Management Jalan Nafas Disusun oleh : Tri Ulfatul Qurro 01073190179 Dibimbing oleh : dr. Monika Widiastuti, Sp.An KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT UMUM SILOAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE OKTOBER-NOVEMBER 2020 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kemampuan menjaga jalan nafas tetap bebas merupakan ketrampilan yang harus dimiliki dalam mengelola pasien kritis dan untuk melakukan anestesi yang aman. Kesulitan atau kegagalan dalam mengelola jalan nafas merupakan faktor utama morbiditas dan mortalitas akibat tindakan anestesi. Pada penderita gawat darurat menjaga jalan nafas tetap bebas merupakan prioritas utama.1 Kegagalan oksigenasi merupakan pembunuh tercepat. Kematian akibat gangguan jalan nafas biasanya diakibatkan oleh gagal mengetahui kebutuhan jalan nafas tetap bebas, gagal membuka jalan nafas, kekeliruan memasang alat bantu nafas dan posisi berubah, dan aspirasi isi lambung.1 Untuk mencegah tubuh kekurangan oksigen (hipoksia) maka diperlukan jalan nafas yang bebas, pernapasan dan sirkulasi darah yang cukup untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh. Penanganan jalan nafas (airway) menjadi prioritas utama menangani setiap pasien yang akan ditemui pada kasus gawat darurat. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring.2 Kompetensi dalam mengelolaan jalan nafas diperlukan pengetahuan mengenai : 1)Anatomi dan fisiologi jalan nafas, 2)Kemampuan menilai jalan nafas dari pasien dengan melihat gambaran anatomi yang berkolerasi dengan kesulitan mengelola jalan nafas, 3)Ketrampilan pengelolaan jalan nafas, 4)Mengaplikasikan algoritma jalan nafas Anesthesiologhist (ASA).2 2 dari American Society of BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. ANATOMI DAN FISIOLOGI JALAN NAFAS 1. Hidung dan mulut Udara dihangatkan dan dihumidifikasi setelah masuk lubang hidung selama pernafasan normal. Hambatan aliran udara melalui hidung dua kali dibandingkan melalui mulut dan dua pertiga dari total hambatan jalan nafas.1 Pesyarafan rongga mulut dan hidung :3 - N. Olfacturius untuk indra penciuman - N. Trigeminus (N. cranial V) mensyarafi mukosa nasal, palatum, 2/3 lidah anterior. - N. Glossopharyngeal mensyarafi 1/3 posterior lidah dan soft palatine. 2. Faring. Cavum nasi dan cavum oris dihubungkan dengan laring dan oesofagus oleh faring. Faring merupakan musculo fascial tube yang dapat dibagi menjadi nasofaring, oropharing dan hipofaring. Nasofaring dan oropharing dipisahkan oleh palatum; oropharing dan hipofaring oleh epiglottis. Faring diinervasi N. IX (Glossofaringeal) dan N.X (vagus).4,5 Hambatan jalan nafas dapat ditingkatkan oleh pembesaran jaringan limfoid di nasofaring. Lidah penyebab utama hambatan di oropharing. Obstruksi karena lidah diakibatkan oleh relaksasi m.genioglossus selama anestesi atau pada pasien tidak sadar. 2 3. Laring. Laring pada orang dewasa terletak antara vertebra cervical 3 sampai 6. Laring disusun oleh otot, ligament, dan kartilago. Pita suara dibentuk dari ligament tiroaritenoid dan merupakan bagian tersempit pada jalan nafas orang dewasa. Laring diinervasi oleh N.superior laryngeal dan 3 N.recurrent laryngeal yang merupakan percabangan dari N.X (vagus). Hambatan yang sering terjadi karena obstruksi benda asing, laringospasme, oedem mukosa.2 Gambar 1. Anatomi jalan nafas bagian atas.6 4. Trakea Trakea dimulai dari vertebra cervical 6 sampai carina yang ratarata setinggi vertebra thorakal 5. Panjang trakea 10-15cm dan diperkuat oleh 16-20 cincin kartilago. Hambatan jalan nafas yang sering terjadi karena obstruksi benda asing.2 Gambar 2. Saluran pernafasan 4 II. PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS A. Definisi Penatalaksanaan jalan nafas adalah memastikan jalan nafas tetap terbuka dengan dengan tetap memperhatikan kontrol servical. Tujuannya adalah membebaskan jalan nafas untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen tubuh.7 B. Menilai Jalan Nafas Untuk menilai nafas yang tidak adekuat maka seorang penolong harus melakukan: 2 Look : Apakah naik turunnya dinding dada seirama dengan alunan nafas, kesimetrisan pergerakan dinding dada selama pernafasan antara sisi kiri-kanan, paradoksal, kedalaman pernafasan, penggunaan otot bantu pernafasan, retraksi dinding dada, dan distres pernafasan. Perhatikan pula adanya peubahan warna kulit/mukosa kemerahan atau menjadi keabuan atau kebiruan (sianosis). Kesadaran penderita GCS atau AVPU Listen : Suara udara yang masuk dan keluar dari hidung/mulut, apakah bebas, seperti berkumur (gargling), mendengkur (stridor), oedem pita suara atau laring (snooring), tersengal, merintih ataupun mengi. Feel : Rasakan hembusan udara pernafasan. Gambar 3 Look-listen-feel 5 C. Obstruksi Jalan Nafas Hambatan jalan nafas disebabkan berbagai hal, penyebab paling sering adalah obstruksi lidah karena relaksasi M.genioglossus, obstruksi oleh darah atau benda asing dan spasme laring. Hambatan lain dapat berupa spasme bronkus, obstruksi sekret, sembab mukosa, dan aspirasi. Hal tersebut sering terjadi pada pasien tidak sadar.2 Kondisi pasien semakin parah bila tidak segera dilakukan pertolongan jalan nafas bisa terjadi hipoksia, henti nafas atau obstruksi nafas total lebih dari 5 menit bisa mengakibatkan kerusakan otak secara permanen dan henti jantung. Obstruksi parsial harus segera dikoreksi agar tidak menjadi obstruksi total.2 Tanda dan gejala obstruksi saluran nafas dapat dibagi atas empat stadium (Jackson):8 I: Sesak nafas, stridor inspirator retraksi suprasternal; keadaan umum masih baik. II: Gejala stadium I + retraksi epigastrium, penderita masih gelisah. III: Gejala stadium II +retraksi supra / intraklavikular, penderita sangat gelisah dan sianotik. IV: Gejala stadium III+retraksi interkostal, penderita berusaha sekuat tenaga untuk menghirup udara, lama kelamaan terjadi paralisis pusat pernapasan, penderita menjadi apatik dan akhirnya menjadi meninggal. Penyebab gagal napas pada obstruksi saluran napas atas antara lain:7 a. Edema jalan nafas dapat disebabkan infeksi (difteri), reaksi alergi atau akibat instrumentasi (pemasangan pipa endoktrakeal, bronkoskopi) dan trauma tumpul. b. Benda asing c. Tumor, kista laring, papiloma larings, karsinomaa larings, biasa sumbatan terjadi perlahan-lahan d. Trauma daerah larings 6 e. Spasme otot larings tetanus, reaksi emosi f. Kelumpuhan otot abductor pita suara (abductor paralysis) terutama bila bilateral. g. Kelainan congenital: laryngeal web, fistula trakeoesofagus yang meninbulkan laringotrakeomalasia. D. Membersihkan Jalan Nafas Langkah pertama menguasai jalan nafas adalah membersihkan jalan nafas. Pembersihan ini dapat dilakukan secara manual maupun dengan alat suction.2 Gambar 4 Pembersihan secara manual.6 Pembersihan ini dapat dilakukan secara manual a. Gerak jari menyilang b. Gerak jari dibelakang gigi c. Gerak angkat mandibula lidah. Gerak jari di belakang gigi dan gerak angkat mandibula lidah hanya boleh dilakukan padapasien koma untuk menghindari jari penolong tergigit pasien.2 Pembersihan jalan nafas bila ada suara gargling dengan suction. obstruksi dikarenakan sekret, darah, muntahan pasien yang berpotensial aspirasi cairan ke paru-paru. 7 Gambar 5. Y suction catheter 9 Obstruksi total harus segera dibersihkan dan dibebaskan dengan cara Heimlich manuver ini merupakan metode yang paling efektif untuk mengatasi obstruksi saluran pernapasan atas akibat makanan atau benda asing yang terperangkap dalam pharynx posterior atau glottis.10 Tehnik maneuver Heimlich ada beberapa macam, yaitu: a. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) posisi berdiri dan terlentang. Caranya berikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma-abdomen). b. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau duduk. Caranya penolong berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus terpisah dan gerakan yang jelas. Gambar 6 Heimlich maneuver pada orang dewasa 8 c. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak sadar) Caranya korban diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas. Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP). Gambar 7. Manuver Heimlich (pasien tidak sadar) E. Membebaskan Jalan Nafas Tanpa Alat Obstruksi karena lidah jatuh ke belakang dapat diatasi tanpa alat dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Neck lift dan head tilt tidak boleh dilakukan pada pasien trauma untuk menghindari bertambahnya trauma pada vertebra cervical. Cara yang paling aman adalah jaw thrust. Apabila chin lift atau jaw thrust belum membebaskan jalan nafas maka dapat dibantu dengan alat. Menurut The Commite on Trauma: American College of Surgeon (Yayasan Essentia Medica, 1983: 20; Hendrotomo, 1986: 497) tindakan paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan, yaitu dengan cara triple maneuver. 9 Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu Chin Lift maneuver (tindakan mengangkat dagu); Jaw thrust maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah); Head Tilt maneuver (tindakan menekan dahi). Gambar 9. Triple manuver 9 Ada beberapa cara untuk membuka jalan nafas bebas: 7 1) Head tilt Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermitten. 2) Chin lift Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal. 10 Gambar 10. Chin lift dan Head tilt 3) Jaw trust Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila. Gambar 11. Jaw Thrust 4) Back blow (untuk bayi) Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae). 11 Gambar 12. Back blow 5) Chest trust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil) Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan Gambar 13. Chest Thrust F. Membebaskan Jalan Nafas dengan Alat Intubasi trakea hanya yang berpengalaman yang boleh melakukan intubasi. Pada kondisi gawat darurat jalan nafas merupakan komponaen yang paling penting dan menjadi prioritas utama dalam penanganannya.8 Indikasi utama intubasi trakea pada situasi gawat darurat adalah : • Koreksi hipoksia atau hiperkarbia • Mencegah ancaman hipoventilasi • Mempertahankan patensi jalan 12 • Jalan untuk pemberian obat – obatan emergensi seperti lidokain, atropin, nalokson, epinefrin. Untuk mempermudah dan agar tidak ada alat yang terlewatkan maka dibuatlah singkatan untuk persiapan alat yaitu: "S T A T I C S' S (scope) Scope terdiri dari laringoskop dan stetoskop. Berdasarkan bentuk bilahnya terdapat dua macam laringoskop dengan berbagi ukuran yaitu bilah yang melengkung (macintosh) dan bilah yang lurus (magil). Stetoskop digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap penempatan dan kedalaman ETT. T (tube) ETT tersedia dalam berbagai jenis dan ukuran. Pemilihan yang tepat berdasarkan umur dan jenis kelamin, biasanya wanita memiliki ukuran trakea yang lebih kecil dari laki-laki. Rumus yang dapt digunakan untuk anak-anak adalah 4+ (umur dalam tahun / 4) atau secara sederhana dapat dilihat ukuran dari jari kelingking pasien. Ukuran untuk pasien laki-laki dewasa adalah 7,5 – 8 sedangkan untuk wanita 7 – 7,5. A (airway) Segala peralatan yang digunakan untuk membuka dan mengamankan jalan nafas sementara harus disiapkan seperti orofaringeal (OPA/guedel/mayo) dan nasofaringeal airway (NPA). Ukuran guedel atau NPA disesuaikan dengan ukuran jalan nafas. Panjangnya guedel yang dibutuhkan diukur jarak dari sudut bibir sampai kebagian depan liang telinga. T (Tape) Tape atau plester berguna untuk melakukan fiksasi. I (Introducer) Introducer digunakan untuk membantu intubasi. Alat yang biasa digunakan adalah mandarin yaitu kawat yang bisa dimasukkan kedalam ETT. Alat lain adalah Klem magil berupa klem. C (Conector) 13 Merupakan a!at untuk menghubungkan ETT dengan alat lainnya yaitu baging, ventilator. S (Suction) Suction lengkap dengan kateter suction digunakan untuk menghisap lendir, secret ataupun darah yang berada di dalam rongga faring dan menghalangi pandangan. Tindakan laringoskopi dapat mengakibatkan trauma jalan nafas jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Cedera pada bibir, atau gigi patah merupakan kejadian yang sering terjadi. Tindakan laringoskopi merupakan tindakan yang menyakitkan, untuk itu perlu diberikan analgetik atau anastetik lokal, jika nyeri ini terjadi maka dapat mengakibatkan gangguan irama jantung sampai henti jantung. Tindakan intubasi juga mempunyai komplikasi ringan sampai berat yang dapat membahayakan nyawa pasien. Edema pada pita suara yang mengakibatkan nyeri dan suara serak, ETT yang didorong terlalu dalam sehingga masuk ke bronkus sebelah kanan dapat mengakibatkan hipoksia dan hiperkarbia. Begitupula ETT yang masuk kedalam esophagus menyebabkan distensi lambung sampai perforasi, hipoksia dan hiperkarbia. Intubasi Trakea 1) Orofaringeal Airway 1,12, 13 Pada pasien yang tidak sadar, obstruksi terjadi akibat Ketidakmampuan untuk mempertahankan tonus lidah sehingga akan Jatuh menutupi jalan nafas. Orofaringeal airway/gudel/mayo dapat menahan lidah pada posisi yang seharusnya. Cara memasukkan guedel adalah dengan memasukkan pada posisi lengkungnya menghadapi ke atas sampai menyentuh palatum kemudian diputar 1800 sambil didorong. Memprediksi potensi kesulitan melakukan laringoskopi dan intubasi, yaitu dengan LEMON : 9 14 • Look (airway, facial, neck trauma, 3rd trimester pregnancy, obesity) • Evaluate (small mouth, receding jaw, short neck) • Manual inline stabilitation • Obstruksi • Neck Mobility Memprediksi potensi kesulitan melakukan laringoskopi dan intubasi, yaitu dengan Visualisasi dari orofaring yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.2 Klasifikasi Mallampati : • Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil • Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula • Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula • Mallampati 4 : Palatum durum saja 15 ET (Endhotacheal Tube) dilakukan bila : 1)Cara lain untuk airway gagal, 2)Sukar memberikan nafas buatan, 3)Resiko aspirasi paru besar, 4)Mencegah pCO2 meningkat, 5)GCS <8. 2 Resiko pemasangan ET hipoksia akibat spasme pita suara, TD meningkat, aritmia bradikardia sampe asistole, peningkatan TIK, idealnya ET menggunakan obat pelumpuh otot.2 Gambar 14. Orofaringeal Ukuran 2 (hijau) : Dewasa kecil Ukuran 3 (orange) : Rata-rata orang dewasa Ukuran 4 (merah) : Dewasa besar. 16 Gambar 14. Cara pemasangan Orofaringeal 9 Ukur dengan cara tempelkan Oroparingal Airway pada pipi. Lalu ukur dari cuping mulut sampai dengan cuping telinga (lobulus). 2) Nasofaringeal airway 2, 12, 13 Nasofaringeal airway terbuat dari karet atau plastic yang lembut yang dimasukkan melalui lubang hidung dan diteruskan sampai faring posterior. Nasofaringeal tidak merangsang muntah, digunakan pada pasien tidak sadar atau setengah sadar. Komplikasi pemasangan NPA adalah epistaksis, aspirasi, laringospasme dan masuk ke esophagus. 17 Gambar 15. Nasopharyngeal airway 9 Gambar 16. Macam-macam ukuran nasofaringeal airway Secara umum teknik pemnsangan Naso Pharingeal Airway (NPA) ini adalah sebagai berikut : 12 a. Pilih ukuran NPA yang sesuai : (diameter interna) Dewasa : wanita 6 mm dan laki-laki 7mm. Panjang NPA diukur dari lubang hidung sampai dengan cuping telinga dan diameter NPA diukur dengan menbandingkan NPA dengan jari kelingking pasien b. Lumasi NPA dengan jelly agar mudah memasukakannya, selanjutnya NPA dimasukkan kelubang hidung sebelah kanan, dengan menyusuri dinding septum sampai dengan ukuran yang 18 ditentukan, apabila ada tahanan NPA ditarik kembali dan dicoba dimasukan kembali. Bila tidak berhasil bisa dicoba dilubang hidung sebelah kiri, dan jangan memksa memasukan NPA apabila ada terdapat tahanan. c. Hati-hati pemasangan NPA pada kecurigaan Fraktur basis kranii, karena ada kemungkinan masuk ke rongga tengkorak. 3) Laryngeal mask airway (LMA) 2, 9, 13 Alat ini dimasukkan kemulut sampai dengan faring kemudian cuffnya diisi udara sehingga akan terjadi seal. Berbeda dengan ETT alat ini tidak masuk ke dalam trakea hanya ada lubang pipa nafas di depan glotis/pita suara. Gambar 17. LMA 9 Gambar 18. Pemasangan LMA 2 19 Tabel 1 Perkiraan ukuran LMA berdasarkan berat pasien. Ukuran LMA 1 1,5 2 2,5 3 4 5 Berat Badan ( kg ) < 5 5 - 10 10 - 20 20 - 30 30 - 50 50 - 70 70 - 100 Volume Inflasi Cuff (ml ) 4 7 10 14 20 30 40 4) Kombitube (oesofageal – trakeal double lumen airway) Alat ini merupakan kombinasi dari dua pipa, satu untuk esofagus dan yang satunya untuk trakea. Dimasukkan secara blind ke dalam esofagus dan kemudian balon udara dikembangkan.8 5) Krikotiroidotomi Merupakan upaya emergensi untuk membypass sumbatan dengan cara membuat lubang pada membrana krikoid. Dalam keadaan emergensi dapat dilakukan penusukan di membran krikoid dengan menggunakan Abocath no 14. Gambar 19. krikotiroidotomi 2 6) Trakeostomi Trakeostomi dilakukan jika tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi. Merupakan upaya bypass jalan nafas dengan membuat lubang secara langsung pada cincin trakea. 20 DAFTAR PUSTAKA 1. Stoelting RK.Airway Management. In : Stoelting RK , Miller RD. Basics of anesthesia .5th. ed. Philadelphia : Churchill Livingstones , 2007 : 207 – 39. 2. Soenarjo, Heru DJ. Pengelolaan jalan nafas dalam: Anestesiologi. Semarang: bagian anestesiologi dan terapi intensif FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi. 2010. 185-195. 3. Willson W.C,Bemenof J.L. Respiratory physiology and respiratory function during anesthesia. In : Miller RD. Miller’s Anesthesia. 9th ed. Philadelphia : Churchill Livingstones, 2005 : 679-718 4. Ellis H , Feldman S , Griffiths WH. The respiratory pathway. In : Anatomy for anaesthetists. 8th ed. Massachusetts : Blackwell Publishing , 2004 : 10 – 55. 5. Barash P , Cullen BF , Stoelting RK. Airway management. In : BarashP. ed. Clinical anesthesia. 4th ed. Philadelpia : Lippincott Williams & Wilkins , 2001 : 441 – 66. 6. Morgan GE , Mikhail MS , Murray MJ. Airway management. In : Morgan GE.ed. Clinical anesthesiology . 4th ed. Philadelpia : McGraw-Hill Companies , 2006. 7. Pusbankes 118. Pengelolaan jalan nafas (airway) dan pernapasan (breathing) dalam: Penaggulangan penderita gawat darurat (PPGD) dan basic life support plus (BLS), 2008: 16-30. 8. Barmawi, agus. basic life support. Yogjakarta :RSUP Dr. Sardjito yogjakarta, 2008. 9. Clinical practice procedure – Airway Management. Version 1.0 September 2011. 10. The Committee on Trauma: American College of Surgeon (Yayasan Essentia Medica) 1983: 22 11. PERKI. Buku Panduan Kursus Bantuan Jantung Lanjut. ACLS. Edisi 2013 12. Mulryan C. acute illness management. Sage publication; 2011 13. American Society of Anesthesiologists. Practice Guidelines for Management of the Difficult airway An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway. Anesthesiology, V 118 • No 2 1 February 2013. 21