ANALISIS YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI PENGGUNA JASA PELAYANAN KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Kasus Prita Mulyasari) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 Program Studi Magister Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis diajukan oleh Agewina Lubis 11/ 322751/ PHK/ 06771 Kepada PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013 ANALISIS YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI PENGGUNA JASA PELAYANAN KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Kasus Prita Mulyasari) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 Program Studi Magister Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis diajukan oleh Agewina Lubis 11/ 322751/ PHK/ 06771 Kepada PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013 i TESIS AN AL IS TSY U R ID IS TE N TA NGP E RL I NDUNG A NHUK UM T E RHA D AP PAS IE NS E B A G A I P E N G G UNAJ A S A P E L A Y A NA NK E S E HA T A N BE R D A S A R K A NU N D A NG - UNDA NGNO M O R8 T A HUN 1 9 9 9 TE N TA N GP ERL I NDUNG A NK O NS UM E N (s TU D t K AS US P RI T A M UL Y A S A RT ) yang dipersiapkandan disusun oleh Agewina Lubis lll32275ltPIIKl0677r telah dipertahankandi depanDewan Penguji padatanggal 22 Maret 20 12 SusunanDewan Penguji Penguji Pembimbing _/. r, I [i Hernawan.S.H.. M.Hum \ M.Hum Tesis ini telah diterima sebagaisalahsatu persyaratan untuk memperolehgelar Magister ngsih,S.H.,M.Hum StudiMasisterHukum PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pemah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaandi suatu PerguruanTinggi, dan sepanjangpengetahuansaya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secaratertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Yogyakarta,22 Maret 20| 3 YangMenyatakan, -L Agewina Lubis lll KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena hanya dengan berkat dan rahmat-Nya maka penulisan hukum ini dapat selesai dengan sempurna. Penulisan ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi untuk mendapat gelar Magister dari Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Melalui penulisan hukum ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini, yaitu: 1. Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc. selaku Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2. Dr. drs. Paripurna Sugarda, S.H., M.Hum., LL.M., Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 3. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 4. Dr. Ari Hernawan, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing tesis, untuk setiap bimbingan dan arahan kepada penulis, 5. Dewan Penguji tesis, Prof. Dr. Siti Ismajati Jenie, S.H., C.N. dan Pitaya, S.H. M.Hum., atas setiap koreksi, saran serta perbaikan pada penulisan tesis ini, 6. Bapak dan ibu dosen yang telah membimbing dan memberikan bekal masa depan untuk penulis, iv 7. Bagian Akademik Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Mas Memet, Mas Asep, Mbak Dian yang sudah mau direpotkan dan mendengar keluh kesah penulis, 8. Seluruh Staf Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, atas setiap dukungan semangat dan perhatian kepada penulis, 9. Orang tua penulis, (Alm.) Angkup Lubis, S.H. dan Herli Eny Ginting, M.Ba. yang telah dan terus memberikan doa, nasihat dan semangat kepada penulis, 10. Kakak dan abang ipar, Halasan Lubis, Hartati Lubis, Gok Maria Lubis, Anita Lubis, Gordon Sitompul, Leo Kristofer Ginting dan Andika Widiarso Nababan, yang memberikan semangat kepada penulis untuk terus menyelesaikan penulisan hukum ini, 11. Adik penulis, Dessy Nakarasima Lubis, untuk cinta dan kasih sayang kepada penulis, 12. Louis Guinandra Nababan, yang memberikan suntikan semangat melalui keceriaan dan senyuman dalam menjalani penulisan hukum ini, 13. Tonny Christian, yang sudah seperti kakak dan keluarga memberikan semangat kepada Penulis untuk terus menyelesaikan penulisan hukum ini, 14. All Crew Saijaan 6 Yogyakarta, yang telah memberikan perhatian terhadap tesis ini, terima kasih untuk sponsor print dan jilid, 15. All Crew Genteng Biru Club, atas semua suka duka yang sudah dialami dan kebersamaan setiap harinya, 16. Sahabat perjuangan penulis, Magister Hukum Bisnis Angkatan 27 Universitas Gadjah mada Yogyakarta, atas kebersamaan yang tidak terlupakan, v 17. Pihak-pihak yang tidak dapat Penulis sebutkansatupersatu. SemogaTuhan yang Maha Kuasa membalassetiapkebaikan dan ketulusan dari semua pihak yang memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini dengan setiap limpahan berkat, rahmat dan karunia yang tidak berkesudahan. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna, untuk itu sumbang saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat penulis harapkan demi perbaikan dan penyempurnrum penulisan hukum selanjutnya. Penulis mengharapkan kiranya penulisan hukum ini dapat memberikanmanfaat kepadasemuapihak. Yogyakarta,Maret2013 M: v1 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………………….. i HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………… ii HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………… iii KATA PENGANTAR ……………………………………..……………. iv DAFTAR ISI ……………………………………………………………. viii INTISARI ……………………………………………………………….. xiii ABSTRACT …………………………………………………………..… xiv BAB I . PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………….…….. 1 B. Rumusan Masalah …………………………………………. 7 C. Tujuan Penelitian …………………………………………... 7 1. Tujuan Obyektif ……………………………………….. 8 2. Tujuan Subyektif ………………………………………. 8 D. Manfaat Penelitian …………………………………………. 9 1. Manfaat Teoritis ……………………………………….. 9 2. Manfaat Praktis ………………………………………… 10 E. Keaslian Penelitian ………………………………………… 10 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen ……….. 13 1. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen ……………… 13 vii 2. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…………… 17 a. Pengertian Perlindungan Konsumen ………………. 20 b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ……….. 22 c. Manfaat Perlindungan Konsumen ………………… 24 3. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha ………………. 25 a. Pengertian Konsumen ………………………………. 25 b. Pengertian Pelaku Usaha ……………………………. 27 4. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha………. 29 a. Hak dan Kewajiban Konsumen …………………… 29 b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ………………… 33 B. Tinjauan Umum tentang Pasien sebagai Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan ……………………………………… 36 1. Pelayanan Kesehatan …………………………………. 36 2. Pasien sebagai Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan … 38 a. Unsur-unsur Pasien ……………………………….. 40 b. Hak dan Kewajiban Pasien ……………………… 48 3. Pelaku Usaha dalam Penyedia Jasa Pelayanan Kesehatan ………………………………….. 52 4. Dokter dan Rumah Sakit sebagai Penyedia Jasa Pelayanan Kesehatan ……………………………..……. 56 a. Dokter sebagai Penyedia Jasa Pelayanan Kesehatan ……………………………… 56 1) Kewajiban Dokter ……………………………. 58 2) Hak Dokter ……………………………………. 60 viii b. Rumah Sakit sebagai Sarana Pelayanan Kesehatan... 61 1) Jenis Rumah Sakit ............................................... 64 2) Hak dan Kewajiban Rumah Sakit ……………. 67 a) Kewajiban Rumah Sakit ................................ 69 b) Hak Rumah Sakit .......................................... 71 3) Peran Rekam Medis di Rumah Sakit ..…..……. 71 4) Hubungan hukum Rumah Sakit dengan Dokter dan Pasien ............................................... 76 a) Hubungan hukum Rumah Sakit dan Dokter.. 76 b) Hubungan hukum Rumah Sakit dan Pasien... 78 C. Peran Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik..... 79 1. Pengertian transaksi terapeutik .................................. 79 2. Pengertian Informed Consent .................................. 80 3. Bentuk Informed Consent ......................................... 81 D. Tinjauan umum tentang Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali …………………………………... 82 BAB III. METODE PENELITIAN A. Sifat Penelitian ………………………………………………. 89 B. Jenis Penelitian ………………………………………………90 1. Penelitian Kepustakaan ………………………………… 90 a. Data ………………………………………..……… 90 b. Bahan ……………………………………………… 90 1) Bahan Hukum Primer …………………………… 91 2) Bahan Hukum Sekunder ……………………….. 92 ix 3) Bahan Hukum Tersier …………………………. 92 2. c. Metode Pengumpulan Data ……………………….. 93 d. Alat Pengumpulan data …………………………… 93 Penelitian Lapangan …………………………………… 93 a. Data ………………………………………..……… 93 b. Lokasi Penelitian ………………………………… 93 c. Subjek Penelitian …………………………………. 93 d. Metode Pengumpulan Data ……………………….. 94 e. Alat Pengumpul Data ……………………………… 94 C. Analisis Data ……………………………………………….. 95 D. Jalannya Penelitian …………………………………………. 96 E. Hambatan Penelitian ……………………………………….. 97 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan ………………………………….. 98 1. Tanggung jawab dokter sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pasien ………………………………….. 98 a. Tanggung jawab etis ………………………………… 106 b. Tanggung jawab profesi ……………………………. 107 c. Tanggung jawab hukum …………………………… 109 1) Dalam bidang hukum perdata ………………….. 109 a) Karena wanprestasi …………………………. 109 b) Karena perbuatan melawan hukum ………… 111 x 2) Dalam bidang hukum pidana …………………… 113 3) Dalam bidang hukum administrasi ……………. 116 2. Penyelesaian sengketa antara pasien dengan tenaga kesehatan ……………………………………….. 117 a. Di luar Pengadilan …………………………………. 118 b. Melalui Pengadilan …………………………………. 119 3. Peran lembaga konsumen swadaya masyarakat ………... 120 4. Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah ………..... 122 a. Pembinaan ………………………………………… 122 b. Pengawasan ………………………………………… 124 B. Kesesuaian Putusan Peninjauan Kembali Prita Mulyasari Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 dengan UUPK ……………….. 125 1. Kronologi kasus Prita Mulyasari ……………………… 125 2. Kesesuaian Putusan Peninjauan Kembali No.225PK/Pid.Sus/2011 dengan UUPK ……………. 138 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………….. 149 B. Saran………………………………………………………… 150 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 151 xi ANALISIS YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN SEBAGAI PENGGUNA JASA PELAYANAN KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Kasus Prita Mulyasari) Oleh Agewina Lubis1, Ari Hernawan2 INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap Pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara Putusan Peninjauan Kembali Prita Mulyasari Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan mengandalkan data sekunder sebagai sumber data utama. Penelitian lapangan juga dilakukan untuk mendukung penelitian kepustakaan. Data dianalisis secara kualitatif. Hasil analisis disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah mengatur tentang perlindungan hukum terhadap pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan, yaitu tentang hakhak pasien, tanggung jawab dokter sebagai pelaku usaha, penyelesaian sengketa antara pasien dan pelaku usaha jasa pelayanan kesehatan dan perlindungan hak atas ganti rugi. Putusan peninjauan kembali nomor 225PK/Pid.Sus/2011 belum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena majelis hakim tidak memberikan pertimbangan perlindungan hukum terhadap Prita Mulyasari dalam hal kedudukan sebagai pasien atau konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan. Majelis hakim hanya memberikan pertimbangan sesuai dengan dakwaan dari jaksa penuntut umum. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pasien, Jasa Pelayanan Kesehatan 1 2 Jl.Manisrejo RT.17 RW.39 Nomor 184 Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada xii The Juridical Analysis of Legal Protection against Patient as The user of Health Service based on The Act of No. 8/1999 on Consumer Protection (A Case Study of Prita Mulyasari) By : Agewina Lubis1, Ari Hernawan2 ABSTRACT This research aims to know the legal protection of the patient as users of health services in the Act No. 8/1999 on Consumers Protection. This research also aims to know conformity between Prita Mulyasari’s judicial review number 225PK/Pid.Sus/2011 with Act No.8/1999 on Consumer Protection. This research is juridical normative by relying on data secondary as a source of data main. Field research also done to support library research. The Data were analyzed on qualitatively. The result analysis served in a descriptive. The result showed the act of No.8/1999 on consumer protection have arranged on the protection laws against patient as users health services, that is about the rights of patients, the responsibility of a physician as business doers, settlement of the dispute between the patient business players and health service and protection of the rights of redress. The judicial review number 225PK/Pid.Sus/2011 not based on Act No.8/1999 on Consumer Protection because the judge gave no consideration legal protection against prita mulyasari in terms of it as a patient or consumers users health care. The judge just give consideration in accordance with arraignment of prosecutors common. Keywords: Protection Law, Patients, Health Care Services 1 2 Manisrejo Street, RT/RW 17/19 No.184, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta Law Faculty of Gadjah Mada University xiii 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non-diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan Negara. Dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Demikian pula diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 bahwa setiap orang memiliki hak untuk memperoleh suatu standar kehidupan yang layak dan kesehatan dan kesejahteraannya beserta keluarganya, tercakup didalamnya pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya. Oleh karena itulah peningkatan derajat kesehatan 1 2 harus terus menerus diupayakan secara maksimal oleh penyedia jasa pelayanan kesehatan demi peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara optimal. Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apa pun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu.1 Menilik pada sifat dasar manusia yang merupakan makhluk sosial (zoon politicon) maka manusia pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi setiap kebutuhannya, dalam hal ini termasuk orang yang sedang sakit membutuhkan seorang ahli untuk penyembuhan penyakitnya. Orang yang sedang sakit atau bisa disebut pasien, tidak dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya sendiri, tidak ada pilihan selain meminta pertolongan dari seorang ahli yang dapat menyembuhkan penyakitnya, yaitu tenaga kesehatan. Dalam hal ini tenaga kesehatan dapat ditemui oleh pasien di tempat-tempat yang memberikan layanan kesehatan seperti Puskesmas, Balai Kesehatan, tempat Praktek Dokter dan Rumah Sakit. Upaya pembangunan negara dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya tidak terlepas dari peran serta para penyedia jasa pelayanan kesehatan yaitu tenaga kesehatan tersebut . Dalam hal ini penyedia jasa pelayanan kesehatan yang dimaksud yaitu rumah sakit, dokter, perawat medis ataupun penyedia jasa kesehatan lainnya yang saling berkaitan dalam hubungannya menjaga kesehatan para pasien. Hubungan antara dokter, rumah 1 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.5 3 sakit dan pasien inilah yang kemudian biasanya menjadi permulaan konflik.2 Konflik biasanya terjadi manakala para pihak tidak menjalankan perannya sebagaimana yang diharapkan oleh pihak lain. Pasien sebagai pihak yang membutuhkan pertolongan berada pada posisi yang lemah sehingga seringkali tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan bagi dirinya. Sebaliknya pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan seringkali tidak dapat menjalin komunikasi yang baik dengan pasien maupun keluarga pasien, akibatnya hubungan yang seharusnya dapat berjalan dengan baik menjadi keadaan yang tidak menyenangkan baik bagi pasien maupun dokter, ataupun rumah sakit. Sejak terwujudnya sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui adanya beberapa sifat mendasar/fundamental yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan yang tidak diragukan.3 Di dalam Sambutan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Prof. Dr. dr. M. Ahmad Djojosugito, Sp.BO., M.HA, yang dirangkum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, menyatakan bahwa salah satu upaya untuk mencapai Indonesia Sehat adalah melalui profesionalisme dibidang kesehatan berupa upaya untuk meningkatkan dan memelihara pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dimaksud, tentu saja belum cukup bila tidak didukung dengan 2 Yuliati, Laporan Penelitian, 2005, Kajian Yuridis Perlindungin Hukum Bagi pasien dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran Berkaitan dengan Malpraktik, hlm. 3 3 Bagian Mukadimah, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia 4 penerapan nilai-nilai moral dan etika profesi yang tinggi. Demikian halnya pelayanan dibidang kedokteran pelaksanaan nilai-nilai luhur profesi yaitu etik kedokteran multlak diperlukan.4 Penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diatur bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. Dari pasal tersebut kemudian dapat disimpulkan bahwa dokter, rumah sakit ataupun tenaga kesehatan lainnya yang memberikan jasa pelayanan kesehatan tunduk pada UUPK. Salah satu kasus jasa pelayanan kesehatan yang banyak menarik perhatian publik yaitu kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera (RS Omni). Kasus ini bermula oleh karena ketidakpuasan Prita Mulyasari terhadap RS Omni yang tidak memberikan hasil laboratorium 4 Sambutan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dalam Kode Etik Kedokteran dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia 5 pemeriksaan darah Prita Mulyasari secara transparan. Prita Mulyasari datang ke RS Omni dengan keadaan suhu tubuh yang mencapai 39°C, yang oleh pihak rumah sakit dicurigai mengidap penyakit demam berdarah. Dengan keadaan tersebut kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium terkait jumlah trombosit agar mengetahui positif atau tidaknya menderita penyakit demam berdarah. Hasil Laboratorium menunjukkan jumlah trombosit Prita Mulyasari hanya 27.000 ul, jauh diatas jumlah normal yaitu 200.000 ul. Namun pada malam harinya, hasil laboratorium tersebut kemudian direvisi oleh laboratorium menjadi 181.000 ul. Sebelum adanya revisi, Prita Mulyasari sudah diberikan suntikan dan obat-obatan yang membuat pembengkakan dibeberapa bagian tubuh. Inilah yang kemudian membuat Prita Mulyasari tidak puas karena saat diminta hasil cek darah laboratorium pihak RS Omni tidak dapat menunjukkannya. Bahkan lebih lanjut Prita Mulyasari meminta rekam medis kesehatannya untuk dapat berpindah ke Rumah Sakit lain, oleh RS Omni diberikan rekam medis fiktif karena tidak sesuai dengan keadaan kesehatan yang dialami oleh Prita Mulyasari. Berbekal ketidakpuasan tersebut Prita Mulyasari kemudian membuat surat elektronik (email) yang berjudul “Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang” di mailing list yang isinya mengenai kejadian yang dialaminya di RS Omni. Banyak tanggapan dari teman-teman Prita Mulyasari yang ada di mailing list tersebut yang kemudian email tersebut tersebar ke banyak orang termasuk Pihak Omni dan dokter yang memeriksa. Prita Mulyasari kemudian digugat secara perdata karena pencemaran nama baik dan dituntut secara pidana karena melakukan penghinaan melalui surat elektronik. Gugatan 6 perdata diperjuangkan hingga tingkat kasasi dan pidana hingga tahap Peninjauan Kembali. Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar dan jelas. Lebih lanjut dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, mengatur bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 19455 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia6. Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kasus Prita Mulyasari ini menandai bahwa kepedulian masyarakat atas peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara optimal harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab, bukan semena-mena atau otoriter dari pihak Rumah sakit ataupun dokter. Begitu banyak Rumah Sakit baik yang dikelola swasta ataupun pemerintah telah melakukan kecenderungan liberalisasi pelayanan kesehatan kearah industri kesehatan. Kecenderungan kearah industri kesehatan terlihat dengan adanya konflik antara profesi medis dan profesi manajemen. Di satu 5 Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Lebih lanjut Pasal 28E Ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” 6 Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia menyebutkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan dan untukmencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas” 7 pihak, digunakan pendekatan teknik medis (medical technical), sedangkan di pihak lain ditekankan pada aspek manajerial (manajerial aspect). Kompleksitas rumah sakit ini menjelma dalam berbagai kegiatan yang kadang-kadang kontradiktif dan bahkan menimbulkan konflik. Akibat adanya kecenderungan industri kesehatan ini, sebagian anggota masyarakat, dalam hal ini konsumen pengguna jasa kesehatan merasakan adanya konflik dalam kesehatan, yaitu dalam bentuk profit oriented.7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen? 2. Apakah Putusan Peninjauan Kembali Prita Mulyasari Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya, maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan dari suatu penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif dan merupakan 7 Yusuf Shofie, 2009, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, hlm.140 8 pernyataan- pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono Soekanto, 2006: 118-119).8 Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif. Dalam penulisan tesis ini, tujuan obyektif dan subyektif adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif Tujuan obyektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang mendasari penulis dalam melakukan penulisan. Dalam penulisan tesis ini, tujuan obyektif penulisan bertujuan sebagai berikut : a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap Pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. b. Untuk mengetahui kesesuaian antara Putusan Peninjauan Kembali Prita Mulyasari Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Tujuan Subyektif Tujuan subyektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan pribadi penulis yang mendasari penulis dalam melakukan penulisan. Dalam rencana penulisan ini bertujuan sebagai berikut : a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang ilmu hukum baik teori maupun praktek dalam hal ini lingkup Hukum 8 Soerjono Soekanto, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.118-119. 9 Perlindungan Konsumen, khususnya yang menyangkut Perlindungan Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan kesehatan. b. Untuk melengkapi sebagian syarat akademis guna memperoleh gelar Magister Hukum di bidang Hukum Bisnis pada Program Magister Hukum, konsentrasi Hukum Bisnis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya. D. Manfaat Penelitian Salah satu faktor pemilihan masalah dalam penelitian ini bahwa penelitian ini dapat bermanfaat karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari rencana penulisan ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis Manfaat teroritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari rencana penulisan ini sebagai berikut : a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya serta Hukum Perdata mengenai perlindungan pasien pada khususnya. 10 b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis. c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitianpenilitian sejenis untuk tahap berikutnya. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari rencana penulisan ini sebagai berikut : a. Menjadi wahana bagi peneliti untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya Hukum Perdata dalam hal perlindungan pasien. E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis berdasarkan hasil penelusuran di perpustakaan, penulisan hukum atau tesis dengan Judul “Analisis Yuridis tentang Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang 11 Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Prita Mulyasari)” ini belum pernah ditulis oleh siapapun dan penulisan ini merupakan hasil karya penulis bukan merupakan hasil duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya lain. Meskipun demikian, ada beberapa Penulisan Hukum atau tesis yang memiliki kemiripan dalam subtansi, yaitu : 1. Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Pelayanan Kesehatan di Kota Samarinda yang ditulis oleh Ivan Zairani Lisi tahun 2008. Permasalahan yang diangkat berupa tindakan pasien dalam menuntut hakhaknya jika dirugikan para media dan kendala yang dihadapi pihak konsumen (pasien) dalam menuntut hak-haknya ditinjau dari UUPK di Kota Samarinda dan pelaksanaan perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen melalui tuntutan ke Pengadilan jika ditinjau dari UUPK.9 2. Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Nicky Destyas A. tahun 2009, dengan permasalahan berupa pelaksanaan pelayanan kesehatan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Sleman kepada para pasiennya telah sesuai dengan standar mutu pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan perlindungan hukum bagi para pasien Rumah Sakit Umum Daerah Sleman dalam kedudukannya sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan.10 9 Ivan Zairani Lisi, 2008, Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Pelayanan Kesehatan di Kota Samarinda, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 10 Nicky Destyas A., 2009, Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 12 Berdasarkan pemaparan tentang beberapa penulisan hukum di atas maka perbedaan yang mendasar dengan penulisan hukum ini yaitu terletak pada permasalahan yang diangkat kedua penulis diatas lebih terfokus kepada pelayanan terhadap pasien dan perlindungan hukum pasien di rumah sakit daerah tertentu, sedangkan penulis lebih menitikberatkan pada perlindungan hukum bagi pengguna jasa layanan kesehatan berdasarkan UUPK dan analisis putusan peninjauan kembali kasus Prita Mulyasari berdasarkan UUPK. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Dengan adanya perkembangan ekonomi tersebut, konsumen dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produk domestik maupun dari luar negeri. Kondisi seperti ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semkain terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Kondisi perkembangan ekonomi tersebut mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk mengambil keuntungan. Hal ini bukanlah gejala regional saja, tetapi menjadi permasalahan global dan melanda seluruh konsumen di dunia.11 Timbulnya kesadaran konsumen akan kualitas barang yang tidak sesuai dengan promosi yang diberikan oleh pelaku 11 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 12 13 14 usaha, kemudian membuat konsumen sadar bahwa mereka berada di pihak yang lemah. Perkembangan perlindungan konsumen kemudian menjadi hal penting bagi hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Upaya untuk melindungi konsumen yang berada di pihak yang lemah terus dilakukan. Secara umum, upaya perlindungan konsumen di dunia dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:12 a. Tahapan I (akhir abad ke-19) Yang menjadi pemicu munculnya kesadaran masyarakat adalah novel karangan Upton Sinclair yang berjudul The Jungle. Novel ini menceritakan tentang proses pengolahan di pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan. b. Tahapan II (Tahun 1920 – 1940) Terdorong oleh buku karya Chase dan Schlink yang berjudul Your Money’s Worth. Pada tahapan ini, konsumen mulai memikirkan hakhak mereka di dalam jual beli. c. Tahapan III (Tahun 1950 – 1960) Pada tahap ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Oleh karena itu pada tanggal 1 April 1960, perwakilan gerakan konsumen di Amerika 12 Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm.36-37 15 Serikat, Inggris, Belanda, Australia, dan Belgia mendirikan International Organization of Consumer Union yang berpusat di Den Haag, Belanda dan kini berpusat di London, Inggris. d. Tahapan IV (pasca Tahun 1965) Pada tahap ini gerakan perlindungan konsumen di tingkat regional dan di tingkat internasional menjadi semakin mantap. Amerika Serikat merupakan negara yang sejarah perkembangan konsumennya sangat berpengaruh terhadap perkembangan perlindungan konsumen di dunia. Upaya-upaya untuk melindungi konsumen telah dilakukan oleh pemukim-pemukim pertama Amerika Serikat yang berasal dari Inggris sejak Tahun 1200-an. Meski di negeri leluhurnya telah berkembang upaya perlindungan konsumen, namun para imigeran asal Inggris tersebut mendiami Benua Amerika belum terjadi gerakan perlindungan konsumen hingga kahir abad ke-19. Pada Tahun 1891, di New York didirikan Liga Konsumen dan pada Tahun 1898 muncul Lembaga Konsumen Nasional (The International Consumer’s League). Di Amerika Serikat tradisi caveat emptor (bahwa hak-hak konsumen tetap dipertahankan oleh kesadaran masing-masing pembeli) masih sangat kuat. Memasuki abad ke-20, terdapat upaya keras untuk melahirkan The Food and Drugs Act dan The Meat Inspection Act. Keduanya baru berhasil dibentuk pada tahun 1906. Sedangkan pada Tahun 1914 terbentuk komisi yang bergerak dalam lapangan perlindungan konsumen yaitu Federal 16 Trade Commission. Pada pertengahan abad ke-20, tepatnya pada Tahun 1960-an, telah lahir satu cabang ilmu hukum yang baru yaitu hukum konsumen. Kemudian pada tahun 1962 Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menyampaikan consumer message yang memuat pokok-pokok pikiran yang hingga kini terkenal sebagai hak-hak konsumen (consumer bill of rights). Pada era setelah tahun 1960-an kebangkitan gerakan perlindungan konsumen juga terjadi di negara-negara lain di dunia. Di Indonesia, masalah perlindungan konsumen baru ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jakarta pada bulan Mei 1973. Lahirnya YLKI oleh karena adanya desakan dari masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang-barang yang bermutu rendah sebagai akibat terjadinya promosi barang-barang produksi dalam negeri. Pendirian yayasan ini dikarenakan adanya rasa mawas diri dari masyarakat sebagai konsumen terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan dari masyarakat, maka kegiatan promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan agar masyarakat tidak dirugikan serta kualitas terjamin.13 Dengan terbentuknya YLKI di Jakarta kemudian semangat untuk memberdayakan konsumen semakin gencar, baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun melalui tulisan-tulisan di media massa. Puncaknya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). 13 Mohammad Siddik, 2001, Filsafat Ilmu Dikaitkan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen, Majalah Citra Justitia Fakultas Hukum Universitas Asahan Kisaran, hlm. 20 17 2. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung ataupun tidak langsung, maka konsumen yang pada umumnya akan merasakan dampak tersebut. Dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen dan menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.14 Kehadiran UUPK menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Undang-undang ini mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen, baik menyangkut hukum materiil maupun hukum formil mengenai penyelesaian sengketa konsumen.15 14 Sri Redjeki Hartono, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen pada Era Perdagangan Bebas dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hlm. 33 15 Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, FH Unlam Press, Banjarmasin, hlm. 20 18 Keberpihakan kepada konsumen sebenarnya merupakan wujud nyata ekonomi kerakyatan. Menurut Dj. A. Simamarmata, istilah ekonomi kerakyatan dapat ditafsirkan setara dengan demokrasi ekonomi yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Menurut penjelasan Pasal 33 tersebut, demokrasi ekonomi merupakan suatu sistem ekonomi dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, serta di bawah pemilikan anggota-anggota masyarakat. Oleh karena itu, dalam praktik perdagangan yang telah merugikan konsumen, pemerintah harus secara konsisten berpihak kepada konsumen. Kemajuan kegiatan ekonomi perdagangan yang semakin terbuka akan memberikan banyak tantangan bagi konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Konsumen yang keberadaannya sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang dilakukan oleh pelaku usaha yang pada akhirnya menempatkan konsumen dalam kedudukan yang tidak aman. Oleh karena itu dibutuhkan perlindungan konsumen. Dalam KUHPerdata juga terdapat ketentuan-ketentuan yang bertendensi melindungi konsumen. Sebagai contoh yaitu pasal tentang 19 kewajiban-kewajiban penjual di dalam jual beli. Di dalam KUHD juga terdapat ketentuan-ketentuan tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang perlindungan penumpang atau barang muatan pada hukum maritim, ketentuan-ketentuan mengenai asuransi, dan sebagainya. Selain itu, di dalam hukum adat ada pula dasar-dasar yang menopang hukum perlindungan konsumen, antara lain prinsip kekerabatan yang kuat dari masyarakat adat yang tidak berorientasi pada konflik, yang memposisikan setiap warganya untuk saling menghormati sesama; prinsip keseimbangan alam; serta prinsip “terang” pada pembuatan transaksi tanah yang mengharuskan hadirnya kepala adat atau kepala desa dalam transaksi tanah. UUPK bukanlah awal maupun akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen. Oleh karena itu masih terbuka kemungkinan untuk terbentuknya undang-undang baru lain yang memuat ketentuan-ketentuan tentang perlindungan konsumen meski telah ada UUPK yang merupakan payung untuk mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum perlindungan konsumen karena sebelum lahirnya UUPK, telah ada beberapa undang-undang yang materinya memuat ketentuan-ketentuan tentang perlindungan konsumen antara lain : a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; 20 e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten; f. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek; g. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; h. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.16 Sedangkan setelah lahirnya UUPK, terdapat Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang di dalamnya terkandung ketentuan-ketentuan tentang hak-hak warga masyarakat yang menjadi konsumen jasa pelayanan kesehatan. a. Pengertian Perlindungan Konsumen UUPK memberikan definisi perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dari uraian definisi tersebut maka terlihat bahwa ruang lingkup kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen tersebar dalam berbagai bidang hukum, sehingga sulit untuk memberikan batasan atau definisi tentang Hukum Perlindungan Konsumen. Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, batasan atau 16 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 18 21 definisi hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain, berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Didalam GBHN 1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993, Bab IV, huruf F butir 4a: “… pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen, melindungi kepentingan konsumen…” Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. Pelindungan konsumen yang dijamin oleh UUPK adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha. meningkatkan Pemberdayaan kesadaran, konsumen kemampuan, itu dan adalah dengan kemandiriannya 22 melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen. b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Di dalam Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen di Indonesia haruslah berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada 23 konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan jelas disebutkan dalam Pasal 3 yaitu: a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. 24 c. Manfaat Perlindungan Konsumen Manfaat Perlindungan Konsumen adalah : 1) Balancing Position Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan Indonesia diharapkan diterapkan perlindungan kedudukan konsumen konsumen yang di tadinya cenderung menjadi sasaran pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya menjadi subyek yang sejajar dengan pelaku usaha. Dengan posisi konsumen yang demikian maka akan tercipta kondisi pasar yang sehat dan saling menguntungkan bagi konsumen karena dapat menikmati produk-produk yang berkualitas dan bagi produsen karena tetap mendapatkan kepercayaan pasar yang tentunya akan mendukung kelangsungan usahanya di masa mendatang. 2) Memberdayakan Konsumen Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih rendah, sehingga perlu adanya upaya pemberdayaan. Proses pemberdayaan harus dilakukan secara integral baik melibatkan peran aktif dari pemerintah, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat maupun dari kemampuan masyarakat sebagai konsumen untuk lebih mengetahui hak-haknya. Jika kesadaran konsumen akan hak- 25 haknya semakin baik maka konsumen dapat ditempatkan pada posisi yang sejajar yaitu sebagai pasangan yang saling membutuhkan dan menguntungkan. 3) Meningkatkan Profesionalisme Pelaku Usaha Perkembangan dunia industrialisasi dan kesadaran konsumen yang semakin baik menuntut pelaku usaha untuk lebih baik dalam menjalankan usahanya secara profesional. Hal itu harus dijalankan dalam keseluruhan proses produksi. Pelaku usaha juga harus mengubah orientasi usahanya yang selama ini cenderung untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek dengan memperdaya konsumen sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan mematikan usahanya. Selain itu pelaku usaha dalam menjalankan usahanya harus memperhatikan kejujuran, keadilan serta etika dalam menjalankan usahanya. Semua itu dilakukan agar pelaku usaha dapat tetap eksis dalam menjalankan usahanya. 3. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha a. Konsumen Istilah konsumen berasal dari kata consumer (InggrisAmerika) atau “consument” (Belanda). Secara harafiah, konsumen 26 dapat diartikan sebagai seorang yang membeli barang atau menggunakan jasa.17 Pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas:18 1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu; 2. Konsumen antara, yaitu pemakai pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang dan/atau jasa lain atau untuk memperdagangkan (distributor), dengan tujuan komersial (sama dengan pelaku usaha); 3. Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Ketiga jenis konsumen diatas masing-masing memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda dalam hal penggunaan barang dan atau jasa. Dalam Pasal 1 UUPK yang berbunyi : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi 17 Az. Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, hlm.3 18 Az. Nasution, 2002, Perlindungan Konsumen; Tinjauan atas UU No.8/1999 – L.N. 1999 No.42 dalam Jurnal Pusdiklat Mahkamah Agung RI Vol. 1, No.2, April 2002, Pusdiklat MA RI, Jakarta, hlm.44 27 kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Kalimat “tidak untuk diperdagangkan” menunjukkan bahwa konsumen yang dimaksud UUPK adalah konsumen akhir. Hal ini juga diperjelas dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK yaitu : “Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.” Orang yang dimaksudkan dalam undang-undang ini wajiblah merupakan orang alami dan bukan badan hukum. Sebab yang dapat memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan, hanyalah orang alami atau manusia.19 b. Pelaku Usaha Di dalam Pasal 1 angka 3 UUPK telah diberikan pengertian mengenai pelaku usaha, yaitu : “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama 19 Ibid, hlm. 47. 28 melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Pengertian pelaku usaha yang tercantum dalam undang-undang tersebut memiliki cakupan yang luas karena produsen atau pelaku usaha tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat produk saja, tetapi juga pihak-pihak yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen, antara lain para agen, distributor, serta jaringan-jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai barang dan/atau jasa. Cakupan luas pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama Belanda, yaitu bahwa produsen adalah pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan, pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan. Makna luas yang tercakup di dalam pengertian 29 tersebut diharapkan dapat memudahkan konsumen dalam menuntut ganti kerugian.20 4. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha a. Konsumen Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung terjadi apabila antara pelaku usaha dengan konsumen langsung terikat karena perjanjian yang mereka buat atau karena ketentuan undang-undang. Kalau hubungan itu terjadi dengan perantaraan pihak lain, maka terjadi hubungan tidak langsung. Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen pada dasarnya berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan ini terjadi karena keduanya saling membutuhkan dan bahkan saling terindependensi. Hubungan pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam salah satu pidatonya mengemukakan empat hak konsumen, yaitu : 1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety); 2. Hak memilih (the right to choose); 3. Hak mendapat informasi (the right to be informed); 4. Hak untuk didengar (the right to be heard). 20 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, jakarta, hlm.9 30 Masyarakat Ekonomi Eropa juga menetapkan hak-hak dasar konsumen (bagi masyarakat Eropa), yaitu : 1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan; 2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi; 3. Hak mendapat ganti rugi; 4. Hak untuk didengar. Di indonesia hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK. Adapun hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK yaitu : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang ebnar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketea perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 31 g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar mempeorleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil sampai ganti rugi.21 21 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 30 32 Hak-hak dalam UUPK diatas merupakan penjabaran dari pasal-pasal UUD 1945 yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan juga Pasal 33 yaitu: Pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 33 a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK yaitu : a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 33 Kewajiban konsumen tersebut dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya. b. Pelaku Usaha Dalam menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK yaitu : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang 34 diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan atau jasa yang sama. Dalam praktik yang biasa terjadi, suatu barang dan atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar konsekuensi dari hak konsumen maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK, yaitu : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi 35 jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Di dalam UUPK Pelaku Usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen, diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembeli barang dan/atau jasa. Dalam UUPK tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap setelah penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. 36 Bersumber dari adanya itikad baik dari pelaku usaha, maka pelaku usaha akan melakukan kewajiban-kewajiban yang lainnya, seperti memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur, memberlakukan atau elayani konsumen dengan benar, menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan lain sebagainya. Demikian jelas bahwa kewajiban-kewajiban tersebut merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk menciptakan budaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha. B. TINJAUAN UMUM TENTANG PASIEN SEBAGAI PENGGUNA JASA PELAYANAN KESEHATAN 1. Pelayanan Kesehatan Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pelayanan kesehatan terdiri atas pelayanan kesehatan perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat.22 Pelayanan kesehatan perseorangan adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, dan memulihkan kesehatan.23 Ada beberapa macam pelayanan kesehatan, yaitu : 22 23 Pasal 52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Praktik Kedokteran 37 1. Pelayanan Kesehatan Promotif Suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. 2. Pelayanan Kesehatan Preventif Suatu kegiatan pencegahan terhadap masalah kesehatan/penyakit. 3. Pelayanan Kesehatan Kuratif Suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pegurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. 4. Pelayanan Kesehatan Rehabilitatif Kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya. 5. Pelayanan Kesehatan Tradisional Pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. 38 2. Pasien sebagai Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan Pasien merupakan salah satu unsur penting dalam hubungan pelayanan kesehatan yang terjalin. Pasien atau pesakit adalah seseorang yang menerima perawatan medis. Sering kali, pasien menderita penyakit atau cedera dan memerlukan bantuan dokter untuk memulihkannya. Kata pasien dari Bahasa Indonesia analog dengan kata patient dari Bahasa Inggris. Patient diturunkan dari Bahasa Latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati yang artinya menderita.24 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pasien diartikan sebagai orang sakit (yang dirawat dokter), penderita (sakit).25 Demikian halnya dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit. Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran memberikan arti pasien sebagai setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. Dalam Pasal 1 angka 2 UUPK diberikan definisi konsumen yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, ataupun makhluk hidup lain dan 24 25 http://id.wikipedia.org/wiki/Pasien, diakses pada 29 November 2012, Pkl. 20.35 WIB http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 29 November 2012, Pkl. 20.41 WIB 39 tidak untuk diperdagangkan.26 Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud konsumen adalah konsumen akhir. Pasien tentu akan berhubungan dengan pihak ketiga, baik itu dokter maupun tempat pelayanan kesehatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Harus diakui bahwa hubungan pasien dengan tenaga kesehatan pada umumnya, khususnya hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik yang meliputi hubungan medik, hubungan hukum, hubungan non-hukum, hubungan ekonomi dan hubungan sosial. Hubungan-hubungan tersebutlah yang mengakibatkan adanya perbedaan pandangan dalam mengartikan pasien. Sebagian orang berpendapat bahwa pasien dapat digolongkan sebagai konsumen dan dokter sebagai pelaku usaha dalam bidang kesehatan, sehingga aturan-aturan yang ada dalam UUPK berlaku bagi hubungan dokter dan pasien. Dengan demikian, pasien dikategorikan sebagai konsumen atau pengguna jasa medis. Hal tersebut dikarenakan ada hubungan timbal balik antara pasien dan konsumen yaitu pelaku usaha memberikan jasa dan konsumen memperoleh jasa dan membayar imbalan atas jasa tersebut. Menurut M. Sofyan Lubis bahwa hubungan antara pelaku usaha dan konsumen khusus di bidang ekonomi harus dibedakan dengan hubungan antara dokter dengan pasien di bidang kesehatan (hubungan pelayanan kesehatan). Dengan demikian kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Undang-Undang 26 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 40 Perlindungan Konsumen tidak dapat begitu saja diberlakukan dalam hubungan dokter dengan pasien.27 M.Sofyan Lubis juga menyebutkan bahwa: Pasien secara yuridis tidak dapat diidentikkan dengan konsumen, hal ini karena hubungan yang terjadi di antara mereka bukan merupakan hubungan jual-beli yang diatur dalam KUHPerdata dan KUHD, melainkan hubungan antara dokter dengan pasien hanya merupakan bentuk perikatan medik, yaitu perjanjian “usaha” (inspanning verbintenis) tepatnya perjanjian usaha kesembuhan (terapeutik), bukan perikatan medik “hasil” (resultaat verbintenis), disamping itu profesi dokter dalam etika kedokteran masih berpegang pada prinsip “pengabdian dan kemanusiaan”, sehingga sulit disamakan antara pasien dengan konsumen pada umumnya.28 Undang-Undang dalam bidang kesehatan tidak menggunakan istilah konsumen dalam menyebutkan pengguna jasa rumah sakit (pasien). Tetapi untuk dapat mengetahui kedudukan pasien sebagai konsumen atau tidak, maka dapat dibandingkan pengertian pasien dan konsumen. a. Unsur-unsur pasien Adapun unsur-unsur pengertian konsumen yang kemudian dibandingkan dengan unsur-unsur dalam pengertian pasien yaitu: 1) Setiap orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah orang sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual 27 28 M.Sofyan Lubis, 2008, Konsumen dan Pasien dalam Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 23 Ibid, hal. 38 41 yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Pasien adalah setiap orang dan bukan merupakan badan usaha, karena pengobatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan adalah untuk kesehatan bagi diri pribadi orang tersebut bukan untuk orang banyak. Kesehatan adalah sesuatu hal yang tidak bisa untuk diwakilkan kepada orang lain maupun badan usaha manapun. 2) Pemakai Kata Pemakai sesuai dengan Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK menekankan bahwa konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).29 Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer) tetapi semua orang (perorangan mengonsumsi jasa dan/atau barang. 29 A.Z.Nasution, op.cit, hal.5. atau badan usaha) yang 42 Dengan demikian, yang paling penting adalah terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.30 Dan bila kita melihat dalam hal pelayanan kesehatan maka peralihan jasa terjadi antara dokter kepada pasien. Pasien merupakan pemakai atau pengguna jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit maupun di tempat praktik dokter. Dan setelah pasien mendapatkan jasa dari tenaga kesehatan, maka kemudian akan terjadi transaksi ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung berupa pembayaran atas jasa yang telah diperoleh. 3) Barang dan/atau jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah berkonotasi barang atau jasa. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan.31 30 31 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., hal.28. Ibid, hal. 29 43 UUPK memberikan definisi jasa sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian disediakan bagi masyarakat, menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.32 Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk jasa sesuai dengan pengertian Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut, hal ini karena pelayanan kesehatan menyediakan prestasi berupa pemberian pengobatan kepada pasien yang disediakan untuk masyarakat luas tanpa terkecuali. Secara umum, jasa pelayanan kesehatan mempunyai beberapa karakteristik yang khas yang membedakannya dengan barang, yaitu:33 a. Intangibility, jasa pelayanan kesehatan mempunyai sifat tidak berbentuk, tidak dapat diraba, dicium, atau dirasakan. Tidak dapat dinilai (dinikmati) sebelum pelayanan kesehatan diterima (dibeli). Jasa juga tidak mudah dipahami secara rohani. Jika pasien akan menggunakan (membeli) jasa pelayanan kesehatan, ia hanya dapat memanfaatkannya saja, tetapi tidak dapat memilikinya. 32 33 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit.,hlm.14. A.A. Gde Muninjaya, 2008, Manajemen Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hlm.237-238 44 b. Inseparability, produk barang harus diproduk dulu sebelum dijual, tetapi untuk jasa pelayanan kesehatan, produk jasa harus diproduksi secara bersamaan pada saat pasien meminta pelayanan kesehaatan. Dalam hal ini, jasa diproduksi bersamaan pada saat pasien meminta pelayanan kesehatan. c. Variability, jasa juga banyak variasinya (nonstandardized output). Bentuk, mutu, dan jenisnya sangat tergantung dari siapa, kapan, dan di mana jasa tersebut diproduksi. Oleh karena itu, mutu jasa pelayanan kesehatan yang people based dan high contact personnel sangat ditentukan oleh kualitas komponen manusia sebagai faktor produksi, standar prosedur selama proses produksinya, dan sistem pengawasannya. d. Perishability, jasa merupakan sesuatu yang tidak dapat disimpan dan tidak tahan lama. Tempat tidur Rumah Sakit yang kosong, atau waktu tunggu dokter yang tidak dimanfaatkan oleh pasien akan hilang begitu saja karena jasa tidak dapat disimpan. Selain itu, di bidang pelayanan kesehatan, penawaran dan permintaan jasa sangat sulit diprediksi, karena tergantung dari ada tidaknya orang sakit. Tidak etis jika Rumah Sakit atau dokter praktik mengharapkan agar selalu ada orang yang jatuh sakit. 45 4) Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.34 Jasa pelayanan kesehatan tentunya merupakan hal yang tersedia di masyarakat, bahkan disediakan oleh pemerintah. Ketersediaan pelayanan kesehatan merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah, karena mewujudkan masyarakat yang sehat adalah merupakan salah satu program pemerintah. Dalam satu daerah pasti tersedia puskesmas, rumah sakit, bahkan tempat praktik dokter. Jadi jasa pelayanan kesehatan merupakan sesuatu hal yang tersedia di dalam masyarakat. 5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan 34 Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm.8 46 dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya.35 Unsur kepentingan ini bukanlah merupakan unsur pokok, karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya, misalnya berkaitan dengan kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat. Begitu juga dalam hal jasa pelayanan kesehatan, kepentingan kesehatan dapat berguna untuk dirinya, keluarganya, orang lain atau makhluk hidup lain. Karena kesehatan merupakan hak dasar alamiah manusia dan mahluk hidup lain. 6) Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir (end consumer) dan sekaligus membedakan dengan konsumen antara (derived/intermediate consumer). Dalam 35 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hlm.6. 47 kedudukan sebagai intermediate consumer, yang bersangkutan tidak dapat menuntut pelaku usaha berdasarkan UUPK.36 Peraturan perundang-undangan negara lain, memberikan berbagai perbandingan. Umumnya dibedakan antara konsumen antara dan konsumen akhir. Dalam merumuskannya, ada yang secara tegas mendefinisikannya dalam ketentuan umum perundangundangan tertentu, ada pula yang termuat dalam pasal tertentu bersama-sama dengan pengaturan sesuatu bentuk hubungan hukum.37 Umumnya dalam hal pelayanan kesehatan, pasien merupakan konsumen akhir. Hal ini karena berdasarkan sifat dari jasa pelayanan kesehatan salah satunya adalah tidak berbentuk, tidak dapat diraba, dicium, disentuh, atau dirasakan. Karena pelayanan tidaklah berbentuk, maka pelayanan tersebut tidak mungkin dapat diperdagangkan kembali. Pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang baru dapat dirasakan apabila pasien mendapat pelayanan kesehatan baik secara langsung maupun tidak dari tenaga kesehatan. Berdasarkan penjelasan dari unsur-unsur konsumen dan dengan dikaitkan dengan pasien, maka menurut penulis pasien juga dapat dikategorikan sebagai konsumen, yaitu konsumen jasa pelayanan kesehatan (medis), karena unsur-unsur pengertian konsumen telah terpenuhi dalam pengertian pasien. Ketentuan di atas menjelaskan bahwa apabila dikaitkan dengan jasa pelayanan medis, 36 37 Ibid, Hal.7 Shidarta, Op.Cit, hal.9-10 48 dapat diartikan sebagai layanan atau prestasi kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan pasien sebagai konsumen. Dengan kata lain bahwa pengertian pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis adalah setiap orang pemakai jasa layanan atau prestasi kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan disediakan bagi masyarakat. b. Hak dan Kewajiban Pasien Menurut Declaration of Lisbon (1981) The Rights of the Patient, disebutkan beberapa hak pasien, diantaranya hak memilih dokter, hak dirawat dokter yang bebas, hak menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi, hak atas kerahasiaan, hak mati secara bermartabat, hak atas dukungan moral atau spiritual. Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya. Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran seperti yang sudah diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, mempunyai kewajiban: a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; d. Memberikan imbalan atas pelayanan yang diterima. 49 Hak Pasien dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yaitu sebagai berikut: 1. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; 2. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; 3. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; 4. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; 5. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; 6. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; 7. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; 8. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain (second opinion) yang mempunyai Surat ijin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar rumah sakit; 9. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya; 10. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; 11. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan 50 komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; 12. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; 13. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; 14. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit; 15. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; 16. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; 17. Menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan 18. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Pasien dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran, mempunyai hak: a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3), yaitu : 51 1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis; a. Tujuan tindakan medis yang dilakukan; b. Alternatif tindakan lain dan resikonya; c. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan d. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. 2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; 3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 4. Menolak tindakan medis; 5. Mendapat isi rekam medis. Terkait rekam medis, di dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 diatur tentang: 1. Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan. 2. Isi rekam medis merupakan milik pasien. 3. Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk ringkasan rekam medis. 4. Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu. 52 3. Pelaku Usaha dalam Pemberian Jasa Pelayanan Kesehatan Pasal 1 ayat (3) UUPK mengatur bahwa definisi pelaku usaha adalah: Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi Penjelasan pasal ini selanjutnya menyatakan bahwa yang termasuk dalam pengertian pelaku usaha di undang-undang ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Di dalam Pasal 13 ayat (2) UUPK mengatur lebih lanjut bahwa seorang pelaku usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. Dari rumusan pasal ini dapat disimpulkan bahwa jasa pelayanan kesehatan merupakan salah satu produk jasa yang dilindungi oleh UUPK. Dengan demikian, pada saat seorang dokter memberikan jasa pelayanan kesehatan, dan menerima pembayaran untuk jasa yang diberikannya tersebut, seorang dokter dapat disebut sebagai pelaku usaha. Hal ini juga dinyatakan oleh Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dokter termasuk dalam jasa profesional, dan oleh karena itu termasuk sebagai pelaku usaha dalam perlindungan konsumen.38 38 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4762/apakah-dokter-termasuk-pelaku-usaha, diakses pada 3 Desember 2012, pada 19.23 WIB 53 Dalam dunia medis, maka pengertian pelaku usaha dibedakan dalam 2 (dua) kategori, yaitu:39 1. Badan usaha dalam hal ini rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan institusi pelayanan kesehatan lainnya. 2. Orang atau perseorangan yaitu tenaga kesehatan. Tenaga Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan yaitu setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan untuk melakukan upaya kesehatan. Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diatur mengenai definisi tenaga kesehatan yaitu setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Karena rumusan tenaga kesehatan itu meliputi setiap orang, perlu dirinci lebih lanjut siapa saja yang masuk dalam kualifikasi sebagai tenaga kesehatan. Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yang dimaksud dengan tenaga kesehatan ialah terdiri dari: 1. tenaga medis (dokter dan dokter gigi); 2. tenaga keperawatan; 3. tenaga kefarmasian; 39 Titik Triwulan Tutik & Shinta Febriana, 2010, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hlm.18. 54 4. tenaga kesehatan masyarakat; 5. tenaga gizi; 6. tenaga keterapian fisik; dan 7. tenaga kesehatan medis. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 262/MENKES/PER/III/1979 tentang Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah, ada tiga kategori yang dikenal, diantaranya: a. Tenaga medis yaitu dokter ahli, dokter umum, dokter gigi, dan lain-lain. b. Tenaga paramedis perawatan yaitu penata rawat, perawat kesehatan, bidan, perawat khusus, dan lain-lain. c. Tenaga paramedis non-perawatan yaitu asisten apoteker, fisioterapi, penata rontgen dan lain-lain. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik4. Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter. 55 Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologis memberikan peringatan bahwa pasien merasa sakit, dan dalam hal ini dokter yang dianggap mampu menolong pasien, dan memberikan bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan peranannya lebih penting daripada pasien. Dokter berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai “bapak yang baik”, yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya dapat juga timbul dampak negatif, apabila tindakan dokter yang berupa langkahlangkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakantindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual. Hubungan ini melahirkan aspek hukum horisontal kontraktual yang bersifat “inspanningsverbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan 56 hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. 4. Dokter dan Rumah Sakit sebagai Penyedia Jasa Pelayanan Kesehatan a. Dokter sebagai Penyedia Jasa Pelayanan Kesehatan Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut hukum dalam pelayanan kesehatan.40 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dokter merupakan lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya.41 Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran mengatur bahwa dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran diberikan definisi mengenai praktik kedokteran yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh 40 Endang Kusuma Astuti, 2009, Perjanjian Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.17. 41 http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 29 November 2012, Pkl. 21.51 WIB 57 dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Penyelenggaran praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agara penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini apabila seorang dokter tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, dokter wajib merujuk pasien kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Secara operasional, definisi dokter adalah seorang tenaga kesehatan yang menjadi tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang 58 diselenggarakannya adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang diperolehnya selama pendidikan kedokteran. Kompetensi yang harus dicapai seorang dokter meliputi tujuh area kompetensi atau kompetensi utama yaitu: 1. Keterampilan komunikasi efektif. 2. Keterampilan klinik dasar. 3. Keterampilan menerapkan dasar-dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu perilaku dan epidemiologi dalam praktik kedokteran. 4. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada indivivu, keluarga ataupun masyarakat denga cara yang komprehensif, holistik, bersinambung, terkoordinasi dan bekerja sama dalam konteks Pelayanan Kesehatan Primer. 5. Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi. 6. Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hayat. 7. Menjunjung tinggi etika, moral dan profesionalisme dalam praktik.42 Ketujuh area kompetensi itu sebenarnya adalah kemampuan dasar seorang dokter yang menurut WFME (World Federation for Medical Education) disebut “basic medical doctor”. 1) Kewajiban Dokter Setiap Dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. Seorang dokter harus senantiasa 42 Basic Medical Doctor, World Federation for Medical Education, diakses melalui http://somelus.wordpress.com/2008/11/26/pengertian-dokter-dan-tugas-dokter/ pada 30 November 2012, pkl.08.10 WIB 59 berupaya melaksanakan profesinya sesuai standar profesi yang tertinggi. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatgkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien. Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya. Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Kewajiban seorang dokter yaitu: 60 1. Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur serta kebutuhan medis. 2. Apabila tidak tersedia alat kesehatan atau tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan/pengobatan, bisa merujuk pasien ke dokter/sarana kesehatan lain yang mempunyai kemampuan lebih baik. 3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia. 4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang mampu melakukannya. 5. Mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. 2) Hak Dokter Hak seorang dokter seperti yang diatur dalam Pasal 50 UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yaitu: 1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur. 2. Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur. 3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya. 4. Menerima imbalan jasa. 61 b. Rumah Sakit sebagai Sarana Pelayanan Kesehatan Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Selama abada pertengahan, rumah sakit juga melayani banyak fungsi di luar rumah sakit yang kita kenal di zaman sekarang, misalnya sebagai penampungan orang miskin atau persinggahan musafir. Istilah hospital (rumah sakit) berasal dari kata latin, hospes (tuan rumah), yang juga menjadi akar kata hotel dan hospitality (keramahan).43 Sejarah perkembangan rumah sakit di Indonesia pertama sekali didirikan oleh VOC tahun 1626 dan kemudian juga oleh tentara Inggris pada zaman Raffles terutama ditujukan untuk melayani anggota militer beserta keluarganya secara gratis. Jika masyarakat pribumi memerlukan pertolongan, kepada mereka juga diberikan pelayanan gratis.44 Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, yang dimaksudkan dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. 43 44 http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_sakit, diakses pada 1 Desember 2012, pkl. 10.15 WIB ibid 62 Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada: a. Nilai kemanusiaan Nilai kemanusiaan yang dimaksud yaitu penyelenggaran Rumah Sakit dilakukan dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial dan ras. b. Nilai etika dan profesionalitas Nilai etika dan profesionalitas yang dimaksud adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki etika profesi dan sikap profesional serta mematuhi etika rumah sakit. c. Nilai manfaat Nilai manfaat yang dimaksud adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. d. Nilai keadilan Nilai keadilan yang dimaksud adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu. e. Nilai persamaan hak dan anti diskriminasi Nilai persamaan hak dan anti diskriminasi yang dimaksud adalah bahwa penyelenggaran rumah sakit tidak boleh membedakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok dari semua lapisan. 63 f. Nilai pemerataan, Nilai pemerataan yang dimaksud adalah bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit menjangkau seluruh lapisan masyarakat. g. Nilai perlindungan dan keselamatan pasien Nilai perlindungan dan keselamatan pasien yang dimaksud adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien. h. Fungsi sosial rumah sakit Fungsi sosial rumah sakit yang dimaksud adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, fungsi rumah sakit adalah: 1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan seuai dengan standar pelayanan rumah sakit. 2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. 3. Penyelenggaaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatn. 64 4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahan bidang kesehatan. Dimana untuk menyelenggarakan fungsinya, Rumah sakit menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: c. Pelayanan medis, d. Pelayanan dan asuhan keperawatan, e. Pelayanan penunjang medis dan nonmedis, f. Pelayanan kesehatan kemasyarakatan dan rujukan, g. Pendidikan, penelitian dan pengembangan, h. Administrasi umum dan keuangan. 1) Jenis Rumah Sakit Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) diberikan definisi mengenai rumah sakit yaitu institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Asas dan tujusn diselenggarakannya Rumah Sakit adalah berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. 65 Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yaitu setiap kegiatan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara, meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, dan memulihkan kesehatan. Di dalam Pasal 7 UU Rumah Sakit diatur bahwa rumah sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. Rumah sakit dapat didirikan oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, atau swasta. Rumah sakit yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari instansi yang bertugas di bidang kesehatan, instansi tertentu, atau lembaga teknis daerah dengan pengelolaan Badan Layanan umum atau Badan Layanan Umum Daerah. Rumas sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi usaha rumah sakit agar terhindar dari risiko akibat kegiatan usaha lain yang dimiliki oleh badan hukum pemilik rumah sakit. Di dalam Pasal 18 UU Rumah Sakit diatur bahwa rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya, yaitu: 1. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam: a. Rumah Sakit Umum, memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit; 66 b. Rumah Sakit Khusus, memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. 2. Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dapat dibagi menjadi: a. Rumah Sakit Publik; Dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Badan hukum nirlaba adalah badan hukum yang sisa hasil usahanya tidak dibagikan kepada pemilik, melainkan digunakan untuk peningkatan pelayanan, yaitu antara lain Yayasan, perkumpulan dan Perusahaan Umum. Rumah Sakit yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan menjadi Rumah Sakit Privat. b. Rumah Sakit Privat, Dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau persero. 67 Selain kedua bentuk diatas, Rumah sakit dapat ditetapkan menjadi rumah sakit pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan. Rumah sakit pendidikan ditetapkan oleh menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang membidangi urusan pendidikan. Rumah sakit pendidikan merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Dalam penyelenggarakan Rumah Sakit Pendidikan dapat dibentuk jejaring Rumah Sakit Pendidikan. Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit. Klasifikasi Rumah Sakit Umum terdiri atas: a. Rumah Sakit Umum Kelas A, Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis. b. Rumah Sakit Umum Kelas B, Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) 68 spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar. c. Rumah Sakit Umum Kelas C, Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat spesialis penunjang medik; d. Rumah Sakit Umum Kelas D, Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar. Rumah Sakit khusus mempunyai klasifikasi: a. Rumah Sakit Khusus Kelas A, Rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang lengkap. b. Rumah Sakit Khusus Kelas B; Rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas. c. Rumah Sakit Khusus Kelas C, Rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang minimal. 69 2) Kewajiban dan Hak Rumah Sakit a) Kewajiban Rumah Sakit Berdasarkan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban: a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat; b. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit; c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya; d. berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya; e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin; f. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan; g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien; h. menyelenggarakan rekam medis; 70 i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia; j. melaksanakan sistem rujukan; k. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan; l. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien; m. menghormati dan melindungi hak-hak pasien; n. melaksanakan etika Rumah Sakit; o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana; p. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara regional maupun nasional; q. membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya; r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws); s. melindungi dan memberikan bantuan hokum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan t. memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok. 71 b) Hak Rumah Sakit Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah mengatur tentang hak dari tiap Rumah Sakit yaitu: a. menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit; b. menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelayanan; d. menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian; f. mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan; g. mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan h. mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan. 3) Peran Rekam Medis di Rumah Sakit Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam medis (Permenkes Rekam 72 Medis), diatur mengenai definisi rekam medis yaitu berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Secara sederhana dapat dikatakan rekam medis adalah, kumpulan tentang keterangan mengenai identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan, dan catatan segala kegiatan pelayanan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu. Catatan ini baik berupa tulisan maupun gambar dan belakangan ini dapat pula berupa rekaman elektronik, seperti komputer, micro film dan rekaman suara. Rekam medis oleh Walter and Murphy45 didefinisikan sebagai kompendium atau ikhtisar yang berisikan informasi tentang keadaan pasien selama dalam perawatan penyakitnya atau selama dalam pemeliharaan kesehatannya. Berdasarkan Pasal 2 Permenkes Rekam Medis, Rekam medis harus dibuat secara tertulis, lengkas dan jelas secara elektronik. Rekam medis untuk pasien rawat jalan saranan pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya memuat: a. Identitas pasien; b. Tanggal dan waktu c. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kuranganya keluhan dan riwayat penyakit; d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik; e. Diagnosis; 45 Sofwan Dahlan, 2000, Hukum Kesehatan. Rambu-Rambu bagi Profesi Dokter, BP Undip, Semarang, hlm.73. 73 f. Rencana penatalaksanaan; g. Pengobatan dan/atau tindakan; h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien; i. Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; j. Persetujuan tindakan apabila diperlukan. Isi rekam medis untu pasien rawat inap dan perawatan satu hari sekurangkurangnya memuat: a. Identitas pasien; b. Tanggal dan waktu; c. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dari riwayat penyakit; d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik; e. Diagnosis; f. Rencana penatalaksanaan; g. Pengobatan dan/atau tindakan; h. Persetujuan tindakan bila diperlukan; i. Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan; j. Ringkasan pulang; k. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan; l. Pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu; m. Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik. 74 Isi dekam medis untuk pasien gawat darurat, sekurang-kurangnya memuat: a. Identitas pasien; b. Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan; c. Identitas pengantar pasien; d. Tanggal dan waktu; e. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit; f. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik; g. Diagnosis; h. Pengobatan dan/atau tindakan; i. Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak lanjut; j. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan; k. Saranan transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan lain; l. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. Rekam medis dibuat segera dan dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan. Pembuatan rekam medis dilaksanakan melalui pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. 75 Untuk mendukung peningkatan mutu dan peran rekam medis dalam pelayanan kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia juga menerbitkan fatwa Ikatan Dokter Indonesia tentang rekam medis, dalam surat keterangan nomor 315/PB/A.4/88, yang menekankan bahwa praktik profesi kedokteran harus melaksanakan rekam medis. Fatwa ini tidak saja untuk dokter yang bekerja di rumah sakit, tetapi juga untuk dokter praktik pribadi. Ikhtisar tersebut berupa informasi yang disusun dalam bentuk rangkaian yang runtun serta logis (logical sequence), meliputi: a) Riwayat penyakit sekarang maupun yang lalu; b) Faktor sosial yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit (jenis pekerjaan, perkawinan atau konflik); c) Temuan pada pemeriksaan fisik; d) Hasil pemeriksaan laboratorium; e) Temuan atau kesimpulan dari dokter kosnultan; f) Diagnosis; g) Terapi, respons terapi, dan sebagainya. Dalam pelayanan kedokteran atau kesehatan, terutama yang dilakukan dokter, baik di rumah sakit maupun pratik pribadi, peranan pencatatan rekam medis sangat penting dan sangat melekat pada kegiatan pelayanan. Dengan demikian ada ungkapan bahwa rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. 76 Catatan atau rekaman itu menjadi sangat berguna untuk mengingatkan kembali dokter dan keadaan hasil pemeriksaan dan pengobatan yang telah diberikan apabila pasien datang kembali untuk berobat ulang setelah beberapa hari, bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian. Dengan adanya rekam medis maka ia bisa mengingat dan mengenali pada saat pasien diperiksa sehingga dapat melakukan strategi pengobatannya. 4) Hubungan Hukum Rumah Sakit dengan Dokter dan Pasien a) Hubungan Hukum Rumah Sakit dan Dokter Dalam lalu lintas perhubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat sebagai suatu sistem sosial, Rumah Sakit merupakan organ yang mempunyai kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling). Rumah sakit bukan manusia, dalam arti “persoon” yang dapat berbuat dalam lalu lintas hukum dalam masyarakat sebagai manusia (natuurlijk persoon), melainkan rumah sakit diberi kedudukan menurut hukum sebagai persoon dan karenanya rumah sakit merupakan rechtpersoon. Hukum yang telah menjadikan rumah sakit sebagai rechtspersoon dan oleh karena itu rumah sakit juga dibebani dengan hak dan kewajiban hukum atas tindakan yang dilakukannya. Dalam kemandiriannya untuk berbuat hukum sebagai subjek hukum inilah rumah sakit melibatkan orang-orang yang menyandang profesi kedokteran atau tenaga kesehatan yang tidak hanya terdiri atas para 77 dokter dan dokter gigi, tetapi juga semua jenis tenaga kesehatan sebagaimana menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dokter yang bekerja di Rumah Sakit swasta dapat digolongkan sebagai dokter tamu dan dokter tetap/karyawan rumah sakit swasta. Dalam hal dokter sebagai seorang karyawan rumah sakit maka dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan keahlian serta diikat oleh etik profesi masing-masing, bekerja berdasarkan “arbeids overeenkomst”. Dalam hal dokter di Rumah Sakit Pemerintah maka dokter tersebut harus tundak pada undang-undang kepegawaian dan hukum administrasi negara. Dalam kaitannya dengan rumah sakit, para tenaga kesehatan itu berada dalam hubungan pekerjaan dengan rumah sakit sebagai tempat untuk menyelenggarakan tugas profesinya. Apabila dokter dalam melakukan pekerjaan telah merugikan hak-hak pasien, pengurus rumah sakit dapat memberikan perintah kepada dokter agar hal tersebut jangan terulang kembali di kemudian hari. Pengurus rumah sakit ini bukan hanya berhak untuk memberhentikan seorang dokter jika tidak mematuhi peraturan-peraturan rumah sakit atau organisasi, melainkan juga jika dokter tersebut sudah tidak memenuhi kewajibannya. Atas dasar adanya suatu hubungan kerja, kebebasan bagi para dokter itu tidak meniadakan pertanggungjawaban dari pemberi pekerjaan menurut hukum perdata. Pengurus dari suatu rumah sakit 78 tidak berwenang memerintah seorang dokter untuk melakukan perawatan terhadap seorang pasien tertentu, ini tidak berarti bahwa rumah sakit yang bersangkutan dapat melepaskan diri dari kerugian yang ditimbulkan tindakan yang dilakukan oleh dokter tersebut (Pasal 1403 dan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW). Adanya tanggung jawab seperti ini merupakan alasan bagi rumah sakit untuk menuntut para dokter agar bekerja sesuai dengan standar-standar tertentu, agar mereka itu memerhatikan hak-hak dari para pasien dan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan mereka, serta untuk mengadakan penelitian mengenai tindakan-tindakan medis yang dilakukan oleh para dokter. b) Hubungan Hukum Rumah Sakit dan Pasien Di dalam hubungan antara sarana penyedia layanan kesehatan dan pasien dikenal adanya prinsip konsumerisme dan prinsip profesionalisme. Dalam prinsip konsumerisme diatur bahwa kepentingan corporate lebih dipentingkan dari pasien, ada hukum yang bersifat saklek/tidak ada empati, dan ada persaingan finansial antara rumah sakit dengan pasien. Hal ini terlihat dalam hubungan antara rumah sakit dan pasien pada saat rumah sakit tersebut berbentuk badan hukum atau perseroan terbatas. Dalam hal ini Rumah Sakit akan lebih mementingkan mencari keuntungan dari pada berempati terhadap penyakit yang diderita pasien. 79 Berbeda halnya dengan prinsip profesionalisme yang mengatur bahwa dalam suatu hubungan antara pelaku usaha dan konsumen harus didasarkan pada empati, tidak ada persaingan finansial dan kedudukan dokter tidak lebih tinggi dari pasien. Kedudukan dokter adalah sejajar dengan pasien, dimana dokter melakukan suatu tindakan medis berdasarkan keluhan yang diberikan oleh pasien dan informed consent. Prinsip profesionalisme inilah yang tercermin dalam hubungan antara pasien dengan dokter pada saat dokter menjadi bagian dari organ rumah sakit. C. Peran Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik 1. Pengertian transaksi terapeutik Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dilaksanakan dengan rasa kepercayaan dari pasien terhadap dokter disebut dengan istilah transaksi terapeutik.46 Dalam transaksi terapeutik, yang menjadi objek adalah upaya penyembuhan. Hal ini sering disalahtafsirkan oleh masyarakat awam bahwa kesembuhan pasien yang menjadi objek transkasi terapeutik. Objek transaksi terapeutik adalah upaya dokter bukan kesembuhan pasien karena jika kesembuhan pasien dijadikan objek, akan lebih menyudutkan dokter.47 46 47 Al Purwohadiwardoyo, 1989, Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, hlm.13. Endang Kusuma Astuti, op.cit., hlm.97. 80 2. Pengertian informed consent Informed consent atau persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Definisi ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan republik Indonesia Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Pada hakikatnya, informed consent adalah suatu pemikiran bahwa keputusan pemberian pengobatan terhadap pasien harus terjadi berdasarkan kerjasama antara dokter dan pasien. Untuk dapat dilakukan tindakan medis tertentu, baik berupa diagnostik maupun terapeutik, maka diperlukan informed consent yang merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan, baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-masing menyatakan kehendaknya sehingga masing-masing telah menyatakan informasi secara bertimbal balik. Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai persetujuan setelah informasi. Persetujuan lisan yang diberikan oleh orang yang berhak sudah cukup bagi dokter untuk dijadikan dasar bagi intervensi medis, dapat pula diberikan dalam bentuk sirata, yaitu dengan menunjukkan sikap-sikap yang memberi kesan setuju. Kedua cara ini dapat merepotkan dokter jika dibelakang hari diingkari, kecuali ada saksi yang ikut menyaksikan. Keberadaan saksi nontenaga kesehatan saat dokter memberikan penjelasan 81 sampai pasien menyatakan persetujuannya dipersoalkan dari aspek konfidensialitas medis. Persetujuan ini mempunyai kekuatan mengikat, dalam arti mempunyai kekuatan hukum, berarti dokter telah menjalankan kewajibannya memberikan informasi dan memberikan hak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis. 3. Bentuk Informed Consent a. Informed consent yang dinyatakan secara tegas (1)Informed consent yang dinyatakan secara lisan Dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak berisiko, misalnya pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan penunjang medis. Tindakan medis yang mengandung risiko, misalnya pembedahan, informed consent dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien. (2)Infromed consent yang dinyatakan secara tertulis Secara tertulis adalah bentuk yang paling tidak diragukan karena jika dilakukan secara lisan juga sah, kecuali syarat hukum tertentu yang menuntut informed consent harus tertulis untuk prosedur tertentu. Jadi informed consent dapat dinyatakan secara lisan, bahkan dapat dinyatakan dengan sikap menyerah pada prosedur yang telah dispesifikasikan. 82 b. Informed consent yang dinyatakan secara diam-diam/tersirat Informed consent juga dianggap ada, hal ini dapat tersirat pada gerakan pasien yang diyakini oleh dokter, misalnya dengan anggukan kepala, maka dokter dapat menangkap bahwa pasien setuju. Persetujuan lisan yang diberikan oleh orang yang berhak sudah cukup bagi dokter untuk dijadikan bagi intervensi medis. D. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan kembali Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan putusan Pengadilan tingkat yang lebih rendah oleh Pengadilan yang lebih tinggi, di mana kesalahan atau kekeliruan tersebut merupakan kodrat manusia, termasuk Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara. Menyadari kemungkinan adanya kesalahan atau kekeliruan tersebut, maka UndangUndang memberikan kesempatan dan sarana bagi para pencari keadilan untuk memperoleh keadilan sesuai dengan tahapan hukum acara yang berlaku. Pemeriksaan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, sedangkan dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 263 sampai dengan 269 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Baik permohonan/permintaan peninjauan kembali yang 83 diatur dalam perkara perdata maupun yang diatur dalam perkara pidana, hanya dapat diajukan 1 (satu) kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang 14 Tahun 1985 dan Pasal 268 ayat (3) UndangUndang No.8 Tahun 1981. Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menentukan bahwa terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Bahwa yang dimaksud dengan hal atau keadaan tertentu antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan atau kekeliruan Hakim dalam menerapkan hukumnya. Permohonan peninjauan kembali yang hanya dapat diajukan 1 (satu) kali tersebut, dipertegas dalam Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 1985 yang menentukan bahwa Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir. Pasal 34 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 menentukan bahwa Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV 84 Bagian Keempat Undang-Undang ini. Putusan Pengadilan yang dimaksud tersebut dapat berupa putusan Pengadilan tingkat pertama, tingkat banding maupun putusan kasasi. Berdasarkan Pasal 66 ayat (2) yang menentukan permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan serta Pasal 68 ayat (1) yang menentukan, permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Pada dasarnya Pemohon peninjauan kembali dapat mencabut permohonannya yang diajukan ke Mahkamah Agung, asalkan permohonan tersebut belum diputus oleh Mahkamah Agung, tetapi dalam hal permohonan peninjauan kembali sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi. Meskipun Pasal 66 ayat (2) tersebut tidak menangguhkan eksekusi akan tetapi dalam keadaan yang sangat mendasar dan beralasan, permohonan peninjauan kembali secara kasuistis dan eksepsional dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menunda atau menghentikan eksekusi, misalnya alasan yang dikemukan benar-benar didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna sehingga dapat diduga bahwa Majelis Hakim yang akan peninjauan kembali tersebut memeriksa besar kemungkinan akan dikabulkan. Misalnya dalam putusan perkara pidana yang telah tetap, menyatakan surat perdata tersebut adalah palsu. jual permohonan beli berkekuatan hukum yang dipergunakan pada putusan 85 Dalam perkara perdata hanya permohonan peninjauan kembali yang sangat mendasar yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menunda atau menghentikan eksekusi antara lain apabila alasan peninjauan kembali yang diajukan tersebut: a. benar- benar sesuai dengan salah satu alasan yang ditentukan dalam Pasal 67 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No.3 Tahun 2009 b. alasan yang dikemukakan didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna c. dapat diduga bahwa Majelis Hakim yang akan memeriksa peninjauan kembali tersebut kemungkinan akan mengabulkannya. Kriteria inilah yang seharusnya dipegang sebagai tolok ukur untuk menilai apakah suatu permohonan peninjauan kembali memang cukup mendasar atau tidak. Dengan berpegang pada kriteria tersebut, diharapkan sudah dapat memudahkan untuk menilai apakah pantas atau tidak untuk menunda suatu eksekusi atas alasan peninjauan kembali. Alasan peninjauan kembali dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 263 KUHAP yang menentukan : 1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. 86 2. Permohonan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. 3. Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Adapun perbedaan dasar dan alasan pemeriksaan kembali yang diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No.5 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2009 dengan yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP tersebut adalah tidak terlepas dari perbedaan sifat perkara perdata dan perkara pidana antara lain seperti hal-hal yang berkaitan dengan 87 sesuatu yang dituntut (petitum) dalam perkara perdata tidak ada dalam perkara pidana. Di samping itu untuk perkara perdata ditentukan tenggang waktu 180 hari terhitung sejak ditemukan kebohongan atau ditemukan bukti baru, atau sejak putusan berkekuatan hukum tetap dan diberitahukan kepada pihak, sedangkan untuk perkara pidana tidak ada tenggang waktu seperti itu. Permintaan peninjauan kembali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (1) tersebut di atas ditujukan kepada Terpidana atau ahli warisnya, sedangkan yang tersebut dalam ayat 3 Pasal 263 tidak disebutkan pihak mana (apakah Terdakwa/ahli warisnya ataukah Jaksa/Penuntut Umum) yang dapat mengajukan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Apabila perbuatan yang didakwakan tersebut dinyatakan terbukti akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana, maka putusan Hakim akan berbunyi “melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum”. Tetapi apabila perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti dan perbuatan yang terbukti tersebut jelas merupakan suatu tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada Terdakwa maka menurut hukum Terdakwa seharusnya dipidana. Oleh karena itu Pasal 263 ayat (3) ini seharusnya ditujukan kepada Jaksa/Penuntut Umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Jaksa/Penuntut Umum juga mempunyai hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali hanya sepanjang apabila perbuatan Terdakwa telah dinyatakan terbukti di persidangan tersebut adalah merupakan suatu tindak 88 pidana akan tetapi ternyata tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Hal seperti itu tentu sangat jarang terjadi, kecuali kalau Hakim keliru sehingga tidak menyebutkan pemidanaan tersebut dalam amar putusan sehingga putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekeliruan yang nyata. Putusan yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali menggunakan sebutan “mengadili kembali” berbeda dengan kasasi yang hanya menyebut “mengadili”. Sebutan “mengadili kembali” menunjukkan bahwa pada pemeriksaan peninjauan kembali Mahkamah Agung bertindak sebagai judex factie bukan semata-mata sebagai judex juris. Dengan demikian pada pemeriksaan peninjauan kembali, Majelis Hakim dapat mempertimbangkan fakta disamping memeriksa penerapan hukum. 89 BAB III METODE PENELITIAN A. Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal adalah penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder.48 Penelitian ini didasarkan pada penelitian kepustakaan tetapi untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitian yang bersifat normatif dilakukan penelitian yang bersifat empiris yang didasarkan pada penelitian di lapangan. Hasil dari penelitian ini akan disajikan dalam suatu kaporan yang bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif karena dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, doktrin dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu meneliti asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, dan sistematika hukum dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder. Untuk menunjang dan melengkapi fakta yang ada, maka dilakukan pula Penelitian Lapangan guna memperoleh data primer secara langsung dari subjek penelitian. 48 Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.24. 89 90 Karena itu titik berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan, yang berarti akan lebih banyak menelaah dan mengkaji data sekunder yang diperoleh dari penelitian dan tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesis.49 B. Jenis Penelitian Penelitian Hukum ini didasarkan pada penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dan bertujuan untuk mencari kaedah atau norma dengan metode penemuan hukum. Di sisi lain penelitian lapangan digunakan untuk memperoleh data primer dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan serta bertujuan untuk memperoleh fakta mengenai perilaku dari subjek hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. 1. Penelitian Kepustakaan a. Data Data yang digunakan dalam penelitian kepustakaan ini yakni berupa data sekunder. Data sekunder adalah data yang sudah tersedia berupa kaedah atau norma hukum serta putusan pengadilan. b. Bahan Bahan hukum sebagai data sekunder dalam penelitian kepustakaan ini diperoleh melalui perpustkaan, peraturan perundang-undangan dan 49 Soerjono Soekanto Soerjono dan Sri, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.53. 91 tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dan terdapat dalam : 1) Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah dan bersifat mengikat berupa peraturan perundangundangan, perjanjian Internasional dalam bentuk traktat dan konvensi yang dalam hal ini terdiri dari:50 a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, f) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran g) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit h) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum i) Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1948 j) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis k) Kode Etik Kedokteran 50 Burhan Ashofa, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 103 92 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Secara rinci mengenai judul buku dan penulis buku terdapat di daftar pustaka dan footnote atau catatan kaki. Bahan hukum sekunder dalam dalam penelitian ini, terdiri dari : a) Buku-buku yang membahas tentang Hukum Perlindungan Konsumen, b) Buku-buku dan tulisan ilmiah yang berhubungan dengan pasien, malpraktik, praktik kedokteran, rumah sakit, dan jasa di bidang kesehatan, c) Buku-buku yang membahas mengenai metodologi penelitian d) Internet, yaitu literatur yang berhubungan dengan hukum perlindungan konsumen khususnya pasien dan jasa di bidang kesehatan 3) Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari : a) Kamus Hukum karangan Yan Pramadya Puspa, b) Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, c) Kamus Bahasa Belanda karangan S. Wojowasito, d) Kamus lengkap Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris karangan Andreas Halim. 93 c. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data untuk jenis penelitian kepustakaan yaitu metode dokumentasi dengan mengumpulkan, mempelajari dan menganalisis berbagai bahan kepustakaan dan dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian. d. Alat Pengumpul Data Adapaun alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder diatas yaitu melalui studi dokumen. Studi dokumen dilakukan dengan memperoleh menggunakan referensi hukum fasilitas terkait serta perpustkaan media lain untuk yang memungkinkan. 2. Penelitian Lapangan a. Data Data yang digunakan untuk penelitian lapangan ini yaitu berupa data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. b. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian lapangan yaitu Kantor Mahkamah Agung Republik Indonesia di Jakarta. c. Subjek Penelitian Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah: 94 1) Ketua Majelis Hakim yang menangani Putusan Peninjauan Kembali Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 Bapak Djoko Sarwoko, 2) Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Republik Indonesia Ridwan Mansyur. d. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk memperoleh data primer yaitu dengan wawancara kepada narasumber dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka dan hanya memuat garis-garis besarnya saja sehingga tidak menutup kemungkinan diajukannya pertanyaan-pertanyaan lain yang masih berkaitan dengan masalah yang diteliti. e. Alat Pengumpul Data Alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer yaitu berupa pedoman wawancara. Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan penelitian yang disusun sebagai sebuah panduan wawancara yang menggali apa saja yang diketahui oleh narasumber mengenai permasalahan yang diteliti oleh penulis. Pedoman wawancara ini yang akan digunakan sebagai acuan dalam melakukan wawancara terhadap narasumber. 95 C. Analisis Data Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif yaitu tata cara penelitian dengan menghasilkan data deskriptifanalitis. Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dihubungkan dengan teori-teori yang didapat dari studi kepustakaan untuk kemudian disampaikan, sehingga diperoleh uraian yang bersifat deskriptif kualitatif. Adapun analisis kualitatif yang diterapkan pada penelitian kepustakaan dalam penulisan hukum ini yakni dengan menarik asas-asas hukum dengan cara mengkaji kasus hukum Prita Mulyasari. Dalam mengkaji Kasus Hukum Prita Mulyasari ini, penulis lebih menitikberatkan pada asas-asas perlindungan konsumen dan peraturan hukum lainnya yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap pengguna jasa layanan kesehatan. Disisi lain analisa atas penelitian kepustakaan dilakukan dengan menelaah sistematik peraturan perundang-undangan terkait, dalam hal ini menganalisa kasus Prita Mulyasari ini dihubungkan dengan berbagai segi hukum baik hukum publik maupun privat. Penulis juga melakuan sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan, dalam hal ini penulis melakukan analisa secara horisontal menyangkut konsistensi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Tujuan dari metode analisis ini adalah agar diperoleh jawaban yang bersifat menyeluruh serta sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan berhubungan dengan permasalahan yang diangkat. 96 D. Jalannya Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti alur atau langkah-langkah sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan Persiapan penelitian dilakukan dengan berbagai kegiatan mulai dengan mencari permasalahan hukum yang ingin diteliti, menentukan judul selanjutnya, mengumpulkan bahan kepustkaan untuk merancang proposal penelitian, konsultasi dan penyempurnaan serta menyusun pedoman wawancara dan pengurusan izin penelitian. Hasilnya berupa Proposal Penelitian. 2. Tahap Pelaksanaan Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data baik data primer maupun data sekunder. Pengumpulan data primer yakni dengan menuju ke lokasi penelitian dan melakukan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan. Selanjutnya pengumpulan data sekunder dengan melakukan studi dokumentasi terhadap bahan-bahan hukum yang ada. Hasilnya berupa draft penelitian. 3. Tahap Penyelesaian Pada tahap penyelesaian ini dilakukan penyusunan dan penulisan kaporan penelitian dengan melakukan analisis atas data yang diperoleh pada saat pelaksanaan penelitian. Hasilnya berupa hasil penelitian hukum atau tesis. 97 E. Hambatan Penelitian Hambatan yang dialami selama proses penelitian hukum ini yaitu sulit untuk mendapatkan data dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berupa Putusan Peninjauan Kembali Nomor 225PK/Pid.Sus/2011. Adapun kesulitan atau hambatan tersebut kemudian dapat terselesaikan dengan melakukan wawancara dengan hakim ketua majelis yang menangani peninjauan kembali Ibu Prita Mulyasari dan melakukan wawancara dengan bagian Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia. 98 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan Perlindungan hukum bagi konsumen yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan di antara keduanya”.51 Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen. Pemberdayaan konsumen dilakukan dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhan. Adanya perbedaan pendapat yang mendalilkan bahwa perikatan yang terjadi dalam pelayanan jasa kesehatan bukan merupakan suatu resultaat verbintennis (perikatan dengan usaha keras/hasil), yang membedakan pelayanan kesehatan dengan perdagangan pada umumnya. Sekalipun demikian, apa pun sifat 51 Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, hlm.9 98 99 perikatan yang terbentuk, sepanjang menimbulkan kerugian atas diri (harta benda, tubuh, maupun jiwa) yang dilayani (pasien atau konsumen) merupakan tetap suatu pelanggaran terhadap UUPK, yang dalam pemeriksaan kasusnya dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengingat pula sumpah jabatan/kode etik kedokteran yang berlaku. Banyak pihak yang berpendapat bahwa pasien di dalam pelayanan medis selalu berada pada posisi yang lemah jika dibandingkan dengan tenaga kesehatan, sehingga akibat dari ketidakpuasan salah satu pihak, akan selalu mengakibatkan kerugian yang lebih besar bagi pasien. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan atau masih awamnya pengetahuan yang dimiliki pasien. Dalam memberikan perlindungan kepada pasien, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak menyebutkan secara spesifik hak dan kewajiban pasien, tetapi karena pasien juga merupakan konsumen yaitu pengguna jasa pelayanan kesehatan, maka hak dan kewajibannya juga mengikuti hak dan kewajiban konsumen secara keseluruhan berlaku dalam UUPK. Hak seorang pasien dalam UUPK diatur dalam Pasal 4 UUPK yaitu: 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Setiap pasien mempunyai hak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan selama menggunakan jasa pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan. 99 100 2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Pasien mempunyai hak untuk menanyakan secara detail pelayanan kesehatan yang akan dijalani dalam proses penyembuhan. Pasien juga memiliki hak untuk dapat menuntut pemberian pelayanan kesehatan yang sesuai dengan yang sudah dijanjikan oleh dokter atau rumah sakit. Sesuai dengan yang sudah dijanjikan artinya sesuai dengan prosedur yang akan dijalani oleh pasien, bukan jaminan berkaitan dengan pasien akan sembuh total dari penyakit yang dideritanya. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur terhadap setiap kondisi kesehatan diri pasien. 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Setiap pasien mempunyai hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas penyakit yang dideritanya. Pasien juga mempunyai hak untuk didengar keluhannya terkait pelayanan kesehatan yang diterimanya. 101 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Setiap pasien yang mengalami kelalaian/kesalahan dari tenaga kesehatan berhak untuk mendapatkan advokasim perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa. Apabila dalam pembuktian pasien merupakan korban dari kelalaian/kesalahan dokter maka pasien berhak untuk mendapatkan ganti rugi. 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Setiap pasien mempunyai hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan terkait dengan hak-hak sebagai seorang pasien. Hal ini merupakan tugas dari lembaga konsumen swadaya masyarakat dan pemerintah untuk terus meningkatkan kesadaran pasien untuk melindungi diri dari perilaku buruk tenaga kesehatan. 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Pasien mempunya hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya. 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Dari tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan tidak tertutup kemungkinan terjadi kelalaian. Terhadap kelalaian/kesalahan dari tenaga 102 kesehatan di dalam melaksanakan tugasnya, tentu saja sangat merugikan pihak pasien selaku konsumen. Dari kelalaian/kesalahan tenaga kesehatan dalam pelayanan medis kemungkinan berdampak sangat besar dari akibat yang ditimbulkan, apakah dari pasien mengalami gangguan- gangguan dari hasil yang dilakukan, atau bisa juga menyebabkan cacat/kelumpuhan atau yang paling fatal meninggal dunia. Hal tersebut tentu saja merugikan pihak pasien. Kerugian fisik yang dimaksud yaitu hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan martabat seseorang. Kerugian yang dialami pasien dapat diminta ganti kerugian terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian/kesalahan. Dalam Pasal 19 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Di dalam ayat (2) diatur bahwa ganti rugi tersebut dapat berupa uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Dalam hal ini, tenaga kesehatan yang juga merupakan pelaku usaha yang terikat dengan UUPK, wajib memberikan ganti rugi apabila pasien mengalami kerugian akibat menggunakan pelayanan jasa kesehatan yang disediakan oleh tenaga kesehatan tersebut. 103 Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.52 BPSK berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha (dokter) apabila tidak memberikan ganti rugi. Sanksi administratif tersebut berupa penetapan ganti rugi yang jumlahnya paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).53 Pasal 8 UUPK mengatur bahwa seorang pelaku usaha (tenaga kesehatan) dilarang memperdagangkan jasa pelayanan kesehatan yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar dan ketentuan yang telah diatur peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 9 UUPK mengatur seorang dokter dilarang untuk menawarkan, mempromosikan, mengiklankan jasa pelayanan kesehatan secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 8 dan Pasal 9 dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Apabila seorang tenaga kesehatan terbukti telah melakukan suatu kelalaian/kesalahan maka pasien berhak untuk mendapatkan ganti rugi. Bentuk dari ganti rugi tersebut bisa berupa kompensasi, penggantian biaya pelayanan 52 Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 53 Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 104 kesehatan ataupun ganti rugi terhadap suatu keadaan yang timbul akibat adanya kelalaian/kesalahan tenaga kesehatan tersebut. Tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Undang-undang memberikan batasan dengan menetapkan hanya kerugian yang dapat dikirakirakan atau diduga pada waktu perjanjian dibuat dan yang sungguh dianggap sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian dari tenaga kesehatan. Apabila terjadi perbuatan melawan hukum, dalam arti tenaga kesehatan melakukan kesalahan/kelalaian, tetapi kesalahan/kelalaian itu tidak menimbulkan kerugian, maka tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan/kelalaian tidak perlu bertanggung jawab hukum terhadap pasien, dalam arti tidak perlu membayar ganti rugi kepada pasien. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 64 UUPK mengatur bahwa segala ketentuan peraturan perundangundangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat UUPK diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Perlindungan hukum terhadap pasien tidak hanya diatur didalam UUPK tetapi ada beberapa peraturan perundang-undangan yang juga mengatur mengenai perlindungan hukum pasien misalnya, KUHP, KUHPerdata, undang-undang tentang kesehatan, undang-undang tentang rumah sakit, undang-undang tentang praktik kedokteran, kode etik kedokteran, peraturan pemerintah tentang tenaga kesehatan dan lain sebagainya. 105 Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Pasien dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran, mempunyai hak: a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3), yaitu : 1) Diagnosis dan tata cara tindakan medis; 2) Tujuan tindakan medis yang dilakukan; 3) Alternatif tindakan lain dan resikonya; 4) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan 5) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. Menolak tindakan medis; dan e. Mendapat isi rekam medis. Terkait rekam medis, di dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 setiap pasien mempunyai hak: 1. Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan. 2. Isi rekam medis merupakan milik pasien. 3. Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk ringkasan rekam medis. 106 4. Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu. Oleh karena UUPK mengatur mengakui mengenai hak-hak pasien diluar UUPK maka hak-hak pasien lainnya dapat dilihat dari bentuk tanggung jawab seorang dokter terhadap pasien dalam hal terjadi kelalaian/kesalahan. Adapaun bentuk tanggung jawab dokter tersebut yaitu: 1. Tanggung jawab dokter sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pasien a. Tanggung Jawab Etis Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomorr 434/ Men.Kes/SK/X/1983 yang disusun dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-Undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri. Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang 107 merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran. Berikut diajukan beberapa contoh: 1) Pelanggaran Etik Murni a) Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi. b) Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya. c) Memuji diri sendiri di depan pasien. d) Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang berkesinambungan. e) Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri. 2) Pelanggaran Etikolegal a) Pelayanan dokter di bawah standar. b) Menerbitkan surat keterangan palsu. c) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter. d) Abortus provokatus. b. Tanggung jawab profesi Tanggung jawab profesi dokter berkaitan erat dengan profesionalisme seorang dokter. Hal ini terkait dengan: 108 1) Pendidikan, pengalaman dan kualifikasi lain Dalam menjalankan tugas profesinya seorang dokter harus mempunyai derajat pendidikan yang sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuninya. Dengan dasar ilmu yang diperoleh semasa pendidikan di fakultas kedokteran maupun spesialisasi dan pengalamannya untuk menolong penderita. 2) Derajat risiko perawatan Derajat risiko perawatan diusahakan untuk sekecil-kecilnya, sehingga efek samping dari pengobatan diusahakan seminimal mungkin. Di samping itu mengenai derajat risiko perawatan harus diberitahukan terhadap penderita maupun keluarganya, sehingga pasien dapat memilih alternatif dari perawatan yang diberitahukan oleh dokter. 3) Peralatan perawatan Perlunya dipergunakan pemeriksaan dengan menggunakan peralatan perawatan, apabila dari hasil pemeriksaan luar kurang didapatkan hasil yang akurat sehingga diperlukan pemeriksaan menggunakan bantuan alat. Namun dari jawaban responden bahwa tidak semua pasien bersedia untuk diperiksa dengan menggunakan alat bantu (alat kedokteran canggih), hal ini terkait erat dengan biaya yang harus dikeluarkan bagi pasien golongan ekonomi lemah. 109 c. Tanggung jawab hukum Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: 1) Tanggung jawab dokter dalam bidang hukum perdata a) Tanggung jawab hukum perdata karena wanprestasi Menurut ilmu hukum perdata, seseorang dapat dianggap melakukan wanprestasi apabila tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat dan melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan serta melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Sehubungan dengan masalah ini, maka wanprestasi yang dimaksudkan dalam tanggung jawab perdata seorang dokter adalah tidak memenuhi syarat-syarat yang tertera dalam suatu perjanjian yang telah dia adakan dengan pasiennya. Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar persetujuan atau perjanjian yang terjadi hanya dapat dilakukan bila memang ada perjanjian dokter dengan pasien. Perjanjian tersebut dapat digolongkan sebagai persetujuan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Perjanjian itu terjadi bila pasien memanggil dokter atau pergi ke dokter, dan dokter memenuhi permintaan pasien untuk 110 mengobatinya. Dalam hal ini pasien akan membayar sejumlah honorarium. Sedangkan dokter sebenarnya harus melakukan prestasi menyembuhkan pasien dari penyakitnya. Tetapi penyembuhan itu tidak pasti selalu dapat dilakukan sehingga seorang dokter hanya mengikatkan dirinya untuk memberikan bantuan sedapat-dapatnya, sesuai dengan ilmu dan ketrampilan yang dikuasainya. Artinya, dia berjanji akan berdaya upaya sekuatkuatnya untuk menyembuhkan pasien. Dalam gugatan atas dasar wanprestasi ini, harus dibuktikan bahwa dokter itu benar-benar telah mengadakan perjanjian, kemudian dia telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian tersebut (yang tentu saja dalam hal ini senantiasa harus didasarkan pada kesalahan profesi). Jadi di sini pasien harus mempunyai buktibukti kerugian akibat tidak dipenuhinya kewajiban dokter sesuai dengan standar profesi medis yang berlaku dalam suatu kontrak terapeutik. Tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk melaksanakannya, karena pasien juga tidak mempunyai cukup informasi dari dokter mengenai tindakan-tindakan apa saja yang merupakan kewajiban dokter dalam suatu kontrak terapeutik. Hal ini yang sangat sulit dalam pembuktiannya karena mengingat perikatan antara dokter dan pasien adalah bersifat inspanings verbintenis. 111 b) Tanggung jawab hukum perdata karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) Tanggung jawab karena kesalahan merupakan bentuk klasik pertanggungjawaban perdata. Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebagai berikut : (1) Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena dokter tersebut telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”. Undang-undang sama sekali tidak memberikan batasan tentang perbuatan melawan hukum, yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan segala sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang, jadi suatu perbuatan melawan undang-undang. Akan tetapi sejak tahun 1919 yurisprudensi tetap telah memberikan pengertian yaitu setiap tindakan atau kelalaian baik yang: (1) Melanggar hak orang lain; (2) Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri; 112 (3) Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik); (4) Tidak sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang seorang dalam pergaulan hidup. Seorang dokter dapat dinyatakan melakukan kesalahan dan untuk menentukan seorang pelaku perbuatan melanggar hukum harus membayar ganti rugi, haruslah terdapat hubungan erat antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan. (2) Berdasarkan Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum seperti tersebut di atas, dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang bunyinya sebagai berikut : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. 113 (3) Berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya. (Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan Pasal 1367 BW mengatur mengenai pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau yang memerintahkan sesuatu pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain tersebut. 2) Tanggung jawab dokter dalam bidang hukum pidana Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung jawab pidana seorang dokter, khususnya yang menyangkut dengan kelalaian, hal ini dilandaskan pada teori-teori kesalahan dalam hukum pidana. Tanggung jawab pidana di sini timbul bila pertamatama dapat dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan atau perawatan. Dari segi hukum, kesalahan/kelalaian akan selalu berkait dengan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh 114 orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat menginsafi makna yang senyatanya dari perbuatannya, dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang patut dalam pergaulan masyarakat dan mampu untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan. Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana, diatur antara lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ada perbedaan penting antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis. Pada tindak pidana biasa yang terutama diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan pada tindak pidana medis adalah penyebabnya. Walaupun berakibat fatal, tetapi jika tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan maka dokternya tidak dapat dipersalahkan. Beberapa contoh dari criminal malpractice yang berupa kesengajaan adalah melakukan aborsi tanpa indikasi medis, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan eutanasia, 115 menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat visum et repertum yang tidak benar dan memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli. Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4–D, yaitu : Duty (Kewajiban), Derelictions of That Duty (Penyimpangan kewajiban), Damage (Kerugian), Direct Causal Relationship (Berkaitan langsung). Duty atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu) atau menurut undang-undang (ius delicto). Juga adalah kewajiban dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi. Kini adalah kewajiban dokter pula untuk memperoleh informed consent, dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu mencakup antara lain : risiko yang melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek sampingan, alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya. Peraturan tentang persetujuan tindakan medis (informed consent) sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989. Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis (Dereliction of The Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli 116 dan saksi ahli. Namun sering kali pasien mencampuradukkan antara akibat dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa dokter itu telah melakukan breach of duty. Damage berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik, finansial, emosional atau berbagai kategori kerugian lainnya, di dalam kepustakaan dibedakan : Kerugian umum (general damages) termasuk kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan dan penderitaan dan kerugian khusus (special damages) kerugian finansial nyata yang harus dikeluarkan, seperti biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima. Jika tidak ada kerugian, maka juga tidak ada penggantian kerugian. Direct causal relationship berarti bahwa harus ada kaitan kausal antara tindakan yang dilakukan dengan kerugian yang diderita. 3) Tanggung jawab dokter dalam bidang hukum administrasi Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaaha negara. Contoh tindakan dokter yang dikategorikan sebagai administrative malpractice adalah menjalankan praktek tanpa ijin, melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan ijin yang dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan ijin yang sudah daluwarsa dan tidak membuat rekam medis. 117 Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai dokter tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Seorang dokter harus lebih dahulu mengurus lisensi agar memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis lisensi memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan sendirisendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun seorang dokter ahli kandungan mampu melakukan operasi amandel namun lisensinya tidak membenarkan dilakukan tindakan medis tersebut. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap telah melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi administratif, misalnya berupa pembekuan lisensi untuk sementara waktu. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan mengatur bahwa sanksi administratif dapat dijatuhkan terhadap dokter yang melalaikan kewajiban, melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang dokter, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai dokter, mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh dokter dan melanggar ketentuan menurut atau berdasarkan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan. 2. Penyelesaian sengketa antara pasien dengan tenaga kesehatan Ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban, dan larangan yang diatur dalam UUPK dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha 118 dengan konsumen. Dalam hal ini adanya sengketa antara pasien dengan tenaga kesehatan, baik pelanggaran terhadap pemberian ganti rugi ataupun pelanggaran terhadap hak-hak pasien. Penyelesaian sengketa konsumen perlu dilakukan agar tercipta hubungan baik antara pelaku usaha (tenaga kesehatan) dengan konsumen (pasien) sehingga masing-masing pihak mendapatkan kembali hak-haknya dan demi terciptanya kegiatan usaha yang sehat dalam pemenuhan kebutuhan konsumen dengan baik. Di dalam Pasal 45 Ayat (1) dan Pasal 47, dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan cara: a. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan 1) Penyelesaian penggantian kerugian seketika (secara langsung) dengan jalan damai Menurut Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (3) UUPK, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung kepada produsen dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu tujuh hari setelah transaksi berlangsung. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, cara penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan jalan arbitrase, konsiliasi, dan mediasi. 119 2) Tuntutan penggantian kerugian melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) Menurut Pasal 23 UUPK, penyelesaian snegketa melalui BPSK dapat ditempuh jika penyelesaian secara damai di luar proses pengadilan tidak berhasil, baik karena produsen menolak untuk menanggapi tuntutan konsumen maupun karena tidak terjadi kesepakatan antara konsumen dengan produsen. b. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan telah diatur dalam Pasal 48 UUPK. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila: 1) Para Pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan; atau 2) Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.54 Jika gugatan penggantian kerugian didasarkan pada peristiwa wanprestasi, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan: 1) Adanya hubungan perikatan (kontrak, perjanjian); 2) Adanya bagian-bagian dari kewajiban yang tidak dipenuhi oleh produsen; 54 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.232. 120 3) Timbulnya kerugian bagi konsumen (penggugat). Jika gugatan penggantian kerugian didasarkan pada peristiwa perbuatan melawan hukum, konsumen harus membuktikan: 1) Adanya perbuatan melawan hukum, baik berupa pelanggaran hak konsumen, pelanggaran terhadap kewajiban berhati-hati, pelanggaran norma kesusilaan, maupun norma kepatutan; 2) Adanya kesalahan dari produsen, baik berupa kesengajaan mapun kelalaian; 3) Adanya sejumlah kerugian yang diderita konsumen penggugat; 4) Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian.55 3. Peran Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat Lembaga konsumen merupakan salah satu media pemberdayaan konsumen menuju konsumen yang mempunyai harkat dan martabat yang tinggi. Dengan adanya pemberdayaan konsumen, maka konsumen mempunyai kemampuan untuk menunjukkan diri dan eksistensinya sebagai konsumen yang memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha. Di Indonesia, sejak Tahun 1973 telah lahir Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang bertujuan untuk membantu konsumen Indonesia 55 Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm.149-153. 121 agar tidak dirugikan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Pengaturan tentang lembaga konsumen swadaya masyarakat ini terdapat dalam Pasal 44 UUPK. Dalam rangka mewujudkan konsumen yang sadar akan hak-hak dan kewajibannya, maka lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat bertugas untuk: a. Menyebar informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Untuk mencapai tujuannya, YLKI melaksanakan berbagai kegiatan dalam bidang berikut ini: a. Bidang Pendidikan, untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan penggiat YLKI maupun masyarakat konsumen tentang hak dan kewajiban konsumen serta permasalahan-permasalahan konsumen, 122 b. Bidang Penelitian, unttuk memberikan informasi yang obyektif mengenai mutu barang dan/atau jasa karena informasi yang tersedia hanya berasal dari pelaku usaha secara sepihak, c. Bidang Kampanye Publik, untuk menyebarluaskan persoalan konsumen kepada masyarakat luas dengan kegiatan seminar, diskusi publik, dialog interaktif, penerbitan buletin, dan lain-lain, d. Bidang Pemantauan, untuk memantau pasar dan penelitian dalam rangka pengumpulan data dan upaya perubahan kebijakan, e. Bidang Pengaduan, dengan menerima pengaduan dari masyarakat dan mencoba mencari penyelesaian dengan pembelaan hukum bagi konsumen yang dirugikan hak-haknya.56 4. Pembinaan dan Pengawasan oleh Pemerintah a. Pembinaan Menurut Pasal 29 Ayat (1) UUPK, tanggung jawab pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen berada di tangan pemerintah, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh menteri-meneteri terkait. Para menteri terkait dapat mengeluarkan peraturan yang sifatnya teknis. Berdasarkan Pasal 29 ayat (4) UUPK, pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen dimaksudkan untuk:57 56 57 Janus Sidabalok, op.cit., hlm.265. Ibid, hlm.183 123 1) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen. Dengan pembinaan, diharapkan akan tumbuh dan berkembang iklim usaha yang sehat sehingga dapat mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakat melalui efisiensi usaha. Dengan efisiensi, konsumen tidak lagi dibebani biaya yang tinggi karena pelaku usaha sadar bahwa konsumen merupakan mitra bisnis yang harus dijaga, dibina, dan diberdayakan. Iklim usaha yang sehat juga akan mendorong tersedianya produk-produk yang pada akhirnya akan membantu tercapainya tingkat pertumbuhan pembangunan perekonomian nasional. 2) Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat Lembaga swadaya masyarakat ini merupakan gerakan/upaya mempertinggi kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya melalui pengkajian terhadap perilaku konsumen dan produsen, memberi penyuluhan, pendidikan bagi konsumen, serta membantu konsumen mewujudkan hak-haknya. Dalam kegiatannya, lembaha konsumen ini dapat melakukan pembinaan ke dalam (dengan memberikan pendidikan kepada konsumen) dan melakukan pengawasan ke luar (dengan mengawasi pelaku usaha) sehingga lembaga konsumen tidak harus dipandang sebagai upaya perlawanan terhadap pelaku usaha tetapi lebih tepat jika dipandang sebagai mitra 124 pelaku usaha untuk menjembatani perbedaan kepentingan antara pelaku usaha dengan konsumen. 3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia Melalui pembinaan yang dilakukan oleh lembaga konsumen swadaya masyarakat, maka akan tercapai sumber daya manusia yang berkualitas yaitu konsumen yang mempunyai tingkat kesadaran penuh akan hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen dan sebagai warga negara. Sedangkan melalui pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah kepada pelaku usaha makan akan diperoleh pelaku usaha yang bertanggung jawab dan mempunyai kesadaran akan pentingnya melindungi konsumen. 4) Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen Melalui pembinaan, pemerintah dapat menggiatkan lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan yang dimiliki oleh perusahaan, pemerintah, dan perguruan tinggi. Hasil dari kajian yang dilakukan oleh lembaga penelitian dapat digunakan sebagai bahan untuk menyusun kebijakan di bidang perlindungan konsumen. b. Pengawasan Menurut Pasal 30 Ayat (1) UUPK, pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 125 Masyarakat dapat melakukan penelitian, pengujian, dan/atau survei terhadap barang-barang yang tersebar di Pasar, informasi yang diperoleh masyarakat dikumpulkan kemudian diteruskan ke pihak pemerintah yang berwenang. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga konsumen swadaya masyarakat hanya dapat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar, sedangkan terhadap sarana dan prasarana produksi dan distribusi hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.58 Disamping itu, penelitian, pengujian, dan/atau survei yang dapat dilakukan oleh lembaga konsumen hanya dapat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen. Pengujian hanya dapat dilakukan oleh laboratorium penguji yang telah diakreditasi agar hasil yang diperoleh obyektif dan transparan.59 B. Kesesuaian Putusan Peninjauan Kembali Prita Mulyasari Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 dengan UUPK 1. Kronologi Kasus Prita Mulyasari Pada tanggal 7 Agustus 2008, Prita Mulyasari melakukan pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang, Banten. Prita Mulyasari mengeluhkan keadaan tubuh yang panas tinggi dan pusing kepala yang tidak tertahankan. Saat itu dokter yang sedang jaga adalah dr. Indah dan dr.Hengky. Prita kemudian disarankan untuk melakukan cek darah di laboratorium. Hasil 58 59 Ibid, hlm. 183 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm.189. 126 laboratorium Rumah Sakit Omni menyatakan bahwa Prita Mulyasari harus dirawat inap karena menderita demam berdarah dengan hasil trombosit 27.000 ul. Prita Mulyasari dan keluarga pun akhirnya setuju dirawat inap kemudian diberikan berbagai macam suntikan dimana keluarga tidak mengetahui kandungan dan fungsi dari suntikan tersebut. Keesokan harinya yaitu pada tanggal 8 Agustus 2008, dr.Hengky melakukan kunjungan dan melakukan revisi terhadap hasil cek darah laboratorium yang dilakukan yaitu dari 27.000 ul menjadi 181.000 ul. Prita Mulyasari dan keluarga kemudian menanyakan bukti hasil laboratorium tersebut namun dr.Hengky mengatakan hal tersebut merupakan wewenang dari laboratorium RS Omni. Pada hari itu Prita Mulyasari tetap diberikan suntikan tanpa pemberitahuan jenis dan tujuan dilakukannya suntikan tersebut. Prita Mulyasari kemudian merasakan kesehatannya tidak kunjung membaik bahkan semakin parah. Ini terlihat dari adanya pembengkakakn di tangan kiri dan suhu badan naik hingga 39 derajat. Dalam keadaan tersebut tidak ada dokter yang melakukan kunjungan untuk melihat keadaan Prita Mulyasari. Kemudian Pada tanggal 9 Agustus 2008, Prita Mulyasari kembali dikunjungi oleh dr.Hengky yang memberikan informasi bahwa Prita Mulyasari terkena virus udara. Dr.Hengky kembali memberikan instruksi kepada perawat untuk memberikan tindakan medis berupa suntikan kepada Pasien. Sekitar Pukul 18.00 Prita Mulyasari kembali disuntik sebanyak 2 ampul yang mengakibatkan Prita Mulyasari mengalami sesak nafas selama 15 menit dan mendapatkan pertolongan oksigen. Dengan keadaan tersebut, Prita Mulyasari mengalami 127 pembengkakan di tangan kanan dan kemudian meminta kepada dokter jaga untuk melepaskan semua infus, menghentikan segala suntikan dan obat-obatan. Keesokan harinya pada tanggal 10 Agustus 2008, Prita Mulyasari kembali mengalami pembengkakan yang telah menyebar hingga leher kiri dan mata kiri. Keluarga Prita Mulyasari kemudian meminta penjelasan dari dr.Hengky terkait kejadian sesak nafas yang dialami oleh Prita Mulyasari termasuk revisi hasil cek darah di laboratorium, namun dr.Hengky kemudian menyalahkan seluruh kejadian kepada bagian laboratorium. Pada tanggal 11 Agustus 2008, Prita Mulyasari masih mengalami suhu tubuh yang tinggi yaitu 39 derajat dan berniat pindah ke rumah sakit yang lain karena merasa tidak mengalami perbaikan kesehatan di RS Omni. Prita Mulyasari kemudian meminta data medis dirinya kepada manajemen RS Omni. Sempat terjadi perdebatan namun akhirnya RS Omni memberikan data medis tersebut namun tidak disertai dengan hasil laboratorium baik yang sudah direvisi maupun yang belum direvisi. Pada tanggal 12 Agustus 2008, Prita Mulyasari kemudian memilih untuk pindah ke Rumah Sakit lain di daerah Bintaro. Di Rumah Sakit tersebut Prita Mulyasari kemudian langsung dimasukkan ke ruang isolasi karena virus yang menyerang tubuhnya dapat mudah tertular ke orang lain. Rumah Sakit tersebut mengatakan bahwa virus yang menyerang tubuh Prita Mulyasari merupakan virus yang biasa menyerang anak-anak. Prita Mulyasari kemudian merasa kesal karena ternyata dirinya bukan mengidap penyakit demam berdarah dan harus disuntik 128 dengan berbagai macam obat sehingga mengalami pembengkakan di sebagian tubuhnya. Dihari yang sama, Keluarga Prita Mulyasari kembali ke RS Omni untuk meminta hasil resmi laboratorium yang semula 27.000 ul dan berubah menjadi 181.000. Namun pihak rumah sakit menjanjikan akan mengirimkan hasil tersebut ke alamat rumah Prita Mulyasari. Ditunggu hingga sore hasil laboratorium itu tidak juga diantar sehingga keluarga Prita Mulyasari kembali mendatangani RS Omni dan merasa sangat kesal karena yang diberikan hanyalah berupa permintaan maaf atas kejadian yang tidak menyenangkan di Rumah Sakit Omni. Setelah kesehatan sudah kembali pulih, Prita Mulyasari kemudian dapat meninggalkan Rumah Sakit di daerah Bintaro tersebut. Pada tanggal 15 Agustus 2008 Prita Mulyasari kemudian menulis dan mengirimkan email pribadi dengan alamat email [email protected] dan surat elektronik terbuka pada situs [email protected] dengan judul PENIPUAN OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA TANGERANG kepada orangorang terdekatnya yang berada di mailing list email yang dimilikinya tersebut. Isi dari email tersebut terkait keluhan Prita Mulyasari terhadap pelayanan RS Omni internasional. Email ini kemudian beredar luas di dunia maya. Isi dari email Tergugat tersebut yaitu: From: prita mulyasari [mailto:prita.mulyasari@ yahoo.com] Sent: Friday, August 15, 2008 3:51 PM To: [email protected] Subject: Penipuan OMNI Iternational Hospital Alam Sutera Tangerang Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya, terutama anak-anak, lansia dan bayi. Bila anda 129 berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan titel International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan. Saya tidak mengatakan semua RS International seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB, saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala, datang ke RS. OMNI Intl dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus. Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000, saya diinformasikan dan ditangani oleh dr. Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. Dr. Indah melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000. Dr. Indah menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan tapi saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr. Indah adalah dr. Henky. Dr. Henky memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah. Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau ijin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr.Henky visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?), saya kaget tapidr. Henky terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa ijin pasien atau keluarga pasien. Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat kuatir karena dirumah saya memiliki 2 anak yang masih batita jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal. Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apapun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu box lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul. Tangan kiri saya mulai membengkak, saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr. Henky namun dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang 130 saya juga tidak tahu dokter apa, setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr. Henky saja. Esoknya dr. Henky datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi, saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah tapi dr. Henky tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali. Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr. Hengky saja. Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan. Esoknya saya dan keluarga menuntut dr. Henky untuk ketemu dengan kami namun janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr. Henky mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri saya. Dr. Henky tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan, dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr. Henky bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. Dr. Henky menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan. Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat namun saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif. Dalam catatan medis, diberikan keterangan bahwa BAB saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow upnya samasekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000. Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000, kepala lab saat itu adalah dr. Mimi dan setelah saya complaint dan marah-marah, dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut. 131 Saya mengajukan complaint tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Ogi (customer service coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan complaint, saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Ogi yang tidak ada service nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan complaint tertulis. Dalam kondisi sakit, saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen, atas nama Ogi (customer service coordinator) dan dr. Grace (customer service manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya. Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000 makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan. Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional samasekali. Tidak menanggapi complaint dengan baik, dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr. Mimi informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen dan dr. Henky namun tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore. Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular, menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak, kalau kena orang dewasa yang ke laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista. Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas. Suami saya datang kembali ke RS Omni menagiih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut. Saya telepon dr. Grace sebagai penanggung jawab compaint dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya namun sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang kerumah saya. Kembali saya telepon dr. Grace dan dia mengatakan bahwa sudah 132 dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah, ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali, dirumah saya tidak ada nama Rukiah, saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. Logikanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya kemana kan? makanya saya sebut Manajemen Omni PEMBOHONG BESAR semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang. Terutama dr. Grace dan Ogi, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard International yang RS ini cantum. Saya bilang ke dr. Grace, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami, pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni. Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap. Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah FIKTIF dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik. Saya dirugikan secara kesehatan, mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin tapi RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini. Ogi menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr. Bina) namun saya dan suami saya terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain. Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan. Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing, benar.... tapi apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan, semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis, 133 mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini. Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni, tolong sampaikan ke dr. Grace, dr. Henky, dr.Mimi dan Ogi bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini. salam, Prita Mulyasari 081513100600 prita.mulyasari@ yahoo.com Prita Mulyasari Alam Sutera Atas surat elektronik tersebut kemudian Pihak RS Omni, Dr.Hengky Gosal dan Dr.Grace Hilza Yarlen melakukan jawaban dan bantahan di Harian Media Indonesia dan Harian Kompas yang isinya: PENGUMUMAN & BANTAHAN Kami, RISMA SITUMORANG, HERIBERTUS & PARTNERS, Advokat dan Konsultan HKI, berkantor di Jalan Antara No. 45A Pasar Baru, Jakarta Pusat, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA, Dr. HENGKY GOSAL, SpPD dan Dr. GRACE HILZA YARLEN. N; Sehubungan dengan adanya surat elektronik (e-mail) terbuka dari SAUDARI PRITA MULYASARI beralamat di Villa Melati Mas Residence Blok C 3/13 Serpong Tangerang melalui email pribadi ([email protected]) kepada [email protected], dan telah disebarluaskan ke berbagai alamat email lainnya, dengan judul “PENIPUAN OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA TANGERANG”, Dengan ini kami mengumumkan dan memberitahukan kepada khalayak umum/masyarakat dan pihak ketiga, „BANTAHAN kami‟ atas surat terbuka tersebut sebagai berikut : 1. BAHWA ISI SURAT ELEKTRONIK (E-MAIL) TERBUKA TERSEBUT TIDAK BENAR SERTA TIDAK SESUAI DENGAN FAKTA YANG SEBENARNYA TERJADI (TIDAK ADA PENYIMPANGAN DALAM SOP DAN ETIK), SEHINGGA ISI SURAT TERSEBUT TELAH MENYESATKAN KEPADA PARA PEMBACA KHUSUSNYA PASIEN, DOKTER, RELASI OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM 134 2. 3. SUTERA, RELASI Dr. HENGKY GOSAL, SpPD, DAN RELASI Dr. GRACE HILZA YARLEN. N, SERTA MASYARAKAT LUAS BAIK DI DALAM MAUPUN DI LUAR NEGERI. BAHWA TINDAKAN SAUDARI PRITA MULYASARI YANG TIDAK BERTANGGUNG-JAWAB TERSEBUT TELAH MENCEMARKAN NAMA BAIK OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA, Dr. HENGKY GOSAL, SpPD, dan Dr. GRACE HILZA YARLEN. N, SERTA MENIMBULKAN KERUGIAN BAIK MATERIL MAUPUN IMMATERIL BAGI KLIEN KAMI. BAHWA ATAS TUDUHAN YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB DAN TIDAK BERDASAR HUKUM TERSEBUT, KLIEN KAMI SAAT INI AKAN MELAKUKAN UPAYA HUKUM TERHADAP SAUDARI PRITA MULYASARI BAIK SECARA HUKUM PIDANA MAUPUN SECARA HUKUM PERDATA. Demikian PENGUMUMAN & BANTAHAN ini disampaikan kepada khalayak ramai untuk tidak terkecoh dan tidak terpengaruh dengan berita yang tidak berdasar fakta/tidak benar dan berisi kebohongan tersebut. Jakarta, 8 September 2008. Kuasa Hukum Dengan adanya email keluhan dari Prita Mulyasari dan bantahan dari Pihak RS Omni tersebut, Prita Mulyasari kemudian digugat baik secara perdata maupun pidana. a. Melalui jalur perdata Pada tanggal 24 September 2008 PT Sarana Meditama Internasional yang merupakan pengelola RS Omni, Dr.Hengky Gosal, Sp.PD., dan Dr.Grace Hilza Yarlen Nela menggugat Prita Mulyasari secara perdata. Gugatan tersebut kemudian diputus oleh Pengadilan Negeri Tangerang dengan nomor register perkara 300/PDT.G/2008/PN.TNG pada tanggal 11 Mei 2009 yang memenangkan gugatan para penggugat. Prita Mulyasari divonis membayar kerugian materiil sebesar Rp.161.000.000,- (seratus enam puluh juta rupiah) sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan 135 Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk kerugian imateriil. Dengan adanya putusan tersebut Prita Mulyasari mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Banten kemudian menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang dengan putusan nomor 71/PDT/2009/PT.BTN. Isi putusan banding tersebut berupa penolakan terhadap permohonan banding Prita Mulyasari. Dalam putusan banding tersebut, Prita Mulyasari diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp.204.000.000,- (dua ratus empat juta rupiah) serta diharuskan membuat iklan permohonan maaf pada surat kabar nasional untuk sekali penerbitan. Atas putusan Pengadilan Tinggi Banten tersebut Prita Mulyasari kemudian mengajukan kasasi. Pada 29 September 2010, Majelis Kasasi Mahkamah Agung yang dipimpin Dr. Harifin Tumpa, S.H., M.H. dan H.M. Hatta Ali, S.H., M.H. serta Prof. Rehngena Purba, S.H., M.H. sebagai anggota. Dalam putusan kasasi tersebut majelis hakim mengabulkan permohonan kasasi gugatan perdata yang diajukan oleh Prita Mulyasari melawan PT Sarana Meditama Internasional dengan mengeluarkan putusan kasasi nomor 300K/PDT/2010. Dengan adanya Putusan Kasasi dari Mahkamah Agung tersebut, Prita Mulyasari dibebaskan dari seluruh tuntutan ganti rugi tersebut. b. Melalui jalur pidana Pada tanggal 5 September 2008 RS Omni, dr.Hengky dan dr.Grace melaporkan Prita Mulyasari ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Akibat adanya laporan tersebut sejak tanggal 13 Mei 2009 Prita Mulyasari kemudian ditahan sebagai tahanan kejaksaan di Lapas Wanita 136 Tangerang. Alasan penahan karena Prita Mulyasari dianggap dapat melarikan diri dan dapat menghilangkan barang bukti. Pada tanggal 2 Juni 2009 Keluarga Prita Mulyasari menerima surat perpanjangan penahanan Prita Mulyasari hingga tanggal 23 Juni 2009. Masyarakat bersimpati kepada Prita Mulyasari karena masih mempunyai balita yang membutuhkan ASI. Simpati pun terus mengalir dari semua kalangan termasuk pejabat pemerintah seperti Megawati dan Jusuf Kalla. Komisi III DPR RI bahkan meminta Mahkamah Agung untuk membatalkan tuntutan hukum atas Prita Mulyasari. Dengan banyaknya perhatian dari masyarakat dan pemerintahan, Prita Mulyasari akhirnya dibebaskan pada 3 Juni 2009 Pkl.16.20 WIB dan statusnya berubah menjadi tahanan kota. Pada 4 Juni 2009 sidang pertama pidana Prita Mulyasari disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang. Setelah proses persidangan berlangsung, pada tanggal 25 Juni 2009 Prita Mulyasari kemudian diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang dengan adanya putusan sela nomor 1269/Pid.B/2009/PN.TNG yang menyatakan bahwa Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Atas Putusan ini, Jaksa Penuntut Umum kemudian mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi Banten. Pengadilan Tinggi Banten kemudian mengabulkan perlawanan dari Jaksa Penuntut Umum. Melalui putusan sela nomor 95/Pid/2009/PT.BTN tertanggal 27 Juli 2009, majelis hakim memutuskan menerima perlawanan 137 jaksa penuntut umum dan membatalkan putusan pengadilan negeri tangerang nomor 1269/Pid.B/2009/Pn.TNG. Dengan adanya putusan sela Pengadilan Tinggi Banten tersebut, Pengadilan Negeri Tangerang harus membuka kembali sidang atas nama Prita Mulyasari hingga selesai sampai putusan. Pengadilan Negeri Tangerang kemudian kembali melanjutkan sidang Prita Mulyasari dan kemudian menjatuhkan putusan dengan nomor 1269/Pid.B/2009/PN.TNG. Isi putusan tersebut yaitu menyatakan prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, membebaskan Prita Mulyasari dari semua dakwaan dan memulihkan hak Prita Mulyasari dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Atas putusan Pengadilan Negeri Tangerang ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Pada tanggal 30 Juni 2011, Majelis hakim kasasi mahkamah agung yang dipimpin H.M. Zaharuddin Utama, S.H., M.H., dan R.Imam Harjadi, S.H., M.H., serta Dr.Salman Luthan, S.H., M.H. sebagai anggota majelis, melalui putusan kasasi nomor 822K/Pid.Sus/2010 mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum. Prita Mulyasari divonis 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 (satu) tahun. Hakim Salman Luthan dalam putusan tersebut mengajukan beda pendapat (dissenting opinion) dan menyatakan Prita Mulyasari tidak bersalah sehingga harus dibebaskan. Atas putusan ini, Prita Mulyasari menyatakan mengajukan upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali. 138 Pada 17 September 2012, Mahkamah Agung kemudian mengabulkan permohonan peninjauan kembali tersebut dengan nomor Putusan 225PK/Pid.Sus/2011. Prita Mulyasari dinyatakan bebas dan tidak terbukti telah melakukan suatu tindak pidana. 2. Kesesuaian Putusan Peninjauan Kembali Prita Mulyasari Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 dengan UUPK Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis, diketahui bahwa sepanjang diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kasus Prita Mulyasari merupakan kasus pertama yang dijerat dengan UU ITE yang sampai tahap upaya hukum peninjauan kembali.60 Keluh kesah yang berbentuk email tersebut dikirimkan Prita Mulyasari ke beberapa teman sebagai bentuk curahan hati dan kekecawaan atas pelayanan publik di RS Omni. Email yang berjudul “Penipuan Omni International Hospital Alam Sutra Tanggerang” inilah yang kemudian menjadi dasar tuntutan Jaksa Penuntutan Umum di Pengadilan Negeri Tangerang. Prita Mulyasari dituntut dengan delik pencemaran nama baik (penghinaan) sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Pasal 310 ayat (2) junco Pasal 311 ayat (1) KUHP sesuai dengan Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Tangerang Nomor Register Perkara 432/TNG/05/2009, tertanggal 20 Mei 2009. 60 Hasil Wawancara dengan Bapak Ridwan Masyur, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada 6 November 2012 139 Jika dilihat dari hubungan antara Prita Mulyasari dengan RS Omni yang merupakan hubungan konsumen dan pelaku usaha, maka permasalahan pokok yang perlu dikaji dari kasus Prita Mulyasari ini adalah apakah putusan peninjauan kembali yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim sudah sesuai dengan UUPK. Melihat pada pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam putusan nomor 225PK/Pid.Sus/2011 tertanggal 17 September 2011, maka dapat diketahui bahwa Majelis Hakim lebih mengedepankan nilai keadilan daripada sebuah kepastian hukum. Gustav Radbruch mengemukakan adanya tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum, yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, terutama nilai kemanfaatan ini akan mengarahkan hukum pada suatu saat tertentu, sehingga hukum itu mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakat.61 Nilai keadilan yang dikedepankan oleh Judex Factie maupun Judex Juris dalam kasus ini terbukti dengan menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Prita Mulyasari. Majelis Hakim berpendapat bahwa legal standing yang dari pemohon peninjauan kembali cukup beralasan untuk dikabulkannya permohonan peninjauan kembali tersebut. Majelis Hakim yang diketuai oleh Djoko Sarwoko, Surya Jaya dan Suhadi sebagai anggota, menyatakan Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan jaksa seperti dalam dakwaan kesatu, kedua, dan ketiga dan membebaskannya dari semua dakwaan. 61 Gustav Radbrunch dalam Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suyandaru Utama, Semarang, hlm.13. 140 Memulihkan hak terpidana dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabat. Dalam putusan tersebut Majelis Hakim memberikan pertimbangan bahwa dalam kasus Prita Mulyasari tersebut sangat erat kaitannya dengan kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Dalam Ketentuan Pasal 28 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) diatur bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang. Jika ekspresi berkumpul dan berpendapat Prita Mulyasari ini dianggap sebagai sebuah penghinaan, maka hal ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 28 UUD 1945. Kepala Biro Hukum dan Hak Asasi Manusia Mahkamah Agung Republik Indonesia, Ridwan Mansyur menyatakan bahwa majelis hakim dalam pertimbangannya menjadikan perlindungan atas hak asasi manusia sebagai faktor utama majelis hakim mengabulkan permohonan peninjauan kembali Prita Mulyasari. Dalam Pasal Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, ditentukan bahwa: ”Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa ada gangguan serta untuk mencari, menerima dan berbagi informasi serta gagasan melalui apapun dan tanpa mengindahkan perbatasan negara”. Lebih lanjut, kebebasan memberikan informasi dan berita yang benar kepada publik, dilindungi oleh Pasal 2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan : 141 ”Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. Kebebasan berpendapat juga dilegitimasi oleh Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan : “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.” Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menopang jalannya kehidupan demokrasi. Hak ini dijamin dan dilindungi oleh Negara. Namun, dalam rezim hukum dan hak asasi manusia, selain menjamin kebebasan berekspresi ini, negara juga menjamin hak individu atas kehormatan atau reputasi. Pengadilan lebih memilih untuk mendahulukan hak atas reputasi daripada mempertimbangkan keduanya secara seimbang dan seksama. Perlindungan terhadap hak atas reputasi tidak boleh mengancam kebebasan berekspresi. Dalam pertimbangannya majelis hakim juga berpendapat bahwa adanya pertentangan putusan di Pengadilan Negeri Tangerang dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam kasus Prita Mulyasari tersebut. Selain itu, gugatan perdata yang juga sudah diputus hingga tingkat kasasi membebaskan Prita Mulyasari dari segala tuntutan ganti rugi. Pertimbangan Judex Factie dan Judex Juris pada putusan terdahulu yang mengesampingkan kepastian hukum terhadap Prita Mulyasari menjadi 142 pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan peninjauan kembali. Majelis hakim berpendapat bahwa dengan adanya pertentangan dari putusan majelis hakim terdahulu telah menciptakan suatu celah hukum yang dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab karena putusan tersebut akan menjadi yurisprudensi bagi putusan-putusan di masa yang akan datang. Pertentangan putusan tersebut yaitu di sidang perdata Prita Mulyasari yang sudah melakukan upaya hukum hingga kasasi dinyatakan tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan suatu penghinaan. Apa yang dikatakan oleh Prita Mulyasari melalui surat elektronik merupakan suatu bentuk keluhan. Pernyataan yang ditulis tidak ada maksud untuk menghina dan bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi RS Omni, Dr.Hengky dan Dr.Grace. Di sidang pidana, pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Tangerang, Prita Mulyasari dibebaskan dari semua dakwaan karena keluhan yang dikirimkan Prita Mulyasari melalui surat elektronik merupakan suatu bentuk keluhan demi kepentingan masyarakat banyak dan fakta yang sebenarnya dialami. Pada tingkat kasasi perbuatan Prita Mulyasari tersebut kemudian dibenarkan telah menyebabkan pencemaran nama baik saksi korban, dalam hal ini Dr.Hengky dan Dr.Grace, sehingga dapat merugikan praktek para saksi korban karena pemberitaan tersebut tidak akan terhapus sampai kapan pun. Majelis Hakim Peninjauan Kembali berpendapat bahwa adanya pertentangan putusan tersebut kemudian menyebabkan tidak adanya kepastian hukum serta keadilan bagi Prita Mulyasari. Prita Mulyasari tidak melakukan suatu 143 delik penghinaan karena isi dari surat elektronik tersebut merupakan suatu keluhan yang dialamatkan demi kepentingan masyarakat berdasarkan kejadian/fakta yang dialami oleh Prita Mulyasari. Putusan peninjauan kembali Prita Mulyasari berdasarkan judex juris lebih memandang kepada nilai keadilan, tidak semata-mata pada kepastian hukum.62 Dalam kedudukannya sebagai pasien hak-hak Prita Mulyasari telah terabaikan. Salah satu hak yang telah diabaikan yaitu hak untuk mendapat informasi yang benar atas hasil diagnosa dokter terhadap pemeriksaan kondisi tubuh (sakit), oleh karena pihak RS Omni tidak memberikan respon positif saat Prita Mulyasari menanyakan perihal penyakit yang sebenarnya sedang diderita. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan : ”Hak konsumen antara lain adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa”. Prita Mulyasari juga menerima tindakan berupa infus dan berbagai suntikan, dimana tindakan-tindakan tersebut diberikan tanpa melalui penjelasan dan ijin baik dari Prita Mulyasari maupun keluarga. Prita Mulyasari kemudian meminta keterangan perihal tujuan dari berbagai suntikan dan infus yang diberikan kepada dirinya, namun pihak RS Omni tidak memberikan penjelasan, keterangan maupun jawaban terkait permintaan Prita Mulyasari tersebut. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), 62 Hasil wawancara dengan Bapak Djoko Sarwoko, Ketua Majelis Hakim Peninjauan Kembali Prita Mulyasari, Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada 6 November 2012. 144 (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang menyatakan: a. b. c. d. e. f. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasienharus mendapat persetujuan. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis, b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan, c. Alternatif tindakan lain dan resikonya, d. Resiko dan kompilasi yang mungkin terjadi. Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Selain itu, dalam Pasal 52 Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran juga mengatur bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: a) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); b) meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d) menolak.tindakan.medis;dan e) mendapatkan isi rekam medis. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas menunjukan bahwa Prita Mulyasari yang juga merupakan pasien dari RS Omni memiliki hak-hak yang sebenarnya justru direnggut oleh RS Omni, dr.Hengky dan dr.Grace yaitu hak-hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung 145 maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. Jadi ketika seorang dokter tidak memberikan pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada seorang pasien maka dokter itulah yang sebenarnya telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Prita Mulyasari, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata: ”Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut.” Selain itu, Judex Facti juga tidak mempertimbangkan maksud dari Prita Mulyasari menulis dan mengirimkan surat elektronik tersebut yang hanya ditujukan kepada kerabat/orang-orang dekat yang semata-mata hanya ditujukan untuk mengeluh dengan menceritakan fakta-fakta yang dialami langsung oleh Prita Mulyasari. Tidak ada niat untuk melakukan penghinaan, atau mencemarkan nama baik RS Omni, dr.Hengky dan dr.Grace. Hal ini menjadi tidak adil bagi Prita Mulyasari apabila dengan menceritakan fakta-fakta yang dialami sendiri oleh serta tidak adanya niat untuk melakukan penghinaan dan adanya hak asasi yang dilanggar oleh RS Omni, kemudian Prita Mulyasari dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam perkara a quo, berlaku Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Judex Facti Tingkat Pertama, dimana RS Omni mengajukan bukti fotocopy Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT Sarana Meditama International tanggal 1 Mei 2005. Hal ini telah menunjukkan bahwa RS 146 Omni adalah Pelaku Usaha. Sebagaimana yang diatur dalam UUPK pada Pasal 1 angka 1, yang berbunyi: “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorang an atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun badan badan hukum yang didirikan danberkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi” Sementara itu, Prita Mulyasari memenuhi definisi sebagai konsumen yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yangtersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Dengan demikian, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 berlaku atas Prita Mulyasari dan RS Omni. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, diatur bahwa: “Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.” Dalam perkara a quo, dr. Hengky dan dr.Grace merupakan dokter-dokter yang bertugas di RS Omni, sedangkan Prita Mulyasari adalah pasien. Hal ini menunjukkan bahwa jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dr.Hengky dan dr.Grace kepada Prita Mulyasari memenuhi definisi praktik kedokteran sebagaimana disebutkan di atas, sehingga Prita Mulyasari, dr.Hengkyu dan dr.Grace tunduk pada Undang-undang No. 29 Tahun 2004. 147 Sesuai dengan uraian fakta dari perkara a quo yang telah dijelaskan di atas, perbuatan yang dilakukan oleh Prita Mulyasari bukan merupakan Perbuatan Melawan Hukum karena sebagai Pasien pengguna jasa pelayanan kesehatan, Prita Mulyasari telah melakukan kewajibannya sesuai dengan Pasal 5 huruf c dan b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa: “beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, membayar nilai tukar yang telah disepakati” Pasal 53 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang berbunyi: “Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban: Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana kesehatan; dan Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima” Prita Mulyasari dalam perkara a quo, juga telah memenuhi hak-hak dari RS Omni, dr.Hengky dan dr.Grace sesuai dengan Pasal 6 huruf (a) UUPK yang menetapkan: “hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.” dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menetapkan: “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak: a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; 148 b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional; c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan d. menerima imbalan jasa.” Dalam putusan peninjauan kembali nomor 225PK/Pid.Sus/2011 majelis hakim tidak memberikan pertimbangan dalam kedudukan Prita Mulyasari sebagai pasien dengan alasan yang menjadi pokok perkara adalah penghinaan yang dilakukan oleh Prita Mulyasari dalam bentuk keluhan melalui surat elektronik. Majelis hakim berpendapat bahwa pokok perkara kasus Prita Mulyasari merupakan perlindungan hak asasi manusia dalam hal berpendapat, berekspresi dan mengeluarkan pikiran sehingga tidak mempertimbangkan mengenai kedudukan Prita Mulyasari sebagai seorang pasien pengguna jasa pelayanan kesehatan. 149 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Perlindungan hukum terhadap pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diantara yaitu berupa hak-hak pasien, tanggung jawab rumah sakit sebagai pelaku usaha, penyelesaian sengketa antara pasien dan pelaku usaha jasa pelayanan kesehatan dan perlindungan hak atas ganti rugi. Dokter tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha di dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada saat berada di dalam organ rumah sakit. Pada saat dokter membuka praktik kedokteran secara pribadi maka dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha sehingga kemudian tunduk terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 2. Putusan peninjauan kembali kasus Prita Mulyasari nomor 225PK/Pid.Sus/2011 belum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena majelis hakim tidak memberikan pertimbangan perlindungan hukum terhadap Prita Mulyasari dalam hal kedudukan sebagai pasien atau konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan. 149 150 Majelis hakim hanya memberikan pertimbangan sesuai dengan dakwaan dari jaksa penuntut umum. B. Saran Adapun beberapa saran penulis sehubungan dengan permasalahan hukum dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah harus membuat Undang-Undang tentang Kedudukan dan Hak Pasien sebagai suatu legitimasi yang spesifik mengatur tentang hak-hak pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran seharusnya undang-undang mengenai kedudukan dan hak pasien harus juga dibuat agar perlindungan antara dokter dan pasien dapat seimbang. 2. Bahwa majelis hakim dalam memutus perkara yang subjek hukumnya adalah dokter, rumah sakit dan pasien sebaiknya merujuk pada aturan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang merupakan payung hukum terhadap perlindungan antara pasien dan pelaku usaha jasa pelayanan kesehatan. Majelis hakim juga harus memberikan pertimbangan terhadap Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, yang tunduk terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Dokter sebagai bagian dari organ rumah sakit tunduk pada UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 151 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ashofa, Burhan, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta Halim Barkatulah, Abdul, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, FH Unlam Press, Banjarmasin Hanitijo Soemitro, Ronny, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta Kusuma Astuti, Endang, 2009, Perjanjian Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Citra Aditya Bhakti, Bandung Lubis, M. Sofyan, 2009, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Pustaka Yustisia, Yogyakarta Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta ___________, Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta Muninjaya, A.A. Gde, 2008, Manajemen Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Nasution, Az., 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta ___________, 2002, Perlindungan Konsumen; Tinjauan atas UU No.8/1999–L.N. 1999 No.42 dalam Jurnal Pusdiklat Mahkamah Agung RI Vol. 1, No.2, April 2002, Pusdiklat MA RI, Jakarta Redjeki Hartono, Sri, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen pada Era Perdagangan Bebas dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta 151 152 Shofie, Yusuf, 2009, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung Sidabalok, Janus, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya, Bandung Soekanto, Soerjono, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta Sutedi, Adrian, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia Tri Siwi Kristiyanti, Celina, 2008 Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta Triwulan Tutik, Titik, dan Shinta Febriana, 2010, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suyandaru Utama, Semarang Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Yuliati, 2005, Kajian Yuridis Perlindungin Hukum Bagi pasien dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran Berkaitan dengan Malpraktik, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang B. Skripsi Lisi, Ivan Zairani, “Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Pelayanan Kesehatan di Kota Samarinda”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2008 Destyas A,.Nicky, “Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009 153 C. Jurnal Az. Nasution, “Perlindungan Konsumen; Tinjauan atas UU No.8/1999–L.N. 1999 No.422002”, Jurnal Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Volume 1, No.2, April 2002 D. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis Peraturan Menteri Kesehatan 262/MENKES/PER/III/1979 Republik tentang Indonesia Ketenagaan Rumah Nomor Sakit Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3637) Kode Etik Kedokteran 154 E. Internet Bahasa Indonesia, Wikipedia, “Pasien”, http://id.wikipedia.org/wiki/Pasien, diakses pada 29 November 2012, Pkl. 20.35 WIB Departemen Pendidikan Republik Indonesia, Pusat Bahasa, “Pasien”, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 29 November 2012, Pkl. 20.41 WIB Departemen Pendidikan Republik Indonesia, Pusat Bahasa, “Dokter”, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 29 November 2012, Pkl. 20.51 WIB Lestari, Ira Cinta, “Pengertian Dokter dan Tugas Dokter”, http://somelus.wordpress.com/2008/11/26/pengertian-dokter-dan-tugasdokter/ diakses pada 30 November 2012, pkl.08.10 WIB Bahasa Indonesia, Wikipedia, “Rumah sakit”, diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_sakit, diakses pada 1 Desember 2012, pkl. 10.15 WIB Rachmadsyah, Shanti, “Apakah Dokter Termasuk Pelaku Usaha”, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4762/apakah-doktertermasuk-pelaku-usaha, diakses pada 3 Desember 2012, pada 19.23 WIB F. Kamus Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Edisi Keempat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Halim, Andreas, 2000, Kamus Indonesia-Inggris, Inggris-Indonesia, Fajar Mulya, Surabaya Tim The Regagere, 2009, Kamus Bahasa Belanda-Indonesia, Indonesia-Belanda, CV Diandra Primamitra Media, Yogyakarta