1. ISTILAH YURIDIS Pengertian yuridis adalah segala hal yang memiliki arti hukum dan sudah disahkan oleh pemerintah. 2. ASAS LEGALITAS – RETRO AKTIF Pemberlakuan Asas Legalitas bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia, karena Hak Asasi Manusia adalah hak yang paling hakiki, yang tidak boleh dikurangi sedikitpun. Salah satu ketentuan dari asas Legalitas adalah melarang berlakunya undang-undang secara surut (retroaktif). Namun dalam kenyataannya masyarakat selalu mengalami perkembangan, dan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat tersebut. Dalam konteks yang demikian hukum seharusnya tidak selalu tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Maka salah satu pergeseran paradigma yang telah dicapai yaitu dengan memberlakukan asas retroaktif (berlaku surut) yang secara nyata menyimpangi asas legalitas dengan tujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia, serta tercapainya suatu rasa keadilan. Pemberlakuan asas retroaktif di Indonesia sifatnya terbatas, diterapkan pada kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya. Indonesia menganut asas Legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Asas inilah menjadi acuan bagi penerapan peraturan sekaligus perlindungan terhadap Hak Asasi manusia di Indonesia. asas retroaktif merupakan konsekuensi atas pemberlakuan asas legalitas, kemudian asas legalitas itu hanya dapat diberlakukan pada perbuatan yang sifatnya melanggar bukan pada kejahatan. Mengapa? dari pengertian diatas mengenai pelanggaran yaitu bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikatakan salah apabila belum ada Undang-undang yang mengaturnya artinya bahwa perbuatan itu harus melanggar undangundang yang ada dulu, jadi perbuatan itu baru dapat dikenai pidana atau hukuman apabila pelaku melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang, beda halnya dengan Kejahatan, karena meskipun diatur atau tidak memang pada dasarnya perbuatan tersebut telah jahat jadi kedudukan Undang-undang tidak perlu dipermasalahkan ada atau tidaknya. Apabila perbuatan itu jahat harus ditindak, dihukum, baik melalui Undang-undang atau aturan yang berlaku di masyarakat atau hukum yang seharusnya dilakukan oleh penegak hukum. Dengan demikian asas Legalitas yang baik itu adalah Legalitas Materiel yaitu mengakui adanya aturan yang ada dalam masyarakat atau Hukum yang tertulis dan tidak tertulis bukan sebagai corong Undang-undang. Kesimpulannya Hukum di Indonesia belum ada singkronisasi substansial pada pembuatan peratuan perundang-undang yang berlaku dan penggunaan teori dan doktrin dalam penerapan dalam undang-undang yang belum tepat. Sistem Induk Hukum Pidana Indonesia (KUHP) perlu diperbaiki seutuhnya (dalam artian berhubungan dengan Buku I, sebagai landasan utama), dalam hal ini khususnya asas legalitas dan retroaktif serta penjelasan secara tegas antara kejahatan dan pelanggaran. Ada baiknya legalitas yang dianut KUHP yaitu Legalitas Materiel, sama halnya dengan yang dianut dalam Konsep KUHP 2012, namun dalam hal kejahatan dan pelanggaran ada baiknya tetap di bedakan agar terdapat kejelasan dalam pelaksanaan asas legalitas dan retroaktif yang digunakan. 3. POLA / MODEL PEMIDANAAN (PERINGANAN) Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu: a) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention); b) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; c) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; d) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; e) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 4. ALTERNATIVE TO IMPRISONMENT Dalam hukum pidana Indonesia, sebenarnya sudah terdapat 2 (dua) alternatif pemidanaan selain penjara dan sebelum masuk ranah pengadilan yang harus dioptimalkan fungsinya, yaitu: 1. Pasal 82 KUHP Pasal 82 KUHP menyatakan: “(1) Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya” Dari pasal tersebut sebenarnya suatu perkara sudah dapat selesai tanpa masuk ke pengadilan dengan membayar denda maksimum dari tindak pidana. Hanya saja sangat sedikit tindak pidana yang diancam dengan denda saja, padahal tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana yang ringan. Sebagai contoh dalam Pasal 281 UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas, seseorang yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) mengemudikan kendaraan bermotor diancam dengan kurungan selama 4 (empat) bulan dan denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Contoh lainnya, Pasal 315 KUHP mengatur mengenai penghinaan ringan diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu. Selain sedikitnya tindak pidana yang hanya diancam dengan denda, hal yang menjadi permasalahan lainnya adalah besaran denda yang terlalu kecil. Ini terjadi karena tidak pernahnya pengaturan mengenai denda atau besaran denda tersebut di revisi. Padahal Mahkamah Agung sudah mencoba untuk mendorong dilakukannya revisi tersebut melalui Perma No. 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Mungkin dalam hal ini kita bisa mencontoh Belanda sebagai negara yang mana KUHP kita berasal. Apabila kita melihat pengaturan dalam KUHP Belanda saat ini sudah terjadi perubahan dimana dalam Pasal 74 KUHP Belanda diatur untuk tindak pidana dibawah 6 (enam) tahun dapat diselesaikan di luar pengadilan dengan beberapa cara seperti membayar denda maksimum, penyitaan barang dari pelaku, ganti rugi hingga bekerja tanpa upah. Dalam Revisi KUHP mengenai hal ini juga sudah terdapat perubahan, dimana RKUHP membaginya dalam 2 (dua) jenis, yaitu: Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II. Apabila pelaku tindak pidana yang diancam dengan denda kategori II tersebut bersedia untuk membayar jumlah denda maksimum, maka Jaksa Penuntut Umum wajib untuk menyetujui. Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III. Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dapat menerima atau menolak keinginan dari pelaku tindak pidana untuk membayar denda maksimum. 2. Mediasi Penal Pengaturan mengenai Mediasi Penal ini tidak diatur dalam peraturan yang setara dengan undang-undang, namun sebenarnya ada beberapa peraturan di bawah undang-undang yang telah mengaturnya, khususnya yang terkait kewenangan diskresi. Diantaranya adalah Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Namun dalam praktik mengenai mediasi penal ini masih jarang dilakukan oleh pihak kepolisian. Dalam Surat Kapolri tersebut diatas ditentukan beberapa langkah penanganan kasus melalui ADR, yaitu: Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional. Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT/RW setempat. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma hukum sosial/adat serta memenuhi azas keadilan. Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) yang ada di wilayah masing-masing untuk mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi di sentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas. Selain peraturan tersebut, mediasi penal juga terlihat dari yurisprudensi Mahkamah Agung. Misalnya Putusan MA No. 1644 K/Pid/1988, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta UtaraTimur No. 46/Pid/78/UT/WAN dan Putusan MA No. 1600 K/Pid/2009. Dari penjelasan di atas, patut dipertanyakan kebijakan hukum pidana Indonesia yang seakanakan melihat hukum pidana dan pemidanaan sebagai suatu hal yang diutamakan yang mana dapat dilihat dari pengaturan dan berimbas pada jumlah penghuni Lapas. Padahal dalam Hukum Pidana dikenal asas Ultimum Remedium atau sebagai upaya terakhir apabila upaya lainnya telah gagal. Untuk itu perlu ditegakkan beberapa hal yaitu pengaturan mengenai Pasal 82 KUHP dan mediasi penal di Indonesia. Apabila terhadap kedua hal tersebut dapat di efektifkan kembali sebagaimana seharusnya, maka bukan tidak mungkin kerusuhan lapas akan berkurang, akan ada penghematan anggaran negara atau bahkan penambahan penghasilan negara yang berasal dari para pelaku pelanggaran.