GIZI DALAM KEDARURATAN BENCANA Bencana merupakan kejadian luar biasa yang terjadi diluar kendali manusia. Tanpa diketahui waktu terjadinya dan seberapa besar dampak kerugian yang akan ditimbulkan. Dampak bencana dapat berupa rusaknya lingkungan dan menyebabkan kematian masal. Besarnya dampak tersebut membuat pentingannya perhatian seluruh masyarakat untuk kesiapsiap-siagaan dalam menghadapi bencana (Sinaga, 2015). Julukan sebagai negara dengan laboratorium bencana sudah melekat bahkan tidak asing lagi terdengar untuk negara Indonesia. Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rawan dengan bencana alam. Bukan hanya dikenal rawan bencana, bencana alam yang sering melanda Indonesia bahkan beberapa tidak pernah terjadi atau baru pertama kalinya terjadi di Indonesia. Potensi bencana tersebut yaitu gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, gunung api, dan masih banyak lagi (Oktari, 2019). Tidak hanya bencana alam, Indonesia juga sering dilanda bencana non alam seperti konflik sosial. Letak geografis, kondisi demografis serta keragaman sosio-kultural masyarakat Indonesia menjadi salah satu potensi terjadinya gesekan yang mengakibatkan terjadianya konflik sosial. Secara fisik bencana-bencana tersebut tentu berdampak pada rusaknya saran dan prasarana, pemukiman, juga fasilitas umum lainnya termasuk fasilitas kesehatan. Hal ini membuka peluang munculnya bencana baru seperti KLB penyakit tertentu. Masalah yang sering kali luput dari perhatian ialah kecukupan gizi bagi penyintas bencana. Penurunan status gizi pasca bencana dapat terjadi akibat layanan kesehatan terbatas, terputusnya jalur distribusi makanan serta sanitasi yang buruk (Kementrian Kesehatan RI, 2016). Masalah gizi yang sering timbul adalah kurang gizi pada bayi dan balita, bayi tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) karena terpisah dari ibunya dan semakin memburuknya status gizi kelompok masyarakat. bantuan makanan yang sering terlambat, tidak berkesinambungan dan terbatasnya ketersediaan pangan lokal dapat memperburuk kondisi yang ada. Masalah lain yang seringkali muncul adalah adanya bantuan pangan dari dalam dan luar negeri yang mendekati atau melewati masa kadaluarsa, tidak disertai label yang jelas, tidak ada keterangan halal serta melimpahnya bantuan susu formula bayi dan botol susu. Masalah tersebut diperburuk lagi dengan kurangnya pengetahuan dalam penyiapan makanan buatan lokal khususnya untuk bayi dan balita. Kebutuhan layanan kesehatan dan pangan jelas akan meninggkat pada daerah pasca bencana. Untuk itu manajemen penanggulangan terkhusus untuk pemenuhan status gizi penyintas bencana, perlu menjadi perhatian semua pihak. Khususnya kebutuhan nutrisi bayi, balita, anak-anak, ibu hamil serta lansia yang rentan terserang penyakit pasca bencana terjadi (Tumenggung, 2018). A. Gizi Dalam Kedaruratan (GDK) GDK merupakan salah satu bidang kajian atau spesialisasi bidang ilmu gizi. Kajian GDK bertujuan untuk meningkatkan dan memperkuat kemampuan penelitian dan pelatihan gizi dalam mencukupi gizi masyarakat selama situasi kedaruratan. Sebenarnya bidang ini sudah lebih dari 25 tahun diperkenalkan, tetapi kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya, baik dari para ilmuwan, penentu kebijakan maupun pelaksana program. Sejak tahun 1980-an peminat dan pengamat bidang GDK cenderung menurun karena pada kurun waktu tersebut di Indonesia jarang terjadi bencana yang sampai mengakibatkan situasi kedaruratan dan mendapat perhatian nasional. B. Pelaksanaan Gizi Dalam Kedaruratan (GDK) Dalam pelaksanaannya, upaya penanganan gizi dalam situasi bencana merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana (pra bencana), pada situasi bencana yang meliputi tahap tanggap darurat awal, tahap tanggap darurat lanjut dan pasca bencana. Kegiatan penanganan gizi pada tahap tanggap darurat awal adalah kegiatan pemberian makanan agar pengungsi tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizinya, sementara penanganan kegiatan gizi pada tahap tanggap darurat lanjut adalah untuk menanggulangi masalah gizi melalui intervensi sesuai masalah gizi yang ada. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan tersebut di atas perlu memaksimalkan pemanfaatan anggaran operasional penanggulangan bencana Kementerian Kesehatan. Kegiatan dalam penanganan gizi pada kedaruratan meliputi beberapa kegiatan yaitu pelayanan gizi, penyuluhan gizi, tenaga khusus atau sumber daya manusia dibidang gizi, dan penyediaan makanan (Salmayati, Hermansyah and Agussabti, 2016). Tujuan umum dari kegiatan ini yaitu meningkatkan, menjaga dan mencegah memburuknya status gizi para penyintas bencana. Sementara tujuan khususnya yaitu memantau perkembangan status gizi para penyintas bencana (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Pelayanan gizi dilakukan oleh tenaga gizi yang ditempatkan khusus dilokasi pengungsian penyintas bencana untuk menyiapkan makanan darurat. Karena pada saat ditetapkan untuk menggungsi, para penyintas tidak mungkin menyiapkan makanannya sendiri (Salmayati, Hermansyah and Agussabti, 2016). C. Ruang Lingkup Kegiatan Gizi Dalam Penanggulanagan Bencana Situasi Keadaan Darurat Bencana Situasi keadaan darurat bencana terbagi menjadi 3 tahap, yaitu siaga darurat, tanggap darurat dan transisi darurat. 1. Siaga Darurat Bencana Siaga darurat adalah suatu keadaan potensi terjadinya bencana yang ditandai dengan adanya pengungsi dan pergerakan sumber daya. Kegiatan penanganan gizi pada situasi siaga darurat sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dapat dilaksanakan kegiatan gizi seperti pada tanggap darurat. 2. Tanggap Darurat a. Kegiatan penanganan gizi pada saat tanggap darurat dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) tahap, yaitu: 1) Fase I Tanggap Darurat Awal Bantuan pangan sudah mulai berdatangan dan adanya penyelenggaraan dapur umum jika diperlukan. Lamanya fase 1 ini tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah bencana yaitu maksimal sampai 3 hari setelah bencana. Pada fase ini kegiatan yang dilakukan adalah: a) Memberikan makanan yang bertujuan agar pengungsitidak lapar dan dapat mempertahankan status gizinya b) Mengawasi pendistribusian bantuan bahan makanan c) Menganalisis hasil Rapid Health Assessment (RHA) Pada fase ini, penyelenggaraan makanan bagi korban bencana mempertimbangkan hasil analisis RHA dan standar ransum. Rasum adalah bantuan bahan makanan yang memastikan korban bencana mendapatkan asupan energi, protein dan lemak untuk mempertahankan kehidupan dan beraktivitas. Contoh Standar Ransum Fase I Tahap Tanggap Darurat Awal. Kebutuhan/ Orang/ Ukuran Rumah Bahan Makanan Hari (g) Tangga (URT) Biskuit 100 10-12 bh Mie Instan 320 3 gls (4 bks) Sereal (Instan) 50 5 sdm (2 sachets) Blended food (MP-ASI) 50 10 sdm Susu untuk anak balita (1-5 40 8 sdm tahun) Energi (kkal) 2.138 Protein (g) 53 Lemak (g) 40 Catatan: 1. Contoh standar ransum di atas hanya untuk keperluan perencanaan secara keseluruhan. 2. Perkiraan balita di pengungsian sebesar 10% dari jumlah pengungsi, perlu ada Blended food (MP-ASI) dan susu untuk anak umur 1-5 tahun di dalam standar perencanaan ransum. 3. Penerimaan dan Pendistribusian melalui dapur umum. 4. Perhitungan bahan makanan hendaknya ditambahkan 10% untuk hal tak terduga atau kehilangan. Contoh Perhitungan Kebutuhan Bahan Makanan Mentah untuk 1500 Orang Selama 3 Hari pada Fase I Tahap Tanggap Darurat Awal : Kebutuhan Bahan Kebutuhan/ Makanan Untuk 1500 Jumlah Bahan Tambahan Pengungsi Orang/ Hari Kebutuhan makanan 10% (kg) (g) (kg) Per Hari Per 3 Hari (kg) (kg) Biskuit 100 150 450 45 495 Mie Instan 320 480 1440 144 1584 Sereal 50 75 225 22,5 247,5 (Instan) Blended food 50 75 225 22,5 247,5 (MP-ASI) Susu untuk anak balita (1 40 60 180 18 198 -5 tahun) 2) Fase II Tanggap Darurat Awal Kegiatan terkait penanganan gizi pada fase II, adalah: a) Menghitung kebutuhan gizi Berdasarkan analisis hasil Rapid Health Assessment (RHA) diketahui jumlah pengungsi berdasarkan kelompok umur, selanjutnya dapat dihitung ransum pengungsi dengan memperhitungkan setiap orang pengungsi membutuhkan 2.100 kkal, 50 g protein dan 40 g lemak, serta menyusun menu yang didasarkan pada jenis bahan makanan yang tersedia. b) Pengelolaan penyelenggaraan makanan di dapur umum yang meliputi: Tempat penyimpanan bantuan bahan makanan harus dipisah antara bahan makanan umum dan bahan makanan khusus untuk bayi dan anak. Jenis-jenis bahan makanan yang diwaspadai termasuk makanan dalam kemasan, susu formula dan makanan suplemen. Untuk bantuan bahan makanan produk dalam negeri harus diteliti nomor registrasi (MD), tanggal kadaluarsa, sertifikasi halal, aturan cara penyiapan dan target konsumen. Untuk bantuan bahan makanan produk luar negeri harus diteliti nomor registrasi (ML), bahasa, tanggal kadaluarsa, aturan cara penyiapan dan target konsumen 3. Tanggap Darurat Lanjut Pada tahap ini sudah ada informasi lebih rinci tentang keadaan pengungsi, seperti jumlah menurut golongan umur dan jenis kelamin, keadaan lingkungan, keadaan penyakit, dan sebagainya. Kegiatan penanganan gizi pada tahap ini meliputi: a. Analisis faktor penyulit berdasarkan hasil Rapid Health Assessment (RHA). b. Pengumpulan data antropometri balita (berat badan, panjang badan/tinggi badan), ibu hamil dan ibu menyusui (Lingkar Lengan Atas). c. Menghitung proporsi status gizi balita kurus (BB/TB <-2SD) dan jumlah ibu hamil dengan risiko KEK (LIL <23,5 cm). d. Menganalisis adanya faktor penyulit seperti kejadian diare, campak, demam berdarah dan lain-lain. D. Kualitas Dan Keamanan Pangan Dalam Penanggulangan Bencana Di Daerah Tanggap Darurat Pangan yang dibagikan kepada masyarakat korban bencana bermutu baik dan di tangani secara aman sehingga layak dikonsumsi manusia. Tolok ukur Kunci : 1. Tidak dijumpai persebaran penyakit akibat pangan yang dibagikan. 2. Tidak ada keluhan mengenai mutu bahan pangan yang dibagikan, baik dari penerima bantuan maupun dari petugas. 3. Para pemasok bahan pangan melaksanakan pengendalian mutu secara teratur, dan memasok koditas yang memenuhi standar–standar resmi pemerintah (sehubungan dengan masalah pengemasan, pelabelan, tanggal kadaluarsa, dan sebagainya). 4. Seluruh bahan pangan yang dipasok ke lokasi secara sistimatis di cek lebih dulu oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) setempat 5. Seluruh bahan–bahan pangan yang diterima dari dalam negeri memiliki batas kadaluarsa minimum hingga 6 bulan sudah diterima (Kecuali bahan–bahan seperti sayur–sayur dan buah–buahan segar, dan jagung pipilan). Semua bahan makanan ini harus sudah dibagikan sebelum lewat tanggal kadaluarsa. 6. Terdapat prasarana–prasarana penyimpanan pangan yang memadai (sejalan dengan rekomendasi–rekomendasi terkini) dan pengelolahannya dilaksanakan dengan baik. 7. Staf memperlihatkan pengetahuan yang cukup mengenai ancaman–ancaman potensial bagi kesehatan dari pembagian makanan, yakni risiko–risiko dari pengelolahan yang kurang baik, penyimpanan yang tidak memenuhi syarat dan pembagian yang terlambat DAFTAR PUSTAKA