Uploaded by rahmahningsih13

HIV dan Kejang Demam

advertisement
Sistem
: Tropik Infeksi
Penyakit
: Human Immuno Deficiency Virus (HIV)/Acquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS)
Tingkat kemampuan
:4
Nama penyusun
: corona virus
1. Definisi
Infeksi HIV adalah suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan
tubuh [dari infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga
stadium lanjut] yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus.
AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome.
Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit. Deficiency berarti
kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Aquired berarti diperoleh atau didapat, dalam
hal ini “diperoleh” mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan penyakit keturunan.
Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari penderita AIDS, tetapi karena
ia terjangkit atau terinfeksi virus penyebab AIDS. Oleh karena itu, AIDS dapat diartikan
sebagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem
kekebalan tubuh seseorang. AIDS merupakan suatu sindroma yang amat serius, dan
ditandai oleh adanya kerusakan sistem kekebalan tubuh penderitanya.20 Dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS merupakan
tahap akhir dari infeksi HIV.
2. Epidemiologi
a. Berdasarkan Orang
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), terdapat 19.973 jumlah
kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun,
30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada kelompok umur 40-49 tahun,
3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,49% pada kelompok umur 50-59 tahun,
0,51% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada kelompok umur < 15 tahun dan
3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1.
Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2% penderita AIDS
terdapat pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU. Kumulatif kasus AIDS
pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia hingga tahun 2009 adalah 7.966 kasus,
7.312 kasus adalah laki-laki (91,8%), 605 kasus perempuan (7,6%) dan 49 kasus tidak
diketahui jenis kelaminnya (0,6%). 64,1% terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun,
27,1% pada kelompok umur 30-39 tahun, 3,5% pada kelompok umur 40-49 tahun,
1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun, 0,6% pada kelompok umur 50-59 tahun, pada
kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun masing-masing 0,1% dan 2,8% tidak
diketahui kelompok umurnya.
b. Berdasarkan Tempat
Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), tercatat 19.973 kumulatif
kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Provinsi dengan rate kumulatif kasus AIDS per 100.000 penduduk tertinggi adalah
Papua (133,07), Bali (45,45), DKI Jakarta (31,67), Kepulauan Riau (22,23)
Kalimantan Barat (16,91), Maluku (14,21), Bangka Belitung (11,36), Papua Barat dan
Jawa Timur (8,93) dan Riau (8,36).
Provinsi yang memiliki proporsi AIDS terbanyak hingga Desember 2009 adalah
Jawa Barat (18,01%), Jawa Timur (16,16%), DKI Jakarta (14,16%), Papua (14,05%),
dan Bali (8,09%). Pada kelompok pengguna napza suntik, proporsi AIDS terbanyak
dilaporkan dari Provinsi Jawa Barat 32,99%, DKI Jakarta 25,13%, Jawa Timur
12,82%, Bali 3,27%, Sumatera Barat 2,81%.
3. Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV dari
sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenopathy Associated Virus
(LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell
Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya (RNA)
menjadi asam deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu (Nurrarif &
Hardhi, 2015).
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency
Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:
-
Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala
-
Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu like illness
-
Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada
-
Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut
-
AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem
tubuh, dan manifestasi neurologis
4. Faktor resiko
Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS sebagai berikut:

Pengguna napza suntik: menggunakan jarum secara bergantian

Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan dan peluang untuk
kehidupan yang layak memaksa mereka menjadi pekerja seks

Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki

Narapidana

Pelaut dan pekerja di sektor transportasi

Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual berisiko seperti
kekerasan seksual, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV tanpa
pelindung, mendatangi lokalisasi/komplek PSK dan membeli seks (Ernawati,
2016).
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita.
Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
- Lelaki homoseksual atau biseks
- Bayi dari ibu/bapak terinfeksi
- Orang yang ketagihan obat intravena
- Partner seks dari penderita AIDS
- Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto & Made Ari, 2013).
5. Patofisiologi
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring
pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus
menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS
berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang
spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan
ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi
pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun
hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik).
Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi
hipersensitivitas, dan potensi keganasan (Kapita Selekta, 2014).
Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel – sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe,
limpa dan sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler
makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong (Susanto & Made Ari, 2013).
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah
sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar
200 – 300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini,
gejala – gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013).
6. Manifestasi klinis
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:
a) Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang
berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya
b) Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala limfadenopati umum
c) AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem
imun atau kekebalan
d) Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat
berupa diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan
kandidiasis oral yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya
sarcoma kaposi. Penderita akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit
infeksi sekunder (Soedarto, 2009).
Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV
terkonfirmasi menurut WHO:
a) Stadium 1 (asimtomatis)
-
Asimtomatis
-
Limfadenopati generalisata
b) Stadium 2 (ringan)
-
Penurunan berat badan < 10%
-
Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral rekurens, keilitis angularis, erupsi popular pruritik
-
Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir
-
Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis
media
c) Stadium 3 (lanjut)
-
Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas
-
Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan
-
Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan
-
Kandidiasis oral persisten
-
Oral hairy leukoplakia
-
Tuberculosis paru
-
Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi
tulang/sendi, meningitis, bakteremia
-
Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut
-
Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109/L) tanpa
sebab jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109/L) tanpa sebab yang
jelas
d) Stadium 4 (berat)
-
HIV wasting syndrome
-
Pneumonia akibat pneumocystis carinii
-
Pneumonia bakterial berat rekuren
-
Toksoplasmosis serebral
-
Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
-
Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
-
Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral
-
Leukoensefalopati multifocal progresif
-
Mikosis endemic diseminata
-
Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus
-
Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru
-
Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren
-
Tuberculosis ekstrapulmonal
-
Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV,
kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik,
karsinoma serviks invasive, leismaniasis atipik diseminata
-
Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV
simtomatis (Kapita Selekta, 2014).
7. Diagnosis
Anamnesis

Kemungkinan sumber infeksi HIV

Gejala dan keluhan pasien saat ini

Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk
infeksi oportunistik

Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis [TB] termasuk kemungkinan
kontakdengan TB sebelumnya

Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)

Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan

Riwayat penggunaan terapi anti retroviral [Anti Retrovirai Therapy [ART]]
termasukriwayatrejimenuntukPMTCT{preventionofmothertochildtransmission]
sebelumnya

Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan

Kebiasaan sehari-hari clan riwayat perilaku seksual

Kebiasaan merokok

Riwayat Alergi

Riwayat vaksinasi

Riwayat penggunaan NAPZA suntik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan, tanda-tanda yang
mengarah kepada infeksi oportunistiksesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang
terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari faktor
risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA suntik, dan
tanda-tanda IMS.
Pemeriksaan Penunjang
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:
-
ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) Sensitivitasnya tinggi yaitu
sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah
infeksi.
-
Western blot Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya
cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
-
PCR (Polymerase Chain Reaction) Tes ini digunakan untuk:
1. Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada padabayi yang dapat
menghambat pemeriksaan secara serologis.
2. Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko
tinggi
3. Tes pada kelompok tinggi sebelum terjadi serokonversi.
4. Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah
untuk HIV-2 (Widoyono, 2014).
8. Penatalaksanaan
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada adalah
antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan
untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan
yang termasuk antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat infeksi
oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek
samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk pengobatan oportunistik yaitu
menggunakan obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC, dll
(Hasdianah dkk, 2014).
9. Pencegahan Penularan
a. Secara umum
Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E) yaitu:
- A: Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko tinggi,
terutama seks pranikah
- B: Be faithful – saling setia
- C: Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar
- D: Drugs – menolak penggunaan NAPZA
- E: Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama
b. Untuk pengguna
Napza Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika: mulai
berhenti menggunakan Napza sebelum terinfeksi, tidak memakai jarum suntik
bersama.
c. Untuk remaja
Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari penggunaan obatobatan terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung
percampuran darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku
yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab
(Hasdianah & Dewi, 2014).
Catatan :
-
Metode harvard
-
Daftar pustaka minimal 3 atau sembarang. haha
-
Pakai catatan dalam kurung (covid, 2019)
Sistem
: Pediatri
Penyakit
: Kejang Demam Anak
Tingkat kemampuan
:4
Nama penyusun
: corona virus
1. Definisi
Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C)
yang disebabkan oleh suatu proses ektrakranium (di luar rongga kepala). (Arlina,2019)
2. Epidemiologi
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang
neurologi anak dan terjadi pada 25% anak. Pada penelitian kohort prospektif yang
besar, 2 – 7 % kejang demam mengalami kejang tanpa demam atau epilepsi di
kemudian hari. Kejadian kejang demam ada kaitannya dengan faktor genetik. Anak
dengan kejang demam 25 – 40 % mempunyai riwayat keluarga dengan kejang demam.
(Ismet,2017)
3. Etiologi

Belum diketahui dengan pasti

Demam sering disebabkan oleh :

-
ISPA
-
Radang telinga tengah
-
Infeksi saluran kemih dan saluran cerna
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi  terkadang pada suhu tidak terlalu
tinggi (Arlina,2019)
4. Klasifikasi


Kejang Demam Sederhana
-
Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
-
Kejang umum tonik dan atau klonik
-
Umumnya berhenti sendiri
-
Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
Kejang Demam Komplikata
-
Kejang lama, >15 menit
-
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
-
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (Arlina,2019)
5. Faktor resiko

Riwayat kejang demam dalam keluarga

Usia < 12 bulan

Tingginya suhu badan sebelum kejang

Cepatnya kejang setelah demam

-
Ada seluruh fakor resiko  kejang demam berulang 8-%
-
Tidak ada faktor resiko  kejang demam berulang 10-15% (Arlina,2019)
Faktor Risiko Kejang Demam Pertama
Riwayat kejang demam pada keluarga, problem disaat neonatus, perkembangan
terlambat, anak dalam perawatan khusus, kadar natrium serum yang rendah, dan
temperatur tubuh yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya kejang demam. Bila
ada 2 atau lebih faktor risiko, kemungkinan terjadinya kejang demam sekitar 30%.

Faktor Risiko Kejang Demam Berulang
Kemungkinan berulangnya kejang demam tergantung faktor risiko : adanya
riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan, temperatur yang
rendah saat kejang dan cepatnya kejang setelah demam. Bila seluruh faktor risiko ada,
kemungkinan 80 % terjadi kejang demam berulang. Jika hanya terdapat satu faktor
risiko hanya 10 – 20 % kemungkinan terjadinya kejang demam berulang.

Faktor Risiko Menjadi Epilepsi
Risiko epilepsi lebih tinggi dilaporkan pada anak – anak dengan kelainan
perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat orang tua
atau saudara kandung dengan epelepsi, dan kejang demam kompleks. Anak yang tanpa
faktor risiko, kemungkinan terjadinya epilepsi sekitar 2% , bila hanya satu faktor
risiko 3% akan menjadi epilepsy, dan kejadian epilepsi sekitar 13 % jika terdapat 2
atau 3 faktor resiko. (Ismet,2017)
6. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid
dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit
lainya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi ion kalium dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi natrium rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K ATP-ase
yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi ion
di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan.Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan
orang dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari
ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang.
Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hiposemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi, artenal
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan
makin meningkatnya aktivitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat
(Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis media akut,
bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan
oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh melalui hematogen maupun
limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan
menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara
sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di
bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan disertai
pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator
kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron . Peningkatan
potensial inilah yang merangsang perpindahan ion natrium, ion kalium dengan cepat dari
luar sel menuju ke dalam sel.
Peristiwa inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan
cepat sehingga timbul kejang. Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak
mengalami penurunan kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami
spasma sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh
penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2005).
7. Manifestasi Klinis
Ada 7 kriteria antara lain:
-
Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
-
Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
-
Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang saja).
-
Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
-
Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
-
Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih
setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan
-
Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat
dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi
apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada
kelainan saraf.(Judha & Rahil, 2011)
8. Diagnosis

Pemeriksaan Fisik
Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat/ menurun,
peningkatan sekresi mucus, peningkatan nadi, sedangkan post iktal dapat
ditemukan apnea. Akibat kejang dapat terjadi fraktur, kerusakan jaringan
lunak/gigi cedera selama kejang. Pada aktivitas dan kekuatan otot terjadi keletihan,
kelemahan umum, perubahan tonus otot/ kekuatan otot. Mual, muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang. Di intergumen ditemukan : Akral hangat,
kulit kemerahan, demam. (Okti,2008)

Pemeriksaan Penunjang
-
Laboratorium (Darah lengkap, eletrolitm Glukosa darah)  untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab
-
EEG
-
CT-Scan atau MRI
9. Penatalaksanaan

Anti Piretik
a. Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali
b. Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali

Anti Konvulsan
a. Diazepam oral 0,3-0,5 mg/kgBB
b. Diazepam rectal 0,5 mg/kgBB

Jika kejang tidak teratasi  dapat diulang dengan cara dan dosisi yang sama dengan
interval 5 menit

Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rekta masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Dan diberikan diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB

Bila kejang belum berhenti diberikan fenitoin 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan
1mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit

Kejang berhenti  dosis selanjutna 4-8 mg/kgBB/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal

Kejang belum berhenti  rawat di ruang intensif
Rumatan

Fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari  dibagi 2 dosis

Asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari  dibagi 2-3 dosis

DOC : Asam Valproat
Pengobatan profilaksis/rumatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, diberhentikan
bertahap selama 1-2 bulan
Indikasi Rumatan

Kejang > 15 menit

Kejang neurologis

Kejang fokal

Rumatan dipertimbangkan pada keadaan:

-
Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
-
Kejang demam pada bayi < 12 bulan
Kejang demam > 4 kali per tahun (Arlina,2019)
10. Daftar pustaka
-
Wiyata,Alina Gama. Bahan Ajar Blok Traumatologi Tentang Tetanus. Fakultas
Kedokteran UIN Alauddin. 2019
-
Okti Sri fturwanti dan Arina Maliya.Kegawatdaruratan Kejang Demam pada Anak
.Berita Ilmu Keperawatan Vol 1. No. 2, Juni 2008 , 97-100
-
Ismet. Kejang Demam. Kelompok Medis Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru. FK UNRI : Jurnal Kesehatan Melayu.2017
Download