MENELAAH SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA PERSATUAN DILIHAT DARI PERSPEKTIF SEJARAH BANGSA INDONESIA Esti Istiqomah Mahasiswa S1/Sastra Indonesia Rombel E/Calon Sarjana UNNES [email protected] Abstrak: Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Republik Indonesia dan merupakan bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak varietas bahasa Melayu. Bahasa Indonesia sendiri diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu sehari sesudah dilaksanakannya Proklamasi Kemerdekaan. Apabila kita kembali mengulik sejarah perkembangan dari bahasa Indonesia ini, tentu akan sangat menarik untuk dipelajari. Mengingat bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, yang mana bahasa Melayu merupakan lingua franca dalam kegiatan perdagangan dan keagamaan di Nusantara sejak abad ke-7. Secara historis, awal mula bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu yang diangkat menjadi bahasa Indonesia. Seiring perubahan zaman dan semakin pesatnya arus globalisasi, bahasa digunakan sebagai sarana berpikir, ekspresi, dan sarana komunikasi dalam kegiatan kehidupan manusia. Maka dari itu, telah diadakan 10 kali kongres bahasa Indonesia yang bertujuan untuk memelihara dan menjaga eksistensi bahasa Indonesia di dalam perkembangan globalisasi. Kata Kunci: Perkembangan bahasa Indonesia, Kongres Bahasa Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi. Yang kemudian mengakibatkan Indonesia memiliki banyak sekali perbedaan. Budaya yang berbeda dan bahasa yang berbeda-beda menjadi keunikan tersendiri bagi Negara Indonesia. Ditinjau dari perspektif historis Negara Indonesia, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang berasal dari bahasa Melayu. Lebih tepatnya bahasa Melayu Riau. Yang mana bahasa Melayu Riau merupakan lingua franca sejak abad ke-19. Seiring berkembangnya zaman, bahasa ini mengalami perubahan, akibat dari penggunaannya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan bahasa. Pada saat perjuangan kemerdekaan, bangsa Indonesia memerlukan alat pemersatu dalam menunjang dan mempermudah dalam berinteraksi antar suku bangsa yang ada di Indonesia. Kemudian dipilihlah bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu bangsa. Bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 pada saat peristiwa Sumpah Pemuda. Tujuan dari lahirnya bahasa Indonesia ini pada saat peristiwa Sumpah Pemuda adalah agar bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia melalui bahasa, yang dilatarbelakangi oleh banyaknya bahasa daerah yang ada di Indonesia. Sebelum ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa dalam berkomunikasi, antar suku mengalami kesulitan. Karena perbedaan bahasa yang sangat menonjol. Setelah diikrarkan sumpah para pemuda dari seluruh plosok negeri, hal ini menjadi sebuah awal dari perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia merupkan bahasa resmi Republik Indonesia dan juga sebagai bahasa persatuan. Dan merupakan bahasa nasional yang digunakan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seiring perubahan zaman dan semakin pesatnya arus globalisasi, bahasa digunakan sebagai sarana berpikir, ekspresi, dan sarana komunikasi dalam kegiatan kehidupan manusia. Maka dari itu, telah diadakan 10 kali kongres bahasa Indonesia yang bertujuan untuk memelihara dan menjaga eksistensi bahasa Indonesia di dalam perkembangan globalisasi. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses lahirnya bahasa Indonesia? 2. Apa saja perkembangan bahasa Indonesia? 1.3 Tujuan 1. Mengetahui proses lahirnya bahasa Indonesia. 2. Mengetahui perkembangan bahasa Indonesia. II. KERANGKA TEORITIS 2.1 Bahasa Melayu sebagai Lingua Franca Lingua franca (bahasa latin yang berarti bahasa bangsa Franka) adalah istilah bahasa yang berarti “bahasa pengantar” atau “bahasa komunikasi” di suatu tempat di mana terdapat banyak penutur bahasa yang berbedabeda. Ayatrohaedi menerjemahkan lingua franca dengan istilah “basantara”, dari kata “basa” atau “bahasa” dan “antara”. Oleh karena itu, bahasa Melayu adalah bahasa pengantar saat itu. Bahasa Melayu sendiri sudah ada pada abad ke-7. Di era Sriwijaya, bahasa Melayu adalah bahasa resmi yang digunakan untuk perhubungan dan perdagangan. 2.2 Kongres Bahasa Indonesia Kongres Bahasa Indonesia merupakan pertemuan rutin lima tahunan yang diadakan oleh pemerintah dan praktisi bahasa dan sastra Indonesia untuk membahas bahasa Indonesia dan perkembangannya. Kongres ini pertama kali diadakan di kota Solo pada tahun 1938. Pada mulanya kongres diadakan untuk memperingati hari Sumpah Pemuda yang terjadi pada tahun 1928, namun selanjutnya tidak hanya untuk memperingati Sumpah Pemuda tetapi juga untuk membahas perkembangan bahasa dan sastra Indonesia dan rencana pengembangannya. III. PEMBAHASAN 3.1 Sejarah Proses Lahirnya Bahasa Indonesia Bahasa merupakan salah satu unsur identitas suatu bangsa. Demikian juga dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas nasional bagi bangsa dan negara Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia ini diresmikan penggunaannya satu hari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, bersamaan dengan mulai berlakunya Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Dari perspektif ilmu linguistik, bahasa Indonesia adalah satu dari ragam bahasa Melayu. Tepatnya yaitu bahasa Melayu Riau. Pada abad ke-19, bahasa Melayu adalah bahasa penghubung antaretnis dan suku-suku di kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa bahasa penghubung antaretnis dan suku, bahasa Melayu juga menjadi bahasa penghubung dalam kegiatan perdagangan internasional di wilayah nusantara baik antarpedagang lokal maupun antarpedagang asing. Pada saat itu bahasa Melayu merupakan lingua franca (bahasa pengantar dalam pergaulan) antarwarga nusantara dan dengan pendatang dari manca negara. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa bahasa Melayu ditetapkan sebagai dasar bagi bahasa Indonesia. Sejarah telah membantu penyebaran bahasa Melayu. Bahasa Melayu merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan/perdagangan. Malaka pada masa jayanya menjadi pusat perdagangan dan pusat pengembangan agama Islam. Dengan bantuan para pedagang, bahasa Melayu disebarkan keseluruh pantai Nusantara terutama di kota-kota pelabuhan. Bahasa Melayu menjadi bahasa penghubung antarindividu. Karena Bahasa Melayu itu sudah tersebar dan boleh dikatakan sudah menjadi bahasa sebagian besar penduduk. Gubernur Jenderal Rochussen lalu menetapkan bahwa bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di sekolah untuk mendidik calon pegawai negeri bangsa bumiputera. Dari satu segi kita katakan bahwa masa pendudukan Jepang telah membantu makin tersebarnya bahasa Indonesia karena pemerintah (Balatentara) Jepang melarang pemakaian bahasa musuh seperti bahasa Belanda dan Inggris. Karena itu, bahasa Indonesia mengalami kontak sosial di seluruh wilayah Indonesia dengan berpuluh-puluh bahasa daerah. Alasan lain yang mendasari ditetapkannya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia yaitu, pertama sistem bahasa Melayu yang sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa Melayu tidak dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus). Tidak seperti bahasa Jawa yang tergolong susah dalam mempelajarinya. Bahasa Jawa lebih sulit dipelajari dan dikuasai karena kerumitan strukturnya, tidak hanya secara fonetis dan morfologis tetapi juga secara leksikal. Bahasa Jawa memiliki morfem leksikal yang berjumlah ribuan dan struktur gramatikal yang banyak dan rumit. Selain itu, penggunaan bahasa Jawa juga dipengaruhi oleh struktur budaya masyarakat Jawa yang tergolong cukup rumit. Alasan-alasan tersebut yang mendorong bahasa Jawa tidak dijadikan sebagai dasar bagi bahasa Indonesia, walaupun pengguna bahasa Jawa di Indonesia ini cukup banyak. Walaupun bukan bahasa Jawa yang dipilih, masyarakat suku Jawa menerimanya dengan ikhlas keberadaan bahasa Melayu sebagai dasar bahasa Indonesia. Alasan kedua adalah suku Jawa, suku Sunda, suku Dayak, dan suku-suku yang lain dengan sukarela menerima bahasa Melayu menjadi awal bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Karena bahasanya yang mudah dan tidak rumit maka bahasa Melayu dengan sepenuh hati diterima dengan baik oleh masyarakat nusantara. Selain itu, karena adanya kesadaran bahwa harus segera menetapkan bahasa nasional, mereka dengan ikhlas mengabaikan semangat dan rasa kesukuan karena sadar akan perlunya kesatuan dan persatuan. Ketiga, karena bahasa Melayu sudah dikenal luas oleh banyak orang. Dikarenakan oleh penyebaran agama Islam yang menggunakan bahasa Melayu, otomatis masyarakat nusantara mengenalnya dengan baik. Keempat yaitu bahasa Melayu memiliki sifat yang terbuka untuk menerima pengaruh bahasa lain. Bahasa Melayu ini menerima kosakata dari berbagai bahasa, seperti bahasa Sansekerta, bahasa Arab, bahasa Inggris, bahasa Persia, dan bahasa-bahasa lain. Alasan berikutnya yaitu kesanggupan bahasa itu sendiri. Alasan tersebut menjadi salah satu faktor penentu. Jika bahasa itu tak mempunyai kesanggupan untuk dapat dipakai menjadi bahasa kebudayaan dalam arti yang luas, tentulah bahasa tersebut tidak dapat berkembang menjadi bahasa yang sempurna. Kenyataan membuktikan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dapat dipakai untuk merumuskan pendapat secara tepat dan mengutarakan perasaan secara jelas. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia karena bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) di Nusantara. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa Melayu tidak dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus). Suku Jawa, Suku Sunda dan suku-suku lainnya dengan sukarela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas. Bahasa Melayu juga sudah dikenal luas oleh masyarakat nusantara. Dahulu bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa perhubungan. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa perhubungan, seperti (1) Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683, (2) Presasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684, (3) Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686, dan (4) Prasasti Karang Brahi, Bangko, Kabupaten Merangi, Jambi, tahun 688 yang bertulis Pra-Negari dan bahasanya bahasa Melayu Kuno, memberi petunjuk kepada kita bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya ( Halim, 197:6-7). Prasasti yang juga ditulis di dalam bahasa Melayu Kuno terdapat di Jawa Tengah (Prasasti Gandasuli, tahun 832) dan di Bogor (Prasasti Bogor, tahun 942). Kedua prasasti di Pulau Jawa itu diperkuat pula dugaan kita bahwa bahasa Melayu Kuno pada waktu itu tidak saja dipakai di Pulau Sumatra tetapi juga dipakai di Pulau Jawa. Bahasa Indonesia merupakan varian dari bahasa Melayu, yang merupakan bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, dan telah lama digunakan sebagai lingua franca di nusantara sejak dulu. Diketahui dari prasasti kuno dan peninggalan budaya bahwa bahasa Melayu telah digunakan sejak zaman kerajaan Sriwijaya, dan kemudian berkembang pesat karena penggunaan kosakata dan peminjaman bahasa Sansekerta (Indo-Eropa dari cabang Indo-Iranian India). Penggunaan bahasa ini pun cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad selanjutnya di Jawa dan Luzon. Kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca adalah kata pinjaman dalam bahasa Sanskerta. Pada abad ke-15 M, berkembang varian baru bahasa Melayu yang disebut Melayu Klasik (Melayu Klasik atau Melayu Abad Pertengahan). Varian bahasa Melayu ini digunakan sebagai bahasa pengantar di Kesultanan Malaka. Belakangan, varian bahasa Melayu ini disebut Melayu Tingkat Lanjut. Penggunaannya dibatasi pada keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya. Pengusaha Portugis, Tome Pires, mengatakan bahwa semua pedagang di Sumatra dan Jawa bisa memahami sebuah bahasa. Saat itu, karena penyebaran agama Islam pada abad ke-12, bahasa Melayu tingkat tinggi banyak dipengaruhi oleh kosakata bahasa Arab dan Persia. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab ini terus berkembang hingga sekarang. Pada masa berikutnya, para pedagang dari Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris mulai berdatangan. Mereka kemudian banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak menyerap kata-kata yang diambil dari kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Melayu kemudian mengenal kosakata baru, contohnya gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda telah memperkaya kosakata bahasa Melayu dalam pengelolaan administrasi dan kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa itu. Para pedagang dari Cina juga ikut memperkaya kosakata bahasa Melayu, terutama yang berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari. Kata-kata seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong berasal dari kosa kata bahasa Cina. Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menunjukkan bahwa Bahasa Melayu / Melaka dianggap sebagai bahasa terpenting di "Dunia Timur". Penggunaan bahasa Melayu yang meluas ini telah melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan nusantara, dan mencampurkan bahasa Portugis, Cina, dan lokal. Beberapa kota pelabuhan di bagian timur nusantara seperti Manado, Ambon, dan Coupong telah mengalami proses pidginisasi. Orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu Pidgin. Batavia juga memiliki bahasa Cina dan Melayu. Varian yang terakhir ini bahkan digunakan sebagai bahasa pengantar di beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa. Tonggak penting bagi bahasa Melayu terjadi pada pertengahan abad ke-19, ketika Raja Ali Haji dari istana kerajaan Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menyusun kamus bahasa Melayu. Sejak saat bahasa Melayu mempunyai kedudukan yang setara dengan bahasa-bahasa lain di dunia, karena memiliki aturan dan dokumentasi kata yang jelas. Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan bahwa setidaknya ada dua jenis bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan dari mereka berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Dengan melihat perkembangannya, pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat digunakan untuk membantu pengelolaan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi yang dianggap lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan), sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Pengenalan bahasa Melayu pun dilakukan di sejumlah instansi pemerintah, seperti sekolah-sekolah dan lembaga pemerintahan. Sastrawan juga mulai menulis karyanya dalam bahasa Melayu. Sebagai akibatnya, terbentuklah dasar bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari asal-usulnya, yaitu bahasa Melayu Riau. Pada awal abad ke-20 Masehi perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen. Tahun 1904, wilayah Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah jajahan Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Tahun 1896 dimulai penyusunan ejaan Van Ophuysen yang diawali denagn penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) oleh van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Menyadari akan pentingnya kedudukan bahasa Melayu, campur tangan pemerintah semakin kuat. Pada tahun 1908 pemerintah kolonial membentuk Commissie voor de Volkslectuur atau “Komisi Bacaan Rakyat” (KBR). Lembaga ini merupakan awal dari Balai Poestaka. Komisi ini di bawah pimpinan D. A. Rinkes, pada tahun 1910 KBR melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi pemerintah. Perkembangan program ini bisa dikatakan sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Cara ini ditempuh oleh pemerintah kolonial Belanda karena melihat kelenturan bahasa Melayu Pasar yang dapat mengancam eksistensi jajahanannya. Pemerintah kolonial Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, diantaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Namun, bahasa Melayu Pasar sudah telanjur berkembang dan digunakan oleh banyak pedagang dalam berkomunikasi. Pada tahun 1917 pemerintah kolonial belanda mengubah KBR menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, bukubuku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas. Bahasa Melayu diangkat secara resmi sebagai bahasa Indonesia pada peristiwa Sumpah Pemuda, dan tercantum pada teks Sumpah Pemuda. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada peristiwa itu tidak hanya pengangkatan secara resmi bahasa Indonesia, melainkan juga pengukuhan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana tertuang dalam ikrar Sumpah Pemuda. Pada saat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, usul agar bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa nasional disampaikan oleh Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawaan, dan ahli sejarah. Isi Sumpah Pemuda tersebut adalah tekad dari para pemuda dari seluruh plosok Indonesia. Berikut merupakan tekad dari para pemuda Indonesia. Pertama Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia). Kedoea Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia). Ketiga Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia). Penulisan Sumpah Pemuda tersebut menggunakan ejaan lama, yaitu ejaan van Ophusijen. Pada bulir pertama dan kedua para pemuda memilih menggunakan kata “mengaku”, tetapi pada butir ketiga mereka memilih menggunakan kata “menjunjung”. Mereka lebih memilih menggunakan kata menjunjung karena kata ini memiliki makna bahwa warga negera Indonesia diharapkan untuk menghormati, memelihara, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia berkedudukan sama dengan bangsa dan tanah air Indoneisa. Pada ikrar ketiga, menunujukkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan dalam mempersatukan bangsa Indonesia. Tidak berarti bahwa, bahasa daerah dihapuskan. Bahasa daerah tetap harus dijaga dan dilestarikan sebagai kekayaan budaya bangsa. Dengan demikian, apabila ada warga daerah yang malu untuk menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi itu sangatlah keliru. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan diartikan sebagai bahasa yang digunakan di dalam kegiatan berkomunikasi yang melibatkan banyak tokoh atau masyarakat yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Itulah sebabnya bahasa Indonesia memiliki fungsi sebagai bahasa persatuan. Dalam keputusan Seminar Politik Bahasa Nasional 1999 dinyatakan bahwa sebagai bahasa nasional, bahasa berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, serta (4) alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi Negara, (2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, (3) bahasa resmi di dalam perhubungan serta pemerintah, dan (4) bahasa resmi dalamn pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Dengan demikian, perkembangan bahasa Indonesia telah mencapai puncak perjuangan politik bahasa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa nasional bahasa Indonesia dan bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3.2 Perkembangan Bahasa Indonesia Beberapa peristiwa penting yang mengiringi bahasa Indonesia menjadi tonggak sejarah bahasa Indonesia. Tahun 1801 disusun ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu. Ejaan van Ophuijsen memiliki enam ciri khusus, yaitu penggunaan huruf ї, huruf j, penggunanan oe, tanda diakritis, huruf tj, dan huruf ch (Erikha, 2015). Berikut keenam ciri khurus tersebut. a) Huruf ї untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran yang disuarakan tersendiri seperti diftong, misal mulaї dan ramaї, dan untuk menulis huruf y, misal Soerabaїa. b) Huruf j untuk menuliskan kata-kata, misalnyajang, saja, wajang. c) Huruf oe untuk menuliskan kata-kata, misalnya doeloe, akoe, repoeblik. d) Tanda diakritis, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, jum’at, ta’, dan pa’. e) Huruf tj dieja menjadic seperti Tjikini, tcara, pertjaya. f) Huruf ch yang dieja kh seperti achir, chusus, machloe’. Pada tahun 1908 pemerintah kolonial Belanda mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang kemudian dinamakan Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang selanjutnya pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas. Pada 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kayo pertama kali menggunakan bahasa Indonesia (bahasa Melayu) dalam pidatonya dalam sidang Volksraad (dewan rakyat). Pada 28 Oktober 1928 diselenggarakan Sumpah Pemuda yang salah satu hasilnya adalah pengakuan terhadap eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Pada tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun tata bahasa baru bahasa Indonesia. Pada tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Salah satu hasil dari kongres tersebut adalah kesimpulan tentang perlunya usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia yang dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. Pada 18 Agustus 1945 ditandatangani Undang-Undang Dasar 1945, yang dalam Pasal 36 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik (ejaan Soewandi) sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Upaya pemerintah dan para tokoh bahasa yang memiliki komitmen terhadap pelestarian bahasa Indonesia mengadakan kongres-kongres dalam rangka membahas perkembangan bahasa Indonesia, Pertemuan yang rutin dilaksanakan ini diberi nama Kongres Bahasa Indonesia. Keberlangsungan kongres-kongres tersebut sangatlah penting bagi proses perkembangan bahasa Indonesia. Oleh karena dengan adanya Kongres Bahasa Indonesia, muatan dari bahasa Indonesia menjadi lebih komprehensif dan di sesuaikan dengan perkembangan zaman. Berikut ini Kongres Bahasa Indonesia yang sudah dilaksanakan: 1. Kongres Bahasa Indonesia I (Pertama), Kongres bahasa Indonesia I dilaksanakan pada tanggal 25-28 Juni tahun 1938 di kota Solo, Jawa Tengah. Kongres pertama ini menghasilkan beberapa kesepakatan dan kesepahaman yakni urgensi dari usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh para cendikiawan dan budayawan Indonesia pada waktu itu. Sampai pada akhirnya pada 18 Agustus 1945 disyahkannya Undang -Undang Dasar 1945, pada Pasal 36 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Diresmikannya penggunaan Ejaan Republik sebagai pengganti ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya, peresmian ini terjadi pada tanggal 19 Maret 1947. 2. Kongres Bahasa Indonesia II, Kongres Bahasa Indonesia II dilaksanakan pada 28 Oktober-1 November 1954 di Kota Medan, Sumatra Utara. Kongres Bahasa Indonesia II ini merupakan sebuah tindakan rasionalisasi dari keinginan yang kuat dan keras dari bangsa Indonesia untuk selalu menyempurnakan bahasa Indonesia yang dijadikan bahasa nasional. Pada 16 Agustus 1972, Presiden Soeharto meresmikan penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang diperkuat dengan adanya Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972. Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada 31 Agustus 1972, menetapkan Pedoman Umum Bahasa Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara). 3. Kongres Bahasa Indonesia III, Kongres Bahasa Indonesia III dilaksanakan pada 28 Oktober-2 November 1978 di ibu kota Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka peringatan hari Sumpah Pemuda yang kelima puluh ini, selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga memutuskan untuk terus berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. 4. Kongres Bahasa Indonesia IV, Kongres bahasa Indonesia IV diselenggarakan pada tanggal 21-26 November 1983 di Jakarta. Pada pelaksanaan Kongres Bahasa Indonesia IV bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda yang ke-55 yang menghasilkan kesepakatan bahwa 5. 6. 7. 8. 9. pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang mewajibkan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar tercapai semaksimal mungkin. Kongres Bahasa Indonesia V, Kongres Bahasa Indonesia V dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober-3 November 1988 di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh nusantara dan peserta tamu dari negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres ini ditandai dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pecinta bahasa di nusantara, yakni berupa (1) Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan (2) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia VI, Kongres Bahasa Indonesia VI dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober-2 November 1993 di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara, antara lain dari Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Hasil dari Kongres Bahasa Indonesia VI diantaranya yaitu pengusulan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, di samping mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia VII, Kongres Bahasa Indonesia VII dilaksanakan pada tanggal 26-30 Oktober 1998 di Jakarta. Hasil dari Kongres Bahasa Indonesia VII yaitu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa Indonesia dengan ketentuan yaitu: keanggotaannya terdiri atas tokoh masyarakat dan pakar yang mempunyai kepedulian terhadap bahasa dan sastra yang tugasnya ialah memberikan nasihat kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa serta mengupayakan peningkatan status kelembagaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kongres Bahasa Indonesia VIII, Kongres Bahasa Indonesia VIII diselenggarakan pada tanggal 14-17 Oktober 2003 di Jakarta. Pada Kongres Bahasa Indonesia VIII menghasilkan kesepakatan pengusulan bulan Oktober dijadikan bulan bahasa. Agenda pada bulan bahasa adalah berlangsungnya seminar bahasa Indonesia di berbagai lembaga yang memperhatikan bahasa Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia IX Kongres Bahasa Indonesia IX dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober-1 November 2008 di Jakarta. Kongres Bahasa Indonesia XI membahas lima hal utama, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, penggunaan bahasa asing, pengajaran bahasa dan sastra, serta bahasa media massa. Kongres bahasa ini berskala internasional yang menghadirkan pembicara-pembicara dari dalam dan luar negeri. 10. Kongres Bahasa Indonesia X, Kongres bahasa Indonesia X dilaksanakan pada tanggal 28-31 Oktober 2013 di Jakarta. Hasil dari Kongres Bahasa Indonesia X yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), merekomendasikan hal-hal yang perlu dilakukan pemerintah. IV. PENUTUP 4.1 Simpulan Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak varietas bahasa Melayu. Bahasa Melayu dahulu menjadi lingua franca yaitu sebagai bahasa perhubungan dalam perdagangan lokal maupun internasional. Bahasa Indonesia sendiri diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu sehari sesudah dilaksanakannya Proklamasi Kemerdekaan. Bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia karena bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa pergaulan ( lingua franca) di Nusantara. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa Melayu tidak dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus). Suku Jawa, Suku Sunda dan suku-suku lainnya dengan sukarela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas. Bahasa Melayu juga sudah dikenal luas oleh masyarakat nusantara. Ada beberapa peristiwa penting dalam mengiringi bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional, antara lain lahirnya ejaan resmi bahasa Melayu yang disusun oleh Ch. A. van Ophusijen, berdirinya Commissie woor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), terselenggaranya Kongres Pemuda tahun 1928 yang antara lain menghasilkan Sumpah Pemuda, dan lain-lain. Untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia, telah diadakan 10 kali kongres bahasa Indonesia yang bertujuan untuk memelihara dan menjaga eksistensi bahasa Indonesia di dalam perkembangan globalisasi dan modernisasi. Kongres Bahasa Indonesia I dilaksanakan di Kota Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 25-28 Juni tahun 1938, Kongres Bahasa Indonesia II dilaksanakan di Kota Medan, Sumatra Utara, pada 28 Oktober-1 November 1954, Kongres Bahasa Indonesia III dilaksanakan di ibu kota Jakarta, pada 28 Oktober-2 November 1978, Kongres Bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta, dari 21-26 November 1983, Kongres Bahasa Indonesia yang V dilaksanakan di Jakarta, pada 28 Oktober-3 November 1988, Kongres Bahasa Indonesia yang VI dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober-2 November 1993, Kongres Bahasa Indonesia VII dilaksanakan di Hotel Indonesia, Jakarta, yakni pada 26-30 Oktober 1998, Kongres Bahasa Indonesia VIII diselenggarakan di Jakarta, yakni pada 1417 Oktober 2003, Kongres Bahasa Indonesia IX dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober -1 November 2008, Kongres Bahasa Indonesia yang X dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28- 31 Oktober 2013. 4.2 Saran Sebagai generasi penerus bangsa, sudah sepatutnya kita untuk menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Selain itu, dengan menjaga bahasa Indonesia, kita sudah menghargai jasa para pahlawan yang sudah memperjuankan bahasa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Karyanti, T. (2010). Sumpah Pemuda dan Nasionalisme Indonesia. Majalah Ilmiah Informatika, 1(3). Kuntarto, E. (2017). Modul Matakuliah Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Mijianti, Y. (2018). Penyempurnaan Ejaan Bahasa Indonesia. Belajar Bahasa: Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 3(1). Nugraheni, A. S., & Syuhda, N. (2019). Pola Komunikasi Bahasa Melayu di Lingkungan Akademik (pada Mahasiswa di UIN Sunan Syarif Kasim Riau). Lingua, 15(2), 135-145. Pramuki, B. E. (2014). Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia. Sari, Inda Puspita. "Pentingnya pemahaman kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia sebagai pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)." (2015): 234-242. Widodo, S. K. (2017). Memaknai Reformasi. Humanika, 16(9). Sumpah Pemuda di Era