Uploaded by User78889

257759909-seismologi-170315035215

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. Ruang Lingkup Dan Sejarah Seismologi
Seismologi pada mulanya merupakan ilmu yang mempelajari tentang
gempabumi ( seismos = gempabumi ), tetapi karena perkembangan dari
pengetahuan dan teknologi seismologi telah tumbuh menjadi sangat luas
dengan bertambahnya beberapa cabang lain, maka definisi dari Seismologi
adalah ilmu yang mempelajari gempabumi dan getaran tanah lainnya. Studi
tentang gempabumi itu sendiri tetap menjadi inti dari ilmu seismologi.
Pada saat terjadi gempabumi, dari sumbernya akan memancar gelombang
elastik yang menjalar ke segala arah melalui badan dan permukaan bumi, dan
bertolak dari sini dapat diketahui keadaan fisik di dalam bumi.
Cabang seismologi selain yang khusus mempelajari tentang gempa bumi
antara lain adalah seismologi teknik (earthquake engineering), seismologi
prospecting, seismologi nuklir, seismologi forcasting. Seismologi sendiri
merupakan cabang dari Solid earth physics yang merupakan cabang ilmu
geofisika. Sedang geofisika sendiri merupakan cabang dari geosains. Untuk
jelasnya posisi seismologi dari anak cabang geofisika dapat dilihat pada skema
berikut:
Seperti halnya geofisika, aktivitas yang terkait dengan seismologi meliputi
kegiatan kegiatan pengamatan, eksperimen dan penelitian di laboratorium serta
penelitian secara teoritis.
1
Obyek Penelitian bidang seismologi adalah bagian dalam bumi sedangkan
pengamatannya dilakukan di permukaan, sehingga sering mengalami kendala,
dimana hasil interpretasinya antara peneliti yang satu dengan yang lain sering
berbeda. Hal ini karena disamping penelitian tidak pada obyeknya langsung,
tetapi juga menggunakan asumsi-asumsi yang berbeda. Untuk menghasilkan
interpretasi yang lebih akurat penelitian seismologi harus seiring dengan
penelitian geofisika yang lain seperti, geomagnit, geolistrik, dan gravitasi.
Disamping itu yang lebih utama adalah eksperimen dan penelitian yang
dilakukan di laboratorium dan juga analisis teoritis yang didukung dengan ilmu
penunjang yang lain seperti fisika, matematika, statistik dan geologi.
Seismologi menjadi ilmu pengetahuan sendiri sejak permulaan abad 20, tetapi
dasar teorinya seperti teori elastisitas telah berkembang sejak pertengahan abad
19 oleh Cauchy dan Poisson. Sedang pengamatan gempabumi dengan akibatakibatnya telah dimulai sejak permulaan jaman sejarah, terutama di tempat
gempabumi tersebut sering terjadi dan mengganggu kepentingan manusia.
Alat pengamat gempa pertama dalam bentuk yang sangat sederhana dibuat di
Cina pada abad pertama yang disebut dengan seismoscope. Sedangkan di
Indonesia pengamatan gempabumi secara instrumental dilakukan pertama kali
pada tahun 1898 dengan seismograf Ewing yang dioperasikan oleh pemerintah
Belanda, kemudian pada tahun 1908 dipasang seismograf Wichert yang sampai
saat ini masih terawat dengan baik dan berada di Stasiun Geofisika Jakarta.
Alat ini menggunakan sistem pendulum dimana berat pendulumnya sendiri
sekitar satu ton.
2. Gempabumi
Setiap tahun planet bumi digoyang oleh lebih dari 10 gempa bumi besar yang
membunuh ribuan manusia, merusak bangunan dan infra struktur serta menjadi
bencana alam yang menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian dan
sosial pada daerah di sekitar yang diakibatkannya. Pada masyarakat tradisional
dan awam gempabumi disebabkan oleh bermacam-macam hal sesuai dengan
kepercayaan masyarakat setempat.
Sebagian masyarakat Jawa tradisional mempercayai bahwa gempa bumi
disebabkan karena suatu mahluk besar yang membebani bumi sedang
bergerak. Masyarakat Jepang kuno mempercayai gempabumi disebabkan oleh
semacam ikan lele (cat fish) yang sedang bergerak, dan banyak kepercayaan
lain yang disebabkan karena hal-hal yang misterius. Lalu apa yang sebenarnya
menyebabkan terjadi gempabumi ? Jawabannya ada pada teori pergerakan
lempeng tektonik.
2
Menurut teori tektonik lempeng, bagian luar bumi merupakan kulit yang
tersusun oleh lempeng-lempeng tektonik yang saling bergerak. Di bagian atas
disebut lapisan litosfir merupakan bagian kerak bumi yang tersusun dari
material yang kaku. Lapisan ini mempunyai ketebalan sampai 80 km di daratan
dan sekitar 15 km di bawah samudra. Lapisan di bawahnya disebut astenosfir
yang berbentuk padat dan materinya dapat bergerak karena perbedaan tekanan.
Litosfir adalah suatu lapisan kulit bumi yang kaku, lapisan ini mengapung di
atas astenosfir. Litosfir bukan merupakan satu kesatuan tetapi terpisah-pisah
dalam beberapa lempeng yang masing-masing bergerak dengan arah dan
kecepatan yang berbeda-beda. Pergerakan tersebut disebabkan oleh adanya
arus konveksi yang terjadi di dalam bumi.
Bila dua buah lempeng bertumbukan maka pada daerah batas antara dua
lempeng akan terjadi tegangan. Salah satu lempeng akan menyusup ke bawah
lempeng yang lain, masuk ke bawah lapisan astenosfir. Pada umumnya
lempeng samudra akan menyusup ke bawah lempeng benua, hal ini disebabkan
lempeng samudra mempunyai densitas yang lebih besar dibandingkan dengan
lempeng benua.
Apabila tegangan tersebut telah sedemikian besar sehingga melampaui
kekuatan kulit bumi, maka akan terjadi patahan pada kulit bumi tersebut di
daerah terlemah. Kulit bumi yang patah tersebut akan melepaskan energi atau
tegangan sebagian atau seluruhnya untuk kembali ke keadaan semula.
Peristiwa pelepasan energi ini disebut gempabumi.
Gempabumi terjadi di sepanjang batas atau berasosiasi dengan batas
pertemuan lempeng tektonik. Pada kenyataannya pergerakan relatif dari
lempeng berjalan sangat lambat, hampir sama dengan
kecepatan
pertumbuahan kuku manusia (0-20 cm pertahun). Hal ini menimbulkan adanya
friksi pada pertemuan lempeng, yang mengakibatkan energi terakumulasi
sebelum terjadinya gempa bumi. Kekuatan gempa bumi bervariasi dari tempat
ke tempat sejalan dengan perubahan waktu.
Batas lempeng tektonik dapat dibedakan atas tiga bentuk utama, konvergen,
divergen, dan sesar mendatar. Bentuk yang lainnya merupakan kombinasi dari
tiga bentuk batas lempeng ini.
Pada bentuk konvergen lempeng yang satu relatif bergerak menyusup di bawah
lempeng yang lain. Zona tumbukan ini diindikasikan dengan adanya palung
3
laut (trench), dan sering disebut juga dengan zona subduksi atau zona WadatiBenioff. Zona penunjaman ini menyusup sampai kedalaman 700 km dibawah
permukaan bumi di lapisan astenosfir. Bentuk konvergen berasosiasi terhadap
sumber gempa dalam dan juga gunung api.
Pada bentuk divergen kedua lempeng saling menjauh sehingga selalu terbentuk
material baru dari dalam bumi yang menyebabkan munculnya pegunungan di
dasar laut yang disebut punggung tengah samudra (mid oceanic ridge).
Sedang pada tipe jenis sesar mendatar kedua lempeng saling bergerak
mendatar. Sketsa jenis pertemuan lempeng tektonik dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar1.1: Sketsa jenis pertemuan lempeng tektonik
Akibat pergerakan lempeng tektonik, maka di sekitar perbatasan lempeng akan
terjadi akumulasi energi yang disebabkan baik karena tekanan, regangan
ataupun gesekan. Energi yang terakumulasi ini jika melewati batas
kemampuan atau ketahanan batuan akan menyebabkan patahnya lapisan
batuan tersebut.
Jadi gempa bumi tidak lain merupakan manifestasi dari getaran lapisan batuan
yang patah yang energinya menjalar melalui badan dan permukaan bumi
berupa gelombang seismik.
Energi yang dilepaskan pada saat terjadinya patahan tersebut dapat berupa
energi deformasi, energi gelombang dan lain-lain.
Energi deformasi ini dapat terlihat pada perubahan bentuk sesudah terjadinya
patahan, misalnya pergeseran. Sedang energi gelombang menjalar melalui
4
medium elastis yang dilewatinya dan dapat dirasakan sangat kuat di daerah
terjadinya gempabumi tersebut .
Pusat patahan didalam bumi dimana gempabumi terjadi disebut fokus atau
hiposenter, sedang proyeksi fokus yang berada di permukaan bumi disebut
episenter.
Gempabumi selain terjadi pada perbatasan lempeng juga terjadi pada patahanpatahan lokal yang pada dasarnya merupakan akibat dari pergerakan lempeng
juga.
Gempabumi yang terjadi di sekitar perbatasan lempeng biasa disebut gempa
interplate, sedang yang terjadi pada patahan lokal yang berada pada satu
lempeng disebut gempa intraplate. Karena bentuk pertemuan lempeng ada tiga
macam, dengan demikian gempa interplate juga bisa terjadi tiga macam, yaitu:
o Gempa bumi yang terjadi di sepanjang sistem rift dimana lempeng samudra
terbentuk.
o Gempa bumi yang terjadi di sepanjang sistem subduksi dimana lempeng
samudra menyusup di bawah lempeng kontinen.
o Gempa bumi yang terjadi di sepanjang patahan transform atau sesar geser
dimana pertemuan lempeng tektonik saling menggeser secara horizontal.
Di Indonesia gempabumi interplate banyak terjadi di laut dengan kedalaman
dangkal dan yang terjadi di daratan kedalaman fokusnya menengah sampai
dalam dan bisa mencapai kedalaman 700 km. Sedangkan gempabumi
intraplate di Indonesia mempunyai kedalaman sumber gempa relatif dangkal
dan bisa terjadi di darat dan laut.
Gempabumi yang besar selalu menimbulkan deretan gempa susulan yang biasa
disebut dengan aftershocks. Kekuatan aftershock selalu lebih kecil dari gempa
utama dan waktu berhentinya aftershock bisa mencapai mingguan sampai
bulanan tergantung letak, jenis dan besarnya magnitude gempa utama.
2.1. Jenis Gempabumi
Gempabumi yang merupakan fenomena alam yang bersifat merusak dan
menimbulkan bencana dapat digolongkan menjadi empat jenis, yaitu:
a.
Gempabumi Vulkanik ( Gunung Api )
Gempa bumi ini terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang biasa terjadi
sebelum gunung api meletus. Apabila keaktifannya semakin tinggi maka
akan menyebabkan timbulnya ledakan yang juga akan menimbulkan
5
terjadinya gempabumi. Gempabumi tersebut hanya terasa di sekitar gunung
api tersebut.
b. Gempabumi Tektonik
Gempabumi ini disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu
pergeseran lempeng lempeng tektonik secara mendadak yang mempunyai
kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar. Gempabumi ini
banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam di bumi, getaran
gempa bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian bumi.
c. Gempabumi Runtuhan
Gempabumi ini biasanya terjadi pada daerah kapur ataupun pada daerah
pertambangan, gempabumi ini jarang terjadi dan bersifat lokal.
d. Gempabumi Buatan
Gempa bumi buatan adalah gempa bumi yang disebabkan oleh aktivitas
dari manusia, seperti peledakan dinamit, nuklir atau palu yang dipukulkan
ke permukaan bumi.
Berdasarkan kekuatannya atau magnitude (M), gempabumi dapat dibedakan
atas :
a. Gempabumi sangat besar dengan magnitude lebih besar dari 8 SR.
b. Gempabumi besar magnitude antara 7 hingga 8 SR.
c. Gempabumi merusak magnitude antara 5 hingga 6 SR.
d. Gempabumi sedang magnitude antara 4 hingga 5 SR.
e. Gempabumi kecil dengan magnitude antara 3 hingga 4 SR .
f. Gempabumi mikro magnitude antara 1 hingga 3 SR .
g. Gempabumi ultra mikro dengan magnitude lebih kecil dari 1 SR .
Berdasarkan kedalaman sumber (h), gempabumi digolongkan atas :
a. Gempabumi dalam h > 300 Km .
b. Gempabumi menengah 80 < h < 300 Km .
c. Gempabumi dangkal h < 80 Km .
Berdasarkan tipenya Mogi membedakan gempabumi atas:
a.
TypeI :
Pada tipe ini gempa bumi utama diikuti gempa susulan tanpa
didahului oleh gempa pendahuluan (fore shock).
6
b.
c.
Type II :
Sebelum terjadi gempa bumi utama, diawali dengan adanya
gempa pendahuluan dan selanjutnya diikuti oleh gempa
susulan yang cukup banyak.
Type III: Tidak terdapat gempa bumi utama. Magnitude dan jumlah
gempabumi yang terjadi besar pada periode awal dan
berkurang pada periode akhir dan biasanya dapat
berlangsung cukup lama dan bisa mencapai 3 bulan. Tipe
gempa ini disebut tipe swarm dan biasanya terjadi pada
daerah vulkanik seperti gempa gunung Lawu pada tahun
1979.
2.2. Sumber Gempabumi
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa pembangkit utama terjadinya gempabumi
adalah pergerakan lempeng tektonik. Akibat pergerakan lempeng maka di
sekitar perbatasan lempeng akan terakumulasi energi, dan jika lapisan batuan
telah tidak mampu manahannya maka energi akan terlepas yang menyebabkan
terjadinya patahan ataupun deformasi pada lapisan kerak bumi dan terjadilah
gempabumi tektonik. Disamping itu akibat adanya pergerakan lempeng tadi
terjadi patahan (sesar) pada lapisan bagian atas kerak bumi yang merupakan
pembangkit kedua terjadinya gempabumi tektonik.
Jadi sumber-sumber gempabumi keberadaannya ada pada perbatasan lempeng
lempeng tektonik dan patahan- patahan aktif. Indonesia merupakan salah satu
wilayah yang sangat aktif terhadap gempabumi, karena terletak pada
pertemuan tiga lempeng tektonik utama dan satu lempeng tektonik kecil.
Ketiga lempeng tektonik itu adalah lempeng tektonik Indo-Australia, lempeng
Eurasia dan lempeng Pasifik serta lempeng kecil Filipina.
7
Gambar1.2. Globe lempeng tektonik
Gambar 1.3. Lempeng tektonik dunia
Gambar 1.3 memperlihatkan 7 lempeng utama, yaitu lempeng Eurasia, Pasifik,
Indo-Australia, Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Antartika dan
beberapa lempeng kecil lainnya.
8
Terdapat tiga jalur utama gempabumi yang merupakan batas pertemuan dari
beberapa lempeng tektonik aktif:
1. Jalur Gempabumi Sirkum Pasifik
Jalur ini dimulai dari Cardilleras de los Andes (Chili, Equador dan
Caribia), Amerika Tengah, Mexico, California British Columbia, Alaska,
Alaution Islands, Kamchatka, Jepang, Taiwan, Filipina, Indonesia,
Polynesia dan berakhir di New Zealand.
2. Jalur Gempabumi Mediteran atau Trans Asiatic
Jalur ini dimulai dari Azores, Mediteran (Maroko, Portugal, Italia, Balkan,
Rumania), Turki, Kaukasus, Irak, Iran, Afghanistan, Himalaya, Burma,
Indonesia (Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, dan Laut Banda) dan akhirnya
bertemu dengan jalur Sirkum Pasifik di daerah Maluku
3. Jalur Gempabumi Mid-Atlantic
Jalur ini mengikuti Mid-Atlantic Ridge yaitu Spitsbergen, Iceland dan
Atlantik selatan.
Sebanyak 80 % dari gempa di dunia, terjadi di jalur Sirkum Pasifik yang sering
disebut sebagai Ring of Fire karena juga merupakan jalur Vulkanik.
Sedangkan pada jalur Mediteran terdapat 15 % gempa dan sisanya sebanyak 5
% tersebar di Mid Atlantic dan tempat-tempat lainnya.
Di Indonesia lokasi sumber gempabumi berawal dari Sumatra, Jawa, Bali,
Nusa Tenggara, sebagian berbelok ke Utara di Sulawesi, kemudian dari Nusa
Tenggara sebagian terus ke timur Maluku dan Irian. Hanya pulau Kalimantan
yang relatif tidak ada sumber gempa kecuali sedikit bagian timur. Gambar
(1.4) adalah batas lempeng-lempeng tektonik yang melewati Indonesia dan
berasosiasi terhadap sumber-sumber gempa.
9
Gambar 1.4. Batas lempeng tektonik dan sebaran gempa di Indonesia
Lempeng Indo-Australia bergerak menyusup dibawah lempeng Eurasia,
demikian pula lempeng Pasifik bergerak kearah barat. Pertemuan lempeng
tektonik Indo-Australia dan Eurasia berada di laut merupakan sumber gempa
dangkal dan menyusup kearah utara sehingga di bagian darat berturut-turut ke
utara di sekitar Jawa – Nusa tenggara merupakan sumber gempa menengah
dan dalam.
Kedalaman sumber gempa di Sumatra bisa mencapai 300 km di bawah
permukaan bumi dan di Jawa bisa mencapai 700 km, sesuai dengan kedalaman
lempeng Indo-Australia menyusup dibawah lempeng Eurasia. Disamping itu di
daratan Sumatra juga terdapat sumber sumber gempa dangkal yang disebabkan
karena aktivitas patahan Sumatra, demikian pula di sebagian Jawa Barat
terdapat sumber-sumber gempa dangkal karena aktivitas patahan Cimandiri di
Sukabumi, patahan Lembang di Bandung, dan lain lain.
Gempa-gempa dangkal di bagian timur Indonesia selain berasosiasi dengan
pertemuan lempeng (trench) juga disebabkan oleh patahan- patahan aktif,
seperti patahan Palu Koro, patahan Sorong, patahan Seram, dan lain-lain.
Beberapa tempat di Sumatra, Jawa, Nusa tenggara, Maluku, Sulawesi dan Irian
rentan terhadap bencana gempabumi baik yang bersifat langsung maupun tak
langsung seperti tsunami dan longsor.
10
Gambar (1.5) menunjukkan sketsa patahan aktif di Indonesia yang merupakan
dampak dari bertumbuknya tiga mega lempeng dan satu lempeng kecil
Filipina. Peta historis Seismisitas di Indonesia (1965-1995) berdasarkan
magnitude dan kedalamannya terlihat pada gambar (1.6).
Gambar 1.5. Sketsa patahan aktif di Indonesia
Gambar 1.6. Peta sebaran episenter di Indonesia periode 1965-1995
11
12
BAB II
SUSUNAN BAGIAN DALAM BUMI
Dengan telah adanya seismograf yang dapat mencatat gelombang seismik,
sejak permulaan abad 20 telah dapat dianalisis susunan bagian dalam bumi.
Secara umum susunan bagian dalam bumi dibagi menjadi tiga, berturut-turut
dari permukaan menuju ke bagian dalam bumi adalah: kerak bumi, mantel dan
inti bumi. Antara mantel dan kerak bumi dan antara mantel dan inti bumi
merupakan lapisan batas diskontinuitas yang berfungsi sebagai pembiasan dan
pemantulan gelombang seismik.
1. Kerak Bumi
Kerak bumi atau crust merupakan lapisan paling atas dari susunan bumi dan
sangat tipis dibanding dengan lapisan lainnya. Lapisan kerak bumi mempunyai
ketebalan bervariasi antara 25 – 40 km di daratan dan bisa mencapai 70 km di
bawah pegunungan, sedang di bawah samudra ketebalannya lebih tipis dan
bisa mencapai 5 km. Lapisan ini dibagi lagi menjadi dua bagian yang
dipisahkan oleh lapisan diskontinuitas Conrad, berturut-turut dari permukaan
adalah lapisan yang mewakili batuan granit dan di bawahnya yang mewakili
batuan basal. Di bawah samudra lapisan granit umumnya tidak ditemui. Kerak
bumi berbentuk materi padat, terdiri dari sedimen, batuan beku, dan
metamorfis dengan unsur utama oksigen dan silikon. Densitas rata-rata 3,9
gr/cm3 , merupakan 0,3 % dari massa bumi dan 0,5 % dari volume bumi secara
keseluruhan.
Antara kerak dan mantel terdapat lapisan diskontinuitas yang disebut lapisan
Mohorovicic dan sering disebut dengan lapisan M atau Moho saja. Kecepatan
gelombang longitudinal atau gelombang kompresi pada lapisan ini berkisar
antara 6,5 km/detik sampai 8 km/detik.
2. Mantel Bumi
Lapisan mantel bumi membujur ke dalam mulai dari lapisan moho sampai
lapisan inti bumi pada kedalaman sekitar 2900 km. Mantel sebagian besar
dipertimbangkan sebagai lapisan padat. Lapisan ini dapat dibagi dua bagian
masing-masing mantel atas dan mantel bawah. Mantel atas membujur sampai
kedalaman 1000 km dibawah permukaan. Kecepatan gelombang kompresi
pada lapisan kulit bumi semakin kebawah semakin besar mulai dari sekitar
8 km/detik di bawah lapisan moho sampai sekitar 13,7 km/detik di perbatasan
inti-mantel. Pada lapisan mantel atas terdapat beberapa lapisan diskontinuitas
dimana kecepatan gelombang tiba-tiba turun. Pada kedalaman antara 100 km
sampai 250 km dibawah permukaan bumi terdapat lapisan kecepatan rendah
13
(LVL). Lapisan LVL diperkirakan berupa materi mencair yang panas, dengan
rigiditas rendah serta kecepatan gelombang seismik bisa turun sekitar 6 % jika
dibanding dengan kecepatan pada lapisan moho. Mantel bawah kecepatan
gelombang seismiknya secara gradual naik sesuai dengan kedalaman. Pada
lapisan mantel tidak terdapat lapisan diskontinuitas yang berfungsi sebagai
pembias dan pemantul gelombang seismik.
Tabel susunan bagian dalam bumi
LAPISAN
Kerak bumi
Mantel atas
Mantel bawah
Inti luar
Inti dalam
KEDALAMAN
(km)
109km3
VOLUME
%
Perm.- moho
Moho – 1000
1000 – 2900
2900 – 5100
5100 – 6370
5,1
429,1
473,8
166,4
8,6
0,5
39,6
43,7
15,4
0,8
1012 kg
MASSA
%
DENSITAS
gr/cm3
15
1673
2415
1743
125
0,3
28,0
40,4
29,2
2,1
2,94
3,90
5,10
10,50
14,53
Diskontinuitas dalam bumi disebabkan oleh perubahan susunan kimia dari
material dalam bumi atau oleh perubahan fase dari material tersebut ( padat ke
tak padat, tak padat ke padat atau dua fase padat yang berbeda ).
Densitas dari mantel bumi antara 3,9 – 5,1 gr/cm3, terdiri dari oksigen,
magnesium, silikat dan sedikit ferum. Mantel merupakan 68,4 % dari massa
bumi dan 83,3 % dari volume bumi.
3. Inti Bumi
Inti bumi adalah lapisan yang paling dalam dari bumi. Lapisan ini diperkirakan
mempunyai jari-jari 3500 km dan terdiri dari dua bagian masing-masing inti
luar (outer core) dan inti dalam (inner core). Lapisan inti luar membujur
sampai kedalaman sekitar 5100 km dibawah permukaan bumi dan diperkirakan
berupa fluida, karena dari catatan seismogram gelombang shear tidak
teridentifikasi. Kecepatan gelombang kompresi pada lapisan inti luar naik
sesuai kedalaman antara 8 – 10 km/detik, sedang pada lapisan inti dalam
kecepatanya juga naik antara 10 – 13,7 km/detik.
Pada inti dalam gelombang shear dapat teridentifikasi kembali sehingga
diperkirakan tersusun dari material padat. Materi inti luar terdiri dari besi dan
nikel dalam bentuk cair / fluida sedangkan inti dalam dengan materi yang sama
dalam bentuk padat.
14
Inti luar yang berupa medium tak padat dengan densitas 10,5 gr/cm3
merupakan 15,4 % dari volume bumi dan 29,2 % dari massa bumi. Materi
yang tak padat ini diapit oleh dua materi padat ( mantel dan inti dalam )
membentuk sand wich dan bergerak terus akibat efek rotasi dan revolusi bumi.
Hal ini terutama yang menjadi sumber medan magnet bumi.
Inti dalam merupakan bagian kecil dibanding mantel dan inti luar, yaitu 0,8 %
dari volume bumi dan 2,1 % dari massa bumi tetapi mempunyai densitas
paling besar yaitu rata-rata 14,53 gr/cm3. Gambar (2.1) dan (2.2)
memperlihatkan struktur bagian dalam bumi dan kurva kecepatan gelombang
seismiknya.
Gambar 2.1. Struktur bagian dalam bumi
15
Gambar 2.2. Grafik kecepatan gelombang seismik
Secara umum, harga densitas bertambah terhadap kedalaman bumi. Demikian
juga harga tekanan dan temperature, makin kedalam harganya makin besar.
16
BAB III
GELOMBANG SEISMIK
1. Tipe Dasar Dan Sifat Utama
Gelombang seismik adalah gelombang elastik yang menjalar ke seluruh bagian
dalam bumi dan melalui permukaan bumi, akibat adanya lapisan batuan yang
patah secara tiba – tiba atau adanya suatu ledakan. Gelombang utama gempa
bumi terdiri dari dua tipe yaitu gelombang bodi (Body Wave) dan gelombang
permukaan (Surface Waves).
Gelombang seismik merambat dalam lapisan bumi sesuai dengan prinsip yang
berlaku pada perambatan gelombang cahaya: pembiasan dengan koefisien bias,
pemantulan dengan koefisien pantul, hukum-hukum Fermat, Huygens, Snellius
dan lain-lain.
1.1. Gelombang Bodi (Body Waves)
Gelombang bodi merupakan gelombang yang menjalar melalui bagian dalam
bumi dan biasa disebut free wave karena dapat menjalar ke segala arah di
dalam bumi. Gelombang bodi terdiri atas gelombang primer dan gelombang
sekunder.
Gelombang primer merupakan gelombang longitudinal atau gelombang
kompresional, gerakan partikelnya sejajar dengan arah perambatannya. Sedang
gelombang sekunder merupakan gelombang transversal atau gelombang shear,
gerakan partikelnya terletak pada suatu bidang yang tegak lurus dengan arah
penjalarannya.
Gelombang kompresional disebut gelombang primer (P) karena kecepatannya
paling tinggi diantara gelombang yang lain dan tiba pertama kali. Sedang
gelombang shear disebut gelombang sekunder (S) karena tiba yang kedua
setelah gelombang P. Gelombang sekunder terdiri dari dua komponen, yaitu
gelombang SH dengan gerakan partikel horizontal dan gelombang SV dengan
gerakan partikel vertikal.
Sifat penjalaran gelombang P yang langsung adalah bahwa gelombang ini akan
menjadi hilang pada jarak lebih besar dari 130º, dan tidak terlihat sampai
dengan jarak kurang dari 140º. Hal tersebut disebabkan karena adanya inti
bumi. Gelombang langsung P akan menyinggung permukaan inti bumi pada
jarak 103º dan pada jarak yang akan mengenai inti bumi pada jarak 144º.
Gelombang P akan timbul kembali yaitu gelombang yang menembus inti bumi
17
dengan dua kali mengalami refraksi. Menghilangnya gelombang P pada jarak
103º memungkinkan untuk menghitung kedalaman lapisan inti bumi.
Guttenberg (1913) mendapatkan kedalaman inti bumi 2900 km. Telah
didapatkan pula bahwa batas mantel dengan inti bumi merupakan suatu
diskontinuitas yang tajam. Daerah antara 103º - 144º disebut sebagai “ Shadow
zone“, walaupun sebenarnya fase yang lemah dapat pula terlihat di daerah ini.
Walaupun gelombang bodi dapat menjalar ke segala arah di permukaan bumi,
namun tetap tidak dapat menembus inti bumi sebagai gelombang transversal.
Keadaan ini membuktikan bahwa inti luar bumi berupa fluida. Untuk
penelitian tetap diasumsikan keadaan homogen, yaitu bagian luar bumi dan inti
bumi ( dua media homogen yang berbeda ).
Kadang – kadang juga ditemui suatu fase yang kuat di daerah “Shadow zone”
sampai ke jarak kurang lebih 110º. Karena adanya fase inilah pada tahun
1930 ditemukan media lain yaitu inti dalam. Batas dari inti dalam ini terdapat
pada kedalaman 5100 km . Diperkirakan kecepatan gelombang seismik di inti
dalam lebih tinggi dari pada di inti luar. Untuk membedakan dan identifikasi,
maka perlu pemberian nama untuk gelombang seismik yang melalui inti bumi
(baik inti luar maupun inti dalam ).
Kecepatan gelombang seismik bertambah dengan kedalaman, maka lintasan
gelombang seismik akan berbentuk lengkungan cekung ke permukaan bumi.
Kecepatan gelombang P (Vp) tergantung dari konstante Lame (  ), rigiditas
(  ), dan densitas (  ) medium yang dilalui dan secara matematis dirumuskan
sebagai berikut:
Vp 
  2
………………………………………(3.1-1)

Gelombang P mempunyai kecepatan paling tinggi dibanding dengan kecepatan
gelombang yang lain sehingga tercatat paling awal di seismogram. Gelombang
S mempunyai gerakan partikel tegak lurus terhadap arah penjalaran dan
mempunyai kecepatan (Vs) sebesar :
Vs 


…………………………………… …(3.1.2)
Menurut Poisson kecepatan gelombang P mempunyai kelipatan
kecepatan gelombang S.
3 dari
18
1.2. Gelombang Permukaan (Surface Waves)
Gelombang permukaan merupakan gelombang elastik yang menjalar
sepanjang permukaan bumi dan biasa disebut sebagai tide waves. Karena
gelombang ini terikat harus menjalar melalui suatu lapisan atau permukaan.
Gelombang permukaan terdiri dari:
1. Gelombang Love (L) dan gelombang Rayleigh (R), yang menjalar melalui
permukaan bebas dari bumi. Gelombang L gerakan partikelnya sama
dengan gelombang SH dan memerlukan media yang berlapis. Gelombang
R lintasan gerak partikelnya merupakan suatu ellips. Bidang ellips ini
vertikal dan berimpit dengan arah penjalarannya. Gerakan partikelnya ke
belakang (bawah maju atas mundur). Gelombang R menjalar melalui
permukaan media yang homogen.
2. Gelombang Stonely, arah penjalarannya seperti gelombang R tetapi
menjalar melalui batas antara dua lapisan di dalam bumi.
3. Gelombang Channel, yaitu gelombang yang menjalar melalui lapisan yang
berkecepatan rendah (low velocity layer) di dalam bumi.
Gelombang Love dan Rayleigh ada juga yang memberi simbul LQ dan LR
dimana L singkatan dari Long karena gelombang permukaan mempunyai sifat
periode panjang dan Q adalah singkatan dari Querwellen yaitu nama lain dari
Love seorang Jerman yang menemukan gelombang ini.
Gelombang LQ dan LR menjalar sepanjang permukaan bebas dari bumi atau
lapisan batas diskontinuitas antara kerak dan mantel bumi. Amplitude
gelombang LQ dan LR adalah yang terbesar pada permukaan dan mengecil
secara eksponensial terhadap kedalaman. Dengan demikian pada gempagempa dangkal amplitude gelombang LQ dan LR akan mendominasi.
Gelombang permukaan yang banyak tercatat pada seismogram adalah
gelombang Love dan gelombang Rayleigh. Dari hasil pengamatan diperoleh
dua ketentuan utama yang menunjukkan bahwa bagian bumi berlapis-lapis dan
tidak homogen, yaitu :
o Adanya gelombang Love ; gelombang ini tidak dapat menjalar pada
permukaan suatu media yang kecepatannya naik terhadap kedalaman.
o Adanya perubahan dispersi kecepatan (velocity dispersion).
Gelombang L dan R tidak datang bersama-sama pada suatu stasiun, tetapi
gelombang yang mempunyai periode lebih panjang akan datang lebih dahulu.
Dengan kata lain gelombang yang panjang periodenya mempunyai kecepatan
yang tinggi.
19
Gambar 3.1. Gerak partikel gelombang P, S, LQ dan LR
2. Penjalaran Gelombang Seismik
Gelombang seismik adalah gelombang elastik yang menjalar ke seluruh bagian
dalam bumi dan melalui permukaan bumi, akibat adanya lapisan batuan yang
patah secara tiba-tiba atau adanya suatu ledakan. Gelombang gempa yang
dipancarkan oleh sumbernya akan menjalar ke segala arah dengan tipe,
kecepatan dan arah penjalaran bervariasi tergantung pada sifat fisis dan
dimensi medium. Untuk medium yang paling sederhana yaitu medium yang
homogen, isotropik dan elastik sempurna, maka gelombang gempa menjalar
sebagai sinar yang berbentuk garis lurus.
Gelombang gempa yang menjalar pada struktur bumi yang terdiri dari banyak
lapisan dengan kecepatan konstan akan sampai pada stasiun pencatat gempa
melalui tiga cara, yaitu gelombang langsung, dipantulkan dan gelombang
dibiaskan, hal ini tergantung pada jarak episenter gempa dan nilai perbedaan
kecepatan pada masing-masing lapisan .
Untuk kasus sederhana yaitu struktur bumi terdiri dari dua lapisan dan sumber
gempa terletak pada lapisan pertama, maka penjalaran gelombang gempa dapat
dilihat pada gambar dibawah ini :
20
Gambar 3.2. Penjalaran gelombang seismik sederhana melalui dua lapis., S1, S2, S3,
menunjukkan stasiun pencatat; H adalah sumber gempa sedang V1 dan V2 masing-masing
kecepatan gelombang pada kedua lapisan
Dalam pembahasan berikut, penjalaran gelombang seismik dikategorikan
dalam berbagai macam, berdasarkan jarak antara sumber gempa terhadap
stasiun pencatat atau jarak episenter. Yang pertama adalah yang berjarak
episenter kurang dari 10o, yang biasa disebut sebagai gempa-gempa regional.
Gelombang seismik jenis ini lebih dominan menjalar pada lapisan kerak bumi
atau lapisan moho dan biasa disebut sebagai gelombang crustal. Yang kedua,
akan dibahas yang jarak episenternya antara 10 o -103 o, gelombang pada ruas
jarak ini banyak menjalar pada lapisan mantel. Sedang yang ketiga adalah yang
berjarak episenter lebih dari 103 o, yang banyak menjalar melewati inti bumi,
baik yang dibiaskan maupun dipantulkan.
Gempa-gempa yang jarak episenternya kurang dari 10o disebut gempa
regional atau gempa lokal, sedang yang lebih dari 10o disebut gempa
teleseismik. Beberapa institusi ada yang mendefinsikan gempa tele apabila
jarak episenternya lebih dari 20o .
2.1. Gelombang Crustal
Gempa bumi yang berjarak kurang dari 10º penjalaran gelombangnya
mempunyai cara-cara tertentu. Gelombang seismik yang menjalar melalui
lapisan tersebut ada yang langsung, ada pula yang dibiaskan melalui batas
lapisan. Gelombang-gelombang seismik tersebut adalah :
o Pg dan Sg, gelombang P dan S yang melalui lapisan granit dan langsung
menuju ke stasiun.
o P* dan S* gelombang P dan S yang melalui Conrad diskontinuitas.
o Pn dan Sn, gelombang P dan S yang melalui Mohorovicic diskontinuitas.
o Gelombang pPn dan sPn, gelombang p dan s yang dipantulkan dua kali
masing-masing lewat permukaan dan lapisan batas moho.
21
Suatu gelombang seismik yang menjalar pada batas dua lapisan yang berbeda
kecepatan rambatnya, akan menjalar pada lapisan yang berkecepatan lebih
besar. Untuk menjelaskan penjalaran gelombang ini dapat diperhatikan gambar
berikut dengan anggapan permukaan datar dan model lapisan sederhana.
Gambar 3.3 Prinsip penjalaran gelombang pada lapisan kerak bumi model sederhana. OO adalah permukaan bumi;
MM menunjukkan lapisan moho; S1, S2 & S3 menunjukkan stasiun pencatat; R1, R2, & R3 merupakan titik pantul
dan bias; i, ic, & ir berturut-turut merupakan simbul sudut datang, sudut kritis dan sudut bias; Pg,Sg merupakan
gelombang langsung P & S pada lapisan granit; Pn,Sn adalah gelombang P & S yang melewati lapisan moho; sedang
V1 & V2 adalah kecepatan gelombang pada kedua lapisan.
Gelombang seismik menjalar dari sumber gempa (fokus), ada yang langsung
tercatat oleh stasiun (S2) ada yang dipantulkan oleh lapisan moho dan tercatat
di stasiun (S1), serta ada yang melalui lapisan moho dan dicatat oleh stasiun
S3. Gelombang P dan S yang langsung melalui lapisan crustal ini berturut-turut
diberi simbul Pg dan Sg atau ada yang memberi nama P dan S, dimana notasi menunjukkan lapisan granit.
Gelombang yang dipantulkan diberi masing-masing notasi PmP dan SmS dan
yang melewati lapisan moho diberi notasi Pn dan Sn. Gelombang Pn dan Sn
pada lapisan kerak kontinental tidak akan tercatat oleh stasiun stasiun yang
jarak kritisnya kurang dari 100 km.
Penjalaran gelombang model diatas menunjukkan model sangat sederhana,
kenyataannya bahwa lapisan kerak masih terbagi lagi oleh lapisan granit dan
basal, disamping itu batas permukaan tidak rata dan kadang-kadang ada
kemiringannya. Untuk itu model yang lebih realistik diperlihatkan pada
gambar berikut.
22
Gambar 3.4. Prinsip penjalaran gelombang seismic melalui continental crust dua lapisan
dengan kemiringan dan batas lapisan tidak rata. C menunjukkan simbul Conrad
diskontinuitas, sedang angka di pinngir kanan berturut turut kebawah menunjukkan
kecepatan gelombang P dan S dalam satuan km/s.
Pada model ini gelombang langsung adalah gelombang yang hanya dicatat
pada jarak episenter yang sangat lokal sekitar puluhan km yaitu pada stasiun
S1, dimana gelombang P dan S diberi notasi strip atas atau dengan simbul
simbul P dan S. Sedang Pg dan Sg adalah gelombang yang telah dibiaskan
seolah-olah melalui batas diskontinuitas lain masih pada lapisan granit.
Gelombang yang dibiaskan melalui lapisan batas diskontinuitas Conrad diberi
notasi asterisk atau b (P* , S* atau Pb, Sb) yang menunjukkan lapisan basalt.
Gelombang yang dibiaskan melalui lapisan moho notasinya tetap sama seperti
model terdahulu yaitu Pn dan Sn. Keempat macam jenis gelombang tersebut
mempunyai jarak kritis masing-masing sekitar 10 km, 100 km, 150 km dan
200 km, dan kecepatan gelombang P pada ketiga lapisan tersebut berturut-turut
kebawah adalah sekitar 6,2 km/dt, 6,6 km/dt dan 8,0 km/dt.
Sebagai pedoman dalam pembacaan seismogram biasanya dari beda waktu tiba
gelombang S dan P atau (S-P). Jika (S-P) kurang dari 20 detik kelompok
gelombang P dan S yang pertama datang biasanya berturut-turut Pg (P) dan Sg
(S). Jika (S-P) lebih besar dari 25 detik biasanya yang pertama datang adalah
Pn. Gelombang pantul oleh lapisan moho pada prakteknya sulit diidentifikasi
karena terkontaminasi oleh gelombang-gelombang Pg dan Pn atau Sg dan Sn.
Disamping pemantulan oleh lapisan moho gelombang P dan S dapat pula
dipantulkan oleh lapisan permukaan melewati kerak bumi dan dibiaskan
melalui lapisan moho dan dicatat di stasiun berturut-turut sebagai gelombang
pPn dan sPn. Prinsip penjalaran gelombang pantul permukaan ini terlihat pada
gambar berikut.
23
Gambar 3.5. Prinsip penjalaran gelombang Pn, pPn dan sPn dengan model satu lapisan
kerakbumi
Model model diatas berlaku untuk lapisan diatas kontinen, sedang pada model
samudra biasanya tidak ada lapisan granit.
Dari kasus tersebut diatas dapat digambarkan kurva waktu jalar terhadap jarak
episenter (ES) untuk gelombang langsung , dipantulkan dan dibiaskan sebagai
berikut:
Gambar 3.6. Kurva waktu jalar terhadap jarak episenter; garis 1,2 dan 3
berturut-turut menunjukkan waktu jalar gelombang langsung, bias dan pantul; EXcr
adalah jarak kritis; EXco adalah jarak cross over; sedang S1, S2, dan S3 adalah
stasiun pengamat.
Terlihat pada gambar diatas , bahwa pada jarak ES hanya akan mencatat
gelombang langsung dan gelombang yang hanya dipantulkan. Pada jarak
episenter lebih besar atau sama dengan EXCr stasiun akan merekam
24
gelombang yang dibiaskan disamping gelombang yang langsung maupun yang
dipantulkan. Jarak EXCr ini dikenal sebagai jarak kritis.
Dari kurva tersebut dapat dianalisis bahwa gelombang yang dipantulkan tidak
pernah tiba lebih awal di stasiun pencatat. Pada jarak lebih besar atau sama
dengan jarak Cross Over ( EXCo ), gelombang yang lebih dahulu sampai di
stasiun pencatat dan sebaliknya untuk jarak yang lebih kecil dari EXCo maka
gelombang yang langsung akan sampai lebih dahulu.
Sebagai petunjuk analisis pembacaan seismogram, prinsip-prinsip berikut
dapat dipakai:
o Periode dominan gelombang crustal seperti Pg, P*, Pn, Sg, S*, Sn, dsb
umumnya adalah kurang dari satu detik. Dalam hal ini catatan terbaik jika
dilihat pada seismograf periode pendek.
o Amplitude gelombang S lebih besar dari P, dan biasanya terbaca jelas pada
komponen horizontal.
o Pada jarak episenter kurang dari 200 km (tergantung pada model struktur
kerak dan kedalaman fokus), gelombang yang pertama datang adalah Pg
dan jika lebih dari 200 km gelombang yang datang lebih dulu adalah Pn.
o Gempa permukaan (sangat dangkal) yang jarak episenternya kurang dari
600 km, sering menimbulkan gelombang permukaan Rayleigh (Rg) dan
kelihatan jelas pada catatan seismograf komponen vertikal.
o Gempa lokal dan regional yang tidak besar lamanya catatan dalam
seismogram (duration time) hanya beberapa menit.
o Untuk memudahkan pembacaan sebaiknya dilakukan dengan banyak
stasiun, agar dapat membandingkannya.
2.2. Gelombang Bodi Pada Jarak Episenter 10 – 103o
Penjalaran gelombang bodi yang melalui kulit bumi dengan hiposenter di
permukaan, terlihat pada gambar berikut. Gelombang P langsung yang sampai
di permukaan bebas dapat dipantulkan sekali atau lebih menjadi gelombang P
dan S. Sebagai contoh gelombang P yang dipantulkan sekali oleh permukaan
bebas menjadi PP dan PS. Gelombang PP yang dipantulkan lagi oleh
permukaan bebas melalui mantel disebut PPP, sedang gelombang PS yang
dipantulkan kembali oleh permukaan disebut PSP.
Gelombang P langsung yang dipantulkan oleh permukaan bebas dapat terurai
menjadi gelombang P dan S, demikian pula gelombang S juga dapat terurai
menjadi gelombang P, oleh karena itu gelombang S yang langsung dan
dipantulkan sekali, dua kali atau oleh permukaan bebas melalui mantel
berturut-turut menjadi SS, SSS dan seterusnya.
25
Gelombang P langsung yang dipantulkan dua kali oleh permukaan bebas,
dapat menghasilkan empat kemungkinan, yaitu PPP, PPS, PSP dan PSS.
Pemantulan gelombang yang dapat dipantulkan sampai dua kali atau lebih
biasanya terjadi jika jarak episenternya lebih dari 40o, untuk jarak lebih dari
40o pemantulannya lebih komplek lagi. Gelombang yang dipantulkan oleh
lapisan diskontinuitas inti luar-mantel diberi notasi c. Sebagai contoh ScP
adalah gelombang yang menjalar kebawah dari hiposenter kemudian
dipantulkan oleh inti luar dan tercatat di permukaan bumi sebagai gelombag P.
Jenis-jenis gelombang ini biasanya tercatat pada jarak episenter kurang dari
40o.
Gambar 3.7. Contoh penjalaran gelombang bodi yang melalui kulit bumi dan dipantulkan oleh
permukaan bebas dan inti luar untuk kasus gempa dangkal.
Untuk gempa yang hiposenternya dalam, penjalaran gelombang bodi dapat
dilihat pada gambar berikut. Gelombang langsung dari fokus ke permukaan
diberi nama dengan huruf kecil, yaitu p untuk gelombang longitudinal dan s
untuk gelombang transversal. Untuk yang dekat dengan episenter gelombang
langsung yang dipantulkan oleh permukaan dapat tercatat 4 kemungkinan yaitu
pP, sP, pS dan sS. Pada gempa dalam amplitude untuk fase pP biasanya lebih
besar dan gelombang sP dapat lebih besar dari pP.
26
Gambar 3.8. Contoh penjalaran gelombang bodi yang melalui kulit bumi dan dipantulkan oleh
permukaan bebas untuk kasus gempa dangkal.
Selain dipantulkan oleh permukaan bebas atau inti luar, gelombang bodi dapat
pula dipantulkan oleh lapisan diskontinuitas pada mantel atas. Dalam hal ini
diberi notasi d (depth atau kedalaman sumber gempa dengan satuan km).
Sebagai contoh P650P adalah gelombang P yang dipantulkan oleh lapisan
diskontinuitas yang dalamnya 650 km. Kasus ini terlihat pada gambar
dibawah.
2.3. Gelombang Bodi Pada Jarak Episenter Lebih Dari 103o
Pada jarak episenter lebih dari 100o, amplitude gelombang P langsung akan
meluruh secara dramatis, dan pada jarak sekitar 140o akan kembali tampak.
Jarak episenter antara 103 – 140 disebut sebagai shadow zone, dimana pada
jarak ini tidak ada gelombang P langsung yang tercatat. Gelombang langsung
yang terakhir mengalami proses difraksi oleh lapisan batas inti-mantel.
Gelombang difraksi ini diberi simbul dengan Pc atau Pdif. Gelombang Pc
mempunyai amplitude yang kecil dan periode panjang yang kadang-kadang
dapat tercatat sampai jarak lebih dari 160o. Untuk shadow zone gelombang S
langsung adalah antara 103o sampai -103o atau antara 103 - 257o dan simbul
untuk gelombang difraksinya Sc atau Sdif. Penjalaran gelombang yang terkait
dengan shadow zone ini terlihat pada gambar berikut.
27
Gambar 3.9. Penjalaran gelombang P langsung pada mantel, gelombang difraksi oleh lapisan
batas core-mantle, gelombang pantul oleh lapisan diskontinuitas mantel atas serta shadow
zone.
Gelombang P yang melewati inti luar diberi notasi dengan huruf K, yaitu
singkatan dari Kernwellen ahli seismologis Jerman yang menemukan pertama
kali. Tingkah laku gelombang ini terlihat pada gambar dibawah ini.
Gelombang langsung yang melewati mantel, kemudian dibiaskan pada inti luar
dan keluar lagi melalui mantel ini dapat terbentuk empat macam, yaitu: PKP,
PKS, SKP dan SKS.
Gelombang K adalah termasuk gelombang P karena gelombang S tidak bisa
melewati inti luar, dan sebab inilah material inti luar berbentuk cair.
Gelombang PKP sering disingkat dengan notasi P’. Gelombang P yang
melewati inti dalam diberi notasi I, dan dalam hal ini juga dapat terbentuk
empat macam yaitu: PKIKP, PKIKS, SKIKP, DAN SKIKS. Untuk gelombang
S yang melewati inti dalam diberi simbul J, namun dalam prakteknya juga
digunakan simbul I.
Gambar 3.10. Penjalaran gelombang P yang melalui mantel, inti luar dan inti dalam.
28
Gelombang yang menjalar melewati inti dalam, bisa dipantulkan hanya
menyinggung inti dalam dan juga dapat dipantulkan sekali atau lebih oleh
batas inti dalam-inti luar. Jika tidak sempat masuk kedalam inti dalam tapi
setelah sampai batas inti dalam-inti luar langsung keluar maka diberi simbul i,
contohnya PKiKP. Dalam hal gelombang P yang menjalar melewati inti dalam
dan memantul sekali, dua kali atau lebih dan terakhir keluar di permukaan
berupa gelombang P, maka berturut-turut diberi simbul: PKIKP, PKIIKP, dan
seterusnya. Penggambaran gelombangnya terlihat pada gambar dibawah.
Gambar 3.11. Penjalaran gelombang P melalui inti dalam.
3. Persamaan Gelombang
Dasar teori yang digunakan dalam pengamatan gempa adalah persamaan
gelombang elastik untuk media yang homogen isotropik yang dapat ditulis
(Lee, 1981):
Dimana :
i = 1,2,3
∂ Uj
∂u + ∂v + ∂w
θ = Σ
=
∂ Xj
∂x
∂y
∂y
= perubahan volume atau dilatasi
ρ = densitas
Uj = vektor tegangan komponen ke i
Xj = komponen sumbu koordinat ke i
29
t = waktu
λ = konstante Lame
μ = modulus rigiditas
∂² ∂²
∂²
2
 = laplacian =
+
+
∂x
∂y ∂z
Untuk bangun tiga dimensi, secara lengkap persamaan ( 3.3-1 ) dapat ditulis
sebagai berikut:
Jika ketiga persamaan tersebut terakhir dideferensiasi terhadap x , y dan z dan
kemudian hasilnya di jumlahkan diperoleh persamaan :
Persamaan (3.3-3) merupakan persamaan gerak gelombang yang merambat
dengan kecepatan :
Gelombang tersebut dalam Seismologi dikenal sebagai gelombang
longitudinal, gelombang dilatasi , gelombang kompresi atau gelombang Primer
(P).
Jika persamaan ( 3.3-2 b) dan ( -2c ) masing-masing dideferensiasikan
terhadap z dan y dan kemudian hasilnya dikurangkan diperoleh persamaan :
Dengan mensubstitusikan komponen x pada persamaan rotasi benda :
30
w
w v

y z
ke persamaan (3.3-5 ) didapat persamaan :
Persamaan ( 3.3-6) ini menyatakan persamaan gerak gelombang shear,
gelombang rotasi, gelombang transversal, atau gelombang sekunder (S) yang
merambat dengan kecepatan :
Untuk model kerakbumi dengan lapisan sederhana persamaan gelombang yang
dibiaskan adalah sebagai berikut:
Waktu jalar gelombang pada kasus media N lapisan dengan ketebalan masingmasing lapisan h1, h2, h3, . . . , hn , dengan kecepatan masing-masing V1, V2,
. . . , Vn dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Gambar 3.12. Lintasan gelombang bias beberapa lapisan dengan sumber
dipermukaan.
T1 
x
v1
31
x 2h1 cos i12

v1
v2
x 2h cos i13 2h2 cos i23
T3   1

v3
v1
v2
T2 
Jarak cross overnya :
Hubungan antara jarak episenter terhadap waktu jalar gelombang bias untuk
model tiga lapisan datar terlihat pada gambar berikut:
Gambar3.13. Grafik T-X dari tiga lapisan horisontal
Perpanjangan garis 1/v2 dan 1/v3 akan memotong sumbu T di titik τ i  dan
τ i 2, yang disebut intercept time (waktu tunda). Sedangkan proyeksi titik
potong garis 1/v1 dan 1/v2 serta 1/v2 dan 1/v3 ke sumbu X disebut jarak cross
over pertama, EXco1, dan jarak cross over kedua, Exco2.
Untuk menentukan struktur kerak bumi di bawah permukaan dapat
dipergunakan salah satu metode dari metode waktu tunda (Intercept time) atau
metode jarak cross over.
Dengan metode waktu tunda didapat persamaan:
32
Akan memotong sumbu T dan disebut Intercept time atau waktu tunda (τ i )
dan kedalaman lapisan pertama dan kedua kerak bumi model sederhana
diformulakan:
Sedang dengan metode jarak Cross Over akan didapat persamaan-persamaan
sebagai berikut:
X
Tl 
v1


1
X 2h1 2
2

v3  v1 2
v 2 v1v 2
Titik potong kedua persamaan tersebut di atas di titik (Xco1, T1)
T1 = Tb
Jadi
Tb 

EX co EX co 2h1 2
2


v2  v1
v1
v2
v1v2
EX co v 2  v1 
h1 
2 v 2  v 2 12

2
1

1
dengan
2

Atau kedalaman lapisan pertama dapat ditulis:
sedang kedalaman lapisan kedua adalah:
33
34
BAB IV
PARAMETER GEMPABUMI
Setiap kejadian gempabumi akan menghasilkan informasi seismik berupa
rekaman sinyal berbentuk gelombang yang setelah melalui proses manual atau
non manual akan menjadi data bacaan fase (phase reading data). Informasi
seismik selanjutnya mengalami proses pengumpulan, pengolahan dan analisis
sehingga menjadi parameter gempabumi. Parameter gempabumi tersebut
meliputi : Waktu kejadian gempabumi, Lokasi episenter, Kedalaman sumber
gempabumi, Kekuatan gempabumi, dan Intensitas gempabumi.
Waktu kejadian gempabumi (Origin Time) adalah waktu terlepasnya
akumulasi tegangan (stress) yang berbentuk penjalaran gelombang gempabumi
dan dinyatakan dalam hari, tanggal, bulan, tahun, jam, menit, detik dalam
satuan UTC (Universal Time Coordinated).
Episenter adalah titik di permukaan bumi yang merupakan refleksi tegak lurus
dari Hiposenter atau Fokus gempabumi. Lokasi Episenter dibuat dalam sistem
koordinat kartesian bola bumi atau sistem koordinat geografis dan dinyatakan
dalam derajat lintang dan bujur.
Kedalaman sumber gempabumi adalah jarak hiposenter dihitung tegak lurus
dari permukaan bumi. Kedalaman dinyatakan oleh besaran jarak dalam satuan
km.
Kekuatan gempabumi atau Magnitude adalah ukuran kekuatan gempabumi,
menggambarkan besarnya energi yang terlepas pada saat gempabumi terjadi
dan merupakan hasil pengamatan Seismograf. Magnitude menggunakan skala
Richter (SR).
Intensitas gempabumi adalah ukuran kerusakan akibat gempabumi berdasarkan
hasil pengamatan efek gempabumi terhadap manusia, struktur bangunan dan
lingkungan pada tempat tertentu, dinyatakan dalam skala MMI (Modified
Mercalli Intensity).
1. Magnitude
35
Konsep “Magnitude Gempabumi” sebagai skala kekuatan relatif hasil dari
pengukuran fase amplitude dikemukakan pertama kali oleh K. Wadati dan
C. Richter sekitar tahun 1930 (Lay. T and Wallace. T.C,1995).
Kekuatan gempabumi dinyatakan dengan besaran Magnitude dalam skala
logaritma basis 10. Suatu harga Magnitude diperoleh sebagai hasil analisis tipe
gelombang seismik tertentu (berupa rekaman getaran tanah yang tercatat
paling besar) dengan memperhitungkan koreksi jarak stasiun pencatat ke
episenter.
Dewasa ini terdapat empat jenis Magnitude yang umum digunakan (Lay. T and
Wallace. T.C, 1995) yaitu : Magnitude lokal, Magnitude bodi, Magnitude
permukaan dan Magnitude momen.
1.1. Magnitude Lokal (ML)
Magnitude lokal (ML) pertama kali diperkenalkan oleh Richter di awal tahun
1930-an dengan menggunakan data kejadian gempabumi di daerah California
yang direkam oleh Seismograf Woods-Anderson. Menurutnya dengan
mengetahui jarak episenter ke seismograf dan mengukur amplitude maksimum
dari sinyal yang tercatat di seismograf maka dapat dilakukan pendekatan untuk
mengetahui besarnya gempabumi yang terjadi. (USGS, 2002)
Magnitude lokal mempunyai rumus empiris sebagai berikut :
ML = log a + 3 log  - 2.92………………………………………(4.1-1)
Dengan a = amplitude getaran tanah (m),  = jarak Stasiun pencatat ke
sumber gempabumi (km) dengan   600 km.
Saat ini penggunaan ML sangat jarang karena pemakaian seismograf WoodsAnderson yang tidak umum. Selain itu penggunaan kejadian gempabumi yang
terbatas pada wilayah California dalam menurunkan persamaan empiris
membuat jenis magnitude ini paling tepat digunakan untuk daerah tersebut
saja. Karena itu dikembangkan jenis magnitude yang lebih tepat untuk
penggunaan yang lebih luas dan umum.
1.2. Magnitude Bodi (mb)
Terbatasnya penggunaan magnitude lokal untuk jarak tertentu membuat
dikembangkannya tipe magnitude yang bisa digunakan secara luas. Salah
satunya adalah mb atau magnitude bodi (Body-Wave Magnitude). Magnitude
36
ini didefinisikan berdasarkan catatan amplitude dari gelombang P yang
menjalar melalui bagian dalam bumi (Lay. T and Wallace.T.C. 1995). Secara
umum dirumuskan dengan persamaan :
mb = log (a/T) + Q (h, )………………………….(4.1-2)
Dengan a = amplitudo getaran (m), T = periode getaran (detik) dan Q (h, ) =
koreksi jarak  dan kedalaman h yang didapatkan dari pendekatan empiris.
1.3. Magnitude Permukaan (Ms)
Selain Magnitude bodi dikembangkan pula Ms, Magnitude permukaan
(Surface-wave Magnitude). Magnitude tipe ini didapatkan sebagai hasil
pengukuran terhadap gelombang permukaan (surface waves). Untuk jarak  
600 km seismogram periode panjang (long-period seismogram) dari
gempabumi dangkal didominasi oleh gelombang permukaan. Gelombang ini
biasanya mempunyai periode sekitar 20 detik. Amplitude gelombang
permukaan sangat tergantung pada jarak  dan kedalaman sumber gempa h.
Gempabumi dalam tidak menghasilkan gelombang permukaan, karena itu
persamaan Ms tidak memerlukan koreksi kedalaman. Magnitude permukaan
mempunyai bentuk rumus sbb:
Ms = log a +  log  + ……………………………(4.1-3)
Dengan a = amplitude maksimum dari pergeseran tanah horisontal pada
periode 20 detik,  = Jarak (km),  dan  adalah koefisien dan konstanta yang
didapatkan dengan pendekatan empiris. Persamaan ini digunakan hanya untuk
gempa dengan kedalaman sekitar 60 km. Hubungan antara Ms dan mb dapat
dinyatakan dalam persamaan :
atau
mb = 2.5 + 0.63 Ms ………………………………..(4.1-4)
Ms = 1.59 mb – 3.97…………………………..……(4.1-5)
1.4. Magnitude Momen (Mw)
Kekuatan gempabumi sangat berkaitan dengan energi yang dilepaskan oleh
sumbernya. Pelepasan energi ini berbentuk gelombang yang menjalar ke
permukaan dan bagian dalam bumi. Dalam penjalarannya energi ini
mengalami pelemahan karena absorbsi dari batuan yang dilaluinya, sehingga
energi yang sampai ke stasiun pencatat kurang dapat menggambarkan energi
gempabumi di hiposenter.
37
Berdasarkan Teori Elastik Rebound diperkenalkan istilah momen seismik
(seismic moment). Momen seismik dapat diestimasi dari dimensi pergeseran
bidang sesar atau dari analisis karakteristik gelombang gempabumi yang
direkam di stasiun pencatat khususnya dengan seismograf periode bebas
(broadband seismograph).
Mo = µ D A …………………………………………….(4.1-6)
Dengan Mo = momen seismik, µ = rigiditas, D = pergeseran rata-rata bidang
sesar, A = area sesar.
Secara empiris hubungan antara momen seismik dan magnitude permukaan
dapat dirumuskan sebagai berikut:
log Mo = 1.5 Ms + 16.1 …………………………………(4.1-7)
Ms = magnitude permukaan (Skala Richter) Kanamori (1997) dan Lay. T and
Wallace. T. C, (1995) memperkenalkan Magnitude momen (moment
magnitude) yaitu suatu tipe magnitude yang berkaitan dengan momen seismik
namun tidak bergantung dari besarnya magnitude permukaan :
Mw = (log Mo/1.5) – 10.73 …………………………..(4.1-8)
Dengan Mw = magnitude momen, Mo = momen seismik.
Meskipun dapat menyatakan jumlah energi yang dilepaskan di sumber
gempabumi dengan lebih akurat, namun pengukuran magnitude momen lebih
komplek dibandingkan pengukuran magnitude ML, Ms dan mb. Karena itu
penggunaannya juga lebih sedikit dibandingkan penggunaan ketiga magnitude
lainnya (Lay. T and Wallace. T. C, 1995).
1.5. Magnitude Yang Digunakan BMG
Menurut Tajib. S, (1986) pengamatan gempabumi di Indonesia berawal pada
tahun 1898 saat pemerintah Hindia Belanda mengoperasikan seismograf
mekanik Ewing di Jakarta. Kemudian tahun 1908 dipasang seismograf
Wiechert komponen horizontal, yang pada tahun 1928 dilengkapi dengan
seismograf Wiechert komponen vertical. Pemasangan kedua jenis seismograf
38
tersebut dilakukan di beberapa kota yaitu Jakarta, Medan, Bengkulu dan
Ambon.
Dengan adanya seismograf telah dilakukan pemantauan gempabumi meskipun
dengan tingkat keakuratan rendah jika dibandingkan saat ini. Pada masa
pendudukan Jepang beberapa seismograf yang rusak akibat peperangan
mengalami perbaikan sehingga dapat beroperasi kembali.
Pada tahun 1953 seismograf elektromagnetik Sprengnether dipasang di
Lembang, yang disusul dengan pemasangan seismograf yang sama di Medan,
Tangerang, Denpasar, Makasar, Kupang, Jayapura, Manado dan Ambon,
sehingga pada tahun 1975 Indonesia memiliki jaringan seismograf
Sprengnether tiga komponen. Bersamaan dengan hal itu, sekitar tahun 1960
seismologi dan teknologi mengalami perkembangan yang besar disertai dengan
beroperasinya stasiun WWSSN (World Wide Standard Seismograph Net work)
di seluruh dunia salah satunya dipasang di Lembang tahun 1963, sehingga
kelengkapan dan keakuratan penghitungan parameter gempabumi meningkat
pesat.
Perkembangan ini tentu saja mempengaruhi kelengkapan data gempabumi
merusak. Jika sebelum tahun 1960 catatan yang ada hanya memberikan
informasi mengenai waktu gempabumi dirasakan di suatu tempat dan
Intensitasnya di tempat tersebut, maka pada catatan kejadian gempabumi
tahun-tahun berikutnya menjadi lebih lengkap dengan adanya keterangan
mengenai lokasi episenter, kedalaman dan Magnitude. Magnitude yang
digunakan adalah jenis Magnitude bodi (mb).
Pada tahun 1975-1979 UNESCO mengadakan proyek pengembangan
seismologi di Indonesia yang antara lain meliputi standarisasi seismograf dan
proses pengolahan data gempabumi, serta pengembangan jaringan pemantau.
Sejak tahun 1975 jenis magnitude yang digunakan adalah Magnitude Lokal
(ML). ML ditentukan berdasarkan pembacaan jarak episenter, sinyal dan
magnifikasi alat.
Mulai Februari 1996 dalam proses penentuan parameter gempabumi, Pusat
Gempa Nasional (PGN)-BMG menggunakan perangkat lunak ARTDAS
(Automatic Real Time Data Acquisition System) yang dioperasikan dengan
perangkat keras SUN Work station. Sejak saat itu PGN-BMG menggunakan
39
tiga macam magnitude untuk menyatakan kekuatan gempabumi secara
instrumental. Ketiga magnitude tersebut adalah Magnitude Lokal (ML),
Magnitude bodi (mb) dan Magnitude durasi (MD).
1.6. Magnitude Durasi (MD)
Menurut Lee dan Stewart, (1981) sejak tahun 1972, studi mengenai kekuatan
gempabumi dikembangkan pada penggunaan durasi sinyal gempabumi untuk
menghitung magnitude bagi kejadian gempa lokal, diantaranya oleh Hori
(1973), Real dan Teng (1973), Herrman (1975), Bakum dan Lindh (1977),
Gricom dan Arabasz (1979), Johnson (1979) dan Suteau dan Whitcomb
(1979). Maka diperkenalkan Magnitude Durasi (Duration Magnitude) yang
merupakan fungsi dari total durasi sinyal seismik. (Massinon, B, 1986).
Magnitudo Durasi (MD) untuk suatu stasiun pengamat persamaannya adalah :
MD = a1 + a2 log  + a3 + a4 h…………………….(4.1-8)
Dengan MD = magnitudo durasi,  = durasi sinyal (detik),  = jarak episenter
(km), h = kedalaman hiposenter (km) dan a1, a2, a3, dan a4 adalah konstante
empiris.
Magnitude durasi sangat berguna dalam kasus sinyal yang sangat besar
amplitudenya (off-scale) yang mengaburkan jangkauan dinamis sistem
pencatat sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan pembacaan apabila
dilakukan estimasi menggunakan ML (Massinon. B, 1986).
2. Intensitas Gempabumi
Intensitas gempabumi adalah ukuran kerusakan akibat gempabumi berdasarkan
hasil pengamatan efek gempabumi terhadap manusia, struktur bangunan dan
lingkungan pada tempat tertentu. Besarnya intensitas di suatu tempat tidak
tergantung dari besarnya kekuatan gempabumi (Magnitude) saja namun juga
tergantung dari besarnya jarak tempat tersebut ke sumber gempabumi dan
kondisi geologi setempat.
Intensitas berbeda dengan magnitude karena intensitas adalah hasil
pengamatan visual pada suatu tempat tertentu sedangkan, magnitude adalah
hasil pengamatan instrumental menggunakan seismograf. Pada suatu kejadian
gempabumi besarnya Intensitas pada tempat yang berbeda dapat sama atau
berlainan sedangkan besarnya Magnitude selalu sama walaupun dicatat atau
dirasakan di tempat yang berbeda.
40
Terdapat beberapa macam skala pengukuran intensitas yaitu : skala Modified
Mercalli Intensity (MMI) yang diakui menurut standar internasional, skala
intensitas Medvedev-Sponheur-Karnik (MSK) yang sejak 1992 dirubah
menjadi European Macroseismic Scale atau EMS yang digunakan di Eropa
bagian timur, skala intensitas Japan Meteorological Agency (JMA) yang
digunakan di Jepang dan skala intensitas Rossi-Forel (RF) yang digunakan di
Cina.
Sebelum tahun 1948 Indonesia menggunakan skala intensitas Rossi-Forel,
antara tahun 1948-1955 menggunakan skala Jakarta (0-VII) dan sesudah tahun
1955 menggunakan skala MMI (Soetarjo.R, 1979). Dengan adanya revisi yang
terus-menerus dilakukan maka seluruh kejadian gempabumi yang ada dalam
katalog gempabumi BMG saat ini telah dikonversi ke skala MMI.
Intensitas bukanlah merupakan parameter energi gempa bumi, tetapi dapat
menggambarkan atau mengungkapkan kekuatan / magnitude gempa bumi
dengan baik. Apabila magnitude dihitung berdasarkan rekaman pada instrumen
maka intensitas berdasarkan akibat langsung dari gempabumi atau dengan
perkataan lain, intensitas adalah skala yang dibuat untuk menggambarkan
secara langsung kekuatan gempa bumi dan pengaruh di permukaan bumi
seperti misalnya pengaruh terhadap bangunan, topografi dan sebagainya, yang
pada umumnya disebut sebagai efek makro.
Magnitude mempunyai sebuah harga untuk suatu gempa bumi, tetapi intesitas
akan berubah dengan perubahan tempat. Intensitas yang terbesar ( maksimum )
terdapat di daerah episenter, dan dari daerah tersebut nilai intensitas pada
umumnya akan menurun atau berkurang dengan jarak kesegala jurusan.
Skala intensitas yang pertama kali adalah skala intensitas Rossi-Forel, yang
mempunyai 10 ( sepuluh ) derajat skala. Tetapi karena skala tersebut tidak
memperlihatkan pembagian yang baik untuk gempa-gempa bumi yang kuat /
merusak, maka kemudian diganti dengan 12 ( dua belas ) derajat skala, hal ini
pun masih tergantung pada para pembuatnya, misalnya: skala Mercalli, skala
Sieberg, dan sebagainya. Kemudian diperbaiki oleh Wood dan Neumann di
Amerika pada tahun 1931, dan selanjutnya disebut skala Modified Mercalli
(skala MMI ).
Perubahan lain juga dibuat oleh Richter dan menamakan hasilnya sebagai
skala intensitas Modified Mercalli Versi 1956. perubahan terakhir dibuat oleh
Medvedev, Sponheuer beserta Karnik dan dinamakan skala intensitas MSK
tahun 1964. Harga intensitas dari MSK 1964 sesuai dengan skala Mercalli
Cancani-Sieberg (1917), Modified Mercalli (1931), dan skala Soviet (1952).
41
Sedangkan skala Jepang (1950) adalah 7 derajat skala, yang dibuat oleh
pemerintah Jepang.
Perlu diperhatikan bahwa sklala intensitas bukan skala magnitude. Pada
umumnya, untuk menentukan secara tepat intensitas dari suatu gempa bumi di
suatu daerah, dikirimkan suatu tim peneliti yang langsung terjun ke lapangan
atau daerah dimana terdapat efek atau pengaruh gempa bumi tersebut.
Pengamatan ini perlu pengetahuan mengenai kondisi geologi dan tipe
konstruksi bangunan.
Hasil dari penelitian tersebut, merupakan data yang diperlukan untuk
menentukan skala intensitas dan selanjutnya dibuat peta isoseismal. Isoseismal
adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat dengan intensitas yang
sama. Untuk menghindari kerancuan dengan besaran magnitude, skala
intensitas ditulis dengan angka Romawi.
Suatu kenyataan, bahwa intensitas yang lebih besar akan terjadi pada tanah
yang lunak / gembur dibandingkan pada tanah yang padat / bedrock. Dalam
melihat kerusakan yang diakibatkan oleh suatu gempa bumi, harus diyakini
benar bahwa kerusakan tersebut timbul karena pengaruh gempa bumi, dan
bukan karena pengaruh yang lain, seperti misalnya: perubahan suhu yang besar
dan mendadak, deruman sonik pesawat terbang dan sebagainya.
Dengan menggunakan peta isoseismal, dapat diperkirakan parameter gempa
bumi lainnya, seperti letak episenter, kedalaman pusat gempa bumi, dan
sebagainya.
Penentuan episenter secara instrumen (pembacaan rekaman permulaan
gelombang P dan S), pada umumnya merupakan sebuah titik dimana sesar
tersebut dimulai. Apabila sesar merupakan belahan panjang, maka lokasi
episenter tersebut akan menyimpang dari daerah intensitas maksimum. Apabila
pusat gempa bumi terjadi pada suatu kedalaman tertentu, maka pengaruh
intensitas akan lebih kecil kalau menjauhi episenter, dibandingkan apabila
pusat gempa bumi lebih dangkal.
Hubungan antara Intensitas suatu tempat (I), intensitas maksimum (Io), radius
isoseismal (r) dan kedalaman fokus (h), secara empiris dirumuskan sebagai
berikut:
I 0  I  3 log
r12  h 2
………………...(4.2-1)
h 2,
42
Dari suatu gempa bumi di California Selatan diperoleh hubungan antara
magnitude gempabumi dengan intensitas maksimum (Io), dan diperlihatkan
dalam persamaan :
2I
M  I  o ……………………………(4.2-2)
3
Sudah dapat dipastikan bahwa variasi yang besar banyak terjadi pada
persamaan diatas untuk daerah seismik yang berbeda. Persamaan-persamaan
tersebut adalah yang umum berlaku dan hanya dipakai sebagai pendekatan
pertama, bila data mengenai suatu daerah seismik tidak diketahui.
SKALA MODIFIED MERCALLI INTENSITY (MMI)
I.
Getaran tidak dirasakan kecuali dalam keadaan hening oleh beberapa
orang.
II.
Getaran dirasakan oleh beberapa orang yang tinggal diam, lebih-lebih
di rumah tingkat atas. Benda-benda ringan yang digantung bergoyang.
III.
Getaran dirasakan nyata dalam rumah tingkat atas. Terasa getaran
seakan ada truk lewat, lamanya getaran dapat ditentukan.
IV.
Pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, di luar oleh
beberapa orang. Pada malam hari orang terbangun, piring dan gelas
dapat pecah, jendela dan pintu berbunyi, dinding berderik karena
pecah-pecah. Kacau seakan-akan truk besar melanggar rumah,
kendaraan yang sedang berhenti bergerak dengan jelas.
V.
Getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk, orang banyak
terbangun. Jendela kaca dan plester dinding pecah, barang-barang
terpelanting, pohon-pohon tinggi dan barang-barang besar tampak
bergoyang. Bandul lonceng dapat berhenti.
VI.
Getaran dirasakan oleh semua penduduk, kebanyakan terkejut dan lari
keluar, kadang-kadang meja kursi bergerak, plester dinding dan
cerobong asap pabrik rusak. Kerusakan ringan.
VII.
Semua orang keluar rumah, kerusakan ringan pada rumah-rumah
dengan bangunan dan konstruksi yang baik. Cerobong asap pecah atau
retak-retak. Goncangan terasa oleh orang yang naik kendaraan.
43
VIII.
Kerusakan ringan pada bangunan-bangunan dengan konstruksi yang
kuat. Retak-retak pada bangunan yang kuat. Banyak kerusakan pada
bangunan yang tidak kuat. Dinding dapat lepas dari kerangka rumah,
cerobong asap pabrik-pabrik dan monumen-monumen roboh. Meja
kursi terlempar, air menjadi keruh, orang naik sepeda motor terasa
terganggu.
IX.
Kerusakan pada bangunan yang kuat, rangka-rangka rumah menjadi
tidak lurus, banyak lubang-lubang karena retak-retak pada bangunan
yang kuat. Rumah tampak bergeser dari pondasinya, pipa-pipa dalam
tanah putus.
X.
Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka-rangka rumah lepas dari
pondasinya, tanah terbelah, rel melengkung. Tanah longsor di sekitar
sungai dan tempat-tempat yang curam serta terjadi air bah.
XI.
Bangunan-bangunan kayu sedikit yang tetap berdiri, jembatan rusak,
terjadi lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai sama sekali, tanah
terbelah, rel melengkung sekali.
XII.
Hancur sama sekali. Gelombang tampak pada permukaan tanah,
pemandangan menjadi gelap, benda-benda terlempar ke udara.
PERBANDINGAN BEBERAPA SKALA INTENSITAS
M S K Skala Jepang
Th. 1964
Th. 1950
I
0
II
1
III
2
IV
2/3
V
3
VI
4
VII
4/5
VIII
5
IX
6
X
6
XI
7
XII
7
Skala Rossi Forrel
Th. 1874
I
II
III
IV
V – VI
VII
VIII
IX
X
X
X
X
44
3. Energi Gempabumi
Bentuk energi yang dilepaskan saat terjadinya gempabumi antara lain adalah
energi deformasi gelombang. Energi deformasi dapat dilihat pada perubahan
bentuk volume sesudah terjadinya gempa bumi, seperti misalnya tanah naik,
tanah turun, pergeseran batuan, dan lain-lain. Sedangkan energi gelombang
akan menggetarkan medium elastis disekitarnya dan akan menjalar ke segala
arah.
Pemancaran energi gempa bumi dapat besar ataupun kecil, hal ini tergantung
dari karakteristik batuan yang ada dan besarnya stress yang dikandung oleh
suatu batuan pada suatu daerah. Pada suatu batuan yang rapuh ( batuan yang
heterogen ), stress yang dikandung tidak besar karena langsung dilepaskan
melalui terjadinya gempa gempa-gempa kecil yang banyak. Sedangkan untuk
batuan yang lebih kuat ( batuan yang homogen ), gempa kecil tidak terjadi
( jarang terjadi ) sehingga stress yang dikandung sangat besar dan pada suatu
saat batuannya tidak mampu lagi menahan stress, maka akan terjadi gempa
dengan magnitude yang besar.
Dengan kata lain untuk batuan yang lebih rapuh ( heterogen ), energi yang
dikumpulkan tidak terlalu besar karena langsung dilepaskan dalam bentuk
gelombang seismik, sedangkan untuk batuan yang lebih kuat, energinya akan
dikumpulkan dalam waktu relatif lebih lama sehingga pada saat dilepaskan
(karena batuan sudah tidak mampu lagi menahan stress), energinya sudah
terkumpul banyak dan gempabumi yang terjadi akan lebih besar.
Energi gempa bumi dapat ditaksir dari pengamatan makroseismik, tetapi
biasanya tidak diperoleh hasil yang memadai. Gelombang seismik merupakan
bentuk energi yang paling mudah dideteksi yaitu dengan cara pencatatan pada
alat. Dengan menggunakan data ini kita dapat menaksir energi gempabumi
yang memadai. Ukuran besarnya energi gempabumi ditentukan dengan hasil
catatan amplitudo gelombang seismik yang dinyatakan dengan istilah
Magnitude gempabumi.
Penentuan magnitude baik menggunakan gelombang bodi (mb), maupun
gelombang permukaan (Ms) tidak menunjukan skala yang sama. Secara
historis ML, Ms, dan mb dimaksudkan untuk mendapatkan titik temu satu
sama lain, akan tetapi pada kenyataannya penentuan secara terpisah
menggambarkan ketidak setaraan terutama antara mb dan Ms.
45
Gutenberg dan Richter ( 1956 ) memperoleh hubungan antara Ms dan mb,
sebagai mana terlihat pada persamaan (4.1-4). Kemudian Bath, pada tahun
yang sama menyatakan bahwa:
mb = 0,61 Ms + 2,7..………………..(4.3-1)
Sedangkan Karnik, Venek, dan Zatopek pada tahun 1957 menyatakan bahwa
hubungan antara kedua magnitude itu sama dengan yang dibuat oleh Bath.
Bertolak dari kenyataan diatas, maka Gutenberg membuat penyeragaman dari
nilai magnitude yang dikenal dengan “Unitied Magnitude” sebagai rata-rata
dari nilai mb dan Ms. Dengan nilai magnitude tersebut diperoleh hubungan
antara energi terhadap magnitude sebagai berikut:
log E = 5,8 + 2,4 M……………(4.3-2)
Dimana, E adalah energi di pusat gempa, dalam satuan erg dan M adalah
magnitude.
Sedangkan rumusan energi secara terpisah yang disepakati secara Internasional
dipilih rumusan dari Bath, yang dinyatakan untuk mb dan Ms berturut-turut
sebagi berikut:
log E = 5,78 + 2,48 mb ……………..(4.3-3)
log E = 12,24 + 1,44 Ms ……..…….(4.3-4)
Perlu pula dijelaskan disini bahwa rumusan yang asli dari Gutenberg dan
Richter ( 1942 ) adalah :
log E = 11,3 + 1,8 Ms….…………..(4.3-5)
4. Percepatan Tanah
Parameter getaran gelombang gempa yang dicatat oleh seismograf umumnya
adalah simpangan kecepatan atau velocity dalam satuan kine (cm/dt). Selain
velocity tentunya parameter yang lain seperti displacement (simpangan dalam
satuan micrometer) dan percepatan (acceleration dalam satuan gal atau cm/dt2)
juga dapat ditentukan. Parameter percepatan gelombang seismik atau sering
disebut percepatan tanah merupakan salah satu parameter yang penting dalam
seismologi teknik atau earthquakes engineering. Besar kecilnya percepatan
46
tanah tersebut menunjukkan resiko gempabumi yang perlu diperhitungkan
sebagai salah satu bagian dalam perencanaan bangunan tahan gempa.
Setiap gempa yang terjadi akan menimbulkan satu nilai percepatan tanah pada
suatu tempat (site). Nilai Percepatan tanah yang akan diperhitungkan pada
perencanaan bangunan adalah nilai percepatan tanah maksimum.
Meskipun gempabumi yang kuat tidak sering terjadi tetapi tetap sangat
membahayakan kehidupan manusia. Salah satu hal yang penting dalam
penelitian seismologi adalah mengetahui kerusakan akibat getaran gempabumi
terhadap bangunan-bangunan di setiap tempat. Hal ini diperlukan untuk
menyesuaikan kekuatan bangunan yang akan dibangun di daerah tersebut.
Bangunan-bangunan yang mempunyai kekuatan luar biasa dapat saja dibuat,
sehingga bila terjadi gempabumi yang bagaimanapun kuatnya tidak akan
mempunyai tanggapan / reaksi yang tidak sama terhadap kekuatan gempabumi.
Nilai percepatan tanah dapat dihitung langsung dengan seismograf khusus
yang disebut strong motion seismograph atau accelerograf. Namun karena
begitu pentingnya nilai percepatan tanah dalam menghitung koefisien seismik
untuk bangunan tahan gempa, sedangkan jaringan accelerograf tidak lengkap
baik dari segi periode waktu maupun tempatnya, maka perhitungan empiris
sangat perlu dibuat.
Oleh sebab itu untuk keperluan bangunan tahan gempa harga percepatan tanah
dapat dihitung dengan cara pendekatan dari data historis gempabumi.
Beperapa formula pendekatan antara lain :
o Hubungan rumus Richter
I O  1.5( M  0.5)
log a  I 3  0.5 …………………..(4.4-1)
Dimana M adalah magnitude, I O adalah intensitas pada tempat yang akan
dicari dan a adalah percepatan tanah pada tempat yang dicari dalam satuan
cm/dt 2 atau gal.
o Hubungan rumus Murphy dan O’Brein
log a  0.14I  0.24M  0.68 log   0.7 … (4.4-2)
Dimana a adalah percepatan tanah pada tempat yang akan dicari, I adalah
intensitas gempa pada tempat yang akan dicari, M adalah magnitude dan
 adalah jarak episenter dalam km.
47
o Hubungan rumus Donovan
a  1080 (exp 0.5 M ) /(r  25 )1.32 ………………(4.4-3)
Di mana a adalah percepatan, M adalah magnitude dan r adalah jarak
hiposenter dalam satuan km.
o Hubungan rumus Esteva
a  5600 (exp 0.5 M ) /(r  40 ) 2 ……………….(4.4-4)
Dengan keterangan parameter sama dengan rumus Donovan.
Untuk menghitung percepatan a pada persamaan (4.4-1) dan (4.4-2), perlu
mengetahui besarnya intensitas I pada tempat yang akan dicari. Prih Haryadi
dan Subardjo telah menghitung rumus attenuasi intensitas terhadap jarak
gempa Flores 12 Desember 1992 dengan formula sebagai berikut :
I  I O exp 0.0021 ………………………….(4.4-5)
Dimana I adalah intensitas pada jarak episenter  km dan I O adalah intensitas
pada sumber. Dengan menggunakan data historis gempa serta
mengkombinasikan persamaan (4.4-5), persamaan (4.4-1) dan (4.4-2) dapat
dihitung.
Selain rumus-rumus empiris diatas masih banyak formula lain yang
memasukkan variabel periode waktu, periode dominan tanah, yaitu antara lain:
o Model percepatan tanah pada permukaan secara empiris oleh Mc.Guirre
R.K (1963) ditulis sebagai berikut :
  472 .3 10 0.278 M  ( R  25 ) 1.301 …………..(4.4-6)
dengan :
 = percepatan tanah pada permukaan (gal)
M = magnitude permukaan (SR)
R = jarak hiposenter (km)
R  2  h 2
48
 = Jarak episenter (km)
h = kedalaman sumber gempa (km)
o Model percepatan tanah rumusan Kawashumi (1950) :
Log  M  5.45  0.00084( R  100)  ( Log100 / R)  (1 / 0.4342) …(4.4-7)
dengan :
 = percepatan tanah pada permukaan (gal)
M = magnitudo gelombang permukaan (SR)
R = jarak hiposenter (km)
R  2  h 2
 = jarak episenter (km)
h = kedalaman sumber gempa (km)
Pada kedua model percepatan tanah di atas menggunakan parameterparameter dasar gempa yaitu :
- Magnitude (M)
- Kedalaman sumber gempa (h)
- Episenter (E)
Bila magnitude gelombang permukaan (Ms) tidak diketahui dan hanya
diketahui magnitude gelombang bodi (mb), Ms dapat dihitung dengan
menggunakan rumusan empiris hubungan antara Ms dan mb yang telah
dijelaskan pada persamaan (4.3-1), (4.3-2) atau (4.3-3).
o Model empiris yang menggunakan data periode dominan tanah yang
merupakan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan alat
microtremometer.
Dengan data periode dominan tanah (Tg) dari hasil pengukuran
microtremor maka percepatan tanah pada permukaan dapat dihitung
dengan rumus Kanai (1966) :
  G (T )   o
…………………………………………(4.4-8a)
 o  (1 / T )  10 0.61M ((1.663.6 /  ) Log )  ( 0.1671.83 /  ) …(4.4-8b)
G(T )  1 / (1  (T / Tg ) 2 )  ((0.2 / Tg  (T / Tg )) 2
…… ..(4.4-8c)
dengan :
 = Percepatan tanah pada permukaan (gal)
G(T) = Faktor pembesaran
49
T = periode gelombang gempa (detik)
Tg = periode dominan tanah (detik)
M = magnitudo gelombang permukaan (SR)
 = jarak hiposenter (km)
Japan Meteorological Agency (JMA) membuat hubungan antara skala
intensitas JMA dan skala MMI dengan percepatan maksimum gempabumi
seperti terlihat pada tabel berikut.
Skala JMA
0
1
2
3
4
5
6
7
Percepatan Maksimum
(gal)
dibawah 0.8
0.8 ~ 2.5
2.5 ~ 8.0
8.0 ~ 25.0
25.0 ~ 80.0
80.0 ~ 250.0
250.0 ~ 400.0
diatas 400
Skala MMI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10,11,12
Percepatan Maksimum
(gal)
dibawah 1.0
1.0 ~ 2.0
2.1 ~ 5.0
5.0 ~ 10.0
10.0 ~ 21.0
21.0 ~ 44.0
44.0 ~ 94.0
94.0 ~ 202.0
202.0 ~ 432.0
diatas 432
Perpindahan materi dalam penjalaran gelombang seismik biasa disebut
displacement. Jika kita lihat waktu yang diperlukan untuk perpindahan
tersebut, maka kita bisa tahu kecepatan materi tersebut. Sedangkan percepatan
adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari keadaan
diam sampai pada kecepatan tertentu.
Pada bangunan yang berdiri di atas tanah memerlukan kestabilan tanah
tersebut agar bangunan tetap stabil. Percepatan gelombang gempa yang sampai
di permukaan bumi disebut juga percepatan tanah, merupakan gangguan yang
perlu dikaji untuk setiap gempa bumi, kemudian dipilih percepatan tanah
maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA) untuk dipetakan agar bisa
memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami suatu
lokasi.
Efek primer gempabumi adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa
bangunan perumahan rakyat, gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen,
50
jembatan dan infrastruktur lainnya, yang diakibatkan oleh getaran yang
ditimbulkannya. Secara garis besar, tingkat kerusakan yang mungkin terjadi
tergantung dari kekuatan dan kualitas bangunan, kondisi geologi dan
geotektonik lokasi bangunan, dan percepatan tanah di lokasi bangunan akibat
dari getaran suatu gempa bumi.
Faktor yang merupakan sumber kerusakan dinyatakan dalam parameter
percepatan tanah. Sehingga data PGA akibat getaran gempabumi pada suatu
lokasi menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko gempabumi di
suatu lokasi tertentu. Semakin besar nilai PGA yang pernah terjadi di suatu
tempat, semakin besar resiko gempabumi yang mungkin terjadi.
Pengukuran percepatan tanah dilakukan dengan accelerograf yang dipasang di
lokasi penelitian. Mengingat jaringan accelerograf di Indonesia belum sebaik
di negara lain seperti Jepang, Amerika, Cina, maka pengukuran percepatan
tanah dilakukan dengan cara empiris, yaitu dengan pendekatan dari beberapa
rumus yang diturunkan dari magnitude gempa atau / dan data intensitas.
Perumusan ini tidak selalu benar, bahkan dari satu metode ke metode lainnya
tidak selalu sama, namun cukup memberikan gambaran umum tentang PGA.
Beberapa rumus empiris telah dijelaskan diatas.
Gempa besar bisa terjadi berulang-ulang di suatu tempat. Kita kenal sebagai
periode ulang gempa bumi. Hal ini didukung oleh teori elastic rebound yang
mempunyai fase pengumpulan energi dalam jangka waktu tertentu dan
kemudian masa pelepasan energi pada saat gempa besar. Periode ulang gempa
besar bisa 10 tahun, 50 tahun, 100 tahun atau 500 tahun. Sehingga tingkat
resiko bangunan terhadap gempabumi bisa terkait dengan periode ulang
gempabumi. Kita ambil contoh jika bangunan dirancang untuk berumur pakai
50 tahun dan periode ulang gempa di tempat tersebut 100 tahun, maka
percepatan maksimum di tempat tersebut tentu akan kecil.
4.1. Metode Pemetaan
Langkah-langkah membuat peta percepatan tanah maksimum (PGA) di
Indonesia khususnya yang dilakukan di BMG adalah sebagai berikut :
o Menyusun kembali data gempabumi yang terjadi dalam wilayah Indonesia
dan sekitarnya.
o Membagi Indonesia menjadi grid dengan ukuran 0,5 derajad x 0,5 derajad.
51
o Menghitung percepatan tanah untuk tiap-tiap grid untuk semua data
gempabumi dengan beberapa formula dan memilih satu percepatan yang
paling besar pada tiap-tiap grid.
o Menghitung percepatan tanah maksimum untuk tiap-tiap grid untuk
berbagai periode ulang dengan menggunakan metode Mc.Guire.
o Menentukan tingkat resiko berdasarkan nilai percepatan maksimum.
o Membuat kontur peta resiko untuk wilayah Indonesia.
4.2. Perhitungan Percepatan Tanah Maksimum (PGA)
Beberapa formula empiris PGA antara lain metode Donovan, Esteva, Murphy O’Brein, Gutenberg – Richter, Kanai, Kawasumi dan lain-lain. Formulaformula empiris tersebut ditentukan berdasarkan suatu kasus gempabumi pada
suatu tempat tertentu, dengan memperhitungkan karakteristik sumber
gempabuminya, kondisi geologi dan geotekniknya.
Dari beberapa formula tersebut dipilih formula Murphy –O’Brein, GutenbergRichter dan Kanai untuk diterapkan pada pemetaan ini. Formula MurphyO’Brein memberikan hasil yang mirip dengan formula Gutenberg-Richter yang
dikombinasikan dengan formula attenuasi intensitas (Subardjo-Prih Harjadi)
yang ditentukan berdasarkan gempa Flores, 12 Desember 1991.
Formula Kanai perhitungan percepatan tanahnya memperhitungkan site effect
yang direpresentasikan oleh periode dominan tanah di site tersebut.
Perhitungan dengan formula-formula ini mengunakan data gempabumi selama
periode 100 tahun.
Tiga gambar berikut adalah contoh hasil pemetaan percepatan maksimum
dengan menggunakan formula Gutenberg-Richter yang digabung dengan
formula attenuasi intensitas berturut-turut untuk wilayah Indonesia, Jawa barat
dan Sulawesi Utara.
52
Gambar 4.1. Peta percepatan tanah maksimum Indonesia formula Richter yang dikombinasi
dengan formula attenuasi intensitas Subardjo-Prih Harjadi.
Gambar 4.2. Peta percepatan tanah maksimum Jawa bagian Barat formula Richter yang
dikombinasi dengan formula attenuasi intensitas Subardjo-Prih Harjadi.
53
Gambar 4.3. Peta percepatan tanah maksimum Sulawesi bagian Utara formula Richter yang
dikombinasi dengan formula attenuasi intensitas Subardjo-Prih Harjadi.
4.3. Pengaruh Percepatan Tanah Terhadap Konstruksi Bangunan.
Bila suatu gelombang melalui suatu lapisan sedimen maka akan timbul suatu
resonansi. Ini disebabkan karena gelombang gempa mempunyai spektrum
yang lebar sehingga hanya gelombang gempa yang sama dengan periode
dominan dari lapisan sedimen yang akan diperkuat. Bangunan-bangunan yang
berada diatasnya akan menerima getaran-getaran tersebut, dimana arahnya
dapat diuraikan menjadi dua komponen yaitu : komponen vertikal dan
komponen horizontal.
Untuk getaran yang vertikal, pada umumnya kurang membahayakan sebab
searah dengan gaya gravitasi. Sedangkan untuk komponen horizontal
menyebabkan keadaan bangunan seperti diayun. Bila bangunan itu tinggi,
maka dapat diumpamakan seperti bandul yang mengalami getaran paksaan
(force vibration), ini sangat membahayakan sekali
Untuk mendirikan bangunan tahan gempa, harus diperhatikan percepatan tanah
maksimum di daerah tersebut dan bangunan harus di design sedemikian hingga
54
dapat menahan percepatan tanah tersebut. Bila suatu bangunan konstruksinya
lebih lemah dari yang diperkirakan, maka bangunan disebut under design, ini
sangat membahayakan dan dapat disebut bangunan tidak tahan gempa (non
earthquake resistance).
Bila suatu bangunan konstruksinya lebih kuat dari yang diperkirakan, maka
bangunan disebut over design. Ini merupakan pemborosan biaya, maka apabila
ingin membangun bangunan tahan gempa, hal-hal diatas perlu diperhatikan
dan masalah percepatan tanah memegang peranan penting.
Dalam kaitan dengan bangunan tahan gempa, maka zonasi seismik perlu
dibuat, dan secara umum di Indonesia telah dibuat zone seismik berdasarkan
data historis kegempaan periode sebelum tahun tujuhpuluhan, wilayah
Indonesia dibagi menjadi 6 zone seismik seperti berikut:
Zone 1
:
Zone 2
:
Zone 3
:
Zone 4
:
Zone 5
:
Zone 6
:
Daerah dengan seismisitas sangat tinggi (7 –8 SR)
Irian bagian utara
Daerah dengan seismisitas aktif (sekitar 7 SR)
Sumatra bagian barat, Selatan Jawa, Nusatenggara, Irian Jaya
dan Sulawesi Utara
Daerah yang terdapat lipatan, patahan dan rekahan (> 7 SR)
Sepanjang pantai Sumatra bagian barat, Sepanjang Pantai
Jawa bagian selatan.
Daerah lipatan & patahan (sekitar 7)
Sumatra, Jawa bagian utara, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan dan Irian
Daerah dengan seismisitas rendah
Sepanjang pantai timur Sumatra dan Kalimantan Tengah
Daerah stabil
Irian bagian selatan
Pembagian daerah aktif gempa bisa juga ditinjau dari data makro atau
intensitas gempa yang pernah dirasakan. Peta intensitas gempa Bengkulu pada
tanggal 4 Juni 2000 adalah satu kasus data makro yang langsung bisa
dikaitkan dengan bangunan. Beberapa kasus gempa merusak merupakan data
makro yang menghasilkan peta intensitas regional seperti yang dilakukan oleh
55
J. Murjaya dan G. Ibrahim pada tahun 1997 (gambar 9.3). Pada peta ini, daerah
yang terkena dampak gempa bumi dibagi menjadi 4 daerah;
1. Daerah dengan intensitas MMI IX atau lebih.
2. Daerah dengan intensitas MMI VII-VIII.
3. Daerah dengan intensitas MMI V-VI.
4. Daerah dengan intensitas MMI < V
Pembagian ini masih bersifat regional, dengan perkataan lain bahwa untuk
analisis resiko gempa pada suatu bangunan yang terletak pada suatu tempat di
satu kota, memerlukan analisis mikro yang memasukkan beberapa unsur
seperti lapisan tanah tempat bangunan, ketebalan lapisan, respon tanah dan
bangunan terhadap getaran.
Untuk mengetahui besarnya simpangan akibat gempa, Mario Paz (1979)
merepresentasikan bangunan sebagai sistem yang terdiri atas massa, pegas dan
redaman. Dalam hal ini hanya dibahas sistem dengan satu derajat kebebasan
seperti pada gambar berikut:
Gambar4.4. Sistem bangunan bertingkat Satu
Dengan :
F(t)
= gaya yang berubah-ubah terhadap waktu.
K
= konstanta pegas kolom dinding.
C
= koefisien redaman.
X
= simpangan relatif massa m terhadap pondasi.
56
Bentuk persamaan gerak kesetimbangan dinamis dinyatakan sebagai berikut :
dimana :
FI  mx adalah gaya inersia.
FD  cx adalah gaya redaman.
FS  kx adalah gaya pegas kolom dinding.
Sehingga persamaan menjadi :
Selama terjadi gempa bangunan akan mengalami getaran vertikal dan
horizontal. Gaya inersia atau gaya seismik pada suatu titik massa bangunan
membentuk arah vertikal dan horizontal. Dari kedua bentuk gaya tersebut,
gaya dalam arah vertikal hanya sedikit sekali dapat mengubah gaya gravitasi
yang bekerja pada bangunan, sehingga gaya horisontal (gaya lateral) menjadi
sangat penting artinya. Dengan demikian sistem akan mengalami simpangan
tambahan pada pondasinya, karena adanya simpangan permukaan tanah itu
sendiri, seperti yang dilukiskan pada gambar berikut :
Gambar4.5. Sistem bangunan bertingkat satu dengan simpangan tanah
maka jumlah percepatan massa m menjadi :
57
dan gaya inersia menjadi :
Apabila gaya luar F(t)= 0, maka
FI  FD  FS  0 atau
( mx  mxg )  cx  kx  0
x  (c / m) x  ( k / m) x   xg
dan akhirnya diperoleh :
dimana :
  (c / 2m ) adalah fraksi dumping kritis.
  (k / m) adalah frekuensi natural.
Apabila xg adalah getaran acak, maka simpangan relatif X(t) dapat dihitung
dengan Metode Integral Duhamel.
Untuk kondisi awal X(0)=0, maka X(t) diperoleh sebagai berikut :
Dari persamaan tersebut diatas terlihat bahwa respon bangunan terhadap
getaran seismik bergantung pada :
1. Frekuensi natural sistem bangunan (  ).
2. Frekuensi dumping kritis sistem bangunan (  ).
3. Percepatan getaran tanah akibat gempa xg (t ) .
Simpangan relatif X(t) sangat penting untuk perencanaan bangunan tahan
gempa, karena regangan (strain) bangunan sebanding dengan simpangan
relatifnya.
R. Sano menyatakan bahwa perbandingan antara gaya seismik F= mxg dan
gaya gravitasi W = m.g disebut koefisien seismik k. Pernyataan yang
memasukkan gaya seismik dalam perhitungan bangunan tahan gempa dikenal
dengan nama koefisien seismik Sano.
58
Apabila bangunan dengan massa m mengalami percepatan xg maka gaya
inersia atau gaya seismik yang bekerja dinyatakan dalam bentuk :
F  mxg
Jika berat bangunan dinyatakan dengan W maka :
W = m.g
Dengan demikian persamaan menjadi :
F  (W / g ) xg  ( xg / g )W atau
dimana :
F
= gaya inersia atau gaya seismik.
K
= koefisien seismik Sano.
W
= berat bangunan.
xg
= percepatan getaran tanah akibat gempa.
G
= percepatan gravitasi.
59
BAB V
LOKALISASI GEMPABUMI
Untuk menentukan lokasi sumber gempabumi diperlukan data waktu tiba
gelombang seismik dengan sekurang – kurangnya 4 data waktu tiba gelombang
P. Sedangkan penentuan magnitude gempa memerlukan pengukuran
amplitude, dan periode atau lamanya gelombang tersebut tercatat di suatu
stasiun . Selain itu juga diperlukan data posisi stasiun yang digunakan dan
model kecepatan gelombang seismik. Episenter gempa dapat ditentukan secara
manual dengan metode lingkaran ataupun metode hiperbola, sedangkan
program komputer untuk menentukan parameter gempa digunakan metode
Geiger. Metode-metode tersebut dijabarkan sebagai berikut :
1. Metoda Lingkaran Dengan Tiga Stasiun.
Dianggap ada tiga stasiun pencatat, masing–masing S, S2, dan S3. Dengan
menggunakan dua data stasiun pencatat , S2 dan S3 sebagai pusatnya, dibuat
lingkaran-lingkaran dengan jari-jari :
r2 = v ( t2 – t1 )
r3 = v ( t3 – t1 )
dengan :
r = jari-jari lingkaran.
v = kecepatan gelombang
t = waktu tiba gelombang
Episenter yang dicari adalah pusat sebuah lingkaran yang melalui S dan
menyinggung kedua lingkaran yang berpusat di S2 dan S3 tersebut.
Pada penggunaan praktis, metode ini dilakukan dengan cara berulang-ulang
mencoba membuat lingkaran ketiga sehingga didapatkan titik E yang terbaik.
Dengan demikian metode ini kurang dapat diandalkan, karena kualitas
penentuannya tergantung pada ketelitian penggambaran ketiga lingkaran
tersebut.
60
Gambar5.1. Penentuan episenter dengan metode lingkaran tiga stasiun
2. Metode Hiperbola
Bila dianggap kecepatan gelombang seismik v konstan dengan tiga stasiun S 1,
S2 dan S3 diukur waktu tiba gelombang seismik pada ketiga stasiun itu adalah
jam t1, t2, dan t3 dimana t3 > t2 > t1, maka dengan menggunakan pasangan
stasiun S1 dan S2, episenternya harus terletak pada sebuah kurva dengan harga
t2 – t1 konstan. Kurva semacam ini berupa hiperbola dengan S1 dan S2 sebagai
titik fokusnya. Karena telah diketahui t2 > t1 maka kurva hiperbolanya cekung
kearah titik titik S1. Dengan cara yang sama dilakukan lagi untuk pasangan
stasiun S2, S3 dan S3, S1. Ketiga hiperbola ini berpotongan pada suatu titik dan
titik potong ini adalah episenternya.
3. Metode Titik Berat
Dalam metode ini selain didapat koordinat episenter, kedalaman fokusnya juga
dapat ditentukan. Dengan menggunakan tiga stasiun pencatat S1, S2, dan S3
dapat dibuat masing-masing lingkaran dengan pusat stasiun dan jari jari r1, r2
dan r3. Jari-jari lingkaran adalah jarak hiposenter d = (s-p) k, dimana k adalah
konstanta Omori yang besarnya tergantung pada kondisi geologi setempat dan
besarnya sekitar 7,8.
Sedangkan (s-p) adalah beda waktu tiba gelombang S dan P. Koordinat
episenter E merupakan perpotongan garis berat ketiga lingkaran tersebut. Garis
berat lingkaran 1 dan 2 adalah garis yang menghubungkan perpotongan
61
lingkaran 1 dan lingkaran 2 (garis AB). Garis berat lingkaran 1 dan 3 adalah
garis yang menghubungkan perpotongan lingkaran 1 dan lingkaran 3 (garis
CD). Sedang Garis berat lingkaran 2 dan 3 adalah garis yang menghubungkan
perpotongan lingkaran 2 dan lingkaran 3 (garis EF).
Gambar 5.3. Penentuan episenter metode titik berat
Kedalaman hiposenter (h) dapat diperoleh dengan rumus Pythagoras,
h1 = (r12 –(S1 Ep)2)1/2
h2 = (r22 –(S2 Ep)2)1/2 , dan h3 = (r32 –(S3 Ep)2)1/2 dimana h merupakan ratarata dari h1, h2 , dan h3 .
Dengan metode ini dapat pula ditentukan waktu kejadian gempa (origin time).
Untuk menentukan origin time dengan pendekatan (s-p) digunakan grafik
Wadati seperti terlihat pada gambar berikut.
62
Gambar 5.4 Grafik Wadati tp adalah waktu tiba gelombang P dan to adalah origin time dan
besarnya gradien mendekati angka 1,73.
4. Metode Gerak Partikel
Metode Gerak Partikel (particle motion) dipakai untuk menentukan hiposenter
(episenter dan kedalamannya) dengan menggunakan satu stasiun yang
memiliki 3 komponen. Dalam penentuan ini arah awal impuls ketiga
komponen (kompresi atau dilatasi) harus jelas. Variabel yang dipakai adalah
setengah amplitude awal impuls gelombang P ketiga komponen dan beda
waktu gelombang S dan P atau (s-p). Prosedur penentuannya adalah sebagai
berikut:
Tentukan dahulu arah impuls awal ketiga komponen (kompresi atau dilatasi).
Perhatikan rekaman komponen vertikal: jika komponen vertikal kompresi,
maka pada komponen horizontalnya tandanya harus dibalik (C = minus, D =
plus), sebaliknya jika komponen vertikal dilatasi maka komponen
horizontalnya tandanya tetap ( C = plus, D = negatif).
Dari bacaan ½ amplitude komponen horizontal dibuat vektor resultannya,
misalnya AH.
Dari bacaan ½ amplitude komponen vertikal (AV) dan AH dibuat vektor
resultannya, misalnya AR.
63
5. Metode Geiger
Metode Geiger menggunakan data waktu tiba gelombang P dan atau
gelombang S. Anggapan yang digunakan adalah bahwa bumi terdiri dari
lapisan datar yang homogen isotropik, sehingga waktu tiba gelombang gempa
yang karena pemantulan dan pembiasan untuk setiap lapisan dapat dihitung.
Cara yang digunakan dengan memberikan harga awal hiposenter, kemudian
menghitung waktu rambat gelombang untuk setiap stasiun yang digunakan.
Dari perhitungan ini didapatkan residu, yaitu perbedaan antara waktu rambat
64
gelombang yang diamati dengan waktu rambat gelombang yang dihitung untuk
setiap stasiun.
Perkembangan perhitungan numerik dan teknik komputasi dewasa ini
mengisyaratkan bahwa metode ini adalah yang paling cocok digunakan.
Berdasarkan metode ini ditulis program-program lokalisasi sumber gempa
seperti yang dikembangkan oleh Flinn (1960), Nordquist (1962), dengan
menjaga stabilitas komputasinya Engdahl , dkk (1966) ; Lee dan Lahr (1972) ;
Bulland (1976) .
Meskipun demikian, metode Geiger ini masih mempunyai kesalahan
perhitungan, terutama apabila data yang digunakan berasal dari stasiun dengan
jarak yang relatif jauh. Variasi kecepatan gelombang seismik pada jarak
tersebut ternyata tidak dapat dihitung dengan tepat. Variasi kecepatan
gelombang sebesar lebih kurang 0,2 km/dt. ternyata memberikan kesalahan
penentuan posisi hiposenter sampai beberapa puluh kilometer (Shedlock,
1985). Oleh karena itu, metode ini hanya dapat digunakan dengan tepat untuk
menentukan posisi hiposenter dan waktu asal dari suatu gempa yang bersifat
lokal (Lee,1981).
Dalam penentuan episenter atau lokalisasi gempabumi, pembacaan waktu tiba
sangat berperan, karena kesalahan interpretasi pembacaan fase gelombang
akan menghasilkan residu yang besar. Untuk itu perlu semacam petunjuk
tentang pembacaan fase-fase gelombang seismik. Grafik travel time dapat
dipakai untuk pedoman pembacaan fase-fase gelombang tersebut, dan gambar
dibawah ini menunjukkan grafik penjalaran gelombang P, S, Pc, PcP, dan PP
terhadap jarak.
Gambar 5.4. Grafik penjalaran gelombang P, S, Pc, PcP, dan PP terhadap jarak.
65
Untuk gempa jauh atau teleseismik sifat-sifat gelombang yang telah dibahas
pada bab terdahulu dapat digunakan.
Sebagai ringkasan sifat-sifat gelombang teleseismik adalah sebagai berikut:
 Fase gelombang yang sering muncul adalah P, PP, PKP
 Fase gelombang P tercatat baik pada seismogram short period komponen
vertikal.
 Fase S dan gelombang permukaan tercatat baik pada seismogram long
period.
 Fase S tercatat baik pada komponen horizontal
 Gelombang permukaan adalah dispersive (umumnya long period akan tiba
lebih dulu kemudian disusul yang lebih pendek periodenya)
 Gelombang Love sedikit lebih cepat dari gelombang Rayleigh dan
keduanya lebih lambat dari gelombang S
 Pada komponen horizontal amplitude gelombang Love akan terlihat paling
besar.
 Gelombang Rayleigh terlihat terbesar amplitudenya pada komponen
vertikal.
 Pada gempa dalam akan muncul gelombang pP, sP, dan seterusnya.
 Pada gempa dangkal gelombang permukaan lebih dominan.
66
BAB VI
MEKANISME SUMBER GEMPABUMI
Gempa bumi tektonik terjadi karena adanya proses pergerakan lempeng yaitu
berupa tumbukan, pelipatan, pergeseran dan atau penyusupan yang
berpengaruh terhadap media yang dilewati proses tersebut. Di daerah
pertemuan lempeng akan timbul suatu tegangan diakibatkan oleh tumbukan
dan geseran antar lempeng serta sifat-sifat elastisitas batuan. Tegangan pada
batuan akan terkumpul terus-menerus sehingga sesuai dengan karakteristik
batuan yang akan sampai pada titik patah, dimana pada saat tersebut enersi
yang terkumpul selama terjadi proses tegangan akan dilepaskan, pada waktu
itulah gempa bumi terjadi.
Sekarang kita tinjau bagaimana proses terjadinya sebuah gempabumi. Seorang
ahli seismologi Amerika yang bernama Reid pada tahun 1906 mengadakan
penelitian untuk membahas tentang proses pemecahan di sebuah sumber
gempabumi pada gempa San Fransisco yang terjadi di San Andreas Fault.
Displacement dari Fault San Andres ini kebanyakan horizontal, dimana pada
bagian timur yang menghadap ke daratan Amerika bergerak ke selatan
terhadap yang di sebelah barat ( yang menghadap ke Pasifik ).
Gambar 6.1. Mekanisme sumber gempa
Gambar (6.1) memperlihatkan mekanisme gempabumi yang menjadi sumber
gempa tektonik. Garis tebal vertikal menunjukan pecahan atau sesar pada
bagian bumi yang padat.
Pada keadaan I menunjukan suatu lapisan yang belum terjadi perubahan
bentuk geologi. Karena di dalam bumi terjadi gerakan yang terus-menerus,
maka akan terdapat stress yang lama kelamaan akan terakumulasi dan mampu
merubah bentuk geologi dari lapisan batuan.
Keadaan II menunjukan suatu lapisan batuan telah mendapat dan mengandung
stress dimana telah terjadi perubahan bentuk geologi. Untuk daerah A
mendapat stress ke atas, sedang daerah B mendapat stress ke bawah. Proses
67
ini berjalan terus sampai stress yang terjadi ( dikandung ) di daerah ini cukup
besar untuk merubahnya menjadi gesekan antara daerah A dan daerah B. Lama
kelamaan karena lapisan batuan sudah tidak mampu lagi untuk menahan stress,
maka akan terjadi suatu pergerakan atau perpindahan yang tiba-tiba sehingga
terjadilah patahan. Peristiwa pergerakan secara tiba-tiba ini disebut
gempabumi.
Pada keadaan III menunjukan lapisan batuan yang sudah patah, karena adanya
pergerakan yang tiba-tiba dari batuan tersebut. Gerakan perlahan-lahan sesar
ini akan berjalan terus, sehingga seluruh proses diatas akan diulangi lagi dan
sebuah gempa akan terjadi lagi setelah beberapa waktu lamanya, demikian
seterusnya. Teori Reid ini dikenal dengan nama “Elastic Rebound Theory”.
Dalam keadaan yang sebenarnya permukaan sesar dapat mempunyai keadaan
yang berbeda dan demikian pula dengan gerakannya dapat mempunyai arah
yang berlainan sepanjang permukaannya. Dapat dibedakan atas tiga bentuk
gerakan dasar dari sesar:
Gambar 6.2. Gerakan dasar dari sesar: sesar mendatar, sesar turun, dan sesar naik.
1. Gerakan sejajar jurus sesar, disebut sesar mendatar atau strike slip fault.
Stress yang terbesar adalah stress horisontal dan stress vertikal kecil
sekali.
2. Sesar relatif ke bawah terhadap blok dasar, disebut sesar turun / sesar
normal atau gravity fault.
68
3. Gerakan relatif ke atas terhadap blok dasar, disebut sesar naik atau
thrust fault / reverse fault.
1. Hubungan Gempabumi Dengan Bidang Sesar.
Dalam hubungannya dengan bidang sesar beberapa analisis menyimpulkan
bahwa gempa-gempa kecil di daerah yang frekuensi gempa rendah dapat
digunakan atau ditandai daerah yang mempunyai bahaya gempa .Bidang sesar
dalam hal ini menandakan gerak vertikal dua blok sesar di daerah di mana
sesar aktif yang sebelumnya.tidak pernah diduga dapat terjadi.
Dengan mengetahui arah gerakan sesar, dapat diketahui sumber atau asal gayagaya di daerah itu, misalnya dalam studi gempa mikro yang merupakan
karakteristik daerah yang dapat memisahkan gempa–gempa akibat gaya
tektonik dengan gempa-gempa yang disebabkan oleh keaktifan geothermal.
Dalam hal ini sesar akibat gempa tektonik di tandai dengan gerakan horizontal.
Gambar 6.3. Mekanisme dasar terjadinya sesar.
Mekanisme dasar terjadinya sesar diperlihatkan pada gambar (6.3).
1. Perubahan (deformasi) blok sebelum terjadi gempa.
2. Deformasi blok setelah gempabumi terjadi. Akibat gempabumi bidang
sesar yang berhadapan relatif bergeser sepanjang garis XY.
3. Mempunyai tingkat stress-strain (tekanan-regangan) yang sama dengan
keadaan (1) dan merupakan keadaan yang sangat kritis untuk terjadi
gempa.Sedangkan keadaan stress-strain setelah gempa terjadi sama
dengan keadaan (2), selanjutnya blok atas akan terus menerus terpisah
dari blok bawah sepanjang batas sesar yang melalui pengulangan
gempa.
69
2. Parameter Bidang Sesar
Ada beberapa hal penting dalam penentuan parameter bidang sesar (lihat
gambar 6.2) :
1. Sesar mendatar yakni arah gerak blok sesar horizontal. Sesar ini terbagi
dua:
a. Right lateral yaitu gerak sesar mendatar yang searah dengan jarum
jam.
b. Left lateral yaitu gerak sesar mendatar yang berlawanan dengan arah
jarum jam
2. Sesar tidak mendatar yakni arah gerak sesar vertikal atau miring, sesar ini
ada tiga yaitu:
a. Sesar turun yaitu sesar yang turun lebih rendah dari pada blok dasar.
b. Sesar naik yaitu bloknya naik relatif terhadap blok dasar
c. Sesar miring yaitu blok vertikal yang di iringi dengan
gerakan
horizontal (oblique fault).
Gambar 6.4. Jenis-jenis patahan yang sering dijumpai
3. Proyeksi Diagram Mekanisme Fokus.
Dalam prakteknya untuk mendapatkan solusi mekanisme fokus digunakan
diagram yang menunjukkan proyeksi keadaan fokus 3 dimensi dari fokus
gempabumi. Kita kenal dua macam proyeksi yang digunakan untuk membuat
ilustrasi bentuk radiasi gelombang gempa, yang sering dipakai adalah equal
area projection atau Schmidt net dan yang lain adalah Stereographic projection
atau Wulf net.
Secara umum solusi mekanisme fokus yang dinyatakan dalam proyeksi
stereografik dapat digambarkan dengan tiga macam sesar yaitu, sesar
mendatar, sesar normal, dan sesar naik seperti dapat dilihat pada gambar
berikut:
70
Gambar 6.5. Simbul 3 macam patahan dasar
71
BAB VII
TSUNAMI
Istilah Tsunami berasal dari kosa kata Jepang Tsu yang berarti gelombang dan
Nami yang berarti pelabuhan atau bandar. Negara Jepang secara geografis
terletak pada daerah rawan gempa, sama dengan Indonesia. Dari sejarahnya
di Jepang pada saat itu masyarakatnya telah mengamati dan mencatat
peristiwa alam yang ada di sekitarnya, masyarakat di sana banyak tinggal di
sekitar teluk yang menjadi pelabuhan sekaligus pusat ekonomi, sedangkan kita
tahu bahwa pada daerah seperti teluk (konvergen) sifat gelombang laut akan
menjadi kuat sebab gelombang laut saling terpantul dan terinterferensi
(tergabung) menjadi gelombang yang besar sehingga kekuatan gelombang
akan terfokus pada teluk tersebut, akibatnya tentu daerah tersebut akan terkena
limpasan gelombang yang lebih besar dibandingkan dengan pantai yang rata.
1. Pengamatan Tsunami
Tsunami mempunyai banyak aspek sebagaimana diteliti oleh para peneliti dari
berbagai disiplin ilmu. Pembangkitnya berkaitan dengan proses geologi dan
studinya dilakukan oleh para ahli geologi dan ahli geofisika, penyebaran dan
pengamatannya oleh ahli oseanografi.
Karakteristik di pantai seperti pelimpasan ke pesisir atau resonansi ke dalam
teluk terutama dilakukan oleh para teknisi kelautan. Perencanaan penggunaan
lahan dan kota di sekitar pantai selalu mempertimbangkan resiko tsunami dan
pihak pemerintah bertanggung jawab terhadap peringatan dari ancaman
tsunami dan pelaksanaan evakuasi. Studi tentang tsunami telah berkembang di
bermacam bidang yang berbeda dan dengan berbagai interaksi diantara
disiplin-disiplin tersebut.
Gelombang tsunami berbeda dengan gelombang laut lainnya yang bersifat
kontinu, gelombang tsunami ditimbulkan oleh gaya impulsif yang bersifat
insidentil, tidak kontinu. Periode gelombang tsunami antara 10 – 60 menit,
panjang gelombangnya mencapai 100 km.
Kecepatan penjalaran tsunami sangat tergantung dari kedalaman laut dan
penjalarannya dapat berlangsung mencapai ribuan kilometer. Bila tsunami
mencapai pantai, kecepatannya bisa sampai 50 km/jam dan energinya sangat
merusak daerah pantai yang dilaluinya.
Ditengah lautan tinggi gelombang tsunami paling besar sekitar 5 meter, maka
saat mencapai pantai tinggi gelombangnya bisa sampai puluhan meter karena
terjadi penumpukan masa air. Saat mencapai pantai tsunami akan merayap
72
masuk daratan jauh dari garis pantai dengan jangkauan dapat mencapai sejauh
500 meter dari garis pantai.
Dampak negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak rumah / bangunan,
prasarana, tumbuh-tumbuhan dan mengakibatkan korban jiwa manusia serta
menyebabkan genangan, kontaminasi air asin lahan pertanian, tanah dan air
bersih.
Bencana yang diakibatkan oleh tsunami tergantung antara lain pada magnitude
gempa, morfologi laut, lingkungan pantai, bentuk pantai, infrastruktur di pantai
dan jumlah penduduk.
Bencana Tsunami terbukti menelan banyak korban manusia maupun harta
benda, sebagai contoh pada tsunami di Flores tahun 1992 meninggal lebih dari
2000 orang, kemudian pada tsunami di Banyuwangi menelan korban 800
orang lebih, belum termasuk harta benda yang telah hancur. Meletusnya
gunung Krakatau tahun 1883 menimbulkan tsunami yang menelan korban
36.000 jiwa, ini merupakan jumlah korban terbesar yang tercatat dalam sejarah
tsunami. Di Jepang angka statistik bencana karena tsunami cukup besar. Pada
periode 1947-1970 bencana alam tsunami menduduki urutan tertinggi setelah
angin ribut, gempabumi , banjir dan hujan lebat.
Untuk Indonesia pencatatan tentang tsunami telah dilakukan sejak zaman
penjajahan Belanda meskipun hanya sebatas laporan masyarakat. Riset
tsunami di Indonesia dimulai setelah peristiwa bencana tsunami di Flores pada
tahun 1992, sejak itu kegiatan riset dan penelitian mulai berkembang, dengan
dipelopori oleh BMG kemudian lembaga riset dan perguruan tinggi seperti
BPPT, LIPI, ITB, dan lain-lain. Dalam perkembangannya sekarang telah
banyak peneliti tsunami muncul di Indonesia, namun infrastruktur untuk
keperluan pemantau tsunami masih belum memadai.
Penyebab tsunami yaitu gempabumi tektonik, erupsi gunung berapi, longsoran,
dan kemungkinan meteor jatuh. Dari keempat jenis tersebut, gempa bumi
tektonik bawah laut yang merupakan penyebab paling sering menimbulkan
tsunami.
Beberapa jenis sesar yang terjadi pada sumber gempabumi seperti terlihat pada
gambar (6.4) dapat menimbulkan tsunami. Dengan adanya perubahan
(dislokasi) pada lantai samudera secara mendadak, dapat mempengaruhi
kolom air di atasnya yang selanjutnya dapat menimbulkan gelombang tsunami.
Meskipun demikian tsunami akan timbul, bila beberapa persyaratan
lingkungan mendukungnya.
73
Dari hasil penelitian diperoleh persyaratan terjadinya tsunami adalah:
a.
b.
c.
d.
Gempabumi dengan hiposenter di laut.
Gempabumi dengan magnitude lebih besar dari 6.0 skala Ricter
Gempabumi dengan pusat gempa dangkal.
Gempabumi dengan pola mekanisme focus dominan adalah sesar naik
atau sesar turun.
e. Morfologi pantai / bentuk pantai biasanya pantai terbuka dan landai
serta berbentuk teluk.
2. Lokasi Tsunami
Tsunami banyak terjadi di sekeliling samudara Pasifik, seperti di Amerika
Selatan, Amerika Tengah, Alaska, Aleutian, Kamchatka, Kuril, Jepang dan
wilayah Indonesia. Juga tsunami terdapat di laut Mediterania dan laut Karibia.
Wilayah Indonesia yang merupakan benua maritim dengan laut yang
mengelilingi pulau-pulaunya sangat potensial terhadap ancaman tsunami.
Meliputi pantai barat Sumatra, Selat Sunda, pantai selatan Jawa Timur, sebelah
utara Flores, Sulawesi Tengah bagian barat, pantai utara Sulawesi Utara,
bagian selatan pulau Seram dan bagian utara Papua seperti diperlihatkan pada
gambar (7.1). Sedangkan pantai rawan tsunami lebih luas lagi seperti terlihat
pada gambar (7.2).
Gambar 7.1 Peta potensi tsunami Indonesia
74
Peta Potensi Tsunami adalah peta yang mengambarkan bahaya tsunami
pada daerah tersebut berdasarkan kejadian tsunami yang pernah melanda,
data yang dipakai dasar dalam pembuatan peta ini adalah data ketinggian
run up (limpasan) yang terukur pada waktu kejadian di lapangan,
ketinggian diukur dengan titik dasar pada garis pantai. Dari data run up
yang ada kemudian dibedakan menjadi tiga kategori ketinggian run-up
sesuai dengan fakta dilapangan yaitu : Tidak bahaya, (0 – 2 m run-up,
warna hijau). Bahaya, (2 - 5 m run up, warna kuning). Sangat bahaya, (5m
keatas warna merah).
Gambar 7.2 Peta rawan tsunami Indonesia
Peta rawan tsunami adalah peta yang menggambarkan pantai-pantai di
Indonesia yang rawan terhadap tsunami dengan asumsi bahwa pantai tersebut
berhadapan langsung dengan sumber kegempaan yang telah berhasil
diidentifikasi, misalnya zona penunjaman maupun sesar.
Dari kedua peta tersebut dapat dibuat peta resiko tsunami yaitu peta yang
menggambarkan daerah pantai yang mempunyai tingkat resiko terhadap
bahaya tsunami berdasarkan data historis maupun daerah rawan tsunami,
kemudian dari data run-up yang pernah di catat dilakukan skala pembobotan
berdasarkan ketinggian limpasan.
75
Teluk dan bagian yang melekuk dari pantai sangat rawan akan bencana
tsunami, para nelayan biasanya banyak mencari ikan dan bermukim di teluk.
Daerah ini juga memiliki pantai landai yang memungkinkan gelombang
pasang merayap ke daratan.
Di Indonesia sebagian besar tsunami yang terjadi disebabkan oleh gempa
tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya.
Tercatat sebanyak 90 % kejadian tsunami disebabkan gempa tektonik, 9 %
disebabkan oleh letusan gunung api dan 1 % disebabkan oleh longsoran (Latief
et al, 2000).
Kejadian tsunami di Indonesia pada umumnya adalah tsunami lokal yang
terjadi sekitar 10 – 20 menit setelah terjadinya gempabumi yang dirasakan oleh
penduduk setempat. Sedangkan tsunami jarak jauh adalah yang terjadi 1 – 8
jam setelah gempa dan penduduk setempat tidak merasakan getaran
gempabuminya.
Kecepatan gelombang tsunami dipengaruhi oleh kedalaman laut dimana
sumber gempa terjadi, dan secara empiris dirumuskan:
v = gd …………………………. (7-1)
dimana g adalah percepatan gravitasi dan d adalah kedalaman laut. Sedangkan
besarnya energi tsunami ditentukan oleh ketinggian dan luasan kerak bumi
pada sumber gempa, dan diformulakan:
E(t) = 1/6 gh2A
……………..(7-2)
Dimana E(t) adalah Energi tsunami,  = densitas, h dan A berturut-turut
ketinggian dan luas crustal displacement.
3. Skala Kekuatan Tsunami
Ukuran kekuatan tsunami terdapat dalam berbagai skala magnitude. Imamura
(1949) dan Iida (1958) membuat skala magnitude tsunami sebagai berikut:
MAGNITUDE
TSUNAMI (m)
KETINGGIAN
TSUNAMI h (meter)
-1
< 0.5
0
1
KERUSAKAN
- Tidak ada
- Sangat sedikit
76
1
2
- Beberapa rumah di pantai
kapal terdampar kepantai
2
4–6
3
10 - 30
- Kerusakan sampai sejauh 400 meter
dari garis pantai.
4
> 30
- Kerusakan sampai sejauh 500 meter
dari garis pantai
- Kerusakan dan korban
tertentu dekat pantai
rusak,
di daerah
Harga m mendekati persamaan m = log 2 h
Skala Imamura – Iida similar dengan skala intensitas gempabumi, pemakaian
skala ini lebih cocok terutama untuk tsunami yang telah lama terjadi (histories
data) dimana alat pencatat belum ada.
Soloview (1970) mengemukakan intensitas tsunami sebagai :
 = log 2 ( 2 h)
Dimana h adalah tinggi tsunami rata-rata.
Selanjutnya Abe (1979, 1981, 1989 b) membuat skala magnitude dari
penelitian beberapa gempa pembangkit tsunami :
Mt = log H + C + 9.1
Untuk regional (100 km <<3500 km) menjadi :
Mt = log H + Log  + 5.8
Dimana H adalah amplitudo maksimum dari ukuran tinggi air pasang dalam
meter, C adalah faktor jarak, ( tergantung dari kombinasi antara sumber dan
titik-titik pengamatan)  adalah jarak dalam km.
Diperoleh untuk tsunami gempabumi Chili tahun 1960 harga m = 4,5 dan Mt
9,4 serta Alaska 1964 harga m= 5 dan Mt = 9,1.
77
BAB VIII
MIKROTREMOR
Mikrotremor merupakan getaran tanah selain gempa bumi, bisa berupa getaran
akibat aktivitas manusia maupun aktivitas alam. Jadi mikrotremor bisa terjadi
karena getaran akibat orang yang sedang berjalan, getaran mobil, getaran
mesin-mesin pabrik, getaran angin, gelombang laut atau getaran alamiah dari
tanah. Mikrotremor mempunyai frekuensi lebih tinggi dari frekuensi
gempabumi, periodenya kurang dari 0,1 detik yang secara umum antara 0.05 –
2 detik dan untuk mikrotremor periode panjang bisa 5 detik, sedang
amplitudenya berkisar 0,1 – 2,0 mikron.
Implementasi mikrotremor adalah dalam bidang prospecting, khususnya dalam
merancang bangunan tahan gempa, juga dapat dipakai untuk investigasi
struktur bangunan yang rusak akibat gempa. Dalam merancang bangunan
tahan gempa sebaiknya perlu diketahui periode natural dari tanah setempat
untuk menghindari adanya fenomena resonansi yang dapat memperbesar
(amplifikasi) getaran jika terjadi gempabumi. Mikrotremor juga dapat dipakai
untuk mengetahui jenis tanah atau top soil berdasarkan tingkat kekerasannya,
dimana semakin kecil periode dominan tanah maka tingkat kekerasannya
semakin besar atau tanah yang mempunyai periode dominan semakin besar
semakin lunak atau lembek sifatnya.
Para ahli bangunan Cina mengklasifikasikan jenis tanah menjadi 4 macam
berdasarkan periode dominan naturalnya, adalah: bad rock atau hard rock,
medium hard rock, medium soft soil dan soft soil (clay). Keempat macam jenis
tanah itu berturut-turut mempunyai periode dominan natural: kurang dari 0,1
detik; 0,1 – 0,4 detik; 0,4 – 0,8 detik dan lebih dari 0,8 detik.
Untuk melakukan pengukuran periode dominan tanah natural sebaiknya
dilakukan pada saat getaran tremor yang lain seminimal mungkin, misalnya
pada waktu malam hari dimana aktivitas manusia tidak ada, sehingga
diharapkan getaran yang terekam benar-benar getaran asli dari tanah.
1. Pengukuran Mikrotremor
Pada dasarnya pengukuran mikrotremor dapat dilakukan dengan alat pencatat
gempabumi atau seismograf. Namun karena mikrotremor mempunyai
karakteristik berbeda dengan gempabumi baik periode maupun amplitudonya,
maka untuk mengukur parameter-parameter mikrotremor digunakan
seismograf khusus yang disebut mikrotremormeter.
78
Mikrotremometer terdiri dari dua komponen pengukur yaitu, pengukur
amplitude dan pengukur periode. Pada komponen pengukur amplitude
biasanya terdiri dari tiga pilihan, yaitu amplitude simpangan, kecepatan dan
percepatan. Sedang pada komponen pengukur periode atau frekuensi
mikrotremormeter dilengkapi dengan alat pencacah sampel frekuensi berupa
tape recorder beserta alat digital analyzer.
Pada saat ini perkembangan alat pencatat gempabumi sangat pesat, sehingga
dengan seismograf tipe digital periode bebas (digital broad band seismograph),
pengukuran mikrotremor dapat dilakukan, karena selain periode mikrotremor
yang dapat dipisahkan, alat ini juga dilengkapi dengan program analisis
spektrum.
2. Karakteristik Tanah
Karakteristik tanah permukaan suatu tempat sangat penting artinya dalam
pengkajian masalah seismologi. Dari hasil pengukuran mikrotremor untuk
mengetahui karakteristik tanah di berbagai tempat di Jepang, Amerika dan
negara-negara yang pernah dilanda gempa besar ternyata ada hubungan antara
karakteristik tanah dengan penjalaran gelombang gempa yang sampai pada
permukaan.
Apabila periode bangunan sama dengan periode gempa yang sampai di
permukaan, maka akan terjadi resonansi dan interferensi getaran sehingga
meningkatkan intensitas kerusakan akibat gempa. Berdasarkan hal tersebut
maka dalam pembangunan gedung-gedung atau bangunan penting harus
memperhitungkan tingkat faktor karakteristik tanah yang meliputi: jenis tanah
permukaan, percepatan tanah maksimum dan periode dominan tanah
permukaan yang bersangkutan.
3. Klasifikasi Tanah Permukaan.
Dari pengukuran mikrotremor untuk memperoleh harga periode dominan, para
ahli di Jepang membuat klasifikasi jenis tanah permukaan menjadi beberapa
kelompok menurut pola atau bentuk kurva distribusi mikrotremor. Kurva
tersebut merupakan hubungan antara periode mikrotremor sebagai absis dan
jumlah atau frekuensi selang periode tersebut sebagai ordinat.
Kanai telah melakukan klasifikasi jenis tanah permukaan menjadi empat
macam yaitu:
Jenis I:
Tanah terdiri dari batuan keras (rock) hard sandy gravel, dan tanah
yang tergolong dalam tersier atau lapisan tanah tua. Kurva
79
distribusinya mempunyai bentuk yang sederhana dengan satu
puncak pada periode 0,5 detik. Range periode antara 0 – 0,3 detik
mempunyai frekuensi 300 kali dalam 1 menit.
Jenis II:
Jenis tanah yang digolongkan sebagai tanah pasir berbatu (keras),
pasir dengan tanah yang dapat digolongkan pada alluvial atau
alluvial berbatu dengan tebal sekitar 5 meter atau lebih. Kurvanya
berbentuk sederhana dengan satu puncak. Range periode agak
melebar sampai 0,8 detik atau lebih dengan frekuensi lebih rendah
dari jenis I.
Jenis III:
Tanah jenis pasir, sandy clay, clay atau yang dapat digolongkan
pada jenis alluvial. Kurvanya agak kompleks, dengan range
periodenya melebar sampai 1,0 detik, bentuk puncaknya tidak
tajam tetapi melebar dibanding jenis I dan II.
Jenis IV:
Tanah ini digolongkan kedalam tanah lembek, berupa endapan
delta atau endapan lumpur dari sungai dan dapat dibagi dalam:
- Alluvial yang terdiri dari endapan tanah lunak (soft delta), top
soil, lumpur dan sejenisnya dengan kedalaman 30 m atau lebih.
- Tanah urug baik berupa tanah lunak, humus atau lumpur atau
yang lainnya.
Kurvanya mempunyai bentuk yang kompleks dengan beberapa
puncak dan range periodenya melebar sampai 2 detik atau lebih.
S. Omote dan N. Nakajima mengklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
Jenis A :
Periode dominan antara 0,1 – 0,25 detik, dimana jumlah gelombang
dengan periode 0,25 detik sedikit.
Jenis B :
Periode dominan antara 0,25 – 0,40 detik, dengan gelombang yang
periodenya 0,40 sedikit.
Jenis C :
Periode dominan 0,40 detik, dengan gelombang yang periodenya
0,8 detik cukup banyak.
Kedua jenis klasifikasi tersebut telah dikonversi dan dipakai sebagai standar
dalam perencanaan bangunan tahan gempa atau a seismic design. Hasil
konversi tersebut adalah sebagai berikut:
Klasifikasi Tanah
Periode
80
Kanai
Omote Nakajima
Dominan
(detik)
Keterangan
Jenis I
Jenis A
0,05 - 0,15
Batuan tersier atau lebih tua, terdiri
atas batuan hard sandy gravel
0,10 – 0,25
Jenis II
Batuan alluvial dengan ketebalan
sekitar 5 m, terdiri dari sandy gravel,
sandy hard clay, loam
Jenis III
Jenis B
0,25 – 0,40
Batuan alluvial hampir sama dengan
jenis II, hanya dibedakan oleh
adanya formasi bluff.
Jenis IV
Jenis C
> 0,40
Batuan alluvial yang terbentuk dari
delta top soil, lumpur dan lain-lain
dengan kedalaman sekitar 30 m.
81
BAB IX
GEMPABUMI DI INDONESIA
1. Pola Kegempaan
Kegempaan di Indonesia berkaitan dengan zona subduksi yang berbagai
bentuk dan bermacam arah. Zona subduksi merupakan daerah utama
gempabumi, sebagian besar gempa terjadi di zona subduksi, baik gempa
dangkal, menengah maupun dalam, sehingga zona ini disebut sebagai zona
seismik aktif. Palung laut dan gunung api terdapat di zona ini.
Kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama,
yaitu lempeng Eurasia di Utara, lempeng Indo-Australia di selatan, lempeng
Pasifik di timur dan lempeng kecil Filipina diantara ke tiga lempeng utama
tersebut. Batas lempeng- lempeng ini di wilayah Indonesia umumnya
berbentuk zona subduksi yang mempunyai arah dan jenis penunjaman
berbeda-beda, seperti terlihat pada gambar 1.4.
Secara umum struktur tektonik Indonesia bagian timur lebih rumit dibanding
Indonesia bagian barat. Di wilayah Indonesia bagian barat, lempeng IndoAustralia menunjam dari arah selatan ke utara di bawah lempeng Eurasia,
ditandai dengan jalur gempa Mediteran. Sedangkan di wilayah Indonesia
bagian timur, lempeng Pasifik bertemu dengan lempeng Filipina, lempeng
Eurasia dan lempeng Indo-Australia, ditandai dengan bertemunya jalur gempa
Mediteran dengan jalur gempa Sirkum Pasifik.
Di wilayah Indonesia, membentang dari barat ke timur palung laut yang
merupakan indikasi adanya zona subduksi yaitu palung Sunda, palung di
daerah Laut Banda, daerah Maluku dan daerah Sulawesi Utara. Patahan / sesar
yang merupakan dampak dari tumbukan lempeng-lempeng tektonik tersebut
dan menjadi daerah sumber gempabumi terdapat sepanjang pulau Sumatra,
beberapa tempat di Pulau Jawa, sebelah utara Flores, Sulawesi, Maluku Utara
dan Papua, dapat dilihat pada gambar 1.5.
2. Seismisitas
Untuk memantau gempabumi di wilayah Indonesia dan sekitarnya, telah
didirikan 29 stasiun pencatat gempa yang tersebar mulai dari Banda Aceh
82
sampai Jayapura. Disamping itu telah terpasang pula 5 sistem jaringan
telemetri yang masing-masing dikoordinir oleh kantor regional di Medan,
Ciputat, Denpasar, Makasar, Jayapura dan semuanya terhubung dengan kantor
pusat di Jakarta.
Perkembangan teknologi menuntut sistem pencatatan gempa secara cepat dan
tepat, oleh karena itu sejak tahun 1997 BMG bekerja sama dengan pemerintah
Jepang telah membuat jaringan seismograf jenis digital broad band. Jaringan
seismograf jenis digital broad band ini diberi nama JISNET (Japan Indonesia
Seismological Network) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia bagian
Barat dan Tengah berjumlah 22 stasiun.
Disamping itu tahun 2004 BMG bekerja sama dengan CTBTO
(Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty Organization) sedang membangun
jaringan seismograf jenis digital broadband lain yang secara khusus untuk
mendeteksi ledakan nuklir bawah tanah. Jaringan ini terdiri dari 6 stasiun
masing-masing di Prapat (Sumatera Utara), Lembang (Jawa Barat), Kupang
(Nusa Tenggara Timur), Kapang (Sulawesi Selatan), Sorong dan Jayapura
(Papua).
Pada tahun 2004 jaringan seismograf yang dibangun oleh BMG telah mencapai
lebih dari 80 buah, namun wilayah Indonesia yang sangat luas dan sebagian
besar merupakan daerah aktif gempa, jumlah tersebut masih jauh dari cukup.
Untuk itu dalam rangka penelitian sesar aktif dan untuk merapatkan jaringan
seismograf yang telah ada, akan segera dibuat lagi tiga jaringan seismograf
kecil atau mini RSC (Regional Seismological Center) masing-masing terdiri
dari empat sensor.
Ketiga mini RSC itu berturut-turut ada di Padang Panjang, Kepahiang, dan
Palu. Gambar (9.1) memperlihatkan peta jaringan seismograf di Indonesia.
Sedang gambar (9.2) memperlihatkan jaringan seismograf telemetri Pusat
Gempabumi Regional (PGR) Medan, Ciputat, Denpasar, Makasar dan
Jayapura. Sejak tahun 1998 Indonesia ditunjuk oleh perhimpunan Meteorologi
dan Geofisika ASEAN sebagai pusat informasi kegempaan AEIC (Asean
Earthquake Information Center). Semua data kegempaan wilayah ASEAN
dikumpulkan di sini.
83
Gambar 9.1. Peta jaringan seismograf di Indonesia
Gambar 9.2. Jaringan seismograf telemetri Pusat Gempabumi Regional Medan, Ciputat,
Denpasar, Makasar, dan Jayapura
84
Penyebaran gempabumi di wilayah Indonesia terkonsentrasi di daerah
penujaman lempeng tektonik. Gempa dangkal terdapat di sepanjang bagian
barat Sumatra, bagian selatan Jawa, Nusa Tenggara, Banda, Maluku, Sulawesi,
Papua dan di daerah-daerah sesar. Gempa menengah tersebar sepanjang pantai
barat Sumatra, kemudian di Jawa, Nusa Tenggara, Banda, Maluku dan
Sulawesi. Sedangkan gempa dalam tidak terdapat di Sumatra, tetapi mulai
muncul dari Jawa Tengah sebelah utara, Nusa tenggara bagian utara hingga di
sebelah barat Maluku dan Sulawesi. Peta sebaran gempabumi di Indonesia
dapat dilihat pada gambar (1.6).
Secara statistik tercatat bahwa di Indonesia sebagian besar gempabumi yang
terjadi adalah gempa dangkal, yaitu 70 %, sisanya adalah gempa menengah
dan gempa dalam. Sebagian besar episenter gempa, lebih 70 % tersebar di
bawah permukaan laut. Frekuensi kejadian gempabumi di wilayah Indonesia
timur jauh lebih banyak dibanding wilayah Indonesia barat, hampir 80 %
gempa di Indonesia berlokasi di Indonesia Timur.
Palung laut terdapat memanjang mulai dari Andaman, bagian barat Sumatra,
bagian selatan Jawa-Nusa Tenggara, membelok membentuk setengah
lingkaran di daerah Laut Banda. Kemudian di Sulawesi, daerah Maluku dan
utara Irian yang menyambung dengan palung Mindanao. Di sepanjang pulau
Sumatra terdapat sesar Sumatra dengan arah dekstral sedangkan di Utara Irian
terdapat sesar Sorong. Beberapa sesar lainnya terdapat di darat, yaitu di Pulau
Jawa, pulau Sulawesi dan pulau Irian. Semuanya merupakan daerah yang
rentan terhadap gempa. Gunung api aktif sebanyak 129 buah berjajar
sepanjang pulau Sumatra, pulau Jawa, Nusa Tenggara, daerah laut Banda,
Sulawesi Utara dan Maluku.
Berdasarkan gempa yang terjadi, dibuat peta intensitas gempabumi di
Indonesia. Kerusakan dengan intensitas mencapai IX skala MMI terjadi di
Sumatra di daerah Tarutung dan Liwa, beberapa tempat di Jawa yaitu daerah
Majalengka, Jawa Tengah dan Malang. Intensitas mencapai VIII skala MMI
terdapat di sepanjang bagian barat Sumatra, Jawa Barat bagian tengah dan
selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur bagian selatan, Bali, Lombok, Sulawesi
Selatan bagian utara, Sulawesi bagian utara dan tengah, Irian Jaya bagian
kepala burung dan utara. Di Indonesia daerah yang relatif aman terhadap
bencana gempa dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya adalah
Kalimantan bagian barat dan tengah, intensitas maksimum di daerah ini lebih
kecil dari V skala MMI. Gambar (9.3) memperlihatkan peta intensitas
maksimum dari gempabumi yang pernah terjadi di Indonesia.
85
Gambar 9.3. Peta pembagian wilayah intensitas gempabumi di Indonesia
(J. Murjaya & G. Ibrahim, 1997)
3. Zona Subduksi
Kedalaman gempa maksimum di Sumatra adalah 180 km, berarti disini zona
subduksi menunjam sejauh 180 km. Arahnya dari utara ke selatan dengan
sudut penunjaman 25o, jenis subduksi miring (oblique fault). Kedalaman
palung laut Sumatra sekitar 4500 meter dan palung laut Jawa mencapai 7000
meter. Lempeng menunjam rata-rata dengan kecepatan 6,8 cm pertahun.
Mulai dari Jawa Tengah sampai Flores Barat, lempeng menunjam sampai
kedalaman 650 km. Tetapi pada kedalaman antara 260 – 542 km di Jawa
Tengah dan kedalaman antara 280 – 360 km di Flores Barat terdapat
diskontinu lempeng. Kecepatan penunjaman lempeng sekitar 7,5 cm pertahun.
Gunung api terdapat pada lokasi yang berkaitan dengan kedalaman
gempabumi antara 100 dan 200 km. Kasus lempeng yang terputus ini juga
dijumpai di daerah zona subduksi Peru dan Chili.
Di wilayah Laut Banda bentuk penunjaman lempeng lebih komplek. Sebelah
selatan terdapat palung Timor dan di utara adalah palung Seram. Kedua palung
ini melingkar membentuk setengah lingkaran mulai dari selatan pulau Timor,
Tanimbar, berbelok ke atas di sebelah timur kepulauan Kai dan kemudian
berbalik ke arah barat di sebelah utara pulau Seram dan Buru. Kedalaman
palung Timor sekitar 2500 meter, palung Seram antara 4000 – 5000 meter, dan
basin Weber mencapai kedalaman 7000 meter.
Zona subduksi di daerah laut Banda adalah berbentuk suatu permukaan
cekung, lempeng-lempeng tektonik menunjam dari arah utara dan dari arah
86
selatan yang bertemu di Laut Banda. Kedalamannya berkurang dari arah barat
ke timur, di sebelah barat dekat pulau Alor penunjaman zona subduksi 650 km
dan di sebelah timur dekat pulau Tanimbar penunjamannya 96 km. Sudut
penunjaman juga berkurang dari arah barat ke timur, di palung sebelah Selatan
(Timor) dari 74o sampai dengan 16o dan di palung sebelah utara dari 57o
sampai 14o .terdapat diskontinu pada lempeng di sebelah selatan.
Pada daerah Maluku zona subduksi lebih rumit bentuknya. Di daerah ini
terdapat beberapa palung, yaitu palung Maluku yang bersambung dengan
palung Filipina diutaranya. Palung Sangihe memanjang dari Sulawesi Utara
sampai selatan Mindanao, dan palung Cotabato di bagian barat Mindanao.
Zona penunjaman di daerah Maluku membentuk suatu permukaan cembung
disebabkan terdapat lempeng-lempeng yang masing-masing menunjam ke arah
barat dan kearah timur. Kecepatan penunjaman lempeng di daerah ini 7 cm
pertahun. Kedalaman penunjaman di sebelah barat mencapai 625 km dan
disebelah timur 275 km. Sudut penunjamanan di sebelah barat adalah 32o – 51o
sedangkan di timur antara 34o - 51o. Disamping itu terdapat beberapa
penunjaman lempeng pendek di bagian barat dan timur.
Secara umum di Indonedia terdapat 4 bentuk zona subduksi :
1. Zona Penunjaman pendek
Di sepanjang Sumatra sampai Jawa Barat, kedalaman penunjaman sejauh
180 km dengan sudut penunjaman 25o.
2. Zona penunjaman diskontinu.
Bentuk ini ditemui mulai dari Jawa tengah sampai Flores. Kedalaman
maksimum 665 km dengan sudut penunjaman sekitar 52o. Subduksi
diskontinu terdapat di Jawa Tengah sebesar 282 km dan di Flores 80 km.
3. Zona penunjaman berbentuk permukaan cekung.
Bentuk zona ini terdapat mulai dari Alor sampai kepulauan Kai (daerah
Laut Banda). Kedalaman zona penunjaman lempeng berkurang dari arah
sebelah barat ke timur, yaitu dari 650 sampai 96 km, sedangkan sudut
penunjaman berkurang dari 74o sampai dengan 16o.
4. Zona penunjaman berbentuk permukaan cembung.
Ditemui didaerah Maluku, kedalaman penunjaman di sebelah barat 635 km
dan di sebelah timur 275 km. Sudut penunjaman di timur sebesar 32o – 51o
dan di sebelah barat 34o – 43o.
Bentuk zona subduksi di wilayah Indonesia Timur lebih komplek
dibandingkan dengan zona subduksi di Indonesia Barat. Hal ini juga dapat
87
dilihat pada peta penyebaran gempa bumi, di Indonesia Barat, pola
penyebaran gempa dangkal, menengah dan dalam lebih teratur sedangkan di
Indonesia Timur polanya lebih beragam.
Gambar 9.4. Zona penunjaman di Indonesia
BAB X
PREDIKSI GEMPABUMI
Prediksi gempabumi merupakan kegiatan yang sangat mengandung resiko
sosial dibanding dengan prakiraan cuaca. Secara teoritis gempabumi
merupakan gejala alam biasa oleh sebab itu sebelum peristiwa alam itu terjadi
semestinya akan terdapat perubahan parameter fisis yang mendahuluinya atau
yang disebut sebagai precursor. Yang menjadi masalah adalah secara
operasional untuk melakukan pengamatan precursor ini memerlukan usaha dan
dana yang tidak sedikit.
Dari banyak precursor itu diantaranya adalah hasil eksperimen di laboratorium
menunjukkan bahwa sebelum terjadi gempabumi maka batuan di sekitarnya
akan mengalami perubahan parameter-parameter seperti : tahanan listrik akan
88
menurun, adanya perubahan stress dan strain, adanya fluktuasi unsur radon,
perubahan permukaan air bawah tanah, perubahan suhu air bawah tanah, dan
lain-lain.
Kegiatan prediksi gempabumi, mencakup tiga hal yaitu, kapan gempabumi
akan terjadi, dimana terjadinya dan seberapa besar kekuatannya. Di Jepang
kegiatan ini mulai dilakukan sejak tahun 1965 dimana dalam perencanaannya
terdapat empat bagian, yaitu pengamatan untuk kegiatan prediksi jangka
panjang, pengamatan untuk kegiatan prediksi jangka pendek, penelitian dasar,
dan kerjasama dengan institusi luar.
Pada prediksi jangka panjang pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan
geodesi, geomagnet, geologi, seismologi, seismic velocity, statistik dan lainlain. Sedangkan untuk jangka pendek melakukan pengamatan geodesi (survei
ulang pengamatan ground movement, temporal variation dan gravity),
geochemical (ground water level, ground water quality, dan unsur-unsur radio
aktif), dan pengamatan geomagnet. Sedang penelitian dasar meliputi
percobaan-percobaan di laboratorium dan di lapangan yang meliputi
experiment fracture dari sample batuan, pengukuran stress, dan lain-lain.
Di Amerika Serikat, kegiatan prediksi gempabumi diprioritaskan pada studi
dasar mengenai crustal strain dan seismic monitoring yang dititik beratkan
pada understanding of the seismic rupture process, serta eksperimen lapangan
yang dilakukan untuk meramal gempa di areal South California dengan
pengamatan strain meter, ground water level.
Di Cina kegiatan ramalan gempabumi dilakukan dengan intensif dan
dikonsentrasikan pada pengamatan precursor. Di negara itu telah dibagun
jaringan pengamatan precursor yang terdiri dari ratusan stasiun pengamatan
crustal deformation, hydro chemestry, ground water level, magnet bumi, dan
ground resistivity, serta banyak stasiun pengamatan yang lain seperti gravity,
stress-strain dan electromagnetic.
Kegiatan prediksi gempabumi di Cina dilakukan dengan empat metode, yaitu:
seismo-geological method, statistic analisys of seismicity (Gutenberg Richter
Law), Corelation analisys ( position of / solar activity, gravity) dan precursor
method. Diantara 4 metode tersebut yang menjadi andalan adalah metode
pengamatan precursor. Pada metode ini prinsipnya adalah sebelum terjadi
gempabumi akan didahului oleh anomali parameter-parameter fisis seperti
perubahan yang menyolok dari parameter stress-strain, temperatur air bawah
tanah, unsur radioaktif, geomagnit, resistivity, gravity, dan lain-lain bahkan
akan ada perubahan dari tingkah laku binatang. Metode pengamatan precursor
89
dipakai untuk prediksi jangka sedang dan pendek sedangkan metode yang lain
dipakai untuk jangka panjang.
Dalam seismologi kita kenal precursory seismisity yang dibedakan menjadi
tiga yaitu seismicity patern (seismic gap,variasi b value, dan lain-lain), source
and medium parameters (stress drop, q value, variasi kecepatan gelombang,
dan lain-lain), dan pembedaan urutan gempa (fore shock dan precursory
swarm).
Secara teoritis gempabumi memang dapat diprediksi, namun para peneliti
mengalami kesulitan karena beberapa hal, diantaranya: terbatasnya kondisi
pengamatan terutama peralatannya, tidak periodiknya aktivitas gempabumi,
ketidak tentuannya proses gempabumi, dan luasnya daerah jangkauan.
Selain dengan metode observasi precursor terdapat banyak metode dalam
prediksi gempabumi, diantarnya: seismicity gap, seismicity band, increased
seismicity, preseismic squance, variation of b value, source and medium
parameters, wave velocity variations, fore shocks squance.
Salah satu contoh kegiatan prediksi gempa di Cina yang sangat sukses adalah
peristiwa gempabumi Menglian yang terjadi pada 12 Juli 1995 dengan
Magnitude Ms = 7,3 satu hari sebelum gempa utama terjadi diumumkan
kepada masyarakat sehingga korban jiwa dapat dihindarkan.
Di Indonesia kegiatan prediksi gempabumi dilakukan melalui penelitian
secara individual oleh personil BMG, ITB dan beberapa instansi lain yang
umumnya dilakukan dengan metode statistik menggunakan perhitungan
periode ulang gempabumi.
Periode ulang gempa bumi maksudnya adalah bahwa gempa bumi dengan
skala tertentu (misalnya M=8) akan terulang kembali di daerah yang sama
pada kurun waktu tertentu. Perhitungan periode ulang ini memerlukan data
paling tidak satu periode, lebih panjang lebih baik. Namun catatan gempa bumi
dengan peralatan, baru dimulai pada awal abad 20. Karena itu untuk
memperpanjang periode pengamatan, dibantu dengan catatan intensitas gempa
yang sudah dimulai sejak awal abad masehi. Selain itu penelitian paleoseismik
juga bisa membantu memperpanjang periode pengamatan.
Gempa yang sama kekuatannya dengan gempa pada 4 Juni 2000 di Bengkulu
pernah terjadi dua kali pada 1833, 1914. Sehingga banyak yang setuju dengan
teori prediksi gempabumi memakai metode periode ulang berkisar 80 tahun.
Disamping itu terdapat juga gempa yang ukurannya lebih kecil dengan periode
ulang lebih pendek.
90
Perhitungan matematis periode ulang gempa bumi di Sumatra oleh peneliti
BMG (Rasyidi Sulaiman dan Robert Pasaribu, 2000) menunjukkan bahwa
periode ulang di Sumatra Selatan berkisar antara 8-34 tahun dengan nilai
tengah 21 tahun. Gempa pada tahun 1979 di Bengkulu yang cukup besar
dengan M=5.8, MMI=VIII, sedangkan gempa berikutnya adalah Juni 2000
(1979+21tahun).
Gempabumi di lautan Indonesia sebelah selatan Jawa Barat dengan magnitude
8,1 SR terjadi pada tahun 1903 telah dihitung periode ulangnya dengan metode
Weibul (Subardjo, 1990) kurang lebih 125 tahun atau dalam jangka waktu
antara 108 – 122 tahun.
1. Periode Ulang Gempabumi Distribusi Weibull
Kemungkinan terjadinya gempabumi pada selang waktu t dan t + t adalah (t)
dan oleh Weibull dinyatakan dalam formula:
(t) = k tm ……………………………..(9.1-1)
k dan m adalah konstanta dimana k > 1 dan m > -1. Probabilitas kumulatif
kejadian gempabumi antara waktu nol dan t yang diberi notasi F(t) dengan
reliabilitas R(t) didefinisikan sebagai :
R(t) = 1 – F(t), dan
R(t) = exp.( -  (t) dt
= exp. - (kt m+1)/ (m+1)………..(9.1-2)
Sedang probabilitas densitas dari suatu kejadian gempabumi dirumuskan
sebagai berikut:
f(t) = - dR(t)/dt
= k tm exp.- (kt m+1)/ (m+1) ……(9.1-3)
Dengan cara momen ke r suatu perubah acak t dinotasikan sebagai Mr, yaitu
nilai peluang t pangkat ke r, dengan r = 1,2,3,……n; maka diperoleh bentuk
sebagai berikut:

r
Mr = E(t ) =  t f r (t) dt
91

o
m+r
=kt
exp.- (kt m+1)/ (m+1)dt ……(9.1-4)
o
m+1
Jika: (kt
)/ (m+1) = X dan t m+1 = (m+1)/k X, maka
t = (m+1)/k X  1/(m+1) ………………..(9.1-5)
selanjutnya diturunkan ke dx/dt diperoleh:
k/(m+1) (m+1) tm dt = dx ……………….(9.1-6)
dt = dx / k tm
dimana
dt = dx / k (m+1)/kxm/(m+1)
akan didapat:
Mr = E(t r) = k/(m+1)-r/(m+1)  X(m+r+1)/(m+1) -1 exp.(-x) dx
…(9.1-7)
dimana :  X(m-1) exp.(-x) dx = m ; m>0
akhirnya diperoleh:
Mr = E(t r) = k/(m+1)-r/(m+1) (m+r+1)/m+1) ….(9.1-8)
Didapat rumusan periode ulang gempabumi sebagai berikut:
Untuk r = 1;
M1 = E(t) = k/(m+1)-1/(m+1) (m+2)/m+1) ……(9.1-9)
Untuk r = 2;
M2 = E(t) = k/(m+1)-2/(m+1) (m+3)/m+1) …….(9.1-10)
Simpangan baku rata-rata periode ulang gempabumi adalah:
SD = E(t2) - E2(t)1/2
…………………………..(9.1-11)
2. Perubahan Vp/Vs dan parameter lainnya
92
Beberapa perubahan dapat dipakai sebagai precursor gempabumi. Telah
dijelaskan diatas bahwa dari hasil eksperimen di laboratorium suatu batuan
yang diberi gaya secara terus menerus suatu waktu akan patah. Sebelum batuan
patah ternyata disekitar fokus patahan sebelumnya mengalami perubahan stress
dan strain. Demikian pula pada kejadian gempabumi, lokasi disekitar
hiposenter juga akan terjadi perubahan tegangan dan regangan, hal ini
disebabkan karena terjadinya penumpukan / akumulasi energi sebelum
dilepaskan menjadi gelombang seismik.
Dari teori yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu bahwa stress dan strain
terkait dengan perbandingan perubahan kecepatan gelombang primer (Vp) dan
kecepatan gelombang skunder (Vs) atau Vp/Vs. Dalam kejadian gempabumi
perubahan Vp/ Vs dapat diamati dan secara empiris biasa dihitung dengan
menggunakan diagram Wadati yang telah dibahas pada bab terdahulu.
Dengan keterbatasan peralatan pengamatan stress dan strain di lapangan,
penelitian di Indonesia tentang prediksi gempa masih dapat dilakukan dengan
mengamati parameter ini.
Untuk mengamati perubahan Vp/Vs parameter yang diperlukan adalah
perbedaan waktu datang gelombang s dan p atau (s-p) dan waktu tiba
gelombang p kedua parameter ini tidak sulit di lakukan di stasiun pengamat
gempabumi. Penelitian ini pernah dilakukan dengan menghitung kembali
perubahan Vp/Vs sebelum terjadi gempa Ambon pada akhir tahun 1996
dengan magnitude
sekitar 5,5 (Subardjo, 1998), ternyata mengalami
perubahan Vp/Vs yang signifikan.
Penelitian yang sama telah dilakukan sebelumnya oleh Feng (1977), dia
meneliti gempabumi Hsinfeng – Cina yang terjadi pada tanggal 19 Maret 1962
dengan magnitude 6,1 selama 11 bulan sebelumnya dan telah terjadi perubahan
Vp/Vs sebesar – 11 %. Kemudian Sekiya (1977) juga melakukan hal yang
sama pada gempa Kepulauan Izu – Jepang selama 11 tahun, sebelum terjadi
gempa dengan magnitude 6,9 telah terjadi perubahan nilai Vp/Vs sebesar –
5%.
Perubahan Medan Magnet dan Resistivitas:
Medan magnet bumi menunjukkan perubahan sebelum dan sampai waktu
terjadi gempabumi. Sedangkan harga resistivitas listrik batuan umumnya
menurun pada saat terjadi gempabumi dan kemudian kembali normal.
Air Tanah:
93
Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa ketinggian dan temperatur air
tanah naik sebelum terjadi gempabumi. Gordon mencatat kenaikan setinggi 2,9
cm pada sumur berjarak 110 km dari pusat gempabumi 1,5 jam sebelum
gempabumi dengan magnitude 6,9 terjadi di Meckering tahun 1968.
Perubahan Radon:
Hasil pengamatan di beberapa tempat menunjukkan jumlah radio aktif radon
bertambah dengan tajam sebelum terjadi gempa dan kemudian menurun secara
cepat setelah gempabumi berakhir.
Gempa Mikro:
Gempa mikro yang banyak terdapat di daerah seismik aktif dapat dipakai
sebagai indikasi akan terjadinya gempa utama. Pada umumnya aktivitas gempa
mikro bertambah pada saat gempa utama akan terjadi.
Migrasi:
Pada tahun 1976 terjadi migrasi pusat gempa sepanjang jalur Mediteran berasal
dari Itali dengan magnitude 6,9 merambat ke Ionian Yunani (6,7), Rusia (7,3),
RRC (7,0), Mindoro (6,9), Sumatra (7,1), dan berakhir di Irian dengan
magnitude 7,3.
Berikutnya deretan kejadian gempabumi terjadi tahun 1982 yang dimulai dari
Atlantik Utara dengan kekuatan 6,0 bermigrasi ke Spanyol, Itali (6,1), Yunani
(6,8), Iran (7,1), Todzhik (6,9), dan Burma dengan magnitude 6,4.
Injeksi Air:
Air yang dimasukkan kedalam tanah dapat mempengaruhi kegiatan gempa di
daerah tersebut. Injeksi air sedalam 3800 meter di Colorado telah memicu
terjadinya beberapa gempabumi. Hasil penelitian di daerah bendungan
Saguling menunjukkan kenaikan aktivitas gempa mikro setelah pengisian air
dibanding sebelumnya.
Ledakan Nuklir:
Ledakan nuklir yang diadakan di bawah permukaan bumi tercatat
menimbulkan gempa-gempa susulan. Seismograf selain dapat menentukan
lokasi dan kekuatan ledakan nuklir, juga pernah digunakan oleh Israel untuk
mendeteksi mobilisasi tentara Arab dalam perang Arab-Israel tahun 1967.
3. Pengamatan Gempa Susulan
Gempa susulan (aftershock) merupakan proses stabilisasi medan stress ke
keseimbangan yang baru setelah pelepasan energi atau stress drop yang besar
94
pada gempa utama. Setiap gempa tektonik dangkal (kira-kira < 100km) selalu
diikuti oleh dislokasi atau patahan. Dislokasi ini mengganggu keseimbangan
medium sekelilingnya, sehingga dengan sendirinya muncul gempa lainnya
yang merupakan proses keseimbangan baru. Proses ini bisa berlangsung
beberapa jam sampai berminggu-minggu, tergantung pada besar gempa utama
dan sifat batuan. Frekuensi dan magnitude gempa susulan ini umumnya
menurun secara exponensial terhadap waktu (gambar 9.1).
Formula kurva penurunan frekuensi gempa susulan terhadap waktu dapat
didekati dengan persamaan berikut:
Nt = No exp.(-b.t)……………………………………..(9.3)
Dimana Nt adalah frekuensi gempa susulan pada waktu t, No adalah frekuensi
gempa susulan pada waktu awal dan b adalah konstanta attenuasi yang dapat
ditentukan dengan regresi linier terhadap data yang ada. Waktu t yang dipakai
bisa digunakan hari (24 jam), ½ hari (12 jam) selang 6 jam atau selang yang
lebih kecil tergantung data yang ada. Prediksi berhentinya gempa susulan
dapat ditentukan dari persamaan tersebut pada Nt = 0
Extrapolasi kurva frekuensi dan magnitude terhadap waktu bisa menjadi
patokan perkiraan besarnya gempa susulan, sehingga bahaya dari gempa
susulan ini menjadi sangat serius apabila gempa utama telah merusak struktur
bangunan. Struktur bangunan yang sudah dirusak oleh gempa seperti susunan
dinding, batu dan pilar yang tak mempunyai daya ikat lagi satu sama lain
sehingga gempa susulan dengan MMI IV saja sudah cukup untuk merubuhkan
bangunan.
Peranan peneliti gempa susulan baik dari BMG atau lainnya sangat diperlukan
untuk melihat tingkat penurunan aktivitas gempa. Prediksi berhentinya
aktivitas gempa susulan sangat diperlukan dalam pengambilan kebijakan
pemerintah setempat untuk memulai kegiatan pembangunan dan rehabilitasi.
Gempa susulan Bengkulu yang dilaporkan tim survei BMG menunjukkan
penurunan aktivitas secara exponensial (gambar 9.1). Pada hari ke empat
terdapat gempa susulan dengan skala Mw6.5 yang mengakibatkan kenaikan
aktivitas kedua setelah gempa utama.
95
GRAFIK GEMPA SUSULAN GEMPA BENGKULU
5 JUNI 2000
180
160
140
120
Jumlah
gempa
susulan
100
80
60
40
20
0
1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39
Interval waktu 6 jam
Gambar 10.1. Grafik gempa susulan gempabumi Bengkulu 5 Juni 2000
96
DAFTAR PUSTAKA
1. Bolt, B.A., Earthquake, W.H. Freeman & Co San Fransisco, 1978.
2. Bullen, K.E., and Bruce A Bolt, An Introduction to the Theory of
Seismology, Cambridge University Press, 1987.
3. Fauzi, at al , Pemetaan Gempabumi di Indonesia, BMG (CD ROM),
2001
4. Hamilton, W. Tectonic of The Indonesian Region, 1981.
5. Hurukawa N, Analizys of Local Earthquakes, IISEE Tsukuba, 1995.
6. Ibrahim, G., et al, Mitigasi Bahaya Gempabumi di Indonesia, Penelitian
ITB No. 43, Bandung 1992.
7. Ibrahim, G., et al, Statistik Gempa di Indonesia, Penelitian ITB No.
2944, Bandung 1989.
8. Ibrahim, G., The Subduction Zones Of The Indonesian Region,
Procceding ITB, Vol. 21, No.1, 119-127, Bandung 1988.
9. Ismail Sulaiman, Pendahuluan Seismologi I, Akademi Meteorologi dan
Geofisika Jakarta, 1976
10. Katili,J.A.DR, DR.P.Marks, Geologi.
11. Kikuchi M, Earthquake Source Process, IISEE Tsukuba,1995.
12. Lee. W. H. K dan Stewart. S. W (1981), Principles and Aplications of
Microearthquake Network, Academic Pres, Inc.
13. Latief, H. et al, Tsunami Assesment Around The Sunda Strait,
Procceding of International Seminar / Workshop On Tsunami, Jakarta
and Anyer, 26-29 August 2003.
14. Microsofe Encarta, Interactive World Atlas, CDROM, 2001
15. Murjaya, J., G. Ibrahim, M. Said, Pembagian Wilayah Intensitas
Gempabumi di Indonesia, Procceding PIT-22 HAGI, Bandung, 1997.
16. Ota Kulhanek, Anatomy of Seismogram, Elsevier, Amsterdam-OxfordNew York- Tokyo, 1990
17. Picanussa.C, Subardjo, Pola Tektonik dan Karakteristik Gempa Lokal
Pulau Ambon dan sekitarnya (Hasil analisa Seismograph SPS-3)
Buletin Meteorologi dan Geofisika Jakarta, 1999
18. Prajuto, Karakteristik Gempa Bumi Susulan Sukabumi 10 Februari
1982, Universitas Indonesia Jakarta, 1983.
19. Prayuto, and Y.EI Sharkawy, . “ On Microtremor “, Individual Study
by partcipants at the IISEE, Tsukuba Japan, 1978
20. Richter, C.F., Elementary Seismology, W.H., Freeman and Co, San
Fransisco and London, 1969.
21. Purwanti, R.R. Yuliana, Hubungan Empiris Magnitudo Gempabumi
dan luasan daerah Isoseismal wilayah Selat Sunda dan sekitarnya,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Nasional, Jakarta 2002
97
22. Ryosuke Inoue, at al, Earthquake motion and ground conditions, the
Architectural Institute of Japan (AIJ), Tokyo, 1993
23. Subardjo, at al, The seismic Intensity, Acceleration and Isoseismal map
several damaged earthquakes in Indonesia, Journal Of Meteorology
and Geophysics, Jakarta, 2002
24. Subardjo, Buha. M. Simanjuntak, C. Piccanusa :” Intensitas dan
Percepatan Tanah Maksimum Gempabumi Maluku dan sekitarnya
periode 1900-1997”. Bulletin Meteorologi dan Geofisika No.4 tahun
1998.
25. Subardjo, C. Picanusa, Perubahan sementara Vp/Vs sebagai petunjuk
akan terjadinya gempabumi, Buletin Meteorologi dan Geofisika No. 3
Edisi September 1998, Jakarta 1998.
26. Subardjo, Seismic Velocity Structure In West Java, and Surroundings,
Indonesia, Bulletin of IISEE, Tsukuba, 1996.
27. Subardjo, Prih. H., Attenuasi Intensitas Gempa Flores 12 Desember
1992, Procceding PIT HAGI, Jakarta, 1993.
28. Subardjo, Penunjaman lempeng Indo-Australia terhadap lempeng
Eurasia, kaitannya dengan periode ulang gempabumi dengan M 8,1
tahun 1903 di Jawa barat, UI Jakarta, 1991
29. Sudarmo, R.P., at al “Laporan sifat-sifat lapisan tanah berdasarkan
pengukuran mikrotremor dan gempa bias dangkal dan hubungannya
dengan tingkat kerusakan akibat gempabumi, PMG Jakarta 1977.
30. USGS, Savage Earth Animations, www.usgs.gov
31. YSC, Seismology and Earthquake Engineering Traning Course, YSC,
Kunming, 2000
32. Y. Fujinawa, M. Ukawa, T. Eguchi, R.P. Sudarmo, R.U. Murwanto,
and Subardjo, Seismic Observation by a pop-up type OBS array and a
portable Seismometer on land in and around the southwestern part of
the Java island, Technical Bull., vol. 19, Tokyo, 1987.
RIWAYAT SINGKAT PENULIS
1. DR. Gunawan Ibrahim
DR. Gunawan Ibrahim saat ini menjabat sebagai Kepala Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG), karir di BMG diawalinya
sebagai Sekretaris tahun 1996-2001.
Sebelum menjabat sebagai Sekretaris BMG, dia adalah dosen pada
Jurusan Geofisika & Meteorologi Institut Teknologi Bandung (ITB)
98
yang masih dipegang sampai sekarang. Pada tahun 1992-1995
diangkat sebagai Ketua Jurusan Geofisika & Meteorologi ITB dan
sebelumnya tahun 1986-1992 sebagai Kepala Laboratorium
Seismologi.
Doktor bidang Geofisika di perolehnya dari Universitas Louis
Pasteur Strasbourg Perancis tahun 1985 dan Sarjana Strata Satu di
Jurusan Geofisika & Meteorologi ITB tahun 1976.
2. Drs. Subardjo, Dipl. Seis.
Drs. Subardjo Dipl. Seis., saat ini menjabat sebagai Kepala Stasiun
Geofisika Kelas I Manado dan sekaligus sebagai Koordinator BMG
Propinsi Sulawesi Utara.
Karir di BMG diawali pada tahun 1980 sebagai pelaksana teknis
pada Sub-bidang Tele Seismik dikala masih bernama Pusat
Meteorologi dan Geofisika (PMG). Setelah PMG berubah menjadi
BMG dia ditempatkan sebagai pelaksana teknis pada Sub-bidang
Analisa Geofisika sekaligus menjabat tenaga fungsional yang
bertugas sebagai analisis di Pusat Gempa Nasional (PGN).
Sedang jabatan Struktural yang pernah di pegang sebelumnya
adalah sebagai: Kepala Stasiun Geofisika Kelas II Ambon sekaligus
Koordinator BMG Maluku, Kepala Sub-Bidang Seismologi, dan
terakhir sebelum di pindah ke Manado dia menjabat sebagai Kepala
Sub-Bidang Standarisasi Seismologi dan Tsunami.
Gelar Sarjana Strata satu diperoleh dari FMIPA UI dalam program
studi Geofisika dan menyelesaikan Program Post Graduate
Diploma in Seismology (Dipl. Seis.) di International Institute of
Seismology and Earthquake Engineering Tsukuba Jepang.
Selain berkarir di BMG pengalaman mengajar pernah dilakukan,
antara lain di beberapa SMA Jakarta, Akademi Meteorologi dan
Geofisika Jakarta, Universitas Krisna Dwipayana Jakarta,
Universitas Mpu Tantular Jakarta dan saat ini menjadi Dosen Tamu
di Universitas Negeri Manado (UNIMA).
99
Download