Uploaded by ninu.setyaji94

Management-Airway

advertisement
Management Jalan Nafas
Disusun oleh :
Tri Ulfatul Qurro
01073190179
Dibimbing oleh :
dr. Monika Widiastuti, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI
INTENSIF SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT
UMUM SILOAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA
HARAPAN PERIODE OKTOBER-NOVEMBER 2020
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kemampuan menjaga jalan nafas tetap bebas merupakan ketrampilan yang
harus dimiliki dalam mengelola pasien kritis dan untuk melakukan anestesi yang
aman. Kesulitan atau kegagalan dalam mengelola jalan nafas merupakan faktor
utama morbiditas dan mortalitas akibat tindakan anestesi. Pada penderita gawat
darurat menjaga jalan nafas tetap bebas merupakan prioritas utama.1
Kegagalan oksigenasi merupakan pembunuh tercepat. Kematian akibat
gangguan jalan nafas biasanya diakibatkan oleh gagal mengetahui kebutuhan jalan
nafas tetap bebas, gagal membuka jalan nafas, kekeliruan memasang alat bantu
nafas dan posisi berubah, dan aspirasi isi lambung.1
Untuk mencegah tubuh kekurangan oksigen (hipoksia) maka diperlukan
jalan nafas yang bebas, pernapasan dan sirkulasi darah yang cukup untuk
membawa oksigen ke seluruh tubuh. Penanganan jalan nafas (airway) menjadi
prioritas utama menangani setiap pasien yang akan ditemui pada kasus gawat
darurat. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan
dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran,
maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring.2
Kompetensi dalam mengelolaan jalan nafas diperlukan pengetahuan
mengenai : 1)Anatomi dan fisiologi jalan nafas, 2)Kemampuan menilai jalan
nafas dari pasien dengan melihat gambaran anatomi yang berkolerasi dengan
kesulitan mengelola jalan nafas, 3)Ketrampilan pengelolaan jalan nafas,
4)Mengaplikasikan
algoritma
jalan
nafas
Anesthesiologhist (ASA).2
2
dari
American
Society
of
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
ANATOMI DAN FISIOLOGI JALAN NAFAS
1. Hidung dan mulut
Udara dihangatkan dan dihumidifikasi setelah masuk lubang
hidung selama pernafasan normal. Hambatan aliran udara melalui hidung
dua kali dibandingkan melalui mulut dan dua pertiga dari total hambatan
jalan nafas.1
Pesyarafan rongga mulut dan hidung :3
-
N. Olfacturius untuk indra penciuman
-
N. Trigeminus (N. cranial V) mensyarafi mukosa nasal, palatum, 2/3
lidah anterior.
-
N. Glossopharyngeal mensyarafi 1/3 posterior lidah dan soft palatine.
2. Faring.
Cavum nasi dan cavum oris dihubungkan dengan laring dan
oesofagus oleh faring. Faring merupakan musculo fascial tube yang dapat
dibagi menjadi nasofaring, oropharing dan hipofaring. Nasofaring dan
oropharing dipisahkan oleh palatum; oropharing dan hipofaring oleh
epiglottis. Faring diinervasi N. IX (Glossofaringeal) dan N.X (vagus).4,5
Hambatan jalan nafas dapat ditingkatkan oleh pembesaran jaringan
limfoid di nasofaring. Lidah penyebab utama hambatan di oropharing.
Obstruksi karena lidah diakibatkan oleh relaksasi m.genioglossus selama
anestesi atau pada pasien tidak sadar. 2
3. Laring.
Laring pada orang dewasa terletak antara vertebra cervical 3
sampai 6. Laring disusun oleh otot, ligament, dan kartilago. Pita suara
dibentuk dari ligament tiroaritenoid dan merupakan bagian tersempit pada
jalan nafas orang dewasa. Laring diinervasi oleh N.superior laryngeal dan
3
N.recurrent laryngeal yang merupakan percabangan dari N.X (vagus).
Hambatan
yang
sering
terjadi
karena
obstruksi
benda
asing,
laringospasme, oedem mukosa.2
Gambar 1. Anatomi jalan nafas bagian atas.6
4. Trakea
Trakea dimulai dari vertebra cervical 6 sampai carina yang ratarata setinggi vertebra thorakal 5. Panjang trakea 10-15cm dan diperkuat
oleh 16-20 cincin kartilago. Hambatan jalan nafas yang sering terjadi
karena obstruksi benda asing.2
Gambar 2. Saluran pernafasan
4
II.
PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS
A. Definisi
Penatalaksanaan jalan nafas adalah memastikan jalan nafas tetap
terbuka dengan dengan tetap memperhatikan kontrol servical. Tujuannya
adalah membebaskan jalan nafas untuk menjamin jalan masuknya udara
ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen tubuh.7
B. Menilai Jalan Nafas
Untuk menilai nafas yang tidak adekuat maka seorang penolong harus
melakukan:
2
Look : Apakah naik turunnya dinding dada seirama dengan alunan nafas,
kesimetrisan pergerakan dinding dada selama pernafasan antara
sisi kiri-kanan, paradoksal, kedalaman pernafasan, penggunaan
otot bantu pernafasan, retraksi dinding dada, dan distres
pernafasan. Perhatikan pula adanya peubahan warna kulit/mukosa
kemerahan atau menjadi keabuan atau kebiruan (sianosis).
Kesadaran penderita GCS atau AVPU
Listen : Suara udara yang masuk dan keluar dari hidung/mulut, apakah
bebas, seperti berkumur (gargling), mendengkur (stridor), oedem
pita suara atau laring (snooring), tersengal, merintih ataupun
mengi.
Feel : Rasakan hembusan udara pernafasan.
Gambar 3 Look-listen-feel
5
C. Obstruksi Jalan Nafas
Hambatan jalan nafas disebabkan berbagai hal, penyebab paling
sering adalah obstruksi lidah karena relaksasi M.genioglossus, obstruksi
oleh darah atau benda asing dan spasme laring. Hambatan lain dapat
berupa spasme bronkus, obstruksi sekret, sembab mukosa, dan aspirasi.
Hal tersebut sering terjadi pada pasien tidak sadar.2
Kondisi pasien semakin parah bila tidak segera dilakukan
pertolongan jalan nafas bisa terjadi hipoksia, henti nafas atau obstruksi
nafas total lebih dari 5 menit bisa mengakibatkan kerusakan otak secara
permanen dan henti jantung. Obstruksi parsial harus segera dikoreksi agar
tidak menjadi obstruksi total.2
Tanda dan gejala obstruksi saluran nafas dapat dibagi atas empat
stadium (Jackson):8
I:
Sesak nafas, stridor inspirator retraksi suprasternal; keadaan
umum masih baik.
II:
Gejala stadium I + retraksi epigastrium, penderita masih gelisah.
III:
Gejala stadium II +retraksi supra / intraklavikular, penderita
sangat gelisah dan sianotik.
IV:
Gejala stadium III+retraksi interkostal, penderita berusaha
sekuat tenaga untuk
menghirup udara, lama kelamaan
terjadi paralisis pusat pernapasan, penderita
menjadi apatik
dan akhirnya menjadi meninggal.
Penyebab gagal napas pada obstruksi saluran napas atas antara lain:7
a. Edema jalan nafas dapat disebabkan infeksi (difteri), reaksi alergi
atau
akibat
instrumentasi
(pemasangan
pipa
endoktrakeal,
bronkoskopi) dan trauma tumpul.
b. Benda asing
c. Tumor, kista laring, papiloma larings, karsinomaa larings, biasa
sumbatan terjadi perlahan-lahan
d. Trauma daerah larings
6
e. Spasme otot larings tetanus, reaksi emosi
f. Kelumpuhan otot abductor pita suara (abductor paralysis) terutama
bila bilateral.
g. Kelainan congenital: laryngeal web, fistula trakeoesofagus yang
meninbulkan laringotrakeomalasia.
D. Membersihkan Jalan Nafas
Langkah pertama menguasai jalan nafas adalah membersihkan jalan
nafas. Pembersihan ini dapat dilakukan secara manual maupun dengan alat
suction.2
Gambar 4 Pembersihan secara manual.6
Pembersihan ini dapat dilakukan secara manual
a.
Gerak jari menyilang
b.
Gerak jari dibelakang gigi
c.
Gerak angkat mandibula lidah.
Gerak jari di belakang gigi dan gerak angkat mandibula lidah
hanya boleh dilakukan padapasien koma untuk menghindari jari
penolong tergigit pasien.2
Pembersihan jalan nafas bila ada suara gargling dengan suction.
obstruksi dikarenakan sekret, darah, muntahan pasien yang berpotensial
aspirasi cairan ke paru-paru.
7
Gambar 5. Y suction catheter 9
Obstruksi total harus segera dibersihkan dan dibebaskan dengan
cara Heimlich manuver ini merupakan metode yang paling efektif untuk
mengatasi obstruksi saluran pernapasan atas akibat makanan atau benda
asing yang terperangkap dalam pharynx posterior atau glottis.10
Tehnik maneuver Heimlich ada beberapa macam, yaitu:
a. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) posisi berdiri dan terlentang.
Caranya berikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah
subdiafragma-abdomen).
b. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau
duduk.
Caranya penolong berdiri di belakang korban, lingkari pinggang
korban dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu
tangan dan letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban,
sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum. Pegang erat
kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan tangan ke
perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus
terpisah dan gerakan yang jelas.
Gambar 6 Heimlich maneuver pada orang dewasa
8
c. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak
sadar)
Caranya korban diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke
atas. Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu
tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan
jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua diletakkan di atas
tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan hentakan
yang cepat ke arah atas.
Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi
terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung
melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Gambar 7. Manuver Heimlich (pasien tidak sadar)
E. Membebaskan Jalan Nafas Tanpa Alat
Obstruksi karena lidah jatuh ke belakang dapat diatasi tanpa alat
dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Neck lift dan head tilt tidak
boleh dilakukan pada pasien trauma untuk menghindari bertambahnya
trauma pada vertebra cervical. Cara yang paling aman adalah jaw thrust.
Apabila chin lift atau jaw thrust belum membebaskan jalan nafas maka
dapat dibantu dengan alat.
Menurut The Commite on Trauma: American College of Surgeon
(Yayasan Essentia Medica, 1983: 20; Hendrotomo, 1986: 497) tindakan
paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang
saluran pernapasan, yaitu dengan cara triple maneuver.
9
Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu Chin
Lift maneuver (tindakan mengangkat dagu); Jaw thrust maneuver
(tindakan mengangkat sudut rahang bawah); Head Tilt maneuver (tindakan
menekan dahi).
Gambar 9. Triple manuver 9
Ada beberapa cara untuk membuka jalan nafas bebas: 7
1) Head tilt
Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah
leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain
diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke
belakang.
Posisi
ini
dipertahankan
sambil
berusaha
dengan
memberikan inflasi bertekanan positif secara intermitten.
2) Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang
kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke
arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir
bawah untuk membuka mulut.
Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah
patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinal.
10
Gambar 10. Chin lift dan Head tilt
3) Jaw trust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada
angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada
pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada
mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila.
Gambar 11. Jaw Thrust
4) Back blow (untuk bayi)
Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas
tidak efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras
pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang
punggung/vertebrae).
11
Gambar 12. Back blow
5) Chest trust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)
Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada
dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis
imajinasi antara kedua putting susu pasien). Bila penderita sadar,
tidurkan terlentang, lakukan chest thrust, tarik lidah apakah ada benda
asing, beri nafas buatan
Gambar 13. Chest Thrust
F. Membebaskan Jalan Nafas dengan Alat
Intubasi trakea hanya yang berpengalaman yang boleh melakukan
intubasi. Pada kondisi gawat darurat jalan nafas merupakan komponaen
yang paling penting dan menjadi prioritas utama dalam penanganannya.8
Indikasi utama intubasi trakea pada situasi gawat darurat adalah :
•
Koreksi hipoksia atau hiperkarbia
•
Mencegah ancaman hipoventilasi
•
Mempertahankan patensi jalan
12
•
Jalan untuk pemberian obat – obatan emergensi seperti lidokain,
atropin, nalokson, epinefrin.
Untuk mempermudah dan agar tidak ada alat yang terlewatkan
maka dibuatlah singkatan untuk persiapan alat yaitu: "S T A T I C S'
S (scope)
Scope terdiri dari laringoskop dan stetoskop. Berdasarkan bentuk
bilahnya terdapat dua macam laringoskop dengan berbagi ukuran yaitu
bilah yang melengkung (macintosh) dan bilah yang lurus (magil).
Stetoskop
digunakan
untuk
melakukan
evaluasi
terhadap
penempatan dan kedalaman ETT.
T (tube)
ETT tersedia dalam berbagai jenis dan ukuran. Pemilihan yang tepat
berdasarkan umur dan jenis kelamin, biasanya wanita memiliki ukuran
trakea yang lebih kecil dari laki-laki. Rumus yang dapt digunakan untuk
anak-anak adalah 4+ (umur dalam tahun / 4) atau secara sederhana dapat
dilihat ukuran dari jari kelingking pasien. Ukuran untuk pasien laki-laki
dewasa adalah 7,5 – 8 sedangkan untuk wanita 7 – 7,5.
A (airway)
Segala
peralatan
yang
digunakan
untuk
membuka
dan
mengamankan jalan nafas sementara harus disiapkan seperti orofaringeal
(OPA/guedel/mayo) dan nasofaringeal airway (NPA). Ukuran guedel
atau NPA disesuaikan dengan ukuran jalan nafas. Panjangnya guedel
yang dibutuhkan diukur jarak dari sudut bibir sampai kebagian depan
liang telinga.
T (Tape)
Tape atau plester berguna untuk melakukan fiksasi.
I (Introducer)
Introducer digunakan untuk membantu intubasi. Alat yang biasa
digunakan adalah mandarin yaitu kawat yang bisa dimasukkan
kedalam ETT. Alat lain adalah Klem magil berupa klem.
C (Conector)
13
Merupakan a!at untuk menghubungkan ETT dengan alat lainnya
yaitu baging, ventilator.
S (Suction)
Suction lengkap dengan kateter suction digunakan untuk
menghisap lendir, secret ataupun darah yang berada di dalam
rongga faring dan menghalangi pandangan.
Tindakan laringoskopi dapat mengakibatkan trauma jalan nafas jika
tidak dilakukan dengan hati-hati. Cedera pada bibir, atau gigi patah
merupakan kejadian yang sering terjadi. Tindakan laringoskopi
merupakan tindakan yang menyakitkan, untuk itu perlu diberikan
analgetik atau anastetik lokal, jika nyeri ini terjadi maka dapat
mengakibatkan gangguan irama jantung sampai henti jantung.
Tindakan intubasi juga mempunyai komplikasi ringan sampai berat
yang dapat membahayakan nyawa pasien. Edema pada pita suara yang
mengakibatkan nyeri dan suara serak, ETT yang didorong terlalu dalam
sehingga masuk ke bronkus sebelah kanan dapat mengakibatkan
hipoksia dan hiperkarbia. Begitupula ETT yang masuk kedalam
esophagus menyebabkan distensi lambung sampai perforasi, hipoksia
dan hiperkarbia.
Intubasi Trakea
1) Orofaringeal Airway 1,12, 13
Pada pasien yang tidak sadar, obstruksi terjadi akibat
Ketidakmampuan untuk mempertahankan tonus lidah sehingga akan
Jatuh menutupi jalan nafas. Orofaringeal airway/gudel/mayo dapat
menahan lidah pada posisi yang seharusnya. Cara memasukkan
guedel adalah dengan memasukkan pada posisi lengkungnya
menghadapi ke atas sampai menyentuh palatum kemudian diputar
1800 sambil didorong.
Memprediksi potensi kesulitan melakukan laringoskopi dan
intubasi, yaitu dengan LEMON : 9
14
•
Look
(airway, facial, neck trauma, 3rd trimester pregnancy,
obesity)
•
Evaluate
(small mouth, receding jaw, short neck)
•
Manual inline stabilitation
•
Obstruksi
•
Neck Mobility
Memprediksi potensi kesulitan melakukan laringoskopi dan
intubasi, yaitu dengan Visualisasi dari orofaring yang paling sering
diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi.
Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien duduk
membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.2
Klasifikasi Mallampati :
•
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior
oropharing, pilar tonsil
•
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding
posterior uvula
•
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
•
Mallampati 4 : Palatum durum saja
15
ET (Endhotacheal Tube) dilakukan bila : 1)Cara lain untuk
airway gagal, 2)Sukar memberikan nafas buatan, 3)Resiko aspirasi
paru besar, 4)Mencegah pCO2 meningkat, 5)GCS <8. 2
Resiko pemasangan ET hipoksia akibat spasme pita suara, TD
meningkat, aritmia bradikardia sampe asistole, peningkatan TIK,
idealnya ET menggunakan obat pelumpuh otot.2
Gambar 14. Orofaringeal
Ukuran 2 (hijau)
: Dewasa kecil
Ukuran 3 (orange) : Rata-rata orang dewasa
Ukuran 4 (merah) : Dewasa besar.
16
Gambar 14. Cara pemasangan Orofaringeal 9
Ukur dengan cara tempelkan Oroparingal Airway pada pipi.
Lalu ukur dari cuping mulut sampai dengan cuping telinga (lobulus).
2) Nasofaringeal airway 2, 12, 13
Nasofaringeal airway terbuat dari karet atau plastic yang
lembut yang dimasukkan melalui lubang hidung dan diteruskan
sampai faring posterior. Nasofaringeal tidak merangsang muntah,
digunakan pada pasien tidak sadar atau setengah sadar. Komplikasi
pemasangan NPA adalah epistaksis, aspirasi, laringospasme dan
masuk ke esophagus.
17
Gambar 15. Nasopharyngeal airway 9
Gambar 16. Macam-macam ukuran nasofaringeal airway
Secara umum teknik pemnsangan Naso Pharingeal Airway
(NPA) ini adalah sebagai berikut : 12
a. Pilih ukuran NPA yang sesuai : (diameter interna)
Dewasa : wanita 6 mm dan laki-laki 7mm.
Panjang NPA diukur dari lubang hidung sampai dengan cuping
telinga dan diameter NPA diukur dengan menbandingkan NPA
dengan jari kelingking pasien
b. Lumasi NPA dengan jelly agar mudah memasukakannya,
selanjutnya NPA dimasukkan kelubang hidung sebelah kanan,
dengan menyusuri dinding septum sampai dengan ukuran yang
18
ditentukan, apabila ada tahanan NPA ditarik kembali dan dicoba
dimasukan kembali. Bila tidak berhasil bisa dicoba dilubang
hidung sebelah kiri, dan jangan memksa memasukan NPA apabila
ada terdapat tahanan.
c. Hati-hati pemasangan NPA pada kecurigaan Fraktur basis kranii,
karena ada kemungkinan masuk ke rongga tengkorak.
3) Laryngeal mask airway (LMA) 2, 9, 13
Alat ini dimasukkan kemulut sampai dengan faring kemudian
cuffnya diisi udara sehingga akan terjadi seal. Berbeda dengan
ETT alat ini tidak masuk ke dalam trakea hanya ada lubang pipa
nafas di depan glotis/pita suara.
Gambar 17. LMA 9
Gambar 18. Pemasangan LMA 2
19
Tabel 1 Perkiraan ukuran LMA berdasarkan berat pasien.
Ukuran LMA
1
1,5
2
2,5
3
4
5
Berat Badan ( kg )
< 5
5 - 10
10 - 20
20 - 30
30 - 50
50 - 70
70 - 100
Volume Inflasi Cuff (ml )
4
7
10
14
20
30
40
4) Kombitube (oesofageal – trakeal double lumen airway)
Alat ini merupakan kombinasi dari dua pipa, satu untuk esofagus
dan yang satunya untuk trakea. Dimasukkan secara blind ke dalam
esofagus dan kemudian balon udara dikembangkan.8
5) Krikotiroidotomi
Merupakan upaya emergensi untuk membypass sumbatan
dengan cara membuat lubang pada membrana krikoid. Dalam keadaan
emergensi dapat dilakukan penusukan di membran krikoid dengan
menggunakan Abocath no 14.
Gambar 19. krikotiroidotomi 2
6) Trakeostomi
Trakeostomi
dilakukan
jika
tidak
memungkinkan
untuk
dilakukan intubasi. Merupakan upaya bypass jalan nafas dengan
membuat lubang secara langsung pada cincin trakea.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Stoelting RK.Airway Management. In : Stoelting RK , Miller RD. Basics of
anesthesia .5th. ed. Philadelphia : Churchill Livingstones , 2007 : 207 – 39.
2. Soenarjo, Heru DJ. Pengelolaan jalan nafas dalam: Anestesiologi. Semarang:
bagian anestesiologi dan terapi intensif FK UNDIP/ RSUP Dr. Kariadi. 2010.
185-195.
3. Willson W.C,Bemenof J.L. Respiratory physiology and respiratory function
during anesthesia. In : Miller RD. Miller’s Anesthesia. 9th ed. Philadelphia :
Churchill Livingstones, 2005 : 679-718
4. Ellis H , Feldman S , Griffiths WH. The respiratory pathway. In : Anatomy for
anaesthetists. 8th ed. Massachusetts : Blackwell Publishing , 2004 : 10 – 55.
5. Barash P , Cullen BF , Stoelting RK. Airway management. In : BarashP. ed.
Clinical anesthesia. 4th ed. Philadelpia : Lippincott Williams & Wilkins , 2001
: 441 – 66.
6. Morgan GE , Mikhail MS , Murray MJ. Airway management. In : Morgan
GE.ed. Clinical anesthesiology . 4th ed. Philadelpia : McGraw-Hill Companies
, 2006.
7. Pusbankes 118. Pengelolaan jalan nafas (airway) dan pernapasan (breathing)
dalam: Penaggulangan penderita gawat darurat (PPGD) dan basic life support
plus (BLS), 2008: 16-30.
8. Barmawi, agus. basic life support. Yogjakarta :RSUP Dr. Sardjito yogjakarta,
2008.
9. Clinical practice procedure – Airway Management. Version 1.0 September
2011.
10. The Committee on Trauma: American College of Surgeon (Yayasan Essentia
Medica) 1983: 22
11. PERKI. Buku Panduan Kursus Bantuan Jantung Lanjut. ACLS. Edisi 2013
12. Mulryan C. acute illness management. Sage publication; 2011
13. American Society of Anesthesiologists. Practice Guidelines for Management
of the Difficult airway An Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway.
Anesthesiology, V 118 • No 2 1 February 2013.
21
Download