Uploaded by User75032

PDFen

advertisement
Dasar – Dasar Perpajakan
Perpajakan Instansi Pemerintah
Pertemuan I
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pokok – Pokok Materi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Sejarah dan Definisi Pajak
Negara, Fungsi Pemerintah dan Kekuasaan untuk Mengenai Pajak
Teori Dasar Pemungutan Pajak
Fungsi Pajak dan Perbedaannya dengan PNBP, Retribusi, Sumbangan, Bea dan Cukai
Tarif Pajak
Asas-asas Pemungutan dan Yuridiksi Pemungutan Pajak
Kewajiban dan Sanksi Perpajakan
The Four Maxims Adam Smith
Perlawanan Pajak
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sejarah dan Definisi Pajak
Sejarah Pajak
Pajak merupakan salah satu pendapatan masyarakat yang di serahkan untuk raja atau penguasa sejak zaman dulu
kala. Pajak ternyata sudah ada sebelum zaman fir’aun. Sejarah umat manusia, sangat kental dengan masalah
perpajakan. Sejarah pajak tercipta karena kebutuhan manusia untuk hidup berkelompok pasti selalu
ketergantungan satu sama lain. Cara hidup seperti ini menciptakan Negara membutuhkan sumber-sumber untuk
membiayai pengeluaran bersama terutama perang dan kepentingan umum lainnya.
1. Mesir
Sejarah pajak dimulai dari Mesir. Selama beberapa periode pemerintahan Fir’aun, pemungut pajak dikenal dengan
nama Scribes. Selama periode Scribe mengenakan pajak atas minyak goreng. Untuk memastikan bahwa warga
masyarakat tidak berusaha menghindari pajak minyak goreng, Scribe akan melakukan “audit” terhadap rumah
tangga untuk memastikan jumlah minyak goreng yang dikonsumsi dan bahwa pajak tidak dikenakan terhadap
minyak goreng yang bekas pakai.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sejarah dan Definisi Pajak
2. Yunani
Pada masa-masa perang bangsa Athena dikenai pajak Eisphora yang digunakan untuk membiayai perang. Tak
ada seorangpun yang lolos alias memperoleh fasilitas pembebasan dari pajak ini. Warga bisa meminta
pengembalian pajak (restitusi) pada saat perang usai yang dananya dicari fiskus dari sumber tambahan lain.
Tidak ada informasi resmi yang menyebutkan apakah restitusi juga berlaku jika perang diakhiri dengan
kekalahan bangsa Athena sendiri.
Selain itu bangsa Athena juga dikenai Pajak Suara atau toll tax setiap bulan yang dikenal dengan nama
Metoikion. Pajak ini wajib dikenakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri, yaitu mereka yang ibu dan bapaknya
bukan orang Athena, besarnya satu Drachma (mata uang mereka) untuk laki-laki dan setengah Drachma
untuk wanita.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sejarah dan Definisi Pajak
3. Romawi
Pajak yang pertama diperkenalkan di Roma adalah Bea Pabean atas impor dan ekspor yang disebut Portoria.
Kaisar Augustus dianggap sebagai ahli strategi pajak dalam Kekaisaran Roma. Dalam masa pemerintahannya,
jabatan Publicani, pemungut pajak, sebagai pemungut pajak pemerintah pusat dihapuskan. Selama periode ini
kota Roma diberi kekuasaan untuk memungut pajak. Kaisar Augustus menetapkan Pajak Warisan untuk
menyediakan Dana Pensiun bagi militer. Pajak ini besarnya 5% atas semua warisan kecuali atas pemberian untuk
anak-anak dan pasangan. Inggris dan Belanda mengacu kepada Pajak Warisan ciptaan Augustus ini dalam
mengembangkan Pajak Warisan.
Selama zaman Julius Caesar ada Pajak Penjualan yang dikenakan sebesar 1 persen atas penjualan. Khusus untuk
penjualan budak dikenai 4 persen!! Pada tahun 60 SM, Boadicea, ratu Anglia Timur memimpin revolusi terhadap
korupsi yang dilakukan pemungut pajak di British Isles. Revolusi ini menyebabkan terbunuhnya semua tentara
Romawi dalam radius 100 mil yang ditangkapi di London. Lebih dari 80.000 orang terbunuh selama revolusi ini.
Ratu Boadicea mengerahkan tentara sebanyak 230.000 orang. Revolusi ini berhasil dipatahkan oleh Kaisar Nero
dan menyebabkan penunjukan pemerintahan untuk British Isles.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sejarah dan Definisi Pajak
4. Inggris
Pajak pertama kali dikenakan di Inggris pada waktu pendudukan Kekaisaran Roma. Pada saat Roma runtuh rajaraja wilayah Saxon mengenakan pajak Danegeld atas tanah dan bangunan disamping Bea Cukai. Pajak-pajak pada
abad ke-14 dikenal sangat progresif. Pajak Suara tahun 1377 M menunjukkan bahwa pajak Duke of Lancaster
adalah 520 kali atas pajak petani biasa! Pada masa-masa itu juga dikenal adanya Pajak Penghasilan atas kekayaan,
pemilik kantor, dan pendeta. Pajak atas Barang Bergerak dikenakan terhadap setiap pedagang. Orang miskin
membayar sedikit atau tidak bayar pajak sama sekali.
Raja Charles I mengenakan pajak atas pelanggar kejahatan. Di kemudian hari Raja Writ menyatakan bahwa
individu harus dipajaki sesuai dengan status dan kekayaannya. Dari sinilah berkembang ide pajak progresif atas
mereka yang sanggup membayar pajak.Pajak-pajak lain yang penting selama periode ini adalah Pajak Tanah dan
Pajak Properti lain.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sejarah dan Definisi Pajak
Sejarah Perpajakan Di Indonesia
Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu
kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau
penguasa. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau
penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya
hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih
tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja,
tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat
upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat
suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih
diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan
dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Definisi Pajak menurut Para Ahli dan Undang-Undang
Prof. Dr. P. J. A. Adriani (Guru Besar Hukum Pajak Universitas Amsterdam):
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung dengan tugas negara yangmenyelenggarakan pemerintahan.”
Prof. Dr. MJH. Smeeths,
“Pengertian Pajak ialah prestasi pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang
dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual, yang
dimaksud dalam hal ini yaitu membiayai pengeluaran pemerintah.”
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Definisi Pajak menurut Para Ahli dan Undang-Undang
Ray M. Sommerfeld, Herschel M. Anderson, dan Horace R. Brock:
“Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat
pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih
dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.”
Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.”
Dr. Soeparman Soemahamidjaja:
“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan
norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum.”
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Definisi Pajak menurut Para Ahli dan Undang-Undang
Pasal 1 angka 1 UU KUP No. 28 Tahun 2007:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Definisi Pajak menurut Para Ahli dan Undang-Undang
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan ada 5 (lima) unsur yang melekat dalam pengertian pajak,
yaitu:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang
menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undangundang."
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung.
Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya
dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan
fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban
perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk
menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Negara, Fungsi Pemerintah dan Kekuasaan untuk Mengenai Pajak
Terbentuknya Negara
Menurut pendapat Aristoteles, manusia merupakan makhluk bermasyarakat atau Zoon Politicon. Setiap manusia sebagai makhuk
sosial tidak dapat hidup sendiri dalam masyarakat tanpa berhubungan dengan orang lain dan tetap secara individu terlibat dalam
suatu ikatan dengan kelompoknya Agar dapat mengatur kehidupan sosial dan berkelompok menjadi lebih baik, manusia
membutuhkan seorang pemimpin yang dianggap lebih cakap dan memiliki kharisma sebagai seseorang yang patut dihormati, ditaati
perintahnya dan diteladani sikap dan tingkah lakunya. Dengan adanya pemimpin kehidupan manusia menjadi lebih teratur. Ketaatan
anggota kelompok terhadap pemimpinnya menimbulkan suatu kekuasaan pemerintahan yang sederhana dalam kelompok tersebut.
Setiap anggota kelompok sadar, patuh, dan mendukung tata hidup yang ditetapkan pemimpin mereka, yang pada akhirnya lambat
laun peraturan itu menjadi peraturan tertulis yang dilaksanakan dan ditaati setiap anggota kelompok.
Semakin luas dan kompleksnya masing-masing kelompok, maka makin besar dan banyak pula kesulitan yang timbul baik masalah
internal antar individu dalam kelompok, maupun masalah dengan pihak eksternal. Interaksi antar kelompok juga membutuhkan suatu
aturan yang lebih terstruktur daripada sebelumnya. Hal tersebut yang menjadi alasan mendasar perlunya dibentuk suatu organisasi
yang lebih teratur dan memiliki kekuasaan yang memadai. Organisasi atau lembaga tersebut sangat diperlukan untuk melaksanakan
dan mempertahankan peraturan-peraturan hidup agar dapat berjalan secara tertib dan lancar. Organisasi yang mempunyai kekuasaan
seperti itulah yang kemudian dinamakan Negara.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Negara, Fungsi Pemerintah dan Kekuasaan untuk Mengenai Pajak
Fungsi Pemerintah
Fungsi pemerintah di dalam suatu negara sangat penting. Jika pemerintah tidak berfungsi dengan baik alias mandul,
maka akan berpengaruh besar terhadap kestabilan suatu negara. Pemerintah memiliki wewenang dalam mengatur
kehidupan bernegara, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah sudah semestinya
juga bertanggung jawab pada perikehidupan rakyatnya.
Terdapat tiga fungsi pokok ekonomi yang diemban oleh pemerintah yaitu:
a. Tindakan
pemerintah
yang
menyangkut
efisiensi
berupa
segala
upaya
untuk
memperbaiki kesalahan pasar. Misalnya monopoli.
b. Program
pemerintah
untuk
meningkatkan
keadilan.
Misalnya
pemerataan
pendapatan
agar
mencerminkan
kepentingan
seluruh
masyarakat,
termasuk
golongan miskin
c. Kebijaksanaan
stabilisasi berusaha mengikis fluktuasi yang tajam dari siklus bisnis
dengan cara menekan angka pengangguran dan inflasi, serta mempercepat laju
pertumbuhan ekonomi.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Negara, Fungsi Pemerintah dan Kekuasaan untuk Mengenai Pajak
Kekuasaan Untuk Mengenai Pajak
Pajak memiliki peranan yang signifikan dalam penerimaan Indonesia. Porsi yang mencapai 85,6 persen di
APBN 2017 menyebabkan pemerintah, dengan kekuasaan yang dimilikinya, tentu akan berusaha untuk
memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak. Akan tetapi, menurut Buchanan dan Milton, dalam suatu
negara yang bersifat demokratis dan berasaskan hukum, kekuasaan untuk mengenakan pajak tidak boleh
tidak terbatas. Pembatasan kekuasaan pengenaan pajak ini diwujudkan melalui undang – undang.
Hampir semua negara, kekuasaan pengenaan pajak dicantumkan dalam konstitusi (undang – undang
dasar), termasuk Indonesia. Pasal 23A UUD 1945 berbunyi “pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang – undang”. Pasal tersebut menegaskan
pemberian kekuasaan kepada lembaga legislatif untuk mengatur pengenaan pajak melalui undang –
undang pajak.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Teori Dasar Pemungutan Pajak
Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak? terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau
memberikan justifikasi hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah :
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus
membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan
tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing
orang, semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul
masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 (dua) pendekatan yaitu:
• Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
• Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Teori Dasar Pemungutan Pajak
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dapat negaranya. Sebagai warga negara yang
berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli
dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akam menyalurkannya kembali
ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh
masyarakat lebih diutamakan
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Fungsi Pajak dan Perbedaannya dengan PNBP, Retribusi, Sumbangan,
Bea dan Cukai
1. Pajak dengan Bea dan Cukai
Bea dan cukai merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke pemerintah, yang diharuskan oleh UU dan dapat
dipaksakan, dengan tidak mendapat jasa timbal (tegenprestatie) yang langsung dapat ditunjuk, untuk membiayai pengeluarapengeluaran negara. Pajak adalah sumber terpenting dari segi penerimaan negara. Hal ini dapat kita lihat di dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Struktur APBN memperlihatkan bahwa sumber penerimaan terdiri dari berbagai jenis pajak, bea
masuk, bea keluar dan cukai. Penerimaan pajak dari tahun ke tahun makin meningkat.
Bea dibagi atas dua yaitu:
a. Bea masuk
Ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang yang dimasukkan ke daerah pabean dengan maksud untuk dipakai dan
dikenakan bea menurut tarif tertentu yang ditetapkan dengan UU dan keputusan Menteri Keuangan.
a. Bea keluar
Ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang tertentu yang dikirim keluar daerah Indonesia dihitung berdasarkan tarif
tertentu berdasarkan UU. Daerah Pabean ialah daerah yang ditentukan batas-batasnya oleh pemerintah yang digunakan sebagai
garis untuk memungut bea-bea. Cukai ialah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu berdasarkan tarif yang sudah
ditentukan misalnya tembakau, gula, dan bensin. Hubungan antara pajak negara yang dipungut oleh DJP dan kewajiban bea
masuk/bea keluar dan cukai yang dipungut oleh DJBC saling berkaitan erat yang dapat kita lihat melalui pemahaman istilah
kewajiban dan pemahaman ketentuan perundangan yang ada.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Fungsi Pajak dan Perbedaannya dengan PNBP, Retribusi, Sumbangan,
Bea dan Cukai
2. Pajak dengan Penerimaan Negara bukan Pajak
PNBP merupakan lingkup keuangan negara yang dikelola dan dipertanggungjawabkan sehingga Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga audit yang bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas
komponen yang mempengaruhi pendapatan negara dan merupakan penerimaan negara sesuai dengan
undang-undang. Laporan hasil pemeriksaan BPK kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Fungsi Pajak dan Perbedaannya dengan PNBP, Retribusi, Sumbangan,
Bea dan Cukai
3. Pajak dengan Retribusi
Pungutan lain yang bersifat memaksa seperti retribusi pada dasarnya memiliki ciri yang sama dengan pajak,
kecuali dalam hal imbalannya yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi. Unsur yang melekat pada
pengertian retribusi adalah:
a. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang;
b. Sifat pungutannya dapat dipaksakan;
c. Pemungutannya dilakukan oleh Negara;
d. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum; dan
e. Kontra-prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi.
Umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pembayaran berupa jasa atau pemberian izin tertentu yang
disediakan oleh pemerintah kepada setiap orang atau badan. Karena kontra-prestasinya langsung dapat
dirasakan, maka dari sudut sifat paksaanya lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis. Apabila manfaat
ekonomisnya telah dirasakan tetapi retribusinya tidak dibayar, maka secara yuridis pelunasannya dapat
dipaksakan seperti halnya pajak.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Fungsi Pajak dan Perbedaannya dengan PNBP, Retribusi, Sumbangan,
Bea dan Cukai
4. Pajak dengan Sumbangan
Istilah sumbangan ini berlandasan pemikiran bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah
tertentu tidak boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya,
tetapi hanya untuksebagian tertentu saja.
Hanya golongan tertentu dari penduduk ini sajalah yang diwajibkan membayar sumbangan itu. Sebagai contoh
pemungutan sumbangan yang hasilnya ditujukan untuk pembuatan dan pemeliharaan jalan yang khususnya
bermanfaat bagi para pemakai jalan tersebut.
Walaupun kelihatan hampir sama, namun sumbangan ini tidak boleh disamakan dengan Retribusi. Pada retribusi
dapatlah ditunjuk seseorang yang mengenyam kenikmatan kontra-prestasi dari pemerintah, sedangkan pada
sumbangan yang mendapat prestasi kembali ini adalah suatu kelompok/golongan.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif Pajak
1. Tarif Pajak Progresif
Tarif pajak progresif merupakan tarif pajak yang persentasenya semakin meningkat Apabila jumlah
objek pajak semakin bertambah. Contoh tarif pajak progresif antara lain, Tarif pajak penghasilan
(PPh) yang ditentukan sebagai berikut:
a. Penghasilan wajib pajak sebesar 0 hingga Rp25.000.000,- tarif pajak yang dikenakan 5%.
b. Penghasilan wajib pajak di atas Rp25.000.000 hingga Rp50.000.000 tarif pajak yang dikenakan
10%.
c. Penghasilan wajib pajak di atas Rp 50.000.000 hingga Rp 100.000.000 tarif pajak 15% dst
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif Pajak
Tarif Pajak Progresif
Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang dijadikan dasar
pengenaan pajak juga semakin besar. Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dapat dibagi menjadi 3,
yaitu:
1. Tarif Pajak Progresif Progresif
Tarif pajak Progresif Progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya
jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap
kali naik.
2. Tarif Pajak Progresif Proporsional
Tarif pajak Progresif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin
besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah
tertentu tetap.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif Pajak
3. Tarif Pajak Progresif Degresif
Tarif pajak Progresif Degresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya
jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu
setiap kali menurun. Contoh tarif pajak progresif adalah tarif untuk Pajak Penghasilan Orang Pribadi berdasarkan Pasal
17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Tabel 7.1 Tarif Pajak Orang Pribadi berdasarkan Pasal 17
ayat (1) huruf a.
•
•
•
•
0 sampai dengan Rp50.000.000,00 tarif5 %
Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp250.000.000,00 tarif 15 %
Di atas Rp250.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00 tarif 25 %
Di atas Rp500.000.000,00 tarif 30 %
Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, pajak penghasilan wajib
pajak orang pribadi dalam negeri tersebut termasuk tarif progresif degresif.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif Pajak
2. Tarif Degresif
Tarif degresif merupakan kebalikan dari tarif progresif. Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya
semakin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Namun, tidak berarti jika persentasenya
semakin kecil kemudian jumlah pajak yang terutang juga menjadi kecil. Akan tetapi malah bisa menjadi lebih besar
karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar.
Pajak yang terutang:
•
•
•
•
Rp10.000.000,- x 15% = Rp1.500.000
Rp25.000.000,- x 13% = Rp3.250.000
Rp50.000.000,- x 11% = Rp5.500.000
Rp60.000.000,- x 10% = Rp6.000.000
Jumlah pajak terutang Rp16.250.000
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif Pajak
3. Tarif Proporsional
Tarif proporsional tidak lagi dipengaruhi oleh naik turunnya dasar objek yang dikenakan pajak, karena tarifnya telah berlaku
secara sebanding. Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa
memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak,
akan semakin besar pula jumlah pajak terutang (yang harus dibayar). Tarif ini diterapkan dalam UU No. 18 Tahun 2000 (UU
PPN dan PPnBM) yang menggunakan tarif proporsional sebesar 10%.
Pajak yang terutang:
a. Rp15.000.000,- x 10% =Rp1.500.000,-
b. Rp25.000.000,-x 10% = Rp2.500.000,c. Rp40.000.000,-x 10% = Rp4.000.000,d. Rp60.000.000,- x 10% =Rp6.000.000,-
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif Pajak
4. Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa memerhatikan
jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif ini diterapkan dalam UU No. 13 Tahun
1985 tentang Bea Meterai (BM). Dengan adanya PP No. 24 Tahun 2000, tarif yang digunakan
adalah Bea Meterai dengan nilai nominal sebesar Rp3.000,00 dan Rp6.000,00.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif Pajak
5. Tarif Advalorem
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/ ditetapkan pada harga atau nilai
suatu barang.
Misalnya PT XZY mengimpor barang jenis “A‟ sebanyak 1500 unit dengan harga per
unit Rp100.000,00. Jika tarif Bea Masuk atas Impor Barang tersebut 20%, maka
besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
• Nilai Barang Impor = 1500 x Rp100.000 = Rp150.000.000
• Tarif Bea Masuk 20%, maka
• Bea Masuk yang harus dibayar = 20% x Rp150.000.000 = Rp30.000.000
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif Pajak
6. Tarif Spesifik
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis
barang tertentu.
Misalnya PT ABC mengimpor barang jenis “Z‟ sebanyak 1500 unit dengan harga per
unit Rp100.000. Jika tarif Bea Masuk atas impor barang Rp10.000 per unit, maka
besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah:
• Jumlah Barang Impor = 1500 unit
• Tarif Bea Masuk Rp10.000, maka
• Bea Masuk yang harus dibayar = Rp10.000 x 1500 = Rp15.000.000
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif Pajak
7. Tarif Efektif
Tarif efektif adalah tarif dimana jumlah pajak yang dibayarkan dibandingkan dengan jumlah penghasilan yang
diterima oleh Wajib Pajak.
Contoh: Tuan Andi mempunyai penghasilan kena pajak
selama tahun 2008 sebesar Rp750.000.000. Hitung
besarnya pajak yang harus dibayar!
a. Dengan tarif progresif menurut UU No. 17 Tahun 2000
•
•
•
•
•
5% x Rp25.000.000 = Rp 1.250.000
10% x Rp25.000.000 = Rp 2.500.000
15% x Rp50.000.000 = Rp 7.500.000
25% x Rp100.000.000 = Rp 25.000.000
35% x Rp550.000.000 = Rp 192.500.000
Jumlah pajak terutang Rp 228.750.000
b. Dengan tarif efektif
228.750.000
750.000.000
x
100%
=
30,5%
Jika tarif efektif 30,5% tersebut dikalikan
penghasilan kena pajak, maka akan dihasilkan
jumlah pajak yang sama jika digunakan tarif
progresif dalam perhitungannya.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Asas-asas dan Yuridiksi Pemungutan Pajak
Asas-Asas Pemungutan Pajak
Asas Pemungutan Pajak merupakan suatu hal yang hakiki dalam pengenaan/pemungutan pajak di suatu negara,
karena menyangkut rasa keadilan dan agar terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan masyarakat dan negara.
Sehingga asas ini sangat diperlukan dalam menyusun undang-undang perpajakan di suatu negara.
Berikut ini terdapat beberapa asas pemungutan pajak yang dapat dipakai oleh suatu negara sebagai asas dalam
menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak baik bagi warga negara sendiri maupun asing. Asas yang
pada umumnya digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Asas-asas dan Yuridiksi Pemungutan Pajak
1. Asas Domisili
Asas ini memberikan penjelasan bahwa suatu negara dapat mengenakan pajak terhadap Wajib Pajak
berdasarkan domisili atau dimana mereka bertempat tinggal. Yang dimaksud domisili disini adalah tempat tinggal
untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan tempat kedudukan untuk Wajib Pajak Badan. Atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak ini dapat dikenakan pajak sesuai ketentuan berlaku di negara tersebut. Asas ini tidak
melihat apakah penghasilan tersebut di peroleh di dalam negeri maupun dari luar negeri. Contoh: Penghasilan
yang diperoleh Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berdomisili (berkedudukan di Indonesia) dapat dikenakan pajak.
2. Asas Sumber
Negara yang menganut asas ini dapat mengenakan pajak terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh di
negara tersebut. Segala penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dapat mengenakan pajak tanpa melihat
dimana Wajib Pajak berdomisili. Contoh: Penghasilan yang diterima oleh singapore Ltd. (Wajib Pajak Luar Negeri)
atas jasa yang dimanfaatkan di Indonesia dapat dikenakan pajak.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Asas-asas dan Yuridiksi Pemungutan Pajak
3. Asas Kebangsaan
Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau
badan yang memperoleh penghasilan. Hampir sama halnya dengan asas domisili, suatu negara dapat
mengenakan pajak atas status kewarganegaraan Wajib Pajak. Contoh: Luqman merupakan Warga Negara
Indonesia yang berada di Thailand selama 5 bulan. Dalam rentang waktu tersebut, Luqman menerima
penghasilan dari Thailand dan Indonesia. Maka Negara Indonesia berhak mengenakan pajak terhadap
penghasilan yang diterima baik dari Thailand maupun Indonesia.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Four Maxims Adam Smith
Adam Smith. Dalam buku “Wealth of Nations” dengan teorinya yang terkenal “The Four Maxism” menyatakan pemungutan pajak di dasarkan pada asas :
Equality and Equity (Kesamaan dan Keadilan)
Asas ini memberikan hak kepada suatu Negara dalam melakukan pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata tanpa ada diskiminasi diantara Wajib Pajak.
Dalam keadaan dan kondisi yang sama, Wajib Pajak harus dikenakan pajak yang sama
Certainty (Kepastian Hukum)
Negara tidak boleh memungut pajak sewenang-wenang tanpa ada dasar yang jelas. Penetapan pajak harus transparan dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di negara tersebut. Bagi Wajib Pajak yang melanggar akan dikenakan sanksi baik sanksi administrasi maupun pidana. Dan diantara undangundang perpajakan yang berlaku tersebut tidak saling tumpang tindih. Misalnya terhadap objek pajak tidak boleh dikenakan pajak hingga lebih dari sekali (ganda).
Convenience of Payment (Tepat Waktu)
Negara dapat mengenakan pajak terhadap penghasilan yang diterima Wajib Pajak pada saat itu juga. Tepat waktu disini adalah Negara tidak boleh mengenakan
pajak disaat yang menyulitkan Wajib Pajak. Jangan sampai Negara mengenakan pajak ketika Wajib Pajak tersebut sudah membelanjakan penghasilannya. Contoh:
ketika Wajib Pajak menerima hadiah, sebaiknya pada saat itu juga negara mengenakan pajaknya. Asas ini juga kita kenal dengan teori “Pay as You Earn”.
Efficiency
Seperti yang kita ketahui, Negera mengenakan pajak terhadapa Wajib pajak tujuannya untuk digunakan sebagai biaya operasional suatu negara tersebut. Dari segi
bisnis, ketika dalam pelaksanaan pemungutan pajak, negara harus untung dari biaya yang timbul terkait dengan pelaksanaan tersebut. Biaya pemungutan pajak yang
timbul diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Perpajakan Instansi Pemerintah
Pertemuan II
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pokok – Pokok Materi
1. Kedudukan Hukum Pajak dan Tata Hukum Nasional
2. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata dan Hukum Pidana
3. Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil
4. Reformasi Perpajakan Tahun 1983
5. Sistem Pemungutan Pajak di Indonedia
6. Penggolongan Jenis Pajak
7. Pajak sebagai Sumber Penerimaan Negara di Indonesia
8. Perbedaan Pajak Pusat dan Daerah
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Kedudukan Hukum Pajak dalam Tatanan Hukum Nasional
Pengertian Hukum Pajak
Hukum pajak, dalam bahasa Inggris, disebut tax law. Dalam bahasa Belanda, hukum pajak disebut belasting
recht. Di Indonesia, selain digunakan istilah hukum pajak, juga digunakan istilah hukum fiskal. Sebenarnya
hukum pajak dengan hukum fiskal memiliki substansi yang berbeda. Hukum pajak hanya sekadar
membicarakan tentang pajak sebagai objek kajiannya, sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan sebagian
keuangan negara sebagai objek kajiannya.
Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak. Hukum pajak dalam arti sempit
adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang memuat sanksi hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu
hukum tidak lepas dari sanksi hukum sebagai substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak
menaati kaidah hukum. Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasidan sanksi pidana.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Kedudukan Hukum Pajak dalam Tatanan Hukum Nasional
Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai
pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat Soemitro, 1979:24—25). Dengan kata lain,
hukum pajak menerangkan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Siapa-siapa Wajib Pajak (subjek pajak);
Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak);
Kewajiban Wajib Pajak terhadap pemerintah;
Timbulnya dan hapusnya utang pajak;
Cara penagihan pajak;
Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak
Undang-undang No. 28 Tahun 2007 (UU KUP) tidak menyebutkan pengertian hukum pajak, melainkan
hanya menyatakan kedudukannya sebagai “ketentuan umum” bagi peraturan perundang-undangan
perpajakan yang lain. UU KUP merupakan kaderwet yang berfungsi sebagai payung terhadap undangundang pajak yang sifatnya sektoral.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Kedudukan Hukum Pajak dalam Tatanan Hukum Nasional
Pada awalnya hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi, yang merupakan segenap
peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembagalembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi. Jika hukum publik mengatur
hubungan antara pemerintah (selaku penguasa) dengan rakyatnya, hukum pajak mengatur hubungan
antara pemerintah selaku pemungut pajak dengan rakyatnya sebagai Wajib Pajak.
Dalam kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan perkembangan dan kebutuhan negara
akan pajak, Undang-undang Pajak mengalami perubahan (tax reform). Sebagai konsekuensinya, ternyata
tidak disadari hukum pajak telah memisahkan diri dari hukum administrasi. Secara tegas dikatakan,
bahwa hukum pajak bukan lagi bagian hukum administrasi, melainkan kedudukannya sama dalam kajian
ilmu hukum.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Kedudukan Hukum Pajak dalam Tatanan Hukum Nasional
Dasar pemisahan hukum pajak dari hukum administrasi dapat ditinjau dari faktor-faktor berikut:
a. Sumber hukum pajak berbeda dengan sumber hukum administrasi;
b. Objek kajian hukum pajak adalah pajak, sedangkan objek kajian hukum administrasi adalah ketetapan yang
bersegi satu yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara (administrasi negara);
c. Subjek hukum pajak adalah Wajib Pajak, sedangkan subjek hukum admiistrasi adalah pejabat tata usaha
negara yang menerbitkan ketetapan yang menimbulkan sengketa;
d. Penyelesaian sengketa pajak merupakan kompetensi absolut Pengadilan Pajak, sedangkan penyelesaian
sengketa administrasi merupakan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara;
e. Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara peradilan pajak, sedangkan hukum acara yang
digunakan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha adalah hukum acara peradilan tata usaha negara.
Sebagai disiplin ilmu hukum yang telah memisahkan diri dengan hukum administrasi, substansi dalam hukum
pajak menimbulkan pembidangan yang mencakup hukum pajak ketatanegaraan, hukum pajak administrasi,
hukum pajak kepidanaan (tindak pidana pajak), hukum pajak formal (hukum penyelesaian sengketa pajak), dan
hukum pajak internasional.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata dan Hukum Pidana
Pembagian hukum sesuai civil law system (sistem hukum Romawi/ Eropa Kontinental) memberikan
pemisahan yang tegas antara hukum privat dan hukum publik. Hukum privat mengatur sekalian perkara
yang berisi hubungan antara sesama warga negara dalam kedudukasn yang sederajat, seperti masalah
perkawinan, waris, keluarga, dan perjanjian. Sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum,
seperti hubungan antara warga negara dengan negara. Hukum publik berurusan dengan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan serta bagaimana negara itu melaksanakan tugasnya.
Hukum yang masuk ke dalam bagian hukum privat, misalnya hukum perdata, hukum dagang, hukum
perkawinan, dan sebagainya. Hukum yang masuk ke dalam hukum publik, misalnya hukum tata negara,
hukum administrasi (hukum tata usaha negara), hukum pidana, dan hukum internasional. Berdasarkan
pembagian hukum tersebut, ternyata hukum pajak tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam
kandungan hukum administrasi sebagai bagian dari hukum publik.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata dan Hukum Pidana
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Hukum Pajak Formil dan Pajak Materiil
Hukum dapat dibagi menjadi hukum pajak formal dan hukum material, demikian juga hukum pajak dibagi
hukum pajak formal dan hukum pajak material. Hukum pajak formal adalah hukum pajak yang mengatur
tentang bagaimana caranya hukum pajak material bisa dijalankan dan menjadi nyata. Hukum pajak formal
memuat antara lain cara pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, cara pembukuan, cara pemeriksaan,
sanksi administrasi, cara penagihan, hak dan kewajiban Wajib Pajak, cara penyidikan, dan sanksi pidana.
Undang-undang pajak yang termasuk hukum pajak formal adalah sebagai berikut.
▪ UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2009.
▪ UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
▪ Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Hukum Pajak Formil dan Pajak Materiil
Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat antara lain norma- norma yang menerangkan
keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapasiapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak, kapan timbulnya pajak, berapa besarnya tarif dan
pajak yang harus dibayar, hapusnya utang pajak, dan
Hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Undang-undang pajak yang termasuk dalam hukum pajak
material ialah sebagai berikut.
▪
▪
▪
▪
▪
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan diundangkan Lembaran Negara Nomor 50
Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara 3263, yang telah berkali-kali diubah terakhir dengan UU Nomor 36
Tahun 2008.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM diundangkan Lembaran
Negara Nomor 51 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara nomor 3264, yang telah berkali-kali diubah,
terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan diundangkan dalam Lembaran
Negara Nomor 68 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara nomor 3312, yang telah berkali-kali diubah
terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 1994.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai diundangkan Lembaran Negara Nomor 69 Tahun
1983, Tambahan Lembaran Negara nomor 3313.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diundangkan Lembaran
Negara Nomor 41 Tahun 1998.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Hukum Pajak Formil dan Pajak Materiil
Perlu diketahui bahwa dalam praktek pemisahan hukum pajak formal dan hukum pajak material
tidak murni benar-benar dipisahkan. Akan tetapi ada juga yang merupakan ketentuan formal dan
ketentuan material dalam satu undang-undang, yaitu:
▪ Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan diundangkan dalam
Lembaran Negara Nomor 68 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara nomor 3312, yang telah
berkali-kali diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 1994;
▪ Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai diundangkan Lembaran Negara
Nomor 69 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara nomor 3313;
▪ Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM diundangkan
Lembaran Negara Nomor 51 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara nomor 3264, yang telah
berkali-kali diubah, terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Reformasi Perpajakan Tahun 1983
Hindia Belanda, yang setelah merdeka menjadi Indonesia, dijajah Belanda selama tiga setengah abad sehingga membuat
aturan hukum yang cukup banyak, juga hukum pajak, antara lain: Aturan Bea Meterai tahun 1921, Ordonansi1 Pajak
Perseroan tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan tahun 1932, dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944. Hanya saja
hukum pajak warisan kolonial tersebut dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi Pemerintah Penjajah
dalam rangka mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya di tanah air kita. Pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh
rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik penetapan jumlah pajak, jenis pajak maupun tata cara pemungutannya
dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari
pertimbangan dan penghargaan kepada hak asasi rakyat. Pajak hanyalah merupakan kewajiban semata-mata yang harus
dilaksanakan rakyat secara patuh.
Setelah merdeka Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung
tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban
kenegaraan bagi para warganya yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Untuk itu, sejak 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan
kepercayaan kepada subyek pajak untuk melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan, sehingga
dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Reformasi Perpajakan Tahun 1983
ZamanKolonial
• tanggungjawabpemungutanpajakterletaksepenu
hnyapadapenguasapemerintahansepertiyangter
cermindalamsistempenetapanpajakyangkeselur
uhannyamenjadiwewenangadministrasiperpajak
an; dan
• pelaksanaankewajibanperpajakan,dalambanyak
halsangattergantungdaripelaksanaanadministras
iperpajakanyangdilakukanolehaparatperpajakan,
halmanamengakibatkananggotamasyarakatWaji
bPajakkurangmendapatpembinaandanbimbinga
nterhadapkewajibanperpajakannyadankurangiku
t
PascaReformasiPajak1983
• pemungutanpajakmerupakanperwujudandaripengabdiankewajibandanperansertaWajibPajakuntuksecaralangsungdanbersamasamamelaksanakankewajibanperpajakanyangdiperlukanuntukpembiayaannegara danpembangunannasional;
• tanggungjawabataskewajibanpelaksanaanpajak,sebagaipencerminankewajibandibidangperpajakanberadapadaanggotamasyarakatWajibPajaksendiri.Pemerintah,dalamhaliniaparatperpaj
akansesuaidenganfungsinyaberkewajibanmelakukanpembinaan,penelitiandanpengawasanterhadappelaksanaankewajibanperpajakanWajibPajakberdasarkanketentuanyangdigariskandal
amperaturanperundang-undanganperpajakan; dan
• anggotamasyarakatWajibPajakdiberikepercayaanuntukdapatmelaksanakankegotongroyongannasionalmelaluisistemmenghitung,memperhitungkan,
danmembayarsendiripajakyangterhutang(self
assessment),sehinggamelaluisisteminipelaksanaanadministrasiperpajakandiharapkandapatdilaksanakandenganlebihrapi,terkendali,sederhanadanmudahuntukdipahamiolehanggotamasy
arakatWajibPajak.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Reformasi Perpajakan Tahun 1983
Kedudukan Undang-Undang KUP akan menjadi "ketentuan umum" bagi perundang-undangan
perpajakan yang lain. Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban
perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan Undang-Undang KUP tahun
2007 tetap menganut sistem self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan
peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga masyarakat
Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
Sistem perpajakan yang dianut Indonesia sejak reformasi undang-undang perpajakan tahun 1983 adalah
self assessment. Kebanyakan orang mendefinisikan self assessment adalah menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya. Secara gramatikal self assessment hanya disebut
dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Bab ini akan membahas
bahwa sebenarnya self assessment yang dianut Indonesia bukan self assessment murni tetapi ada unsur
official assessment dan with holding tax sehingga disebut sebagai Self Assessment++.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
R. Santoso Brotodihardjo, SH menyitir pendapat Prof. Adriani bahwa teknik pemungutan pajak dibagi dalam tiga golongan.
a. Wajib Pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Cara
pembayaran dapat dilakukan dengan meterai atau pembayaran ke kas negara. Fiskus membatasi diri pada pengawasan,
kadang-kadang insidental atau secara teratur.
b. Ada kerja sama antara Wajib Pajak dan Fiskus, tetapi fiskus sebagai penentu terakhir dalam bentuk pemberitahuan sederhana
dari Wajib Pajak dan pemberitahuan yang lengkap dari Wajib Pajak.
c. Fiskus menentukan sendiri (di luar wajib pajak) jumlah pajak yang terhutang.
Sistem pemungutan pajak sampai dengan tahun 1967 inisiatif dan kegiatan dalam penghitungan dan pemungutan pajak sebagian
besar ada pada fiskus (huruf b dan c). Cara tersebut berasal dari jaman Hindia Belanda, dan juga masih berlaku di Belanda. Sejak
disadari, bahwa tatacara pemungutan pajak dengan sistem tersebut jalannya seret, timbulah gagasan untuk mengubahnya menjadi
self assessment. Sistem self assessment dilakukan antara lain di Amerika Serikat dan Jepang. Dalam self assessment, kegiatan
pemungutan pajak diletakkan kepada aktivitas dari Wajib Pajak untuk menghitung sendiri besarnya pendapatan/kekayaan/laba, dan
menghitung sendiri besarnya pajak Pendapatan/Kekayaan/ Perseroan yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara. Self
assessment dibedakan antara self assessment murni dan semi self assessment. Self assessment murni berarti menghitung, dan
menyetor pajak sendiri, yang menjadi dasar MPS (menghitung pajak sendiri), sedangkan semi self assessment pada dasarnya adalah
pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri tetapi dihitung dan disetorkan ke kas negara oleh orang lain, yang menjadi dasar MPO
(menghitung pajak orang lain) (Brotodiharjo, 1987, hal. 64-66).
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH berpendapat bahwa sejak tanggal 26 Agustus 1967 yaitu disahkannya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dalam Penyempurnaan Tata Cara
Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925, dengan Tata
Cara MPS dan MPO. Semenjak itulah sistem self assessment diintrodusirkan di Indonesia, tetapi hanya
untuk menghitung Pajak Pendapatan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tiap bulan yang
dikenal dengan nama ‘menghitung pajak sendiri’ dan ‘menghitung pajak orang lain’ yang peranannya
bukan lagi dipegang fiskus tetapi oleh Wajib Pajak sendiri. Tahun 1984 sistem self assessment
diterapkan pada Pajak Penghasilan bukan saja Pajak Penghasilan Pasal 25 Undang-Undang PPh yang
harus dibayar sendiri tiap bulan (dulunya MPS), tetapi juga Pajak Penghasilan Pasal 29 Undang-Undang
PPh yang harus dibayar sendiri tiap akhir tahun (Sumitro, 1991, hal. 13-14).
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
Prof. Dr. Mardiasmo, MBA, Ak membagi pemungutan pajak menjadi tiga.
a. Official Assessment, yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak, dengan ciri-ciri: Wewenang menentukan besarnya
pajak ada pada fiskus, Wajib Pajak bersifat pasif, Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat
ketetapan pajak oleh fiskus.
b. Self Assessment, yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya
pajak yang terutang, dengan ciri-ciri: Wewenang menentukan besarnya pajak ada pada Wajib Pajak,
Wajib Pajak bersifat aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang, fiskus tidak campur tangan dan hanya mengawasi.
c. With Holding, yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan juga bukan Wajib
Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak
(Mardiasmo, 2003, hal. 7- 8).
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
Penjelasan Umum Undang-Undang KUP menjelaskan bahwa sistem perpajakan yang dipakai Indonesia adalah self
assessment. Namun, jika ditelisik dalam perundang-undangan perpajakan lain ternyata terdapat juga unsur official
assessment dan with holding, yaitu:
1. PKP wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang.
2. Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan bentuk apa
pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh pemberi kerja, bendahara
pemerintah, dana pensiun, badan yang membayar honorarium, dan penyelenggara kegiatan.
3. Menteri Keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran
atas penyerahan barang.
4. Penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan.
5. Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
6. STP, SKPKB (surat ketetapan pajak kurang bayar), serta SKPKBT (surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan), dan SK
Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
Jadi sebenarnya self assessment yang dipakai tidak murni
tetapi ada unsur with holding dan official assessment
karena secara ringkas apa yang harus dilakukan oleh Wajib
Pajak
adalah
Mendaftar
NPWP/Melaporkan
Melakukan
untuk
untuk
dikukuhkan
Pembukuan/Pencatatan,
Memungut/memotong,
mengkreditkan,
mendapatkan
sebagai
PKP,
Menghitung,
Memperhitungkan/
Membayar/Menyetor/Melunasi,
Menyampaikan, dan Menghapuskan NPWP/Mencabut
penggukuhan PKP. Untuk memudahkan mengingat kita
namakan self assesment++(7M+1).
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Penggolongan Jenis Pajak
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Penggolongan Jenis Pajak
Pajak Langsung dan Tidak Langsung
a. Pajak Langsung adalah pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain serta dikenakan secara berulang-ulang
pada waktu-waktu tertentu. Contoh : PPh, PBB.
b. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak
lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja.
Contoh : Pajak Penjualan, PPN, PPn-BM, Bea Materai, dan Cukai.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Penggolongan Jenis Pajak
Pajak Pusat dan Pajak Daerah
Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan. Adapun pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi: Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Sesuai UU No. 18 Tahun 1997 tentan PDRD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), antara lain:
1) Pajak Propinsi: (Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor; Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan
Air Permukaan.)
2. Pajak Kabupaten/Kota: (Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak
Pengambilan Bahan Galian Golongan C; Pajak Parkir.)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Penggolongan Jenis Pajak
Pajak Subjektif dan Objektif
1. Pajak Subjektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak
(subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya
pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Misalnya perhitungan Pajak Penghasilan, jumlah tanggungan
dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.
2. Pajak Obyektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan/melihat objeknya, baik
berupa keadaan atau perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.
Setelah diketahui objeknya, barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang
telah diketahui. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak memperhitungkan apakah wajib pajak
tersebut memiliki tanggungan atau tidak.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pajak sebagai Sumber Penerimaan Negara di Indonesia
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pajak sebagai Sumber Penerimaan Negara di Indonesia
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pajak sebagai Sumber Penerimaan Negara di Indonesia
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pajak sebagai Sumber Penerimaan Negara di Indonesia
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pajak sebagai Sumber Penerimaan Negara di Indonesia
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pajak sebagai Sumber Penerimaan Negara di Indonesia
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pajak sebagai Sumber Penerimaan Negara di Indonesia
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pajak sebagai Sumber Penerimaan Negara di Indonesia
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pemotongan PPh Pasal 21/26
Perpajakan Instansi Pemerintah
Pertemuan 3, 4, & 5
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pokok – Pokok Materi
1. Obyek PPh Pasal 21/26
1.1. Kategori Penerima Penghasilan
2. Sifat Pengenaan PPh (Tarif PPh Pasal 21)
2.1. Tarif Pasal 17 UU PPh untuk PPh tidak Bersifat Final
2.2. Tarif PPh bersifat Final
3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak PPh Pasal 21
4. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
5. Cara Perhitungan dan Pemotongan
6. Pemotongan PPh Pasal 26
7. Simulasi Perhitungan & Bukti Potong
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Dasar Hukum:
❑
Pasal 21 Undang Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan keempat atas
UU No 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
❑
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 252/PMK.03/2008 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
❑
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 250/PMK.03/2008 Tentang
Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun
❑
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016, Peraturan Menteri
Keuangan No. 101/PMK.010/2016 dan No. 102/PMK.010/2016 mengenai
kenaikan tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak atau PTKP terbaru ( PTKP 2016 )
yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2016.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
PENGERTIAN PPH PASAL 21
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Undang Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan keempat atas UU No 7 Tahun
PER-32/PJ/2015
1983 Tentang Pajak Penghasilan
“adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi subyek pajak dalam negeri.”
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
DASAR HUKUM
PENGERTIAN PPH PASAL 26 SESUAI UU PPH
Pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Subyek PPh Pasal 21/26
1. orang pribadi;
2. warisan yang belum
terbagi sebagai satu
kesatuan menggantikan
yang berhak;
badan;
bentuk usaha tetap.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Obyek PPh Pasal 21/26
Obyek
• Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
yang diterima oleh Pegawai, seperti gaji dan
tunjangan
• Penghasilan tidak tetap dan tidak teratur
yang diterima oleh Pegawai, Bukan Pegawai,
dan Peserta Kegiatan, seperti: honor kegiatan,
honor narasumber, dan sebagainya
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Pengertian PPh Pasal 21/26
PENGERTIAN PPh PASAL 21/26
PPh
SEHUBUNGAN DENGAN
- PEKERJAAN
- JASA DAN KEGIATAN ,
YG DILAKUKAN WP ORANG PRIBADI
PENGHASILAN BERUPA :
-GAJI
-UANG PENSIUN
-TUNJANGAN,
- BONUS, THR
- PEMBAYARAN LAIN DENGAN NAMA APAPUN
WP DN
- UPAH
- HONORARIUM
- KOMISI, FEE, UANG HADIR
- HADIAH DAN PENGHARGAAN
WP LN
PPh PASAL 21KEUANGAN REPUBLIK
PPh PASAL
26
KEMENTERIAN
INDONESIA
8
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
PENGHASILAN YANG DIPOTONG
PPh PASAL 21/26
PENGHASILAN
DITERIMA/DIPEROLEH SECARA TERATUR
DITERIMA/DIPEROLEH SECARA TIDAK TERATUR
BERUPA UPAH HARIAN, UPAH MINGGUAN,UPAH BULANAN,
UPAH SATUAN, DAN UPAH BORONGAN
BERUPA UANG PESANGON , UANG MANFAAT PENSIUN,
JAMINAN/TUNJANGAN HARI TUA, DAN PEMBAYARAN LAIN
SEJENIS
BERUPA HONORARIUM, KOMISI, FEE, UANG SAKU, UANG SAKU,
UANG REPRESENTASI, UANG RAPAT, HONORARIUM, HADIAH ATAU
PENGHARGAAN DENGAN NAMA DAN DALAM BENTUK APAPUN,
DAN IMBALAN SEJENIS DENGAN NAMA APAPUN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
Dit.P2Humas
9
9
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TERMASUK PEMBERIAN DLM BENTUK NATURA/KENIKMATAN YG DIBERIKAN OLEH BUKAN WAJIB PAJAK
ATAU WAJIB PAJAK YG DIKENAKAN PPH YG BERSIFAT FINAL DAN YG DIKENAKAN PPh BERDASARKAN
NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS (DEEMED PROFIT)
Kategori Penerima Penghasilan
PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21/26
PENERIMA PENGHASILAN
PEGAWAI TETAP*
PEGAWAI
PEGAWAI TIDAK TETAP
BUKAN PEGAWAI
TENAGA AHLI, SENIMAN, ARTIS, PEMBAWA ACARA,
OLARAGAWAN, PENGAJAR, PELATIH, PENCERAMAH,
PENGARANG, PENELITI, PENERJEMAH, AGEN IKLAN,
PENGAWAS/PENGELOLA PROYEK, PEMBAWA PESAN,
PETUGAS PENJAJA BARANG DAGANGAN, PETUGAS
DINAS LUAR ASURANSI, DISTRIBUTOR PERUSAHAAN
MULTILEVEL MARKETING/DIRECT SELLING
PESERTA KEGIATAN
PENERIMA PESANGON, PENSIUN ATAU UANG MANFAAT
PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA
*PEGAWAI TETAP : PEGAWAI YG MENERIMA/MEMPEROLEH PENGHASILAN DLM JUMLAH TERTENTU SECARA
TERATUR, TERMASUK ANGGOTA DEWAN KOMISARIS & ANGGOTA DEWAN PENGAWAS YG SECARA TERATUR
TERUS MENERUS IKUT MENGELOLA KEGIATAN PERUSAHAAN SECARA LANGSUNG, SERTA PEGAWAI YG
BEKERJA BERDASARKAN KONTRAK UTK SUATU JANGKA WAKTU TERTENTU SEPANJANG PEGAWAI YANG
BERSANGKUTAN BEKERJA PENUH (FULL TIME) DLM PEKERJAAN TERSEBUT.
10
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TIDAK TERMASUK PENGHASILAN
YANG DIPOTONG PPh PASAL 21
PENGHASILAN
PEMBAYARAN MANFAAT ATAU SANTUNAN ASURANSI DARI PERUSAHAAN
SEHUBUNGAN DGN ASURANSI KESEHATAN, ASURANSI KECELAKAAN,
ASURANSI JIWA, ASURANSI DWIGUNA, DAN ASURANSI BEASISWA
PENERIMAN DLM BENTUK NATURA DAN/ATAU /KENIKMATAN DLM BENTUK
APAPUN YG DIBERIKAN OLEH WAJIB PAJAK ATAU PEMERINTAH
IURAN PENSIUN YANG DIBAYARKAN KEPADA DANA PENSIUN YG
PENDIRIANNYA TLH DISAHKAN MENKEU,IURAN TUNJANGAN HARI TUA
ATAU IURAN JAMINAN HARI TUA KEPADA BADAN PENYELENGGARA
TUNJANGAN HARI TUA/JAMSOSTEK YANG DIBAYAR OLEH PEMBERI KERJA
ZAKAT YG DITERIMA OLEH ORANG PRIBADI YG BERHAK DARI BADAN/
LEMBAGA AMIL ZAKAT YG DIBENTUK ATAU DISAHKAN PEMERINTAH, ATAU
SUMBANGAN KEAGAMAAN YG SIFATNYA WAJIB BAGI PEMELUK AGAMA YG
DIAKUI DI INDONESIA YG DITERIMA OLEH ORANG PRIBADI YG BERHAK DARI
LEMBAGA KEAGAMAAN YG DIBENTUK ATAU DISAHKAN PEMERINTAH
BEASISWA YG DITERIMA WNI DLM RANGKA MENGIKUTI PENDIDIKAN DI DLM
NEGERI PADA TK PENDIDIKAN DASAR, MENENGAH & TINGGI DGN SYARAT
PEMBERI DGN PENERIMA BEASISWA
TDK MEMPUNYAI HUB. ISTIMEWA 11
Dit.P2Humas
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
11
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TIDAK TERMASUK PENERIMA PENGHASILAN
YANG DIPOTONG PPh PASAL 21/26
TIDAK TERMASUK
PENERIMA PENGHASILAN
PEJABAT PERWAKILAN
DIPLOMATIK/KONSULAT ATAU
PEJABAT LAIN DARI NEGARA
ASING TERMASUK ORANGORANG YANG
DIPERBANTUKAN &
BERTEMPAT TINGGAL
BERSAMA MEREKA
• BUKAN WNI
• TIDAK MENERIMA/ MEMPEROLEH
PENGHASILAN LAIN DI LUAR
JABATANNYA DI INDONESIA
PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI
INTERNASIONAL YG DITETAPKAN
OLEH MENKEU YAITU KMK. NO.
574/KMK.04/2000 SBG.MANA TELAH
DIUBAH DGN PERATURAN MENTERI
KEUANGAN NO. 215/PMK.03/2008
• BUKAN WNI
• TIDAK MENJALANKAN USAHA/
KEGIATAN/PEKERJAAN LAIN UNTUK
MEMPEROLEH PENGHASILAN DI
INDONESIA
WNI YG BEKERJA
SBG OFFICIAL
BADAN
INTERNASIONAL
DARI
PERSERIKATAN
BANGSA-BANGSA
(PBB)
TIDAK MENERIMA/
MEMPEROLEH
PENGHASILAN
LAIN DI LUAR
SBG OFFICIAL
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
12
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
• NEGARA YBS. MEMBERIKAN
PERLAKUAN TIMBAL BALIK
Kategori Penerima Penghasilan
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
PASAL 21
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Sifat Pengenaan PPh (Tarif PPh Pasal 21)
PPh Pasal 21 yang wajib dipotong oleh bendahara pemerintah pada dasarnya terbagi
menjadi dua jenis, yaitu:
1. PPh yang bersifat tidak final atau dikenai tarif PPh Pasal 17 sesuai dengan ketentuan
umum UU PPh (Normal); dan
2. PPh yang bersifat final.
Secara umum, PPh Pasal 21 yang dipotong bendahara pemerintah bersifat tidak final.
PPh Pasal 21 yang dipotong oleh bendahara pemerintah yang bersifat final hanya
dikenakan atas penghasilan tidak tetap dan tidak teratur berupa honorarium atau imbalan
tidak tetap dan tidak teratur lainnya, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang menjadi
beban APBN atau APBD dan dibayarkan kepada PNS (termasuk CPNS), anggota TNI atau
POLRI, pejabat negara, dan pensiunannya.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
15
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif PPh bersifat Final
Tarif PPh atas penghasilan yang dikenai PPh yang bersifat final berupa honorarium atau
imbalan tidak tetap dan teratur lainnya yang menjadi beban APBN atau APBD dan
dibayarkan kepada PNS (termasuk CPNS) adalah sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
b. sebesar 5% (persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan
III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan
pensiunannya;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi
Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat
Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
16
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Buku Bendahara Mahir Pajak 2016, halaman 10
Skema pemotongan PPh Pasal 21 oleh bendahara pemerintah atas pembayaran
yang berasal dari APBN/APBD
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
17
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Buku Bendahara Mahir Pajak 2016, halaman 11
PAJAK PENGHASILAN
PASAL
21
OBJEK Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima oleh Pegawai, seperti
gaji dan tunjangan
Penghasilan tidak tetap dan tidak teratur yang diterima oleh Pegawai, Bukan
Pegawai, dan Peserta Kegiatan, seperti: honor kegiatan, honor narasumber, dan
sebagainya
TARIF
Tarif Pasal 17 UU PPh x Dasar
Pengenaan PPh (untuk PPh tidak bersifat final)
Tarif Final x Jumlah Bruto
(untuk PPh bersifat final)
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif Pasal 17 UU PPh untuk PPh tidak Bersifat Final
LAPISAN PENGHASILAN KENA PAJAK
Sampai dengan Rp50.000.000
TARIF
5%
Di atas Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000
15%
Di atas Rp250.000.000 sampai dengan Rp500.000.000
25%
Di atas Rp500.000.000
30%
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Penghasilan Tidak Kena Pajak
STATUS PTKP
PTKP TAHUNAN
PTKP BULANAN
TK/0
54.000.000
4.500.000
TK/1
58.500.000
4.875.000
TK/2
63.000.000
5.250.000
TK/3
67.500.000
5.625.000
K/0
58.500.000
4.875.000
K/1
63.000.000
5.250.000
K/2
67.500.000
5.625.000
K/3
72.000.000
6.000.000
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Tarif PPh bersifat Final
PENERIMA PENGHASILAN
TARIF
FINAL
PNS Golongan I dan II,
Anggota TNI/POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan
Pensiunannya
0%
PNS Golongan III,
Anggota TNI/POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan
Pensiunannya
5%
Pejabat Negara, PNS Golongan IV,
Anggota TNI/POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan
Perwira Tinggi, dan Pensiunannya
15%
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
PASAL 26
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
DASAR HUKUM
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
DASAR HUKUM
PENGERTIAN PPH PASAL 26
SESUAI PERDIRJEN Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan
Kegiatan Orang Pribadi.
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh WP OP Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah
pajak atas penghasilan berupa gaji, bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar
negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
OBJEK PPH PASAL 26
Pembayaran kepada Subjek Pajak Luar Negeri berupa:
1. Gaji;
2. Upah;
3. Honor;
4. Tunjangan;
5. pembayaran lainnya dengan nama dan bentuk apapun yang
dijelaskan pada halaman selanjutnya.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
PEMOTONG PPH PASAL 26
1.
2.
3.
4.
5.
Badan Pemerintah
Subjek Pajak Dalam Negeri
Penyelenggara Kegiatan
Bentuk Usaha Tetap
Atau Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI
Siapa saja yang berstatus sebagai Subjek Pajak luar negeri?
Seorang individu atau perusahaan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri, yaitu:
1. Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan
yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2. Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan
yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
UU No. 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan KEUANGAN NEGARA STAN
POLITEKNIK
TARIF PPH PASAL 26
1. Dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah dari jumlah penghasilan bruto.
2. Dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dengan memperhatikan
ketentuan yang diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B), dalam hal orang pribadi yang menerima penghasilan adalah subjek
pajak luar negeri dari negara yang telah mempunyai P3B dengan
Indonesia.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
TARIF PPH PASAL 26
PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 26 ATAS PENGHASILAN WAJIB PAJAK LUAR
NEGERI YANG MEMPEROLEH HONORARIUM, GAJI SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA DALAM
MATA UANG ASING
Mark Swartzh adalah seorang professor di bidang ekonomi kesehatan dari Australian National
University. PKN STAN mengundang yang bersangkutan untuk menjadi pembicara pada seminar “The
Impact of Covid-19 on Middle Income Families: The Case of Indonesia selama 2 jam. Ia memperoleh
honorarium sebesar US$ 800/jam. Kurs Menteri Keuangan pada saat pemotongan adalah Rp 14.000
untuk US$ 1.
Penghitungan PPh Pasal 26
Honorarium Prof Mark Swartzh :
US$800 x 2 x Rp 14.000 = Rp22.400.000
PPh Pasal 26 terutang adalah:
20% X Rp22.400.000 = Rp4.480.000
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
Konteks Perhitungan PPh Pasal 21
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21
1. Pegawai
Orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap
atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau
kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk
melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan
memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu,
penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja,
termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri
atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
Pegawai ada 2 (dua) macam:
1) Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam
jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan
pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara
langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu
tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam
pekerjaan tersebut.
2) Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima
penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari
bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis
pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain
pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang
memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun
dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai
imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan
berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21
Yang bukan pegawai sebagai penerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan adalah:
1)
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,
penilai, dan aktuaris;
2) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto
model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3) Olahragawan
4) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi,
ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7) agen iklan;
8) pengawas atau pengelola proyek;
9) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10) petugas penjaja barang dagangan;
11) petugas dinas luar asuransi;
12) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21
4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan,
yaitu:
1) peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2) peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
3) peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu;
4) peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
5) peserta kegiatan lainnya.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH PENERIMA PENGHASILAN YANG DIKECUALIKAN DIPOTONG
PPH PASAL 21
Pengecualian
1) Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan
atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
2) Pejabat perwakilan organisasi internasional, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21
1. penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
1) Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi
pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan
dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan
yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
2) Penghasilan yang Sifatnya Tidak Teratur : Penghasilan Pegawai Tetap yang
Bersifat Tidak Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain
penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau
periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama
apapun.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
3. penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan
pembayaran lain sejenis;
4. penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan;
5. imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21
6. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
7. termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
1) bukan Wajib pajak;
2) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
3) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH BUKAN OBYEK PEMOTONGAN PPH PASAL 21
1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk
apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) => Biayabiaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan Bentuk Usaha Tetap;
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan
hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara
tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga
kerja yang
dibayar oleh pemberi
kerja;REPUBLIK INDONESIA
KEMENTERIAN
KEUANGAN
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
ISTILAH BUKAN OBYEK PEMOTONGAN PPH PASAL 21
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (3) huruf l Undang-Undang Pajak
Penghasilan, sepanjang pihak penerima beasiswa tidak mempunyai hubungan
istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi, atau pengurus, dari Wajib Pajak
pemberi beasiswa.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
PEMOTONG PPh PASAL 21
PEMOTONG
PEMBERI
KERJA
ORANG PRIBADI
BADAN
(TERMASUK BUT)
BENDAHARA PEMERINTAH PUSAT/DAERAH
(TERMASUK INSTANSI/LEMBAGA PEMERINTAH LAINNYA,
LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA LAINNYA, KEDUBES RI DI LUAR NEGERI)
DANA PENSIUN, PT. TASPEN, PT. ASTEK, PENYELENGGARA JAMSOSTEK
PENYELENGGARA KEGIATAN TERMASUK BADAN PEMERINTAH,
ORGANISASI YG BERSIFAT NASIONAL DAN INTERNASIONAL, PERKUMPULAN,
ORANG PRIBADI SERTA LEMBAGA LAINNYA YG MENYELENGGARAKAN
KEGIATAN
42
TIDAK WAJIB MELAKUKAN PEMOTONG PPh PASAL 21
BUKAN PEMOTONG
KANTOR PERWAKILAN NEGARA ASING
ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL YANG DITETAPKAN
MENTERI KEUANGAN RI SEBAGAI BUKAN SUBJEK PAJAK
PEMBERI KERJA ORANG PRIBADI YG TIDAK MELAKUKAN KEGIATAN USAHA
ATAU PEKERJAAN BEBAS YG SEMATA-MATA MEMPERKERJAKAN
ORANG PRIBADI UNTUK MELAKUKAN PEKERJAAN RUMAH TANGGA
ATAU PEKERJAAN BUKAN DALAM RANGKA MELAKUKAN
KEGIATAN USAHA ATAU PEKERJAAN BEBAS
43
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
PENGHASILAN BRUTO
PEGAWAI TETAP DAN
PEGAWAI TIDAK TETAP*
PENERIMA PENSIUN
GAJI, TUNJANGAN
TERKAIT DGN GAJI
UANG PENSIUN
BULANAN,TUNJANGAN
DIKURANGI:
- BIAYA JABATAN, 5% DARI
PENGH. BRUTO MAKS
Rp 6.000.000,-/ THN ATAU
Rp 500.000,-/BLN (HANYA
UTK PEGAWAI TETAP)
- IURAN YG TERIKAT DGN
PENGHASILAN TETAP
DIKURANGI:
BIAYA PENSIUN, 5% DARI
PENGH.BRUTO MAKSIMAL
Rp 2.400.000,00/THN ATAU
Rp 200.000,00
PENGHASILAN
NETO
DIKURANGI
TARIF PS.17 UU PPh
*YANG
PENGHASILAN
NYA DIBAYAR
SECARA
BULANAN
JIKA WP TDK MEMILIKI NPWP MAKA
TARIFNYA 20% LEBIH TINGGI
PESERTA
KEGIATAN
BUKAN PEGAWAI
HONORARIUM,
KOMISI DAN FEE DGN
SYARAT PUNYA NPWP
& HANYA MENERIMA
PENGHASILAN DARI 1
PEMBERI KERJA
UANG SAKU,
UANG
REPRESENTASI,
UANG RAPAT,
HONORARIUM,
HADIAH DAN
PENGHARGAAN
D
I
K
U
R
A
N
G
I
PTKP
PENGHASILAN KENA PAJAK
(dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh)
44
PENGHITUNGAN PPH PASAL 21 TIAP MASA/BULAN
PERKIRAAN ATAS PENGHASILAN
YG BERSIFAT TERATUR DALAM
1 BULAN (Contoh Bulan Januari)
- GAJI KEHORMATAN
- GAJI
- TUNJANGAN YG TERKAIT
- UANG PENSIUN
- TUNJANGAN YG TERKAIT
DIKALI 12
DIKURANGI:
- BIAYA JABATAN, 5% DARI PENGH. BRUTO
MAKS Rp 6.000.000,-/THN
ATAU Rp 500.000,-/BLN
- IURAN YG TERIKAT DGN PENGH.TETAP
DIKURANGI:
BIAYA PENSIUN, 5% DARI
PENGH.BRUTO (UANG PENSIUN)
MAKS Rp 2.400.000,00/THN ATAU
Rp 200.000,00
PENGHASILAN NETO
Contoh untuk Gaji + Tunjangan
Bulan Januari
Rp4.500.000,-
Rp4.500.000 x 12 = Rp54.000.000,-
(5%xRp54.000.000)+Rp600.000)=
Rp2.700.000+Rp600.000 =
Rp3.300.000
Rp50.700.000,-
DIKURANGI
PTKP
PENGHASILAN KENA PAJAK
X TARIF PS.17 UU PPh
12
- Rp54.000.000
Rp0
Rp0 X 5%
=Rp0
45
45
12
12
Rp0 = PPh bln Januari
PENGHITUNGAN PPh PASAL 21
PEGAWAI TETAP, PENERIMA PENSIUN BERKALA
& PEGAWAI TIDAK TETAP YG MENERIMA IMBALAN
BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN)
PERHITUNGAN SETIAP MASA
PERHITUNGAN MASA PAJAK AKHIR
(BULAN DESEMBER)
PERKIRAAN ATAS PENGHASILAN
YG DIPEROLEH SELAMA 1 TAHUN
(PENGHASILAN TERATUR + TDK TERATUR)
PPh Ps.21 atas
DIKURANGI:
- BIAYA JABATAN * : 5% DARI
PENGH. BRUTO MAKS
Rp 6.000.000,-/ THN ATAU
Rp 500.000,-/BLN
- IURAN YG TERIKAT DGN
PENGHASILAN TETAP
DIKURANGI:
BIAYA PENSIUN, 5%
DARI PENGH.BRUTO
MAKSIMAL
Rp 2.400.000,00/THN
ATAU
Rp 200.000,00/BULAN
PENGHASILAN NETO
DIKURANGI PTKP
PENGHASILAN KENA PAJAK
DIBAGI 12
TARIF PS.17 UU PPh
SELURUH PENGHASILAN KENA PAJAK
SETAHUN ATAU BAGIAN TAHUN PAJAK
D
I
K
U
R
A
N
G
I
PPh Ps.21 YG TELAH DIPOTONG
PADA MASA-MASA SEBELUMNYA
DLM BAGIAN TAHUN PAJAK YBS
*BIAYA JABATAN
HANYA UTK PEGAWAI TETAP
PPh Pasal 21:
Pegawai tidak tetap/tenaga kerjalepas
Upah/Uang Saku Harian, Mingguan,
Satuan, Borongan
Dibayarkan Bulanan Atau Jumlah
Upah Kumulatif satu bulan
melebihi Rp 10.200.000
Upah/Uang Saku Harian
Dikali 12
≤ 450.000
> 450.000
Dikurangi PTKP Setahun
Tidak Dipotong
Dikurangi 450.000
Penghasilan Kena Pajak
Dipotong 5%
Dikenakan Tarif Ps 17
Upah kumulatif > Rp4,5 jt s.d. Rp10,2 jt sebulan
Upah sehari dikurangi PTKP sehari
PPh Ps 21 Setahun
Dibagi 12
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK
PPh PasalINDONESIA
21 Sebulan
Tarif PPh 21 = 5%
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
PPh Pasal 21:
Bukan Pegawai
Berkesinambungan
(50 % x Ph Bruto)
Berkesinambungan
Ex Pasal 13 ayat (1)
Dikurangi
(50 % x Ph Bruto)
PTKP sebulan,
Dihitung secara
kumulatif
Dihitung secara
kumulatif
Tidak
berkesinambungan
(50 % x Ph Bruto)
Dalam hal Dokter Yang Praktik di RS/Klinik Jumlah Penghasilan Bruto adalah
Sebesar Jasa Dokter Yang Dibayarkan Pasien melalui RS/Klinik sebelum
Dipotong Biaya-Biaya atau Bagi Hasil RS/Klinik
PPh Pasal 21:
Lainnya
Dewan Komisaris/
Pengawas non
Pegawai tetap
honorarium atau
imbalan yang bersifat
tidak teratur
Mantan Pegawai
Peserta program
Pensiun yang masih
Berstatus pegawai
jasa produksi, tantiem,
gratifikasi, bonus atau
imbalan lain yang
bersifat tidak teratur
Tarif Pasal 17 atas Penghasilan Bruto
penarikan dana
pensiun
PPh Pasal 21:
Peserta Kegiatan
Tarif Pasal 17
UU PPh
Penghasilan Bruto
Penghasilan Bruto merupakan pembayaran yang bersifat utuh
dan tidak dipecah
Ph NETO - PTKP
TETAP
PEGAWAI
BULANAN
TIDAK TETAP
HARIAN
Ph BRUTO - PTKP
Ph BRUTO – 450 RIBU
Ph BRUTO(>4,5jt s.d.10,2jt)
- PTKP Harian
Ph BRUTO(>10,2jt) – PTKP
PENSIUNAN
BERKALA
BERKESINAMBUNGAN
BUKAN PEGAWAI
BERKESINAMBUNGAN ex Psl 13 (1)
TIDAK BERKESINAMBUNGAN
KOMISARIS, MANTAN PEGAWAI,
PENARIKAN DAPEN O/ PEGAWAI
PESERTA KEGIATAN
Ph NETO - PTKP
((50% X Ph Bruto) - PTKP bulanan)
Kumulatif
(50% X Ph Bruto) Kumulatif
50 % x Ph Bruto
Ph Bruto Kumulatif
Ph Bruto
Penerima penghasilan tidak ber-NPWP
PPh Pasal 21 sebesar 120%
lebih tinggi daripada PPh
Pasal 21 yang seharusnya
(20% lebih tinggi)
Setelah pemotongan
PPh Pasal 21 bulan
Desember
merupakan kredit
pajak dalam SPT
Tahunan PPh
Ber-NPWP
sebelum pemotongan
PPh Pasal 21 bulan
Desember
Diperhitungkan oleh
pemotong dengan
PPh Pasal 21 bulanbulan selanjutnya
Tidak berlaku untuk PPh Pasal 21 yang bersifat final
Ketentuan Khusus
1. Uang Pesangon
2. Uang Manfaat Pensiun
3. THT/JHT
yang dibayarkan sekaligus
PP No. 68 Tahun
2010
Penghasilan bersumber dari
APBN/D yang diterima oleh
Pejabat Negara, PNS,
Anggota, TNI/Polri, dan
Pensiunannya
PP No. 80 Tahun
2010
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
DASAR PENGHITUNGAN PPh Ps. 21
KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF
PEGAWAI TETAP
WP DALAM NEGERI
SEJAK AWAL
TAHUN
MULAI BEKERJA SETELAH BULAN
JANUARI TERMASUK PEGAWAI YG
SEBELUMNYA BEKERJA PADA
PEMBERI KERJA LAINNYA
JUMLAH PENGHASILAN YG SEBENARNYA DITERIMA/DIPEROLEH
DALAM TAHUN PAJAK/BAGIAN TAHUN TAKWIM
TIDAK
DISETAHUNKAN
CONTOH :
SI A KERJA MULAI BLN JULI
DGN PENGHASILAN TIAP BLN Rp 10 JT
MAKA PENGHITUNG PPh PSL 21
ADALAH (Rp 10 JT – [(BIAYA JAB.PERBLN
+IURAN PENS/BLN)] X 6 BLN) - PTKP
X TARIF PSL 17 ATAU : 6 BLN
SETELAH PERMULAAN
TAHUN PAJAK
MULAI BEKERJA
DALAM TAHUN
BERJALAN
PENGHASILAN KENA PAJAK
YG DISETAHUNKAN
CONTOH :
SI BUSH MULAI BLN JULI DGN PENGHSL
Rp 10 JT TIAP BLN, MAKA PENGHIT.PPh
PSL 21 SELAM 6 BLN :(Rp 10 jt-[(BIAYA
JAB.PERBLN +IURAN PENSIUN PERBLN)] x
12) - PTKP X TARIF54
PSL 17 : 6 BLN
Download