Sistem : Tropik Infeksi Penyakit : Human Immuno Deficiency Virus (HIV)/Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) Tingkat kemampuan :4 Nama penyusun : corona virus 1. Definisi Infeksi HIV adalah suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh [dari infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga stadium lanjut] yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus. AIDS merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome. Syndrome berarti kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit. Deficiency berarti kekurangan, Immune berarti kekebalan, dan Aquired berarti diperoleh atau didapat, dalam hal ini “diperoleh” mempunyai pengertian bahwa AIDS bukan penyakit keturunan. Seseorang menderita AIDS bukan karena ia keturunan dari penderita AIDS, tetapi karena ia terjangkit atau terinfeksi virus penyebab AIDS. Oleh karena itu, AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang. AIDS merupakan suatu sindroma yang amat serius, dan ditandai oleh adanya kerusakan sistem kekebalan tubuh penderitanya.20 Dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. 2. Epidemiologi a. Berdasarkan Orang Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), terdapat 19.973 jumlah kumulatif kasus AIDS dengan 49,07% terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun, 30,14% pada kelompok umur 30-39 tahun, 8,82% pada kelompok umur 40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,49% pada kelompok umur 50-59 tahun, 0,51% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,65% pada kelompok umur < 15 tahun dan 3,27% tidak diketahui. Rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Menurut laporan Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), 40,2% penderita AIDS terdapat pada kelompok Pengguna Napza Suntik atau IDU. Kumulatif kasus AIDS pada Pengguna Napza Suntik di Indonesia hingga tahun 2009 adalah 7.966 kasus, 7.312 kasus adalah laki-laki (91,8%), 605 kasus perempuan (7,6%) dan 49 kasus tidak diketahui jenis kelaminnya (0,6%). 64,1% terdapat pada kelompok umur 20-29 tahun, 27,1% pada kelompok umur 30-39 tahun, 3,5% pada kelompok umur 40-49 tahun, 1,5% pada kelompok umur 15-19 tahun, 0,6% pada kelompok umur 50-59 tahun, pada kelompok umur 5-14 tahun dan >60 tahun masing-masing 0,1% dan 2,8% tidak diketahui kelompok umurnya. b. Berdasarkan Tempat Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2009), tercatat 19.973 kumulatif kasus AIDS terjadi di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Provinsi dengan rate kumulatif kasus AIDS per 100.000 penduduk tertinggi adalah Papua (133,07), Bali (45,45), DKI Jakarta (31,67), Kepulauan Riau (22,23) Kalimantan Barat (16,91), Maluku (14,21), Bangka Belitung (11,36), Papua Barat dan Jawa Timur (8,93) dan Riau (8,36). Provinsi yang memiliki proporsi AIDS terbanyak hingga Desember 2009 adalah Jawa Barat (18,01%), Jawa Timur (16,16%), DKI Jakarta (14,16%), Papua (14,05%), dan Bali (8,09%). Pada kelompok pengguna napza suntik, proporsi AIDS terbanyak dilaporkan dari Provinsi Jawa Barat 32,99%, DKI Jakarta 25,13%, Jawa Timur 12,82%, Bali 3,27%, Sumatera Barat 2,81%. 3. Etiologi Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV dari sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenopathy Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu (Nurrarif & Hardhi, 2015). Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu: - Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala - Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu like illness - Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada - Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut - AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis 4. Faktor resiko Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS sebagai berikut: Pengguna napza suntik: menggunakan jarum secara bergantian Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan dan peluang untuk kehidupan yang layak memaksa mereka menjadi pekerja seks Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki Narapidana Pelaut dan pekerja di sektor transportasi Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual berisiko seperti kekerasan seksual, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV tanpa pelindung, mendatangi lokalisasi/komplek PSK dan membeli seks (Ernawati, 2016). AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah : - Lelaki homoseksual atau biseks - Bayi dari ibu/bapak terinfeksi - Orang yang ketagihan obat intravena - Partner seks dari penderita AIDS - Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto & Made Ari, 2013). 5. Patofisiologi Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang spesifik, seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasan (Kapita Selekta, 2014). Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel – sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong (Susanto & Made Ari, 2013). Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 – 300 per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala – gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013). 6. Manifestasi klinis Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu: a) Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya b) Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala limfadenopati umum c) AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem imun atau kekebalan d) Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi. Penderita akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Soedarto, 2009). Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi menurut WHO: a) Stadium 1 (asimtomatis) - Asimtomatis - Limfadenopati generalisata b) Stadium 2 (ringan) - Penurunan berat badan < 10% - Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral rekurens, keilitis angularis, erupsi popular pruritik - Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir - Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media c) Stadium 3 (lanjut) - Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas - Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan - Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan - Kandidiasis oral persisten - Oral hairy leukoplakia - Tuberculosis paru - Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi tulang/sendi, meningitis, bakteremia - Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut - Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109/L) tanpa sebab jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109/L) tanpa sebab yang jelas d) Stadium 4 (berat) - HIV wasting syndrome - Pneumonia akibat pneumocystis carinii - Pneumonia bakterial berat rekuren - Toksoplasmosis serebral - Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan - Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening - Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral - Leukoensefalopati multifocal progresif - Mikosis endemic diseminata - Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus - Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru - Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren - Tuberculosis ekstrapulmonal - Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV, kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks invasive, leismaniasis atipik diseminata - Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis (Kapita Selekta, 2014). 7. Diagnosis Anamnesis Kemungkinan sumber infeksi HIV Gejala dan keluhan pasien saat ini Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk infeksi oportunistik Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis [TB] termasuk kemungkinan kontakdengan TB sebelumnya Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS) Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan Riwayat penggunaan terapi anti retroviral [Anti Retrovirai Therapy [ART]] termasukriwayatrejimenuntukPMTCT{preventionofmothertochildtransmission] sebelumnya Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan Kebiasaan sehari-hari clan riwayat perilaku seksual Kebiasaan merokok Riwayat Alergi Riwayat vaksinasi Riwayat penggunaan NAPZA suntik Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan, tanda-tanda yang mengarah kepada infeksi oportunistiksesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari faktor risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA suntik, dan tanda-tanda IMS. Pemeriksaan Penunjang Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi: - ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. - Western blot Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. - PCR (Polymerase Chain Reaction) Tes ini digunakan untuk: 1. Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada padabayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. 2. Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok berisiko tinggi 3. Tes pada kelompok tinggi sebelum terjadi serokonversi. 4. Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-2 (Widoyono, 2014). 8. Penatalaksanaan Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang termasuk antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting untuk pengobatan oportunistik yaitu menggunakan obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC, dll (Hasdianah dkk, 2014). 9. Pencegahan Penularan a. Secara umum Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E) yaitu: - A: Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko tinggi, terutama seks pranikah - B: Be faithful – saling setia - C: Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar - D: Drugs – menolak penggunaan NAPZA - E: Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama b. Untuk pengguna Napza Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti menggunakan Napza sebelum terinfeksi, tidak memakai jarum suntik bersama. c. Untuk remaja Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari penggunaan obatobatan terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung percampuran darah dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab (Hasdianah & Dewi, 2014). Catatan : - Metode harvard - Daftar pustaka minimal 3 atau sembarang. haha - Pakai catatan dalam kurung (covid, 2019) Sistem : Pediatri Penyakit : Kejang Demam Anak Tingkat kemampuan :4 Nama penyusun : corona virus 1. Definisi Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ektrakranium (di luar rongga kepala). (Arlina,2019) 2. Epidemiologi Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurologi anak dan terjadi pada 25% anak. Pada penelitian kohort prospektif yang besar, 2 – 7 % kejang demam mengalami kejang tanpa demam atau epilepsi di kemudian hari. Kejadian kejang demam ada kaitannya dengan faktor genetik. Anak dengan kejang demam 25 – 40 % mempunyai riwayat keluarga dengan kejang demam. (Ismet,2017) 3. Etiologi Belum diketahui dengan pasti Demam sering disebabkan oleh : - ISPA - Radang telinga tengah - Infeksi saluran kemih dan saluran cerna Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi terkadang pada suhu tidak terlalu tinggi (Arlina,2019) 4. Klasifikasi Kejang Demam Sederhana - Kejang berlangsung singkat, < 15 menit - Kejang umum tonik dan atau klonik - Umumnya berhenti sendiri - Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam Kejang Demam Komplikata - Kejang lama, >15 menit - Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial - Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam (Arlina,2019) 5. Faktor resiko Riwayat kejang demam dalam keluarga Usia < 12 bulan Tingginya suhu badan sebelum kejang Cepatnya kejang setelah demam - Ada seluruh fakor resiko kejang demam berulang 8-% - Tidak ada faktor resiko kejang demam berulang 10-15% (Arlina,2019) Faktor Risiko Kejang Demam Pertama Riwayat kejang demam pada keluarga, problem disaat neonatus, perkembangan terlambat, anak dalam perawatan khusus, kadar natrium serum yang rendah, dan temperatur tubuh yang tinggi merupakan faktor risiko terjadinya kejang demam. Bila ada 2 atau lebih faktor risiko, kemungkinan terjadinya kejang demam sekitar 30%. Faktor Risiko Kejang Demam Berulang Kemungkinan berulangnya kejang demam tergantung faktor risiko : adanya riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang dan cepatnya kejang setelah demam. Bila seluruh faktor risiko ada, kemungkinan 80 % terjadi kejang demam berulang. Jika hanya terdapat satu faktor risiko hanya 10 – 20 % kemungkinan terjadinya kejang demam berulang. Faktor Risiko Menjadi Epilepsi Risiko epilepsi lebih tinggi dilaporkan pada anak – anak dengan kelainan perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat orang tua atau saudara kandung dengan epelepsi, dan kejang demam kompleks. Anak yang tanpa faktor risiko, kemungkinan terjadinya epilepsi sekitar 2% , bila hanya satu faktor risiko 3% akan menjadi epilepsy, dan kejadian epilepsi sekitar 13 % jika terdapat 2 atau 3 faktor resiko. (Ismet,2017) 6. Patofisiologi Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainya kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat (Judha & Rahil, 2011). Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen. Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot. Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron . Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang. Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2005). 7. Manifestasi Klinis Ada 7 kriteria antara lain: - Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun. - Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit. - Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang saja). - Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam. - Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan. - Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan - Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali. Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.(Judha & Rahil, 2011) 8. Diagnosis Pemeriksaan Fisik Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat/ menurun, peningkatan sekresi mucus, peningkatan nadi, sedangkan post iktal dapat ditemukan apnea. Akibat kejang dapat terjadi fraktur, kerusakan jaringan lunak/gigi cedera selama kejang. Pada aktivitas dan kekuatan otot terjadi keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus otot/ kekuatan otot. Mual, muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang. Di intergumen ditemukan : Akral hangat, kulit kemerahan, demam. (Okti,2008) Pemeriksaan Penunjang - Laboratorium (Darah lengkap, eletrolitm Glukosa darah) untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab - EEG - CT-Scan atau MRI 9. Penatalaksanaan Anti Piretik a. Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali b. Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali Anti Konvulsan a. Diazepam oral 0,3-0,5 mg/kgBB b. Diazepam rectal 0,5 mg/kgBB Jika kejang tidak teratasi dapat diulang dengan cara dan dosisi yang sama dengan interval 5 menit Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rekta masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dan diberikan diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB Bila kejang belum berhenti diberikan fenitoin 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit Kejang berhenti dosis selanjutna 4-8 mg/kgBB/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal Kejang belum berhenti rawat di ruang intensif Rumatan Fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis Asam valproat 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis DOC : Asam Valproat Pengobatan profilaksis/rumatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, diberhentikan bertahap selama 1-2 bulan Indikasi Rumatan Kejang > 15 menit Kejang neurologis Kejang fokal Rumatan dipertimbangkan pada keadaan: - Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam - Kejang demam pada bayi < 12 bulan Kejang demam > 4 kali per tahun (Arlina,2019) 10. Daftar pustaka - Wiyata,Alina Gama. Bahan Ajar Blok Traumatologi Tentang Tetanus. Fakultas Kedokteran UIN Alauddin. 2019 - Okti Sri fturwanti dan Arina Maliya.Kegawatdaruratan Kejang Demam pada Anak .Berita Ilmu Keperawatan Vol 1. No. 2, Juni 2008 , 97-100 - Ismet. Kejang Demam. Kelompok Medis Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. FK UNRI : Jurnal Kesehatan Melayu.2017