BULETIN IKATAN (INFORMASI PENGKAJIAN DAN DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN) ISSN: 9772088-8929 VOLUME 7, NOMOR 1, TAHUN 2017 DAFTAR ISI Penanggung Jawab Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Dewan Redaksi Resmayeti Purba ST. Rukmini Mayunar Pepi Nur Susilawati Redaksi Pelaksana Asep Wahyu Septi Kusumawati Alamat Redaksi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jl. Ciptayasa KM. 01 Ciruas, Serang-Banten 42182 Telp. (0254) 281055, Fax. (0254) 282507 Email: [email protected] Keragaan Produktivitas Padi Gogo di Kabupaten Lebak Yusarman ............................................................ 1 Pemanfaatan Bakteri Endofit dalam Mengendalikan Penyakit hawar Daun Bakteri pada Padi Sri Kurniawati .................................................... 9 Keragaan Usaha Produktif Gapoktan Penerima Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) di Provinsi Banten Sri Lestari ........................................................... 18 Pemanfaatan Tanaman Refugia untuk Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman Padi Ulima Darmania Amanda .................................. 29 Respon Peserta Temu Lapang terhadap Teknologi Budidaya Sapi di Kabupaten Tangerang Rika Jayanti Malik ............................................. 46 Karakteristik dan Penilaian Pengunjung terhadap Pelayanan Stand BPTP Banten Dalam Acara Pameran Banten Expo Dewi Widiyastuti dan Septi Kusumawati ........... 55 Dampak Keberadaan Perpustakaan Digital terhadap Perkembangan Perpustakaan Khusus Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Sri Maryani ........................................................ 62 Buletin IKATAN (Informasi Pengkajian dan Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian) menerima naskah hasil pengkajian dan diseminasi inovasi teknologi dari phak lain yang memenuhi kriteria sebagaimana tercantum dalam pedoman bagi penulis di halaman sampul majalah ini. KERAGAAN PRODUKTIVITAS PADI GOGO DI KABUPATEN LEBAK Yusarman Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jln. Ciptayasa KM. 01, Ciruas, Serang, Banten 42182 Telp. (0254) 281055; Fax (0254) 282507 email : [email protected] ABSTRAK Kegiatan kajian produktivitas padi gogo dilaksanakan pada bulan Januari-April 2016 di lahan petani di Desa Cirinten, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak. Kajian menggunakan acak kelompok dengan 6 perlakuan dan diulang 5 kali. Sebagai perlakuan adalah 5 varietas padi gogo yaitu: Situbagendit, Towuti, Inpago 8, Inpago 5, dan Varietas Lokal sebagai pembanding. PENDAHULUAN Pemerintah telah melakukan upaya pemenuhan kebutuhan beras nasional melalui penerapan teknologi, perluasan areal tanam. Namun dalam pelaksanaan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) masih banyak tercurah pada lahan sawah irigasi, di lain pihak laju pertambahan produktivitas lahan sawah semakin menurun akibat setiap tahun terjadi konversi lahan. Dampak konversi lahan terus menerus mengakibatkan luas lahan sawah semakin berkurang, maka alternatif yang dapat dipilih adalah pemanfaatan dan pengembangan lahan kering secara optimal. Lahan kering di Kabupaten Lebak dapat dimanfaatkan untuk budidaya padi gogo. Pemanfaatan lahan kering oleh petani masih konvensional dengan penanaman padi gogo menggunakan varietas lokal. Tingkat produksi padi gogo di petani rata-rata 1-2 ton/ha. Sedangkan potensi produktivitas VUB padi gogo dapat mencapai 2-3 ton/ha (Anonimous, 2013). Beberapa varietas padi gogo yang sudah di lepas Badan Litbang adalah : Batu Tegi, Towoti, Situ Patenggang, Situ Bagendit, Inpago-4, Inpago-5, Inpago-6. Penyebaran dan adopsi penggunaan varietas unggul baru padi gogo oleh petani terhambat, karena benih unggul tidak tersedia secara tepat, yaitu tepat Varitas, mutu, jumlah, waktu dan harga (6 tepat). Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 1 Oleh karena itu, dalam upaya diseminasi VUB padi gogo dilakukan kajian adaptif varietas unggul baru di lahan petani. Kajian bertujuan untuk mengetahui keragaan produktivitas VUB padi gogo di lahan kering pada Kabupaten Lebak. METODOLOGI Kegiatan kajian dilaksanakan di lahan petani di Desa Cirinten, Kecamatan Cirinten, Kabupaten Lebak. Kajian menggunakan rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 6 perlakuan dan diulang 5 kali. Sebagai perlakuan adalah 5 varietas padi gogo yaitu: Situbagendit, Towuti, Inpago 8, Inpago 5, sebagai pembanding varietas lokal. Petakan pengkajian disesuaikan ukuran lahan petani seluas 1,5-2,0 ha. Penanaman padi gogo dilakukan pada Januari 2016 dengan sitem tugal. Benih yang digunakan merupakan benih bermutu yang terdiri atas : varietas Situbagendit (kelas FS/label putih), Towuti (kelas FS/label putih), Inpago-5 (kelas FS/label putih), Inpago-8 (kelas SS/label ungu) dan Batutegi (kelas SS/label ungu) dan lokal sebagai pembanding. Budidaya padi gogo terdiri dari : a). penyiapan dan pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang 500-1000 kg/ha, b). penanaman benih padi gogo dilakukan dengan cara dilarik pada permukaan lahan antara larikan dengan jarak tanam 20-30 cm, c). pemupukan dilakukan dua kali, pupuk pertama diberikan pada umur 20-25 hari dan pemupukan kedua dilakukan pada umur 35-40 hari; pupuk yang diberikan : 200 kg Urea/ha; 100 kg SP-36/ha dan 300 kg/NPK Phonska, d). Pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida kimia, e). pemeliharaan (pengendalian gulma pada umur 10-15 hari setelah tanaman tumbuh atau menjelang pemupukan pertama, penyiangan kedua dilakukan pada umur 30-45 hari atau menjelang pemupukan susulan, f). panen dan pasca panen (dilakukan pada umur 110-130 hari dengan sistem babat bawah, kemudian digebot). Parameter yang diamati adalah : perkembangan tinggi tanaman dan jumlah anakan pada umur 30, 45 dan 60 HST serta komponen hasil pada saat panen yang meliputi : jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah, dan persentase gabah isi. Data pengamatan pertumbuhan tanaman dan komponen hasil dicatat dalam bentuk Form Isian. Selanjutnya data ini ditabulasi dan dianalisa untuk bahan penyusunan laporan. Data dianalisis secara statistik dan deskriptif. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Padi Gogo Pada pertanaman padi gogo di Kabupaten Lebak terlihat pertumbuhan awal padi gogo kurang optimal hal ini dicirikan dengan persentase tumbuh hanya 70-75%, sedangkan persentase pertumbuhan padi gogo yang optimal harus lebih besar dari 90%. Persentase daya tumbuh Inpago-8 berkisar 71-75%; Inpago-5 berkisar 70-72%; Batutegi berkisar 71-73%; Towuti berkisar 70-71%. Walaupun benih yang digunakan dari BB Padi. Dampak dari daya tumbuh padi gogo kurang optimal ini sehingga mempengaruhi hasil padi gogo yang dapat dipanen. Hasil pengamatan perkembangan tanaman padi gogo menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada umur 30, 45 dan 60 HST, dimana varietas lokal lebih tinggi dibanding varitas lainnya, tetapi varietas Inpago-8 lebih tinggi dibanding varietas Towuti, Batutegi, Situbagendit dan Inpago-5 (Tabel 1). Tabel 1. Tinggi tanaman padi gogo pada berbagai umur. Inpago-5 30 HST 27,38 Tinggi tanaman 45 HST 48.80 60 HST 70,45 Inpago-8 29,66 52,35 75,56 Situbagendit 26,45 48,80 61,60 Towuti 26,56 48,50 62,89 Batutegi 26,72 46,40 61,67 Varietas lokal 30,30 54,25 78,41 Varietas Hasil pengkajian padi gogo menunjukkan bahwa jumlah anakan pada umur 30, 45 dan 60 HST, terlihat varietas Inpago-8 memiliki jumlah anakan lebih tinggi dibanding varietas Towuti, Batutegi, Situbagendit, Inpago-5 dan varietas lokal (Tabel 2). Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 3 Tabel 2. Jumlah anakan padi gogo di Kabupaten Lebak Varietas 30 HST 27,38 29,66 26,45 26,56 26,72 22,32 Inpago-5 Inpago-8 Situbagendit Towuti Batutegi Varietas Lokal Jumlah anakan 45 HST 48.80 52,35 48,80 48,50 46,40 38,42 60 HST 70,45 75,56 61,60 62,89 61,67 50,42 Komponen Hasil Padi Gogo Komponen hasil padi gogo di Kabupaten Lebak dilihat pada Tabel 3. Jumlah anakan produktif per rumpun padi gogo terbanyak ditemukan pada varietas Inpago-8, yaitu 9,7 rumpum dan jumlah anakan produktif terendah pada varietas Batutegi, yaitu 5,2 rumpun. Jumlah malai per rumpun padi gogo di Kabupaten Lebak tertinggi adalah varietas Inpago-8 yaitu 10,4 malai dan terendah adalah varietas Batutegi,sebesar 6,1 malai. Selanjutnya panjang malai padi gogo tertinggi di Kabupaten Lebak ditampilkan varietas Inpago-8 mencapai 22,4 cm dan terpendek varietas lokal yaitu 18,3 cm. Berdasarkan data komponen hasil menunjukkan bahwa varietas Inpago-8 diduga adaptif dikembangkan karena menampilkan jumlah anakan produktif, panjang malai dan jumlah malai per rumpun lebih tinggi dibanding varietas Towuti, Batutegi, Situbagendit, Inpago-5 dan varietas lokal. Tabel 3. Jumlah anakan produktif, panjang malai dan jumlah malai per rumpun padi gogo di Kabupaten Lebak Jumlah anakan produktif/rumpun 5,2 5,8 6,0 7,3 9,7 5,8 Varietas Batutegi Towuti SituBagendit Inpago- 5 Inpago-8 Varietas lokal Panjang malai (cm) 18,9 19,3 19,4 21,2 22,4 18,3 Jumlah malai/ rumpun 6,1 6,4 6,3 7,2 10,4 6,7 Komponen hasil padi gogo yang meliputi jumlah gabah bernas dan jumlah gabah hampa per rumpun serta produktivitas padi gogo pada lokasi Kabupaten Lebak dapat dilihat pada Tabel 4. Pada lokasi di terbanyak yaitu : Lebak varietas Inpago-8 menampilkan jumlah gabah bernas/malai 115,50 butir/malai dan jumlah gabah bernas/ malai terendah 94,55 butir/malai pada varietas Towuti. Selanjutnya jumlah gabah hampa terbanyak ditemukan Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 4 pada varietas Lokal. Komponen hasil jumlah gabah bernas yang ditampilkan varietas Inpago-8 di Kab. Lebak lebih sedikit dibanding hasil penelitian ditempat lain. Pirngadi et al., (2007), melaporkan bahwa padi gogo yang ditanam sesuai musimnya yaitu pada bulan Oktober mampu memberikan hasil jumlah gabah bernas per rumpun rata-rata 154 butir/ malai sedangkan padi gogo yang ditanam di luar musim hanya memperoleh jumlah gabah bernas berkisar 60-120 butir/ malai. Diduga jumlah bernas padi gogo kurang optimal di Kabupaten n Lebak terjadi karena budidaya padi gogo dilakukan tidak pada waktu musim tanam padi gogo. Dampak jumlah gabah bernas yang kurang optimal ini menyebabkan produktivitas padi gogo hanya 0,69-1,98 t/ha atau dibawah potensinya yaitu lebih dari 2,5 t/ha. Tabel 4. Jumlah gabah bernas/malai, jumlah gabah hampa/malai, produksi (t/ha) padi gogo di Kabupaten Lebak Varietas Batutegi Towuti SituBagendit Inpago- 5 Inpago-8 Varietas lokal Jumlah gabah bernas/malai (butir) 95,20 94,45 97,11 102,40 115,50 99,56 Jumlah gabah hampa/malai (butir) 22,55 23,08 22,66 22,33 17,49 23,21 Produksi (t/ha) 0,87a 0,74a 0,93a 1.10b 1,98c 0,78a Produktivitas padi gogo tertinggi di Kabupaten Lebak diperoleh varietas Inpago-8 yaitu 1,98 t/ha dan terendah pada varietas Towuti yaitu 0,74 t/ha. Kondisi ini menggambarkan bahwa varietas Situbagendit cocok dikembangkan di Pandeglang dan di Lebak varietas Inpago-8. Produktivitas padi gogo varitas Inpago-8 dan Situbagendit berkisar 1,59-1,98 t/ha lebih rendah dari produktivitas padi gogo di lokasi lain. Hasil pengkajian varietas Situbagendit, Batutegi dan Towuti di Kabupaten Garut diperoleh produktivitas berturut-turut 2,3; 2,1 dan 2,0 t/ha (Nurbaeti et al., 2006). Hasil pengkajian di Lampung diperoleh produktivitas Situbagendit sebesar 2,01 t/ha (Barus, 2006). Selanjutnya hasil penelitian di Kuningan-Jawa Barat diperoleh produktivitas padi gogo Situbagendit sebesar 2,18 t/ha,dan Batutegi 2,12 t/ha (Pirgandi et al., 2007). Dari penelitian Toha dan Darajat (2006) menunjukkan bahwa varietas Batutegi dan Situbagendit mempunyai potensi hasil > 2 t/ha. Pada pengkajian di Kab.Lebak, padi gogo ditanam diluar musim yaitu bulan Januari/Februari diperoleh produktivitas 1,5-1,99 t/ha. Hasil pengkajian di wilayah Jawa Barat menggunakan varietas Situbagendit dan ditanam sesuai jadwal musim produktifitas Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 5 mencapai 2,1 t/ha, Batu Tegi 2,2 t/ha dan Towuti 2,8 t/ha, sedangkan padi lokal hanya mampu 1,0 t/ha (Sujitno et al., 2011). Rendahnya hasil yang diperoleh pada pengkajian di Kab. Lebak hal ini diduga karena padi gogo dapat ditanam diluar musim, dengan curah hujan yang cukup tinggi sehingga suhu menjadi rendah. Rendahnya suhu menjadi problem pada padi gogo karena suhu optimal berkisar 24-26oC (Toha, 2007a). Pada dasarnya keberhasilan dalam budidaya padi gogo sangat dipengaruhi oleh faktor iklim terutama curah hujan. Padi gogo memerlukan air sepanjang pertumbuhannya dan kebutuhan air tersebut. Penanaman padi gogo dengan curah hujan tinggi produksinya akan menurun karena penyerbukan kurang intensif karena memerlukan penyinaran matahari penuh. Kondisi ini menyebabkan produktivitas padi gogo kurang optimal. Namun berdsarkan komponen hasil (panjang malai, jumlah anakan produktif), padi gogo Inpago-8 adaptif berkembang di Kab. Lebak. Selain faktor iklim, produksi padi gogo juga dipengaruhi oleh tingkat serangan hama. Hama tanaman padi gogo yang menyerang di lokasi pengkajian adalah lalat buah (larvanya menyerang anakan muda, anakan yang sedang tumbuh); dan walang sangit yang menyerang buah padi yang masak susu dengan cara mengisap cairan didalamnya dan menyebabkan buah hampa atau berkualitas rendah seperti berkerut, berwarna coklat, pada daun terdapat bercak bekas isapan dan buah padi berbintik-bintik hitam. Selain diserang hama walang sangit, padi gogo juga diserang penyakit blas yang disebabkan oleh jamur. Menurut Toha (2007) penyakit blas merupakan masalah utama padi gogo karena mampu merusak tanaman padi pada fase pertumbuhan dan fase generatif sehingga dapat menurunkan hasil 9,6-39,0%. Akibat serangan penyakit ini, hasil panen padi gogo varitas Inpago-5, Inpago-8, Situbagendit, Batutegi dan Towuti di Kabupaten Lebak lebih rendah 35% dibandingkan potensi hasilnya. Tingkat serangan hama dan penyakit padi gogo juga disebabkan disekitar tanaman padi gogo baru dilakukan panen padi sawah sehingga hama pada tanaman padi sawah berpindah dan menyerang tanaman padi gogo yang berada pada fase generatif (pengisian bulir padi). Pengendalian telah dilakukan menggunakan pestisida Dharmabas Kilptop namun kurang efektif dan serangan walang tidak terkendali. Sedangkan penyakit blas dikendalikan dengan penyemprotan fungsida berbahan aktif fenobukanazol namun serangannya tidak dapat dikendalikan. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 6 KESIMPULAN Padi gogo yang adaptif di Desa Cirinten, Kecamatan Cirinten Kabupaten Lebak adalah varietas Inpago- 8 dengan produktivitas 1,98 t/ha. Penanaman padi gogo sebaiknya dilakukan pada musim tanam, yaitu bulan Oktober. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2013 Balai Penkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya terpadu (PTT) padi Gogo. Leaflet. Barus, J. 2009. Peningkatan hasil varietas unggul padi gogo dengan teknologi PTT. Prosiding Seminar Nasional Padi 2009 : 925-732. Kuntyastuti, H., dan Sunaryo, L. 2002. Efesiensi Pemupukan dan Pengairan pada Kedelai di Tanah Vertisol Kahat K. Prosiding Seminar Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Hayati pada Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. PPTP. Malang.485p. Pirngadi, K., H.M. Toha dan B. Nuryanto, 2007. Pengaruh Pemupukan N terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo dataran sedang. Prosiding: Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007 :325-338. Ruswandi, A.,B. Susanto, Yayat. 2009. Potensi peningkatan produksi padi mellalui pengembangan padi gogo di Jawa Barat selatan: Studi Kasus di Lokasi primatani Kabupaten Garut. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 12 (2):99107 Sujitno, E, T.Fahmi dan S.Teddy.2011. Kajian adaptasi beberapa varietas unggul padi gogo pada lahan kering dataran rendah di Kabupaten Garut. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 14 (1):62-69 Sujitno E. T. Fahmi dan S. Teddy. 2011. Kajian Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Padi Gogo pada lahan kering dataran rendah di Kabupaten Garut. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.14 (1):62-69. Toha, H.M. 2007. Peningkatan produktivitas padi gogo melalui penerapan pengelolaan tanaman terpadu dengan introduksi varietas unggul. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26 (3):180-187. Toha, H.M. 2007a. Pengembangan padi gogo menunjang program P2BN. Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007, 295-323. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 7 Wahyuni, S., Toha dan U.S. Nugraha. 2007. Hasil dan Mutu Benih Padi Gogo pada Lingkungan Tumbuh Berbeda. Jurnal Penelitian Pertanian Pangan 25 (1):30-37. Wahyuni, S., Toha dan U.S. Nugraha. 2007. Hasil dan Mutu Benih Padi Gogo pada Lingkungan Tumbuh Berbeda. Jurnal Penelitian Pertanian Pangan 25 (1):30-37. Wahyuni, S., 2010. Hasil Padi Gogo dari Sumber Benih yang Berbeda. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27 (3):135-147. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 8 PEMANFAATAN BAKTERI ENDOFIT DALAM MENGENDALIKAN PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI PADA PADI Sri Kurniawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jln. Ciptayasa KM. 01, Ciruas, Serang, Banten 42182 Telp. (0254) 281055; Fax (0254) 282507 email : [email protected], [email protected] Abstrak Penyakit hawar daun bakteri (HDB) disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv oryzae (Xoo) merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 10-95%. Salah satu komponen pengendalian penyakit ini adalah penggunaan agens hayati diantaranya adalah kelompok bakteri endofit. Bakteri Endofit yang telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi sebagai agens hayati diantaranya adalah Pantoea, Enterobacter, Methylobacterium, Agrobacterium, Bacillus dan Streptomyces. Keefektifan bakteri endofit dalam menekan HDB dapat mencapai hingga 70%. Adapun mekanisme bakteri endofit dalam mengendalikan penyakit melalui kompetisi, antibiosis, memacu pertumbuhan tanaman dan menginduksi ketahanan tanaman. Peluang pemanfaatan bakteri endofit dapat berupa kultur bakteri maupun hasil metabolitnya. Kata Kunci: agens hayati, kresek, metabolit, Xoo Pendahuluan Penyakit hawar daun bakteri (HDB) disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv oryzae (Xoo). Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Jepang tahun 1884, kemudian menyebar secara luas di Asia seperi di Srilangka, Filipina, dan Pakistan (Yamasaki et al. 2006), termasuk di Indonesia Goto (1998). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit penting di Indonesia yang dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 10-95% (Triny et al., 2009). Pada tahun 2011 luas serangan HDB di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 26.2% dari rerata luas serangan tahun 2006-2010 (Ditlin Perlintan, 2013). HDB merupakan penyakit vaskular yang menginfeksi tanaman secara sistemik. Terdapat 2 jenis gejala yang ditunjukkan oleh penyakit ini yaitu kresek dan hawar daun. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 9 Kresek merupakan gejala yang lebih destruktif dibandingkan dengan hawar daun. Pada awalnya, daun menjadi kuning pucat dan layu, kemudian mengering dan mati. Gejala ini muncul pada fase pembibitan dan pembentukan anakan. Adapun gejala hawar daun dapat terjadi pada semua fase pertumbuhan tanaman terutama fase anakan maksimum sampai pemasakan. Hawar dimulai dari tepian helaian daun dan terus memanjang sampai ke pelepah. Hawar berwarna keabuan seperti terkena air panas (lodoh/water-soaked) dan berubah menjadi keputih-putihan (Nino-Liu et al. 2006), selanjutnya daun menjadi kering seperti jerami. Infeksi dimulai dengan masuknya bakteri Xoo melalui hidatoda pada ujung dan tepi daun. Selanjutnya bakteri tersebut memperbanyak diri di dalam jaringan epidermis kemudian masuk ke pembuluh pengangkut, lalu menyebar ke jaringan lainnya. Selain melalui hidatoda, bakteri dapat masuk melalui luka pada akar saat bibit dicabut dari persemaian atau pada daun yang digunting saat pindah tanam (Suparyono et al. 2004). Penyebaran penyakit terjadi melalui kontak fisik antara daun yang terinfeksi dengan daun yang sehat dan melalui aliran irigasi dari satu lahan ke lahan lainnya. Lingkungan yang lembab dan jarak tanam yang terlalu rapat dapat meningkatkan penyebaran penyakit (Khaeruni 2001). Selain itu, penyebaran bakteri dapat terjadi melalui benih. Xoo dapat terbawa benih dan bertahan dalam waktu yang cukup lama di dalam endosperma benih selama 2-6 bulan (Agarwal dan Sinclair 1987). Bakteri dapat bertahan di tanah selama 1-3 bulan (Ou 1985), gulma (Cyperus rotundus, Leersia oryzoides, Zizania latifolia), padi liar (Oryza sativa f. spontanea, O. perennis), air irigasi dan air sawah (Nino-Liu et al. 2006). Upaya pengendalian terhadap penyakit HDB ini perlu dilakukan untuk meminimalisir kerugian. Adapun komponen pengendalian tersebut meliputi penggunaan varietas tahan, perlakuan benih, pengaturan jarak tanam, penggunaan pupuk berimbang, pergiliran varietas, sanitasi, eradikasi, penggunaan bakterisida dan aplikasi agens hayati. Sejauh ini pengendalian yang dirasakan efektif, mudah dan murah untuk dilakukan adalah penggunaan varietas tahan. Varietas unggul baru (VUB) tahan HDB diantaranya adalah Conde, Angke, Inpari 1, Inpari 6 JETE, Inpari 17, Inpari 25, Inpari 31, Inpari 32 dan Inpari 33. Akan tetapi, ketersediaan benih tersebut terbatas di pasaran dan ini menjadi kendala tersendiri bagi upaya pengendalian menggunakan varietas tahan. Perlakuan pada benih padi dapat dilakukan untuk mengurangi intensitas serangan awal di lapangan. Hal ini perlu dilakukan terutama pada benih yang berasal dari daerah endemis HDB karena Xoo merupakan patogen terbawa benih. Perlakuan benih yang telah dilaporkan Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 10 adalah dengan cara coating benih dan pencelupan bibit ke dalam antibiotik sebelum pindah tanam (Durgapal, 1983). Pemupukan berimbang menjadi salah satu faktor penting dalam pengendalian. Hal ini dikarenakan dapat mempengaruhi perkembangan penyakit HDB. Penggunaan pupuk N berlebihan mengakibatkan tanaman lebih rentan terhadap Xoo karena jaringan tanaman menjadi lebih lunak. Selain itu, pemupukan N yang berlebihan memicu tanaman memproduksi asam aspartat dan asam fusarat yang lebih banyak dan kedua senyawa ini merupakan nutrisi yang baik bagi perkembangan Xoo. Selanjutnya, pergiliran varietas, sanitasi lahan terhadap gulma yang menjadi inang alternatif dari Xoo dan eradikasi terhadap tanaman sakit akan memutus siklus hidup Xoo serta mengurangi sumber inokulum di lapangan. Pengendalian lainnya yang biasa dilakukan adalah dengan bakterisida seperti nickel dimethyl dithiocarbamate, dithianone, dan phenazine (Gnanamanickam et al., 1994). Bakterisida terutama yang memiliki kandungan tembaga dan antibiotika seperti streptomycin memiliki keefektifan yang tinggi dalam mengendalikan Xoo. Namun demikian pengendalian dengan penggunaan bakterisida sintetik ini memiliki banyak kelemahan diantaranya adalah memicu terjadinya resistensi patogen, matinya organisme bukan sasaran, pencemaran lingkungan dan adanya residu pada produk yang dikonsumsi. Alternatif pengendalian lain yang saat ini banyak dikembangkan adalah penggunaan agens hayati. Hal ini menjadi trend pengendalian yang ramah lingkungan untuk menghasilkan produk yang lebih sehat dikonsumsi karena dapat mengurangi penggunaan pestisida sintetis. Penggunaan agens hayati ini memiliki prospek yang baik karena efektif, kompatibel atau sinergi dengan teknik pengendalian lainnya. Salah satu dari agens hayati tersebut adalah dari kelompok bakteri endofit. Potensi Agens Hayati Bakteri Endofit dalam Mengendalikan Penyakit HDB Pemanfaatan agens hayati dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman telah menjadi salah satu pilihan komponen pengendalian yang dapat disinergikan dengan komponen pengendalian lainnya. Hal ini seiring dengan meningkatnya isue eco labeling dan kesadaran masyarakat terhadap produk pertanian yang sehat. Kecenderungan konsumen saat ini menuntut kualitas komoditas yang memenuhi standar kesehatan dengan mensyaratkan semua produk konsumsi memenuhi persyaratan Batas Maximum Residu (BMR) pestisida. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 11 Pengertian dan landasan hukum penggunaan agens hayati Penggunaan ages hayati dalam pengendalian penyakit selaras dengan UU No. 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman dan PP No.6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Pemanfaatan mikroorganisme antagonis dan musuh alami dalam konsep budidaya tanaman sehat merupakan bentuk aplikasi prinsip PHT tidak menimbulkan kerugian ekonomi dan ekologi. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 411 tahun 1995, pengertian agens hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian dan berbagai keperluan lainnya (Supriadi, 2006). Pengendalian hayati memiliki beberapa keunggulan yaitu: 1) selektivitas tinggi dan tidak menimbulkan hama/patogen baru, 2) organisme yang digunakan telah tersedia di alam, 3) Organisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan inangnya, 4) dapat memerbanyak diri dan menyebar, 5) hama/patogen tidak menjadi resisten atau kalau terjadi sangat lambat, dan 6) pengendalian berjalan dengan sendirinya (Van Emden dalam Laba dan Arifin K., 1998). Teknik pengendalian dengan menggunakan ages hayati/musuh alami dapat dilakukan dengan cara : 1. Introduksi yaitu usaha mendatangkan/mengimpor musuh-musuh alami dari luar negeri/daerah lain untuk dilepaspan di daerah baru. Introduksi dapat ditempuh apabila hama/patogen yang menyerang suatu tanaman pada umumnya menimbulkan eksplosi dan diketahui hama/patogen tersebut bukan hama/patogen asli daerah tersebut. 2. Augmentasi yaitu usaha mempertinggi daya guna musuh alami yang telah ada, misalnya dengan melakukan pembiakan masal dan menyebarkannya kembali ke alam pada daerah-daerah yang populasinya masih rendah. Augmentasi dapat dilakukan dengan cara inokulasi dan inundasi. Inokulasi yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah relatif sedikit misalkan satu kali dalam satu musim atau tahun dengan tujuan agar musuh alami tersebut dapat mengadakan kolonisasi dan menyebar luas secara alami. Sedangkan Inundasi yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah besar pada waktu tertentu untuk membantu musuh alami yang kurang efektif. 3. Konservasi atau pelestarian musuh alami yaitu upaya mencegah berkurangnya populasi dan potensi musuh alami yang telah ada dengan cara memelihara kondisi ekologis yang masih baik dengan tidak menggunakan pestisida atau pengendalian lain yang dapat Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 12 mengganggu efektivitas musuh alami tersebut. (Untung, 1996; Laba dan Arifin, 1998; BPTPH Jatim, 2000). Bakteri endofit sebagai agens hayati Di alam keberadaan patogen dan agens hayati (musuh alami) selalu berdampingan meskipun demikian salah satu dari populasi ada yang mendominasi dan ada yang terkalahkan. Fenomena yang terjadi pada tanaman sehat di antara tanaman sakit menunjukkan adanya sesuatu yang membuat tanaman bertahan terhadap serangan patogen diantaranya adalah adanya peran dari mikrob seperti bakteri endofit. Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup dalam jaringan tanaman tanpa menimbulkan gejala penyakit dan dapat diisolasi dari jaringan tanaman yang sudah disterilisasi permukaannya (Hallman et al., 1997). Sebagian besar mikroorganisme endofit hidup bersimbiosis mutualisme dengan tumbuhan inangnya, namun interaksi keduanya berbasis molekuler belum dapat dipahami (Hurek et al., 2011). Beberapa kelompok bakteri endofit yang secara umum ditemukan pada berbagai tumbuhan yang dibudidayakan adalah Pantoea, Enterobacter, Methylobacterium, Agrobacterium, dan Bacillus (Susilowati et al., 2010). Kontribusi bakteri endofit pada pertumbuhan tanaman inang adalah dengan memproduksi zat pengatur terhadap patogen dan parasit, tumbuh tanaman, meningkatkan resistensi tanaman inang membantu fiksasi nitrogen, dan menghasilkan antibiotik (Bhore et al., 2010). Selanjutnya menurut Hurek et al. (2011), endofitik selain dapat menginduksi ketahanan tanaman, menghasilkan sekresi zat yang bersifat antagonis terhadap patogen juga dapat berkompetisi untuk memperoleh situs kolonisasi dan pengambilan nutrisi. Penelitian-penelitian tentang pengembangan bakteri endofit sebagai agens biokontrol terhadap penyakit HDB pada padi telah banyak dilaporkan. Pada umumnya, bakteri endofit yang berhasil diisolasi dan berpotensi untuk mengendalikan HDB berasal dari kelompok bakteri Aktinomiset yaitu dari genus Streptomyces. Sebagaimana pada penelitian yang dilakukan oleh Giyanto dan Rustam (2012) menunjukkan terdapat bakteri endofit pada tanaman padi yaitu Streptomyces sp. Efektif mengendalikan penyakit HDB hingga 70%. Selanjutnya Hastuti (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa aplikasi bakteri endofit Actinomycet PS4-6 di lapangan pada musim kemarau dapat meningkatkan produksi padi sebesar 17% dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan inokulasi Actinomycet AB131-1 pada padi varietas IR64 memberikan hasil produksi lebih tinggi sebesar 21.8% dan dapat menekan perkembangan penyakit HDB lebih Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 13 baik dibandingkan dengan isolat PS4-16. Hasil sekuensing 16S rDNA menunjukkan semua isolat tersebut termasuk dalam genus Streptomyces. Peluang Pengembangan Bakteri Endofit sebagai Agens Hayati Penggunaan agens hayati dalam pengendalian penyakit memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah :a) bersifat permanen, dimana agens hayati mapan dalam ekosistem sehingga populasi patogen dijaga dalam keadaan seimbang; b) bersifat aman, dalam hal ini tidak memiliki efek samping yang merugikan terhadap lingkungan; dan c) bersifat ekonomis karena hanya menjaga eksistensi agens terjaga dalam ekosistem (Untung, 1996). Demikian halnya, endofit sebagai agens hayati secara spesifik berada dalam jaringan tanaman sehingga tidak terpapar oleh deraan fisik maupun faktor biotis lainnya. Oleh karenanya, keberadaan bakteri endofit ini akan terus berlanjut sepanjang tanaman inangnya hidup. Berdasarkan hal tersebut, endofit memiliki peluang besar untuk dikembangkan dimasa mendatang dalam teknologi pengendalian penyakit yang ramah lingkungan. Bakteri endofit memiliki prospek yang baik sebagai sumber metabolit sekunder baru seperti enzim-enzim perombak, zat pengatur tumbuh tanaman, dan antibiotik yang bermanfaat di bidang bioteknologi, pertanian, maupun farmasi. Hal tersebut tentunya dapat mengurangi penggunaan pestisida yang membutuhkan biaya yang besar dan berakibat buruk terhadap lingkungan. Aplikasi endofit dalam mengendalikan penyakit diantaranya adalah dengan perlakuan pada benih. Benih direndam dengan suspensi bakteri endofit selama 24 jam selanjutnya diperam dan disemai. Bakteri endofit akan masuk ke jaringan tanaman melalui jaringan yang terbuka saat benih berkecambah. Selanjutnya perlakuan pencelupan akar pada suspensi bakteri endofit dilakukan sesaat sebelum pindah tanam. Saat pencabutan bibit terdapat luka pada akar dan melalui luka tersebut bakteri endofit masuk ke dalam jaringan tanaman dan mengkolonisasi lebih awal untuk memicu ketahanan tanaman sebelum infeksi Xoo dari lahan saat pindah tanam. Selain itu dapat dilakukan penyemprotan pada tanaman. Bakteri akan masuk melalui lubang-lubang alami tanaman yaitu melalui stomata dan hidatoda. Tantangan kedepan dalam pengembangan bakteri endofit sebagai agens hayati ini adalah usaha untuk eksplorasi bakteri endofit maupun metabolit sekunder yang dihasilkannya memiliki aktivitas tinggi terhadap mikroba patogen, toksisitas rendah terhadap hewan, manusia maupun tumbuhan, berspektrum luas, memiliki stabilitas baik, mudah dalam produksi dan aplikasinya, kompatibel dengan pengendalian yang lain dan murah dalam biaya Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 14 produksinya.Selain itu adalah perlu dikembangkan formulasi yang tepat agar aplikasi di lapangan lebih mudah. Kedepan, diharapkan terdapat teknologi penggunaan bakteri endofit maupun produk metabolit atau genetiknya dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hama dan penyakit secara luas. Penerapan teknologi ini tidak terlepas dari kajian sosial yang merupakan komponen penting dalam keberhasilan penerapan suatu teknologi. Saat ini penggunaan pestisida kimiawi masih menjadi andalan utama. Sebagian besar petani tidak luput dalam penggunaannya untuk mengendalikan hama dan penyakit. Karenanya tantangan terbesar dalam perakitan teknologi pengendalian menggunakan bakteri endofit atau agens hayati lainnya adalah dapat menyamai atau bahkan melebihi penggunaan pestisida kimiawi dalam hal keefektifan, efisiensi dan kemudahan dalam aplikasinya. Pemanfaatan agens hayati ini perlu didukung dengan komponen pengendalian lain yang sinergi. Dalam hal ini pemahaman masyarakat petani terhadap konsep pengendalian hama terpadu (PHT) perlu ditingkatkan. Prinsip PHT seperti pengamatan/monitoring di lapangan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pengendalian hama dan penyakit. Hal ini dikarenakan banyak pertanaman dapat terselamatkan dari serangan suatu hama dan penyakit ketika terdeteksi awal dan dilanjutkan dengan pengendalian yang sesuai dengan kebutuhannya. Prinsip lainnya adalah budidaya tanaman sehat yang menjadi dasar keberhasilan dalam usaha tani, diamana tanaman yang sehat terawat lebih tahan terhadap suatu hama dan penyakit. PENUTUP Pemanfaatan bakteri endofit sebagai agens pengendali hayati pada penyakit HDB memiliki keunggulan yaitu bersifat aman, ekonomis dan mudah dalam hal aplikasinya. Namun demikian, keberhasilan dalam penerapan teknologi tersebut, membutuhkan dukungan dari semua pihak. Mulai dari Lembaga Penelitian, Lembaga Pendidikan, Lembaga Teknis dan pihak terkait lainnya. Prospek pemanfaatan agens hayati dapat ditingkatkan peranannya dengan pengawalan teknologi aplikasi yang tepat oleh petugas pertanian sehingga efektifitas penggunaan agens hayati ini dapat dirasakan dengan baik oleh petani. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 15 DAFTAR PUSTAKA Agarwal VK, Sinclair JB. 1987. Principles of Seed Pathology. Florida (US): CRC Press, Inc. [BPTPH] Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura VI Jawa Timur. 2000. Pengembangan Agen Hayati di Jawa Timur. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah Propinsi Jawa Timur. 31 hal. Bhore S, Nithya R, Loh CY. 2010. Screening of Endophytic Bacteria Isolated from leaves of Sambung Nyawa [Gynura procumbens (Lour.) Merr] for Cytokinin-like Campound. Bioinformation.5(5):191-197. [Ditlin Perlintan] Direktorat Perlindungan Tanaman. 2013. Laporan Tahunan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Tahun 2012. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta.(ID) Durgapal, J.C. (1983) Management of bacterial blight of rice by nursery treatment preliminary evaluation. Indian Phytopathology 36, 146-149. Giyanto dan Rustam. 2012. Perakitan teknik pengendalian penyakit tanaman padi ramah lingkungan berbasis bakteri agens hayati dan metabolis sekundernya. Laporan Proyek Penelitian DP2M DIKTI, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Gnanamanickam SS, Priyadarisini VB, Narayanan NN, Vasudevan P, Kavitha S. 1994. An overview of bacterial blight disease of rice and strategies for its management. Review article. Current science 77(11):1435-1443. Goto M. 1998. Kresek and pale yellow leaf systemic symptoms of bacterial leafblight of rice caused by Xanthomonas oryzae. PI Dis Rep 48:858-861. Hallmann J, Quadt-Hallmannn A, Mahaffee WF, Kloepper JW. 1997. Bacterial endophytes in agricultural crops. Can J Microbiol 43:895-914. Hastuti, RD. 2013. Potensi Aktinomiset Endofit dalam Mengendalikan Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Tanaman Padi (Oryza sativa). Article. IPB-Bogor. Diunduh pada http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/61273 tanggal 20 Juni 2013. Hurek BR, Hurek T. 2011. Living inside Plants: bacterial Endophytes. Current Opinion in Plant Pathology.14(4):435-443. Khaeruni AR. 2001. Masalah penyakit HDB pada padi dan pemecahannya. Journal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25:108-109. Laba, I.W dan Arifin K. 1998. Pelestarian Parasitoid dan Predator dalam Pengendalian Hama Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian. XVII(4): 122 – 129. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 16 Nino-Liu DO, Ronald PC, Bogdanove AJ. 2006. Xanthomonas oryzae pathovar: model pathogens of a model crop. Mol Plant Pathol 7(5):303-324. Ou SH. 1985. Rice diseases 2nd Ed. Commonwealth Mycological Institute.380 pp. Suparyono dan Sudir. 1992. Perkembangan penyakit bakteri hawar daun pada stadia tumbuh yang berbeda dan pengaruhnya terhadap hasil padi. Media Penelitian Sukamandi No. 12: 6-9 Suparyono, Sudir, Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesian Journal of Agricultural Science 5 (2): 63-69. Supriadi. 2006. Analisis Resiko Agens Hayati untuk Pengendalian Patogen pada Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian. 25(3): 75 – 80. Susilowati DN, Hidayatun N, Tasliah, Muiya K. 2010. Keragaman Bakteri Endofitik Diisolasi dari empat Varietas Padi dengan Metode ARDRA. Berita Biologi.10(2):241248. Triny SK, Suryadi Y, Sudir, Machmud M. 2009. Penyakit bakteri padi dan cara pengendaliannya. Di dalam: Daradjat AA, Setyono, Makarim AK, Hasanuddin A, editor. Padi Inovasi Teknologi Produksi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 499-530. Untung, K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu..Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 268 hal. Yamasaki RAD, Murata N, Suwa T. 2006. Studies on the culture of Xanthomonasoryzae. J Bacteriol 42:946-949. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 17 KERAGAAN USAHA PRODUKTIF GAPOKTAN PENERIMA PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) DI PROVINSI BANTEN Sri Lestari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jln. Ciptayasa KM. 01, Ciruas, Serang, Banten 42182 Telp. (0254) 281055; Fax (0254) 282507 email : [email protected], [email protected] ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang keragaan usaha produktif gapoktan penerima dana BLM PUAP. Pengkajian dilaksanakan di Provinsi Banten pada bulan November – Desember 2016 terhadap Gapoktan penerima dana BLM PUAP tahun 2008-2015. Untuk memberikan gambaran gapoktan penerima PUAP, dikumpulkan data primer yang berasal dari Penyelia Mitra Tani (PMT) dan sekunder yang berasal dari laporan PUAP serta penelulusuran data statistik dari Badan Pusat Statistik. Data ditabulasi dan dibahas secara deskriptif. Sejak tahun 2008-2015 provinsi Banten telah menerima dana PUAP sebesar Rp 130,9 milyar untuk 1309 gapoktan di 1309 desa/kelurahan atau sebesar 84.4% dari total jumlah desa/kelurahan se-provinsi Banten. Jumlah LKM-A di provinsi Banten yaitu sebanyak 158 (seratus lima puluh delapan) LKM-A atau sebesar 12.07% dari total gapoktan penerima PUAP di provinsi Banten. Persentase rata-rata usaha produktif kegiatan agribisnis PUAP sesuai dengan Rencana Usaha Bersama (RUB) di Provinsi Banten yaitu untuk tanaman pangan sebesar 37.4%, perkebunan 3.5%, hortikultura 17.7%, peternakan 7.6% serta off farm sebesar 38%. Usaha tanaman pangan didominasi oleh komoditas padi. Usaha perkebunan didominasi oleh komoditas cengkeh, coklat, kopi, lada, melinjo, manggis, pepaya dan pisang. Usaha hortikultura di Kota Tangerang didominasi oleh tanaman budidaya tanaman hias anggrek Golden Shower, dendrobium serta bromelia. Usaha peternakan yang memanfaatkan dana PUAP didominasi oleh jenis ternak domba. Usaha off farm didominasi oleh usaha industri rumah tangga (pengolahan emping melinjo), bakulan, kios pupuk dan usaha penggilingan padi. Kata kunci : Keragaan, usaha produktif, PUAP Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 18 PENDAHULUAN Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan kekurangan modal, khususnya bagi masyarakat petani di perdesaan adalah melalui program PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan) yang dumulai sejak tahun 2008 (Litbang, 2015). Salah satu kegiatan pokok PUAP tahun 2008 adalah penyaluran dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada Gapoktan berupa penguatan permodalan yang digunakan untuk ; (1) budidaya tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan (2) usaha non budidaya meliputi usaha industri rumah tangga pertanian, pemasaran skala kecil/bakulan, dan usaha lain berbasis pertanian (Tan et al, 2010). Sesuai arahan dari Tim PUAP pusat bahwa alokasi dana BLM PUAP yang dituangkan dalam bentuk Rencana Usaha Bersama (RUB) sebaiknya didominasi oleh kegiatan produktif berbasis off farm (non budidaya). Hal ini bertujuan agar dapat meminimalisir tingkat kemacetan pengembalian dana PUAP tersebut. Usaha produktif berbasis on farm (budidaya) sangat dipengaruhi oleh faktor alam seperti cuaca, ketersediaan air, hama dan penyakit. Sehingga faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap hasil panen yang pada akhirnya mempengaruhi pengembalian dana pinjaman dari BLM PUAP. Kajian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang keragaan usaha Gapoktan penerima PUAP di Provinsi Banten. METODOLOGI Pengkajian dilaksanakan di Provinsi Banten pada bulan November – Desember 2016 terhadap Gapoktan penerima dana BLM PUAP tahun 2008-2015. Untuk memberikan gambaran gapoktan penerima PUAP, dikumpulkan data primer yang berasal dari Penyelia Mitra Tani (PMT) dan sekunder yang berasal dari laporan PUAP serta penelusuran data statistik dari Badan Pusat Statistik. Data ditabulasi dan dibahas secara deskriptif dengan menggunakan data yang berasal dari laporan PMT mengenai profil beberapa gapoktan PUAP yang memiliki success story dalam hal pemanfaatan dana BLM PUAP. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Gapoktan Penerima PUAP Tahun 2008-2015 Program pencairan dana BLM PUAP di Provinsi Banten dilaksanakan pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2015. Sejak tahun 2016, pencairan dana BLM PUAP sudah berakhir dikarenakan hampir sebagian besar desa yang ada di Provinsi Banten telah mendapatkan dana tersebut. Sebaran gapoktan penerima dana BLM PUAP tertera pada Tabel 1. Menurut BPS Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 19 (2016), jumlah desa dan kelurahan yang ada di Provinsi Banten pada tahun 2015 sebanyak 1551. Yang artinya, sebesar 84,4% dari total desa/kelurahan yang ada telah menerima dana BLM PUAP. Adapun desa/kelurahan yang belum mendapatkan dana tersebut dikarenakan oleh keterlambatan pengusulan dari Tim Teknis PUAP tingkat kabupaten kepada Tim PUAP tingkat pusat. Selain itu, suatu desa/kelurahan tidak menerima dana BLM PUAP dapat disebabkan oleh desa yang bersangkutan tidak bersedia menerima dana BLM tersebut dikarenakan alasan internal masing-masing desanya. Tabel 1. Sebaran Gapoktan penerima PUAP 2008-2015 Provinsi Banten No. 1 Kabupaten/Kota Kabupaten Lebak 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 57 116 10 68 50 38 2 2 Kabupaten Serang 107 81 30 43 34 24 - - 319 3 Kabupaten Pandeglang 37 116 31 41 32 33 32 13 335 4 Kabupaten Tangerang 60 59 15 11 16 6 - - 167 5 Kota Tangerang 3 4 - - - - - - 7 6 Kota Serang 22 25 15 1 - - - - 63 7 Kota Cilegon 10 19 9 4 - - - - 42 8 Kota Tangerang Selatan 2 4 5 9 5 7 - 3 35 298 424 115 177 137 108 32 18 1.309 Total Jumlah 341 Sumber : Yusron et al (2015) Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) Sasaran program PUAP antara lain adalah berkembangnya Gapoktan yang dimiliki dan dikelola oleh petani untuk menjadi kelembagaan ekonomi. Untuk mewujudkan hal tersebut, setiap Gapoktan didampingi oleh Penyelia Mitra Tani (PMT) yang ahli dibidang keuangan mikro untuk mengarahkan Gapoktan menuju Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). BPTP Banten juga berperan dalam pembentukan LKM-A dengan melakukan pendampingan dan pelatihan yang dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan PMT. Pendampingan pengembangan LKM-A oleh BPTP Banten dan PMT dilaksanakan dengan inisiasi pelatihan Manajamen Dasar LKM-A dan pendampingan langsung. Materi pelatihan Manajemen Dasar LKM-A meliputi beberapa aspek diantaranya: (1) aspek organisasi, (2) aspek pengelolaan LKM-A dan (3) kinerja pengelolaan LKM-A. Aspek organisasi meliputi: penataan kepengurusan, kelengkapan AD/ART, penyusunan rencana kerja, mendorong penyelenggaraan Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan memfasilitasi Gapoktan menuju Badan Hukum. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 20 Aspek Pengelolaan LKM-A meliputi cara penyaluran dana PUAP kepada anggota, aturan dalam penyaluran dana, distribusi dana dan pembukuan serta pelaporan. Aspek kinerja pengelolaan LKM-A merupakan kemandirian Gapoktan dalam menghimpun pendanaan di luar dana dari pemerintah, seperti simpanan atau yang lainnya. Gapoktan yang telah diikutkan pada pelatihan manajemen dasar LKM-A diberikan pendampingan intensif agar membentuk LKM-A. Sesuai Laporan Akhir PUAP 2015, jumlah LKM-A provinsi Banten sebanyak 115. Pada tahun 2016 ada penambahan jumlah LKM-A dari kabupaten Serang sebanyak 43. Akan tetapi LKM-A tersebut belum diregistrasi oleh Tim Teknis Kabupaten Serang. Sebaran LKMA pada tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sebaran LKM-A di Provinsi Banten No. Kabupaten/Kota Jumlah Gapoktan Jumlah LKM-A 341 319 335 167 7 63 42 35 1.309 48 52 16 30 0 8 3 1 158 1 2 3 4 5 6 7 8 Kabupaten Lebak Kabupaten Serang Kabupaten Pandeglang Kabupaten Tangerang Kota Tangerang Kota Serang Kota Cilegon Kota Tangerang Selatan TOTAL Sumber : Yusron et al (2016) Dari 158 LKM-A tersebut, beberapa diantaranya ada yang sudah berbadan hukum dan ada yang belum berbadan hukum. Keragaan Usaha Produktif Tanaman Pangan Untuk tanaman pangan, alokasi tertinggi yaitu di Kabupaten Pandeglang (53,6%) dan yang terendah di kota Tangerang Selatan (5,4%). Alokasi usaha produktif tanaman pangan pada 8 kabupaten/kota di provinsi Banten ditunjukkan oleh Gambar 1. Jenis tanaman pangan yang dominan diusahakan oleh petani penerima dana BLM PUAP yaitu padi. Jenis tanaman pangan yang lain seperti jagung, kedelai dan ubi kayu kurang diminati oleh petani pengguna dana BLM PUAP. Salah satu gapoktan yang sukses dalam pemanfaatan dana PUAP untuk usaha tanaman pangan yaitu Gapoktan Pelita yang berada di Desa Pangkalan, Kecamatan Sobang, Kabupaten Pandeglang. Jumlah anggota yang memanfaatkan dana PUAP untuk usaha tanaman pangan sebanyak 420 orang dengan luas areal pesawahan 325 ha. Nilai R/C Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 21 ratio yang dihasilkan sebesar 4,2 yang menandakan bahwa usaha budidaya padi ini layak dilakukan (Arief, 2013). Gambar 1. Alokasi usaha produktif tanaman pangan pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten Perkebunan Alokasi usaha produktif perkebunan pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten ditunjukkan oleh Gambar 2. Alokasi dana terbesar pada usaha perkebunan berada di Kota Cilegon (11,7%), urutan kedua ditempati oleh Kabupaten Pandeglang (5,7%) dan terendah berada di Kota Tangerang (0%). Di Kota Cilegon petani memanfaatkan dana BLM PUAP untuk budidaya pisang. Luas panen tanaman pisang sebanyak 81.406 rumpun. Populasi terbesar berada di Kecamatan Cilegon (56.711 rumpun) dan Pulomerak (12.256 rumpun) (BPS Kota Cilegon, 2017). Umumnya petani PUAP Kabupaten Pandeglang memanfaatkan dana BLM PUAP untuk usaha perkebunan pohon tangkil (melinjo). Melinjo merupakan bahan baku produk olahan emping yang merupakan makanan khas dari Banten. Selain melinjo, komoditas lainnya yang memanfaatkan dana PUAP yaitu coklat, manggis, pepaya dan pisang. Di Kabupaten Pandeglang, Gapoktan Berkah Tani yang berada di Desa Cipicung, Kecamatan Cikedal memanfaatkan dana PUAP untuk usaha pembibitan tanaman coklat dengan nilai R/C ratio sebesar 1,7. Desa Cipicung termasuk kategori desa dataran sedang dengan Luas wilayah keseluruhan 156 ha, dengan prosentasi lahan darat yang cukup luas yaitu sebesar 70 ha, maka perlu dilakukan optomalisasi lahan agar lahan darat yang ada menjadi lebih produktif. Oleh Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 22 sebab itulah gapoktan mengalokasikan dana PUAP untuk pembenihan bibit Coklat / kakao (Saefulhak, 2013). Di Kota Serang, petani PUAP memanfaatkan dana tersebut untuk modal perkebunan cengkeh, kopi dan lada. Pada tahun 2012, produksi tanaman cengkeh di Kota Serang sebanyak 86,4 ton yang berasal dari Kecamatan Curug dan Taktakan, tanaman kopi sebanyak 750 ton berasal dari Kecamatan Taktakan serta tanaman lada sebanyak 26,15 ton yang berasal dari Kecamatan Taktakan dan Curug (BPS kota Serang, 2017). Gambar 2. Alokasi usaha produktif perkebunan pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten Hortikultura Untuk usaha hortikultura, alokasi tertinggi yaitu di Kota Tangerang (58,6%) dan yang terendah di Kabupaten Lebak (2,9%). Alokasi usaha produktif hortikultura pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten ditunjukkan oleh Gambar 3. Jenis hortikultura yang dibudidayakan di Kota Tangerang yaitu jenis tanaman hias. Kota Tangerang Selatan menempati urutan kedua (40,3%) setelah Kota Tangerang. Kota Tangerang Selatan juga terkenal dengan produksi tanaman hiasnya. Jenis tanaman hias yang dominan dibudidayakan pada kedua kota tersebut yaitu anggrek Golden Shower dan Dendrobium serta Bromelia. Gapoktan yang sampai saat ini dominan bergerak di bidang agribisnis tanaman hias yaitu Gapoktan Maju Bersama dan Gapoktan Pamulang Barat yang berasal dari Kota Tangerang Selatan. Gapoktan Maju Bersama sudah memiliki Badan Hukum Koperasi sedangkan Gapoktan Pamulang Barat belum memiliki Badan Hukum. Dana BLM PUAP dimanfaatkan Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 23 oleh 20 orang anggota Gapoktan Maju Bersama untuk usaha budidaya tanaman anggrek sedangkan yang memanfaatkan dana PUAP pada Gapoktan Pamulang Barat (untuk usaha tanaman hias Bromelia) sekitar 29 orang (Malik, 2013). Gambar 3. Alokasi usaha produktif hortikultura pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten Peternakan Untuk usaha peternakan, alokasi tertinggi yaitu di Kota Tangerang Selatan (15%) dan yang terendah di Kota Serang (0,1%). Alokasi usaha produktif peternakan pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten ditunjukkan oleh Gambar 4. Gambar 4. Alokasi usaha produktif peternakan pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 24 Di Kota Tangerang Selatan, gapoktan yang mengusahakan ternak domba yaitu Gapoktan Cabe Ilir yang beralamat di Desa Pondok Cabe Ilir, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Usaha peternakan domba merupakan usaha yang menjanjikan dan diminati oleh sebagian anggota gapoktan dikarenakan wilayah gapoktan yang memiliki banyak tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan sehingga mudah untuk pakan ternaknya, di tambah lagi dengan luasnya lahan tidur yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan ternak domba. Ada perubahan setelah anggota menerima dana PUAP, banyak anggota yang saat ini telah memiliki kambing domba lebih dari 15 ekor yang sebelumnya hanya 5 ekor. Tentunya semakin banyak domba yang dikelola maka semakin besar keuntungan yang didapat sehingga manfaat program ini sangat dirasakan oleh para anggota untuk meningkatkan pendapatan keluarga (Malik, 2013). Off Farm Untuk usaha off farm, alokasi tertinggi yaitu di Kota Serang (66,3%) dan yang terendah di Kota Tangerang (14,9%). Alokasi usaha produktif Off Farm pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten ditunjukkan oleh Gambar 5. Usaha produktif Off Farm berupa bakulan, pengolahan industri pertanian serta usaha lain berbasis pertanian misalnya saja usaha pengepul hasil pertanian, kios pupuk serta usaha penggilingan padi. Gambar 5. Alokasi usaha produktif Off Farm pada 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 25 Bagi gapoktan penerima dana BLM PUAP, usaha penggilingan padi merupakan usaha yang cukup menjanjikan. Hasil penelitian Mauliddar et al (2013) menunjukkan bahwa nilai R/C ratio dari usaha penggilingan padi menunjukkan angka lebih dari 1,0. Hal ini menandakan bahwa usaha penggilingan padi layak untuk dilakukan. Di Provinsi Banten, gapoktan yang memanfaatkan dana BLM PUAP untuk usaha penggilingan padi diantaranya yaitu Gapoktan Artha Jaya dan Gapoktan Abadi Sejahtera yang berlokasi di Kabupaten Tangerang. Gapoktan Artha Jaya terletak di Kampung Pagedangan RT 05/02, Desa Rancabango, Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang. Gapoktan ini merupakan gabungan dari 4 kelompok tani; Tani Harapan, Tani Mulya, Tani Asih dan Tani Mekar. Gapoktan ini didirikan pada tanggal 22 Juni 2009 (Novaly, 2013). Sedangkan Gapoktan Abadi Sejahtera terletak di Desa Cireundeu, Kecamatan Solear, Kabupaten Tangerang. Gapoktan ini berdiri sejak tahun 2008 dan merupakan gabungan dari 3 kelompok tani; Umbu Leuit, Cisalak dan Poktan Mandiri (Nurdiyanti, 2013). Gapoktan Artha Jaya dan Abadi Sejahtera merupakan contoh gapoktan yang usaha tani padinya mengalami perkembangan. Kedua gapoktan tersebut juga memiliki usaha penggilingan padi yang beroperasi hingga saat ini. Selain itu, pemanfatan dana BLM PUAP juga diperuntukkan bagi industri pengolahan emping melinjo. Menurut Saefulhak (2013), Gapoktan Berkah Tani yang berlokasi Desa Cipicung Kecamatan Cikedal Kabupaten Pandeglang memanfaatkan dana BLM PUAP untuk pengolahan emping melinjo. Wilayah Cipicung memiliki hasil perkebunan berupa melinjo, sehingga sebagian besar masyarakatnya memiliki usaha pengolahan emping. Untuk memudahkan pemasaran, maka gapoktan menfasilitasi kepada para pengrajin emping agar bisa memasarkan hasil olahannya melalui gapoktan. Dengan mudahnya akses pasar melalui gapoktan, maka para pengrajin mendapatkan akses yang mudah untuk memasarkan produk mereka dengan harga yang bagus. Hasil penelitian Andriani et al (2015) menunjukkan bahwa pengolahan emping melinjo di Kecamatan Wates Kabupaten Blitar menghasilkan nilai R/C ratio lebih dari 1. Di Kabupaten Pandeglang, pengolahan emping melinjo pada Gapoktan Berkah Tani menunjukkan nilai R/C ratio sebesar 1,1. Pengolahan ini memanfaatkan dana BLM PUAP sebagai modal usahanya. Hasil penelitian Hudaya (2006) juga menunjukan bahwa nilai R/C ratio pengolahan emping melinjo sebesar 2,81. Hal ini menandakan bahwa usaha ini sangat layak untuk dilakukan. Pengrajin emping melinjo biasanya memberdayakan kaum wanita sebagai pengrajin. Menurut penelitian Amin et al (2016), kontribusi tenaga kerja wanita pada usaha emping melinjo terhadap pendapatan keluarga pada bulan Januari 2016 di kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah rata-rata sebesar 61,71%. Di Gapoktan Berkah Tani yang Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 26 terletak di Kabupaten Pandeglang, pengrajin emping melinjo yang terdiri dari tenaga kerja wanita menghasilkan pendapatan Rp 30.000/ hari (Saefulhak, 2013). Sehingga diharapkan kaum wanita dapat menopang pendapatan suaminya sehingga kesejahteraan keluarga dapat tercapai. KESIMPULAN Provinsi Banten dari tahun 2005-2015 telah menerima dana PUAP sebesar Rp 130,9 milyar untuk 1.309 gapoktan dan telah terbentuk Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis 158 LKM-A. Usaha produktif Gapoktan penerima dana PUAP terdiri dari tanaman pangan sebesar 37,4%, perkebunan 3,5%, hortikultura 17,7%, peternakan 7,6% serta off farm sebesar 38%. DAFTAR PUSTAKA Amin, M. N., S. Supardi, S. N. Awami. 2016. Kontribusi Tenaga Kerja Wanita Pada Usaha Emping Melinjo Terhadap Pendapatan Keluarga (Studi Kasus Di Desa Sukomangli Kecamatan Reban Kabupaten Batang). Jurnal Mediagro 26 Vol. 12 (2) 2016 : 26-38. Andriani, D. R. , F. Dwi. 2015. Analisis Kelayakan Usaha Dan Strategi Pengembangan Agroindustri Emping Melinjo Skala Rumah Tangga Di Desa Wates Kecamatan Wates Kabupaten Blitar. Jurnal Agrise Volume 15 (1) : 53-62. Arief, A.R. 2013. Profil Gapoktan Model “PELITA”. Laporan PMT. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. 2016. Provinsi Banten Dalam Angka 2016. CV. Dharmaputra. 466 halaman. Badan Pusat Statistik Kota Cilegon. 2017. Luas Panen Buah-buahan Menurut Jenisnya per Kecamatan Tahun 2014 (Pohon). https://cilegonkota.bps.go.id/linkTabelStatis /view/id/97. [diakses tanggal 21 November 2017]. Badan Pusat Statistik Kota Serang. 2017. Produksi Tanaman Perkebunan Di Kota Serang. https://serangkota.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/12. [diakses tanggal 21 November 2017]. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2015. Bunga Rampai “Kemandirian Modal Petani dalam Perspektif Kebijakan PUAP”. IAARD Press, Jakarta. Hudaya, A. R. 2006. Analisis Usahatani Biji Melinjo dan Emping Melinjo (Gnetum gnemon L). Jurnal Agrijati 3 (1) : 51-59. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 27 Malik, F. 2013. Profil Gapoktan Model “MAJU BERSAMA”. Laporan PMT. Malik, F. 2013. Profil Gapoktan Model “PAMULANG BARAT”. Laporan PMT. Malik, F. 2013. Profil Gapoktan Model “CABE ILIR”. Laporan PMT. Mauliddar, A. N., M. B. Darus, L. Fauzia. 2013. Analisis Kelayakan Usaha Penggilingan Padi Di Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Journal on Social Economic of Agriculture and Agribusiness Vo. 2 (4). https://jurnal.usu.ac.id/ index.php/ceress/article/view/7851. [diakses tanggal 22 November 2017]. Nurdiyanti, E. 2013. Profil Gapoktan Artha Jaya. Laporan Novaly, R. 2013. Profil Gapoktan Abadi Sejahtera. Laporan Saefulhak, A. 2013. Profil Gapoktan Model “BERKAH TANI”. Laporan PMT. Tan, SS, H. Hermawan, A. Djauhari. 2010. Pengkategorian Gapoktan dan Pola Penggunaan Dana BLM PUAP (Studi Kasus Kabupaten Ngawi dan Blitar, Propinsi Jawa Timur). Prosiding Semnar Nasional Pengkajian dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Program Strategis Kementerian Pertanian. Ciruas, 9-11 Desember 2010. Yusron, M., D. Haryani, S. Lestari, Y. Astuti, A. Pullaila, Suhartin. 2015. Laporan Akhir PUAP TA 2015. BPTP Banten, Litbang Kementerian Pertanian. Yusron, M, S. Lestari, Y. Astuti, A. Pullaila, Suhartin. 2016. Laporan Akhir PUAP Tahun 2016. BPTP Banten, Litbang Kementerian Pertanian. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 28 PEMANFAATAN TANAMAN REFUGIA UNTUK MENGENDALIKAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI Ulima Darmania Amanda Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jln. Ciptayasa KM. 01, Ciruas, Serang, Banten 42182 Telp. (0254) 281055; Fax (0254) 282507 email : [email protected], [email protected] ABSTRAK Aplikasi pestisida yang tidak tepat dapat berdampak negatif dengan memicu ledakan populasi hama akibat resistensi atau resurgensi. Dampak tersebut dapat dikurangi melalui Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan memanfaatkan agen hayati. Rekayasa ekologi berupa pemanfaatan tanaman refugia berperan sebagai mikrohabitat agen hayati dari OPT tanaman utama. Refugia dapat menyediakan tempat berlindung secara spasial dan/atau temporal bagi musuh alami hama, seperti predator dan parasitoid, serta mendukung komponen interaksi biotik pada ekosistem, seperti polinator. Beberapa tanaman refugia yang dapat digunakan sebagai agen hayati dari OPT tanaman padi antara lain: akar wangi, kangkung hutan, jagung, kacang panjang, dan wijen. Modifikasi lahan pada sistem tanam polikultur menggunakan tanaman refugia dapat dilakukan melalui inter cropping, strip cropping, alley cropping, tanaman pinggiran (hedgerows), insectary plant, beetle bank, tumbuhan mulsa hidup, dan tanaman penutup tanah (cover crop). Kata kunci: Refugia, padi, OPT, rekayasa ekologi PENDAHULUAN Penggunaan pestisida merupakan salah satu bentuk adaptasi petani padi terhadap perubahan iklim, baik pada musim kering maupun basah, yang juga berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan usahatani (Zaenun et al., 2017). Aplikasi pestisida secara intensif dapat mendukung produktivitas padi sawah, namun disisi lain dapat merusak keseimbangan alami ekosistem di lahan pertanian. Terganggunya rantai makanan alami dapat meningkatkan populasi hama akibat resistensi dan berkurangnya populasi musuh alami yang mampu mengendalikan populasi hama (Muhibah dan Leksono, 2015). Selain perubahan iklim dan Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 29 aplikasi pestisida yang tidak tepat, peningkatan populasi hama juga dapat diakibatkan oleh teknik budidaya dan fenologi tanaman (Heviyanti dan Mulyani, 2016). Penggunaan pestisida kimiawi yang tidak tepat, dapat memberikan dampak negatif terhadap petani dan konsumen, lingkungan, dan organisme non-target (Yuantari et al., 2015). Organisme non-target seringkali berupa musuh alami hama (predator, parasitoid, dan patogen serangga) dan serangga bermanfaat (penyerbuk, detrifora, dll). Ketidakmampuan pestisida dalam mengendalikan hama juga berdampak negatif dengan memicu ledakan populasi hama akibat resistensi atau resurgensi. Resistensi adalah proses perubahan sensitivitas yang diwariskan dalam populasi hama yang tercermin dalam kegagalan berulang suatu pestisida untuk mengendalikan hama sesuai dengan dosis rekomendasi. Resurgensi wereng cokelat merupakan proses peningkatan populasi setelah aplikasi insektisida dengan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dari yang tidak diaplikasi insektisida. Resurgensi merupakan proses perubahan fisiologi tanaman sehingga lebih disukai oleh hama tertentu, atau ada rangsangan pestisida terhadap hama yang mendukung kelangsungan pada satu atau beberapa fase hidupnya (Baehaki et al., 2016). Seringkali fenomena tersebut memunculkan atau meningkatkan status suatu jenis hama dari bukan hama menjadi hama penting setelah paparan insektisida. Dampak negatif dari penggunaan pestisida dapat dikurangi melalui Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan memanfaatkan agen hayati. Rekayasa ekologi berupa tanaman refugia dapat digunakan sebagai mikrohabitat agen hayati dari hama tanaman utama. Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan dasar teori dan penelitian terkait pemanfaatan tanaman refugia dalam mengendalikan OPT tanaman padi. Metode yang digunakan dalam penulisan adalah penelusuran literatur. TANAMAN REFUGIA Semua organisme di alam, termasuk hama tanaman budidaya, mempunyai musuh alaminya. Keberadaan musuh alami OPT dapat melemahkan, mengurangi fase reproduktif, sampai membunuh OPT. Namun musuh alami tersebut belum tentu mampu menjadi faktor penekan perkembangan populasi hama akibat tidak tersedianya makanan dan tempat berlindung (refugia) (Heviyanti dan Mulyani, 2016). Refugia adalah mikrohabitat yang menyediakan tempat berlindung secara spasial dan/atau temporal bagi musuh alami hama, seperti predator dan parasitoid, serta mendukung komponen interaksi biotik pada ekosistem, seperti polinator atau serangga penyerbuk (Keppel et al., 2012). Studi mengenai refugia, khususnya di Indonesia masih sangat minimal (Gambar 1.). Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 30 Gambar 1. Distribusi publikasi studi mengenai refugia [Sumber: Keppel et al., 2012]. Tanaman refugia mempunyai potensi menyokong mekanisme sistem yang meliputi perbaikan ketersediaan makanan alternatif seperti nektar, serbuk sari, dan embun madu; menyediakan tempat berlindung atau iklim mikro yang digunakan serangga predator untuk bertahan melalui pergantian musim atau berlindung dari faktor-faktor ekstremitas lingkungan atau pestisida; dan menyediakan habitat untuk inang atau mangsa alternatif (Landis et al., 2000). Biaya Refugia Hermanto et al. (2014) melakukan analisis biaya untuk budidaya padi seluas satu hektar selama satu musim tanam. Biaya produksi budidaya padi pada pertanaman dengan PHT berbasis rekayasa ekologi (PHT-RE) hanya sedikit lebih tinggi sebesar Rp. 160.000 dibandingan pada pertanaman PHT konvensional (PHT-K). Biaya produksi pada PHT-RE sebesar Rp 11.625.000,-, sedangkan pada PHT-K sebesar Rp 11.465.000,-. Dari perhitungan hasil panen diperoleh total pendapatan sebesar Rp 26.500.000,- pada lahan PHT-RE dan Rp 26.000.000,- pada lahan PHT-K. Dari perhitungan pendapatan diperoleh keuntungan dari lahan PHT-RE lebih tinggi yaitu sebesar Rp 14.775.000,- sedangkan dari lahan PHT-K sebesar Rp 14.535.000,-. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 31 Salah satu faktor memengaruhi biaya produksi pertanaman dengan refugia adalah pola konfigurasi pada lahan pertanian. Sebagai ilustrasi hasil studi Hyde et al. (2000) pada lahan pertanian jagung transgenik di United States. Pemerintah membuat regulasi agar produsen jagung menanam setidaknya 20% tanaman refugia sebagai bagian dari program Insect Resistance Management. Menanam refugia dalam susunan strips merupakan metode dengan biaya paling rendah dibandingkan dengan susunan block maupun bentuk-U (Gambar 2). Peningkatan Biaya Tenaga Kerja per-acre atau 0,4 ha (Rupiah, kurs 16/01/2018) Rp. 506,71 - 1000,09 Rp. 2000,17 - 4000,35 Gambar 2. Konfigurasi pertanaman refugia memengaruhi biaya produksi [Sumber: Hyde et al., 2000]. Jenis Tanaman Refugia Jenis-jenis tanaman yang berpotensi sebagai refugia antara lain: tanaman berbunga, gulma berdaun lebar, tumbuhan liar yang ditanam atau yang tumbuh sendiri di areal pertanaman, dan sayuran (Horgan et al., 2016). Kriteria tanaman yang dapat digunakan sebagai strip vegetasi refugia (vegetation strips) adalah: ï‚· Tanaman harus ditanam dari biji tanpa perlu pindah tanam (transplanting) ï‚· Tanaman harus cepat tumbuh, mampu bersaing dengan gulma, dan mudah dalam perawatan ï‚· Tanaman harus cepat berbunga ï‚· Tanaman harus memiliki buah atau struktur vegetatif yang bernilai ekonomis bagi petani, baik untuk konsumsi atau komersial ï‚· Tanaman harus dapat berproduksi baik dalam budidaya minimum ï‚· Tanaman harus bersifat mengusir atau tidak disukai oleh hama tanaman utama ï‚· Tanaman harus dapat menarik Arthropoda yang menguntungkan baik sebagai mikrohabitat maupun sumber nektar atau serbuk sari. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 32 Tanaman refugia berpotensi digunakan sebagai agen hayati pada tanaman pangan, hortikultura, tanaman hias, maupun tanaman industri dan perkebunan. Beberapa refugia pada tanaman pangan (padi) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Tanaman refugia yang dapat digunakan sebagai PHT OPT tanaman padi No. 1. Flora refugia Kangkung hutan (Ipomoea crassicaulis (Benth.) B. L. Rob.) Peran Referensi Mengendalikan diversitas herbivora Sari dan Yanuwiadi, 2014; Azmi et al., 2014 menyeimbangkan populasi serangga herbivora, predator, dan polinator Setyadin et al., 2017 Akar wangi (Vetiveria zizanioides (L.) Nash). 2. Jagung (Zea mays) Kacang panjang (Vigna cylindrica) 3. Wijen (Sesamum indicum) Temu Wiyang (Emilia sonchifolia) Pujiastuti, 2015 meningkatkan populasi parasitoid telur wereng Anagrus nilaparvatae Zhu et al., 2013 Meningkatkan jumlah musuh alami Maisyaroh et al., 2012 Pacar air (Impatiens balsamina) 4. Putri malu (Mimosa pudica) Sawi langit (Vernonia cinereal) Semanggi (Marsilea crenata) Kayambang (Pistia startiotes) Salah satu serangga predator OPT tanaman padi adalah kumbang koksi. Kumbang koksi dari famili Coccinellidae biasa ditemukan hidup pada tanaman budidaya dan pada gulma yang menghasilkan nektar dan serbuk sari (Nur et al., 2014). Beberapa tanaman yang dapat menyokong keberadaan kumbang koksi dapat dilihat pada Tabel 3. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 33 Tabel 3. Tanaman yang mendukung keberadaan kumbang koksi Sumber nektar  Fungsi Sumber pollen - Synedrella nodiflora (L.) Gaertn - -  Capparidaceae Cleome rutidosperma DC - - - Malvaceae Sida rhombifolia L. - -  Mimosaceae Mimosa pudica L. -  - Papilionaceae Crotalaria striata DC  -  Scrophulariaceae Lindernia crustacea (L.) F.v.M - -  Verbenaceae Lantana camara L.  - - Famili Asteraceae Spesies Ageratum conyzoides L. Refugia - Sumber: Nur et al., 2014 Pemilihan jenis tanaman refugia untuk PHT pada suatu tanaman utama juga harus mempertimbangkan kompatibilitas interaksi biotik yang ingin dimanipulasi. Arachis pintoi (Krapov. & W.C. Greg.) dan Ageratum conyzoides (Linn.) diketahui tidak sesuai dikombinasi sebagai tanaman refugia, karena berpengaruh negatif terhadap tingkat parasitasi parasitoid pada hama tanaman belimbing Bactrocera carambolae Drew & Hancock (Meiadi et al., 2015). Mekanisme Tanaman Refugia dalam PHT Pemanfaatan tanaman refugia melalui rekayasa ekologi merupakan bagian dari teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) yang bertujuan pencapaian keseimbangan biologi hama dan musuh alami agar berada di bawah ambang ekonomi. Rekayasa ekologi sebagai bagian dari PHT dapat dilakukan melalui: rasionalisasi masukan pestisida dengan menghindari penggunaan insektisida pada awal pertanaman, manipulasi detritivora menggunakan pupuk organik, sistem integrasi palawija pada tanaman padi (SIPALAPA), rotasi palawija setelah tanaman padi (ROPALAPA), penggunaan tanaman perangkap, pengaturan waktu tanam, pemberian bahan organik untuk meningkatkan musuh alami, dan manipulasi vegetasi pada pematang dengan diversifikasi flora refugia (Baehaki et al., 2016). Aplikasi insektisida dalam konsep PHT baru dapat dilakukan apabila hasil dari beberapa Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 34 teknik pengendalian tidak efektif sehingga insektisida merupakan alternatif terakhir yang secara selektif dapat mengendalikan hama sasaran (Heviyanti dan Mulyani, 2016). Pada pertanaman polikultur padi-palawija/bunga terjadi dinamika dialektika (dua arah) berupa hubungan antara dua komoditas dengan musuh alami dan hama, sedangkan hubungan komoditas dengan hama dan musuh alami pada pertanaman monokultur mempunyai dinamika yang monoton (Gambar 3). Sistem polikultur dapat menurunkan potensi serangan hama pada tanaman melalui pembatasan fisis atau khemis bagi hama untuk menemukan inangnya serta meningkatkan kelulushidupan dan aktivitas musuh alami pada agroekosistem (Kurniawati dan Martono, 2015). Gambar 3. Dinamika-dialektika hubungan antara dua komoditas dengan musuh alami dan hama [Sumber: Baehaki, 2005]. Musuh alami OPT di pertanaman padi sawah dapat berupa predator, parasitoid, dan patogen. Selain konservasi musuh alami OPT, tanaman refugia juga dapat mendukung kehadiran serangga bermanfaat seperti polinator dan detritivor. Rangkaian efek dari kehadiran parasitoid dan polinator dapat dilihat pada Gambar 4. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 35 a). Parasitoid Populasi hama berkurang b). Polinator Meningkatnya hasil panen hingga dibawah ambang batas ekonomi Lebih banyak jumlah Meningkatnya laju polinasi pada tanaman pangan proporsi hama yang mati Meningkatnya kebugaran Meningkatnya kebugaran (fitness) individu parasitoid (fitness) individu parasitoid Parasitoid berkumpul pada Jumlah pollinator meningkat tanaman berbunga Ukuran koloni meningkat Meningkatnya kebugaran (fitness) larva maupun polinator dewasa Meningkatnya jumlah sarang penyimpan pollen Meningkatnya proporsi lebah dengan pollen pada corbiculae (keranjang pollen) Meningkatnya jumlah pollen/nectar yang dikonsumsi polinator Polinator berkumpul pada tanaman berbunga Keterangan: Tanda panah menunjukkan kecenderungan nilai efek serta tingkat kesulitan mencapainya Gambar 4. Hirarki efek yang mungkin terjadi pada a) parasitoid serangga hama dan b) polinator di agroekosistem dengan tanaman berbunga (Wratten et al.2012) Predator adalah binatang yang memburu, memakan, dan menghisap cairan tubuh hewan lain. Sebagian besar predator bersifat polifag, yaitu memangsa jenis binatang yang berbeda, lainnya bersifat kanibal. Predator yang dijumpai pada areal pertanaman padi sawah antara lain berasal dari famili Coccinelidae, Gerridae, Gryllidae, Coenagrionidae, Lycosidae, Staphylinidae, dan Tetragnathidae (Heviyanti dan Mulyani, 2016). Banyak jenis predator yang memangsa wereng, tetapi hanya beberapa yang mempunyai potensi menurunkan populasi wereng, antara lain Lycosa pseudoannulata (Ordo Araneida; Famili Lycosidae), Paederus sp. (Ordo Coleoptera; Famili Coccinellidae), Ophionea sp. (Ordo Coleoptera; Famili Carabidae), Coccinella sp. (Ordo Coleoptera; Famili Coccinellidae) dan Cyrtorhinus lividipennis (Ordo Hemiptera; Famili Miridae) (Santosa dan Sulistyo, 2007). Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 36 Penggerek batang padi (PBP) yang ditemui di Indonesia PBP kuning (Scirpophaga incertulas Walker), diikuti oleh PBP merah jambu (Sesamia inferens Walker), PBP bergaris (Chilo suppressalis Walker), PBP kepala hitam (Chilo polychrysus Meyrick), dan PBP putih (Scirpophaga innotata Walker). Spesies terakhir mempunyai distribusi yang terbatas pada daerah pasang surut dan tadah hujan (Wilyus et al. 2013). Parasitoid yang potensial untuk PBP putih adalah Tetrastichus sp., Telenomus sp., dan Trichogramma sp.. Telenomus sp. adalah spesis yang paling dominan pada pertanaman padi dataran rendah (<200 Mdpl), sementara Tetrastichus sp. mendominasi pada pertanaman padi di dataran tinggi (> 500 Mdpl) (Junaedi, Yunus, dan Hasriyanty 2016). Ghahari et al. (2008) mendata keanekaragaman fauna predator dan parasitoid sawah di Iran sebagai berikut: 25 spesies predator berasal dari 7 ordo dan 11 famili, dan 37 spesies parasitoid berasal dari 2 ordo dan 8 famili. Tauruslina et al., (2015) melakukan studi keanekaragaman musuh alami pada ekosistem padi sawah di daerah endemik dan non-endemik wereng batang cokelat Nilaparvata lugens di Sumatera Barat. Spesies predator dominan yang ditemukan di daerah endemik adalah Cytorhinus lividipennis (Hemiptera: Myridae), Verania discolor (Coleoptera: Coccinelidae), Araneus inustus (Araneae: Araneidae), sedangkan di daerah nonendemik adalah Oxypes javanus (Araneae: Oxyopidae), Ophionea nigrofasciata (Coleroptera: Carabidae). Anagrus sp. (Hymenoptera: Mymaridae) merupakan parasitoid telur wereng dan parasitoid yang dominan ditemukan, sedangkan Metarrhizium sp. (Monililiales: Moniliaceae) yang menginfeksi wereng merupakan patogen yang ditemukan di daerah endemik. PEMANFAATAN TANAMAN REFUGIA Modifikasi lahan pada sistem tanam polikultur padi - refugia dapat dilakukan melalui inter cropping, strip cropping, alley cropping, menanam tanaman pinggiran (hedgerows), menanam di tengah lahan pertanaman sebagai „pulau bunga‟ atau insectary plant, menanam beetle bank, menanam tumbuhan mulsa hidup atau tanaman penutup tanah (cover crop). Sistem tanam strip cropping, inter cropping (Gambar 5), dan alley cropping adalah menanam refugia di antara tanaman utama (sistem lorong atau baris) yang berfungsi sebagai tanaman perangkap, atau sebagai sumber pakan musuh alami (Kurniawati dan Martono, 2015). Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 37 Gambar 5. Contoh susunan petak percobaan refugia melalui inter cropping [Sumber: Anggara et al., 2015]. Tanaman penutup tanah dapat juga berfungsi sebagai mulsa, yaitu menurunkan suhu tanah, meningkatkan kelembaban relatif (relative humidity/ RH), dan membuat air lebih mudah tersedia (Kumar et al., 2013). Insectary plant adalah tumbuhan berbunga yang ditanam bersamaan dengan tanaman budidaya sebagai sumber pakan dan inang alternatif bagi serangga (Altieri & Nichols, 2004). Insectary plant analog dengan fungsi high diversity vegetation patches (Gambar 6). Gambar 6. High diversity vegetation patches (HDVP) pada sawah padi di Mindanao, Philippines [Sumber: Horgan et al., 2016]. Beetle banks (Gambar 7) adalah tumbuhan berbunga atau rumput yang ditanam memanjang pada lahan sebagai habitat musuh alami dan/atau serangga berguna “beneficial Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 38 insects” (Bentrup, 2008). Beetle banks juga dapat dibuat pada rumah kaca, rumah plastik, atau rumah kassa. Gambar 7. Beetle banks [Sumber: Bentrup, 2008]. Praktik polikultur melalui multicropping sawah surjan juga dibuktikan lebih menguntungkan dibandingkan monocropping sawah non-surjan melalui penelitian Henuhili dan Aminatun (2013). Ekosistem sawah surjan memiliki kelimpahan jenis musuh alami lebih baik daripada ekosistem sawah non-surjan. Perbandingan pengelolaan teknis sawah surjan dan nonsurjan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan cara pengelolaan ekosistem sawah monocropping dan multicropping Pengolahan tanah Pola tanam Pengendalian serangga hama Pengendalian gulma Pemupukan Sawah Surjan Pembuatan alur (bagian yang direndahkan) dan guludan (bagian yang ditinggikan) Multicropping; bagian alur ditanami padi, bagian guludan ditanami campuran palawija Guludan petak 1: kacang tanah, jagung, cabai, bayam, rumput kalanjana, singkong Guludan petak 2: kacang tanah, jagung, ubi jalar, kacang Panjang, cabai, dan ada pohon pisang dan pepaya Aplikasi insektisida (Matador) pada saat padi siap berbiji (sekitar umur 2 bulan) - Penyiangan I: 2 minggu setelah tanam dengan cara digaruk manual - Penyiangan II: saat tanaman padi umur 25-35 hari - Aplikasi herbisida (Rambason): saat tanaman padi umur 2 minggu - Pupuk dasar: TS dan urea sebelum tanam Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 Sawah Non-Surjan Tidak ada alur dan guludan, semua rata (lembaran) Monocropping Sama dengan sawah surjan Sama dengan sawah surjan Sama dengan sawah 39 - Pemupukan I: setelah penyiangan I (15 HST) dengan pupuk Ponska dan ZA - Pemupukan II: 30-35 HST dengan pupuk Ponska dan ZA [Sumber: Henuhili dan Aminatun, 2013]. surjan AREAL PERSAWAHAN REFUGIA DI INDONESIA Lahan persawahan dengan pertanaman refugia terdapat di Gampong Paya Demam Dua, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur (Gambar 8). Lahan tersebut dikelola oleh kelompok tani padi Beringin Jaya. Tanaman bunga ditanam di pematang sawah sepanjang tepi jalan MedanBanda Aceh (Hendri, 2017). Gambar 8. Persawahan padi-refugia di Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur [Sumber: Hendri, 2017]. Pagar jalan dengan tanaman bunga refugia juga terdapat pada areal persawahan di Belitang, Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan (Gambar 9). Tanaman bunga ditanam untuk mengusir hama, namun keindahan bunga-bunga yang mekar membingkai areal hijau persawahan juga menarik wisatawan untuk berdatangan (Salim, 2018). Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 40 Gambar 9. Persawahan padi-refugia di Belitang, Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan [Sumber: Salim, 2018]. KESIMPULAN Tanaman refugia dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan OPT pada tanaman padi. Refugia dapat menyediakan tempat berlindung secara spasial dan/atau temporal bagi musuh alami hama, seperti predator dan parasitoid, serta mendukung komponen interaksi biotik pada ekosistem, seperti polinator. Beberapa tanaman refugia yang dapat digunakan sebagai agen hayati tanaman padi antara lain: akar wangi, kangkung hutan, jagung, kacang panjang, dan wijen. Modifikasi lahan pada sistem tanam polikultur menggunakan tanaman refugia dapat dilakukan melalui inter cropping, strip cropping, alley cropping, tanaman pinggiran (hedgerows), insectary plant, beetle bank, tumbuhan mulsa hidup, dan tanaman penutup tanah (cover crop). Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 41 DAFTAR PUSTAKA Altieri, M.A. & C.I. Nichols. 2004. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystem. 2nd Edition. Haworth Press Inc., New York. 236 p. Anggara, A. Wahyana, D. Buchori, dan Pudjianto. 2015. “Kemapanan Parasitoid Telenomus Remus (Hymenoptera : Scelionidae) pada Agroekosistem Sederhana dan Kompleks.” Jurnal HPT 3 (3): 111–25. Azmi, S. Liliana, A.S. Leksono, B. Yanuwiadi, dan E. Arisoesilaningsih. 2014. “Diversitas Arthropoda Herbivor Pengunjung Padi Merah di Sawah Organik di Desa Sengguruh, Kepanjen.” J-Pal 5 (1): 57–64. Baehaki, S.E., E.H. Iswanto, dan D. Munawar. 2016. “Resistensi Wereng Cokelat terhadap Insektisida yang Beredar di Sentra Produksi Padi.” Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 35 (2): 99–108. Baehaki, S.E., N.B.E. Irianto, dan S.W. Widodo. 2016. “Rekayasa Ekologi dalam Perspektif Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu.” Iptek Tanaman Pangan 11 (1): 19–34. Bentrup, G. 2008. Conservation Buffers: Design Guidelines for Buffers, Corridors, and Greenways. Department of Agriculture, Forest Service, Southern Research Station. http://www.fwrc.msstate.edu/pubs/fieldborder.pdf. Ghahari, H., R. Hayat, M. Tabari, H. Ostovan, dan S. Imani. 2008. “A Contribution to The Predator and Parasitoid Fauna of Rice Pests in Iran, and a Discussion on The Biodiversity and IPM in Rice Fields.” Linzer Biologische Beitraege 40 (1): 735–64. Hendri, S. 2017. Berfungsi Mengurangi Hama Padi, Petani Diminta Tanam Bunga Refugia. http://aceh.tribunnews.com/2017/07/09/berfungsi-mengurangi-hama-padi-petani-dimintatanam-bunga-refugia. [Diakses Kamis, 1 Februari 2018]. Henuhili, V. dan T. Aminatun. 2013. “Konservasi Musuh Alami sebagai Pengendali Hayati Hama dengan Pengelolaan Ekosistem Sawah.” Jurnal Penelitian Saintek 18 (2): 29–40. Hermanto, A., G. Mudjiono, dan A. Afandhi. 2014. “Penerapan PHT Berbasis Rekayasa Ekologi terhadap Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens Stal (Homoptera: Delphacidae) dan Musuh Alami pada Pertanaman Padi.” Jurnal HPT 2 (2): 79–86. Heviyanti, M. dan C. Mulyani. 2016. “Keanekaragaman Predator Serangga Hama Pada Tanaman Padi Sawah (Oryzae sativa, L.) di Desa Paya Rahat Kecamatan Banda Mulia, Kabupaten Aceh Tamiang.” Agrosamudra 3 (2): 28–37. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 42 Horgan, F.G., A.F. Ramal, C.C. Bernal, J.M. Villegas, A.M. Stuart, dan M.L.P. Almazan. 2016. “Applying Ecological Engineering for Sustainable and Resilient Rice Production Systems.” Procedia Food Science 6 (2016). Elsevier Srl: 7–15. doi:10.1016/j.profoo.2016.02.002. Hyde, J., M.A. Martin, P.V. Preckel, C.L. Dobbins, dan C.R. Edwards. 2000. “The Economics of Within-Field Bt Corn Refuges.” AgBioForum 3 (1): 63–68. Junaedi, E., M. Yunus, dan Hasriyanty. 2016. “Jenis dan Tingkat Parasitasi Parasitoid Telur Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga innotata WALKER) di dua Ketinggian Tempat BerbedaA di Kabupaten Sigi.” Jurnal Agroekbis 4 (3): 280–87. Keppel, G., K.P. Van Niel, G.W. Wardell-Johnson, C.J. Yates, M.Byrne, L. Mucina, A.G.T. Schut, S.D. Hopper, dan S.E. Franklin. 2012. “Refugia: Identifying and understanding safe havens for biodiversity under climate change.” Global Ecology and Biogeography 21 (4): 393–404. doi:10.1111/j.1466-8238.2011.00686.x. Kumar, L., Mk. Yogi, dan J. Jagdish. 2013. “Habitat Manipulation for Biological Control of Insect Pests: A Review.” Research Journal of Agriculture and Forestry Sciences 1 (10): 27–31. http://www.isca.in/AGRI_FORESTRY/Archive/v1/i10/5.ISCA-RJAFS-2013- 064.pdf. Kurniawati, N. dan E. Martono. 2015. “Peran Tumbuhan Berbunga sebagai Media Konservasi Artropoda Musuh Alami.” Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 19 (2): 53–59. doi:10.22146/jpti.16615. Landis, D.A., S.D. Wratten, dan G.M. Gurr. 2000. “Habitat Management to Conserve Natural Enemies of Arthropod Pests in Agriculture.” Annu. Rev. Entomol. 45: 175–201. Maisyaroh, W., B. Yanuwiadi, A.S. Leksono, dan Zulfaidah PG. 2012. “Spatial and Temporal Distribution of Natural Enemies Visiting Refugia in A Paddy Field Area in Malang.” Agrivita Journal of Agricultural Science 34 (1): 67–74. doi:10.2298/IJGI1403293C. Meiadi, Muhamad Luthfie Tri, Toto Himawan, dan Sri Karindah. 2015. “Pengaruh Arachis pintoi dan Ageratum conyzoides terhadap Tingkat Parasitasi Parasitoid Lalat Buah pada Pertanaman Belimbing.” HPT 3 (1): 44–53. Muhibah, T.I. dan A.S. Leksono. 2015. “Ketertarikan Arthropoda terhadap Blok Refugia (Ageratum conyzoides L., Capsicum frutescens L., dan Tagetes erecta L.) dengan Aplikasi Pupuk Organik Cair dan Biopestisida di Perkebunan Apel Desa Poncokusumo.” Jurnal Biotropika 3 (3): 123–27. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 43 Nur, S., A. Ngatimin, N. Agus, dan A.P. Saranga. 2014. “The Potential of Flowering Weeds as Refugia for Predatory Insects at Bantimurung-Bulusaraung National Park , South Sulawesi.” Journal of Tropical Crop Science 1 (2): 25–29. Pujiastuti, Y. 2015. “Peran Tanaman Refugia Terhadap Kelimpahan Serangga Herbivora pada Tanaman Padi Pasang Surut.” In Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal, 1–9. Palembang. Salim, M.G. 2018. 10 Potret sawah dengan pagar bunga, cantik dan baik untuk usir hamahttps://www.brilio.net/wow/10-potret-sawah-dengan-pagar-bunga-cantik-dan-baikuntuk-usir-hama-1801031.html. [Diakses Kamis, 1 Februari 2018]. Santosa, S.J. dan J. Sulistyo. 2007. “Peranan Musuh Alami Hama Utama Padi pada Ekosistem Sawah.” Innofarm 6 (1): 1–10. doi:10.1073/pnas.0703993104. Sari, R.P. dan B. Yanuwiadi. 2014. “Efek Refugia pada Populasi Herbivora di Sawah Padi Merah Organik Desa Sengguruh, Kepanjen, Malang.” Jurnal Biotropika 2 (1): 14–19. Setyadin, Y., S.H. Abida, H. Azzamuddin, S.F. Rahmah, dan A.S. Leksono. 2017. “Efek Refugia Tanaman Jagung (Zea mays) dan Tanaman Kacang Panjang (Vigna cylindrica) pada Pola Kunjungan Serangga di Sawah Padi (Oryza sativa) Dusun Balong, Karanglo, Malang.” Biotropika 5 (2): 54–58. Tauruslina, A.E., T. Yaherwandi, dan H. Hamid. 2015. “Analisis Keanekaragaman Hayati Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah di Daerah Endemik dan Non Endemik Wereng Batang Coklat Nilaparvata lugens di Sumatera Barat.” In Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon., 1:581–89. doi:10.13057/psnmbi/m010334. Wilyus, F.N., A. Johari, S. Herlinda, C. Irsan, dan Y. Pujiastuti. 2013. “Keanekaragaman, Dominasi, Persebaran Spesies Penggerek Batang Padi dan Serangannya pada Berbagai Tipologi Lahan di Provinsi Jambi.” J. HPT Tropika 13 (1): 87–95. Wratten, S.D., M. Gillespie, A. Decourtye, E. Mader, dan N. Desneux. 2012. “Pollinator Habitat Enhancement: Benefits to Other Ecosystem Services.” Agriculture, Ecosystems and Environment 159. Elsevier B.V.: 112–22. doi:10.1016/j.agee.2012.06.020. Yuantari, M.G.C., B. Widianarko, dan H.R. Sunoko. 2015. “Analisis Risiko Pajanan Pestisida terhadap Kesehatan Petani.” Kemas 10 (2): 239–45. doi:ISSN 1858-1196. Zaenun, S., T. Ekowati, dan E.D. Purbajanti. 2017. “Daya Adaptasi Perubahan Iklim Terhadap Pedapatan Petani Padi di Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal.” Agromedia 35 (1): 58–64. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 44 Zhu, Pingyang, Geoff M. Gurr, Zhongxian Lu, Kongluen Heong, Guihua Chen, Xusong Zheng, Hongxing Xu, dan Yajun Yang. 2013. “Laboratory Screening Supports The Selection of Sesame (Sesamum Indicum) to Enhance Anagrus spp. Parasitoids (Hymenoptera: Mymaridae) Of Rice Planthoppers.” Biological Control 64 (1). Elsevier Inc.: 83–89. doi:10.1016/j.biocontrol.2012.09.014. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 45 RESPON PESERTA TEMU LAPANG TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA SAPI DI KABUPATEN TANGERANG Rika Jayanti Malik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jln. Ciptayasa KM. 01, Ciruas, Serang, Banten 42182 Telp. (0254) 281055; Fax (0254) 282507 email : [email protected], [email protected] ABSTRAK Temu lapang adalah kegiatan pertemuan antara peneliti, penyuluh dan para petani untuk saling tukar menukar teknologi/informasi sehingga didapatkan teknologi yang akan dikembangkan sesuai potensi wilayah. BPTP Banten berupaya melaksanakan percepatan diseminasi teknologi melalui kegiatan temu lapang. Kegiatan temu lapang dilaksanakan di kelompok Bina Karya pada 18 November 2016. Kegiatan bertujuan untuk mengetahui respon peserta terhadap teknologi dan pelayanan dalam temu lapang. Metode pengambilan data menggunakan pendekatan personal dengan teknik survey yaitu dengan mengisi kuesioner yang berisikan tentang penilaian terhadap teknologi dan pelayanan. skor nilai yang diberikan yaitu nilai 0 - ≤ 1 (kurang puas), nilai > 1 - ≤ 2 (puas), nilai > 2 - ≤ 3 (sangat puas). Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara diskriptif. Hasil kegiatan menunjukkan peserta sangat puas terhadap teknologi perkandangan, pakan, reproduksi, pencegahan dan pengendalian penyakit dan pengolahan limbah yang telah diterapkan kelompok Bina Karya. Peserta juga sangat puas terhadap pelayanan BPTP Banten dalam pelaksanaan temu lapang. PENDAHULUAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten melaksanakan pendampingan program pengembangan kawasan sapi di Kabupaten Tangerang. Lokasi pendampingan sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 830 Tahun 2016 tentang Lokasi Pengembangan Kawasan Pertanian Nasional. Salah satu dasar pertimbangan penentuan lokasi pendampingan yaitu populasi sapi tertinggi di Provinsi Banten yaitu berada di Kabupaten Tangerang. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 46 Berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Banten (2014), populasi sapi potong 54.898 ekor dan 3 wilayah dengan sebaran tertinggi berada di Kabupaten Tangerang 40.534 ekor (73,8%), Serang 6.106 ekor (11,1%), dan Lebak 4.238 (7,7%). Dominasi populasi sapi potong disebabkan adanya 7 feedloter (perusahaan pelaksana penggemukan sapi potong), dan dukungan Pemerintah Kabupaten Tangerang yang mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang tata ruang wilayah untuk pengembangan sektor peternakan tahun 2011-2031 di 13 kecamatan. Kecamatan Tigaraksa merupakan salah satu wilayah yang ditetapkan sebagi lokasi pengembangan kawasan sapi potong. BPTP Banten bersama Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang melaksanakan pendampingan di Kelompok Bina Karya. BPTP Banten melakukan pendampingan teknologi budidaya ternak dan Dinas secara teknis membatu menyediakan sarana dan prasana pemeliharaan sapi potong. Tujuan pendampingan yaitu membentuk model kelompok peternak yang menerapkan teknologi dan dapat dijadikan percontohan bagi peternak maupun kelompok lainnya. Kerjasama kegiatan pendampingan BPTP Banten dan Dinas meliputi: 1) peningkatan populasi sapi melalui bantuan ternak, instensif menerapkan inseminasi buatan, peningkatan pengetahuan peternak tentang teknologi reproduksi dan manajemen perkawinan, 2) peningkatan bobot badan harian sapi potong melalui pemberian pakan tambahan menggunakan bahan lokal, dan adanya rumah pakan, 3) display/kebun hijauan pakan ternak yang menampilkan beberapa jenis rumput unggul dan tersedianya mesin pencacah rumput, dan 4) pemeliharaan sapi potong ramah lingkungan melalui pengolahan limbah (pembuatan pupuk organik) dan adanya instalasi biogas kapasitas 4 m 3. BPTP Banten berupaya melaksanakan percepatan diseminasi teknologi budidaya sapi potong melalui kegiatan temu lapang. Sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35 Tahun 2009 bahwa temu lapang adalah kegiatan pertemuan antara peneliti, penyuluh dan para petani untuk saling tukar menukar teknologi/informasi sehingga didapatkan teknologi yang akan dikembangkan sesuai potensi wilayah. Peserta temu lapang berasal dari beragam pihak yang memiliki kepentingan di bidang peternakan, sehingga dapat diperoleh data dan informasi tentang respon peserta temu lapang. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui respon peserta temu lapang terhadap teknologi budidaya di Kabupaten Tangerang. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 47 METODOLOGI Lokasi temu lapang di Kelompok Bina Karya, Desa Cileles, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Pelaksanaan temu lapang pada 18 November 2016. Jumlah peserta 80 orang terdiri atas anggota kelompok Bina Karya dan perwakilan kelompok peternak se Kecamatan Tigaraksa, peneliti, penyuluh, swasta dan pemangku kebijakan yang diwakili oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang. Teknologi budidaya sapi potong yang ditampilkan di Kelompok Bina Karya meliputi sistem perkandangan, manajemen pakan, manajamen reproduksi dan sistem perkawinan, pelayanan pencegahan dan pengobatan penyakit dan pengolahan limbah. Harapannya peserta dapat termotivasi menerapkan sebagian maupun keseluruhan teknologi yang diterimanya. Metode pegambilan data menggunakan pendekatan individu (survei) dengan teknik mengisi kuesioner (memberikan penilaian terhadap komponen teknologi). Adapun komponen teknologi yang dinilai meliputi: 1) perkandangan, 2) pakan: display budidaya rumput gajah, pembuatan pakan olahan (fermentasi/silase), pembuatan comin block, pemberian pakan tambahan, 3) reproduksi: fasilitas kandang jepit, pelayanan IB, dan pelayanan pengobatan gangguan reproduksi, 4) pelayanan pencegahan dan pengobatan penyakit, dan 5) pengolahan limbah (pembuatan pupuk organik dan biogas). Selain penilaian komponen teknologi, peserta juga secara aktif dilibatkan dalam penilaian pelaksanaan temu lapang dengan kriteria penilaian meliputi fasilitas, keramahan dan kesopanan panitia, kesesuaian dan kejelasan materi. Adapun skor nilai yang diberikan yaitu nilai 0 - ≤ 1 (kurang puas), nilai > 1 - ≤ 2 (puas), nilai > 2 - ≤ 3 (sangat puas). Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Kecamatan Tigaraksa merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang dengan luas 5.279 ha. Wilayahnya termasuk kategori dataran rendah dengan ketinggian 44 m dpl. Batas wilayah dan beberapa desa lingkup Kecamatan Tigaraksa ditampilkan pada Gambar 1. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 48 Gambar 1. Peta Kecamatan Tigaraksa Cileles merupakan salah satu desa di Kecamatan Tigaraksa dengan luas 578,32 ha dan jumlah penduduk Desa Cileles 7.117 orang. Jarak Desa Cileles dengan ibu kota kecamatan relatif dekat yaitu 7 km, sedangkan jarak dengan ibu kota kabupaten 9 km dengan waktu tempuh 30 menit. Adapun jarak dengan ibu kota provinsi mencapai 80 km dengan waktu tempuh 2,5 jam. Akses jalan menuju Desa Cileles baik dari ibu kota provinsi maupun kabupaten kategori mudah (secara fisik melalui jalan raya (aspal) dan jalan desa telah menggunakan betonisasi). Status lahan sawah, kebun, dan lahan tidur lainnya di Desa Cileles didominasi milik pengembang. Masyarakat dapat memanfaatkan lahan tersebut melalui sistem perizinan yang disetujui Kepala Desa. Adapun sawah status milik petani rata-rata sekitar 0,25 ha. Pemanfaatan lahan milik pengembang dioptimalkan untuk tanaman pangan dan kebun hijauan pakan ternak sekaligus lokasi penggembalaan ternak. Karekteristik Kelompok Salah satu Kelompok Ternak yang telah terdaftar yaitu kelompok Bina Karya. Kelompok yang terbentuk atas satu visi yaitu pengembangan sapi potong. Kelompok Bina Karya terbentuk pada tahun 2010 dengan jumlah anggota 20 orang. Struktur kepengurusan terdiri atas ketua Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 49 (Ahmad), sekretaris (Saepudin) dan bendahara (Suryadi). Support pemerintah berawal dari tahun 2011 dengan adanya bantuan sapi potong pejantan sebanyak 4 ekor. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten mulai mendapingi kelompok Bina Karya pada tahun 2013. Di tahun yang sama kelompok Bina Karya mendapatkan bantuan ternak sapi potong 18 ekor (17 ekor betina dan 1 pejantan). Pembinaan terus berlangsung sampai dengan tahun 2016 total sapi yang dipelihara kelompok mencapai 53 ekor. Awal pembentukan kelompok, fokus usaha pada pola pembibitan. Mengingat hasil yang dirasakan anggota membutuhkan waktu yang lama, maka sistem usaha kombinasi dengan pola penggemukan (3-4 bulan). Kurun waktu 1 tahun, kelompok mampu menjual sapi potong pejantan kisaran bobot 200-250 kg dengan harga Rp 15.000.000,- s/d Rp 18.000.000,Karakteristik anggota kelompok Bina Karya meliputi umur, pendidikan, kepemilikan ternak dan luas lahan hijauan pakan ternak. Mayoritas anggota kelompok Bina Karya di dominasi oleh umur 38-54 tahun. Pendidikan anggota kelompok Bina Karya didominasi oleh tamat SD. Luas lahan HPT yang dikuasai peternak 300 – 6.800 m2. Kategori kepemilikan ternak sapi potong rendah diartikan rata-rata kepemilikan 2-5 ekor. Mata pencaharian anggota kelompok adalah petani. Karakteristik tersebut menggambarkan bahwa anggota kelompok memiliki kemampuan membaca dan menulis. Sehingga pendampingan dapat menggunakan metode pertemuan /pembelajaran dengan media cetak, slide show maupun audio visual. Pemilihan metode dan teknik serta media yang tepat tentunya dapat membantu percepatan diseminasi teknologi. Percepatan diseminasi dengan memperhatikan karakteristik petani diharapkan mampu mempercepat proses adopsi teknologi. Tahapan adopsi dimulai dari proses kesadaran hingga penerapan teknologi. Adapun untuk menggugah minat banyak metode yang dapat dilakukan, salah satunya yaitu melalui temu lapang teknologi. Adapun indikator keberhasilan temu lapang dapat dilihat dari respon peserta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor internal (motivasi, pengalaman berusaha tani dan luas lahan garapan) berkorelasi atau berhubungan nyata dengan respon petani (Rukka, dkk. 2006). Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 50 Respon Peserta Temu Lapang Temu dilaksanakan pada 18 November 2016 di lokasi kelompok Bina Karya. Peserta berjumlah 80 orang terdiri atas anggota kelompok Bina Karya, peternak perwakilan kelompok se Kecamatan Tigaraksa, peneliti, penyuluh dan pemangku kebijakan dari dinas. Sebagai narasumber yaitu Kepala BPTP Bantan, Kepala Bidang Produksi Peternakan Kabupaten Tangerang dan Manajer PT. Lembu Setia Abadi Jaya. Teknik diseminasi yang digunakan pada temu lapang yaitu ceramah, diskusi dan kunjungan lapang. Ceramah dan diskusi antar peserta dan narasumber. Kombinasi teknik ini diharapkan mampu membuka wawasan sekaligus meningkatkan pengetahuan peternak. Hasil penelitian Mardiyanto, dkk (2016) melaporkan bahwa hasil uji Wilcoxon menunjukkan pelatihan secara signifikan meningkatkan pengetahuan peserta sekaligus meggambaran bahwa ceramah pada pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan petani. Indikator keberhasilan temu lapang terlihat dari respon tingkat kepuasan pesertanya. Menurut Hanafi, dkk (2011) bahwa respon adalah tanggapan seseorang berupa jawaban (sikap, tindakan) terhadap suatu rangsangan yang diterimanya. Rangsangan berasal dari luar diri seseorang tersebut. Respon peserta temu lapang terhadap teknologi ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Respon peserta temu lapang terhadap teknologi yang ditampilkan pada temu lapang. Rata-rata No. Teknologi yang Dinilai Kategori Nilai 1. Perkandangan 2,7 Sangat Puas 2. Pakan a. Display/percontohan budidaya rumput gajah 2,4 Sangat Puas b. Pembuatan pakan olahan (fermentasi/silase) 2 Puas c. Pembuatan comin block 1,9 Puas d. Pemberian pakan tambahan (penggemukan) 2,2 Sangat Puas 3. Reproduksi a. Fasilitas Kandang Jepit 2,4 Sangat Puas 4. 5. b. Pelayanan IB 2,6 Sangat Puas c. Pelayanan pengobatan gangguan reproduksi Pelayanan pencegahan dan pengobatan penyakit Pengolahan limbah a. Pupuk Organik 1,9 2,1 Puas Sangat Puas 2,2 Sangat Puas 2,1 Sangat Puas b. Biogas Total rata-rata nilai 2,3 Sangat Puas Keterangan: Nilai 0 - ≤ 1 (kurang puas), nilai > 1 - ≤ 2 (puas), nilai > 2 - ≤ 3 (sangat puas) Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 51 Respon peserta temu lapang terhadap teknologi budidaya sapi menunjukkan kategori sangat puas. Informasi ini menggambarkan bahwa kelompok Bina Karya dapat dijadikan kelompok model bagi peternak sapi disekitarnya. Kelompok model merupakan kelompok yang mampu menjadi fasilitas percontohan bagi peternak baik anggota maupun bukan dan kelompok lain. Harapannya kelompok model dapat dijadikan sarana pembelajaran budidaya sapi yang baik dan benar. Peserta temu lapang sangat puas terhadap perkandangan, karena sistem perkandangan yang digunakan kelompok Bina Karya merupakan kandang koloni yang dikelola oleh kelompok. Kandang dengan ukuran 6 m x 12 m berbahan kayu dengan lantai semen dan beratap menunjukkan anggota kelompok berupaya memperhatikan kesejahteraan ternak. Kondisi sapi dalam kandang tidak berdesakan dan dikelompokkkan berdasarkan statusnya. Peserta temu lapang sangat puas terhadap teknologi pakan, karena secara langsung menilai tentang pertanaman rumput gajah yang berada di kebun kelompok. Selain itu juga peserta mengamati tentang pembuatan pakan olahan (silase), comin block dan pakan tambahan penggemukan. Mayoritas peserta temu lapang belum secara intensif menerapkan teknolofi pakan, sehingga temu lapang diharapkan dapat menjadi sarana penggugah motivasi/minat. Penilaian peserta terhadap teknologi reproduksi menunjukkan sangat puas karena fasilitias yang tersedia di kelompok Bina Karya merupakan sarana penting dalam pelayanan inseminasi buatan (IB). Fasilitas yang ditampilkan berupa kanang jepit dan keberhasilan IB yang telah dilakukan petugas. Kabupaten Tangerang merupakan wilayah adopsi teknologi IB, sehingga peternak sudah merasa butuh terhadap pelayanan IB. Teknologi pengolahan limbah juga mendapatkan nilai yang sangat memuaskan karena kelompok Bina Karya mulai menerapkan konsep pemeliharaan ternak yang ramah lingkungan. Sarana yang ditampilkan yaitu rumah kompos dengan ukuran 9,5 m x 5 m dan biogas dengan kapasitas 4 m3. Produk yang ditampilkan yaitu pupuk organik yang telah dikemas. Meskipun produk pupuk organik atas dasar pesanan, akan tetapi setiap produksi kelompok Bina Karya mampu menghasilkan 10 ton. Respon peserta terhadap teknologi merupakan indikator keberhasilan pelaksanaan temu lapang sekaligus menjadi dasar pertimbangan dalam percepatan diseminasi teknolgi. Sesuai penelitian Hanafiah, dkk (2002) yang meneliti tentang respon peserta terhadap teknologi Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 52 pencegahan dan pengendalian parasite. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa responden memberikan tanggapan sangat memuaskan 17,65% dan memuaskan 64,7% serta cukup memuaskan 17,65% pada manfaat obat cacing pada ternak domba. Hasil ini menggambarkan bahwa ternak yang telah terserang parasite dapat diobati secara efektif menggunakan obat. Dalam penelitiannya juga disampaikan bahwa melalui pertemuan responden mengerti, mempunyai motivasi dan telah berupaya mengbati ternak yang terjangkit penyakit cacing. Selain respon peserta terhadap teknologi, perlu juga digali informasi tentang respon peserta terhadap pelaksanaan temu lapang. Peserta diajak kooperatif dalam menilai fasilitas, perilaku pelaksana, materi dan narasumber dalam temu lapang. Respon peserta terhadap pelaksnaan temu lapang ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Respon peserta temu lapang terhadap pelaksanaan temu lapang No. Nilai Pelayanan Rata-rata nilai Kategori 1. Fasilitas temu lapang 2,7 Sangat Puas 2. Keramahan panitia 2,9 Sangat Puas 3. Kesopanan panitia 2,7 Sangat Puas 4. Kesesuaian materi 2,3 Sangat Puas 5. Penjelasan materi 2,6 Sangat Puas Total rata-rata nilai 2,7 Sangat Puas Keterangan: Nilai 0 - ≤ 1 (kurang puas), nilai > 1 - ≤ 2 (puas), nilai > 2 - ≤ 3 (sangat puas) Tabel 2 menggambarkan bahwa tim penyelenggara temu lapang mampu memberikan pelayanan prima. Sebagaimana prinsip BPTP Banten yaitu terdepan dalam pelayanan dan mengutamakan kualitas melalui sikap senyum, sapa dan salam. Sikap ini sangat dibutuhkan agar peserta merasakan suasana yang nyaman dalam menentukan penilaian terhadap pelaksanaan temu lapang. KESIMPULAN Temu lapang merupakan salah satu metode diseminasi yang efektif untuk menggugah minat peternak dalam menerapkan teknologi. Respon peserta temu lapang sagat puas terhadap teknologi perkandangan, pakan, reproduksi, pencegahan dan pengendalian penyakit dan pengolahan limbah yang telah diterapkan kelompok Bina Karya. Respon peserta terhadap pelaksanaan temu lapang menujukkan kategori sangat puas, sehingga pelayanan BPTP Banten dalam temu lapang dirasakan efektif. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 53 DAFTAR PUSTAKA Hanafi Hano, T. Kurnianita, D. H. Susanti. 2011. Pengkajian Respon Peternak Terhadap Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hanafiah Ahmad, Beriajaya, Dwi Yulistiani. 2002. Respon Peternak Domba Terhadap Teknologi Penggunaan Obat Cacing: Studi Kasus Di Desa Tegalsari, Kabupaten Purwakarta. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Mardiyanto Tri Cahyo dan Tri Reni Prastuti. 2016. Efektivitas Pelatihan Teknologi Budidaya Bawang Putih Varietas Lokal Ramah Lingkungan dengan Metode Ceramah di Kabupaten Karanganyar. Jurnal Agraris Vol. 2 No. 1 Januari 2016. Rukka Hermaya, Buhaerah, Sunaryo. 2006. Hubungan Karakteristik Petani dengan Respon Petani Terhadap Penggunaan Pupuk Organik Pada Padi Sawah (Oryza sativa L.). Jurnal Agrisistem Vol. 2 No. 1 Juni 2006. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 54 KARAKTERISTIK DAN PENILAIAN PENGUNJUNG TERHADAP PELAYANAN STAND BPTP BANTEN DALAM ACARA PAMERAN BANTEN EXPO Dewi Widiyastuti dan Septi Kusumawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jln. Ciptayasa KM. 01, Ciruas, Serang, Banten 42182 Telp. (0254) 281055; Fax (0254) 282507 email : [email protected], [email protected] ABSTRAK Banten Expo merupakan acara yang rutin digelar oleh Pemerintah Provinsi Banten untuk memperingati ulang tahun Provinsi Banten. Salah satu kegiatan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten dalam menyebarluaskan hasil penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian berupa aktivitas yang memperkenalkan hasil produksi atau memperlihatkan hasil-hasil kajian BPTP Banten. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan penilaian pengunjung terhadap pelayanan pada Stand pameran Banten Expo. Pameran dilaksanakan di Hall 9-10 Gedung Indonesia Conventiom Exhibition (ICE) Tangerang Selatan selama tiga hari mulai tanggal 16 sampai dengan 18 November 2017. Responden pengkajian berasal dari pengunjung yang mengunjungi stand BPTP Banten sebanyak 35 orang. Metode pelaksanaan dilakukan melalui wawancara perorangan menggunakan kuisioner sebagai panduan wawancara dengan jumlah 3 soal yang memuat pertanyaan tentang cara penyampaian dan kompetensi petugas, kebersihan dan kerapihan stand pameran dan tampilan/tata letak stand pameran yang dikategorikan menjadi 5 kategori yaitu sangat tidak puas, tidak puas, kurang puas, puas dan sangat puas. Sedangkan Penilaian pengunjung terhadap pelayanan Banten Expo berupa cara penyampaian dan kompetensi info guide, kebersihan dan kerapihan stand pameran dan tampilan atau tata letak stand pameran BPTP Banten pada kegiatan pameran Banten Expo 2017. Karakteristik pengunjung pameran dalam kajian ini mencakup umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan profesi pengunjung pameran. Data dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Hasil menunjukkan bahwa kerakteristik pengunjung rata-rata berumur 39 tahun dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 19 orang dan perempuan sebanyak 16 orang. Tingkat Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 55 pendidikan pengunjung sarjana sebanyak 25 orang yang berprofesi sebagai PNS dan karyawan masing-masing 16 dan 13 orang. Sedangkan Penilaian pengunjung terhadap cara penyampaian dan kompetensi info guide, kebersihan dan kerapihan stand pameran serta tampilan/tata letak stand pameran BPTP Banten pada kegiatan pameran Banten Expo 2017 memberikan nilai puas masing-masing sebesar 54,29%, 60% dan 51,43% dan yang memberikan nilai sangat puas masing-masing sebesar 45,71%, 40% dan 37,14%. Kata kunci: Karakteristik, pameran, pengunjung, pelayanan PENDAHULUAN Banten Expo merupakan acara yang rutin digelar oleh Pemerintah Provinsi Banten untuk memperingati ulang tahun Provinsi Banten. Setiap tahun Banten Expo menampilkan stand Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Provinsi Banten, pelaku bisnis barang dan jasa, serta program pelayanan publik dan binaan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten berperan serta dalam kegiatan pameran tersebut. Salah satu kegiatan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten harus dapat menyebarluaskan hasil penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian. Pameran yang dilakukan oleh BPTP Banten berupa aktivitas yang memperkenalkan hasil produksi atau memperlihatkan hasil-hasil kajian BPTP Banten. Kegiatan pameran merupakan salah satu metode penyuluhan melalui info guide kepada pengunjung yang bertujuan untuk memberikan pelayanan dan informasi teknologi pertanian yang dibutuhkan pengunjung (Badan Litbang, 2017). Pameran adalah pertunjukan (hasil karya seni, barang hasil produksi, dan sebagainya) (KBBI, 2017). Pada pameran diperagakan teknologi yang dibutuhkan pengguna disertai penjelasannya oleh pemandu. Melalui pameran, akan terjadi proses interaktif antara pengguna teknologi dan pemandu pameran sehingga pengguna dapat mengenal dan memahami teknologi yang diperagakan dan pemandu akan memperoleh umpan balik yang bermanfaat bagi pengembangan inovasi ke depan (Junaidi, 2017). Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 56 Salah satu upaya peningkatan kualitas stand pameran Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten dilakukan penilaian pengunjung. Penilaian pengunjung dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur kualitas stand pameran. Menurut (Yahya dan Lubis, 2017) Pengunjung merupakan seorang yang memakai atau menikmati barang ataupun jasa yang diinginkannya. Karakterisitik pengunjung akan berbeda satu dengan yang lain dan dapat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan bagi para pengunjung. Pengunjung pameran merupakan seseorang yang mengunjungi stand, melihat dan bertanya tentang informasi teknologi yang dipertunjukan pada stan yang bertujuan untuk menggali sedalam-dalamnya informasi dalam menerapkan pengembangan teknologi di daerahnya. Semakin banyak instansi yang dilibatkan maka semakin banyak stan pameran yang memberikan informasi teknologi melalui pengunjung/masyarakat dalam memperluas penyebaran informasi teknologi untuk mencapai program pembangunan di bidang pertanian. METODE Pengkajian dilaksanakan di Hall 9-10 Gedung Indonesia Conventiom Exhibition (ICE) Tangerang Selatan selama tiga hari mulai tanggal 16 sampai dengan 18 November 2017. Responden pengkajian berasal dari pengunjung yang mengunjungi stand BPTP Banten sebanyak 35 orang. Metode pelaksanaan dilakukan melalui wawancara perorangan menggunakan kuisioner sebagai panduan wawancara dengan jumlah 3 soal yang memuat pertanyaan tentang cara penyampaian dan kompetensi petugas, kebersihan dan kerapihan stand pameran dan tampilan/tata letak stand pameran yang dikategorikan menjadi 5 kategori yaitu sangat tidak puas, tidak puas, kurang puas, puas dan sangat puas. Sedangkan Penilaian pengunjung terhadap pelayanan Banten Expo berupa cara penyampaian dan kompetensi info guide, kebersihan dan kerapihan stand pameran dan tampilan atau tata letak. Karakteristik pengunjung pameran dalam kajian ini mencakup umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan profesi pengunjung pameran. Data dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. karakteristik pengunjung dapat menggambarkan kondisi pengunjung secara umum. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 57 HASIL DAN PEMBAHASAN I. Karakteristik Pengunjung Umur pengunjung pameran berkisar antara 19 sampai dengan 58 tahun dan terbanyak umur pengunjung antara 39 sampai dengan 48 tahun. Umur pengunjung yang datang di Pameran Banten Expo disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Umur Pengunjung Pameran (tahun) Jenis kelamin pengunjung laki-laki sebanyak 19 orang dan perempuan sebanyak 16 orang. Jenis kelamin pengunjung yang datang ke Pameran Banten Expo dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Jenis Kelamin Pengunjung Pameran Tingkat pendidikan pengunjung mulai dari SMU/sederajad sampai dengan sarjana. Ratarata tingkat pendidikan pengunjung adalah sarjana sebanyak 25 orang, SMU/sederajad 8 orang dan diploma hanya 2 orang. Pengunjung yang datang memiliki pendidikan yang tinggi karena lokasi Pameran Banten Expo berada di tengah kota yaitu Tangerang Selatan dapat dilihat pada gambar 3. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 58 Gambar 3. Tingkat Pendidikan Pengunjung Pameran Profesi pengunjung pameran beragam antara lain PNS, karyawan, pengusaha dan lain-lain. Profesi pengunjung sangat didominasi oleh PNS dan karyawan masing-masing 16 orang dan 13 orang, sedangkan pengusaha sebanyak 5 orang dan lain-lain hanya1 orang. Dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Profesi Pengunjung Pameran II. Penilaian Pengunjung Terhadap Pelayanan Stand Pameran BPTP Banten Hasil penilaian pengunjung dari segi cara penyampaian dan kompetensi petugas sebagai info guide pada pameran Banten Expo 2017, dapat dilihat pada tabel 1. Persentase penilaian menyatakan bahwa pengunjung puas dan sangat puas 54,29% dan 45,71%. Begitu juga dengan kebersihan dan kerapihan stand pameran pengunjung menyatakan puas dan sangat puas dengan persentase masing-masing 60% dan 40%. Sedangkan pada tampilan/tataletak stand pameran yang menyatakan puas dan sangat puas mendapatkan persentase sebesar 51,43 dan 37,14% dan yang menyatakan kurang puas sebesar 8,57% disebabkan kurang puas ukuran stand yang kurang luas dan banyaknya pengunjung yang datang. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 59 Tabel 1. Penilaian Pengunjung Terhadap Pelayanan Stand BPTP Banten No. Partanyaan Sangat tidak puas Tidak puas Kurang puas Puas Sangat puas 1. Cara penyampaian dan kompetensi info guide 0 0 0 54,29 45,71 2. Kebersihan dan kerapihan stand pameran 0 0 0 60,00 40,00 3. Tampilan/tata letak stand pameran 0 0 8,57 51,43 37,14 KESIMPULAN Kerakteristik pengunjung rata-rata berumur 39 tahun dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 19 orang dan perempuan sebanyak 16 orang. Tingkat pendidikan pengunjung sarjana sebanyak 25 orang, yang berprofesi sebagai PNS dan karyawan masing-masing sebanyak 16 dan 13 orang. Penilaian pengunjung terhadap cara penyampaian dan kompetensi info guide, kebersihan dan kerapihan stand pameran serta tampilan/tata letak stand pameran BPTP Banten pada kegiatan pameran Banten Expo 2017 memberikan nilai puas masing-masing sebesar 54,29%, 60% dan 51,43% dan yang memberikan nilai sangat puas masing-masing sebesar 45,71%, 40% dan 37,14% . DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2017. Unit Kerja. http://www.litbang.pertanian.go.id/unker/. [Diakses tanggal 23 Oktober 2017]. Junaidi, H. 2017. Persepsi Pengunjung Pameran Terhadao Materi Teknologi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara. Jurnal Perpustakaan Pertanian Volume 26 (1). http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jpp/article/view/7710/6694. [Diakses tanggal 30 Oktober 2017]. Kamus besar Bahasa Indonesia. Pengertian pameran. 22 November 2017. https://kbbi.web.id/ pamer. [Diakses tanggal 20 Oktober 2017]. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 60 Yahya, A.O., Lubis, D.P. 2017. Efektivitas Pameran Sebagai Media Komunikasi Pemasaran Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kota Bogor. Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (JSKPM) Volume 1 (2): 183-194. https://repository.unri.ac.id /xmlui/bitstream/handle/123456789/5056/UNTUK%20JURNAL.pdf?sequence=1. [Diakses tanggal 30 Oktober 2017]. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 61 DAMPAK KEBERADAAN PERPUSTAKAAN DIGITAL TERHADAP PERKEMBANGAN PERPUSTAKAAN KHUSUS BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BANTEN Sri Maryani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten Jln. Ciptayasa KM. 01, Ciruas, Serang, Banten 42182 Telp. (0254) 281055; Fax (0254) 282507 email : [email protected], [email protected] RINGKASAN Studi terhadap pengaruh keberadaan perpustakaan digital terhadap perkembangan perpustakaan “khusus” telah dilakukan di perpustakaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten. Studi dilakukan dengan cara mengamati buku tamu elektonik, data sirkulasi ragam pustaka dan pemanfaatan jurnal online seperti science direct yang dilanggan oleh Pustaka Bogor. Pengguna perpustakaan dapat dengan mudah memperoleh ragam informasi bahan pustaka baik dari dalam maupun luar negeri. Science direct dan repository bisa dengan mudah diakses dari masing masing meja kerja. Data jumlah pengujung diperoleh dari buku tamu elektronik, data peminjaman bahan pustaka diperoleh dari buku peminjaman, sedangkan pemanfaatan Science direct dan repository diperoleh dari komputer perpustakaan. Hasil studi menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah pengunjung perpustakaan dari tahun 2013 – 2014 sebesar 29,84%, sedangkan data peminjaman bahan pustaka tercetak seperti jurnal ilmiah, majalah ilmiah penurunannya tidak nyata yaitu 7,16% pada tahun 2014 dan tahun 2015 sebesar 6,42%. Keberadaan perpustakaan digital dan internet hanya berpengaruh terhadap jumlah pengunjung perpustakaan, tetapi kurang berpengaruh terhadap aktivitas peminjaman bahan pustaka tercetak. Kata Kunci : Perpustakaan, digital, khusus, pengunjung Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 62 PENDAHULUAN Perpustakaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten adalah perpustakaan yang berada di lingkup institusi penelitian, termasuk ke dalam kategori perpustakaan “khusus” mempunyai tugas untuk menyediakan dan memberikan layanan informasi kepada penggunanya, terutama bagi peneliti dan penyuluh di lingkungan institusinya serta pemangku kepentingan di bidang subyek yang sama. Sebagai perpustakaan khusus, perpustakaan BPTP Banten sudah menerapkan sistem pelayanan terbuka, artinya perpustakaan memberi kebebasan kepada pengunjungnya untuk dapat memilih sendiri koleksi yang diinginkannya dari rak. Untuk mencatat jumlah pengunjung yang masuk ke perpustakaan disediakan buku tamu elektronis. Perpustakaan digital menurut Digital Library Federation dalam Pendit, P.L.( 2008), adalah “organisasi yang menyediakan sumberdaya, termasuk pegawai yang terlatih khusus untuk memilih, mengatur, menawarkan akses, memahami, menyebarkan, menjaga integritas, dan memastikan keutuhan karya digital sedemikian rupa sehingga, koleksi tersedia dan terjangkau oleh komunitas yang membutuhkannya”. Ketersediaan jurnal elektonis makin dirasakan manfaatnya oleh pengguna yang selama ini kurang memiliki akses terhadap publikasi mutakhir yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Perpustakaan digital secara ekonomis lebih menguntungkan dibanding perpustakaan tradisonal, karena institusi dapat berbagi koleksi sekaligus dapat mengurangi kebutuhan informasi tercetak. Pada tahun 2008 perpustakaan BPTP Banten terpilih sebagai salah satu pengembangan perpustakaan MODEL (Management, Organization, Development, Electronic, Library) yaitu system pengelolaan perpustakaan semidigital yang dirancang berdasarkan pendekatan manajemen dan organisasi berorientasi pengguna dengan mensinergikan pengembangan sumberdaya manusia, infrastruktur, sumberdaya informasi, anggaran dan system layanan. Perpustakaan MODEL dirancang untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar perpustakaan dalam memanfaatkan secara efektif dan efisien sumber-sumber informasi Iptek bidang pertanian yang tersedian di unit kerja masing-masing, baik di tingkat nasional maupun internasional (Maksum dan Mei Rochjat Darmawiredja, 2007). Keberadaan jurnal online seperti science direct yang dilanggan oleh Pustaka Bogor memudahkan pengguna untuk mendapatkan informasi dari luar negeri secara gratis. Sedangkan untuk mendapatkan informasi dalam negeri bisa di unduh dari aplikasi repository Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Untuk mendapatkan akses jurnal perpustakaan di Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 63 UK/UPT lingkup Badan Litbang Kementerian Pertanian mendapatkan 2 buah password dari PUSTAKA, satu untuk pengguna dan satu untuk pengelola. Pengguna perpustakaan dapat dengan mudah memperoleh ragam informasi bahan pustaka baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk mengakses Science direct dan repository harus menggunakan fasilitas perpustakaan digital. Untuk melihat pengaruh keberadaan perpustakaan digital terhadap perpustakaan BPTP Banten dilkukan suatu kajian dengan cara melakukan pengamatan terhadap jumlah pengunjung, aktivitas peminjaman ragam pustaka dan pemanfaatan referensi digital dari tahun 2013 – 2015. METODOLOGI Penelitian pengaruh keberadaan perpustakaan digital terhadap perkembangan perpustakaan konvensional dilakukan di perpustakaan BPTP Banten. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa komputer yang diletakan di meja penerima tamu. Pengunjung perpustakaan mengisi buku tamu eletronik sebelum mencari informasi yang diperlukan. Data pengunjung terdiri dari peneliti, penyuluh, teknisi litkayasa, dosen, mahasiswa, pelajar, petani, staf dinas, swasta, dan umum yang tercatat dalam computer di kompilasi setiap bulan. Data jumlah pengunjung yang digunakan selama 3 (tiga) tahun, tahun 2013 sampai dengan 2015. Publikasi atau bahan pustaka yang dibaca atau dipinjam terdiri dari buku, majalah ilmiah, majalah umum, laporan tahunan, laporan kegiatan, makalah ilmiah, paket teknologi (petunjuk teknis), skripsi/thesis, statistic, kliping surat kabar, CD Room, VCD/DVD, dicatat dalam buku peminjaman. Data sirkulasi ditabulasi setiap bulan. Baik data pengunjung maupun data sirkulasi kemudian dianalisa secara deskriftip. Kemudian data permintaan penelusuran yang pada umumnya diminta oleh para peneliti dan penyuluh disandingkan dalam bentuk tabel. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah pengunjung perpustakaan BPTP Banten tahun 2013- 2015 disajikan pada Tabel 1 dan sirkulasi ragam pustaka yang dipinjam pada tahun yang sama disajikan pada Tabel 2. Kunjungan pengguna ke perpustakaan menurun sejak diperkenalkannya Perpustakaan digital. tahun 2013. Pada tahun 2013, jumlah pengunjung perpustakaan sebanyak 579 orang, dan pada Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 64 tahun 2014 sebanyak 408 orang, sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 289 orang. Jumlah pengunjung tahun 2014 turun sebesar 29,84% jika dibandingkan tahun 2013, sedangkan pada tahun 2015 turun 4,63% dibanding tahun 2014. Pada Tabel 1 terlihat bahwa penurunan terjadi hampir diseluruh profesi, pengunjung, dimana penurunan nyata terjadi pada profesi mahasiswa dan pelajar. Perpustakaan BPTP Banten sebenarnya merupakan perpustakaan hybrid yaitu perpaduan antara perpustakaan khusus yang masih tradisional dan perpustakaan digital yang dikoordinir oleh PUSTAKA Bogor. Tabel 1. Jumlah pengunjung Perpustakaan BPTP Banten selama 3 tahun. Profesi pengunjung Peneliti Penyuluh Litkayasa Mahasiswa Pelajar Dinas Umum Jumlah 2013 Orang % 138 23,83 67 11,57 52 8,98 177 30,57 114 19,69 3 0,52 28 4,84 579 100 2014 Orang % 135 33,08 59 14,46 15 3,68 112 27,45 66 16,18 1 0,25 20 4,90 408 100 2015 Orang % 120 30,86 45 11,57 29 7,45 95 24,42 80 20,56 4 1,03 16 4,11 389 100 Tabel 2. Jumlah ragam pustaka yang dipinjam oleh berbagai profesi. Jenis Koleksi Buku Majalah ilmiah Majalah umum Laporan kegiatan Paket Teknologi (leaflet, brosur, liptan) Data Statistik Jumlah 2013 Judul % 201 60,00 80 23,88 11 83,2 9 2,69 6 1,79 28 335 8,36 100 2014 Judul 151 93 22 7 5 % 48,55 29,90 7,07 2,25 1,61 33 311 10,61 100 2015 Judul % 150 51,55 40 13,74 24 8,25 24 8,25 13 4,47 40 291 13,74 100 Pada Tabel 2 terlihat penurunan ragam pustaka yang dipinjam, peminjaman buku secara keseluruhan menurun sebesar 7,16% pada tahun 2014. Sedangkan pada tahun 2015 penurunannya 6,43%, sedangakan peminjaman buku statistik terus meningkat, Keberadaan perpustakaan semi-digital seperti perpustakaan MODEL yang diperkenalkan oleh PUSTAKA Bogor berpengaruh nyata terhadap jumlah pengunjung ke Perpustakaan BPTP Banten, berdasarkan data jumlah pengunjung selama 3 tahun (2013-2015). Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 65 KESIMPULAN Kesimpulan Hasil kajian menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah pengunjung yang datang ke perpustakaan. Hal ini menunjukkan bahwa pengguna perpustakaan BPTP Banten sebagian penelitinya sudah mengakses jurnal yang dilanggan PUSTAKA Bogor dan berangsur-angsur beralih pada perpustakaan digital. Berkaitan dengan perubahan dan perkembangan tersebut pustakawan harus memfasilitasi kebutuhan peneliti serta tanggap, proaktif, menerima, dan berusaha untuk meresponnya secara efektif dalam rangka memenuhi harapan pengguna. Ke depan pengguna diharapkan dapat menelusuri sendiri atau memesan informasi yang diperlukan kepada pustakawan. Jumlah pengunjung perpustakaan BPTP Banten menurun sebesar 29,84% pada tahun 2014 dan 4,63% tahun 2015. Sedangkan jumlah pemanfaatan ragam pustaka tercetak relativ stabil baik sebelum maupun sesudah pemanfaatan perpustakaan digital. DAFTAR PUSTAKA Hartinah, S. 2014. Metode Penelitian Perpustakaan, Cetakan ke 2 edisi 1. Modul 1-9. Penerbit Universitas Terbuka, Tangerang Selatan. Saleh, A.R dan Komalasari, R. 2010. Manajemen Perpustakaan. Cetakan ke 5 Penerbit Universitas Terbuka, Tangerang Selatan. Maksum dan Darmawiredja., M.R. 2007. Perpustakaan MODEL UK/UPT Departemen Pertanian : Suatu Pendekatan Manajemen dan Organisasi, Vol. 16 (2) , 2007. p. 35 – 42. Pendit, P.L. 2008. Perpustakaan Digital dari A sampai Z, Penerbit : Cita Karyakarsa Mandiri Jakarta, 2008. p. 308. Buletin IKATAN Vol. 7 No. 2 Tahun 2017 66 BULETIN IKATAN (INFORMASI PENGKAJIAN DAN DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN) PEDOMAN PENULISAN UNTUK BULETIN INFORMASI PENGKAJIAN DAN DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN (IKATAN) 1. Buletin IKATAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten memuat berbagai tulisan yang dikemas dalam bahasa ilmiah populer yang bersumber dari dari hasil-hasil maupun tunjauan (review) mengenai penelitian/pengkajian di bidang pertanian yang belum pernah dipulikasi. 2. Artikel diketik menggunakan program Microsoft Word, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman 12, spasi 1,5 maksimal 10 halaman (termasuk tabel dan gambar). Naskah besarta soft copy-nya dikirim kepada Redaksi Buletin IKATAN. 3. Struktur/susunan artikel sebagai berikut : Judul, Nama dan Institusi Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Metodologi, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Daftar Pustaka. 4. Judul: singkat dan jelas, menggambarkan isi pokok tulisan, informatif, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta ditulis dengan huruf besar. 5. Nama dan Institusi Penulis: nama penulis ditulis lengkap tanpa gelar, nama penulis pertama merupakan penulis utama, institusi (penulis pertama, kedua dan seterusnya) ditulis secara lengkap. 6. Abstrak: menggambarkan isi naskah yang memuat ringkasan tulisan mulai pendahuluan hingga kesimpulan. Ditulis dengan huruf Times New Roman 12, spasi 1, maksimal 150 kata. Di bawah abstrak dicantumkan Kata Kunci. 7. Pendahuluan: menjelaskan informasi tentang kondisi, potensi, signifikasi kemajuan IPTEK dan penerapannya, permasalahan dan alasan yang melatarbelakangi perlunya dilakukan penelitian/kajian tersebut. 8. Metodologi: menjelaskan bagaimana cara melakukan penelitian/pengkajian memuat waktu dan tempat, bahan dan alat, metode dan teknik pengambilan data, analisis data dan tahapan kegiatan (kerangka pikir) yang jelas. 9. Hasil dan Pembahasan: disajikan dalam satu kesatuan. Hasil menguraikan secara objektif tentang informasi/ data yang diperoleh, bila perlu dapat ditampilkan dalam bentuk tabel, gambar dan lain-lain. Pembahasan, menginterpretasikan hasil yang dicapai dan menjelaskan secara logis tentang ide dan argumen yang mengambarkan jawaban terhadap pemecahan persoalan dan tujuan yang mendukung pernyataan untuk menarik kesimpulan. 10. Kesimpulan: uraian singkat yang mengemukakan hal-hal penting tentang hasil kegiatan yang sesuai dengan tujuan penelitian/pengkajian dan disertai saran tindak lanjut. 11. Daftar Pustaka: disusun secara alfabetis dengan format : a. Untuk terbitan berkala: nama penulis, tahun terbit, judul naskah pustaka, nama terbitan, volume dan nomor serta halaman. b. Untuk buku: nama penulis, tahun terbit, judul naskah pustaka, nama penerbit dan kota terbit. c. Untuk internet: nama penulis, judul atrikel, tahun terbit, alamat yang diunduh. Contoh penulisan pustaka bulletin: Susiyanti, Nurmayulis, A. Fatmawati. 2012. Keragaman Plasma Nutfah Tanaman Garut (Marantaanundinacea L.) di Provinsi Banten dan Potensi Pengembangannya. Bul IKATAN 2012, Volume 2 (1): 24-38 Contoh penulisan pustaka buku: Sprapto H.S. dan Sutarman T. 1982. Bertanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta Contoh penulisan pustaka internet: Sarmoko. Jamu Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka [Internet]. 2009. [Diunduh Februari 2010]. Tersedia di: https://moko31.wordpress.com/2009/05/01/jamu-obat-herbal-terstandar-oht-dan-fitofarmaka/