Gejala Klinis Distemper Gejala klinis yang timbul dapat bermacam-macam tergantung dari virulensi strain virus, kondisi lingkungan, umur anjing (hospes), dan status kekebalan. Variasi gejala klinis mulai dari subklinis, gangguan pernafasan, gangguan saluran cerna, sampai dengan adanya gangguan saraf yang bersifat fatal (Zhao et al., 2009). Gejala klinis pada kasus akut ditandai timbulnya demam dan kematian secara mendadak. Anoreksia, pengeluaran lendir, konjungtivitis dan depresi biasa terjadi selama stadium ini. Kenaikan suhu terjadi pada hari ke 1-3, diikuti penurunan suhu tubuh selama beberapa hari kemudian naik lagi selama 1 minggu atau lebih. Saat awal kejadian segera akan diikuti dengan leukopenia dan limfopenia. Selanjutnya terjadi netrofilia selama beberapa minggu. Pada tipe pernafasan, adanya demam biasanya disertai gangguan pada saluran pernafasan berupa keluarnya leleran hidung yang bersifat encer maupun kental, leleran mata, dan batuk (Subronto, 2006). Distemper yang memiliki tipe kulit ialah terjadi hiperkeratosis (penebalan kulit) dari telapak kaki (Hardpad Disease) dan epitelium dari cuping hidung. Pada beberapa kejadian penyakit distemper dapat diamati adanya pustula pada kulit daerah abdomen. Distemper yang memiliki tipe pencernaan memiliki gejala diantaranya muntah, diare dan hilangnya nafsu makan (anoreksia). Gejala dehidrasi sangat menonjol dan mungkin penderita mengalami kematian dan gagal ginjal sebagai kompensasi dari dehidrasi yang sangat hebat (Subronto, 2006). Gejala saraf sering terlihat bersamaan dengan terjadinya hiperkeratosis (penebalan kulit). Gangguan sistem saraf pusat yang muncul antara lain: kejang tak terkendali yang bersifat lokal dari otot atau grup otot seperti di bagian kaki atau otot wajah. Hewan yang terlihat kejang-kejang menandakan bahwa infeksi telah menyebar sampai otak dan menyebabkan kerusakan saraf. Kerusakan yang terjadi pada neuron dan astrosit oleh virus distemper menyebar secara perlahan namun infeksi ini menyebabkan kematian sel secara besar-besaran termasuk pada sel neuron yang tidak terinfeksi. Gejala saraf lain yang terjadi ialah kekakuan leher, kelumpuhan serta kejang yang dicirikan dengan adanya hipersalivasi (pengeluaran liur tak terkendali) dan gerakan mengunyah oleh rahang (chewing-gum fits) disebabkan oleh poliencephalomalacia dari lobus temporalis (Ressang, 1988). Kejang akan menjadi lebih sering dan semakin parah, kemudian anjing dapat terjatuh pada salah satu sisinya. Selain itu, pengeluaran urin dan feses yang tak terkendali juga sering terjadi. Pada stadium akhir terlihat adanya kejang – kejang atau tanpa kejang dengan bola mata mengalami nystagmus (Subronto, 2006).