4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lereng Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu dengan bidang horisontal. Lereng dapat terbentuk secara alamiah karena proses geologi contohnya lereng yang membentuk bukit atau lereng-lereng yang terdapat di tebing sungai. Lereng juga dapat terbentuk karena buatan manusia antara lain yaitu lereng galian dan lereng timbunan yang diperlukan untuk membangun sebuah konstruksi jalan raya dan jalan kereta api, bendungan, tanggul sungai dan kanal serta tambang terbuka. 2.1.1 Klasifikasi Lereng Bentuk lereng merupakan wujud visual lereng. Kemiringan lereng biasanya terdiri dari bagian puncak (crest), cembung (convex), cekung (voncave), dan kaki lereng (lower slope). Daerah puncak merupakan daerah gerusan erosi yang paling tinggi dibanding daerah bawahnya, demikian pula lereng tengah yang kadang cekung atau cembung mendapat gerusan aliran permukaan relief lebih besar dari puncaknya sendiri, sedangkan kaki lereng merupakan daerah endapan. Salim 1998 (Sahara, 2014). Kemiringan lereng dapat disebabkan oleh gaya-gaya endogen dan eksogen bumi sehingga menyebabkan perbedaan titik ketinggian di bumi. Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan terhadap bidang datar yang biasa dinyatakan dalam satuan persen atau derajat. Adanya perbedaan kemiringan pada setiap lereng menyebabkan lereng diklasifikasikan tertentu. Menurut van Zuidam (1985) klasifikasi lereng bedasarkan ciri dan kondisi lapangan adalah seperti pada Tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Klasifikasi Lereng Menurut van Zuidam (1985 ) Kelas Lereng Ciri dan Kondisi Lapangan Warna Disarankan 0% - 2% Datar (flat) atau hampir datar. Proses denudasional tidak cukup besar dan pengikisan Hijau gelap yang 5 permukaan tidak intensif dibawah kondisi kering. 2% - 7% Sedikit miring (gently sloope) Proses pergerakan berkecepatan berbagai massa rendah proses Hijau cerah dari periglacial, solifluction dan fluvia. 7% - 15% Miring (sloping) Kuning cerah Memiliki kondisi yang hampir sama dengan gently soft, namun lebih mudah mengalami pengikisan permukaan, dengan erosi permukaan yang intensif 15% - 30% Agak curam (moderately steep) Kuning oranye Semua jenis pergerakan terjadi, terutama periglacial- solifuction, rayapan, pengikisan dan ada kalanya landslide. 30% - 70% Curam (steep) Merah cerah Proses denudasional dari semua jenis terjadi secara intensif (erosi, rayapan, pergerakan lereng) 70% - 140% Sangat curam (very steep) Proses denudasional Merah gelap terjadi secara intensif. >140% Curam ekstrem (extremely Ungu gelap steep) Proses kuat, denudasional terutawa denudational sangat wall 6 2.1.2 Stabilitas Lereng Kestabilan lereng merupakan salah satu permasalahan yang sering dihadapai dalam pekerjaan rekayasa konstruksi pertambangan. Gangguan terhadap kestabilan lereng akan mengganggu keselamatan pekerja, kerusakan lingkungan, kerusakan alat penambangan, mengurangi intensitas produksi dan menggangu kelancaran pelaksanaan penambangan (Almenara, 2007). Oleh karena itu, analisis kestabilan lereng sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya gangguan akibat bahaya longsor tersebut. Tujuan utama analisis kestabilan lereng tambang adalah menghasilkan suatu rancangan dinding tambang yang aman dan ekonomis. Menurut Arief (2007) tujuan dari analisis kestabilan lereng adalah sebagai berikut : a. Untuk menentukan kondisi kestabilan dan tingkat kerawanan suatu lereng. b. Memperkirakan bentuk keruntuhan kritis yang mungkin terjadi. c. Menganalisis penyebab terjadinya longsoran. d. Mempelajari pengaruh gaya-gaya luar pada kestabilan lereng. e. Merancang suatu desain lereng galian atau timbunan yang optimal dan memenuhi kriteri akeamanan dan kelayakan ekonomis. f. Memperkirakan kestabilan lereng, selama konstruksi dilakukan maupun dalam jangka waktu yang panjang. g. Merupakan dasar bagi rancangan ulang lereng setelah mengalami longsoran. h. Menentukan metode perkuatan atau perbaikan lereng yang sesuai. Kestabilan lereng batuan banyak dikaitkan dengan tingkat pelapukan dan struktur geologi yang hadir pada massa batuan tersebut, seperti sesar, kekar, lipatan dan bidang perlapisan (Sulistianto, 2001 dalam Diah 2007). Struktur-struktur tersebut, selain lipatan, selanjutnya disebut sebagai bidang lemah. Disamping struktur geologi, adanya muka air tanah dan karakteristik fisik-mekanik juga dapat mempengaruhi kestabilan lereng. Pada dasarnya untuk meningkatkan stabilitas lereng terdapat dua pendekatan yang dapat diterapkan untuk penanganan longsoran, dengan cara menaikan angka keamanan, diantaranya yaitu: 1. Memperkecil gaya penggerak / momen penggerak. 7 Gaya dan momen penggerak dapat diperkecil dengan merubah bentuk lereng, yaitu dengan membuat geometri lereng menjadi lebih datar dan mengurangi sudut kemiringan dengan memperkecil ketinggian lereng. 2. Memperbesar gaya penahan / momen penahan. Untuk memperbesar gaya penahan, dapat dilakukan dengan cara menerapkan beberapa metode perkuatan tanah, diantaranya dipasang konstruksi penahan seperti dinding penahan tanah, tiang, atau menambahkan timbunan pada kaki lereng. 2.1.3 Analisa Stabilitas Lereng Metode Limit Equilibrium dan Metode Finite Elemen Analisa stabilitas perlu dilakukan karena hampir setiap perkerjaan konstruksi sering kali melibatkan pembuatan lereng, contohnya: pekerjaan galian, pekerjaan timbunan dan konstruksi di atas lereng. Metode yang dipakai untuk analisa stabilitas lereng umumnya adalah metode Limit Equilibrium menggunakan dengan program SlopeW dari Geostudio 2007. Seiring dengan perkembangan teknologi, berkembang pula aplikasi metode Finite Element untuk analisa kestabilan lereng dengan menggunakan program Plaxis 3D. Analisis stabilitas lereng meliputi konsep kemantapan lereng yaitu penerapan pengetahuan mengenai kekuatan geser tanah. Keruntuhan geser pada tanah dapat terjadi akibat gerak relatif antar butirnya. Karena itu kekuatannya tergantung pada gaya yang bekerja antar butirnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuatan geser terdiri atas: 1. Bagian yang bersifat kohesif, tergantung pada macam tanah dan ikatan butirnya. 2. Bagian yang bersifat gesekan, yang sebanding dengan tegangan efektif yang bekerja pada bidang geser. Dalam menganalisa stabilitas lereng harus ditentukan terlebih dahulu nilai faktor keamanan (FK) lereng. 2.1.4 Limit Equilibrium Method (LEM) LEM adalah metode yang menggunakan prinsip kesetimbangan gaya. Metoda ini digunakan dengan cara bidang kelongsoran yang dapat terjadi diasumsikan terlebih 8 dahulu. Bidang kelongsoran diasumsikan berbentuk circular dan non-circular seperti pada Gambar 2.8 dan Gambar 2.9. Gambar 2.1 Bidang Longsor Circular Gambar 2.2 Bidang Longsor non-Circular Perhitungan faktor keamanan (SF) pada metode limit equilibrium dihitung dari perbandingan antara kuat geser tanah (ππ) dengan gaya dorong (π) atau dengan cara membandingkan antara momen tahan (RM) terhadap momen dorong (DM), sebagaimana ditunjukan dalam persamaan (2.1) dibawah ini: ππΉ = ππ π ππ‘ππ’ ππΉ = π π π·π .............................................................................................(2.1) 2.1.5 Finite Element Method (FEM) Metode elemen hingga adalah prosedur perhitungan yang dipakai untuk mendapatkan pendekatan dari permasalahan matematis yang sering muncul pada rekayasa teknik. Inti dari metode tersebut adalah dengan cara membuat persamaan matematis dengan berbagai pendekatan dan rangkaian persamaan aljabar yang melibatkan nilai - nilai pada titik – titik diskrit pada bagian yang dievaluasi. Persamaan 9 metode elemen hingga dibuat dan dicari solusinya dengan sebaik mungkin untuk menghindari kesalahan pada hasil akhirnya. Jaring (mesh) terdiri dari elemen - elemen yang dihubungkan oleh node seperti pada Gambar 2.10. Node merupakan titik - titik pada jaring di mana nilai dari variabel primernya dihitung. Misal untuk analisa displacement, nilai variabel primernya adalah nilai dari displacement. Nilai - nilai nodal displacement diinterpolasikan pada elemen agar didapatkan persamaan aljabar untuk displacement, dan regangan, melalui jaring - jaring yang terbentuk. Gambar 2.3 Contoh Jaring - jaring dari Elemen Hingga (Sulistianingsih, 2018) Dalam metoda elemen hingga (FEM), tidak melakukan asumsi bidang longsor. Faktor keamanan dicari dengan cara mencari bidang lemah pada struktur lapisan tanah. Faktor keamanan didapatkan dengan cara mengurangi nilai kohesi (c) dan sudut geser dalam tanah (ø) secara bertahap hingga tanah mengalami keruntuhan. Nilai faktor keamanan kemudian dihitung menggunakan persamaan (2.2) dibawah ini: ΣπππΉ = πΆ π ππππ’πππ tan π = π‘πππ ππππ’πππ ...................................................................................(2.2) Dengan faktor keamanan, Creduced dan øreduced yang merupakan nilai kohesi dan sudut geser dalam tanah terendah yang didapat pada saat program Plaxis menyatakan tanah mengalami keruntuhan (Soil body Collapse). Proses keruntuhan ini dalam program Plaxis disebut ”Phi-c reduction”. 10 2.1.6 Metode Irisan (Method of Slice) Analisis stabilitas dengan metode irisan (method of slice) ini dapat digunakan untuk tanah yang tidak homogen dan memilikia aliran air yang tidak menentu. Gaya normal suatu titik dilingkaran bidang longsor dipengaruhi oleh berat tanah diatas titik tersebut. Pada metode ini, bentuk bidang gelincir tanah yang akan longsor diiris menjadi bebrapa irisan secara vertikal, kemudian keseimbangan tiap irisan diperhatikan. Gambar 2.4 Gaya-gaya yang bekerja pada irisan. (Sumber: Hardiyatmo, 2010) dengan: X1, Xr = gaya geser efektif disepanjang sisi irisan E1, Er = gaya normal efektif disepanjang sisi irisan Ti = resultan gaya geser efektif yang bekerja sepanjang dasar irisan Ni = resultan gaya normal efektif yang bekerja sepanjang dasar irisan U1, Ur = tekanan air pori yang bekerja dikedua sisi irisan Ui = tekanan air pori di dasar irisan 11 2.1.7 Metode Fellenius (Ordinary Method of Slice) Metode Fellenius (Ordinary Method of Slice) dikemukakan pertama kali oleh Fellenius (1927,1936) bahwa gaya yang memiliki sudut kemiringan paralel dengan dasar irisan faktor keamanan dihitung dengan keseibangan momen. Fellenius menganggap gaya – gaya yang bekerja pada sisi kanan-kiri dari setiap irisan mempunyai nilai resultan nol pada arah yang tegak lurus bidang longsor. Dengan anggapan ini keseimbangan arah vertikal dan gaya-gaya yang bekerja dengan memperhatikan tekanan air pori sebagai berikut: ππ + ππ = ππ × cos ππ .............................................................................................(2.3) Sehingga faktor keamanan lereng didefinisikan: πΉ= π½π’πππβ πππππ π‘πβππ πππ ππ π ππππππππ ππππππ πππππ ππ π½π’πππβ πππππ πππππ‘ πππ π π π‘πππβ π¦πππ πππππ ππ ...............................................(2.4) Lengan momen dari berat massa tanah tiap irisan adalah R sin θ, maka momen dari massa tanah yang akan longsor adalah: ∑ ππ = π ∑π=π π=1 ππ × sin ππ ......................................................................................(2.5) Dengan: R = jari-jari lingkaran bidang longsor (m) N = jumlah irisan Wi = berat massa tanah irisan ke-I (kN) ππ = Sudut yang didefinisikan pada Gambar 2.4 Besarnya momen penahan longsor dapat di definisikan sebagai berikut: ∑ ππ = π ∑π=π π=1 π ππ + Ni tan π ..................................................................................(2.6) Bila pada lereng tersebut terdapat muka air tanah, maka akibat pengaruh tekanan air pori persamaan menjadi: πΉ= ∑π=π π=1 π ππ( πππππ ππ−ππππ) tan π) ∑π=π π=1 ππ ×sin ππ ..................................................................................(2.7) dengan: F = faktor aman c = kohesi tanah (kN/m2) π = sudut gesekan dalam tanah (o) ai = panjang lengkung lingkaran pada irisan ke-i (m) Wi = berat irisan tanah ke-i (kN) 12 μi = tekanan air pori pada irisan ke-i (kN/m2) θi = sudut yang didefinisikan pada Gambar 2.4 (o) Jika terdapat gaya-gaya lain selain berat tanahnya sendiri, misalnya bangunan di atas lereng, maka momen akibat beban ini diperhitungkan sebagai momen yang mendorong (Md). Metode Fellenius banyak digunakan dalam prakteknya, karena cara hitungan sederhana dan kesalahan hitungan yang dihasilkan masih pada sisi aman. 2.1.8 Metode Bishop Metode Bishop umumnya dipakai untuk menganalisis permukaan gelincir (slip surface) yang berbentuk circular. Dalam metode ini diasumsikan bahwa gaya normal total berada atau bekerja dipusat alas potongan dan bisa ditentukan dengan menguraikan gaya-gaya pada potongan secara vertikal ataupun normal. Persyaratan keseimbangan digunakan pada potongan-potongan yang membentuk lereng tersebut. Metode Bishop menganggap bahwa gaya-gaya yang bekerja pada irisan mempunyai resultan nol pada arah vertikal (Bishop,1955). Gambar 2. 5 Gaya-gaya yang Bekerja pada Suatu Potongan Dengan memperhitungkan seluruh keseimbangan gaya maka rumus untuk faktor keamanan (Fk) Metode Bishop diperoleh sebagai berikut (Anderson dan Richards,1987): πΉ= π π+(π−ππ) π‘πππΌ π πππ πΌ .......................................................................................................(2.8) dengan: W = Berat total pada irisan El, Er = Gaya antar irisan yang bekerja secara horizontal pada penampang kiri dan kanan 13 Xl, Xr = Gaya antar irisan yang bekerja secara vertikal pada penampang kiri dan kanan P = Gaya normal total pada irisan T = Gaya geser pada dasar irisan b = Lebar dari irisan l = Panjang dari irisan α = Sudut Kemiringan lereng 2.2 Longsoran Kelongsoran adalah suatu proses perpindahan massa tanah ataupun massa batuan dengan arah miring dari kedudukan semula sehingga terjadi pemisahan dari massa yang mantap karena pengaruh gravitasi dan rembesan (seapage). Definisi longsoran (landslide) menurut Sharpe (1938, dalam Hansen, 1984), adalah luncuran atau gelinciran (sliding) atau jatuhan (falling) dari massa batuan/tanah atau campuran keduanya. 2.2.1 Klasifikasi Longsoran Para peneliti umumnya mengklasifikasikan jenis-jenis longsoran berdasarkan pada jenis gerakan materialnya. Klasifikasi yang diberikan oleh HWRBLC, Highway Research Board Landslide Committee (1978), mengacu kepada Varnes (1978) yang berdasarkan kepada: 1. material yang nampak 2. kecepatan perpindahan material yang bergerak 3. susunan massa yang berpindah 4. jenis material dan gerakannya. Menurut Varnes (1978, dalam Hansen, 1984) longsoran (landslide) dapat diklasifikasikannya menjadi: jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide) dan nendatan (slump), aliran (flow), gerak bentang lateral (lateral spread), dan gerakan majemuk (complex movement). Untuk lebih jelasnya klasifikasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1 14 Gambar 2.6 Klasifikasi Longsoran oleh Coates (dalam Hansen, 1984) Berbagai jenis longsoran (landslide) dalam beberapa klasifikasi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Jatuhan (Fall) adalah jatuhan atau massa batuan bergerak melalui udara, termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan penggelindingan bongkah batu dan bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu dengan yang lain. Termasuk jenis gerakan ini adalah runtuhan (urug, lawina, avalanche) batu, bahan rombakan maupun tanah seperti pada Gambar 2.2. Gambar 2.7 Longsoran Tipe Jatuhan (Sumber: geoenviron.blogspot.com) 15 2. Longsoran-longsoran gelinciran (slides) adalah gerakan yang disebabkan oleh keruntuhan melalui satu atau beberapa bidang yang dapat diamati ataupun diduga. Slides dibagi lagi menjadi dua jenis. Disebut luncuran (slide) bila dipengaruhi gerak translasional dan susunan materialnya yang banyak berubah. Bila longsoran gelinciran dengan susunan materialnya tidak banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasional, maka disebut nendatan (slump), Termasuk longsoran gelinciran adalah: luncuran bongkah tanah maupun bahan rombakan, dan nendatan tanah seperti pada Gamber 2.3. Gambar 2.8 Longsoran Tipe Gelinciran (Sumber: geoenviron.blogspot.com) 3. Gerak horisontal / bentangan lateral (lateral spread), merupakan jenis longsoran yang dipengaruhi oleh pergerakan bentangan material batuan secara horisontal. Biasanya berasosiasi dengan jungkiran, jatuhan batuan, nendatan dan luncuran lumpur sehingga biasa dimasukkan dalam kategori complex landslide - longsoran majemuk (Pastuto & Soldati, 1997). Prosesnya berupa rayapan bongkah-bongkah di atas batuan lunak (Radbruch-Hall, 1978, dalam Pastuto & Soldati, 1997). Pada bentangan lateral tanah maupun bahan rombakan, biasanya berasosiasi dengan nendatan, luncuran atau aliran yang berkembang selama maupun setelah longsor terjadi. Material yang terlibat antara lain lempung (jenis quick clay) atau pasir yang mengalami luncuran akibat gempa (Buma & Van Asch, 1997). Gerak horizontal dapat dilihat pada Gambar 2.4. 16 Gambar 2.9 Longsoran Tipe Gerakan Horizontal (Sumber: geoenviron.blogspot.com) 4. Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah kandungan atau kadar air tanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi. Bidang longsor antara material yang bergerak umumnya tidak dapat dikenali. Termasuk dalam jenis gerakan aliran kering adalah sandrun (larian pasir), aliran fragmen batu, aliran loess. Sedangkan jenis gerakan aliran basah adalah aliran pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran lumpur, dan aliran bahan rombakan seperti pada Gambar 2.5. Gambar 2.10 Longsoran Tipe Aliran (Sumber: geoenviron.blogspot.com) 5. Longsoran majemuk (complex landslide) adalah gabungan dari dua atau tiga jenis gerakan di atas. Pada umumnya longsoran majemuk terjadi di alam, tetapi biasanya ada salah satu jenis gerakan yang menonjol atau lebih dominan. Menurut Pastuto & Soldati (1997), longsoran majemuk diantaranya adalah bentangan lateral batuan, tanah maupun bahan rombakan. 17 6. Rayapan (creep) adalah gerakan yang dapat dibedakan dalam hal kecepatan gerakannya yang secara alami biasanya lambat (Zaruba & Mencl, 1969; Hansen, 1984). Untuk membedakan longsoran dan rayapan, maka kecepatan gerakan tanah perlu diketahui (Tabel 2.2). Rayapan (creep) dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: rayapan musiman yang dipengaruhi iklim, rayapan bersinambungan yang dipengaruhi kuat geser dari material, dan rayapan melaju yang berhubungan dengan keruntuhan lereng atau perpindahan massa lainnya (Hansen, 1984). Gambar 2.11 Longsoran Tipe Rayapan (Sumber: geoenviron.blogspot.com) Tabel 2.2 Tabel Laju Kecepatan Gerakan Tanah ( Hansen, 1984) Kecepatan Keterangan >3 meter/detik Ekstrim sangat cepat 3 meter/detik – 0,3 meter/menit Sangat cepat 0,3 meter/menit – 1,5 meter/menit Cepat 1,5 meter/menit – 1,5 meter/bulan Sedang 1,5 meter/bulan – 1,5 meter/tahun Lambat 1,5 meter/tahun – 0,06 meter/tahun Sangat lambat <0.06 meter/tahun Ekstrim sangat lambat 7. Longsoran tipe translasional maupun rotasional, ada batas antara massa yang bergerak dan yang diam (disebut bidang gelincir), kedalaman batas tersebut dari permukaan tanah sangat penting bagi deskripsi longsoran seperti pada Gambar 2.7. Terdapat 4 kelas kedalaman bidang gelincir (Fernandez & Marzuki,1987), yaitu: 18 a. Sangat dangkal (20 meter) b. Dangkal (1,5 s.d. 5 meter) c. Dalam (antara 5 sampai 20 meter) d. Sangat dalam (>20 meter). Gambar 2.12 Longsoran Tipe Rotasi dan Translasi (Sumber: geoenviron.blogspot.com) 2.2.2 Faktor-faktor Penyebab Longsoran Faktor-faktor penyebab kelongsoran pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu akibat pengaruh luar (External Effect) dan akibat pengaruh dalam (Internal Effect). Penjelasan mengenai dua hal tersebuat dipaparkan sebagai berikut : 1. Gangguan luar, yang meliputi : a. Getaran yang ditimbulkan gempa bumi, kereta api, dan lain-lain. b. Pembebanan tambahan, terutama disebabkan oleh aktifitas manusia contohnya adanya bangunan atau timbunan di atas tebing. c. Hilangnya penahan lateral, yang disebabkan oleh pengikisan (erosi sungai, pantai), penggalian. d. Hilangnya tumbuhan penutup lereng yang dapat menimbulkan alur pada beberapa daerah tertentu yang dapat mengakibatkan erosi dan akhirnya akan terjadi longsoran. 2. Gangguan dalam, contohnya : a. Naiknya berat massa tanah batuan dengan cara masuknya air ke dalam tanah sehingga menyebabkan terisinya rongga antar butir sehingga massa tanah bertambah. 19 b. Larutnya bahan pengikat butir alami yang membentuk batuan oleh air, contohnya perekat yang terdapat dalam batu pasir yang dilarutkan air sehingga ikatannya hilang. c. Naiknya muka air tanah, muka air dapat naik abikat rembesan yang masuk pada pori antar butir tanah yang mengakibatkan tekanan air pori naik sehingga kekuatan gesernya turun. d. Pengembangan tanah, rembesan air dapat menyebabkan tanah mengembang terutama untuk tanah lempung. e. Pengaruh Geologi Proses geologi dalam pembentukan lapisan kulit bumi dengan cara pengendapan sedimen ternyata memungkinkan terbentuknya suatu lapisan yang potensial mengalami kelongsoran. Contohnya adalah pembentukan lapisan tanah sebagai berikut, sungai yang mengalirkan air ke laut membawa partikel-partikel halus yang jumlahnya tergantung dari volume dan kecepatan alirannya, kemudian partikel-partikel tersebut mengendap di dasar laut membentuk lapisan tanah, dimana penyebaran pengendapannya bisa merata atau tidak merata tergantung arus air laut biasanya membentuk sudut kemiringan lapisan 5o-10o. Karena pembentukan tiap lapisan terjadi di air, maka dasar tiap lapisan adalah air yang bisa dilihat seringkali sebagai lapisan tipis (thin film) pada zona pemisah antara lapisan lempung dan lanau kepasiran atau sebagai aliran laminer pada lapisan pasir yang lebih permeabel. Dengan keadaan demikian bila banyak air memasuki lapisan pasir tipis, sedangkan pengeluaran air sedikit sehingga keadaan lapisan menjadi jenuh, maka tekanan air akan bertambah dan tekanan air inilah yang sering menyebabkan kelongsoran. Lain halnya bila air memasuki lapisan pasir tebal sehingga keadaan lapisan tidak sepenuhnya jenuh air, maka lapisan tersebut bahkan bisa berfungsi sebagai drainase alamiah. f. Pengaruh Morfologi Variasi bentuk permukaan bumi yang meliputi daerah pegunungan dan lembah dengan sudut kemiringan permukaannya yang cenderung besar, maupun daerah dataran rendah yang permukaannya cenderung datar, ternyata memiliki peranan penting dalam menentukan kestabilan daerah tersebut 20 sehubungan dengan kasus kelongsoran. Secara logis daerah dengan kemiringan besar lebih potensial mengalami kelongsoran dibanding daerah datar, sehingga kasus kelongsoran seringkali ditemui di daerah gunung atau perbukitan, dan pada pekerjaan galian atau timbunan yang memiliki sudut kemiringan besar. Kestabilan lereng terganggu akibat lereng yang terlalu terjal, perlemahan pada kaki lereng dan tekanan beban yang berlebihan di kepala lereng. Hal tersebut bisa terjadi karena erosi pada kaki lereng dan kegiatan penimbunan atau pemotongan lereng yang dilakukan manusia. g. Pengaruh Proses Fisika Perubahan temperatur, fluktuasi muka air tanah musiman, gaya gravitasi dan relaksasi tegangan sejajar permukaan, ditambah dengan proses oksidasi dan dekomposisi akan mengakibatkan suatu lapisan tanah kohesif lambat laun tereduksi kekuatan gesernya terutama nilai kohesi © dan sudut geser dalamnya (Ø). Pada tanah non kohesif misalnya lapisan pasir, bila terjadi getaran oleh gempa mesin atau sumber getaran lainnya, sehingga mengakibatkan lapisan tersebut ikut bergetar, maka pori-pori lapisan akan terisi oleh air atau udara yang akan meningkatkan tekanan dalam pori. Tekanan pori yang meningkat dengan spontan dan sangat besar ini menyebabkan terjadinya pencairan lapisan pasir, sehingga kekuatan gesernya berkurang. h. Pengaruh Air Dalam Tanah Keberadaan air dapat dikaitkan sebagai faktor dominan penyebab terjadinya kelongsoran, karena hampir sebagian besar kasus kelongsoran melibatkan air di dalamnya. 1) Tekanan air pori memiliki nilai besar sebagai tenaga pendorong terjadinya kelongsoran, semakin besar air pori semakin besar pula tenaga pendorong. 2) Penyerapan maupun konsentrasi air dalam lapisan tanah kohesif dapat melunakkan lapisan tanah tersebut yang pada akhirnya mereduksi nilai kohesif dan sudut geser dalam sehingga kekuatan gesernya berkurang. 3) Aliran air dapat menyebabkan erosi yaitu pengikisan lapisan oleh aliran air sehingga keseimbangan lereng menjadi terganggu. 21 2.2.3 Penanggulangan Longsoran Cara penanggulangan longsor dapat dilakukan tergantung pada tipe dan sifat longsoran tersebut, serta kondisi lapangan dan geologi yang terdapat pada daerah longsoran. Cara penanggulangan longsor dapat dilakukan dengan cara berikut: 1. Mengubah geometri lereng Mengubah geometri lereng dapat dilakukan dengan cara pemotongan dan penimbunan pada ujung kaki lereng. Metode ini mempunyai prinsip mengurangi gaya dorong dari tanah yang longsor dan menambah gaya penahan dengan cara melakukan penimbunan pada ujung kaki lereng, sehingga faktor keamanan lereng dapat bertambah. Contoh dari mengubah geometri lereng yaitu dengan melakukan pemotongan bagian ujung kaki dapat dilakukan untuk longsoran yang mempunyai massa relatif kecil. Mengubah geometri dengan cara penimbuanan dilakuakn dengan memberikan beban berupa timbunan pada daerah kaki yang nantinya akan berfungsi sebagai penambah momen lawan. Penanggulangan ini cocok untuk longsoran dengan massa yang relatif utuh. 2. Mengendalikan air permukaan Pengendalian air permukaan akan mengurangi berat massa tanah yang bergerak dan menambah kekuatan material pembentuk lereng. Air permukaan yang mengalir pada permukaan lereng dan akan meresap ke dalam tanah harus dikendalikan, dapat dilakukan dengan cara menanam tumbuhan pada lereng, tata salir (saluran permukaan yang dibuat pada bagian luar longsoran dan mengelilingi longsoran sehingga dapat mencegah aliran limpasan yang datang dari daerah yang lebih tinggi), perbaikan permukaan lereng (meratakan cekungan atau tonjolan lereng), melakukan dewatering. 3. Mengendalikan air rembesan Metode pengendalian air rembesan dapat dilakukan dengan cara menambahkan sumur dalam (untuk menanggulangi longsoran yang membentuk bidang longsornya dalam), saluran tegak (untuk menurunkan tekanan hidrostatik yang terjadi), saluran mendatar (untuk menurunkan muka air tanah di daerah longsoran), dan sebagainya. 2.3 Siphon Drain Metode siphon drain ditemukan oleh perusahaan geoteknik prancis Hydrogeotechnique/TP.Geo 20 tahun lalu. Sejak itu, metode tersebut terus dikembangkan 22 dan ditingkatkan. Sudah hampir 200 pengaplikasian metode siphon drain ini, terutama di Prancis (Mrvik,2011). Metode ini juga sudah diaplikasikan di Inggris, Italy dan Romania (Mrvik and Bomont, 2010). Inovasi metode ini pertama kali diaplikasikan di Eropa Tengah pada tahun 2008. Drainase ini digunakan untuk stabilitas lereng yang sebelumya digunakan untuk galian tambang batu bara di Bohemia Utara, Republik Cheko (Mrvik and Bomont, 2009). 2.5.1 Prinsip Kerja Siphon Drain Siphon Drain ditempatkan dalam sumur pembuangan vertikal. Jarak antar sumur biasanya antara 3 sampai 6 meter dan kedalamannya harus menjangkau lapisan yang akan dialirkan. Sumur dipompa menggunakan tabung siphon dan lereng yang dipengaruhi oleh gravitasi, aliran atas pipa (Mrvik, 2011). Gambar 2. 13 Potongan Melintang Jaringan Siphon Drain Tabung siphon dimasukan ke dalam reservoir berisi air di dasar sumur dengan outlet hilit terletak di kaki lereng. Jika permukaan air disumur naik, siphon akan mengalirkan dan mengeluarkan air dari sumur. Air akan dialirkan sampai ketinggian air disumur turun kembali seperti keadaan awal, asalkan laju aliran dalam siphon cukup untuk menjaga siphon untuk tetap bekerja. Ketika air naik kebagian atas siphon, tekanan turun, dibagian hulu yang bertekanan rendah menyebabkan gelembung kecil muncul. Gelembung-gelembung kecil ini cenderung menyatu dan menjadi lebih besar di hilir. Tedapat dua gaya yang bekerja pada gelembung yaitu gaya apung dan gaya hidraulik 23 aliran dalam pipa. Jika gaya apung dominan, gelembung-gelembung kecil akan berkumpul di puncak pipa dan menjadi satu gelembung besar yang akan memecah aliran siphon. Kejadian tersebut dapat dihindari dengan menggunakan sistem pembilas yang secara otomatis mengeluarkan gelembung oleh aliran turbulen. Gambar 2.14 Tabung Siphon dan Sistem Pembilasan Sistem pembilasan terdiri dari susunan pipa PVC di ujung hilir pipa siphon yang bertindak sebagai akumulator hidraulik. Ketika ketinggian air di sumur hulu drainase hampir sama dengan akumulator, maka tidak ada aliran di pipa siphon. ketika air di sumur dan akumulator PVC naik dan mencapai tingkat tertentu, air yang disimpan dengan cepat dikosongkan menggunakan sistem pembilasan sederhana. Penurunan ketinggian air yang tiba-tiba dalam akumulator menyebabkan aliran dalam pipa siphon dapat menghasilkan gelembung udara di dalam pipa siphon. Ukuran pipa siphon dan pipa akumulator yang tepat sangat penting untuk mencapai laju aliran dan durasi yang cukup unruk menghilangkan gelmenbung udara dari tabung siphon. Aliran berlanjut sampai ketinggian air di sumur sama seperti ketinggian air pada akumulator. Ketinggian air kemudian akan naik kembali baik dalam sumur dan sistem pembilasan hingga ketinggian yang telah ditentukan dan kemudian siklus pembilasan dimulai lagi. 24 2.4 Plaxis 3D Plaxis merupakan salah satu program aplikasi komputer yang berdasarkan pada metode elemen hingga dua dimensi dan tiga dimensi yang digunakan secara khusus untuk menganalisis deformasi dan stabilitas untuk berbagai aplikasi dalam bidang geoteknik, seperti daya dukung tanah dan stabilitas lereng. Kondisi sesungguhnya dapat dimodelkan dalam regangan bidang maupun secara axisymetris. Program ini menerapkan metode antarmuka grafis yang mudah digunakan sehingga pengguna dapat dengan cepat membuat model geometri dan jaring elemen berdasarkan penampang melintang dari kondisi yang ingin dianalisis. Program ini terdiri dari empat buah sub-program yaitu masukan, perhitungan, keluaran, dan kurva. Kondisi di lapangan yang akan disimulasikan ke dalam program Plaxis ini bertujuan untuk mengimplementasikan tahapan pelaksanaan di lapangan ke dalam tahapan pengerjaan program, dengan tujuan untuk pelaksanaan di lapangan dapat mendekati sedekat mungkin dengan program, sehingga hasil yang dihasilkan dari program dapat diasumsikan sebagai cerminan dari kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan. Walaupun pengujian dan validasi telah banyak dilakukan, tetap program ini tidak dapat dijamin bahwa program PLAXIS bebas dari kesalahan. Simulasi permasalahan geoteknik dengan menggunakan metode elemen hingga sendiri telah secara implisit melibatkan kesalahan pada saat pemodelan dan kesalahan numeric yang tidak dapat dihindari. Akurasi dari keadaan sebenarnya sangat bergantung pada keahlian dari pengguna terhadap pemodelan permasalahan, pemahaman terhadap model tanah serta keterbatasannya, penentuan parameter model, dan kemampuan untuk melakukan interpretasi dari hasil komputer. Oleh karena itu, PLAXIS hanya digunakan oleh para professional yang memiliki keahlian seperti yang telah disebutkan. Pengguna harus sadar dengan tanggung-jawabnya saat menggunakan hasil komputasi untuk tujuan desain geoteknik. Organisasi PLAXIS tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan desain yang didapat pada keluaran dari perhitungan PLAXIS. metode antarmuka grafis yang mudah digunakan sehingga pengguna dapat dengan cepat membuat model geometri dan jaring elemen berdasarkan penampang melintang dari kondisi yang ingin dianalisis. Problema stabilitas lereng umumnya terjadi bila terdapat gangguan pada keseimbangan lereng tersebut, yang mungkin diakibatkan oleh berbagai kegiatan 25 manusia maupun alam. Permasalahan yang sering dijumpai pada stabilitas lereng atau timbunan adalah kecilnya kestabilan tanah dan daya dukung yang rendah pada tanah dasarnya. Kekuatan geser suatu tanah tidak mampu memikul suatu kondisi beban kerja yang berlebihan. Dengan kata lain, keruntuhan suatu lereng sering diakibatkan oleh meningkatnya tegangan geser suatu massa tanah atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Masalah yang lain dari stabilitas lereng atau timbunan adalah konsolidasi yang besar dan jangka waktu yang lama setelah selesainya suatu konstruksi. Untuk mendapatkan suatu solusi yang optimal dari permasalahan tersebut diatas, maka dibutuhkan suatu analisis yang andal dari suatu lereng dengan perbaikan dan perkuatan tanah. 2.5 Parameter Tanah Pasir Tanah adalah suatu benda padat berdimensi tiga terdiri dari panjang lebar dalam yang merupakan bagian dari kulit bumi. Kata tanah seperti banyak kata umumnya mempunyai beberapa pengertian. Pengertian tradisional, tanah adalah medium alami untuk pertumbuhan tanaman dan merupakan daratan. Pengertian lain, tanah berguna sebagai pendukung pondasi bangunan dan sebagai bahan bangunan itu sendiri, seperti batu bata, paving blok. Faktor yang mempengaruhi daya dukung tanah antara lain : jenis tanah, tingkat kepadatan, kadar air, dan lain-lain. Tingkat kepadatan tanah dinyatakan dalam presentase berat volume (γd) terhadap berat volume kering maksimum (γdmaks). (Afrenia, 2014). Tanah terdiri dari tiga fase elemen, yaitu butiran padat (solid), air dan udara, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.11 Gambar 2.15 Diagram Fase Elemen Tanah (Das, 1995) 26 2.4.1 Kohesi Kohesi merupakan gaya tarik menarik antar partikel tanah. Bersama dengan sudut geser dalam, kohesi merupakan parameter kuat geser tanah yang menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja pada tanah dalam hal ini berupa gerakan lateral tanah. Deformasi ini terjadi akibat kombinasi keadaan kritis pada tegangan normal dan tegangan geser yang tidak sesuai dengan faktor aman dari yang direncanakan. Nilai ini didapat dari pengujian Direct Shear Test. Nilai kohesi secara empiris dapat ditentukan dari data sondir (qc) yaitu sebagai berikut: πΎπβππ π (π) = ππ ⁄20.......................................................................................(2.3) 2.4.2 Permeabilitas Kemampuan fluida untuk mengalir melalui medium yang berpori adalah suatu sifat teknis yang disebut permeabilitas (Bowles, 1991). Permeabilitas juga dapat didefinisikan sebagai sifat bahan yang memungkinkan aliran rembesan zat cair mengalir melalui rongga pori (Hardiyatmo, 2001). Satuan permeabilitas adalah m². Pada umumnya pada reservoir panas bumi, permeabilitas vertikal berkisar antara 10 - 14 m², dengan permeabilitas horizontal dapat mencapai 10 kali lebih besar dari permeabilitas vertikalnya (sekitar 10 - 13 m²). Permeabilitas tanah adalah kecepatan air menembus tanah pada periode tertentu dan dinyatakan dalam cm/jam (Foth, 1978). Sedangkan menurut Hakim dkk. (1986) permeabilitas tanah adalah menyatakan kemampuan tanah melalukan air yang bisa diukur dengan menggunakan air dalam waktu tertentu. Nilai permeabilitas penting dalam menentukan penggunaan dan pengelolaan praktis tanah. Permeabilitas mempengaruhi penetrasi akar, laju penetrasi air, laju absorpsi air, drainase internal dan pencucian unsur hara (Donahue, 1984). (Preene, 2012)Permeabilitas tanah bergantung pada ukuran butiran tanah. Karena butiran tanah lempung berukuran kecil, kemampuan meloloskan air juga kecil. Dalam praktek, tanah lempung dianggap sebagai lapisan yang tak lolos air atau kedap air, karena pada kenyataannya permeabilitasnya lebih kecil daripada beton. Tanah granuler merupakan tanah dengan permeabilitas yang relatif besar hingga sering digunakan sebagai bahan filter. Namun, akibat permeabilitas yang besar, tanah ini menyulitkan 27 pekerjaan galian tanah pondasi yang dipengaruhi air tanah, karena tebing galian menjadi mudah longsor. Lagi pula, aliran yang terlalu cepat dapat merusak struktur tanah dengan menimbulkan rongga-rongga yang dapat mengakibatkan penurunan pondasi (Hardiyatmo, 2001). Permeabilitas suatu massa tanah penting untuk : 1. Mengevaluasi jumlah rembesan (seepage) yang melalui bendungan dan tanggul sampai ke sumur air. 2. Mengevaluasi gaya angkat atau gaya rembesan di bawah struktur hidrolik untuk analisis stabilitas. 3. Menyediakan kontrol terhadap kecepatan rembesan sehingga partikel tanah berbutir halus tidak tererosi dari massa tanah. 4. Studi mengenali laju penurunan (konsolidasi) dimana perubahan volume tanah terjadi pada saat air tersingkir dari rongga tanah pada saat proses terjadi pada suatu gradien energi tertentu. 5. Mengendalikan rembesan dari tempat penimbunan bahan-bahan limbah dan cairan-cairan sisa yang mungkin berbahaya bagi manusia. Koefisien Permeabilitas Hukum Darcy menunjukkan bahwa permeabilitas tanah ditentukan oleh koefisien permeabiitasnya. Koefisien permeabilitas tanah bergantung pada beberapa faktor. Setidaknya ada enam faktor utama yang mempengaruhi permeabilitas tanah, yaitu : 1. Visikositas cairan, semakin tinggi viskositasnya, koefisien permeabilitas tanahnya semakin kecil. 2. Distribusi ukuran pori, semakin merata distribusi ukuran porinya, koefisien permeabilitasnya cenderung semakin kecil. 3. Distribusi ukuran butiran, semakin merata distribusi ukuran butirannya, koefisien permeabilitasnya cenderung semakin kecil. 4. Rasio kekosongan (void), semakin besar rasio kekosongannya, koefisien permeabilitas tanahnya akan semakin tinggi. 5. Semakin besar partikel mineralnya, semaik kasar partikel mineralnya, koefisien permeabilitas tanahnya akan semakin tinggi. 6. Derajat kejenuhan tanah. semakin jenuh tanahnya, koefisien permeabilitas tanahnya akan semakin tinggi. 28 Nilai permeabilitas untuk tanah jenis pasir dapat dilihat pada Tabel 2.3 Tabel 2.3 Nilai Permeabilitas Tanah (Das, 2008) 2.4.3 Sudut Geser Dalam Tanah Kekuatan geser dalam mempunyai variabel kohesi dan sudut geser dalam. Sudut geser dalam bersamaan dengan kohesi menentukan ketahanan tanah akibat tegangan yang bekerja berupa tekanan lateral tanah. Nilai ini juga didapatkan dari pengukuran engineering properties tanah dengan Direct Shear Test. Besarnya sudut geser dalam tanah atau yang biasa disebut dengan phi untuk jenis tanah pasir dapat dilihat pada Tabel 2.4 Tabel 2.4 Nilai Sudut Geser dalam Tanah (Das, 2006) 2.4.4 Poisson Ratio Nilai poisson ratio ditentukan sebagai rasio kompresi poros terhadap regangan permuaian lateral. Nilai poisson ratio dapat ditentukan berdasar jenis tanah seperti yang terlihat pada Tabel 2.5 29 Tabel 2.5 Hubungan Antara Jenis Tanah dan Poisson Ratio (Das, 1996) 2.4.5 Modulus Elastisitas Nilai modulus young menunjukkan besarnya nilai elastisitas tanah yang merupakan perbandingan antara tegangan yang terjadi terhadap regangan. Nilai ini bisa didapatkan dari Traxial Test. Nilai Modulus Elastisitas ( Es ) secara empiris dapat ditentukan dari jenis tanah dan data sondir. Dengan menggunakan data sondir, booring dan grafik triaksial dapat digunakan untuk mencari besarnya nilai elastisitas tanah. Nilai yang dibutuhkan adalah nilai qc atau cone resistance. Yaitu dengan menggunakan rumus : E = 2.qc kg/cm² E = 3.qc ( untuk pasir ) E = 2. sampai 8. qc ( untuk lempung ) Tanah dengan jenis pasir memiliki nilai modulus elastisitas yang berkisar antara 50 sampai dengan 2000 seperti pada Tabel 2.6 30 Tabel 2.6 Nilai Perkiraan Modulus Elastisitas Tanah (Bowles, 1997) 2.6 Referensi Penelitian Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan penelitian dengan judul yang sama seperti judul penelitian penulis. Namun penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian pada penelitian penulis. Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa jurnal terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis. 2.5.1 Fundamental Laboratory Experiments of Siphon Drain for Slope Stabilization Jurnal dengan judul penelitian Fundamental Laboratory Experiments of Siphon Drain for Slope Stabilization ditulis oleh bapak Adrin Tohari selaku peneliti geoteknologi LIPI Bandung bersama dengan Keigo Koizumi dan Kazuhiro Oda sebagai Asisten peneliti dari Osaka University Jepang. Jurnal tersebut di publikasikan saat 20th Annual National Conference on Geotechnical Engineering di Jakarta pada tanggal 15-16 November 2016. 31 Penelitian tersebut menghasilkan efek dari drain siphon jelas tergantung pada laju kenaikan muka air. Penurunan muka air terjadi secara signifikan pada laju kenaikan muka air yang lambat. Lebih lanjut, saluran siphon dapat memiliki efek yang signifikan pada permukaan air tanah ketika mereka dipasang di lereng di mana aliran air tanah cenderung permukaan piezometrik. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengevaluasi pengaruh posisi dan jumlah pengeringan siphon pada pengurangan level air di lereng melalui lab eksperimen dan analisis numerik. 2.5.2 Fundamental Study of the Effect of Water Level Lowering in the Groundwater Drainage Work Utilizing Siphon Jurnal diatas ditulis oleh Adrin Tohari, selaku peneliti geoteknologi LIPI Bandung bersama dengan Takeshi Yamamoto, Yuki Minamiguchi, Keigo Koizumi dari Osaka University Jepang, Mitsuru Komatsu dari Okayama University Jepang dan Kazuhiro Oda dari Osaka Sangyo University Jepang. Jurnal tersebut dipublikasikan pada saat 8th International Conference on Geotechnique, Construction Material and Environment di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 20-22 November 2018. Dalam penelitian ini, penyelidikan ke dalam metode untuk desain metode siphon untuk memastikan stabilitas lereng dilakukan dengan menggunakan eksperimen model lereng dan analisis numerik. Temuan utama adalah: 1. Hubungan kuantitatif antara drainase volume dan level air dapat ditentukan dengan menggunakan gradien ketinggian air dekat pipa siphon. 2. Level air di sisi model di siphon percobaan dapat direproduksi menggunakan 2-D analisis aliran rembesan. 3. Meskipun penelitian ini hanya dilakukan pada tingkat model, jarak siphon yang ideal dan target level air di lubang siphon untuk memastikan stabilitas lereng mampu akurat ditentukan. 2.5.3 Rekayasa Hidraulika Kestabilan Lereng Dengan Sistem Siphon: Studi Kasus Di Daerah Karangsambung, Jawa Tengah Riset dengan judul Rekayasa Hidraulika Kestabilan Lereng Dengan Sistem Siphon: Studi Kasus Di Daerah Karangsambung, Jawa Tengah ditulis oleh Arifan Jaya, Adrin Tohari, Khori Sugiant, Nugroho Aji dan Sunarya Wibowo1 selaku peneliti geoteknologi LIPI Bandung serta Sueno Winduhutomo dari UPT BIKK Karangsambung. 32 Hasil riset tersebut dipublikasikan pada bulan Desember 2014 di Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI. Dari hasil riset tersebut mendapatkan kesimpulan bahwa pendekatan matematis dapat dilakukan untuk analisis balik mengenai parameter/faktor apa yang berubah sehingga mempengaruhi nilai debit siphon. Parameter yang berubah pada penelitian ini ialah nilai koefisien debit. Selang siphon yang awalnya mempunyai nilai kekasaran 0,009 menjadi 0,018 pada Siphon 1 sehingga koefisien debitnya menjadi 0,0589, Siphon 2 menjadi 0,017 sehingga koefisien debitnya 0,0193 dan Siphon 3 menjadi 0,018 yang mengakibatkan koefisien debitnya menjadi 0,0348. Perubahan nilai kekasaran yang membesar mengindikasikan adanya tanah butiran halus yang masuk ke sistem Siphon dan menempel pada dinding selang siphon sehingga menyebabkan diameter berkurang. 2.5.4 A Study on the Siphon Drainage System Jurnal dengan judul penelitian A Study on the Siphon Drainage System ditulis oleh N.Tsukagoshi selaku peneliti sistem perpipaan dan K.Sakaue dari Universitas Meiji, Jepang. Jurnal Penelitian tersebut manghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persimpangan pipa drainase dengan jalan layang dan jalan layang dengan menggunakan pipa fleksibel dengan diameter kecil dan tanpa kemiringan, ruang bawah tanah sebagai tingginya bisa mencapai 150 mm 2. Perlengkapan saluran pipa perangkap Perangkap dengan kekuatan segel besar dapat dibentuk untuk menyedot yang diinduksi dengan menyimpan air pipa drainase fixture. 3. Karakteristik beban buangan kecil Adopsi pipa drainase dengan diameter kecil dan aliran vertikal kecepatan tinggi Teknologi mengurangi aliran beban buangan hingga setengahnya. 4. Sistem tumpukan drainase Dengan menggabungkan teknologi aliran vertikal kecepatan tinggi berdiameter kecil menggunakan nozel vertikal dengan karakteristik beban yang kecil dari tumpukan drainase, sistem stack drainase baru dengan pipa bundar sederhana dapat dibuat, dan kapasitas pemakaian yang sama dengan sistem drainase yang ada dipertahankan tanpa fitting drainase khusus. 33 5. Pengurangan material untuk pipa Menghubungkan pipa drainase secara terpisah dengan perlengkapan individu dapat membawa keluar karakteristik diameter kecil, dan jumlah bahan baku untuk pipa diharapkan untuk turun bahkan jika keseluruhan panjang pipa mungkin lebih panjang dari perpipaan tradisional jaringan. 6. Pengurangan biaya pemeliharaan Kecepatan debit yang lebih tinggi, mengurangi kemungkinan attachment pelumas ke permukaan bagian dalam pipa, sangat memperpanjang siklus pembersihan atau dapat sepenuhnya menghilangkan kebutuhan pembersihan, dan dengan demikian dapat mengurangi biaya perawatan. 7. Integrasi pipa drainase air Sistem drainase dengan pipa drainase fixture yang memiliki diameter kecil dan tidak ada kemiringan mudah diintegrasikan dengan air dan pipa pasokan air panas. Itu membuat perencanaan, merancang, membangun, dan memelihara sistem lebih mudah dengan peningkatan kecakapan untuk pembaruan. 2.5.5 Experience with Drainage and Ground Stabilisation by Siphon Drains in Slovakia Jurnal dengan judul penelitian Experience with Drainage and Ground Stabilisation by Siphon Drains in Slovakia ditulis oleh Ondrej MRVIK dan di publikasikan melalui buku Proceedings of the 5th International Young Geotechnical Engineers Conference pada tahun 2015. Jurnal ini berisi tentang metode inovatif drainase dalam oleh saluran siphon. metode ini merupakan cara drainase yang dalam dari tanah lunak. sistem drainase membuktikan fungsionalitas jangka panjang, kemungkinan untuk mengamati efisiensi aktual, pilihan untuk pemeliharaan rutin dan adaptasi sepanjang masa. Penggunaan drainase siphon dapat menguntungkan karena pengaturan dengan sumur vertikal. sumur yang berorientasi vertikal dapat dengan mudah memotong semua akuifer pada beberapa kedalaman. panjang sumur vertikal drainase siphon minimal dibandingkan dengan panjang sumur subhorizontal konvensional. pengaturan vertikal 34 sumur juga dapat menyelesaikan masalah dengan batas area konstruksi atau batas lain yang diberikan oleh pemilik swasta atau perwakilan negara. Drainase siphon secara otomatis mengurangi cadangan dinamis dari permukaan air tanah di sumur. adalah mungkin untuk mengalirkan cadangan statis yang lebih besar dari air tanah, seperti yang ditunjukkan pada kasus proyek R1. air bisa mengalir secara berkala. meskipun, lebih dari kuantitas air yang dikeringkan, kemiringan air tanah yang benar dipelihara secara permanen di kedalaman yang dirancang di bawah permukaan, adalah kunci untuk masalah stabil pada area yang terkena. pengalaman sebelumnya dengan penerapan drainase siphon di slovakia membuktikan bahwa metode ini memenuhi persyaratan untuk penurunan air tanah jangka panjang di daerah yang terkena dampak stabilitas tanah.