Uploaded by User81800

FOTOGRAFI FORENSIK UNDANA

LIBRARY MANAGER
DATE
BAGIAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
SIGNATURE
REFERAT
SEPTEMBER 2020
FOTOGRAFI FORENSIK
Oleh :
Antonia Mariani
1308011003
Rendy Nunuhitu
1408010046
Andry Singarimbun
1508010026
Aulia Ayu Puspita
1508010028
Pembimbing:
dr. Geebert J.M.T Dundu
Supervisor :
drg. Peter Sahelangi, SpOF, DFM
DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama
: Antonia Mariani
NIM
: 1308011003
Nama
: Rendy Nunuhitu
NIM
: 1408010012
Nama
: Andry Singarimbun
NIM
: 1508010026
Nama
: Aulia Ayu Puspita
NIM
: 1508010028
Judul Referat
: Fotografi Forensik
Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
forensik dan medikolegal
Makassar,
Supervisor
September 2020
Pembimbing
drg. Peter Sahelangi, SpOF, DFM
ii
dr. Geebert J.M.T Dundu
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
iv
KERANGKA KONSEP .................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2 Tujuan ........................................................................................
2
1.3 Manfaat ......................................................................................
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
3
2.1 Definisi Fotografi Forensik .......................................................
3
2.2 Syarat Fotografi Forensik ..........................................................
4
2.3 Klasifikasi Fotografi Forensik ...................................................
4
2.4 Teknik Fotografi Forensik ........................................................
10
2.5 Peralatan Fotografi Forensik .....................................................
13
BAB III PENUTUP ........................................................................................
15
3.1 Kesimpulan ................................................................................
15
3.2 Saran ..........................................................................................
15
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
16
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 .....................................................................................................
7
Gambar 2.2 .....................................................................................................
8
Gambar 2.3 .....................................................................................................
9
Gambar 2.4 .....................................................................................................
10
iv
KERANGKA KONSEP
KERANGKA KONSEP
DEFINISI
SYARAT
FOTOGRAFI
FORENSIK
FOTOGRAFI
FORENSIK
KLASIFIKASI
FOTOGRAFI
FOTOGRAFI TKP
FOTOGRAFI TEKNIK
FOTOGRAFI OTOPSI
KETAJAMAN GAMBAR
KOMPOSISI GAMBAR
TEKNIK
FOTOGRAFI
FORENSIK
EKSPOSUR
WARNA
PENCAHAYAAN
KAMERA
PERALATAN
FOTOGRAFI
FORMAT FILM
LENSA
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagai seorang dokter kemampuan untuk menilai secara tepat, dokumen,
dan interprestasi luka merupakan bagian yang sangat penting karena dalam
interpretasi luka dapat dilakukan dengan peninjauan dokumen, misalnya deskripsi
tertulis, pemetaan tubuh grafik, atau fotografi sehingga deskripsi yang dibuat
sebagai penilaian dapat dipahami oleh semua pihak. Tujuan dari penilaian dan
dokumentasi adalah untuk membantu dalam menetapkan bagaimana luka atau
cedera itu disebabkan, yang mungkin sering menghadapi masalah di pengadilan.1
Salah satu proses yang paling sering dilakukan dalam setiap upaya
penyelenggaraan pemeriksaan forensik adalah proses dokumentasi.2 Dokter umum
merupakan dokter terdepan yang sering berhadapan dengan kasus forensik klinik
terutama di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Dalam beberapa kasus, pemeriksaan
dan penilaian awal dilakukan untuk tujuan terapeutik murni, dan signifikansi luka
baru terlihat setelah beberapa minggu atau bulan kemudian. Tidak jarang dokter
diminta untuk membuat visum et repertum. Dalam pembuatan visum et repertum
tersebut, dokter umum sebagai pemeriksa sering berkonsultasi dengan dokter
forensik melalui sistem konsultasi yang berlaku di Rumah Sakit tersebut.
Berikutnya dokter forensik akan melakukan repetitif analisa dari catatan rekam
medis dan foto yang dibuat oleh dokter pemeriksa yaitu dokter umum tersebut.
Pemeriksaan dan dokumentasi luka yang tidak baik tentunya akan menyulitkan
dokter forensik dan dapat mengganggu proses hukum.3
Fotografi forensik sering juga disebut sebagai forensic imaging atau crime
scene photography adalah suatu proses seni menghasilkan bentuk reproduksi dari
tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk
kepentingan penyelidikan hingga pengadilan. Fotografi forensik juga termasuk ke
dalam bagian dari upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia,
tempat-tempat dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto
yang dapat digunakan oleh penyidik atau penyidik saat melakukan penyelidikan
1
atau penyidikan.(kadangkadang disebut sebagai forensik TKP imaging).4 Forensik
TKP imaging adalah seni menghasilkan reproduksi yang akurat dari TKP atau
lokasi kecelakaan untuk kepentingan pengadilan atau untuk membantu dalam
penyelidikan. Ini adalah bagian dari proses pengumpulan bukti. Memberikan
penyelidik dengan foto-foto TKP dan semua yang terlibat dalam kejahatan.
Militer, polisi, dan petugas keamanan menggunakan fotografi sebagai alat
pengawas, alat pendeteksi dan sebagai tempat penyimpanan data.4
1.2
Tujuan
1.
Referat
ini
disusun
sebagai
prasyarat
untuk
menyelesaikan
kepaniteraan klinik bagian kedokteran forensik dan medikolegal
2.
Mengetahui aspek forensik dan medikolegal terhadap fotografi
forensik
1.3
Manfaat
1.
Menambah pengetahuan penulis mengenai aspek forensik dan
medikolegal terhadap fotografi forensic.
2.
Menjadi referensi tambahan bagi dokter muda lainnya dalam hal
fotografi forensik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Fotografi Forensik
Fotografi forensik disebut juga forensic imaging atau crime scene
photography merupakan suatu proses seni menghasilkan bentuk reka ulang dari
tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk
kepentingan penyelidikan hingga pengadilan. Fotografi forensik juga termasuk ke
dalam bagian dari upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia,
tempat-tempat dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto
yang dapat digunakan oleh penyelidik atau penyidik saat melakukan penyelidikan
atau penyidikan.5
Teknik fotografi forensik antar lain; pemilihan pencahayaan yang benar,
sudut pengambilan lensa yang tepat, dan pengambilan gambar dari berbagai titik
pandang. Skala seringkali digunakan dalam gambar yang diambil sehingga
dimensi sesungguhnya dari obyek foto dapat terekam, biasanya digunakan
penggaris atau perekat putih yang berskala sentimeter diletakkan berdekatan
dengan lesi atau perlukaan sebagai referensi ukuran. Pada bagian yang tidak
terekspos atau kurang memberikan gambaran yang signifikan, dapat digunakan
probe (alat pemeriksa luka) atau jari sebagai penunjuk dengan posisi yang
semestinya. Gambar yang diambil biasanya berupa gambar yang berwarna atau
dapat pula dalam bentuk gambar hitam-putih tergantung kebutuhannya. Gambar
berwarna lebih dipilih saat mengumpulkan bukti berupa cat atau bercak yang
ditemukan di TKP (tempat kejadian perkara), pada jejak ban akan lebih tegas
pola dan perbedaan warna dengan sekitarnya saat diambil dalam bentuk foto
hitam-putih.5 Metode yang digunakan dalam fotografi forensik tergantung dari
kebijakan setiap negara berkaitan dengan pemakaian kamera dengan film 35 mm
atau secara digital. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya.5
3
2.2 Syarat Fotografi Forensik
Syarat dalam melakukan fotografi forensik agar mendapatkan dokumentasi
yang baik yaitu:6,7
1. Foto harus diambil dalam cahaya yang cukup dengan pencahayaan latar
belakang yang terang.
2. Semua barang bukti harus di foto close up, pertama dengan tanpa skala
kemudian dengan skala, mengisi seluruh frame foto.
3. Memotret semua bukti di tempat sebelum direposisi atau dibersihkan.
4. Semua foto dokumentasi yang diambil harus diberi watermark agar
melindungi dari keasilian foto.
5. Indetifikasi orang yang di dokumentasikan dalam foto sangat penting karena
diperlukan sebagai bukti dalam pengadilan.
6. Gambar yang diambil harus di pindahkan dalam CDR dan harus disimpan
dengan akses terbatas. Seluruh hasil foto dokumentasi dalam komputer dan
hardisk harus dilindungi menggunakan password.
Perlu diperhatikan beberapa kesalahan pengambilan foto, seperti gambar atau
hasil foto yang buruk, hasil foto yang kabur karena kamera goyang saat
pengambilan foto, serta exposure yang terlalu tinggi dan terlalu rendah dari
suatu gamba. 8
2.3 Klasifikasi Fotografi Forensik
Fotografi forensik memiliki beberapa klasifikasi antar lain:
1. Fotografi olah Tempat Kejadian Perkara (TKP)
Fotografi forensik merupakan elemen penting dalam penyelidikan TKP.
Tujuannya berguna untuk mendokumentasikan tempat kejadian perkara
termasuk lokasi korban sebelum diperiksa oleh ahli patologi forensik dan
dibawa ke kamar mayat untuk diperiksa lebih lanjut. Pengumpulan dan
pemeriksaan bukti fisik seperti noda darah dan item lainya, digunakan film
berwarna. Rekaman video juga sangat membantu dalam dokumentasi
forensik.9
4
Pada TKP indoor atau yang terjadi di dalam suatu ruangan, biasanya
fotografer TKP menggunakan metode pengambilan gambar ”empat sudut”.
Pertama, foto diambil secara serial di pintu masuk ruangan tempat korban
ditemukan. Lalu fotografer berpindah sudut dan melakukan hal serupa saat di
pintu masuk, demikian seterusnya hingga sudut ruangan yang keempat, untuk
menghasilkan gambaran panoramik ruangan. Selanjutnya konsentrasi dipusatkan
ke tubuh korban untuk dilakukan pengambilan gambar dengan jarak pengambilan
terjauh dari sisi kiri dan kanan maupun jarak dekat jika diperlukan.
Dokumentasikan juga obyek di sekitar tubuh korban seperti senjata yang
berpotensi sebagai senjata yang digunakan, tumpahan air dari minuman, atau
asbak beserta isinya. Semua ruangan yang terhubung pada ruangan TKP juga
diambil gambarnya secara panoramik, termasuk segala sesuatu yang dianggap
tidak biasa ditemui berkaitan dengan TKP yang sedang diolah tersebut. Proses
serupa juga dilakukan terhadap TKP outdoor atau yang terjadi di luar ruangan,
seperti TKP kecelakaan lalu lintas, TKP di tempat kerja (pada kasus kematian
akibat kecelakaan kerja), dan TKP bencana (pada kasus kecelakaan pesawat
terbang)9.
Teknik Fotografi TKP menurut Federal Bureau of Investigation (FBI) Laboratory
Division10:
1) Memotret TKP secepat mungkin.
2) Siapkan log fotografi yang mencatat semua foto, deskripsi dan lokasi bukti.
3) Memotret secara keseluruhan, sedang, dan close-up yang terlihat dari TKP.
4) Foto dari sudut pandang mata untuk mewakili tampilan normal.
5) Memotret daerah yang paling rapuh dari TKP pertama.
6) Memotret semua bukti di tempat sebelum direposisi atau dibersihkan.
7) Semua barang bukti harus difoto close-up, pertama tanpa skala dan kemudian
5
dengan skala, mengisi seluruh frame foto.
8) Memotret interior TKP dalam sebuah serial tumpang tindih menggunakan
lensa normal, jika mungkin. Secara keseluruhan foto-foto dapat diambil
menggunakan lensa sudut lebar.
2. Fotografi Teknik:
1) Pemeriksaan Noda Darah
Pemeriksaan darah menyajikan informasi yang bermanfaat bagi
ilmuwan forensik dalam berbagai investigasi kriminalitas. Informasi
diperoleh dari darah oleh ahli patologi forensik, ahli toksikologi, ahli
serologi, dan ahli olah TKP1. Dokumentasi fotografi bukti fisik di TKP,
termasuk noda darah, merupakan bagian penting dari upaya investigasi
secara keseluruhan dan rekonstruksi. Angle of Impact Sudut dampak
didefinisikan sebagai sudut internal di mana darah menghantam sasaran
permukaan. Sudut dampak adalah fungsi dari hubungan antara lebar dan
panjang noda darah yang dihasilkan. Pada dampak dari 90 °, resultan noda
darah melingkar akan memiliki lebar yang sama dan panjang, masingmasing mewakili diameter lingkaran. Sudut dampak yang lebih akut,
semakin besar elongasi dari bercak darah tersebut. Pengukuran lebar dan
panjang noda darah individu diambil melalui poros tengah masingmasing
dimensi. Nilai yang dihitung dari lebar rasio panjang (W / L) digunakan
dalam rumus: sudut dampak = arc sin W / L Nilai arc sin memberikan nilai
sudut dampak dapat ditentukan dari tabel trigonometri atau dengan
menggunakan kalkulator ilmiah yang memiliki fungsi arc sin. Sudut dampak
dari noda darah adalah fungsi dari panjang nya lebar-panjang rasio. 1
6
Gambar 2.1 Angle of Impact
Luminol adalah senyawa chemiluminescent yang terkenal dan
digunakan sebagai uji katalitik dugaaan untuk adanya darah, mengambil
manfat dari peroksidase-seperti aktivitas heme untuk memproduksi cahaya
sebagai produk akhir bukan reaksi warna sebenarnya. Reagen Luminol
digunakan pada objek atau area yang mengandung jejak yang dicurigai
terdapat noda darah. Iluminasi putih keabu-abuan atau produksi cahaya dari
area yang dicurigai diamati dalam ruangan gelap merupakan tes yang
positif. Luminol sangant baik digunakan untuk mendeteksi jejak darah yang
tidak dapat dilihat secara langsung di TKP. Hal ini termasuk pelacakan
darah di lantai yang gelap dan area karpet, celah dan retakan di lantai dan
dinding, dan area dimana dicurigai telah dibersihkan dari darah
sebelumnya.1 Nilai dari bukti noda darah sebagai alat penting untuk
rekonstruksi TKP ditingkatkan dengan dokumentasi fotografi yang baik.
Fotografi menyediakan catatan permanen bukti bercak darah dalam sebuah
kasus yang mudah disampaikan kepada hakim. Bukti foto harus berdiri
dalam pengawasan ahli dan pengacara serta menjadi alat bantu visual
terhadap hakim yang harus menimbang bukti dan mencapai keputusan yang
benar di pengadilan.1
7
Gambar 2.2. Bercak darah dalam larutan luminol,
sumber: BVDA International BV
2) Investigasi Bekas Gigitan
Bekas gigitan pada kulit menujukkan pola luka di kulit yang diakibatkan
oleh gigi. Hal ini adalah tanda signifikan yang paling serin menyertai tindak
kekerasan criminal seperti pembunuhan, kekerasan seksual, kekerasan terhadap
anak, kekerasan domestic. Tujuan dari penyelidikan tanda gigitan ada tiga:
pertama, untuk mengenali tanda gigitan; kedua, untuk memastikan bahwa itu
akurat unutk didokumentasikan; dan ketiga, untuk membandingkannya dengan
gigi dari tersangka. Tanda gigitan harus difoto dengan kulit dalam posisi dimana
ia digigit. Pada orang dewasa hidup ini dapat dipastikan melalui cerita. Pada orang
yang meninggal dan anak-anak, kulit harus difoto dalam rentang posisi yang
mungkin.1
8
Gambar 2.3 bekas gigitan
3) Identifikasi Sidik Jari
Sidik jari leten adalah jejak yang tertinggal akibat menempelnya alur jari.
Sidik jari laten harus dimunculkan sebelum dapat dilihat dengan kasat mata. Sidik
jari mempunyai beberapa jenis, yaitu:
a. Sidik jari yang terlihat seperti debu, lumpur, darah, minyak atau permukaan
yang kontras dengan latar belakangnya
b. Sidik jari laten, tersembunyi sebelum dimunculkan dengan serbuk atau alat
pohy light;
c. Sidik jari cetak, pada permukaan yang lembut seperti lilin, purty;
d. Sidik jari etched, pada logam yang halus, disebabkan oleh asam yang ada
dalam kulit.
Sidik jari banyak ditemukan dalam tempat kejadian perkara dan sangat amat
mudah rapuh jika tidak dijaga dan ditangani dengan baik. Untuk dapat
memudahkan prosese identifikasi sidik jari maka seringkali digunakan serbuk atau
bahan kimia lain atau bahkan fotografi pollilight.
9
Gambar 2.4 Sidik Jari
3. Fotografi Autopsi
Syarat utama yang harus dimiliki seorang fotografer autopsi adalah
memiliki dasar pengetahuan anatomi tubuh manusia. Pengambilan gambar
dilakukan sejak tubuh korban tiba, dimulai dari jarak pengambilan terjauh dari
tubuh korban dengan sudut pengambilan gambar pada bagian depan dan belakang
korban, dilanjutkan dengan proses serupa saat pemeriksaan dimulai, yakni mulai
dari pelepasan pakaian hingga pembersihan tubuh korban. Close-up dilakukan
pada pengambilan gambar perlukaan yang ditemukan pada tubuh korban, pada
luka tembak, patah tulang, atau terhadap jaringan parut, tattoo, dan lain
sebagainya, berkaitan dengan kepentingan foto untuk proses identifikasi pada
mayat tak dikenal. Pada pemeriksaan dalam, pengambilan gambar dilakukan dua
kali. Pertama,”in situ” untuk memperlihatkan lokasi dan beratnya penyakit atau
kerusakan yang terjadi. Kedua, gambar diambil setelah organ dikeluarkan dan
dibersihkan5.
Berikut tata cara pengambilan dokumentasi dalam fotografi autopsy:11
1. Siapkan label berskala yang berisi nomor urut register pencatatan jenazah.
2. Posisikan objek sesuai posisi anatomis dengan latar belakang yang terang dan
bersih.
10
3. Tempatkan skala pada objek yang ingin difoto, usahakan tidak menutupi
sebagian atau seluruh objek.
4. Atur pencahayaan ruangan dan kamera. Usahakan tidak menggunakan lampu
kilat (flash).
5. Posisikan lensa kamera tegak lurus terhadap objek yang ingin difoto.
6. Ambil gambar dari posisi jauh sehingga penanda anatomi di sekitar objek
tampak dalam foto, misalnya sendi bahu dan siku.
7. Ambil gambar dari posisi close up dengan menggunakan mode makro.
8. Ambil gambar sebelum dan sesudah luka dibersihkan.
9. Evaluasi hasil foto, jika kurang tajam atau kurang memuaskan, ulangi
pengambilan foto.
10. Pengambilan foto harus berurutan sesuai deskripsi luka, mulai dari kepala,
wajah, leher, dada, perut, punggung, anggota gerak atas dan bawah.
11. Beri nama file foto sesuai dengan urutan pemeriksaan pada laporan autopsi.
12. Berikan perlindungan terhadap penyimpanan dan kerahasiaan foto yang
diambil, disarankan untuk memberikan password kemanan pada tiap file.
2.4. Teknik Fotografi Forensik
Dalam fotografi forensik hal yang diutamakan adalah bahwa jepretan
kamera kita mampu memberikan hasil yang tajam, berkomposisi, seimbang dalam
hal pencahayaan dan warna, dan tidak mengalami perubahan dimensi obyek.5
1. Ketajaman Gambar
Salah satu unsur yang menentukan ketajaman sebuah gambar adalah
kedalaman gambar (depth of field), untuk membuat sebuah gambar dua dimensi
menjadi lebih hidup, dibutuhkan penciptaan rasa akan adanya kedalaman dari
gambar. Pemilihan lensa dan bukaan diafragma (aperture) menjadi unsur vital
untuk menciptakan kedalaman. Pada pemotretan organ dalam (viscera), dapat
dilakukan penggunaan gelas yang diletakkan secara terbalik dan di cat sesuai
warna latar belakang yang digunakan (biasanya hijau) yang terletak agak jauh di
bawah gelas untuk menghindari fokus serta penggunaan lampu tungsten sebagai
pencahayaan.5
11
2. Komposisi gambar
Pada kegiatan fotografi yang dilakukan di TKP, gambar diambil secara
serial dan panoramik menggunakan lensa-lensa sudut lebar agar seluruh obyek
pada TKP dapat terekam dalam bingkai pemotretan sekaligus. Diperlukan
komposisi obyek yang baik dan kuat agar pesan yang tersirat dalam setiap bingkai
pemotretan dapat disampaikan ke penyelidik maupun penyidik. Hal ini perlu
diperhatikan untuk kepentingan rekonstruksi kejadian, pada komposisi gambar
dikenal ”rumus pertigaan” pada teknik komposisi fotografi, yakni membagi
bingkai gambar menjadi sembilan bagian yang sama. Pembaginya adalah dua
garis horizontal dan dua garis vertikal. Rumus ini dapat diterapkan pada segala
format: bujur sangkar, persegi panjang, atau panorama. Komposisi yang dibangun
akan seimbang saat menempatkan obyek tepat di atau dekat titik pertemuan garis
(point of power). Dalam seni fotografi murni, rumus ini juga dapat dipergunakan
untuk pengambilan gambar jarak dekat (closeup). Namun aplikasinya tidak
disarankan pada close-up fotografi autopsi, karena dalam hal ini, lebih ditekankan
proses representasi dari realita, misalnya pada pengambilan foto organ dalam.
Perubahan perspektif akibat usaha di atas yang barangkali dapat memberikan
interpretasi salah saat foto digunakan untuk kepentingan penyelidikan dan
penyidikan.5
3.
Eksposur
Eksposur perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil foto yang baik. Untuk
menciptakan serangkaian warna pada gambar, kamera harus memastikan bahwa
jumlah cahaya yang optimal sampai ke sensor atau film. Hal tersebut bisa
diperoleh dengan mengatur lama eksposur (kecepatan rana/shutter speed) dan
intensitas cahaya (bukaan diafragma/aperture) pada lensa. Saat pemotretan organ
dalam (viscera), organ ditempatkan pada suatu area dengan latar belakang warna
biru atau hijau. Warna putih dapat digunakan meskipun barangkali hal ini dapat
mempengaruhi ukuran eksposur jika latar belakang terlalu terlihat pada bagian
tepi gambar. Walaupun obyek yang diambil terbilang mid-tone, latar belakang
ber-tone terang atau gelap yang tidak normal bisa menimbulkan kesalahan
eksposur. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, tingkat kesalahan eksposur
12
tergantung pada seberapa besar area dalam bingkai yang terpakai oleh latar
belakang.
Semakin banyak area yang terpakai, semakin besar pengaruhnya terhadap
nilai eksposur. Organ yang akan difoto pun sebaiknya dilakukan dabb (penekanan
dengan kain atau busa) terlebih dahulu agar terhindar dari darah pada bagian
permukaan dan latar belakang untuk menghindari terjadinya efek penyinaran kuat
(highlight). Efek highlight dapat mengganggu metering exposure yang telah
dilakukan sebelumnya. Pada fotografi forensik, yang paling utama adalah
ketajaman obyek dan menjaga agar warna obyek tetap natural. 5
4. Warna
Pilihan auto white balance pada kamera digital dirancang untuk secara
automatis menyesuaikan dengan warna-warna, atau temperatur cahaya yang
berbeda untuk mendapatkan hasil yang mendekati normal. Namun terkadang hal
semacam itu malah bukan yang kita inginkan. Disarankan untuk tidak senantiasa
memilih pengaturan auto white balance pada kamera, karena pilihan itu tidak
selalu tepat. Aturlah white balance secara manual sesuai pilihan. Dibutuhkan
beberapa eksperimen memotret agar pengaturan white balance sesuai kebutuhan
dan didapat warna yang lebih natural.5
5. Pencahayaan
Pada jarak pengambilan gambar yang dekat, penggunaan lampu kilat yang
melekat pada kamera akan menghasilkan gambar yang kurang memuaskan.
Alternatifnya, digunakan lampu kilat terpisah yang terjaga jaraknya dengan
kamera, penggunaan diffuse untuk mengurangi kekuatan cahaya atau
menggunakan teknik memantulkan cahaya (bounching) ke arah langit-langit
ruang autopsi atau mungkin ring flash yang dipasang pada bagian depan lensa
untuk menghindari bayangan kamera, pada fotografi jarak dekat (close-up),
dikenal adanya kesalahan paralaks. Paralaks adalah suatu kondisi kesalahan
penampakkan atau perbedaan orientasi dari obyek yang dilihat dari dua arah yang
berbeda, akibat perbedaan sudut pandang dari dua arah tersebut, objek yang kita
lihat melalui jendela bidik (viewfinder) tidak selaras dengan yang direkam oleh
13
sensor atau film., hal semacam ini bisa terjadi pada kamera SLR maupun
compact ketika kita membidik obyek melalui LCD-nya.
Ada empat elemen cahaya yang perlu kita pahami: kualitas, warna,
intensitas, dan arah. Pada tahap tertentu, kita harus bisa mengendalikan masingmasing elemen, entah melalui pergeseran dalam posisi kamera, penggunaan
peranti modifikasi cahaya, atau selama pemrosesan gambar. Kualitas cahaya
ditentukan dari bayangan yang diciptakannya. Pencahayaan keras akan
menciptakan bayangan yang tajam dan penyinaran yang kuat. Sebaliknya,
pencahayaan yang lembut akan memunculkan bayangan lembut yang detailnya
masih terlihat. Hati-hati dengan pemilihan shutter speed yang lambat, karena
dapat menyebabkan efek kabur (blur) pada obyek yang sudah barang tentu
menghilangkan ketajaman gambar sebagai salah satu syarat untuk fotografi
forensik.5
2.5 Peralatan Fotografi Forensik
1. Kamera
Kamera yang lazim di lapangan pekerjaan forensik adalah kamera tipe
single-lens reflex 35mm. Kamera ini menggunakan sebuah lensa dengan sistem
cermin yang bergerak secara automatis, menerima cahaya yang datang untuk
dipantulkan ke sebuah pentaprism yang ditempatkan di atas jalur optik cahaya
yang berjalan di bagian dalam lensa, yang memungkinkan fotografer untuk
melihat dimensi obyek sesungguhnya yang akan ditangkap oleh film tersebut.5
2. Format film
Format film yang lazim digunakan dalam kepentingan forensik. Beberapa
fotografer medis bahkan membawa kamera yang terpisah yang telah terisi film
berkecepatan 1000 ASA untuk beberapa sesi pemotretan khusus.5
3.
Lensa
Tipe lensa yang digunakan tergantung pilihan dari fotografer itu sendiri.
Sebagian orang lebih memilih lensa tunggal yang interchangeable dengan variasi
daya akomodasi lensa (focal length). Lensa standar 50 mm atau biasa disebut
fixed lens 50 mm (daya akomodasi lensanya terfiksasi pada satu nilai) adalah
14
yang paling sering digunakan, kaitannya dengan kesetaraan daya akomodasinya
dengan mata kita. Namun pada TKP, atau pada jarak pengambilan gambar terjauh
dari tubuh korban pada kondisi TKP yang sulit, lensa sudut lebar (wide angle) 28
mm atau 30 mm lebih diperlukan. Nilai focal length yang sedikit lebih panjang
seperti 80 mm dapat berguna untuk gambar-gambar jarak dekat dari perlukaan.
Tidak disarankan penggunaan lensa telefoto dengan focal length 100 mm – 200
mm karena sebagian fungsinya telah digantikan oleh lensa tambahan untuk
kegiatan macrophotography Banyak ahli patologi forensik lebih memilih untuk
mengkombinasikan lensa-lensa tersebut menjadi satu lensa yang memiliki
variable-focus ”zoom” lens antara 28 mm – 80 mm. Langkah ini diambil untuk
lebih mempersingkat waktu pengambilan gambar dan gambar yang dihasilkan
tidak jauh berbeda dengan hasil gambar menggunakan lensa dengan daya
akomodasi terfiksasi. Pemilihan focal length lensa memegang peranan penting
dalam rangka pengambilan gambar. Wide angle akan membuat luas perspektif,
sebaliknya tele lens akan mempersempitnya. Saat berurusan dengan komposisi,
ada plus-minus di kedua jenis lensa.5
15
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Fotografi forensik disebut juga forensic imaging atau crime scene
photography merupakan suatu proses seni menghasilkan bentuk reka ulang dari
tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk
kepentingan penyelidikan hingga pengadilan. Fotografi forensic memiliki
beberapa syarat antara lain ; foto harus diambil dalam cahaya yang cukup
dengan pencahayaan latar belakang yang terang, semua barang bukti harus di
foto close up, pertama dengan tanpa skala kemudian dengan skala, mengisi
seluruh frame foto dan seluruh dokumentasi fotografi forensik haru dilindingu
keaslian dan kerahasiannya. Fotografi forensik diklasifikasikan menjadi
fotografi olah tempat kejadian perkara yang berguna dalam mendokumentasikan
lokasi sebelum diperiksa lebih lanjut. Klasifikasi lain yaitu fotografi teknik
pemeriksaan noda darah, bekas gigitan dan identifikasi sidik jari. Fotografi
forensik
juga
terdiri
dari
fotografi
autopsi
yang
digunakan
dalam
mendokumentasikan tubuh korban atau pasien. Fotografi forensik harus
memperhatikan teknik-teknik yaitu dalam pengambilan foto yang berkaitan
dengan ketajaman gambar, komposisi gambar, eksposur, warna dan pecahayaan.
Pemilihan kamera, format film dan lensa juga harus diperhatikan dalam
dokumentasi mengenai fotografi forensik.
16
17
DAFTAR PUSTAKA
1.
G Eckert, William.Introduction to Forensik Science. 1997. CRC Press: New
York
2.
M Stark, Margaret.Clinical Forensic Medicine A Physician’s
Guide.2005.Humana Press:New Jersey.
3.
R. Andika. Reliabilitas Expert Opinions (Dokter Spesialis Forensik)Pada
Fotografi Forensik Dalam Menilai Usia Memar. Perhimpunan Dokter
Forensik Indonesia.2017.
4.
FBI.Handbook of Forensic Service.2019.US Departement of Justice FBI
Laboratory Division Publication:Virginia.
5.
Shkrum, Michael J.A Ramsey, David.Forensik Pathology of Trauma
common problems for the patologist.2007.Humana Press.New Jersey.
6.
Fotografi
Forensik.
Diunduh
dari:
http://www.pdfiindonesia.org/news/fotografi-forensik/, diakses tanggal 17 September 2020.
7.
G.Sofia, Forensic photography: Prospect through the lens.2018.
Department of Oral Pathology,Rajarajeswari Dental College and Hospital,
Bengaluru, Karnataka,India
8.
Verhoff MA, Kettner M, Lászik A, Ramsthaler F. Digital photo
documentation of forensically relevant injuries as part of the clinical first
response protocol. Dtsch Arztebl Int. 2012;109(39):638-642.
9.
N. Balaji, Forensic Digital Photography. Department of Oral Pathology,
Teerthanker Mahaveer dental college & research centre, Bagarpur,
Moradabad- 244001, Uttar Pradesh, India. 2014.
10. A. Wittmann, Forensic Photography. Journal of Forensic Science Criminal
Investigation. 2017.
11. Tim Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik .
Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI;2010.
17