6 BAB II KAJIAN TEORETIS Agama, adat, seni dan budaya yang tumbuh dan berkembang di Bali adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sinergi keempat unsur kebudayaan itu telah memberikan manfaat untuk keberlangsungan dan kelestarian alam Bali (Bali lestari). Selain itu agama, seni, adat, dan budaya mampu memfilter atau paling tidak meminimalisasi pengaruh negatif globalisasi yang sangat cepat. Pandangan tentang pentingnya kesatuan antara agama, seni, adat, dan budaya oleh para agamawan, seniman, pemuka adat, dan para budayawan sering didengungkan dengan rangkaian kata-kata seperti: agama tanpa seni keindahan terasa hampa, seni tanpa agama menjadikan seni itu tidak memiliki taksu, agama tanpa adat menjadikan agama itu statis dan kurang variasi, dan agama tanpa budaya menjadikan agama itu buta. Budaya yang terdiri dari dua kata yaitu budi dan daya, budi merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang antara baik dan buruk, sedangkan daya adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu atau adaptasi. Jadi budaya adalah paduan segala pikiran dan perilaku manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan baik secara fungsional, stratifikasi maupun profesi yang ditata dalam masyarakat. 2.1 Konsep Budaya dalam Strukturalisme Levi -Strauss Konsep Strukturalisme Levi-Strauss menyatakan, struktur adalah modelmodel yang dibuat oleh ahli Antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2001; 60). Meskipun bertolak pada 7 linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada makna kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata ini menurut Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Strukturalisme Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran manusia dan juga kebudayaannya. Seperti kata-kata hitam dan putih. Hitam sering dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain. Contoh lain adalah kata rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan dengan laki-laki. Sementara emosional dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan. Semua konsep mengenai struktur bahasa tersebut di atas, dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan adanya keterkaitan atau beberapa kesamaan antara bahasa dan budaya, LeviStrauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Levi-Strauss sangat tertarik pada logika mitologi. Itu sebabnya ia mulai dengan mitos, menggabungkan fungsi-fungsi hanya secara vertikal, dan mencoba menerangkan paradigmatik mereka yang tumpah-tindih dengan varian-varian mitos. Model strukturalnya tidak linier (Meletinskij 1969). Selanjutnya, untuk mengetahui makna struktur dalam bidang Antropologi Levi-Strauss, perlu diketahui terlebih dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri. Prinsip dasar struktur yang dimaksud disini adalah bahwa struktur sosial tidak 8 berkaitan dengan realitas empiris, melainkan dengan model-model yang dibangun menurut realitas empiris tersebut (Levi-Strauss, 1958; 378). Bangunan dari model-model itu yang akan membentuk struktur sosial. Menurut Levi-Strauss (1958: 378) ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial; 1. Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen seperti sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya. 2. Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model. 3. Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memperkirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya. 4. Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga kegunaannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi. Lahirnya konsep Strukturalisme Levi-Strauss merupakan akibat dari ketidakpuasan Levi-Strauss terhadap fenomenologi dan eksistensialisme (Fokkema 1978). Masalahnya para ahli Antropologi pada saat ini tidak pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sesungguhnya sangat dekat dengan kebudayaan manusia itu sendiri. 9 Bagi Levi-Strauss telaah Antropologi harus meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik. Levi-Strauss memandang bahwa apa yang ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu akan terdapat kesamaan konsep antara bahasa dan budaya manusia. Singkatnya Levi-Strauss berkeyakinan bahwa untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa. Istilah kekerabatan seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan seperti fonem, kekerabatan memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik (Levi-Strauss 1972 dalam Ahimsa, 2001). Ahimsa (2001: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur dari kebudayaan, maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika kita membahas mengenai kebudayaan, kita tidak pernah bisa lepas dari pembahasan bahasa. 10 Ketiga, menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Berikutnya, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada kebudayaan itu sendiri. Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models (Ahimsa, 2001). Modelmodel matematis pada bahasa dapat berbeda pada tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan. Seperti yang disebutkan oleh Levi-Strauss (1963), korelasi sistem kekerabatan orang-orang Indian di Amerika Utara dengan mitos-mitos mereka, dan dalam cara orang Indian mengekspresikan konsep waktu mereka. Korelasi semacam ini sangat mungkin terdapat pada kebudayaan lain. Menurut Ahimsa-Putra (2001) sekurang-kurangnya ada empat asumsi besar yang melandasi kajian strukturalisme Levi-Strauss atas fenomena sosial budaya sebagai gejala bahasa. Pertama, dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosial budaya dan hasilnya secara formal, semuanya, dapat dikatakan atau dianalogikan sebagai sistem bahasa atau sebagai suatu perangkat sistem tanda atau simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu (Ahimsa, 2001:66). Kedua, ada anggapan juga bahwa setiap manusia normal dikaruniai kemampuan genetis untuk membuat atau menyusun struktur atau menstruktur 11 segala gejala-gejala yang diamati. Terhadap gejala-gejala yang diamati ini manusia mampu menciptakan struktur luar dan struktur dalam, yang pada dasarnya menciptakan sistem relasi baik pada struktur luar dan struktur dalamnya maupun dalam relasi-relasi antara relasi struktur luar yang transformatif dan relasi struktur dalam yang teratur dan taat azas (Ahimsa, 2001:67). Ketiga, mengikuti jejak kaum linguistik struktural, dalam menganalisis fenomena budaya sebagai sistem bahasa/simbol, pandangan strukturalisme LeviStrauss cenderung mengutamakan analisa relasi-relasi sinkronis dari fenomena budaya dari pada analisa relasi-relasi diakronisnya. Ini tidak berarti bahwa relasirelasi diakronis diabaikan, karena baik relasi-relasi sinkronis maupun diakronis adalah saling bertergantungan (Ahimsa, 2001:68). Keempat, memahami makna struktur dalam yang bekerja atas suatu fenomena sosial budaya, menurut pandangan strukturalis, dapat diperas atau digeneralisasikan secara abstrak dalam bentuk relasi-relasi oposisi biner/berpasangan baik yang bersifat eksklusif maupun yang tidak eksklusif (Ahimsa, 2001: 69). Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian dapat dipahami juga bahwa strukturalisme LeviStrauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat. 12 Antropologi mengalami perkembangan pesat setelah dikembangkan dengan model linguistik, terutama setelah diakuinya bidang Fonologi atau ilmu tentang bunyi dalam bahasa (Fokkema 1978). Namun demikian, perlu juga diperhatikan beberapa perbedaan mendasar antara sifat keilmuan Fonologi dengan apa yang ada dalam Antropologi/Sosiologi. Levi-strauss mengakui bahwa analisis yang benar-benar ilmiah harus nyata, sederhana, dan bersifat menjelaskan (Levi-Strauss 1972).Tetapi hal itu agak berbeda dengan apa yang ada dalam Antropologi. Antropologi/Sosiologi bukan bergerak dari hal-hal yang kongkret, analisis Antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan, manjauhi yang kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan akhirnya hipotesisnya tidak menawarkan penjelasan bagi fenomena maupun asal-usul sistem itu sendiri. Antropologi/Sosiologi berurusan dengan sistem kekerabatan pada titik persilangan dua tatanan realitas yang berbeda, sistem terminolog dan sistem sikap. Fonologi bisa diterangkan secara ekskulsif dalam sistem persitilahan; ia tidak perlu memperhitungkan segala sikap sumber sosial atau sumber psikologis, tetapi bagaimana manusia mengucapkan vokal. Asumsi dasar nalar manusia (human mind) adalah sistem relasi (system of relation). Kebudayaan dan bahasa berposisi sejajar karena keduanya merupakan hasil dari nalar manusia. Antropolog Levi-Strauss bertujuan menemukan model bahasa dan budaya melalui strukturnya. Pemahaman terhadap pikiran dan perilaku kehidupan manusia, serta relasi manusia dengan tradisi sangat penting. Kebudayaan adalah produk atau hasil aktifitas nalar manusia yang memiliki kesejajaran dengan bahasa dan tradisi. Tradisi adalah sebuah jalan bagi 13 masyarakat untuk memformulasikan dan memperlakukan fakta-fakta dasar dari eksistensi kehidupan manusia. Tradisi adalah tatanan transendental sebagai pengabsah tindakan dan juga sesuatu yg imanen dalam situasi aktual dan bersesuaian dengan konteks bersifat dinamis (J.C. Hastermann). sebagai contoh: Konsensus manusia tentang persoalan kehidupan dan kematian merupakan suatu tradisi yang penuh dengan simbul dan tradisi, oleh karena itu selalu dengan upacara yang berbeda menurut pemahaman suatu suku atau pemeluk agama tertentu. Sehubungan dengan hal ini, pengaruh pemikiran tokoh-tokoh terhadap strukturalisme Levi-Strauss cukup besar. Levi-Strauss Strauss belajar metode komparasi tentang geologi masyarakat (Marx) untuk menemukan geologi psikis (Freud) dan bagaimana pola umum objek dalam menjelaskan gejala yang tersembunyi. Kajiannya berupa relasi antara keilmuan yang inderawi dan yang linguistik rasional yang dilakukan oleh Fredinand de Saussure (1857-1913), ahli bahasa Swiss yang membangun Strukturalisme dari sudut ilmu bahasa struktural yg akhirnya menjadi teori Strukturalisme itu. Bahasa adalah sistem tanda (sign) (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto 2005: 127-128). Suara dapat dikatakan sebagai bahasa jika dapat mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan ide atau pengertian tertentu. Elemen dasarnya adalah kata-kata. Jadi ide tidak ada sebelum adanya kata-kata. Suara yang muncul dari sebuah kata adalah penanda (signifier), konsep suara tersebut adalah tinanda (signified). Contoh: Jaran, kuda, horse adalah penanda. Sedangkan binatang berkaki 4 (empat) dan berlari kencang adalah tinanda. Hubungan antara penanda 14 dan tinanda disebut arbiter. Tinanda dari sebuah penanda dapat berupa apa saja, tergantung dari relasinya. Menurut Fredinand de Saussure konsep bentuk (form) dan isi (content) penanda dan tinanda selalu memiliki bentuk dan isi. (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto 2005: 128). Isi bisa berubah, namun bentuknya tidak. Untuk dapat mengetahui kekhasan bentuk (distinctive form) ialah dengan mengenali perbedaan satu kata dengan kata yang lain (differensiasi sistematis). Sebagai contoh: babu, tabu, sabu, jelas sekali walaupun fonemnya hampir sama, tetapi artinya sangat berbeda, karena perbedaan sistimatis tersebut. Kehidupan manusia dibentuk oleh struktur bahasa. Studi tentang struktur bahasa melalui tanda melahirkan Semiotics, yaitu suatu ilmu yang lebih luas kajiannya dari pada Strukturalisme, karena juga menganalisa sistem simbol, bahasa tubuh, naskah sastra, ekspresi, dan bentuk komunikasi. Tokoh Semiotics yang melakukan studi sinkronis (fakta bahasa sebagai sistem) bukan diakronik (historis bahasa dan perubahan evolutifnya), serta berusaha untuk membedakan sintagmatis dan paradigmatis. Sintagmatis adalah hubungan yang dimiliki sebuah kata dengan kata sebelumnya. Contoh: kata menggigit akan berhubungan dg anjing, kedinginan, kegeraman, dan lain sebagainya. Sedangkan paradigmatis atau asosiatif adalah relasi antara suku kata dengan kata lain diluar hubungan sintagmatis. Sebagai contoh: kata menggigit juga ada relasinya dengan mencaplok, mengerogoti, memakan, dan lain sebagainya. 15 Sebuah struktur oposisi biner yang ideal, segala sesuatu arti/makna dapat dimasukkan dalam dua kategori. Kategori X ataupun kategori Y. Suatu kategori X tidak ada dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan kategori Y. Selanjutnya dalam sistem biner, hanya ada dua sign (tanda) yang hanya memiliki makna bila masing-masing beroposisi dengan yang lain. Suatu kategori jadi exist atau bermakna, karena ditentukan oleh ketidak existan/ketidakbermaknaan kategori yang lain. Contoh yang jelas dalam sistem biner adalah : laki-laki dan perempuan. Seseorang disebut laki-laki karena dia bukan perempuan. Contoh lain adalah gunung dan lembah. Disebut gunung, karena dia bukan lembah dan begitulah seterusnya, seperti: . publik dan privat, daratan dan lautan, positip dan negatip. Sistem oposisi biner tidaklah lahir secara natural. Dia adalah berbentuk produk atau reproduksi budaya. Dia lahir karena manusia punya sistem penandaan dalam otaknya (genital-communication), dan sistem penandaan ini digunakan untuk menstrukturkan persepsi serta pemahaman manusia pada dunia di luar mereka, baik terhadap alam natural atau pun dunia sosial melalui penggolonganpenggolongan. Sistem oposisi biner ini oleh manusia tidak saja digunakan untuk mengkategorikan sesuatu yang hanya ada di dunia alamiah, tetapi dia juga digunakan untuk untuk memahami/menjelaskan kategori-kategori makna yang abstrak. Contoh sederhana adalah oposisi biner alamiah seperti batu dan air diparalelkan dengan keras <-> lunak, diabstrakkan jadi pemerintah yang kejam dan pemerintah yang ramah. 16 Strauss merupakan Antropolog strukturalis yang banyak menggunakan teori-teori bahasa. Bagi Strauss, oposisi biner adalah the essence of sense making, yaitu struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap budaya dan dunia tempat kita hidup. Oposisi biner adalah sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Dalam struktur oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu dimasukkan dalam kategori A maupun kategori B, dan dengan memakai pengkategorian itulah, kita mengatur pemahaman dunia di luar kita. Suatu kategori A tidak dapat eksis dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan kategori B. Kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B. Tanpa kategori B, tidak akan ada ikatan dengan kategori A, dan bahkan tidak akan ada kategori A. Dalam sistem biner, hanya ada dua tanda atau kata yang hanya punya arti jika masing-masing beroposisi dengan yang lain. Keberadaan mereka ditentukan oleh ketidakberadaan yang lain. Misalnya dalam sistem biner laki-laki dan perempuan dan laki-laki, daratan dan lautan, atau antara anak-anak dan orang dewasa. Seseorang disebut laki-laki karena ia bukan perempuan, sesuatu itu disebut daratan karena ia bukan lautan, begitu seterusnya. Oposisi biner adalah produk dari budaya, ia bukan bersifat alamiah. Ia adalah produk dari sistem penandaan, dan berfungsi untuk menstrukturkan persepsi kita terhadap alam natural dan dunia sosial melalui penggolonganpenggolongan dan makna. Strauss juga menyebutkan konsep dasar dari oposisi biner yaitu the second stage of the sense-making process: penggunaan kategorikategori sesuatu yang hanya eksis di dunia alamiah (sesuatu yang kongkret) untuk menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang abstrak. Contoh sederhana 17 dari konsep ini misalnya diberikan oleh John Fiske (1994): konsep oposisi biner angin badai dan angin tenang (kongkret) misalnya, bisa disejajarkan dengan oposisi biner alam yang kejam dan alam yang tenang (abstrak). Kata tidak lagi dapat dianggap sebagai satuan linguistik paling dasar karena yang terkecil adalah fonem (satuan) bunyi yang terkecil dan berbeda, sebagai contoh: kutuk (satu jenis ikan yang hidup di air) dan kuthuk (anak ayam) (Jawa). Perbedaan t dan th inilah yang disebut fonem(Ahimsa, 2001:54). Fonem adalah konsep linguistik bukan konsep psikologis. Struktur terbagi dua, yaitu: Struktur permukaan/luar (surface structure): adalah relasi-relasi antar unsur yg dapat dibuat atau dibangun berdasarkan ciri-ciri empiris dari relasi tersebut. Sedangkan struktur batin/dalam (deep structure): adalah susunan tertentu yg dibangun atas struktur lahir yg telah berhasil dibuat,(Ahimsa, 2001:61). Transformasi adalah perubahan bahasa pada struktur luar, tapi pada struktur dalam tetap sama. Pemahaman kita akan adanya struktur dalam setiap benda atau aktivitas manusia memudahkan identivikasi benda atau aktivitas tersebut. Hal yang perlu diperhatikan dalam Strukturalisme adalah adanya perubahan pada struktur tersebut. Perubahan yang terjadi dalam suatu struktur disebut dengan transformasi (transformation). Transformasi harus dibedakan dari kata perubahan yang berarti change. Karena dalam proses transformasi tidak sepenuhnya berubah. Hanya bagian-bagian tertentu saja dari suatu struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada. (Ahimsa, 2001:61). 18 Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa terbentuknya struktur merupakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai relations of relations atau system of relation (sistem relasi) . (Levi-Strauss, dalam Ahimsa 2001:60). Teori LeviStrouss ini sangat di pengaruhi oleh para ahli bahasa dunia. Diantara mereka yang sangat berpengaruh terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman Jakobson dan Nikolay Trobetzkoy , (Levi-Strauss, dalam Ahimsa 2001:33). Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki keyakinan bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang bersifat struktural. 2.2 konsep rwa-bhineda Orang Bali sangat percaya bahwa kehidupan sosial di dunia ini diatur dan terikat oleh hukum rwa-bhineda. Konsep berpikir ini menjelaskan bahwa kehidupan manusia di dunia ini selalu terikat dengan dua klasifikasi yang beroposisi (oposisi biner). Tetapi, ini tidak sepenuhnya menunjukkan hubungan yang eksklusif melainkan sebagian bersifat komplementer; dalam arti bahwa masing-masing sisi kehidupan itu adalah bagian dari keseluruhan untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan sosial dan tatanan jagad raya ini (Swellengrebel, 1960). Dengan cara berpikir seperti ini orang Bali percaya bahwa kehidupan ini tidak lepas dari ikatan-ikatan: buana agung-buana alit, hulu/luanteben, suci-leteh, purusa-predana, baik-buruk, dharma-adharma, bahagia-menderita, hidup-mati, sehat-sakit, dan sebagainya (Widja,1989). 19 Pola berpikir seperti ini ternyata membentuk pola struktur sosial dan budaya masyarakat Bali. Pertama, orang Bali meyakini bahwa hidup sebagai manusia di jagad raya ini tidak lepas dari ikatan konsep buana agung dan buana alit. Kedua unsur dunia ini diyakini ikut mempengaruhi sifat karakter dan tindakan manusia. Buana agung dalam hal ini melambangkan kekuatan alam semesta yang lebih besar karena kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Waca). Sedangkan buana alit melambangkan kekuatan unsur-unsur dalam diri manusia. Karena kekuatan unsur alam semesta (kosmik) ini manusia haruslah selalu menghidupkan kekuatan dua unsur dunia ini agar memperoleh rahmat kehidupan yang baik, bahagia, sehat, dan sejahtera. Mengabaikan salah satu di antaranya dipercaya akan menimbulkan ketidakseimbangan yang bermuara pada penderitaan, mala petaka, penyakit, dan ketidakbahagiaan. Pada tingkat struktur permukaan adanya dua kekuatan kosmik ini mengatur hubungan manusia Bali dengan lingkungannya, dengan dirinya sendiri, dengan masyarakatnya, dan dengan kekuasaan supranatural, kekuasaan para dewa/betara, kekuasaan adikodrati, Yang Maha Tunggal, yakni kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungan-hubungan ini di tingkat struktur permukaan, relasi-relasi yang terbentuk secara konsisten menunjukkan adanya oposisi biner ini. Perlu diketahui juga bahwa dalam pemikiran seperti ini sifat hubungan manusia Bali yang rwa-bhineda dengan lingkungan buana alit dan buana agung, di samping memiliki relasi yang sejajar karena masing-masing bersifat komplementer, tetapi tidak dapat dipungkiri pula bahwa hubungan antara buana 20 alit dan buana agung juga bisa bersifat subordinasi. Artinya, hubungan manusia dengan kekuasaan buana agung dianggap lebih utama/superior dari pada hubungannya dengan kekuasaan buana alit. Dalam hal ini buana agung dianggap dapat menguasai buana alit dan tidak sebaliknya. Sifat relasi-relasi seperti inilah yang nanti tampak akan dijelaskan konsistensinya pada adanya hubungan konsepkonsep kaja-kelod (utara-selatan) atau kangin-kauh (timurbarat), hulu-teben (atasbawah), suci-leteh (suci-kotor), segara-gunung (laut-gunung), purusa-predana, laki-laki-perempuan, dharma-adharma (kebajikan-kejahatan), cubhaacubha karma (perbuatan baik-buruk), dan sejenisnya yang mengatur tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Secara geografis, daratan pulau Bali didominasi oleh daerah pegunungan yang membentang di bagian tengah pulau Bali dari barat sampai ke timur. Membentangnya daerah pegunungan ini telah membagi dua wilayah pulau Bali yaitu wilayah Bali selatan sebagai daerah pertanian dan pantai yang subur dan wilayah di balik pegunungan yang disebut dengan daerah Den Bukit (daerah kabupaten Buleleng). Kondisi ini memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam konsep rwa-bhineda pembagian daerah dataran rendah dan daerah pegunungan ini telah memunculkan konsep kaja dan kelod. Konsep kaja mengacu pada daerah gunung/bukit dan daerah kelod mengacu pada daerah pantai. Di samping itu, masyarakat Bali juga mengenal konsep kangin-kauh. Kangin merupakan arah matahari terbit, dan kauh mengacu pada arah matahari terbenam. 21 Keadaan ini berimplikasi pada perbedaan penataan lingkungan fisik, sosial, dan religius antara masyarakat Bali selatan dengan masyarakat Den Bukit. Ini karena masyarakat Bali menempatkan gunung sebagai daerah hulu/luan karena sebagai tempat bersemayamnya para dewa; dan daerah pantai sebagai daerah teben. Dua konsep ini menimbulkan pula konsep suci dan leteh serta berbagai dampak yang ditimbulkannya. Karena itu, arah kaja-kangin (utara-timur/timur laut) dianggap sebagai arah daerah yang suci, sedangkan arah kelod-kauh (selatanbarat/barat daya) sebagai arah yang profan/tidak suci. Tidak mengherankan kemudian bahwa dalam struktur keluarga dan masyarakat desa/banjar adat di Bali, tempat suci atau pura keluarga dan pura desa umumnya diletakkan di bagian kaja-kangin dari lingkungan keluarga atau desa adat sebagai daerah hulu/suci. Sebaliknya, wilayah untuk kepentingan profan seperti pembuatan wilayah peternakan atau pertanian, atau kuburan, dan di lingkungan keluarga sebagai tempat beternak, dapur, dan kamar mandi umumnya diletakkan di bagian kelodkauh lingkungan keluarga atau desa adat sebagai daerah teben/leteh. Sesuai dengan konsep hulu-teben ini juga orang Bali umumnya memandang daerah atau wilayah sebatas kepala orang dewasa ke atas dianggap sebagai daerah hulu/suci, dan daerah sebatas perut ke bawah dianggap sebagai wilayah teben/leteh. Karena itu, dianggap menyalahi aturan jika orang Bali meletakkan barang-barang atau benda-benda yang profan berada di atas kepala manusia. Begitu pula sebaliknya, dilarang untuk menempatkan benda-benda suci atau sakral berada di bawah. 22 2. 3 Konsep Tri Hita Karana Ideologi Tri Hita Karana secara historis merupakan warisan ajaran Maha Mpu Kuturan yang secara tradisi dipahami sebagai peletak dasar desa pakraman (desa adat di Bali) dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali sejak abad ke 11 (Titib, 2002). Dari konsep desa pakraman inilah, yang kemudian dikaitkan pula dengan konsep pura kahyangan tiga atau pura kahyangan desa, melahirkan konsep Tri Hita Karana sebagai tatanan harmoni hidup manusia dengan alam lingkungan, sesama, dan Tuhan Yang Maha Esa. Konsep ini juga merupakan konsep keseimbangan antara pemenuhan kepentingan materi dan atau kepentingan individu dengan kepentingan sosial dan kepentingan spiritual yang disiapkan Mpu Kuturan sebagai proteksi terhadap kepentingan eksistensi agama Hindu di Bali. Secara terminologi, konsep Tri Hita Karana berasal dari kata tri yang berarti tiga; hita yang berarti sejahtera, bahagia, rahayu; dan karana yang berarti sumber penyebab. Jadi tri hita karana berarti tiga sumber penyebab adanya kesejahteraan, kebahagiaan, dan kerahayuan dalam hidup dan kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan, Sudarma 1971 (dalam http://sudarnayasa- cahyadarna.blogspot.com/2012/04/penerapanajaran-tri-hita-karana-dalam.html) Ketiga penyebab kebahagiaan hidup itu adalah apabila dapat terwujud hubungan yang harmonis antara manusia dengan penciptanya (Tuhan Yang Maha Esa), manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungan alamnya. Tri Hita Karana ini kemudian berkembang menjadi ajaran keserasian, keselarasan, keseimbangan, dan sekaligus juga tentang ketergantungan satu sama lainnya dalam satu sistem kehidupan. Dikatakan demikian, karena, dalam 23 pandangan masyarakat Hindu Bali, masyarakat selalu berusaha bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya. Hal itu dilandasi oleh satu kesadaran bahwa alam semesta adalah kompleksitas unsur-unsur yang satu sama lainnya terkait dan membentuk suatu sistem kesemestaan. Dengan demikian nilai utama masyarakat Hindu Bali adalah keseimbangan atau keselarasan itu sendiri. Prinsip utama keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dan dengan lingkungan alamnya ini menjadi pandangan dunia masyarakat Bali, baik dalam mengembangkan sistem pengetahuannya, pola-pola perilaku, sikap, nilai-nilai, tradisi, seni, dan sebagainya. Pandangan ini sangat berguna bagi masyarakat Bali dalam usaha memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapi baik dalam hubungan antar individu maupun kelompok. Karena prinsip-prinsip utama ini menjadi dasar bagi pembinaan dan pengembangan sikap, nilai-nilai, perilaku, serta pola hubungan sosial masyarakat Bali, dan prinsip-prinsip ini terinternalisasi serta terinstitusionalisasi dalam struktur sosial kehidupan masyarakat Bali, maka dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai dari ideologi Tri Hita Karana ini menjadi core values dalam kehidupan budaya masyarakat Bali itu sendiri. Core velues ini dapat juga menjadi basis bagi standar yang digunakan institusi-institusi utama seperti keluarga, kelompok kekerabatan, dan desa adat di Bali mengevaluasi anggota-anggotanya. Standar inilah yang menjadi kriteria untuk memberikan kesempatan kepada setiap insan manusia Bali mencapai kemajuan dan memperoleh reward dari sikap dan tindakannya di masyarakat. 24 Implikasi dari adanya pandangan yang mengandung core values seperti di atas, unsur-unsur dalam struktur sosial yang membangun masyarakat Bali menerapkan prinsip-prinsip Tri Hita Karana itu sesuai dengan lingkungan kehidupannya. Pada tataran individu, manusia Bali sebagai lingkungan dunia mikrokosmos (buana alit), misalnya, diyakini bahwa kehidupan manusia merupakan wujud yang dinamis dari gerak hubungan unsur-unsur atman (jiwa), prana (tenaga, kekuatan), dan sarira (unsur badan kasar). (http://sudarnayasacahyadarna.blogspot.com/2012/04/penerapanajaran-tri-hita-karana-dalam.html) Berdasar dengan itu, maka pranata-pranata sosial masyarakat Bali yang lebih luas sebagai lingkungan dunia makrokosmosnya, dari organisasi keluarga sebagai pranata sosial yang terkecil, kelompok kekerabatan (klen), desa adat, organisasi subak, hingga masyarakat Bali secara keseluruhan, menerapkan pola yang sama dalam menciptakan hubungan yang harmonis dari ketiga unsur di atas dalam membangun pola aktivitas budaya sehari-hari melalui peneguhan pelaksanaan konsep-konsep parhyangan, pawongan, dan palemahan (Gorda, dalam Disertasi IGAN Oka Kamasan 2003:59). Melalui konsep parahyangan, manusia dan masyarakat Bali meyakini bahwa segala yang ada di dunia ini termasuk manusia adalah bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa dan, karena itu, pasti akan kembali menghadap kepadaNYA. Kesadaran ini mendorong manusia dan masyarakat Bali untuk meningkatkan crada dan bhakti (iman dan taqwa) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca sesuai dengan ajaran-ajaran agama, keyakinan, serta tradisi yang dianutnya. Tidak mengherankan karena itu pada setiap lingkungan pranata sosial 25 di Bali selalu ada di bangun tempat suci untuk memuliakan Tuhan sebagai wahana bagi manusia berhubungan dengan Tuhan. Begitu pula diyakini bahwa segala produk budaya dan peradaban manusia dan masyarakat Bali diciptakan adalah sebagai persembahan kepada Tuhan atau kepada para Dewa yang sering disebut dengan yadnya. Ini dapat kita lihat, misalnya, dari makna-makna simbolik yang religius dominan bersembunyi dan terkandung pada pelaksanaan yadnya, aktivitas tradisi atau adat, serta hasil-hasil karya budaya dan kesenian Bali (Gorda, dalam Disertasi IGAN Oka Kamasan 2003:60). Melalui konsep pawongan, selanjutnya, manusia dan masyarakat Bali meyakini bahwa pada hakikatnya manusia itu sama sebagai makhluk dan hamba Tuhan yang berbudaya, dan, karena itu, perlu dikembangkan sikap saling asah, asih, dan asuh serta bekerja sama demi tujuan hidup manusia bersama sebagai makhluk social. Prinsip ini relevan dengan ajaran Hindu dalam Weda yang menjadi dasar keyakinan masyarakat Hindu Bali, yaitu ajaran tentang Tat Twam Asi yang secara harfiah berarti “ia adalah kamu juga”. Dengan ajaran Tat Twam Asi ini dimaksudkan bahwa sesungguhnya semua manusia itu adalah satu dan sama sebagai makhluk Tuhan. Karena itu, diyakini bahwa menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri pula (Mantra, 2011). Hubungan harmonis sebagai aplikasi ajaran Tat Twam Asi ini tidaklah hanya terjadi di lingkungan keluarga saja. Dalam kehidupan sosial masyarakat Bali pada umumnya pun juga dikembangkan azas-azas hubungan sosial dalam hidup bermasyarakat, seperti azas suka duka; paras paros (hidup rukun); 26 salunglung sabayantaka (baik buruk, manis pahit dirasakan bersama); dan azas saling asah asih, dan asuh; serta kehidupan gotong royong yang kental mewarnai aktivitas kemasyarakatan di desa adat dan pranatapranta sosial lainnya . Unsur yang ketiga dari ajaran Tri Hita Karana adalah palemahan. Melalui konsep ini, manusia dan masyarakat Bali meyakini perlunya hubungan yang harmonis antara manusia dengan unsur-unsur dan kekuatan alam lainnya. Hubungan seperti ini disimbolkan dengan ungkapan “kadi manik ring cecepu” (seperti janin dalam rahim ibunya) (Putra, 1973). Dengan ini manusia Bali mengembangkan kesadaran bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari alam, karena alamlah yang memberi manusia kesejahteraan. Bahkan manusia Bali meyakini bahwa unsur-unsur dan kekuatan alam ini adalah saudara manusia juga seperti disimbolkan bahwa setiap bayi yang lahir selalu bersama empat saudaranya (ari-ari, air ketuban, lamas/pembungkus ari-ari dan air ketuban, dan darah). Wujud cinta kasih manusia Bali terhadap unsur-unsur dan kekuatan alam semesta ini diekspresikan dalam bentuk upacara korban kepada para bhuta (butha yadnya), di samping secara aktif memelihara dan melestarikan alam lingkungannya, (Gorda, dalam IGAN Oka Kamasan 2003:66). Ada banyak elaborasi yang dapat dijelaskan yang menggambarkan aktivitas riil budaya masyarakat Bali yang mencerminkan pelaksanaan unsurunsur core values di atas, baik pada tataran individu, keluarga, kelompok kekerabatan, seka, subak, desa adat, organisasi fungsional, maupun pada kelompok masyarakat Hindu Bali secara keseluruhan. Pada level manapun 27 ideologi ini dipraktikkan, dasarnya adalah hubungan harmonis antara ketiga eksistensi di atas haruslah tetap dijalankan. Setangkup dengan gagasan Tri Hita Karana di atas, konsep klasifikasi tiga dimensi juga tampak dalam penerapan pada kehidupan sosial budaya masyarakat Bali adalah konsep triangga, trimandala, dan triloka. Dikatakan setangkup karena konsep-konsep ini juga merupakan manifestasi dari adanya relasi oposisi biner pada hubungan antara manusia sebagai unsur buana alit dengan lingkungan kosmiknya sebagai buana agung. Konsep triangga menjelaskan bahwa manusia haruslah memperlakukan struktur diri dan masyarakatnya sesuai dengan kedudukan hulu-teben (atas-bawah/suci-leteh) dari masing-masing unsurnya. Konsep ini menjelaskan adanya tiga unsur badan (diri, bangunan, organisasi, sistem nilai) sesuai dengan kedudukan hulu-teben, yaitu: utama angga, madia angga, dan nista angga. Konsep trimandala, selanjutnya, menjelaskan penataan atau pengaturan lingkungan (rumah, pura, desa) sesuai dengan kedudukan hulutebennya menjadi tiga bagian, yaitu: utama mandala, madia mandala, dan nista mandala. Akhirnya, konsep triloka menjelaskan kepercayaan masyarakat Bali bahwa alam semesta kosmik ini sesungguhnya terdiri dari tiga bagian sesuai kedudukan hulutebennya, yaitu dunia swah loka (dunianya para Dewa), dunia bhwah loka (dunianya manusia), dan dunia bhur loka (dunianya tumbuhtumbuhan, binatang, dan roh-roh yang lebih rendah derajatnya dari manusia). 2.4 konsep Panca Sradha Selain konsep Tri Hitakarana di atas, umat Hindu dalam melaksanakan upacara yadnya juga didasari oleh Panca Sradha. Dalam ajaran agama Hindu, 28 Tatwa juga termasuk salah satu kepercayaan. Kepercayaan juga dikenal dengan istilah Sradha yang berarti keimanan,keyakinan,kepercayaan. Ada lima macam keyakinan dalam Agama Hindu yang disebut dengan Panca Sradha, yang berarti lima macam keyakinan/ kepercayaan atau keimanan yang harus dipedomani oleh setiap umat hindu dalam hidup dan kehidupannya. Panca Sradha tersebut terdiri dari : 1. Percaya dengan adanya Tuhan/Brahman (Widhi Sraddha). 2. Percaya dengan adanya atma (Atma Sraddha). 3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala(Karmaphala Sraddha). 4. Percaya dengan adanya Punarbhawa/Samsara(Punarbhawa Sraddha). 5. Percaya dengan adanya Moksa(Moksa Sraddha),( Anak Agung, 2009:2035). Percaya dengan adanya Tuhan/brahman (Widhi Sraddha).Widhi Tatwa yang merupakan salah satu bagian dari panca saradha, yang menyatakan bahwa umat Hindu percaya dan yakin dengan adanya Tuhan, hal ini dapat di yakini dengan melalui cara-cara yang di sebut Tri Pramana yang berarti tiga cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan,atau cara bagaimana umat Hindu menjadi tahu tentang adanya sesuatu, dalah hal ini yaitu Brahman atau Tuhan.Ada pun bagian dari Tri Pramana adalah : 1. Kepercayaan Umat Hindu terhadap adanya Brahman didasarkan pada kenyataan, Dimana para maharesi secara nyata dan jelas dapat menerima dan mendengar wahyu Tuhan, orang suci atau maharesi langsung menerima wahyu Tuhan yang di sebut sebagai Pratyaksa Pramana. 29 2. Kepercayaan Umat Hundu terhadap adanya Brahman didasarkan pada logika atau gejala alam atau rahasia alam yang tidak dapat terpecahkan oleh manusia. Maka berdasarkan logika pasti ada penyebab atau sumber dari gejala keanehan alam raya ini,prnyebab atau sumber tersebut tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa. Hal inilah yang di sebut sebagai Anumana Pramana. 3. Kepercayaan Umat Hindu terhadap adanya Brahman didasarkan pada pemberitahuan orang lain yang di percaya atau berdasarkan ajaran agama atau Kitab Suci Veda. Dengan dasar ajaran Agama umat Hindu percaya dengan adanya Tuhan. hal ini yang disebut Agama Pramana. Habib Mustopo menjelaskan bahwa ”orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa selalu merasa dilindungi oleh Tuhan dan dalam suasana, keadaan yang bagaimanapun mereka tidak merasa takut. Keyakinan bahwa tidak ada daya upaya dan tiada kekuatan yang akan mempengaruhi atau membinasakan kalau Tuhan tidak mengijinkan. Mengingat kebutuhan manusia akan rasa aman itulah yang menjadi pokok atau pangkal utama bagi manusia untuk mempercayai Tuhan dan perlunya hidup beragama”, (Mustopo,1983:59). Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa kepercayaan manusia kepada yang Berkuasa itu berkembang sesuai dengan perkembangan pikiran dan peradaban manusia itu sendiri, untuk menampung dan memberikan jawaban atas kegelisahan dan keragu-raguan yang mencemaskan dan menakutkan (Mustopo,1983:59). Kalau dahulu orang mempercayai benda-benda, binatang-binatang, barang- 30 barang, batu dan sebagainya yang dapat menolongnya untuk mencapai rasa aman, maka turunlah Nabi-Nabi yang akan menolong manusia dalam hidupnya. Percaya dengan adanya atma (Atma Sraddha). Dalam Agama Hindu, Atma dipandang sebagai kesadaran sejati yang merupakan hidupnya badan jasmani, dalam Upanisd dinyatakan Atman itu hakikatnya sama dengan Brahman yang dinyatakan bahwa Brahman Atman Aikyam yang artinya Brahman dan Atman itu satu adanya, Brahman adalah asas alam semesta sedangkan Atman adalah asas hidup manusia, ( Anak Agung, 2009:25) Andrew Lang menyatakan bahwa ”dalam jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktifitas pikiran manusia yang rasional. Kemampuan gaib pada manusia itulah yang menurut Lang menyebabkan timbulnya konsep jiwa, sebagai kekuatan penggerak hidup”, Andew Lang (dalam Koentjaraningrat, 1987:59) Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala(Karma Phala Sraddha). Karmaphala terdiri dari dua kata yaitu karma dan phala, berasal dari bahasa Sanskerta. Karma artinya perbuatan dan Phala artinya buah, hasil, atau pahala. Jadi Karmaphala artinya hasil dari perbuatan seseorang, ( Anak Agung, 2009:28). Umat Hindu Bali percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Jadi seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya. Karmaphala memberi keyakinan kepada masyarakat Hindu untuk mengarahkan segala tingkah laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna 31 mencapai cita- cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk. Percaya dengan adanya Punarbhawa/Samsara(Punarbhawa Sraddha). Kata punarbhawa terdiri dari dua kata Sanskerta yaitu punar (lagi) dan bhawa (menjelma). Jadi Punarbhawa ialah keyakinan terhadap kelahiran yang berulangulang yang disebut juga penitisan atau samsara, ( Anak Agung, 2009:32). Dalam Pustaka suci Weda tersebut dinyatakan bahwa penjelmaan jiwatman berulangulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut samsara. Kelahirannya yang berulang- ulang ini membawa akibat suka dan duka. Punarbhawa atau samsara terjadi oleh karena jiwatman masih dipengaruhi oleh Wisaya dan Awidya sehingga kematiannya akan diikuti oleh kelahiran kembali. Segala perbuatan ini menyebabkan adanya bekas (wasana) pada jiwatma. Bekas- bekas perbuatan (karma wasana) itu ada bermacam- macam, jika yang melekat bekas- bekas keduniawian maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang ditarik oleh halhal keduniawian sehingga jiwatman itu lahir kembali. Percaya dengan adanya Moksa(Moksa Sraddha). Moksa merupakan bahasa sansekerta yang berarti pembebasan,kelepasan,atau kelepasan dari keterikatan benda-benda duniawi hingga mencapai bersatunya Atman dengan Brahman. Kebebasan yang sulit dicapai banyak makhluk akan lahir dan mati. serta hidup kembali tanpa kemauannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada binasa dikala semua makhluk binasa, ( Anak Agung, 2009:35). 32 Kelima keyakinan inilah yang menjadi dasar masyarakat Hindu dalam melaksanakan segala hal di dunia ini. Sehingga untuk menjaga keyakinan tersebut dan untuk mencapai tujuan yang terakhir, umat hindu melaksanakan yadnya yang salah satunya yaitu ritual Melasti. 2.5 Landasan Agama Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsikonsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsikonsepsi tersebut dengan suatu aturan tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut, nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada. Walaupun pemikiran agama dikatakannya sebagai tidak semata- mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual. Menurut Geertz kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan.(http://etnobudaya.net/2009/07/24/keragamanbudayaindonesia/#comm ent-364). 33 LeviStrauss(dalam,http://muhammadsyukur10.blogspot.com/2009/11/tradi si-durkhemian-dalam-teori-marcel.html) menyatakan bahwa pengkajian mengenai hubungan antara struktur sosial dengan agama serta upacara adalah pengkajian dalam kaitannya dengan kenyataan-kenyataan sosial dan ekonomi yang ada dalam lingkungan masyarakat. Agama mempunyai berbagai fungsi penting yang terwujud dalam berbagai cara dalam kehidupan sosial manusia. Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah: 1) Membentuk dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat, yaitu etos dan pandangan hidup, yang antara lain terwujud dalam penekanannya pada bentuk-bentuk kelakuan yang wajar dan tepat menurut bidang atau arena sosial yang ada. 2) Agama menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu yang dihadapi manusia dan yang dirinya sendiri adalah sebagian dari padanya, sehingga kedudukan dan peranannya menjadi jelas dan penerimaannya atas berbagai tahap dan keadaan kondisi kehidupan yang dihadapi dan dialaminya dapat diterima secara masuk akal baginya. Salah satu dari peranannya yang jelas terlihat adalah bahwa dalam keadaan kekacauan dan kesukaran, kebingungan dan jiwa tertekan, agama memainkan peranan yang besar bagi individuindividu yang bersangkutan karena agama menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacauan yang dihadapi tersebut. 34 3) Agama mempunyai peranan untuk menyatukan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, yaitu dalam rangkuman struktur sosial yang dimungkinkan oleh adanya peranan dari mitos dan upacara. Keduanya mempunyai peranan yang penting dalam mengkoordinasi titik temu antara struktur sosial dengan agama dan antara agama dengan kehidupan yang nyata. 4) Untuk dapat memperoleh pemahaman mengenai hakekat dan corak dari struktur sosial; kita dapat mempelajari dan mengkaji agama, mitos dan upacara sehingga dapat menemukan dan kemudian menentukan apa yang seharusnya dijelaskan, dibenarkan, dan didukung dalam suatu masyarakat. Sebaliknya kalau kita ingin memahami hakekat dan corak dari agama yang diyakini oleh warga suatu masyarakat. Model-model yang telah dibahas tersebut di atas dapat digunakan secara terseleksi, yaitu tergantung pada masalah yang hendak dikaji dan kenyataan kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat dimana pengkajian itu hendak dilakukan. Selanjutnya Koentjaraningrat , (1987:80) menjelaskan lima komponen dalam religi : Pertama Emosi Keagamaan; menyebabkan bahwa manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakan jiwa manusia. Proses-proses fisiologi serta psikologi yang terjadi bila seseorang dihinggapi emosi keagamaan. Soderblom (dalam Koentjarangrat1987) menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap takut bercampur percaya kepada hal yang gaib serta keramat. 35 Kedua, sistem keyakinan; dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia(kosmogoni), tentang zaman akhirat, tentang wujud dan cirri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, dewa-dewa dan lainnya,(Koentjaraningrat, 1987:81) Sistem keyakinan tersebut biasanya terkandung dalam kesusasteraan suci, baik yang sifatnya tertulis maupun yang lisan, dari religi atau agama yang bersangkutan. Ketiga, Sistem Ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktifitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa dan yang lainnya, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Ritual atau upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, tergantung dari isi acaranya. Suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu dua atau beberapa tindakan seperti: berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi berpuasa, bertapa dan bersamadi,(Koentjaraningrat, 1987:81). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti tempat dan gedung pemujaan, patung dewa, patung orang suci,alat bunyi-bunyian suci, dan para pelaku upacara seringkali harus mengenakan pakaian yang juga yang dianggap mempunyai sifat suci, ,(Koentjaraningrat, 1987:81) 36 Komponen yang kelima adalah umatnya, atau kesatuan social yang menganut sistem keyakinan yang melaksanakan system ritus serta upacara itu. Secara antropologi, kesatuan social yang bersifat umat agama itu dapat berwujud sebagai: (i) keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lain, (ii) kelompok kekerabatan yang lebih besar, seperti keluarga luas,klen, gabungan klen dan lainnya, (iii) kesatuan komunitas seperti desa; (iv) organisasi atau gerakan religi, seperti organisasi penyiaran agama, organisasi sangha dan lainnya. ,(Koentjaraningrat, 1987:82) Kelima komponen di atas merupakan satu kesatuan yang berkaitan erat satu dengan yang lainnya dan saling pengaru- mempengaruhi, baru mendapat sifat keramat yang mendalam apabila dihinggapi oleh emosi keagamaan.(Koentjaraningrat, 1987:82) Secara periodisasi perkembangan agama Hindu Bali mengenal beberapa nama atau sebutan. Sebelum agama Hindu disebut dengan nama Hindu Dharma (kebenaran), dalam perjalanan sejarah Hindu di Bali pernah disebut dengan Agama Tirtha, karena dalam pelaksanaan upacara persembahan atau yadnya menggunakan dan mengutamakan tirtha, yaitu air yang telah diberi doa atau mantra oleh para sulinggih. Ada juga yang menyebut dengan nama “Agama Hindu Bali”, ini dimungkinkan untuk membedakan tata cara pelaksanaan upacara dengan umat Hindu yang ada di luar Bali. Sebelum Agama Hindu masuk ke Bali, penduduk telah memiliki suatu sistem kepercayaan tersendiri dengan istilah animisme. (I Ketut Wiana, Raka Santri, 1993: 89). 37 Upaya penelusuri agama dan keyakinan masyarakat Hindu Bali sebelum masuknya agama Hindu yang dibawa oleh orang-orang Majapahit (para Rsi) amatlah sulit dan melelahkan. Walau penelitian ini tidak mentabulasikan masuknya atau berkembangnya agama Hindu di Bali secara kronologis dan sistematis, namun agama sangat relevan dan bersentuhan langsung dengan judul penelitian yang diangkat. Ritual dan agama dikalangan masyarakat Hindu dharma Bali adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Sinergisme antara ritual dan agama yang terjalin tetap diupayakan oleh masyarakat dengan lembaga/instansi yang berkompeten dalam upaya memperkokoh kelestarian budaya Bali. Upacara ritual dalam agama Hindu Bali sering dikenal dengan sebutan yadnya. Yadnya dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat bali. Yadnya adalah korban suci atau persembahan yang tulus ikhlas yang dipersembahkan kepada Tuhan dan semua makhluk ciptaan-Nya. Dalam pelaksanaannya yadnya ditempuh dengan cara bertingkat (nista, madya, dan utama) menurut kemampuan masing-masing. Berdasarkan jenisnya, upacara yadnya dibedakan menjadi lima yang disebut dengan panca yadnya, yaitu Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Rsi Yadnya, PitraYadnya, dan Butha Yadnya. Dewa Yadnya adalah korban suci yang ditujukan kepada para dewa. Manusa Yadnya adalah korban suci yang ditujukan untuk manusia. Rsi Yadnya adalah korban suci yang ditujukan untuk para rsi. Pitra Yadnya adalah korban suci atau penghormatan kepada orangorang yang telah meninggal. Sementara itu, Butha Yadnya adalah korban 38 suci yang ditujukan untuk para butha kala (Putra, 1993). Surayin (2003:1) menyebutkan bahwa Bhuta Yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk membersihkan tempat/ alam beserta isinya atau memelihara serta memberi panyupatan kepada para bhuta kala dan makhluk-makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia, seperti setan, peri, jin, dan binatang. Namun, yang dikaji dalam penelitian ini adalah Dewa Yadnya dan yang berkaitan dengan upacara ritual melasti. Dalam upacara melasti korban suci dilakukan untuk para dewa laut yang dalam hal ini disebut Dewa Baruna. Upacara Melasti adalah Upacara nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta atau menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Melasti berasal dari kata melas berarti menyucikan dan thi berarti leteh atau kotoran. Jadi Melasti berarti menyucikan kotoran atau leteh. Laut sebagai simbol sumber Tirtha Amertha sebagai pembersih dalam ritual melasti. Yang mana pelaksanaan Melasti ini dilaksanakan pada Panglong 13 bulan Caitra (Sasih Kesanga) atau tiga hari sebelum hari raya Nyepi. Menurut Suarjaya dkk, (2008:2) dasar pelaksanaan dari Yadnya di atas adalah Alam semesta beserta isinya merupakan bentuk yadnya dan Tri Rna. Dimana dijelaskan bahwa alam semesta beserta isinya merupakan bentuk yadnya dari Tuhan. Pernyataan tersebut secara tegas dapat dijumpai dalam kitab Bhagawadgita III.10-11 (dalam Suarjaya dkk, (2008:2).sebagai berikut: “Saha yajnah prajah srstva purovaca prajapatih Anena prasavisya dhvam esa vo „stv ista khamadhuk”. 39 Artinya: Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan Tuhan (Prajapati) menciptakan manusia melalui yajna, dan berkata “dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu(sendiri), “Devan Bhavayatanena te deva bhavayantu vah Parasparam bhavayantah sreyah param avapsyatha Artinya: Adanya para deva adalah karena yadnya, semoga mereka menjadikan engkau demikian, dengan saling memberi engkau akan memperoleh kebajikan paling utama. Berdasarkan pemaparan sloka di atas dinyatakan bahwa, dalam agama Hindu manusia yang diciptakan dari yadnya sudah sewajarnya melaksanakan yadnya untuk memelihara alam semesta dan dirinya sendiri. Jadi manusia selalu di tuntut untuk bersyukur atas apa yang sudah ada dengan melaksanakan yadnya. Selanjutnya dasar pelaksanaan yadnya yang kedua yaitu Tri Rna. Menurut ajaran agama Hindu setiap manusia lahir terikat oleh adanya karma wasana (perbuatan masa lalu), Suarjaya dkk, (2008:3). Ada tiga hutang yang mengikat yang harus di bayar sebagai kewajiban yaitu sebagai berikut: 1. Dewa Rna, yaitu hutang yang harus dibayar kepada Tuhan dan kepada para dewa, karena Tuhan Yang Maha Esa memberi kita jiwa atau atman sehingga dapat hidup di dunia ini. 2. Rsi Rna, yaitu hutang yang harus dibayar kepada para Rsi, para pendeta dan para guru kerohanian yang memberikan pengetahuan rohani sehingga memungkinkan manusia mewujudkan tujuan yang hakiki yaitu kebahagian dunia dan akhirat. 40 3. Pitra Rna, yaitu hutang kepada orang tua atau leluhur, beliau berjasa memelihara, memdidik, membesarkan dan menyantuni kita. Tidak ada bahasa yang lebih baik untuk diucapkan dan tidak ada bahasa yang lebih mulia untuk dikerjakan kecuali harus menghormati dan membalas jasanya dengan caracara yang sesuai dengan ajaran dharma. Pada dasarnya yadnya itu bertujuan untuk membayar hutang(rna) yaitu hutang budi dan hutang hidup kepada Tuhan, orang tua dan para Rsi, serta kapada makhuk lainya. Suarjaya dkk, (2008:4) 2.3 Tinjauan tentang Nilai Sehubungan dengan rumusan masalah yang keempat, yaitu menggali nilai- nilai yang terdapat dalam ritual Melasti, maka tinjauan tentang nilai sangat perlu di paparkan. Menurut kamus Umum bahasa Indonesia dijelaskan nilai berarti sifat- sifat (hal -hal) yang penting dan berguna bagi kemanusiaan misalnya nilai agama yang perlu diindahkan dalam kehidupan. (Poerwadarminta ,1985:667). Dalam Kamus Pintar Bahasa Indonesia dengan EYD dan Kosa Kata Baru, ”nilai berarti: harga, ukuran, angka yang mewakili, sifat-sifat penting yang berguna bagi manusia dalam menjalani hidupnya”. (Yasyin, tt:163). Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut nilai adalah menyatakan suatu standar seperti harga, ukuran dan menyatakan sifat-sifat atau hal-hal yang penting yang berguna bagi kemanusiaan dalam menjalani hidupnya serta memiliki arti lebih kompleks sesuai dengan kata yang mendukung dalam kalimat. 41 Sehubungan dengan nilai maka akan diuraikan nilai nilai pendidikan agama Hindu yang meliputi nilai Tattwa, nilai Etika dan nilai Upacara atau rituil. Nilai tatwa atau filsafat.Tatwa berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya itu. Kata Tat juga berarti jiwa yang tinggi atau tuhan. Dalam kamus Bali Indonesia disebutkan Tatwa berarti Widhi atau filsafat ke-Tuhan-an. Jadi filsafat sama artinya dengan tatwa. Jadi dengan demikian yang dimaksud dengan Tatwa adalah suatu ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran yang mutlak dan mendasar sehingga berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dikatakan kebenaran yang mutlak dan hakiki karena bersumber pada Tuhan, suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi, bersandar pada akal dan logika, serta dapat memantapkan keyakinan. Dalam agama Hindu ada lima dasar keyakinan yang disebut dengan Panca Srada, meliputi: Widhi Srada, Atma Srada, Karmapala Srada, Punarbawa Srada dan Moksa Srada. Kelima srada tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keimanan terhadap Sanghyang Widhi serta meningkatkan pemahaman tentang hakekat alam beserta isinya. Oleh karena itu nilai-nilai kebenaran yang di dasarkan atas srada yang mendalam atau mantap perlu dipahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan. Nilai Etika atau susila. Mengenai pengertian etika di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan : Etika berasal dari bahasa Yunani yakni ethos berarti: 1. Ilmu tentang apa yang baik dan buruk serta tentang hak dan kewajiban moral. 42 2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. 3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. (Tim Penyusun,1988). Kemudian dalam buku Etika (seri filsafat Atmajaya) mempertajam rumusan makna dalam kamus tersebut di atas menyatakan; ”kata etika bisa dipakai dalam arti nilai- nilai atau norma -moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. (K. Barten, 1997:6). Selanjutnya Tata Susila terdiri dari tata bahasa Jawa Kuno berarti aturan dan susila berasal dari kata su berarti baik dan sila berarti tingkah laku. Jadi tata susila berarti aturan bertingkah laku yang baik. Untuk selanjutnya Tata Susila hanya disebut susila saja. Dalam kitab Sarasamuccaya 160 dijelaskan ; Cila ketikang pradhana ring dadi wwang,hanaprasritining dadi wwang dursila,paranta prayojananika ringurip ring wibhawa ring kaprajnan ,apan wyarthaika kabeh, yan tan hana cila yukti. Artinya : Cila adalah yang paling utama (dasar yang mutlak) pada diri manusia, (jika ada manusia yang tidak susila, apakah maksud itu dengan hidupnya (kemudian ) dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab akan sia- sia itu semua, jika tidak ada kesusilaan pada pelaksanaannya. (Kajeng, 1994 :128) Uraian tersebut di atas betapa pentingnya ajaran susila itu diterapkan dalam kehidupan sehari hari, dari perbuatan seseorang dapat menunjukkan jati dirinya. Apalagi sebagai manusia beragama memiliki Tri Pramana yang melebihi makluk hidup lainnya di jagat raya ini. Nilai nilai etika atau susila terfokus dan dikonfirmasikan pada perbuatan yang baik dan benar sesuai dengan nilai nilai pendidikan agama Hindu. Adapun dasar pendidikan etika terdapat dalam ajaran 43 Tri Kaya Parisuda (manacika, wacika, dan kayika). 1) Manacika adalah pikiran yang suci. Pikiran adalah sumber indriya dan merupakan pangkal dari segala perkataan maupn perbuatan, Oleh sebab itu pikiran harus dikontrol. Dengan pikiran yang terkontrol dan terkendali keluarlah perkataan yang baik dan benar. 2) Wacika adalah perkataan yang baik dan benar. Perkataan hendaknya tidak hanya baik saja namun hendaknya mengandung kebenaran. Bila perkataan itu disampaikan secara baik namun mengandung maksud jahat, maka hal ini akan menimbulkan malapetaka. 3) Kayika adalah perbuatan yang baik dan benar. Perbuatan adalah wujud nyata dari pikiran dan perkataan. Dalam ajaran agama Hindu ditandaskan bahwa segala perbuatan yang baik atau buruk yang dilakukan oleh manusia akan menerima hasilnya sesuai dengan perbuataanya. Tatwan Asi, Catur Prawerti dan lainnya merupakan dasar pendidikan etika. Nilai pendidikan ritual/ upacara. Ritual atau upacara di masyarakat disebut yadnya. Yadnya artinya korban suci yaitu korban yang di asarkan atas ketulusan hati tanpa pamrih. (Titib1996). Korban suci yang dilandasi dengan srada yang tinggi tanpa pamrih merupakan alternatif untuk mendekatkan diri kepada tuhan, dengan melaksanakan yadnya atau upacara agama adalah sebagai perwujudan pengamalan ajaran agama Bakti Marga dan Karma Marga. Bakti Marga artinya melalui cara cinta kasih dan pengabdian kepada tuhan dan Karma Marga artinya cara yang ditempuh untuk mendekatkan dirinya kepada tuhan dengan melakukan suatu tindakan, pebuatan dengan tulus ikhlas, tanpa mengenal jemu, bosan serta tidak terikat akan hasilnya, tidak menganggap kerja itu sebagai beban melainkan sebagai kewajiban. 44 Bakti dan karma merupakan landasan terpenting yang termuat dalam nilai upacara atau yadnya. Melalui cinta kasih orang akan mempersembahkan apa saja yang dimilikinya dengan tulus ikhlas tanpa mempertimbangkan imbalan atau untung rugi. Dalam buku Weda sabda suci dijelaskan: ”Setiap tindakan yang tidak dilandasi atas keyakinan yang mantap akan sia sia demikian pula dalam melaksanakan yadnya mutlak dilandasi srada yang mantap.” Selanjutnya tentang pelaksanaan yadnya yang diladasi bhakti dan karma termuat dalam Bagawadgita Bab IX. 26 berikut ini : Pattram puspham phalam toyam Yo me bhatya prayaccahati. Tad aham bhaktyupahrtam Asnami prayatamanah. Artinya : Siapa yang dengan kesujudan mempersembahkan kepadaku daun, bunga, buah buahan atau air persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, aku terima. (Pudja, 2004:239) Berdasarkan uraian dan petikan sloka di atas dapatlah dikatakan bahwa nilai yadnya atau upacara terletak pada ketulusan hati, kesungguhan serta keyakinan yang mantap, bukan semata mata terfokus dan berorientasi pada besar kecilnya persembahan.