Uploaded by User80255

budaya

advertisement
Domestic Case Study 2018
Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta
Upacara Rasulan sebagai Atraksi Wisata Budaya
di Kabupaten Gunung Kidul
Tri Linawati
1702701
Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta
1.Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dalam banyak aspek, tidak hanya kaya
akan alamnya tetapi juga kaya akan kebudayaan [1]. Setiap unit kecil dari tiap-tiap wilayah
negara Indonesia memiliki keunikan budaya sendiri-sendiri. Tak heran jika Indonesia mendapat
julukan Negara Multi-Cultural [2,3]. Pembahasan akan kebudayaan negara Indonesia seolah
tidak ada habisnya. Hal ini dikarenakan setiap wilayah tidak hanya memiliki satu kebudayaan
saja tetapi memiliki banyak kebudayaan yang sangat menarik.
Pariwisata merupakan sektor industri yang besar dan terus mengalami perkembangan
juga tidak bisa lepas dari kebudayaan yang ada di masing-masing wilayah [4,5]. Tak dipungkiri
bahwa kebudayaan yang berkembang di masyarakat juga merupakan bagian penting dari
industri pariwisata. Pariwisata tidak hanya sekedar menjual tempat wisata tetapi juga menjual
atraksi wisata berupa atraksi budaya yang memberikan daya tarik tersendiri kepada wisatawan
[6].
Gunung kidul merupakan satu dari daerah yang ada di negara Indonesia yang juga kaya
akan kebudayaan menarik. Mulai dari upacara adat, tari tradisional, pertunjukan kesenian dan
lain sebagainya. Upacara adat yang ada di daerah ini unik dan tidak hanya sekedar upacara adat.
Salah satu upacara adat yang masih lestari hingga sekarang adalah upacara Rasulan.
Pada hari Jumat – Sabtu tanggal 12-13 Januari 2018 , mahasiswa mahasiswi StiPram
Yogyakarta baik dari jenjang Diploma 3 maupun Strata 1 mengikuti kegiatan Jamboree
Nasional dengan tema Seminar Alam di Bumi Perkemahan Kaliurang, dalam seminar ini para
narasumber membagi atau memberikan materi beserta pengalaman mereka dalam hal
Responsible Tourism: Pariwisata Berbasis Lingkungan. Dan materi yang diberikan tersebut
digunakan penulis sebagai bahan penyusunan jurnal Akademik [7].
Pada kegiatan Seminar Nasional tersebut dihadiri oleh 3 narasumber yaitu :
1. Bapak Prof. Dr. M. Baiquni, M.A sebagai pembicara 1.
2. Bapak Prof. Azril Azhari sebagai pembicara 2 yang menjabat sebagai ketua umum Ikatan
Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) denagan tema Responsible Tourism: Pariwisata
berbasis Lingkungan.
3. Ibu AKBP Sinungwati, S.H., M.IP., sebagai pembicara 3 yang saat ini menduduki jabatan
sebagai Kasubdit Bintibluh Ditbinmas Polda DIY.
Salah satu upacara adat yang bukan sekedar upacara melainkan upacara yang juga
mampu mengemas kebudayaan yang lain adalah upacara Rasulan. Oleh karena itu, dalam jurnal
ilmiah Domestic Case Study ini penulis akan membahas mengenai upacara Rasulan yang masih
berkembang di masyarakat hingga saat ini serta prinsip-prinsip keberlanjutan yang berbasis
lingkungan sebagai atraksi wisata budaya di Kabupaten Gunungkidul.
Responsible tourism adalah pegelolaan pariwisata yang bertujuan untuk meminimalisir
dampak negative dan memaksimalkan dampak positif dari kegiatan pariwisata. Responsible
tourism ini memerlukan kerjasama dari seluruh pihak, tidak hanya pengelola tetapi juga
1
wisatawan. Karena dengan responsible tourism diharapkan pariwisata akan berkembang
menjadi lebih baik [8,9].
2. Pembahasan
A. Gambaran Umum Kabupaten Gunungkidul
1. Sejarah Gunungkidul
Berdirinya wilayah Gunungkidul (daerah administrasi) adalah pada tahun 1831, setahun
seusai Perang Diponegoro, bersamaan dengan terbentuknya kabupaten lain di Yogyakarta.
Disebutkan bahwa ”Goenoengkidoel, wewengkon pareden wetan lepen opak. Poeniko siti
maosan dalem sami kaliyan Montjanagari ing jaman kino, dados bawah ipun Pepatih Dalem.
Ing tahoen 1831 Nagoragung sarta Mantjanagari-nipoen Ngajogjakarta sampoen dipoen
perang-perang, Mataram dados 3 wewengkon, dene Pangagengipoen wewengkon satoenggalsatoenggalipoen dipoen wastani Boepati Wadono Distrik kaparingan sesebatan
Toemenggoeng, inggih poeniko Sleman (Roemijin Denggong), Kalasan serta Bantoel. Siti
maosan dalem ing Pengasih dipoen koewaosi dening Boepati Wedono Distrik Pamadjegan
Dalem. Makanten oegi ing Sentolo wonten pengageng distrik ingkang kaparingan sesebatan
Riya. Goenoengkidoel ingkang nyepeng siti maosan dalem sesebatan nipoen Riya.”
Kabupaten Gunung kidul dengan Wonosari sebagai pusat pemerintahan lahir pada
hari Jumat Legi tanggal 27 Mei 1831 atau 15 Besar Je 1758 dan dikuatkan dengan Keputusan
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Gunungkidul No : 70/188.45/6/1985 tentang Penetapan hari,
tanggal bulan dan tahun Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul yang ditandatangani oleh bupati saat
itu Drs KRT Sosro Hadiningrat tanggal 14 Juni 1985. Sedangkan secara yuridis, status
Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu daerah kabupaten kabupaten yang berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta dan
berkedudukan di Wonosari sebagai ibukota kabupaten, ditetapkan pada tanggal 15 Agustus
1950 dengan UU no 15 Tahun 1950 jo Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1950 pada saat
Gunungkidul dipimpin oleh KRT Labaningrat.
Guna mengabadikan Hari Jadi Kabupaten Gunungkidul dibangun prasasti berupa tugu di
makam bupati pertama Mas Tumenggung Pontjodirjo dengan bertuliskan Suryo sangkala dan
Condro sangkala berbunyi : “NYATA WIGNYA MANGGALANING NATA ” HANYIPTA
TUMATANING SWAPROJO” Menuruut Suryo sangkala tahun 1831 dibalik 1381, sedang
Condro sangkala 1758 dibalik 8571.
Gunungkidul merupakan kabupaten yang memiliki banyak pegunungan serta lahan
pertanian yang luas. Kabupaten ini terkenal sebagai penghasil gaplek/ ketela pohon yang sudah
dikeringkan yang nantinya dapat diolah menjadi makanan sumber karbohidrat pengganti nasi.
Selain itu Gunungkidul juga terkenal akan wilayahnya yang tandus. Terutama di wilayah pesisir
kabupaten ini. Namun tandus bukan berate tidak subur. Banyak tanaman yang dapat tumbuh di
wilayah ini.
Dalam hal pariwisata dahulunya Gunungkidul hanya terkenal akan keindahan pantainya
saja. Ada banyak pantai yang menawarkan keindahan dan daya tariknya masing-masing. Namun
saat ini pariwisata Gunungkidul semakin berkembang. Sektor pariwisata pun mumpuni untuk
meningkatkan perekonomian di kabupaten Gunungkidul. Sehingga faktor pariwisata sangat
penting dalam melestarikan budaya dan memajukan perekonomian [10].
2. Kebudayaan yang Berkembang
Gunungkidul terkenal akan keindahan alamnya termasuk deretan pantai berpasir putih
yang eksotis. Gunungkidul juga terkenal akan landmark gunung sewunya. Sesuai namanya di
Gunungkidul banyak ditemui pegunungan kapur. Selain kaya dan indah akan alamnya
Gunungkidul juga memiliki beberapa kebudayaan yang menarik. Kebudayaan yang terus
dilestarikan oleh masyarakat hingga saat ini adalah Upacara Rasulan, Seni Tari Jathilan,
Upacara Nyadran, Upacara Ruwatan, Seni Pertunjukan Wayang, Ketoprak Jawa, Upacara
Ruwahan, Upacara Gumbrek dan lainnya. Salah satu upacara yang masih terus dilestarikan
2
hingga saat ini di beberapa desa di Gunungkidul adalah upacara Rasulan atau yang dikenal
dengan istilah upacara Bersih Desa.
Upacara Rasulan dimasing-masing desa akan ditemui perbedaan sesuai istilah “Deso
mowo toto, deso mowo coro” artinya setiap desa memiliki aturan dan caranya masing-masing.
Dimana kebudayaan memang terlahir dari nenek moyang pendahulu. Hal inilah yang menjadi
keunikan tersendir dari kebudayaan itu sendiri.
B. Upacara Rasulan
Upacara Rasulan terdapat di berbagai daerah di pulau Jawa, termasuk beberapa daerah di
Gunungkidul. Pada dasarnya budaya/tradisi ini adalah sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil
panen yang melimpah setiap tahunnya. Tujuan lain adalah agar panen tahun depan tidak
berkurang dan agar suatu daerah yang menggelar upacara ini terhindar dari musibah.
Masyarakat melaksanakan upacara ini dengan cara memasak nasi dan lauk-pauknya dalam
jumlah yang banyak (terdiri dari aneka macam lauk yang memiliki filosofi tersendiri) kemudian
dibawa ke balai desa untuk di do’akan kemudian dimakan bersama dan sisanya dibagikan
kepada seluruh warga. Kemudian pada malam harinya di adakan pagelaran wayang kulit.
Kebiasaan ini memang tidak jelas bagaimana asal-usulnya, namun sampai saat ini terus
dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Gunungkidul.
Tradisi bersih desa atau Rasulan mempunyai 2 makna yaitu, pertama sebagai gerakan
kebersihan yang dikerjakan oleh masyarakat setempat secara bergotong- royong, kedua sebagai
persembahan terhadap para nabi, danyang, serta ibu pertiwi yang telah memberikan hasil panen.
Kegiatan upacara bersih desa tidak lepas dari interaksi sosial masyarakat karena interaksi sosial
melibatkan banyak orang sehingga mempunyai hubungan timbal balik antara pelaku dan
upacara yang akan dilakukan serta unsur-unsur yang mendukungnya. Oleh karena itu interaksi
sosial menjadi faktor terpenting dalam hubungan dengan orang lain dan menyangkut
keberhasilan suatu upacara, hal ini menunjukkan adanya gotong-royong dan kerja sama.
Sehingga upacara Rasulan tidak hanya berperan sebagai ritual atau kepercayaan masyarakat
tetapi juga mampu menimbulkan manfaat nyata dikehidupan masyarakat.
1. Definisi upacara Rasulan
Rasulan merupakan sebuah ritual yang masih lestari dalam masyarakat hingga sekarang.
Upacara Rasulan juga sering di sebut dengan upacara Bersih Desa. Upacara Bersih Desa
merupakan warisan dari nilai-nilai luhur lama budaya yang menunjukkan bahwa manusia
menyatu dengan alam. Ritual ini juga dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan masyarakat
terhadap alam yang telah menghidupi mereka. Acara ritual Rasulan ini biasanya berlangsung
satu kali dalam setahun dan pada hari tertentu sesuai dengan hari baik dari suatu desa tersebut.
2. Desa Penyelenggara Upacara Rasulan
Salah satu desa di Gunungkidul yang masih menjaga upacara Rasulan ini sebagai warisan
leluhur adalah Dusun Trengguno, Desa Sidorejo, Kecamatan Ponjong, Gunungkidul. Desa ini
masih kukuh melestarikan upacara ini meskipun desa lain telah meninggalkan upacara ini.
3. Sejarah
Dulunya sebagian masyarakat di Kecamatan Ponjong Gunungkidul meyakini bahwa
upacara Rasulan diadakan ketika ada kidang putih (rusa putih) yang keluar dari gunung secara
misterius. Namun seiring berjalannya waktu rusa itu tidak pernah terlihat. Upacara Rasulan pun
luntur dibeberapa desa, saat ini hanya beberapa desa di kecamatan ini yang masih melestarikan
upacara Rasulan ini. Setiap desa memiliki cara tersendiri ketika melaksanakan upacara ini
namun tetap dengan mengemas beberapa kebudayaan sebagai hiburan atau perayaan.
Upacara Rasulan digelar berdasarkan hari baik bagi desa dan tidak sembarangan
dilakukan. Adapun penentuan hari baik suatu desa telah ada dan diturunkan oleh nenek moyang
dimana hari tersebut hanya ada satu dalam satu tahunnya. Desa Trengguno memiliki hari baik
pada hari Minggu Wage pada bulan Besar. Wage merupakan hari pasaran menurut tanggalan
masyarakat Jawa, sedangkan bulan Besar juga merupakan bulan penanggalan masyarakat Jawa
3
yang dilihat dari pergerakan bulan. Di mana hari ini diperoleh memang tidak ada fakta atau
alasan mengapa, namun hari inilah yang diyakini oleh masyarakat hingga sekarang.
4. Pelaksanaan Upacara Rasulan di desa Trengguno
Serangkaian acara Rasulan diawali dengan kegiatan kerja bakti dan membersihkan
makam leluhur serta pemasangan umbul-umbul.
Upcara Rasulan atau upacara bersih desa di desa Trengguno diadakan satu hari penuh
dengan serangkaian acara mulai dari ritual upacara, arak-arakan gunungan, tari tradisional
Jathilan kemudian di tutup dengan acara pertunjukan wayang kulit di malam hari.
Upacara ritual merupakan acara atau kegiatan inti dari upacara Rasulan serta merupakan
upacara pertama yang mengawali serangkaian acara pendukung dari upacara ini. Kegiatan ini
diwarnai dengan iring-iringan warga yang membawa makanan yang disebut Ambengan.
Ambengan terdiri dari nasi tumpeng dengan aneka lauk pauk yang memiliki makna atau filosofi
tersendiri. Berikut merupakan isi dan filosofi dari Ambengan pada saat upacara Rasulan:
a. Nasi Gurih, sebagai persembahan kepada para leluhur
b. Ingkung, sebagai lambang manusia ketika masih bayi dan sebagai lambang kepasrahan
pada Yang Maha Agung
c. Jajan Pasar, sebagai lambang agar masyarakat mendapat berkah
d. Pisang Raja, sebagai lambang harapan agar mendapat kemuliaan dalam masa kehidupan
e. Nasi Ambengan, sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Yang Maha Agung
f. Jenang, berupa jenang merah putih (lambang bapak dan ibu) dan jenang palang (penolak
marabahaya)
g. Tumpeng (lambang penghormatan pada leluhur)
h. Kluwih godhok sebagai pengharapan agar rezeki yang limpahkan oleh Yang Maha Kuasa
keluwih-luwih (berlimpah ruah)
i. Tempe dan tahu bacem berlambang kehidupan yang manis
j. Bakmi goreng
k. Kerupuk
l. Oseng cambah / tumis kecambah
m. Kacang panjang
n. Oseng Lombok tempe
o. Endok /telur ayam
p. Udud/rokok tradisional
Makanan-makanan ini yang dibawa setiap warga untuk mengikuti upacara ritual yang
disebut dengan upacara Gendurenan. Ambengan dibawa ke balai desa untuk kemudian didoakan
dan di bagi-bagikan. Doa bersama ini dipimpin oleh orang yang dituakan di desa tersebut.
Makna dari upacara Gendurenan adalah ucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan
penghormatan kepada roh leluhur.
Setelah upacara Gendurenan selesai maka berlanjut pada rangkaian acara pendukung atau
pengisi sebagai pesta ucapan syukur masyarakat. Acara ini adalah arak-arakan Gunungan yang
rutenya sudah ditentukan bersama. Gunungan merupakan hasil bumi yang berbentuk gunung
kecil. Maksudnya adalah agar hasil panen/bumi masyarakat tetap menggunung atau
banyak/berlimpah. Namun seiring berjalannya waktu bentuk gunungan di desa Trengguno
mengalami perubahan sesuai dengan kreatifitas masyarakat namun tetap menggunankan hasil
bumi. Bentuk Gunungan yang unik dan kreatif ini memberikan daya tarik tersendiri bagi
pengunjung. Gunungan diarak menuju balai desa pada saat akan dimulai upacara Gendurenan
kemudian setelah upacara Gendurenan selesai Gunungan dinilai oleh pengampu kekuasaan di
desa untuk diketahui pemenangnya. Sehingga Gunungan juga dijadikan ajang perlombaan antar
kelompok masyarakat. Perlu diketahui bahwa Gunungan dibuat oleh beberapa kepala keluarga.
Pembagian hadiah dilaksanakan pada saat pertunjukan tari Jathilan atau pada saat pagelaran
wayang kulit.
Serangkaian acara pada upacara adat Rasulan ini akan memberikan suguhan yang
menarik dan menyuguhkan hiburan yang saling terkait dalam kurun waktu hanya satu hari
penuh di setiap tahunnya. Untuk saat ini, upacara Rasulan lebih digemari sebagai hiburan rakyat
4
yang merakyat dikalangan masyarakat sekitar dan belum menjangkau wisatawan domestik dari
daerah lain.
Upacara Rasulan ini juga merupakan ajang berkumpul dengan kerabat bagi pemuda desa.
Mereka mengundang teman-teman sekolah maupun teman yang lain untuk berkunjung
kerumahnya dan makan bersama dengan hidangan masakan Rasulan yang khas. Sehingga
terkadang upacara Rasulan mirip dengan Lebaran ketika Hari Raya.
5. Nilai yang Dipahami oleh Masyarakat
Melalui upacara adat bersih desa di desa Trengguno dapat dipahami beberapa nilai antara
lain:
a. Nilai kebersamaan/sosial yaitu masyarakat secara bersama-sama bekerja bakti
membersihkan makam dan membuat umbul-umbul sehingga kebersamaan antar mereka
tetap terjalin dengan baik,
b. Nilai religi yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dapat terjalin dengan baik jika
mereka menjalankan agama dan tradisi upacara bersih desa setiap tahunnya.
c. Nilai keamanan yaitu masyarakat bisa terbebas dari pagebluk dan seluruh desa akan
merasa aman
d. Nilai ekonomi yaitu dengan tetap melaksanakan upacara masyarakat akan lebih mudah
dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, serta hasil panen akan meningkat di tahun
depan.
6. Makna Upacara Rasulan
Tradisi upacara bersih desa atau Rasulan mempunyai 2 makna yaitu;
a. Sebagai gerakan kebersihan yang dikerjakan oleh masyarakat setempat secara
bergotong- royong,
b. Sebagai persembahan terhadap Tuhan atas ibu pertiwi yang telah memberikan hasil
panenan dari apa yang telah ditanam di sawah ladangnya.
7. Tujuan Diselenggarakannya Upacara Rasulan
Berikut beberapa tujuan diadakan upacara bersih desa atau upacara Rasulan yang masih
dipegang teguh oleh masyarakat :
a. Sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan yang telah memberikan hasil panen yang
melimpah
b. Sebagai wujud ungkapan terimakasih kepada Dewi Sri yang telah menjaga tanamantanaman pertanian sehingga terhindar dari hama
c. Untuk menjaga keselamatan para warga desa dari gangguan hal-hal gaib seperti roh atau
arwah yang masih gentayangan
d. Agar terhindar dari gangguan-gangguan penyakit,keamanan dan bencana
e. Untuk sarana membersihkan desa dan warganya dari musibah atau kesengsaraan agar
desa tersebut menjadi aman dan tentram.
8. Manajemen Pelaksana Upacara Rasulan
Upacara Rasulan ini dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat desa yang dikoordinir
oleh salah satu pemangku desa dan biasanya adalah orang yang di tuakan di desa tersebut atau
yang disebut sesepuh desa.
Desa Trengguno melaksanakan upacara Rasulan dengan melakukan pembagian
kelompok kecil untuk mengerjakan Gunungan namun tetap melaksanakan upacara Gendurenan
secara bersamaan. Desa ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu Desa Trengguno Kidul (bagian
selatan), Desa Trengguno Lor (bagian utara) dan Desa Trengguno Wetan (bagian timur).
Kepanitiaan dari acara ini akan dibentuk jauh-jauh hari sebelum hari pelaksanaan.
Kepanitiaan ini berubah setiap tahunnya sesuai kesepakatan bersama. Dalam hal ini belum ada
system pengorganisasian yang kuat atau pembagian tugas tidak maksimal karena ketua panitia
berubah-ubah namun dalam segi positif ini memicu terjadinya pemerataan. Pembentukan
kepanitiaan dilaksanakan pada saat arisan yang diikuti bapak-bapak. Kemudian akan dibagi
menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mengerjakan Gunungan yang nantinya akan
5
diperlombakan. Panitia inti terdiri dari ketua panitia, wakil ketua, sekretaris dan bendahara.
Panitia pendukung melakukan tugas serba guna untuk mensukseskan acara adat ini.
9. Pendanaan
Mengenai pendanaan untuk kegiatan upacara Rasulan ini adalah dengan menggunakan
kas desa serta ditambah dengan iuran bersama masing-masing kepala keluarga.
10.
Analisis Permasalahan
Beberapa permasalahan yang dihadapi untuk atraksi wisata Rasulan di Desa Trengguno
Kabupaten Gunungkidul ini antara lain:
a. Waktu pelaksanaan upacara hanya satu tahun sekali dan terkadang tidak tepat dengan
waktu liburan sehigga menyulitkan turis domestik dari daerah lain ketika ingin
mengunjungi atraksi wisata budaya ini
b. Peran pemerintah dalam mendukung upacara ini dirasa masih kurang. Dukungan secara
fisik hanya berupa dana yang tidak seberapa.
c. Upaya promosi masih dilakukan oleh masyarakat sendiri
11.
Prinsip-prinsip Keberlanjutan
Berdasarkan survey langsung di lapangan atau di desa Trengguno, Sidorejo, Ponjong,
Gunungkidul didapat sebuah fakta bahwa terdapat prinsip-prinsip keberlajuntan. Prinsip-prinsip
tersebut antara lain :
a. Berwawasan Lingkungan/ fisik/ekologi
Prinsip ini jelas ada dalam rangkaian upacara Rasulan. Hal tersebut dapat dilihat dari
kegiatan warga yang melakukan kerja bakti membersihkan desa sesaat sebelum hari
pelaskanaan upacara rasulan. Masyarakat menyadari betul bahwa mereka harus menjaga
lingkungan sebagai rasa hormat dan syukur kepada sang pencipta.
b. Budaya
Upacara Rasulan menjadi budaya dalam masyarakat yang masih disakralkan hingga kini.
Upacara ini penuh dengan filosofi unik dan terus dilestarikan oleh masyarakat desa.
c. Ekonomi
Dari segi ekonomi tentu upacara ini mampu membuat roda perekonomian masyarakat
bergerak. Pagelaran pertunjukan memungkinkan masyarakat turut serta menjajakan
makanan maupun oleh-oleh. Upacara ini juga menjadi semangat bagi warga desa
Trengguno untuk lebih giat bekerja karena doa-doa baik sudah mereka panjatkan melalui
upacara ini.
3. Penutup
A. Simpulan
Upacara Rasulan merupakan salah satu upacara adat yang hingga sekarang masih lestari
di tanah Jawa, termasuk beberapa daerah di Gunungkidul. Pelaksanaan upacara ini adalah
sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah setiap tahunnya. Tujuan lain
adalah agar panen tahun depan tidak berkurang dan agar suatu daerah yang menggelar upacara
ini terhindar dari musibah.
Upacara Rasulan bukan sekedar upacara adat yang menyajikan kesakralan dalam berdoa
kepada Tuhan tetapi juga terdapat kemasan kebudayaan lain yang ikut membaur dalam upacara
ini. Kebudayaan tersebut adalah kesenian khas Indonesia yang perlu dilestarkan, diantaranya
Gunungan, Tari Jathilan, dan pertunjukan Wayang Kulit. Selain kental akan nilai budaya dalam
upacara ini juga dapat dikembangkan sebagai wisata kuliner, karena kuliner yang disajikan
dalam upacara ini beragam dan memiliki cita rasa yang khas.
Dalam upacara Rasulan prinsip-prinsip keberlanjutan diterapkan secara apik hamper pada
semua prinsip. Semua prinsip seperti fisik/ekologi, sosial budaya dan ekonomi melebur menjadi
kesempurnaan sajian atraksi wisata budaya yang menarik wisatawan.
6
B. Saran
Insan pariwisata termasuk pemerintah dan akademisi sebaiknya memberikan partisipasi
positif pada upacara ini. Baik dalam hal promosi pemasaran maupun pembekalan kepada
masyarakat. Semakin banyak publikasi maka semakin banyak wisatawan yang tahu dan mau
berkunjung sehingga upacara tradisional ini dapat terus dilestarikan. Mengingat upacara ini
mengemas keberlanjutan terhadap lingkungan, ekonomi, social dan budaya itu sendiri.
References
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
Nugraha, T. C. B. (2017). Cruise Ship: the Backbone of Future Tourism Industry in Indonesia.
PUSPAWIGATI, A. (2014). PEMASARAN PARIWISATA PULAU PRAMUKA OLEH SUKU
DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN KEPULAUAN SERIBU DALAM MENINGKATKAN
JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Ahmad, H., & Sigarete, B. G. (2018). Preferensi Mahasiswa dalam Berwisata: Studi Kasus
Mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (STIPRAM), Yogyakarta. Jurnal
Kepariwisataan, 12(1), 55-64.
SETYANINGSIH, Z., & Arch, M. (2013). PENGARUH PENGALAMAN WISATAWAN
TERHADAP CITRA DESTINASI PARIWISATA Kasus: Jl. Malioboro dan Jl. Ahmad Yani,
Yogyakarta (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Suhendroyono, S., & Novitasari, R. (2016). Pengelolaan Wisata Alam Watu Payung sebagai
Ikon Wisata Berbasis Budaya di Gunungkidul Yogyakarta. Jurnal Kepariwisataan, 10(1), 43-50.
Susilo, Y. S., & Soeroso, A. (2014). Strategi pelestarian kebudayaan lokal dalam menghadapi
globalisasi pariwisata: Kasus Kota Yogyakarta. Jurnal Penelitian BAPPEDA Kota
Yogyakarta, 4, 3-11.
Seminar Nasional pengganti Domestic Case Study, yang diselenggarakan di Bumi Perkemahan
Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 12-13 Januari 2018 dengan tema Seminar
Alam:“Responsible Tourism : Pariwisata berbasis Lingkungan”.
Soeroso, A., & Susilo, Y. S. (2014). TRADITIONAL INDONESIAN GASTRONOMY AS A
CULTURAL TOURISM ATTRACTION. Editorial Board, 45.
Soeroso, A., & Susuilo, Y. S. (2008). Strategi Konservasi Kebudayaan Lokal
Yogyakarta. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan| Journal of Theory and Applied
Management, 1(2).
Haruna, K., Akmar Ismail, M., Suhendroyono, S., Damiasih, D., Pierewan, A. C., Chiroma, H.,
& Herawan, T. (2017). Context-Aware Recommender System: A Review of Recent
Developmental Process and Future Research Direction. Applied Sciences, 7(12), 1211.
LAMPIRAN
7
Penulis sa
8
Download