuk segera
ditangani.
Berangkat dari besarnya angka dampak negatif era post-truth tersebut, selanjutnya
penulis akan memberikan beberapa resolusi dari al-Qur’an untuk menghadapi tantangan
digital di era pascakebenaran. Hal ini penting dijelaskan untuk semakin menguatkan
keimanan kita terhadap al-Quran yang salih li kulli zaman wa makan (relevan pada semua
waktu dan tempat). Dan praktisnya, umat manusia akan lebih berhati-hati dan terhindar dari
jurang kegelapan era post-truth.
Pandangan al-Qur’an terhadap Fenomena Post-Truth
Kita bisa mengambil sebuah pelajaran dari petunjuk al-Qur’an dalam rangka
menghadapi derasnya informasi yang beredar di media sosial. Seperti dalam QS. alHujurat[49]: 6.
‫علَى َما فَ ََ ْلت ُ ْم‬
ْ ُ ‫صيبُوا قَ ْو ًما ِب َج َهالَ ٍة فَت‬
َ ‫ص ِب ُحوا‬
ِ ُ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإ ْن َجا َء ُك ْم فَا ِس ٌق ِبنَبَإ ٍ فَتَبَيَّنُوا أ َ ْن ت‬
َ‫نَاد ِِمين‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. al-Hujurat[49]: 6)
Poin penting dalam ayat ini adalah term fatabayyanū yang berarti tabbayun atau
klarifikasi. Imam at-Thabari dalam kitab Jami’ al-Bayan ‘an Tawil Ay al-Qur’an, Juz 7:
79, memaknai tabbayun dengan mendiamkan informasi yang diterima hingga diketahui
kebenarannya. Sikap berhati-hati dan tidak menerima mentah-mentah informasi menjadi
sesuatu yang fundamental untuk menghindari kerusakan dan penyesalan.
Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Aẓim, Juz 7: 370, menerangkan bahwa
ayat ini mengisyaratkan kepada manusia -apalagi orang beriman- untuk melakukan
klarifikasi secara teliti segala berita (apalagi dari orang fasik) yang diterimanya.
Sikap ini selaras dengan QS. al-Isra[17]: 36, yaitu tidak ikut berkomentar perihal
sesuatu yang belum diketahui.
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya.”(QS. al-Isra[17]: 36)
Ibnu Katsir menyimpulkan QS. al-Isra[17]: 36 memberikan sinyal sebuah larangan
berkata sesuatu tanpa ilmu dan pengetahuan yang mendasarinya. Termasuk sebatas dugaan
dan khayalan, seperti dijelaskan dalam QS. al-Hujurat[49]: 12. (Tafsir al-Qur’an al-Aẓim,
Juz 5: 75)
Ujaran kebencian (cyberbullying) juga kerap ditemukan di media sosial yang kita
nikmati. Menyikapi hal tersebut, al-Qur’an telah memberikan peringatan untuk tidak
merendahkan manusia satu sama lain. Musthofa al-Maraghi menafsirkan QS. alHujurat[49]: 11, bahwa sesama manusia, baik laki-laki ataupun perempuan tidak boleh
saling mengolok-olok. Dan merendahkan satu sama lain.
Termasuk menghina orang yang (hanya) terlihat hina, padahal tidak mengetahui
derajatnya di sisi Allah. Memanggil orang dengan sebutan yang tidak pantas juga tidak
diperbolehkan, berbeda ketika panggilan itu adalah sebuah kehormatan yang melekat
padanya (Tafsir al-Maraghi, Juz 26: 133-135).
Maka, sudah seyogianya sesama manusia saling menghormati agar tercipta
kedamaian di tengah peradaban apalagi di dunia digital yang hampir diakses seluruh umat
manusia.
Setelah pelarangan, kemudian al-Qur’an juga memberikan tuntunan untuk manusia
agar mengutamakan kejujuran dan perkataan yang baik. Hal ini seperti dalam QS. alAhzab[33]: 70-71.
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ucapkanlah perkataan yang benar,[70] niscaya Allah akan memperbaiki amalamalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan RasulNya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung[71] (QS. alAhzab[33]: 70-71)
Merujuk pada Tafsir at-Thabari, Juz 6: 203-204, Allah memerintahkan kepada
orang-orang mukmin untuk bertakwa dan berkata yang jujur, baik, dan benar. Dengan
begitu, amal perbuatan manusia akan diperbaiki oleh-Nya. Sekaligus mendapat ampunan
atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Sungguh keberuntungan besar akan menyertai orang
yang melakukan hal ini.
Resolusi al-Qur’an: Bijak Bermedia Sosial
Teknologi informasi yang sedemikan rupa canggihnya, tidak bisa dilepaskan dalam
kehidupan sehari-hari. Maka, wacana di media sosial yang membanjiri kehidupan, sudah
selayaknya diisi dengan nilai-nilai universal dalam al-Qur’an. Setiap elemen masyarakat
turut aktif menyambut tantangan era pascakebenaran ini. Baik pemerintah, content creator
(produsen), maupun pembaca umum.
Pemerintah dalam hal ini berkewajiban mengedukasi masyarakat terkait literasi
digital. Kemudian mengawasi arus media yang bergulir di tengah masyarakat. Ruang-ruang
berekspresi di dunia digital dibatasi bagi para penyebar konten yang bermuatan negatif
berdasar pada undang-undang yang telah disusun secara matang.
Bagi para content creator, menjadi sebuah keharusan untuk melandasi data dan
informasi yang dibagikan adalah sebuah kebenaran dan memiliki nilai manfaat. Sehingga
konten-konten dalam platform digital dinikmati sesuai tujuan syariat, yakni kemaslahatan
umat. Bukan berupa hoax, ujaran kebencian, atau bersifat provokatif yang dapat
menimbulkan perpecahan dan konflik di masyarakat.
Sementara bagi para konsumen media online, sikap kritis dan klarifikasi untuk
mencari kebenaran adalah kebijaksanaan dalam bermedia sosial. Hal ini karena sulitnya
membendung derasnya arus informasi yang terjadi di era post-truth. Padahal, bukan sebuah
acuan bahwa pendapat yang ramai dibicarakan atau banyak diikuti adalah kebenaran.
Selain itu, meminjam istilah Nadirsyah Hosein, saring sebelum sharing, untuk
menghambat laju informasi yang belum pasti kebenarannya.
Akhirnya, ketika al-Qur’an sepenuhnya dapat dipahami dalam ranah digital, maka
tidak hanya muslim, seluruh umat manusia akan merasakan kedamaian dalam bermedia
sosial di tengah era pascakebenaran.
Wallahu a’lam
Download