1. Akad Menurut Doktor Jafril Khalil dalam kaitan Fatwa DSN-MUI, beberapa akad yang terdapat dalam asuransi syariah tidak hanya sebatas pada akad Tabarru dan Mudharabah, tetapi ada jenis akad tijarah lainnya seperti Al-Musyarakah (partnership), Al-Wakalah (pengangkatan wakil/agen), Al-Wadiah (akad titipan), As-Syirkah (berserikat), AlMusahamah (kontribusi) dan yang lainnya yang diakui dan dibenarkan secara syar’i untuk digunakan dalam asuransi syariah. Dalam asuransi syariah biasanya akad melandasinya berupa akad tijarah dan atau akad tabarru. Di mana akad tijarah merupakan semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial misalnya mudharabah, wadiah, dan wakalah. Sedangkan akad tabarru merupakan semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong tidak ditujukan untuk komersial. Akad yang diterapkan dalam asuransi jiwa syariah pada awal penerimaan premi menerapkan dua bentuk akad yaitu akad tabungan investasi dan akad kontribusi. Untuk akad tabungan investasi berdasarkan prinsip al-Mudharabah dan untuk akad kontribusi menerapkan prinsip hibah, hibah yang dilakukan secara berjamaah yang mengadung efek saling menanggung. Besarnya hibah 5% s/d 10% dari total premi dan selebihnya 95% s/d 90% akan masuk kedalam tabungan investasi peserta /nasabah. Beberapa bentuk akad yang diterapkan dalam Asuransi Syariah selain akad Mudharabah adalah bentuk akad sebagai berikut : Akad Wakalah Akad Wadiah Akad Musyarakah Bentuk – bentuk akad tersebut diatas diterapkan berdasarkan situasi dan kondisi dari kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pihak – pihak yang bersangkutan, karena masing – masing akad mempunyai ciri – ciri atau ketentuan yang berbeda – beda di dalam penerapannya. 2. Ketentuan Kedudukan Para Pihak Dalam Akad Tijarah dan Tabarru` A Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai sohibul mal (pemegang polis). B. Dalam akad tabarru` (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan sebagai pengelola dana hibah Ketentuan Dalam Akad Tijarah dan Tabarru` A. Jenis akad tijarah dapat dirubah menjadi jenis akad tabarru` bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya B. Jenis akad tabarru` tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah 3. Kejelasan dana Seperti yang telah dibahas diatas, bahwa unsur ghrarar pada asuransi syariah adalah ketika kita membayar premi tanpa tahu apa manfaat yang kita terima nilainya sama dengan uang yang kita bayarkan atau tidak. Hal ini memang sulit diprediksi, namun sebelum peserta mendaftarkan diri di perusahaan asuransi, peserta ada kewajiban untuk mengisi formulir terdahulu, yang isi nya berupa pertanyaan hal-hal buruk yang biasanya terjadi padanya. Seperti asma, epilepsi, berpotensi longsor dan banjir di tempat tinggalnya karena tidak ada pohon dan saluran irigasi, dsb. Dengan di isinya formulir ini oleh peserta, membuat semakin presisi perkiraan perusahaan untuk menarifkan premi yang harus dibayarkan oleh peserta sesuai dari informasi formulir mengenai seberapa berpotensi dan seringnya musibah itu terjadi padanya. Jadi unsur gharar yang ada pada asuransi syariah ini sangat kecil, karena perusahaan sudah semaksimal mungkin menaksirkan premi yang harus dibayar berdasarkan informasi yang didapat. Kemudian pada urutan kedua ada "unsur riba (bunga bank))". Riba dalam asuransi syariah nyaris tidak ada, karena mereka diawasi oleh DPS (Dewan Pengawas Syariah) sehingga mereka bertransaksi menggunakan Bank Syariah, dan bekerja sama dengan perusahaan yang tidak menganut sistem riba. Selain itu, dari praktek nya sendiri asuransi syariah juga tidak ada unsur pinjam meminjam sebagai tujuan utama mendapatkan laba. Jadi Insya Allah di pastikan bebas dari riba. Jadi tidak ada unsur riba dalam asuransi syariah. Sebenarnya tujuan dari perusahaan asransi adalah untuk memberikan layanan berupa tanggungan uang, jikalau suatu saat nanti ada pesertanya yang terkena musibah, dan mengharuskan perusahaan untuk menanggungnya. Jadi, menurut kalian apa hal ini bisa di anggap mendahului takdir tuhan? Untuk bagian yang ini kalian yang menentukannya 4. Surplus/defisit dana tabarru Tabarru’. Dalam hal ini tidak terjadi exchange (transaksi) antara Peserta dan perusahaan asuransi syariah. Kembali, dana manfaat ke Peserta sesungguhnya berasal dari para Peserta itu sendiri. Konsep kebersamaan yang diterapkan dalam Asuransi Syariah adalah apabila kumpulan Dana Tabarru’ lebih besar (surplus) daripada besaran santunan yang diberikan kepada Peserta yang mengalami musibah , maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada Peserta. Sebaliknya, bilamana kumpulan Dana Peserta ternyata lebih kecil dari besaran santunan yang diberikan kepada Peserta (defisit), maka secara prinsip kekurangan tersebut nantinya akan menjadi domain para Peserta, namun demikian perusahaan asuransi syariah berkewajiban untuk memberikan dana talangan (qardh) untuk menutupi kekurangan tersebut. Qardh ini sendiri harus bebas dari unsur riba, artinya tidak ada penambahan besaran utang atas pokok dana talangan. Semisal pada ilustrasi di atas, apabila terdapat kekurangan Rp 150 maka perusahaan asuransi syariah akan memberikan dana talangan sebesar Rp 150. Proses pengembalian dana talangan tersebut, nantinya akan diambil kembali dari surplus (bila ada) dalam pengelolaan risiko di tahun-tahun berikutnya. Apabila pengembalian baru bisa dilakukan dalam 5 tahun ke depan, maka besaran pengembalian dana talangan pun tidak boleh bertambah sedikit pun dari pokok sebesar Rp 150. 5. Dana investasi Terkait dengan investasi, perusahaan asuransi syariah hanya sebagai Pengelola Dana yang sesungguhnya milik Peserta. Hasil investasi yang diperoleh dari Dana Tabarru’akan dikembalikan ke pemiliknya, yaitu Peserta. Kembali ditekankan, pengelolaan investasi ini pun harus sesuai dengan kaidah syariah, utamanya bebas dari unsur riba. Semua hasil investasi pun akan kembali ke Peserta (Dana Tabarru’). Skema yang tergambar dalam pengelolaan Asuransi Syariah sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian adalah sistem pengelolaan yang berdasarkan prinsip saling menolong dan melindungi. “Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan peranjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi …” Jadi dalam setiap produk investasi yang akan dipilih harus mempertimbangkan dulu haram atau tidaknya instrumen investasi. Nasabah pun dapat dengan tenang menerima setiap return yang diberikan perusahaan asuransi dari hasil investasi. Karena dijamin kehalalannya, biasanya perusahaan asuransi menggunakan akad Mudharabah untuk pengaturan bagi hasil keuntungan atas investasi dana tabarru’, dengan demikian hasil dari investasi pada asuransi syariah tersebut akan dibagi berdasarkan kesepakatan perusahaan dengan peserta. Selain keuntungan yang dijelaskan secara transparan dan adil, ada pula beban resiko yang mesti ditanggung bersama ketika investasi menunjukkan penurunan atau bahkan merugi. Karena pada setiap investasi terutama untuk jenis high risk seperti saham, tingkat kerugian bisa sangat besar sehingga bukan tidak mungkin juga akan mempengaruhi keuntungan Anda. Namun karena kerugian juga ditanggung bersama, beban pun terasa lebih ringan. Selain setiap transaksi yang terjadi harus menggunakan akad, atau perjanjian jual beli. Asuransi syariah dijalankan berdasarkan tiga jenis akad, yakni: (Akad Tabarru’/Hibah) yaitu akad sesama peserta untuk menanggung bersama risiko di antara peserta, atas dasar tolong-menolong dan saling melindungi. (Akad Wakalah bil Ujrah) yaitu akad peserta dengan perusahaan untuk pengelolaan risiko. (Akad Mudharabah) yaitu akad peserta dengan perusahaan untuk pengaturan bagi hasil investasi kumpulan dana tabarru’. Perusahaan asuransi syariah memberikan penjelasan transparan baik soal pengelolaan dana maupun pembagian investasi dan keuntungan. Karena keuntungan dan resiko sama-sama dibagi kepada semua peserta. Semua dicatat secara proporsional tidak ada yang sembunyikan. Surplus keuntungan di bagi dengan ketentuan: 60% ditahan dalam saldo Tabarru; 30% diberikan kepada peserta dan 10% kepada pengelola (perusahaan asuransi). Peserta pun dibebaskan untuk memilih antara menambahkan seluruh kelebihan dana tersebut ke dana tabarru’, di bagi ke dana tabarru dan peserta, atau di bagi ke dana tabarru, peserta dan perusahaan. Namun karena setiap perusahaan asuransi menerapkan kebijakan yang berbeda, kemungkinan besar persentase keuntungan yang dibagikan juga tidak sama pada tiap perusahaan. 6. Dana tabarru Mekanisme pengelolaan dana peserta (premi) terbagi menjadi dua yakni pertama, sistem pada produk saving (tabungan) dengan alur mekanisme pengelolaan dana yang mana setiap iuran premi dari seorang peserta yang masuk keperusahaan asuransi syariah langsung dipecah menjadi dua bagian yakni masuk dana tabarru' dan dana investasi. Kedua, sistem pada produk non saving (tidak ada tabungan) dengan mekanisme pengelolaan dana tanpa unsur tabungan (non saving) yang mana setiap premi yang diterima akan dimasukan kedalam rekening khusus, yaitu kumpulan dana yang diniatkan untuk tujuan kebijakan atau tabarru' guna pembayaran klaim pada peserta yang mengalami musibah atas harta benda yang menyebabkan pesera mengalami kerugian. Semua dana yang diinvestasikan dan hasil investasi dari dana tersebut kembali ke rekening. Apabila terjadi surplus underwriting dana tabarru', maka alokasi atau pembagian dari surplus tersebut dialokasikan sebagai jenis asuransi dengan tabungan dan jenis asuransi non tabungan. nisbah dana tabarru' diberikan apabila perusahaan terjadi surplus underwriting, namun apabila perusahaan tidak terjadi surplus underwriting atau minus maka peserta tidak mendapatkan nisbah (bagi hasil). Dana tabarru'dapat dicairkan dengan dua cara, yaitu mengajukan klaim dan pengajuan surplus underwriting, hal ini dikarenakan dana tabarru' sebagai dana tolong menolong untuk peserta yang terkena musibah, sehingga pencairan dana tabarru' hanya dapat dilakukan apabila peserta mengalami musibah dengan mengajukan klaim. Kedudukan para pihak dalam akad tabarru' yaitu, pertama peserta membayarkan dana tabarru' untuk tujuan saling tolong menolong antar peserta yang sedang terkena musibah. Kedua, peserta asuransi merupakan pihak yang berhak untuk memperoleh dana tabarru' apabila peserta tersebut mengalami musibah, sedangkan perusahaan asuransi sebagai pihak yang yang menanggung sekaligus bertindak sebagai pengelola dana tabarru' atas dasar akad wakalah dari para peserta. Pengelolaan dana tabarru' dilakukan oleh suatu lembaga menjadi pemegang amanah dimana lembaga tersebut sudah melalui persetujuan dari Dewan Pengawas Syariah. Selain itu, dalam pengelolaan dana tabarru' pembukuannya pun terpisah dari dana yang lain. Dana tabarru' kemudian diinvestasikan dan hasil dari investasi tersebut kemudian menjadi hak kolektif peserta dan masuk dalam rekening tabarru'. Surplus underwriting yang terdapat pada dana tabarru' kemudian dimasukan kedalam akun tabarru' atau diberikan kepada peserta yang sedang terkena musibah. Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari investasi berdasarkan akad mudharabah atau mudharabah musyarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad wakalah. Dana tabarru' yang telah dibayarkan oleh peserta asuransi tidak boleh diminta kembali, seperti yang sudah dijelaskan dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 81/ DSN-MUI/III/2011 tentang pengembalian dana tabarru' bagi peserta asuransi yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir. Adapun ketentuan yang mengatur tentang pengembalian dana tabarru' dijelaskan bahwa peserta asuransi syariah tidak boleh meminta kembali dana tabarru' yang sudah dibayarkan, perusahaan asuransi sebagai pengelola dana tabarru' tidak berwenang mengembalikan dana tabarru'. Peserta asuransi syariah sebagai penerima dana tabarru' memiliki hak dalam penggunaan dana tabarru' dan pengembalian dana tabarru' sebelum berakhirnya perjanjian, namun harus sesuai dengan kesepakatan. Dana tabarru' dapat diminta kembali apabila peserta yang meminta terkena musibah. Dalam pengembalian dana tabarru' peserta harus mengajukan klaim terlebih dahulu untuk mendapatkan dana tabarru' tersebut. Apabila pada masa akhir periode tidak terjadi surplus underwriting maka dana tabarru' tidak dapat dikembalikan. Sedangkan jika terjadi surplus underwriting atas dana tabarru', maka dapat digunakan untuk cadangan dalam akun tabarru' yang nantinya diberikan kepada peserta yang sedang mengalami musibah. Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru' maka perusahaan yang bertanggung jawab untuk menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk qard (pinjaman). Dalam pengembalian qard (pinjaman) kepada perusahaan asuransi dapat diambil dari dana tabarru'. Pertama, asuransi premi sukarela, berbasis ta’awuni, selanjutnya disebut asuransi ta’awuni. Dalam asuransi ta’awuni, yang dikembangkan adalah kerja sama saling tolong menolong antarsesama peserta asuransi. Konsekuensi dari hal ini, Dana yang diberikan peserta bersifat sukarela, sehingga peserta tidak bisa menarik kembali dalam bentuk uang di luar klaim yang ditentukan. Nilai dana yang disumbangkan bisa seragam, bisa juga berbeda-beda sesuai kemampuan peserta. Dan ini kembali kepada kesepakatan. Dalam asuransi sukarela berbasis ta’awuni, ada 3 pihak yang terlibat, [1] Peserta asuransi, sebagai penyedia dana [2] Lembaga asuransi, sebagai pengelola dana para peserta [3] Perusahaan x, Unit bisnis halal, sebagai pihak yang menerima investasi dari sebagian besar dana peserta Alur kerja sama dan aliran dana, bisa kita pelajari dalam skema berikut, Asuransi Sukarela Keberadaan perusahaan yang menampung investasi sifatnya opsional. Melibatkan perusahaan ini tujuannya hanya untuk mengembangkan dana masyarakat di unit usaha yang halal. Model asuransi ta’awuni dengan prinsip, kebutuhan masyarakat ditanggung bersama, sudah pernah dipraktekkan para sahabat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, memuji para sahabat Kabilah Asy’ari, dari Yaman, Sesungguhnya orang-orang kabilah Asy’ariy, ketika mereka kehabisan bekal pada waktu perang, atau makanan mereka kurang untuk keluarganya ketika di Madinah, maka mereka kumpulkan sisa-sisa makanan mereka di satu kain, lalu mereka bagi rata di wadah-wadah mereka. Saya bagian dari mereka dan mereka bagian dariku. (HR. Bukhari 2486 & Muslim 6564). Hak dan kewajiban [1] Hak dan kewajiban peserta asuransi Peserta berkewajiban menyetorkan dana sukarela, sesuai aturan yang ditetapkan lembaga asuransi Setoran yang diserahkan peserta sifatnya sukarela, sehingga tidak ada hrapan akan dikembalikan dalam bentuk uang Besar nilai setoran dikembalikan kepada kesepakatan kedua belah pihak. Tidak boleh ada keinginan untuk mencari keuntungan (komersial) Peserta berhak untuk menerima santunan dari dana bersama (dana masyarakat) jika dia mengalami kejadian yang diajukan sebagai klaim. Nilai santunan yang diberikan tidak harus sama dengan nilai dana yang dibayarkan. Bisa jadi lebih besar atau lebih kecil, tergantung dari biaya untuk mengurangi resiko yang dia butuhkan. Peserta wajib memahami bahwa dana yang diserahkan sebagian akan diinvestasikan dengan skema transaksi mudharabah, yang membuka dua kemungkinan, kemungkinan untung atau rugi. [2] Hak dan Kewajiban Lembaga Asuransi Lembaga asuransi mengumpulkan dana dari peserta dan dijadikan sebagai rekening bersama. Lembaga asuransi berkewajiban mencari perusahaan yang memiliki peluang menguntungkan. Karena dia mendapat amanah mengelola dana masyarakat. Dan asas yang harus dikedepankan adalah apa yang paling menguntungkan bagi masyarakat. Dalam satu kaidah dinyatakan Lembaga asuransi berhak mendapatkan upah (fee) tetap, sesuai volume kerja yang dia lakukan. Mengenai nilai upah, bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan. Karena upah bersifat tetap, maka tidak mengikuti fluktuasi revenue dari perusahaanx. Bahkan dia tetap mendapatkan fee, sekalipun investasi yang dikembangkan di perusahaan x gagal. [3] Hak dan Kewajiban Perusahaan x Ikatan yang dibentuk dengan perusahaan x adalah akad mudharabah. Dimana peserta asuransi sebagai sohibul mal dan perusahaan x sebagai mudharib, sementara lembaga asuransi hanyalah wakil, yang menghubungkan sohibul mal dengan amil. Perusahaan x mengembangkan dana itu sesuai unit bisnisnya atau sesuai kesepakatan. Semua hasil akhir dibagi bersama sesuai kesepakatan, baik keuntungan maupun kerugian. Kedua, Asuransi non-sukarela, berbasis investasi, selajutnya diistilahkan dengan asuransi investasi. Dalam asuransi investasi, yang dijadikan acuan adalah prinsip bahwa peserta asuransi hanya mendapatkan hak sesuaidana miliknya yang ada di perusahaan asuransi, baik yang bentuknya tabungan atau investasi. Karena itu, dana yang disalurkan dibagi menjadi 2: Dijadikan tabungan, yang bisa diambil kapanpun ketika membutuhkan. Diinvestasikan untuk unit usaha yang halal dengan skema mudharabah agar bisa dikembangkan. Sehingga peserta harus menyadari, dalam investasi ini ada kemungkinan untung atau rugi. Sebgaimana asuransi ta’awuni, dalam asuransi berbasis investasi, ada 3 pihak yang terlibat, [1] Peserta asuransi, sebagai panyalur dana [2] Lembaga asuransi, sebagai pengelola dana para peserta [3] Unit bisnis halal, sebagai pihak yang menerima investasi dari sebagian besar dana peserta Secara sederhana bisa dipelajari dalam skema berikut, Asuransi Berbasis Investasi Hak dan kewajiban [1] Hak dan Kewajiban Peserta Asuransi Peserta asuransi berkewajiban membayar premi ke lembaga asuransi sesuai yang kesepakatan. Peserta asuransi memberi izin kepada lembaga asuransi untuk menginvestasikan sebagian dananya ke perusahaan yang ditunjuk pihak asuransi. dana yang diinvestasikan tidak bisa diambil sewaktu-waktu, sampai batas masa pembukuan yang ditetapkan. Peserta asuransi berhak mengambil dana yang dijadikan tabungan, sewaktu-waktu, sesuai kebutuhannya, melaluiklaim yang diajukan. Nilai klaim hanya sebesar dana yang menjadi haknya di perusahaan asuransi. Jika dana yang dia miliki telah habis, termasuk yang ada di perusahaan, maka peserta tidak memiliki hak apapun atas pihak asuransi, kecuali jika dia menambah depositnya ke pihak asuransi. [2] Hak dan Kewajiban Perusuhaan Asuransi Perusahaan asuransi harus memberi data yang pasti kepada peserta asuransi, berapa persen dana peserta yang dijadikan tabungan dan berapa persen yang diinvestasikan. Pihak asuransi harus mencari perusahaan yang profitable untuk mengembangkan dana asuransi. Pihak asuransi berhak mendapat fee (upah) tetap atas usahanya mengatur perputaran dana asuransi. Nilai upah bersifat tetap, sesuai kesepakatan. Karena status pihak asuransi hanya wakil dan bukan mudharib. Pihak asuransi tidak bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi dalam proyek investasi. Selama dia telah memilih dengan baikunit bisnis penampung investasi. [3] Hak dan Kewajiban Pengelola Unit Bisnis Ikatan yang dibentuk dengan perusahaan x adalah akad mudharabah. Dimana peserta asuransi sebagai sohibul mal dan perusahaan x sebagai mudharib, sementara lembaga asuransi hanyalah wakil, yang menghubungkan sohibul mal dengan amil. Perusahaan x mengembangkan dana itu sesuai unit bisnisnya atau sesuai kesepakatan. Semua hasil akhir dibagi bersama sesuai kesepakatan, baik keuntungan maupun kerugian. Allahu a’lam.