Uploaded by User74305

perlindungan hk pasien sbg konsumen

advertisement
ANALISIS YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PASIEN SEBAGAI PENGGUNA JASA PELAYANAN KESEHATAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Kasus Prita Mulyasari)
Tesis
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana S-2
Program Studi Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Bisnis
diajukan oleh
Agewina Lubis
11/ 322751/ PHK/ 06771
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
ANALISIS YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PASIEN SEBAGAI PENGGUNA JASA PELAYANAN KESEHATAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Kasus Prita Mulyasari)
Tesis
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana S-2
Program Studi Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Bisnis
diajukan oleh
Agewina Lubis
11/ 322751/ PHK/ 06771
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
i
TESIS
AN AL IS TSY U R ID IS TE N TA NGP E RL I NDUNG A NHUK UM T E RHA D AP
PAS IE NS E B A G A I P E N G G UNAJ A S A P E L A Y A NA NK E S E HA T A N
BE R D A S A R K A NU N D A NG - UNDA NGNO M O R8 T A HUN 1 9 9 9
TE N TA N GP ERL I NDUNG A NK O NS UM E N
(s TU D t K AS US P RI T A M UL Y A S A RT )
yang dipersiapkandan disusun oleh
Agewina Lubis
lll32275ltPIIKl0677r
telah dipertahankandi depanDewan Penguji
padatanggal 22 Maret 20 12
SusunanDewan Penguji
Penguji
Pembimbing
_/.
r,
I
[i Hernawan.S.H.. M.Hum
\
M.Hum
Tesis ini telah diterima sebagaisalahsatu persyaratan
untuk memperolehgelar Magister
ngsih,S.H.,M.Hum
StudiMasisterHukum
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pemah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaandi suatu PerguruanTinggi,
dan sepanjangpengetahuansaya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secaratertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta,22 Maret 20| 3
YangMenyatakan,
-L
Agewina Lubis
lll
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena
hanya dengan berkat dan rahmat-Nya maka penulisan hukum ini dapat selesai
dengan sempurna. Penulisan ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis
penuhi untuk mendapat gelar Magister dari Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Melalui penulisan hukum ini, penulis mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan hukum ini, yaitu:
1. Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc. selaku Rektor Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta,
2. Dr. drs. Paripurna Sugarda, S.H., M.Hum., LL.M., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
3. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program Magister
Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
4. Dr. Ari Hernawan, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing tesis, untuk setiap
bimbingan dan arahan kepada penulis,
5. Dewan Penguji tesis, Prof. Dr. Siti Ismajati Jenie, S.H., C.N. dan Pitaya, S.H.
M.Hum., atas setiap koreksi, saran serta perbaikan pada penulisan tesis ini,
6. Bapak dan ibu dosen yang telah membimbing dan memberikan bekal masa
depan untuk penulis,
iv
7. Bagian Akademik Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Mas Memet, Mas Asep, Mbak Dian yang sudah mau direpotkan dan
mendengar keluh kesah penulis,
8. Seluruh Staf Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, atas
setiap dukungan semangat dan perhatian kepada penulis,
9. Orang tua penulis, (Alm.) Angkup Lubis, S.H. dan Herli Eny Ginting, M.Ba.
yang telah dan terus memberikan doa, nasihat dan semangat kepada penulis,
10. Kakak dan abang ipar, Halasan Lubis, Hartati Lubis, Gok Maria Lubis, Anita
Lubis, Gordon Sitompul, Leo Kristofer Ginting dan Andika Widiarso
Nababan,
yang
memberikan
semangat
kepada
penulis
untuk
terus
menyelesaikan penulisan hukum ini,
11. Adik penulis, Dessy Nakarasima Lubis, untuk cinta dan kasih sayang kepada
penulis,
12. Louis Guinandra Nababan, yang memberikan suntikan semangat melalui
keceriaan dan senyuman dalam menjalani penulisan hukum ini,
13. Tonny Christian, yang sudah seperti kakak dan keluarga memberikan
semangat kepada Penulis untuk terus menyelesaikan penulisan hukum ini,
14. All Crew Saijaan 6 Yogyakarta, yang telah memberikan perhatian terhadap
tesis ini, terima kasih untuk sponsor print dan jilid,
15. All Crew Genteng Biru Club, atas semua suka duka yang sudah dialami dan
kebersamaan setiap harinya,
16. Sahabat perjuangan penulis, Magister Hukum Bisnis Angkatan 27 Universitas
Gadjah mada Yogyakarta, atas kebersamaan yang tidak terlupakan,
v
17. Pihak-pihak yang tidak dapat Penulis sebutkansatupersatu.
SemogaTuhan yang Maha Kuasa membalassetiapkebaikan dan ketulusan
dari semua pihak yang memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian
tesis ini dengan setiap limpahan berkat, rahmat dan karunia yang tidak
berkesudahan.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu sumbang saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat
penulis harapkan demi perbaikan dan penyempurnrum penulisan hukum
selanjutnya. Penulis mengharapkan kiranya penulisan hukum ini
dapat
memberikanmanfaat kepadasemuapihak.
Yogyakarta,Maret2013
M:
v1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………..
i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………… ii
HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………… iii
KATA PENGANTAR ……………………………………..……………. iv
DAFTAR ISI …………………………………………………………….
viii
INTISARI ……………………………………………………………….. xiii
ABSTRACT …………………………………………………………..…
xiv
BAB I . PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………….…….. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………. 7
C. Tujuan Penelitian …………………………………………... 7
1. Tujuan Obyektif ……………………………………….. 8
2. Tujuan Subyektif ………………………………………. 8
D. Manfaat Penelitian …………………………………………. 9
1. Manfaat Teoritis ……………………………………….. 9
2. Manfaat Praktis ………………………………………… 10
E. Keaslian Penelitian ………………………………………… 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen ………..
13
1. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen ……………… 13
vii
2. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia…………… 17
a. Pengertian Perlindungan Konsumen ………………. 20
b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ………..
22
c. Manfaat Perlindungan Konsumen ………………… 24
3. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha ……………….
25
a. Pengertian Konsumen ………………………………. 25
b. Pengertian Pelaku Usaha ……………………………. 27
4. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha………. 29
a. Hak dan Kewajiban Konsumen …………………… 29
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ………………… 33
B. Tinjauan Umum tentang Pasien sebagai Pengguna Jasa
Pelayanan Kesehatan ……………………………………… 36
1.
Pelayanan Kesehatan …………………………………. 36
2.
Pasien sebagai Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan … 38
a.
Unsur-unsur Pasien ……………………………….. 40
b.
Hak dan Kewajiban Pasien ………………………
48
3.
Pelaku Usaha dalam Penyedia Jasa
Pelayanan Kesehatan ………………………………….. 52
4.
Dokter dan Rumah Sakit sebagai Penyedia Jasa
Pelayanan Kesehatan ……………………………..……. 56
a.
Dokter sebagai Penyedia Jasa
Pelayanan Kesehatan ……………………………… 56
1) Kewajiban Dokter ……………………………. 58
2) Hak Dokter ……………………………………. 60
viii
b.
Rumah Sakit sebagai Sarana Pelayanan Kesehatan... 61
1) Jenis Rumah Sakit ............................................... 64
2) Hak dan Kewajiban Rumah Sakit ……………. 67
a) Kewajiban Rumah Sakit ................................ 69
b) Hak Rumah Sakit .......................................... 71
3) Peran Rekam Medis di Rumah Sakit ..…..……. 71
4) Hubungan hukum Rumah Sakit dengan
Dokter dan Pasien ............................................... 76
a) Hubungan hukum Rumah Sakit dan Dokter.. 76
b) Hubungan hukum Rumah Sakit dan Pasien... 78
C. Peran Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik..... 79
1. Pengertian transaksi terapeutik .................................. 79
2. Pengertian Informed Consent .................................. 80
3. Bentuk Informed Consent ......................................... 81
D. Tinjauan umum tentang Upaya Hukum Luar Biasa
Peninjauan Kembali …………………………………... 82
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Sifat Penelitian ………………………………………………. 89
B. Jenis Penelitian ………………………………………………90
1. Penelitian Kepustakaan ………………………………… 90
a.
Data ………………………………………..……… 90
b.
Bahan ……………………………………………… 90
1) Bahan Hukum Primer …………………………… 91
2) Bahan Hukum Sekunder ……………………….. 92
ix
3) Bahan Hukum Tersier …………………………. 92
2.
c.
Metode Pengumpulan Data ……………………….. 93
d.
Alat Pengumpulan data …………………………… 93
Penelitian Lapangan …………………………………… 93
a.
Data ………………………………………..……… 93
b.
Lokasi Penelitian ………………………………… 93
c.
Subjek Penelitian …………………………………. 93
d.
Metode Pengumpulan Data ……………………….. 94
e.
Alat Pengumpul Data ……………………………… 94
C. Analisis Data ……………………………………………….. 95
D. Jalannya Penelitian …………………………………………. 96
E. Hambatan Penelitian ……………………………………….. 97
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Pengguna
Jasa Pelayanan Kesehatan ………………………………….. 98
1. Tanggung jawab dokter sebagai bentuk perlindungan
hukum terhadap pasien ………………………………….. 98
a. Tanggung jawab etis ………………………………… 106
b. Tanggung jawab profesi ……………………………. 107
c. Tanggung jawab hukum …………………………… 109
1) Dalam bidang hukum perdata ………………….. 109
a) Karena wanprestasi …………………………. 109
b) Karena perbuatan melawan hukum ………… 111
x
2) Dalam bidang hukum pidana …………………… 113
3) Dalam bidang hukum administrasi ……………. 116
2. Penyelesaian sengketa antara pasien dengan
tenaga kesehatan ……………………………………….. 117
a. Di luar Pengadilan …………………………………. 118
b. Melalui Pengadilan …………………………………. 119
3. Peran lembaga konsumen swadaya masyarakat ………... 120
4. Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah ………..... 122
a. Pembinaan ………………………………………… 122
b. Pengawasan ………………………………………… 124
B. Kesesuaian Putusan Peninjauan Kembali Prita Mulyasari
Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 dengan UUPK ……………….. 125
1. Kronologi kasus Prita Mulyasari ……………………… 125
2. Kesesuaian Putusan Peninjauan Kembali
No.225PK/Pid.Sus/2011 dengan UUPK …………….
138
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………..
149
B. Saran………………………………………………………… 150
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 151
xi
ANALISIS YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PASIEN SEBAGAI PENGGUNA JASA PELAYANAN KESEHATAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Kasus Prita Mulyasari)
Oleh
Agewina Lubis1, Ari Hernawan2
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap
Pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan di dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara Putusan Peninjauan Kembali Prita
Mulyasari Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan mengandalkan data
sekunder sebagai sumber data utama. Penelitian lapangan juga dilakukan untuk
mendukung penelitian kepustakaan. Data dianalisis secara kualitatif. Hasil analisis
disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen sudah mengatur tentang perlindungan hukum
terhadap pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan, yaitu tentang hakhak pasien, tanggung jawab dokter sebagai pelaku usaha, penyelesaian sengketa
antara pasien dan pelaku usaha jasa pelayanan kesehatan dan perlindungan hak
atas ganti rugi. Putusan peninjauan kembali nomor 225PK/Pid.Sus/2011 belum
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen karena majelis hakim tidak memberikan pertimbangan perlindungan
hukum terhadap Prita Mulyasari dalam hal kedudukan sebagai pasien atau
konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan. Majelis hakim hanya memberikan
pertimbangan sesuai dengan dakwaan dari jaksa penuntut umum.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pasien, Jasa Pelayanan Kesehatan
1
2
Jl.Manisrejo RT.17 RW.39 Nomor 184 Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
xii
The Juridical Analysis of Legal Protection against Patient as The user of
Health Service based on The Act of No. 8/1999 on Consumer Protection
(A Case Study of Prita Mulyasari)
By :
Agewina Lubis1, Ari Hernawan2
ABSTRACT
This research aims to know the legal protection of the patient as users of
health services in the Act No. 8/1999 on Consumers Protection. This research also
aims to know conformity between Prita Mulyasari’s judicial review number
225PK/Pid.Sus/2011 with Act No.8/1999 on Consumer Protection.
This research is juridical normative by relying on data secondary as a
source of data main. Field research also done to support library research. The Data
were analyzed on qualitatively. The result analysis served in a descriptive.
The result showed the act of No.8/1999 on consumer protection have
arranged on the protection laws against patient as users health services, that is
about the rights of patients, the responsibility of a physician as business doers,
settlement of the dispute between the patient business players and health service
and protection of the rights of redress. The judicial review number
225PK/Pid.Sus/2011 not based on Act No.8/1999 on Consumer Protection
because the judge gave no consideration legal protection against prita mulyasari in
terms of it as a patient or consumers users health care. The judge just give
consideration in accordance with arraignment of prosecutors common.
Keywords: Protection Law, Patients, Health Care Services
1
2
Manisrejo Street, RT/RW 17/19 No.184, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta
Law Faculty of Gadjah Mada University
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
non-diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan
sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing
bangsa bagi pembangunan nasional. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya
gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian
ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan Negara.
Dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Demikian pula diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi
Manusia tahun 1948 bahwa setiap orang memiliki hak untuk memperoleh suatu
standar kehidupan yang layak dan kesehatan dan kesejahteraannya beserta
keluarganya, tercakup didalamnya pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan,
dan pelayanan sosial lainnya. Oleh karena itulah peningkatan derajat kesehatan
1
2
harus terus menerus diupayakan secara maksimal oleh penyedia jasa pelayanan
kesehatan demi peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara optimal.
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun
berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apa pun pasti menjadi konsumen
untuk suatu produk barang atau jasa tertentu.1 Menilik pada sifat dasar manusia
yang merupakan makhluk sosial (zoon politicon) maka manusia pasti
membutuhkan orang lain dalam memenuhi setiap kebutuhannya, dalam hal ini
termasuk orang yang sedang sakit membutuhkan seorang ahli untuk penyembuhan
penyakitnya.
Orang yang sedang sakit atau bisa disebut pasien, tidak dapat
menyembuhkan penyakit yang dideritanya sendiri, tidak ada pilihan selain
meminta pertolongan dari seorang ahli yang dapat menyembuhkan penyakitnya,
yaitu tenaga kesehatan. Dalam hal ini tenaga kesehatan dapat ditemui oleh pasien
di tempat-tempat yang memberikan layanan kesehatan seperti Puskesmas, Balai
Kesehatan, tempat Praktek Dokter dan Rumah Sakit.
Upaya pembangunan negara dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat setinggi-tingginya tidak terlepas dari peran serta para penyedia jasa
pelayanan kesehatan yaitu tenaga kesehatan tersebut . Dalam hal ini penyedia jasa
pelayanan kesehatan yang dimaksud yaitu rumah sakit, dokter, perawat medis
ataupun penyedia jasa kesehatan lainnya yang saling berkaitan dalam
hubungannya menjaga kesehatan para pasien. Hubungan antara dokter, rumah
1
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.5
3
sakit dan pasien inilah yang kemudian biasanya menjadi permulaan konflik.2
Konflik biasanya terjadi manakala para pihak tidak menjalankan perannya
sebagaimana yang diharapkan oleh pihak lain.
Pasien sebagai pihak yang membutuhkan pertolongan berada pada posisi
yang lemah sehingga seringkali tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan
bagi dirinya. Sebaliknya pihak penyedia jasa pelayanan kesehatan seringkali tidak
dapat menjalin komunikasi yang baik dengan pasien maupun keluarga pasien,
akibatnya hubungan yang seharusnya dapat berjalan dengan baik menjadi keadaan
yang tidak menyenangkan baik bagi pasien maupun dokter, ataupun rumah sakit.
Sejak terwujudnya sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui
adanya beberapa sifat mendasar/fundamental yang melekat secara mutlak pada
diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat,
keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial,
serta kesejawatan yang tidak diragukan.3 Di dalam Sambutan Ketua Umum Ikatan
Dokter Indonesia, Prof. Dr. dr. M. Ahmad Djojosugito, Sp.BO., M.HA, yang
dirangkum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, menyatakan bahwa salah satu
upaya untuk mencapai Indonesia Sehat adalah melalui profesionalisme dibidang
kesehatan berupa upaya untuk meningkatkan dan memelihara pelayanan
kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau. Penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang dimaksud, tentu saja belum cukup bila tidak didukung dengan
2
Yuliati, Laporan Penelitian, 2005, Kajian Yuridis Perlindungin Hukum Bagi pasien dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran
Berkaitan dengan Malpraktik, hlm. 3
3
Bagian Mukadimah, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik
Kedokteran Indonesia
4
penerapan nilai-nilai moral dan etika profesi yang tinggi. Demikian halnya
pelayanan dibidang kedokteran pelaksanaan nilai-nilai luhur profesi yaitu etik
kedokteran multlak diperlukan.4
Penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai
kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter
yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara
terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan
berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan
pemantauan
agar
penyelenggaraan
praktik
kedokteran
sesuai
dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diatur bahwa pelaku usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional,
suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara
menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. Dari pasal
tersebut kemudian dapat disimpulkan bahwa dokter, rumah sakit ataupun tenaga
kesehatan lainnya yang memberikan jasa pelayanan kesehatan tunduk pada
UUPK.
Salah satu kasus jasa pelayanan kesehatan yang banyak menarik perhatian
publik yaitu kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni Internasional
Alam Sutera (RS Omni). Kasus ini bermula oleh karena ketidakpuasan Prita
Mulyasari terhadap RS Omni yang tidak memberikan hasil laboratorium
4
Sambutan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dalam Kode Etik Kedokteran
dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia
5
pemeriksaan darah Prita Mulyasari secara transparan. Prita Mulyasari datang ke
RS Omni dengan keadaan suhu tubuh yang mencapai 39°C, yang oleh pihak
rumah sakit dicurigai mengidap penyakit demam berdarah. Dengan keadaan
tersebut kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium terkait jumlah trombosit
agar mengetahui positif atau tidaknya menderita penyakit demam berdarah. Hasil
Laboratorium menunjukkan jumlah trombosit Prita Mulyasari hanya 27.000 ul,
jauh diatas jumlah normal yaitu 200.000 ul. Namun pada malam harinya, hasil
laboratorium tersebut kemudian direvisi oleh laboratorium menjadi 181.000 ul.
Sebelum adanya revisi, Prita Mulyasari sudah diberikan suntikan dan obat-obatan
yang membuat pembengkakan dibeberapa bagian tubuh. Inilah yang kemudian
membuat Prita Mulyasari tidak puas karena saat diminta hasil cek darah
laboratorium pihak RS Omni tidak dapat menunjukkannya. Bahkan lebih lanjut
Prita Mulyasari meminta rekam medis kesehatannya untuk dapat berpindah ke
Rumah Sakit lain, oleh RS Omni diberikan rekam medis fiktif karena tidak sesuai
dengan keadaan kesehatan yang dialami oleh Prita Mulyasari.
Berbekal ketidakpuasan tersebut Prita Mulyasari kemudian membuat surat
elektronik (email) yang berjudul “Penipuan Omni Internasional Hospital Alam
Sutera Tangerang” di mailing list yang isinya mengenai kejadian yang
dialaminya di RS Omni. Banyak tanggapan dari teman-teman Prita Mulyasari
yang ada di mailing list tersebut yang kemudian email tersebut tersebar ke banyak
orang termasuk Pihak Omni dan dokter yang memeriksa. Prita Mulyasari
kemudian digugat secara perdata karena pencemaran nama baik dan dituntut
secara pidana karena melakukan penghinaan melalui surat elektronik. Gugatan
6
perdata diperjuangkan hingga tingkat kasasi dan pidana hingga tahap Peninjauan
Kembali.
Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas
informasi yang benar dan jelas. Lebih lanjut dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum, mengatur bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka
umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 19455 dan Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia6. Kemerdekaan menyampaikan pendapat
adalah hak setiap warga Negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan,
tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kasus Prita Mulyasari ini menandai bahwa kepedulian masyarakat atas
peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara optimal harus dijalankan dengan
penuh tanggung jawab, bukan semena-mena atau otoriter dari pihak Rumah sakit
ataupun dokter. Begitu banyak Rumah Sakit baik yang dikelola swasta ataupun
pemerintah telah melakukan kecenderungan liberalisasi pelayanan kesehatan
kearah industri kesehatan. Kecenderungan kearah industri kesehatan terlihat
dengan adanya konflik antara profesi medis dan profesi manajemen. Di satu
5
Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Lebih
lanjut Pasal 28E Ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat”
6
Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia menyebutkan, “Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dalam hal ini termasuk kebebasan
menganut pendapat tanpa mendapat gangguan dan untukmencari, menerima, dan
menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak
memandang batas-batas”
7
pihak, digunakan pendekatan teknik medis (medical technical), sedangkan di
pihak lain ditekankan pada aspek manajerial (manajerial aspect). Kompleksitas
rumah sakit ini menjelma dalam berbagai kegiatan yang kadang-kadang
kontradiktif dan bahkan menimbulkan konflik. Akibat adanya kecenderungan
industri kesehatan ini, sebagian anggota masyarakat, dalam hal ini konsumen
pengguna jasa kesehatan merasakan adanya konflik dalam kesehatan, yaitu dalam
bentuk profit oriented.7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
yaitu:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Pasien sebagai pengguna jasa
pelayanan kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen?
2. Apakah
Putusan
Peninjauan
Kembali
Prita
Mulyasari
Nomor
225PK/Pid.Sus/2011 sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya, maka
untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan dari suatu
penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif dan merupakan
7
Yusuf Shofie, 2009, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, hlm.140
8
pernyataan- pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono
Soekanto, 2006: 118-119).8
Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu tujuan
obyektif dan tujuan subyektif. Dalam penulisan tesis ini, tujuan obyektif dan
subyektif adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
Tujuan obyektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang
mendasari penulis dalam melakukan penulisan. Dalam penulisan tesis ini,
tujuan obyektif penulisan bertujuan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap Pasien sebagai
pengguna jasa pelayanan kesehatan di dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
b. Untuk mengetahui kesesuaian antara Putusan Peninjauan Kembali Prita
Mulyasari Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Tujuan Subyektif
Tujuan subyektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan pribadi penulis
yang mendasari penulis dalam melakukan penulisan. Dalam rencana
penulisan ini bertujuan sebagai berikut :
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang
ilmu hukum baik teori maupun praktek dalam hal ini lingkup Hukum
8
Soerjono Soekanto, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm.118-119.
9
Perlindungan Konsumen, khususnya yang menyangkut Perlindungan
Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan kesehatan.
b. Untuk melengkapi sebagian syarat akademis guna memperoleh gelar
Magister Hukum di bidang Hukum Bisnis pada Program Magister
Hukum, konsentrasi Hukum Bisnis, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar
dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Salah satu faktor pemilihan masalah dalam penelitian ini bahwa penelitian ini
dapat bermanfaat karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya
manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut. Adapun manfaat
yang diharapkan dari rencana penulisan ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teroritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang bertalian
dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari rencana penulisan
ini sebagai berikut :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya serta Hukum
Perdata mengenai perlindungan pasien pada khususnya.
10
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang perlindungan hukum terhadap pasien
sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitianpenilitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan
dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari rencana penulisan ini
sebagai berikut :
a. Menjadi wahana bagi peneliti untuk mengembangkan penalaran dan
membentuk pola pikir sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti
dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan
kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan
permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang
efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu
hukum, khususnya Hukum Perdata dalam hal perlindungan pasien.
E. Keaslian Penelitian
Sepengetahuan penulis berdasarkan hasil penelusuran di perpustakaan,
penulisan hukum atau tesis dengan Judul “Analisis Yuridis tentang
Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Pengguna Jasa Pelayanan
Kesehatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
11
Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Prita Mulyasari)” ini belum pernah
ditulis oleh siapapun dan penulisan ini merupakan hasil karya penulis bukan
merupakan hasil duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya lain. Meskipun
demikian, ada beberapa Penulisan Hukum atau tesis yang memiliki kemiripan
dalam subtansi, yaitu :
1. Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Pelayanan Kesehatan
di Kota Samarinda yang ditulis oleh Ivan Zairani Lisi tahun 2008.
Permasalahan yang diangkat berupa tindakan pasien dalam menuntut hakhaknya jika dirugikan para media dan kendala yang dihadapi pihak konsumen
(pasien) dalam menuntut hak-haknya ditinjau dari UUPK di Kota Samarinda
dan pelaksanaan perlindungan hukum bagi pasien sebagai konsumen melalui
tuntutan ke Pengadilan jika ditinjau dari UUPK.9
2. Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Jasa Pelayanan
Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta oleh Nicky Destyas A. tahun 2009, dengan permasalahan berupa
pelaksanaan pelayanan kesehatan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Sleman
kepada para pasiennya telah sesuai dengan standar mutu pelayanan yang
ditetapkan oleh Pemerintah dan perlindungan hukum bagi para pasien Rumah
Sakit Umum Daerah Sleman dalam kedudukannya sebagai konsumen jasa
pelayanan kesehatan.10
9
Ivan Zairani Lisi, 2008, Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Pelayanan
Kesehatan di Kota Samarinda, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
10
Nicky Destyas A., 2009, Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Jasa
Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
12
Berdasarkan pemaparan tentang beberapa penulisan hukum di atas maka
perbedaan yang mendasar dengan penulisan hukum ini yaitu terletak pada
permasalahan yang diangkat kedua penulis diatas lebih terfokus kepada pelayanan
terhadap pasien dan perlindungan hukum pasien di rumah sakit daerah tertentu,
sedangkan penulis lebih menitikberatkan pada perlindungan hukum bagi
pengguna jasa layanan kesehatan berdasarkan UUPK dan analisis putusan
peninjauan kembali kasus Prita Mulyasari berdasarkan UUPK.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen
Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai
jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Dengan adanya perkembangan ekonomi tersebut, konsumen
dihadapkan pada berbagai jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan
secara variatif, baik yang berasal dari produk domestik maupun dari luar
negeri. Kondisi seperti ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi
konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa yang diinginkan
dapat terpenuhi, serta semkain terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan
kemampuan konsumen.
Kondisi
perkembangan
ekonomi
tersebut
mengakibatkan
kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana
konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek
aktivitas bisnis untuk mengambil keuntungan. Hal ini bukanlah gejala
regional saja, tetapi menjadi permasalahan global dan melanda seluruh
konsumen di dunia.11 Timbulnya kesadaran konsumen akan kualitas
barang yang tidak sesuai dengan promosi yang diberikan oleh pelaku
11
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 12
13
14
usaha, kemudian membuat konsumen sadar bahwa mereka berada di pihak
yang lemah.
Perkembangan perlindungan konsumen kemudian menjadi hal
penting bagi hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Upaya untuk
melindungi konsumen yang berada di pihak yang lemah terus dilakukan.
Secara umum, upaya perlindungan konsumen di dunia dapat dibagi
menjadi empat tahap, yaitu:12
a.
Tahapan I (akhir abad ke-19)
Yang menjadi pemicu munculnya kesadaran masyarakat adalah novel
karangan Upton Sinclair yang berjudul The Jungle. Novel ini
menceritakan tentang proses pengolahan di pabrik pengolahan daging
di Amerika Serikat yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
b.
Tahapan II (Tahun 1920 – 1940)
Terdorong oleh buku karya Chase dan Schlink yang berjudul Your
Money’s Worth. Pada tahapan ini, konsumen mulai memikirkan hakhak mereka di dalam jual beli.
c.
Tahapan III (Tahun 1950 – 1960)
Pada tahap ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan
perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Oleh karena itu
pada tanggal 1 April 1960, perwakilan gerakan konsumen di Amerika
12
Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, hlm.36-37
15
Serikat,
Inggris,
Belanda,
Australia,
dan
Belgia
mendirikan
International Organization of Consumer Union yang berpusat di Den
Haag, Belanda dan kini berpusat di London, Inggris.
d.
Tahapan IV (pasca Tahun 1965)
Pada tahap ini gerakan perlindungan konsumen di tingkat regional dan
di tingkat internasional menjadi semakin mantap.
Amerika Serikat merupakan negara yang sejarah perkembangan
konsumennya sangat berpengaruh terhadap perkembangan perlindungan
konsumen di dunia. Upaya-upaya untuk melindungi konsumen telah
dilakukan oleh pemukim-pemukim pertama Amerika Serikat yang berasal
dari Inggris sejak Tahun 1200-an. Meski di negeri leluhurnya telah
berkembang upaya perlindungan konsumen, namun para imigeran asal
Inggris tersebut mendiami Benua Amerika belum terjadi gerakan
perlindungan konsumen hingga kahir abad ke-19. Pada Tahun 1891, di
New York didirikan Liga Konsumen dan pada Tahun 1898 muncul
Lembaga Konsumen Nasional (The International Consumer’s League). Di
Amerika Serikat tradisi caveat emptor (bahwa hak-hak konsumen tetap
dipertahankan oleh kesadaran masing-masing pembeli) masih sangat kuat.
Memasuki abad ke-20, terdapat upaya keras untuk melahirkan The
Food and Drugs Act dan The Meat Inspection Act. Keduanya baru berhasil
dibentuk pada tahun 1906. Sedangkan pada Tahun 1914 terbentuk komisi
yang bergerak dalam lapangan perlindungan konsumen yaitu Federal
16
Trade Commission. Pada pertengahan abad ke-20, tepatnya pada Tahun
1960-an, telah lahir satu cabang ilmu hukum yang baru yaitu hukum
konsumen. Kemudian pada tahun 1962 Presiden Amerika Serikat John F.
Kennedy menyampaikan consumer message yang memuat pokok-pokok
pikiran yang hingga kini terkenal sebagai hak-hak konsumen (consumer
bill of rights). Pada era setelah tahun 1960-an kebangkitan gerakan
perlindungan konsumen juga terjadi di negara-negara lain di dunia.
Di Indonesia, masalah perlindungan konsumen baru ditandai
dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jakarta
pada bulan Mei 1973. Lahirnya YLKI oleh karena adanya desakan dari
masyarakat untuk melindungi dirinya dari barang-barang yang bermutu
rendah sebagai akibat terjadinya promosi barang-barang produksi dalam
negeri. Pendirian yayasan ini dikarenakan adanya rasa mawas diri dari
masyarakat sebagai konsumen terhadap promosi untuk memperlancar
barang-barang dalam negeri. Atas desakan dari masyarakat, maka kegiatan
promosi ini harus diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan agar
masyarakat tidak dirugikan serta kualitas terjamin.13 Dengan terbentuknya
YLKI di Jakarta kemudian semangat untuk memberdayakan konsumen
semakin gencar, baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun
melalui tulisan-tulisan di media massa. Puncaknya adalah lahirnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK).
13
Mohammad Siddik, 2001, Filsafat Ilmu Dikaitkan dengan Undang-undang Perlindungan
Konsumen, Majalah Citra Justitia Fakultas Hukum Universitas Asahan Kisaran, hlm. 20
17
2. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil
maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya
ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi
produktifitas dan efisiensi produsen atas barang dan/atau jasa yang
dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka
mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung
ataupun tidak langsung, maka konsumen yang pada umumnya akan
merasakan dampak tersebut. Dengan demikian upaya-upaya untuk
memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen
merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari
solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya
permasalahan
yang
menyangkut
perlindungan
konsumen
dan
menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.14
Kehadiran UUPK menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum
perlindungan konsumen di Indonesia. Undang-undang ini mengatur
tentang kebijakan perlindungan konsumen, baik menyangkut hukum
materiil maupun hukum formil mengenai
penyelesaian sengketa
konsumen.15
14
Sri Redjeki Hartono, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen pada Era
Perdagangan Bebas dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hlm. 33
15
Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran, FH Unlam Press, Banjarmasin, hlm. 20
18
Keberpihakan kepada konsumen sebenarnya merupakan wujud
nyata ekonomi kerakyatan. Menurut Dj. A. Simamarmata, istilah ekonomi
kerakyatan dapat ditafsirkan setara dengan demokrasi ekonomi yang
terdapat dalam penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Menurut
penjelasan Pasal 33 tersebut, demokrasi ekonomi merupakan suatu sistem
ekonomi dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, serta di
bawah pemilikan anggota-anggota masyarakat. Oleh karena itu, dalam
praktik perdagangan yang telah merugikan konsumen, pemerintah harus
secara konsisten berpihak kepada konsumen. Kemajuan kegiatan ekonomi
perdagangan yang semakin terbuka akan memberikan banyak tantangan
bagi konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Mewujudkan perlindungan
konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama
lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen,
pelaku usaha dan pemerintah.
Konsumen yang keberadaannya sangat bervariasi menyebabkan
produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk dengan
cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang
sangat majemuk tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya tindakan yang
bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang dilakukan oleh pelaku usaha
yang pada akhirnya menempatkan konsumen dalam kedudukan yang tidak
aman. Oleh karena itu dibutuhkan perlindungan konsumen.
Dalam KUHPerdata juga terdapat ketentuan-ketentuan yang
bertendensi melindungi konsumen. Sebagai contoh yaitu pasal tentang
19
kewajiban-kewajiban penjual di dalam jual beli. Di dalam KUHD juga
terdapat ketentuan-ketentuan tentang pihak ketiga yang harus dilindungi,
tentang perlindungan penumpang atau barang muatan pada hukum
maritim, ketentuan-ketentuan mengenai asuransi, dan sebagainya. Selain
itu, di dalam hukum adat ada pula dasar-dasar yang menopang hukum
perlindungan konsumen, antara lain prinsip kekerabatan yang kuat dari
masyarakat adat yang tidak berorientasi pada konflik, yang memposisikan
setiap warganya untuk saling menghormati sesama; prinsip keseimbangan
alam; serta prinsip “terang” pada pembuatan transaksi tanah yang
mengharuskan hadirnya kepala adat atau kepala desa dalam transaksi
tanah.
UUPK bukanlah awal maupun akhir dari hukum yang mengatur
tentang perlindungan konsumen. Oleh karena itu masih terbuka
kemungkinan untuk terbentuknya undang-undang baru lain yang memuat
ketentuan-ketentuan tentang perlindungan konsumen meski telah ada
UUPK yang merupakan payung untuk mengintegrasikan dan memperkuat
penegakan hukum perlindungan konsumen karena sebelum lahirnya
UUPK, telah ada beberapa undang-undang yang materinya memuat
ketentuan-ketentuan tentang perlindungan konsumen antara lain :
a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
20
e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
f. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
g. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
h. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.16
Sedangkan setelah lahirnya UUPK, terdapat Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang di dalamnya terkandung
ketentuan-ketentuan tentang hak-hak warga masyarakat yang menjadi
konsumen jasa pelayanan kesehatan.
a. Pengertian Perlindungan Konsumen
UUPK memberikan definisi perlindungan konsumen sebagai
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Dari uraian definisi tersebut maka
terlihat bahwa ruang lingkup kaidah-kaidah hukum perlindungan
konsumen tersebar dalam berbagai bidang hukum, sehingga sulit
untuk memberikan batasan atau definisi tentang Hukum Perlindungan
Konsumen. Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja, batasan atau
16
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 18
21
definisi hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas
dan kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama lain, berkaitan dengan barang dan/atau jasa
konsumen, di dalam pergaulan hidup.
Didalam GBHN 1993 melalui Tap MPR Nomor II/MPR/1993,
Bab IV, huruf F butir 4a:
“… pembangunan perdagangan ditujukan untuk
memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka
menunjang peningkatan produksi dan daya saing,
meningkatkan pendapatan produsen, melindungi
kepentingan konsumen…”
Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan
martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang
dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha
yang jujur dan bertanggung jawab. Pelindungan konsumen yang
dijamin oleh UUPK adalah adanya kepastian hukum terhadap segala
perolehan kebutuhan konsumen.
Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan
hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau
menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh
pelaku
usaha.
meningkatkan
Pemberdayaan
kesadaran,
konsumen
kemampuan,
itu
dan
adalah
dengan
kemandiriannya
22
melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan
martabat konsumen.
b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Di dalam Pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan
konsumen di Indonesia haruslah berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian
hukum. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut, perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5
(lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas
keseimbangan
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan
pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
23
konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar, baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
Tujuan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dengan jelas disebutkan dalam Pasal 3 yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
c. Meningkatkan
pemberdayaan
konsumen
dalam
memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
24
c. Manfaat Perlindungan Konsumen
Manfaat Perlindungan Konsumen adalah :
1) Balancing Position
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen.
Dengan
Indonesia
diharapkan
diterapkan
perlindungan
kedudukan
konsumen
konsumen
yang
di
tadinya
cenderung menjadi sasaran pelaku usaha untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya menjadi subyek yang sejajar dengan
pelaku usaha. Dengan posisi konsumen yang demikian maka akan
tercipta kondisi pasar yang sehat dan saling menguntungkan bagi
konsumen karena dapat menikmati produk-produk yang berkualitas
dan bagi produsen karena tetap mendapatkan kepercayaan pasar
yang tentunya akan mendukung kelangsungan usahanya di masa
mendatang.
2) Memberdayakan Konsumen
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat
kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih rendah,
sehingga perlu adanya upaya pemberdayaan. Proses pemberdayaan
harus dilakukan secara integral baik melibatkan peran aktif dari
pemerintah, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
maupun dari kemampuan masyarakat sebagai konsumen untuk
lebih mengetahui hak-haknya. Jika kesadaran konsumen akan hak-
25
haknya semakin baik maka konsumen dapat ditempatkan pada
posisi
yang
sejajar
yaitu
sebagai
pasangan
yang
saling
membutuhkan dan menguntungkan.
3) Meningkatkan Profesionalisme Pelaku Usaha
Perkembangan dunia industrialisasi dan kesadaran konsumen yang
semakin baik menuntut pelaku usaha untuk lebih baik dalam
menjalankan usahanya secara profesional. Hal itu harus dijalankan
dalam keseluruhan proses produksi. Pelaku usaha juga harus
mengubah orientasi usahanya yang selama ini cenderung untuk
mendapatkan keuntungan jangka pendek dengan memperdaya
konsumen sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan
mematikan usahanya. Selain itu pelaku usaha dalam menjalankan
usahanya harus memperhatikan kejujuran, keadilan serta etika
dalam menjalankan usahanya. Semua itu dilakukan agar pelaku
usaha dapat tetap eksis dalam menjalankan usahanya.
3. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha
a. Konsumen
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (InggrisAmerika) atau “consument” (Belanda). Secara harafiah, konsumen
26
dapat diartikan sebagai seorang yang membeli barang atau
menggunakan jasa.17
Pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga
bagian, terdiri atas:18
1.
Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau
pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;
2.
Konsumen antara, yaitu pemakai pengguna dan/atau pemanfaat
barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi
barang dan/atau jasa lain atau untuk memperdagangkan
(distributor), dengan tujuan komersial (sama dengan pelaku
usaha);
3.
Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat
barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri
sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk
diperdagangkan kembali.
Ketiga jenis konsumen diatas masing-masing memiliki kepentingan
dan tujuan yang berbeda-beda dalam hal penggunaan barang dan
atau jasa. Dalam Pasal 1 UUPK yang berbunyi :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi
17
Az. Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta,
hlm.3
18
Az. Nasution, 2002, Perlindungan Konsumen; Tinjauan atas UU No.8/1999 – L.N. 1999 No.42
dalam Jurnal Pusdiklat Mahkamah Agung RI Vol. 1, No.2, April 2002, Pusdiklat MA RI,
Jakarta, hlm.44
27
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Kalimat “tidak untuk diperdagangkan” menunjukkan bahwa
konsumen yang dimaksud UUPK adalah konsumen akhir. Hal ini
juga diperjelas dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK yaitu :
“Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen
akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah
pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,
sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses
produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen
dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.”
Orang yang dimaksudkan dalam undang-undang ini wajiblah
merupakan orang alami dan bukan badan hukum. Sebab yang dapat
memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau
jasa untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan,
hanyalah orang alami atau manusia.19
b. Pelaku Usaha
Di dalam Pasal 1 angka 3 UUPK telah diberikan pengertian
mengenai pelaku usaha, yaitu :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
19
Ibid, hlm. 47.
28
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi.”
Pengertian pelaku usaha yang tercantum dalam undang-undang
tersebut memiliki cakupan yang luas karena produsen atau pelaku
usaha tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat produk saja,
tetapi juga pihak-pihak yang terkait dengan penyampaian/peredaran
produk hingga sampai ke tangan konsumen, antara lain para agen,
distributor, serta jaringan-jaringan yang melaksanakan fungsi
pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada
masyarakat luas selaku pemakai barang dan/atau jasa.
Cakupan luas pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut
memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam
Masyarakat Eropa terutama Belanda, yaitu bahwa produsen adalah
pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku;
pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya
sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda
pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk
asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud
untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau
bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan, pemasok
(supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak
dapat ditentukan. Makna luas yang tercakup di dalam pengertian
29
tersebut diharapkan dapat memudahkan konsumen dalam menuntut
ganti kerugian.20
4. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
a.
Konsumen
Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dapat
terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung
terjadi apabila antara pelaku usaha dengan konsumen langsung
terikat karena perjanjian yang mereka buat atau karena ketentuan
undang-undang. Kalau hubungan itu terjadi dengan perantaraan
pihak lain, maka terjadi hubungan tidak langsung. Hubungan antara
pelaku usaha dengan konsumen pada dasarnya berlangsung terus
menerus dan berkesinambungan. Hubungan ini terjadi karena
keduanya saling membutuhkan dan bahkan saling terindependensi.
Hubungan pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan
hukum yang melahirkan hak dan kewajiban.
Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dalam salah satu
pidatonya mengemukakan empat hak konsumen, yaitu :
1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety);
2. Hak memilih (the right to choose);
3. Hak mendapat informasi (the right to be informed);
4. Hak untuk didengar (the right to be heard).
20
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo
Persada, jakarta, hlm.9
30
Masyarakat Ekonomi Eropa juga menetapkan hak-hak dasar
konsumen (bagi masyarakat Eropa), yaitu :
1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan;
2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi;
3. Hak mendapat ganti rugi;
4. Hak untuk didengar.
Di indonesia hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 dan
Pasal 5 UUPK. Adapun hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4
UUPK yaitu :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang ebnar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketea perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
31
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat
bahwa masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen
merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan
konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak
memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau
membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk
diedarkan dalam masyarakat. Untuk menjamin bahwa suatu barang
dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun
tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen
diberikan
hak
untuk
memilih
barang
dan/atau
jasa
yang
dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar,
jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan,
konsumen berhak untuk didengar mempeorleh advokasi, pembinaan,
perlakuan yang adil sampai ganti rugi.21
21
Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 30
32
Hak-hak dalam UUPK diatas merupakan penjabaran dari
pasal-pasal UUD 1945 yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu
Pasal 27 ayat (2) dan juga Pasal 33 yaitu:
Pasal 27 ayat (2)
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 33
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas azas kekeluargaan,
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara,
c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK yaitu :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
33
Kewajiban konsumen tersebut dimaksudkan agar konsumen sendiri
dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau
kepastian hukum bagi dirinya.
b.
Pelaku Usaha
Dalam menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku
usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan
kepada konsumen, kepada para pelaku usaha diberikan hak
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK yaitu :
a. Hak
untuk
menerima
pembayaran
yang
sesuai
dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai
dengan kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang
34
diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat
menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan atau jasa yang
diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut
harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan atau jasa yang
sama. Dalam praktik yang biasa terjadi, suatu barang dan atau jasa
yang kualitasnya lebih rendah daripada barang yang serupa, maka
para pihak menyepakati harga yang lebih murah.
Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah
harga yang wajar konsekuensi dari hak konsumen maka kepada
pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 UUPK, yaitu :
a.
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
d.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
35
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam
hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam
Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Di dalam UUPK Pelaku Usaha diwajibkan beritikad baik
dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen,
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembeli
barang dan/atau jasa. Dalam UUPK tampak bahwa itikad baik lebih
ditekankan kepada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan
dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan
kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang
dirancang/diproduksi
sampai
pada
tahap
setelah
penjualan,
sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
36
Bersumber dari adanya itikad baik dari pelaku usaha, maka
pelaku usaha akan melakukan kewajiban-kewajiban yang lainnya,
seperti memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur,
memberlakukan atau elayani konsumen dengan benar, menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan lain sebagainya.
Demikian
jelas
bahwa
kewajiban-kewajiban
tersebut
merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang
ditargetkan untuk menciptakan budaya tanggung jawab pada diri
pelaku usaha.
B. TINJAUAN UMUM TENTANG PASIEN SEBAGAI PENGGUNA
JASA PELAYANAN KESEHATAN
1. Pelayanan Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis. Pelayanan kesehatan terdiri atas pelayanan kesehatan
perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat.22 Pelayanan kesehatan
perseorangan adalah setiap kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit, dan memulihkan kesehatan.23 Ada beberapa macam
pelayanan kesehatan, yaitu :
22
23
Pasal 52 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Praktik Kedokteran
37
1. Pelayanan Kesehatan Promotif
Suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih
mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
2. Pelayanan Kesehatan Preventif
Suatu kegiatan pencegahan terhadap masalah kesehatan/penyakit.
3. Pelayanan Kesehatan Kuratif
Suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan
untuk penyembuhan penyakit, pegurangan penderitaan akibat penyakit,
pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita
dapat terjaga seoptimal mungkin.
4. Pelayanan Kesehatan Rehabilitatif
Kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita
ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota
masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuannya.
5. Pelayanan Kesehatan Tradisional
Pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada
pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat.
38
2. Pasien sebagai Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan
Pasien merupakan salah satu unsur penting dalam hubungan pelayanan
kesehatan yang terjalin. Pasien atau pesakit adalah seseorang yang menerima
perawatan medis. Sering kali, pasien menderita penyakit atau cedera dan
memerlukan bantuan dokter untuk memulihkannya. Kata pasien dari Bahasa
Indonesia analog dengan kata patient dari Bahasa Inggris. Patient diturunkan dari
Bahasa Latin yaitu patiens yang memiliki kesamaan arti dengan kata kerja pati
yang artinya menderita.24 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pasien diartikan
sebagai orang sakit (yang dirawat dokter), penderita (sakit).25
Demikian halnya dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasien adalah setiap orang yang melakukan
konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit. Lebih
lanjut, dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran memberikan arti pasien sebagai setiap orang yang melakukan
konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter
gigi.
Dalam Pasal 1 angka 2 UUPK diberikan definisi konsumen yaitu setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, ataupun makhluk hidup lain dan
24
25
http://id.wikipedia.org/wiki/Pasien, diakses pada 29 November 2012, Pkl. 20.35 WIB
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 29 November 2012, Pkl. 20.41 WIB
39
tidak untuk diperdagangkan.26 Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang
dimaksud konsumen adalah konsumen akhir.
Pasien tentu akan berhubungan dengan pihak ketiga, baik itu dokter
maupun tempat pelayanan kesehatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan.
Harus diakui bahwa hubungan pasien dengan tenaga kesehatan pada umumnya,
khususnya hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik yang
meliputi hubungan medik, hubungan hukum, hubungan non-hukum, hubungan
ekonomi
dan
hubungan
sosial.
Hubungan-hubungan
tersebutlah
yang
mengakibatkan adanya perbedaan pandangan dalam mengartikan pasien. Sebagian
orang berpendapat bahwa pasien dapat digolongkan sebagai konsumen dan dokter
sebagai pelaku usaha dalam bidang kesehatan, sehingga aturan-aturan yang ada
dalam UUPK berlaku bagi hubungan dokter dan pasien. Dengan demikian, pasien
dikategorikan sebagai konsumen atau pengguna jasa medis. Hal tersebut
dikarenakan ada hubungan timbal balik antara pasien dan konsumen yaitu pelaku
usaha memberikan jasa dan konsumen memperoleh jasa dan membayar imbalan
atas jasa tersebut.
Menurut M. Sofyan Lubis bahwa hubungan antara pelaku usaha dan
konsumen khusus di bidang ekonomi harus dibedakan dengan hubungan antara
dokter dengan pasien di bidang kesehatan (hubungan pelayanan kesehatan).
Dengan demikian kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Undang-Undang
26
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen
40
Perlindungan Konsumen tidak dapat begitu saja diberlakukan dalam hubungan
dokter dengan pasien.27 M.Sofyan Lubis juga menyebutkan bahwa:
Pasien secara yuridis tidak dapat diidentikkan dengan
konsumen, hal ini karena hubungan yang terjadi di antara
mereka bukan merupakan hubungan jual-beli yang diatur dalam
KUHPerdata dan KUHD, melainkan hubungan antara dokter
dengan pasien hanya merupakan bentuk perikatan medik, yaitu
perjanjian “usaha” (inspanning verbintenis) tepatnya perjanjian
usaha kesembuhan (terapeutik), bukan perikatan medik “hasil”
(resultaat verbintenis), disamping itu profesi dokter dalam etika
kedokteran masih berpegang pada prinsip “pengabdian dan
kemanusiaan”, sehingga sulit disamakan antara pasien dengan
konsumen pada umumnya.28
Undang-Undang dalam bidang kesehatan tidak menggunakan istilah
konsumen dalam menyebutkan pengguna jasa rumah sakit (pasien). Tetapi untuk
dapat mengetahui kedudukan pasien sebagai konsumen atau tidak, maka dapat
dibandingkan pengertian pasien dan konsumen.
a. Unsur-unsur pasien
Adapun unsur-unsur pengertian konsumen yang kemudian dibandingkan
dengan unsur-unsur dalam pengertian pasien yaitu:
1) Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang
berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah orang
sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual
27
28
M.Sofyan Lubis, 2008, Konsumen dan Pasien dalam Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 23
Ibid, hal. 38
41
yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan
hukum (rechtspersoon). Pasien adalah setiap orang dan bukan
merupakan badan usaha, karena pengobatan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan adalah untuk kesehatan bagi diri pribadi orang
tersebut bukan untuk orang banyak. Kesehatan adalah sesuatu hal
yang tidak bisa untuk diwakilkan kepada orang lain maupun badan
usaha manapun.
2) Pemakai
Kata Pemakai sesuai dengan Penjelasan Pasal 1 angka (2)
UUPK menekankan bahwa konsumen adalah konsumen akhir
(ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan
dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang
dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual
beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan
prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang
dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara
konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity
of contract).29 Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer)
tetapi
semua
orang
(perorangan
mengonsumsi jasa dan/atau barang.
29
A.Z.Nasution, op.cit, hal.5.
atau
badan
usaha)
yang
42
Dengan demikian, yang paling penting adalah terjadinya
suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan
barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam
menggunakannya.30 Dan bila kita melihat dalam hal pelayanan
kesehatan maka peralihan jasa terjadi antara dokter kepada pasien.
Pasien merupakan pemakai atau pengguna jasa pelayanan kesehatan
di rumah sakit maupun di tempat praktik dokter. Dan setelah pasien
mendapatkan jasa dari tenaga kesehatan, maka kemudian akan terjadi
transaksi ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung
berupa pembayaran atas jasa yang telah diperoleh.
3) Barang dan/atau jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai
pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini
produk sudah berkonotasi barang atau jasa. UUPK mengartikan
barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud,
baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun
tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah
dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan.31
30
31
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., hal.28.
Ibid, hal. 29
43
UUPK memberikan definisi jasa sebagai setiap layanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat
untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian disediakan bagi
masyarakat, menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada
masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang. Jika demikian
halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak
tercakup dalam pengertian tersebut.32
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk jasa sesuai
dengan
pengertian
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
tersebut, hal ini karena pelayanan kesehatan menyediakan prestasi
berupa pemberian pengobatan kepada pasien yang disediakan untuk
masyarakat luas tanpa terkecuali. Secara umum, jasa pelayanan
kesehatan mempunyai beberapa karakteristik yang khas yang
membedakannya dengan barang, yaitu:33
a. Intangibility, jasa pelayanan kesehatan mempunyai sifat tidak
berbentuk, tidak dapat diraba, dicium, atau dirasakan. Tidak dapat
dinilai (dinikmati) sebelum pelayanan kesehatan diterima (dibeli).
Jasa juga tidak mudah dipahami secara rohani. Jika pasien akan
menggunakan (membeli) jasa pelayanan kesehatan, ia hanya dapat
memanfaatkannya saja, tetapi tidak dapat memilikinya.
32
33
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit.,hlm.14.
A.A. Gde Muninjaya, 2008, Manajemen Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
hlm.237-238
44
b. Inseparability, produk barang harus diproduk dulu sebelum dijual,
tetapi untuk jasa pelayanan kesehatan, produk jasa harus
diproduksi secara bersamaan pada saat pasien meminta pelayanan
kesehaatan. Dalam hal ini, jasa diproduksi bersamaan pada saat
pasien meminta pelayanan kesehatan.
c. Variability, jasa juga banyak variasinya (nonstandardized output).
Bentuk, mutu, dan jenisnya sangat tergantung dari siapa, kapan,
dan di mana jasa tersebut diproduksi. Oleh karena itu, mutu jasa
pelayanan kesehatan yang people based dan high contact
personnel sangat ditentukan oleh kualitas komponen manusia
sebagai faktor produksi, standar prosedur selama proses
produksinya, dan sistem pengawasannya.
d. Perishability, jasa merupakan sesuatu yang tidak dapat disimpan
dan tidak tahan lama. Tempat tidur Rumah Sakit yang kosong,
atau waktu tunggu dokter yang tidak dimanfaatkan oleh pasien
akan hilang begitu saja karena jasa tidak dapat disimpan. Selain
itu, di bidang pelayanan kesehatan, penawaran dan permintaan
jasa sangat sulit diprediksi, karena tergantung dari ada tidaknya
orang sakit. Tidak etis jika Rumah Sakit atau dokter praktik
mengharapkan agar selalu ada orang yang jatuh sakit.
45
4) Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat
sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang makin
kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh
masyarakat
konsumen.
Misalnya,
perusahaan
pengembang
(developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih
dulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi
konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang
diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.34
Jasa pelayanan kesehatan tentunya merupakan hal yang
tersedia di masyarakat, bahkan disediakan oleh pemerintah.
Ketersediaan pelayanan kesehatan merupakan salah satu hal yang
harus diperhatikan oleh pemerintah, karena mewujudkan masyarakat
yang sehat adalah merupakan salah satu program pemerintah. Dalam
satu daerah pasti tersedia puskesmas, rumah sakit, bahkan tempat
praktik dokter. Jadi jasa pelayanan kesehatan merupakan sesuatu hal
yang tersedia di dalam masyarakat.
5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk
hidup lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan
34
Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm.8
46
dalam
definisi
itu
mencoba
untuk
memperluas
pengertian
kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri
sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu
diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya),
bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari
sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari
kepentingannya.35
Unsur kepentingan ini bukanlah merupakan unsur pokok,
karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa
(terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak
terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang yang membeli makanan
untuk kucing peliharaannya, misalnya berkaitan dengan kepentingan
pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat. Begitu juga
dalam hal jasa pelayanan kesehatan, kepentingan kesehatan dapat
berguna untuk dirinya, keluarganya, orang lain atau makhluk hidup
lain. Karena kesehatan merupakan hak dasar alamiah manusia dan
mahluk hidup lain.
6) Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni
hanya konsumen akhir (end consumer) dan sekaligus membedakan
dengan konsumen antara (derived/intermediate consumer). Dalam
35
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hlm.6.
47
kedudukan sebagai intermediate consumer, yang bersangkutan tidak
dapat menuntut pelaku usaha berdasarkan UUPK.36
Peraturan perundang-undangan negara lain, memberikan
berbagai perbandingan. Umumnya dibedakan antara konsumen
antara dan konsumen akhir. Dalam merumuskannya, ada yang secara
tegas mendefinisikannya dalam ketentuan umum perundangundangan tertentu, ada pula yang termuat dalam pasal tertentu
bersama-sama
dengan
pengaturan
sesuatu
bentuk
hubungan
hukum.37 Umumnya dalam hal pelayanan kesehatan, pasien
merupakan konsumen akhir. Hal ini karena berdasarkan sifat dari
jasa pelayanan kesehatan salah satunya adalah tidak berbentuk, tidak
dapat diraba, dicium, disentuh, atau dirasakan. Karena pelayanan
tidaklah berbentuk, maka pelayanan tersebut tidak mungkin dapat
diperdagangkan kembali. Pelayanan kesehatan adalah pelayanan
yang baru dapat dirasakan apabila pasien mendapat pelayanan
kesehatan baik secara langsung maupun tidak dari tenaga kesehatan.
Berdasarkan penjelasan dari unsur-unsur konsumen dan
dengan dikaitkan dengan pasien, maka menurut penulis pasien juga
dapat dikategorikan sebagai konsumen, yaitu konsumen jasa
pelayanan kesehatan (medis), karena unsur-unsur pengertian
konsumen telah terpenuhi dalam pengertian pasien. Ketentuan di atas
menjelaskan bahwa apabila dikaitkan dengan jasa pelayanan medis,
36
37
Ibid, Hal.7
Shidarta, Op.Cit, hal.9-10
48
dapat diartikan sebagai layanan atau prestasi kesehatan yang
dilakukan oleh dokter dan disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan pasien sebagai konsumen. Dengan kata lain bahwa
pengertian pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis adalah
setiap orang pemakai jasa layanan atau prestasi kesehatan yang
dilakukan oleh dokter dan disediakan bagi masyarakat.
b. Hak dan Kewajiban Pasien
Menurut Declaration of Lisbon (1981) The Rights of the Patient,
disebutkan beberapa hak pasien, diantaranya hak memilih dokter, hak
dirawat dokter yang bebas, hak menerima atau menolak pengobatan
setelah menerima informasi, hak atas kerahasiaan, hak mati secara
bermartabat, hak atas dukungan moral atau spiritual. Setiap pasien
mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas pelayanan yang
diterimanya. Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran
seperti yang sudah diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, mempunyai kewajiban:
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;
d. Memberikan imbalan atas pelayanan yang diterima.
49
Hak Pasien dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit yaitu sebagai berikut:
1. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit;
2. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
3. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
4. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
5. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
6. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
7. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
8. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter
lain (second opinion) yang mempunyai Surat ijin Praktik (SIP) baik
di dalam maupun di luar rumah sakit;
9. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya;
10. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
11. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan
50
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan
yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
12. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
13. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
14. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit;
15. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit
terhadap dirinya;
16. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan
agama dan kepercayaan yang dianutnya;
17. Menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana; dan
18. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, Pasien dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran,
mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3), yaitu :
51
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
a. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
b. Alternatif tindakan lain dan resikonya;
c. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
d. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. Menolak tindakan medis;
5. Mendapat isi rekam medis.
Terkait rekam medis, di dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 diatur tentang:
1. Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan.
2. Isi rekam medis merupakan milik pasien.
3. Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk
ringkasan rekam medis.
4. Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi
kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang
berhak untuk itu.
52
3.
Pelaku Usaha dalam Pemberian Jasa Pelayanan Kesehatan
Pasal 1 ayat (3) UUPK mengatur bahwa definisi pelaku usaha adalah:
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi
Penjelasan pasal ini selanjutnya menyatakan bahwa yang termasuk dalam
pengertian pelaku usaha di undang-undang ini adalah perusahaan, korporasi,
BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Di dalam Pasal 13 ayat (2) UUPK mengatur lebih lanjut bahwa seorang
pelaku usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan
obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan
kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa
lain. Dari rumusan pasal ini dapat disimpulkan bahwa jasa pelayanan kesehatan
merupakan salah satu produk jasa yang dilindungi oleh UUPK. Dengan demikian,
pada saat seorang dokter memberikan jasa pelayanan kesehatan, dan menerima
pembayaran untuk jasa yang diberikannya tersebut, seorang dokter dapat disebut
sebagai pelaku usaha.
Hal ini juga dinyatakan oleh Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia, dokter termasuk dalam jasa profesional, dan oleh
karena itu termasuk sebagai pelaku usaha dalam perlindungan konsumen.38
38
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4762/apakah-dokter-termasuk-pelaku-usaha,
diakses pada 3 Desember 2012, pada 19.23 WIB
53
Dalam dunia medis, maka pengertian pelaku usaha dibedakan dalam 2
(dua) kategori, yaitu:39
1. Badan usaha dalam hal ini rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan institusi
pelayanan kesehatan lainnya.
2. Orang atau perseorangan yaitu tenaga kesehatan.
Tenaga Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan yaitu setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan untuk melakukan upaya
kesehatan. Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan diatur mengenai definisi tenaga kesehatan yaitu setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Karena rumusan
tenaga kesehatan itu meliputi setiap orang, perlu dirinci lebih lanjut siapa saja
yang masuk dalam kualifikasi sebagai tenaga kesehatan.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan yang dimaksud dengan tenaga
kesehatan ialah terdiri dari:
1. tenaga medis (dokter dan dokter gigi);
2. tenaga keperawatan;
3. tenaga kefarmasian;
39
Titik Triwulan Tutik & Shinta Febriana, 2010, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta, hlm.18.
54
4. tenaga kesehatan masyarakat;
5. tenaga gizi;
6. tenaga keterapian fisik; dan
7. tenaga kesehatan medis.
Dalam
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
262/MENKES/PER/III/1979 tentang Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah, ada
tiga kategori yang dikenal, diantaranya:
a. Tenaga medis yaitu dokter ahli, dokter umum, dokter gigi, dan lain-lain.
b. Tenaga paramedis perawatan yaitu penata rawat, perawat kesehatan, bidan,
perawat khusus, dan lain-lain.
c. Tenaga paramedis non-perawatan yaitu asisten apoteker, fisioterapi, penata
rontgen dan lain-lain.
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola
hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak
dari prinsip “father knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat
paternalistik4.
Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat yaitu
kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap
mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan
penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga
pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.
55
Hubungan hukum timbul bila pasien menghubungi dokter karena ia
merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan
psikobiologis memberikan peringatan bahwa pasien merasa sakit, dan dalam hal
ini dokter yang dianggap mampu menolong pasien, dan memberikan bantuan
pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien, dan
peranannya lebih penting daripada pasien.
Dokter berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan
paternatistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai “bapak yang baik”,
yang secara cermat, hati-hati untuk menyembuhkan pasien. Dalam mengupayakan
kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh Lafal Sumpah dan Kode Etik
Kedokteran Indonesia.
Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap
pasien ini mengandung baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak
positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat
membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya
dapat juga timbul dampak negatif, apabila tindakan dokter yang berupa langkahlangkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakantindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah
perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola
hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual.
Hubungan ini melahirkan aspek hukum horisontal kontraktual yang
bersifat “inspanningsverbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara 2
(dua) subyek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan
56
hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak
menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari hubungan
hukum
itu
berupa
upaya
dokter
berdasarkan
ilmu
pengetahuan
dan
pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien.
4.
Dokter dan Rumah Sakit sebagai Penyedia Jasa Pelayanan Kesehatan
a. Dokter sebagai Penyedia Jasa Pelayanan Kesehatan
Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin
sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya
memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut hukum
dalam pelayanan kesehatan.40 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
dokter merupakan lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal
penyakit dan pengobatannya.41
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran mengatur bahwa dokter dan dokter gigi adalah dokter,
dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Lebih lanjut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran diberikan definisi
mengenai praktik kedokteran yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
40
Endang Kusuma Astuti, 2009, Perjanjian Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah
Sakit, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.17.
41
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 29 November 2012, Pkl. 21.51 WIB
57
dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya
kesehatan.
Penyelenggaran praktik kedokteran yang merupakan inti dari
berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus
dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang
tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus menerus harus
ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan,
sertifikasi,
registrasi,
lisensi,
serta
pembinaan,
pengawasan,
dan
pemantauan agara penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini
apabila seorang dokter tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien, dokter wajib merujuk pasien
kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Secara operasional, definisi dokter adalah seorang tenaga kesehatan
yang menjadi tempat kontak pertama pasien dengan dokternya untuk
menyelesaikan semua masalah kesehatan yang dihadapi tanpa memandang
jenis penyakit, organologi, golongan usia, dan jenis kelamin, sedini dan
sedapat mungkin, secara menyeluruh, paripurna, bersinambung, dan dalam
koordinasi serta kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya, dengan
menggunakan prinsip pelayanan yang efektif dan efisien serta menjunjung
tinggi tanggung jawab profesional, hukum, etika dan moral. Layanan yang
58
diselenggarakannya adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang
diperolehnya selama pendidikan kedokteran.
Kompetensi yang harus dicapai seorang dokter meliputi tujuh area
kompetensi atau kompetensi utama yaitu:
1. Keterampilan komunikasi efektif.
2. Keterampilan klinik dasar.
3. Keterampilan menerapkan dasar-dasar ilmu biomedik, ilmu klinik, ilmu
perilaku dan epidemiologi dalam praktik kedokteran.
4. Keterampilan pengelolaan masalah kesehatan pada indivivu, keluarga
ataupun
masyarakat
denga
cara
yang
komprehensif,
holistik,
bersinambung, terkoordinasi dan bekerja sama dalam konteks
Pelayanan Kesehatan Primer.
5. Memanfaatkan, menilai secara kritis dan mengelola informasi.
6. Mawas diri dan mengembangkan diri/belajar sepanjang hayat.
7. Menjunjung tinggi etika, moral dan profesionalisme dalam praktik.42
Ketujuh area kompetensi itu sebenarnya adalah kemampuan dasar seorang
dokter yang menurut WFME (World Federation for Medical Education)
disebut “basic medical doctor”.
1) Kewajiban Dokter
Setiap Dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dokter. Seorang dokter harus senantiasa
42
Basic Medical Doctor, World Federation for Medical Education, diakses melalui
http://somelus.wordpress.com/2008/11/26/pengertian-dokter-dan-tugas-dokter/
pada
30
November 2012, pkl.08.10 WIB
59
berupaya melaksanakan profesinya sesuai standar profesi yang
tertinggi. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter
tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatgkan hilangnya
kebebasan
dan
kemandirian
profesi.
Setiap
dokter
harus
menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Seorang
dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya,
disertai
rasa
kasih
sayang
(compassion)
dan
penghormatan atas martabat manusia.
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan
dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien. Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Dalam melakukan
pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan
yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik
fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran, Kewajiban seorang dokter yaitu:
60
1. Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar
operasional prosedur serta kebutuhan medis.
2. Apabila tidak tersedia alat kesehatan atau tidak mampu melakukan
suatu
pemeriksaan/pengobatan,
bisa
merujuk
pasien
ke
dokter/sarana kesehatan lain yang mempunyai kemampuan lebih
baik.
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan setelah pasien itu meninggal dunia.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang mampu melakukannya.
5. Mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.
2) Hak Dokter
Hak seorang dokter seperti yang diatur dalam Pasal 50 UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yaitu:
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai standar profesi dan standar operasional prosedur.
2. Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar
operasional prosedur.
3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya.
4. Menerima imbalan jasa.
61
b. Rumah Sakit sebagai Sarana Pelayanan Kesehatan
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya.
Selama abada pertengahan, rumah sakit juga melayani banyak fungsi di luar
rumah sakit yang kita kenal di zaman sekarang, misalnya sebagai penampungan
orang miskin atau persinggahan musafir. Istilah hospital (rumah sakit) berasal dari
kata latin, hospes (tuan rumah), yang juga menjadi akar kata hotel dan hospitality
(keramahan).43 Sejarah perkembangan rumah sakit di Indonesia pertama sekali
didirikan oleh VOC tahun 1626 dan kemudian juga oleh tentara Inggris pada
zaman Raffles terutama ditujukan untuk melayani anggota militer beserta
keluarganya secara gratis. Jika masyarakat pribumi memerlukan pertolongan,
kepada mereka juga diberikan pelayanan gratis.44
Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian
integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan
pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan
pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan
pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit, yang dimaksudkan dengan rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat.
43
44
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_sakit, diakses pada 1 Desember 2012, pkl. 10.15 WIB
ibid
62
Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan
kepada:
a.
Nilai kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang dimaksud yaitu penyelenggaran Rumah Sakit
dilakukan dengan memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan
tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial dan ras.
b. Nilai etika dan profesionalitas
Nilai etika dan profesionalitas yang dimaksud adalah bahwa penyelenggaraan
rumah sakit dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki etika profesi dan
sikap profesional serta mematuhi etika rumah sakit.
c.
Nilai manfaat
Nilai manfaat yang dimaksud adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit
harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
d. Nilai keadilan
Nilai keadilan yang dimaksud adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit
mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang
dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu.
e.
Nilai persamaan hak dan anti diskriminasi
Nilai persamaan hak dan anti diskriminasi yang dimaksud adalah bahwa
penyelenggaran rumah sakit tidak boleh membedakan masyarakat baik secara
individu maupun kelompok dari semua lapisan.
63
f.
Nilai pemerataan,
Nilai pemerataan yang dimaksud adalah bahwa penyelenggaraan Rumah
Sakit menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
g.
Nilai perlindungan dan keselamatan pasien
Nilai perlindungan dan keselamatan pasien yang dimaksud adalah bahwa
penyelenggaraan rumah sakit tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan
semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan
dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.
h. Fungsi sosial rumah sakit
Fungsi sosial rumah sakit yang dimaksud adalah bagian dari tanggung jawab
yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik
dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/tidak
mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,
fungsi rumah sakit adalah:
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan seuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3. Penyelenggaaan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatn.
64
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahan bidang kesehatan.
Dimana untuk menyelenggarakan fungsinya, Rumah sakit menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
c. Pelayanan medis,
d. Pelayanan dan asuhan keperawatan,
e. Pelayanan penunjang medis dan nonmedis,
f. Pelayanan kesehatan kemasyarakatan dan rujukan,
g. Pendidikan, penelitian dan pengembangan,
h. Administrasi umum dan keuangan.
1) Jenis Rumah Sakit
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) diberikan definisi mengenai
rumah sakit yaitu institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Asas dan tujusn
diselenggarakannya Rumah Sakit adalah berasaskan Pancasila dan
didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat,
keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan
dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
65
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yaitu setiap kegiatan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara, meningkatkan
kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, dan memulihkan
kesehatan. Di dalam Pasal 7 UU Rumah Sakit diatur bahwa rumah sakit
harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya
manusia, kefarmasian, dan peralatan. Rumah sakit dapat didirikan oleh
Pemerintah, Pemerintah daerah, atau swasta. Rumah sakit yang didirikan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus berbentuk Unit Pelaksana
Teknis dari instansi yang bertugas di bidang kesehatan, instansi tertentu,
atau lembaga teknis daerah dengan pengelolaan Badan Layanan umum
atau Badan Layanan Umum Daerah. Rumas sakit yang didirikan oleh
swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya
bergerak di bidang perumahsakitan. Hal ini dimaksudkan untuk
melindungi usaha rumah sakit agar terhindar dari risiko akibat kegiatan
usaha lain yang dimiliki oleh badan hukum pemilik rumah sakit.
Di dalam Pasal 18 UU Rumah Sakit diatur bahwa rumah sakit
dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya, yaitu:
1. Berdasarkan
jenis
pelayanan
yang
diberikan,
Rumah
Sakit
dikategorikan dalam:
a.
Rumah Sakit Umum,
memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis
penyakit;
66
b.
Rumah Sakit Khusus,
memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis
penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ,
jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
2. Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dapat dibagi menjadi:
a.
Rumah Sakit Publik;
Dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan
hukum yang bersifat nirlaba. Badan hukum nirlaba adalah badan
hukum yang sisa hasil usahanya tidak dibagikan kepada pemilik,
melainkan digunakan untuk peningkatan pelayanan, yaitu antara
lain Yayasan, perkumpulan dan Perusahaan Umum. Rumah Sakit
yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah diselenggarakan
berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau badan
Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Rumah
sakit
publik
yang
dikelola
Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan menjadi
Rumah Sakit Privat.
b. Rumah Sakit Privat,
Dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk
perseroan terbatas atau persero.
67
Selain kedua bentuk diatas, Rumah sakit dapat ditetapkan menjadi
rumah sakit pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar rumah
sakit pendidikan. Rumah sakit pendidikan ditetapkan oleh menteri setelah
berkoordinasi dengan menteri yang membidangi urusan pendidikan.
Rumah sakit pendidikan merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan
pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi
kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga
kesehatan lainnya. Dalam penyelenggarakan Rumah Sakit Pendidikan
dapat dibentuk jejaring Rumah Sakit Pendidikan.
Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara
berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus
diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan Rumah
Sakit.
Klasifikasi Rumah Sakit Umum terdiri atas:
a.
Rumah Sakit Umum Kelas A,
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima)
spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga
belas) subspesialis.
b.
Rumah Sakit Umum Kelas B,
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat)
68
spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua)
subspesialis dasar.
c.
Rumah Sakit Umum Kelas C,
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 (empat
spesialis penunjang medik;
d.
Rumah Sakit Umum Kelas D,
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.
Rumah Sakit khusus mempunyai klasifikasi:
a. Rumah Sakit Khusus Kelas A,
Rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling
sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis
sesuai kekhususan yang lengkap.
b. Rumah Sakit Khusus Kelas B;
Rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling
sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis
sesuai kekhususan yang terbatas.
c. Rumah Sakit Khusus Kelas C,
Rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan paling
sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis
sesuai kekhususan yang minimal.
69
2) Kewajiban dan Hak Rumah Sakit
a) Kewajiban Rumah Sakit
Berdasarkan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit, setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
a. memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit
kepada masyarakat;
b. memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi,
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan Rumah Sakit;
c. memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya;
d. berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana,
sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
e. menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau
miskin;
f. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas
pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa
uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian
luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
g. membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;
h. menyelenggarakan rekam medis;
70
i. menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana
ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita
menyusui, anak-anak, lanjut usia;
j. melaksanakan sistem rujukan;
k. menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi
dan etika serta peraturan perundang-undangan;
l. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan
kewajiban pasien;
m. menghormati dan melindungi hak-hak pasien;
n. melaksanakan etika Rumah Sakit;
o. memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
p. melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik secara
regional maupun nasional;
q. membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau
kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;
r. menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital
by laws);
s. melindungi dan memberikan bantuan hokum bagi semua petugas
Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
t. memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa
rokok.
71
b) Hak Rumah Sakit
Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009 Tentang Rumah mengatur tentang hak dari tiap Rumah Sakit yaitu:
a. menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya manusia sesuai
dengan klasifikasi Rumah Sakit;
b. menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi,
insentif,
dan
penghargaan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan;
c. melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan
pelayanan;
d. menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian;
f. mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan;
g. mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah Sakit sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit
yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan.
3) Peran Rekam Medis di Rumah Sakit
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam medis (Permenkes Rekam
72
Medis), diatur mengenai definisi rekam medis yaitu berkas yang berisikan
catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan,
tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Secara
sederhana dapat dikatakan rekam medis adalah, kumpulan tentang
keterangan mengenai identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan, dan catatan
segala kegiatan pelayanan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu.
Catatan ini baik berupa tulisan maupun gambar dan belakangan ini dapat
pula berupa rekaman elektronik, seperti komputer, micro film dan rekaman
suara. Rekam medis oleh Walter and Murphy45 didefinisikan sebagai
kompendium atau ikhtisar yang berisikan informasi tentang keadaan
pasien selama dalam perawatan penyakitnya atau selama dalam
pemeliharaan kesehatannya.
Berdasarkan Pasal 2 Permenkes Rekam Medis, Rekam medis harus
dibuat secara tertulis, lengkas dan jelas secara elektronik. Rekam medis
untuk pasien rawat jalan saranan pelayanan kesehatan sekurang-kurangnya
memuat:
a. Identitas pasien;
b. Tanggal dan waktu
c. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kuranganya keluhan dan
riwayat penyakit;
d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
e. Diagnosis;
45
Sofwan Dahlan, 2000, Hukum Kesehatan. Rambu-Rambu bagi Profesi Dokter, BP Undip,
Semarang, hlm.73.
73
f. Rencana penatalaksanaan;
g. Pengobatan dan/atau tindakan;
h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien;
i. Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik;
j. Persetujuan tindakan apabila diperlukan.
Isi rekam medis untu pasien rawat inap dan perawatan satu hari sekurangkurangnya memuat:
a. Identitas pasien;
b. Tanggal dan waktu;
c. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dari riwayat
penyakit;
d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
e. Diagnosis;
f. Rencana penatalaksanaan;
g. Pengobatan dan/atau tindakan;
h. Persetujuan tindakan bila diperlukan;
i. Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan;
j. Ringkasan pulang;
k. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan
tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;
l. Pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu;
m. Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik.
74
Isi dekam medis untuk pasien gawat darurat, sekurang-kurangnya memuat:
a. Identitas pasien;
b. Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan;
c. Identitas pengantar pasien;
d. Tanggal dan waktu;
e. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat
penyakit;
f. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
g. Diagnosis;
h. Pengobatan dan/atau tindakan;
i. Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit
gawat darurat dan rencana tindak lanjut;
j. Nama dan tanda tangan dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan
tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan;
k. Saranan transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan
dipindahkan ke sarana pelayanan kesehatan lain;
l. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran wajib membuat rekam medis. Rekam medis dibuat segera dan
dilengkapi setelah pasien menerima pelayanan. Pembuatan rekam medis
dilaksanakan melalui pencatatan dan pendokumentasian hasil pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada
pasien.
75
Untuk mendukung peningkatan mutu dan peran rekam medis
dalam pelayanan kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia juga menerbitkan
fatwa Ikatan Dokter Indonesia tentang rekam medis, dalam surat
keterangan nomor 315/PB/A.4/88, yang menekankan bahwa praktik
profesi kedokteran harus melaksanakan rekam medis. Fatwa ini tidak saja
untuk dokter yang bekerja di rumah sakit, tetapi juga untuk dokter praktik
pribadi.
Ikhtisar tersebut berupa informasi yang disusun dalam bentuk
rangkaian yang runtun serta logis (logical sequence), meliputi:
a) Riwayat penyakit sekarang maupun yang lalu;
b) Faktor sosial yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit (jenis
pekerjaan, perkawinan atau konflik);
c) Temuan pada pemeriksaan fisik;
d) Hasil pemeriksaan laboratorium;
e) Temuan atau kesimpulan dari dokter kosnultan;
f) Diagnosis;
g) Terapi, respons terapi, dan sebagainya.
Dalam pelayanan kedokteran atau kesehatan, terutama yang
dilakukan dokter, baik di rumah sakit maupun pratik pribadi, peranan
pencatatan rekam medis sangat penting dan sangat melekat pada kegiatan
pelayanan. Dengan demikian ada ungkapan bahwa rekam medis adalah
orang ketiga pada saat dokter menerima pasien.
76
Catatan atau rekaman itu menjadi sangat berguna untuk
mengingatkan kembali dokter dan keadaan hasil pemeriksaan dan
pengobatan yang telah diberikan apabila pasien datang kembali untuk
berobat ulang setelah beberapa hari, bulan, bahkan setelah beberapa tahun
kemudian. Dengan adanya rekam medis maka ia bisa mengingat dan
mengenali pada saat pasien diperiksa sehingga dapat melakukan strategi
pengobatannya.
4) Hubungan Hukum Rumah Sakit dengan Dokter dan Pasien
a) Hubungan Hukum Rumah Sakit dan Dokter
Dalam lalu lintas perhubungan hukum yang terjadi dalam
masyarakat sebagai suatu sistem sosial, Rumah Sakit merupakan organ
yang mempunyai kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum
(rechtshandeling). Rumah sakit bukan manusia, dalam arti “persoon”
yang dapat berbuat dalam lalu lintas hukum dalam masyarakat sebagai
manusia (natuurlijk persoon), melainkan rumah sakit diberi kedudukan
menurut hukum sebagai persoon dan karenanya rumah sakit merupakan
rechtpersoon. Hukum yang telah menjadikan rumah sakit sebagai
rechtspersoon dan oleh karena itu rumah sakit juga dibebani dengan
hak dan kewajiban hukum atas tindakan yang dilakukannya. Dalam
kemandiriannya untuk berbuat hukum sebagai subjek hukum inilah
rumah sakit melibatkan orang-orang yang menyandang profesi
kedokteran atau tenaga kesehatan yang tidak hanya terdiri atas para
77
dokter dan dokter gigi, tetapi juga semua jenis tenaga kesehatan
sebagaimana menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Dokter yang bekerja di Rumah Sakit swasta dapat digolongkan
sebagai dokter tamu dan dokter tetap/karyawan rumah sakit swasta.
Dalam hal dokter sebagai seorang karyawan rumah sakit maka dalam
menjalankan tugasnya harus berdasarkan keahlian serta diikat oleh etik
profesi masing-masing, bekerja berdasarkan “arbeids overeenkomst”.
Dalam hal dokter di Rumah Sakit Pemerintah maka dokter tersebut
harus
tundak
pada
undang-undang
kepegawaian
dan
hukum
administrasi negara.
Dalam kaitannya dengan rumah sakit, para tenaga kesehatan itu
berada dalam hubungan pekerjaan dengan rumah sakit sebagai tempat
untuk menyelenggarakan tugas profesinya. Apabila dokter dalam
melakukan pekerjaan telah merugikan hak-hak pasien, pengurus rumah
sakit dapat memberikan perintah kepada dokter agar hal tersebut jangan
terulang kembali di kemudian hari. Pengurus rumah sakit ini bukan
hanya berhak untuk memberhentikan seorang dokter jika tidak
mematuhi peraturan-peraturan rumah sakit atau organisasi, melainkan
juga jika dokter tersebut sudah tidak memenuhi kewajibannya.
Atas dasar adanya suatu hubungan kerja, kebebasan bagi para
dokter itu tidak meniadakan pertanggungjawaban dari pemberi
pekerjaan menurut hukum perdata. Pengurus dari suatu rumah sakit
78
tidak berwenang memerintah seorang dokter untuk melakukan
perawatan terhadap seorang pasien tertentu, ini tidak berarti bahwa
rumah sakit yang bersangkutan dapat melepaskan diri dari kerugian
yang ditimbulkan tindakan yang dilakukan oleh dokter tersebut (Pasal
1403 dan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW).
Adanya tanggung jawab seperti ini merupakan alasan bagi rumah sakit
untuk menuntut para dokter agar bekerja sesuai dengan standar-standar
tertentu, agar mereka itu memerhatikan hak-hak dari para pasien dan
kewajiban-kewajiban kemasyarakatan mereka, serta untuk mengadakan
penelitian mengenai tindakan-tindakan medis yang dilakukan oleh para
dokter.
b) Hubungan Hukum Rumah Sakit dan Pasien
Di dalam hubungan antara sarana penyedia layanan kesehatan
dan pasien dikenal adanya prinsip konsumerisme dan prinsip
profesionalisme.
Dalam
prinsip
konsumerisme
diatur
bahwa
kepentingan corporate lebih dipentingkan dari pasien, ada hukum yang
bersifat saklek/tidak ada empati, dan ada persaingan finansial antara
rumah sakit dengan pasien. Hal ini terlihat dalam hubungan antara
rumah sakit dan pasien pada saat rumah sakit tersebut berbentuk badan
hukum atau perseroan terbatas. Dalam hal ini Rumah Sakit akan lebih
mementingkan mencari keuntungan dari pada berempati terhadap
penyakit yang diderita pasien.
79
Berbeda halnya dengan prinsip profesionalisme yang mengatur
bahwa dalam suatu hubungan antara pelaku usaha dan konsumen harus
didasarkan pada empati, tidak ada persaingan finansial dan kedudukan
dokter tidak lebih tinggi dari pasien. Kedudukan dokter adalah sejajar
dengan pasien, dimana dokter melakukan suatu tindakan medis
berdasarkan keluhan yang diberikan oleh pasien dan informed consent.
Prinsip profesionalisme inilah yang tercermin dalam hubungan antara
pasien dengan dokter pada saat dokter menjadi bagian dari organ rumah
sakit.
C. Peran Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik
1. Pengertian transaksi terapeutik
Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dilaksanakan
dengan rasa kepercayaan dari pasien terhadap dokter disebut dengan istilah
transaksi terapeutik.46 Dalam transaksi terapeutik, yang menjadi objek
adalah upaya penyembuhan. Hal ini sering disalahtafsirkan oleh
masyarakat awam bahwa kesembuhan pasien yang menjadi objek transkasi
terapeutik. Objek transaksi terapeutik adalah upaya dokter bukan
kesembuhan pasien karena jika kesembuhan pasien dijadikan objek, akan
lebih menyudutkan dokter.47
46
47
Al Purwohadiwardoyo, 1989, Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, hlm.13.
Endang Kusuma Astuti, op.cit., hlm.97.
80
2. Pengertian informed consent
Informed consent atau persetujuan tindakan medis adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. Definisi ini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan republik
Indonesia Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medis.
Pada hakikatnya, informed consent adalah suatu pemikiran bahwa
keputusan
pemberian
pengobatan
terhadap
pasien
harus
terjadi
berdasarkan kerjasama antara dokter dan pasien.
Untuk dapat dilakukan tindakan medis tertentu, baik berupa
diagnostik maupun terapeutik, maka diperlukan informed consent yang
merupakan konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan,
baik oleh dokter maupun pasien setelah masing-masing menyatakan
kehendaknya sehingga masing-masing telah menyatakan informasi secara
bertimbal balik. Oleh karena itu, informed consent diartikan sebagai
persetujuan setelah informasi.
Persetujuan lisan yang diberikan oleh orang yang berhak sudah
cukup bagi dokter untuk dijadikan dasar bagi intervensi medis, dapat pula
diberikan dalam bentuk sirata, yaitu dengan menunjukkan sikap-sikap
yang memberi kesan setuju. Kedua cara ini dapat merepotkan dokter jika
dibelakang hari diingkari, kecuali ada saksi yang ikut menyaksikan.
Keberadaan saksi nontenaga kesehatan saat dokter memberikan penjelasan
81
sampai pasien menyatakan persetujuannya dipersoalkan dari aspek
konfidensialitas medis. Persetujuan ini mempunyai kekuatan mengikat,
dalam arti mempunyai kekuatan hukum, berarti dokter telah menjalankan
kewajibannya memberikan informasi dan memberikan hak kepada dokter
untuk melakukan tindakan medis.
3. Bentuk Informed Consent
a.
Informed consent yang dinyatakan secara tegas
(1)Informed consent yang dinyatakan secara lisan
Dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak berisiko,
misalnya pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan penunjang
medis. Tindakan medis yang mengandung risiko, misalnya
pembedahan, informed consent dilakukan secara tertulis dan
ditandatangani oleh pasien.
(2)Infromed consent yang dinyatakan secara tertulis
Secara tertulis adalah bentuk yang paling tidak diragukan karena jika
dilakukan secara lisan juga sah, kecuali syarat hukum tertentu yang
menuntut informed consent harus tertulis untuk prosedur tertentu.
Jadi informed consent dapat dinyatakan secara lisan, bahkan dapat
dinyatakan dengan sikap menyerah pada prosedur yang telah
dispesifikasikan.
82
b. Informed consent yang dinyatakan secara diam-diam/tersirat
Informed consent juga dianggap ada, hal ini dapat tersirat pada gerakan
pasien yang diyakini oleh dokter, misalnya dengan anggukan kepala,
maka dokter dapat menangkap bahwa pasien setuju. Persetujuan lisan
yang diberikan oleh orang yang berhak sudah cukup bagi dokter untuk
dijadikan bagi intervensi medis.
D. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan kembali
Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang
dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan putusan
Pengadilan tingkat yang lebih rendah oleh Pengadilan yang lebih tinggi, di
mana kesalahan atau kekeliruan tersebut merupakan kodrat manusia,
termasuk Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara. Menyadari
kemungkinan adanya kesalahan atau kekeliruan tersebut, maka UndangUndang memberikan kesempatan dan sarana bagi para pencari keadilan
untuk memperoleh keadilan sesuai dengan tahapan hukum acara yang
berlaku.
Pemeriksaan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata diatur dalam Pasal
66 sampai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung, sedangkan dalam perkara pidana diatur dalam
Pasal 263 sampai dengan 269 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
hukum acara pidana. Baik permohonan/permintaan peninjauan kembali yang
83
diatur dalam perkara perdata maupun yang diatur dalam perkara pidana,
hanya dapat diajukan 1 (satu) kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 66
ayat (1) Undang-Undang 14 Tahun 1985 dan Pasal 268 ayat (3) UndangUndang No.8 Tahun 1981. Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa
terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan
kembali.
Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menentukan bahwa terhadap putusan Pengadilan
yang
telah
memperoleh
kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam
Undang-Undang. Bahwa yang dimaksud dengan hal atau keadaan tertentu
antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya
kekhilafan atau kekeliruan Hakim dalam menerapkan hukumnya.
Permohonan peninjauan kembali yang hanya dapat diajukan 1 (satu)
kali tersebut, dipertegas dalam Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang No.14
Tahun 1985 yang menentukan bahwa Mahkamah Agung memutus
permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir. Pasal
34 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 menentukan bahwa Mahkamah
Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada
tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV
84
Bagian Keempat Undang-Undang ini. Putusan Pengadilan yang dimaksud
tersebut dapat berupa putusan Pengadilan tingkat pertama, tingkat banding
maupun putusan kasasi. Berdasarkan Pasal 66 ayat (2) yang menentukan
permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan Pengadilan serta Pasal 68 ayat (1) yang menentukan,
permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak
yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara
khusus dikuasakan untuk itu.
Pada dasarnya Pemohon peninjauan kembali dapat mencabut
permohonannya yang diajukan ke Mahkamah Agung, asalkan permohonan
tersebut belum diputus oleh Mahkamah Agung, tetapi dalam hal permohonan
peninjauan kembali sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak
dapat diajukan lagi. Meskipun Pasal 66 ayat (2) tersebut tidak
menangguhkan eksekusi akan tetapi dalam keadaan yang sangat mendasar
dan beralasan, permohonan peninjauan kembali secara kasuistis dan
eksepsional dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menunda atau
menghentikan eksekusi, misalnya alasan yang dikemukan benar-benar
didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna sehingga dapat
diduga bahwa Majelis Hakim yang akan
peninjauan
kembali
tersebut
memeriksa
besar kemungkinan akan dikabulkan.
Misalnya dalam putusan perkara pidana yang telah
tetap,
menyatakan
surat
perdata tersebut adalah palsu.
jual
permohonan
beli
berkekuatan
hukum
yang dipergunakan pada putusan
85
Dalam perkara perdata hanya permohonan peninjauan kembali yang
sangat mendasar yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menunda atau
menghentikan eksekusi antara lain apabila alasan peninjauan kembali yang
diajukan tersebut:
a. benar- benar sesuai dengan salah satu alasan yang ditentukan
dalam Pasal
67
Undang-Undang
No.14
Tahun
1985
jo
Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No.3
Tahun 2009
b. alasan yang dikemukakan didukung oleh fakta atau bukti yang
jelas dan sempurna
c. dapat diduga bahwa Majelis Hakim yang akan memeriksa
peninjauan kembali tersebut kemungkinan akan mengabulkannya.
Kriteria inilah yang seharusnya dipegang sebagai tolok ukur untuk
menilai apakah suatu permohonan peninjauan kembali memang cukup
mendasar atau tidak. Dengan berpegang pada kriteria tersebut, diharapkan
sudah dapat memudahkan untuk menilai apakah pantas atau tidak untuk
menunda suatu eksekusi atas alasan peninjauan kembali.
Alasan peninjauan kembali dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 263
KUHAP yang menentukan :
1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung.
86
2. Permohonan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan
lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut Umum tidak
dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana
yang lebih ringan.
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan
yang
dinyatakan
telah
terbukti
itu,
ternyata
telah
bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3. Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap
suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Adapun perbedaan dasar dan alasan pemeriksaan kembali yang diatur
dalam Pasal 67 Undang-Undang No.14 Tahun 1985 jo Undang-Undang No.5
Tahun 2004 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2009 dengan yang diatur dalam
Pasal 263 KUHAP tersebut adalah tidak terlepas dari perbedaan sifat perkara
perdata dan perkara pidana antara lain seperti hal-hal yang berkaitan dengan
87
sesuatu yang dituntut (petitum) dalam perkara perdata tidak ada dalam perkara
pidana. Di samping itu untuk perkara perdata ditentukan tenggang waktu 180
hari terhitung sejak ditemukan kebohongan atau ditemukan bukti baru, atau sejak
putusan berkekuatan
hukum tetap dan diberitahukan kepada pihak, sedangkan
untuk perkara pidana tidak ada tenggang waktu seperti itu.
Permintaan peninjauan kembali sebagaimana ditentukan dalam Pasal
263 ayat (1) tersebut di atas ditujukan kepada Terpidana atau ahli warisnya,
sedangkan yang tersebut dalam ayat 3 Pasal 263 tidak disebutkan pihak
mana (apakah Terdakwa/ahli warisnya ataukah Jaksa/Penuntut Umum) yang
dapat mengajukan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti
oleh suatu pemidanaan. Apabila perbuatan yang didakwakan tersebut
dinyatakan terbukti akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak
pidana, maka putusan Hakim akan berbunyi “melepaskan Terdakwa dari segala
tuntutan hukum”. Tetapi apabila perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan
terbukti dan perbuatan yang terbukti tersebut jelas merupakan suatu tindak
pidana sebagaimana yang didakwakan kepada Terdakwa maka menurut hukum
Terdakwa seharusnya dipidana.
Oleh karena itu Pasal 263 ayat (3) ini seharusnya ditujukan kepada
Jaksa/Penuntut
Umum.
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
Jaksa/Penuntut Umum juga mempunyai hak untuk mengajukan permintaan
peninjauan kembali hanya sepanjang apabila perbuatan Terdakwa telah
dinyatakan terbukti di persidangan tersebut adalah merupakan suatu tindak
88
pidana akan tetapi ternyata tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Hal seperti
itu tentu sangat jarang terjadi, kecuali kalau Hakim keliru sehingga tidak
menyebutkan pemidanaan tersebut dalam amar putusan sehingga putusan
tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekeliruan yang nyata.
Putusan
yang
mengabulkan
permohonan
peninjauan
kembali
menggunakan sebutan “mengadili kembali” berbeda dengan kasasi yang hanya
menyebut “mengadili”.
Sebutan
“mengadili kembali” menunjukkan
bahwa pada pemeriksaan
peninjauan kembali Mahkamah Agung bertindak sebagai judex factie bukan
semata-mata sebagai judex juris. Dengan demikian pada pemeriksaan
peninjauan kembali, Majelis Hakim dapat mempertimbangkan fakta disamping
memeriksa penerapan hukum.
89
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal adalah penelitian hukum
yang mempergunakan sumber data sekunder.48
Penelitian ini didasarkan pada penelitian kepustakaan tetapi untuk
melengkapi data yang diperoleh dari penelitian yang bersifat normatif
dilakukan penelitian yang bersifat empiris yang didasarkan pada penelitian di
lapangan. Hasil dari penelitian ini akan disajikan dalam suatu kaporan yang
bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif karena dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis
mengenai asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, doktrin dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan yuridis
normatif, yaitu meneliti asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, dan
sistematika hukum dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data
sekunder. Untuk menunjang dan melengkapi fakta yang ada, maka dilakukan
pula Penelitian Lapangan guna memperoleh data primer secara langsung dari
subjek penelitian.
48
Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm.24.
89
90
Karena itu titik berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan,
yang berarti akan lebih banyak menelaah dan mengkaji data sekunder yang
diperoleh dari penelitian dan tidak diperlukan penyusunan atau perumusan
hipotesis.49
B. Jenis Penelitian
Penelitian Hukum ini didasarkan pada penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh
data sekunder dan bertujuan untuk mencari kaedah atau norma dengan
metode penemuan hukum. Di sisi lain penelitian lapangan digunakan untuk
memperoleh data primer dengan cara melakukan penelitian langsung ke
lapangan serta bertujuan untuk memperoleh fakta mengenai perilaku dari
subjek hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
1. Penelitian Kepustakaan
a. Data
Data yang digunakan dalam penelitian kepustakaan ini yakni berupa
data sekunder. Data sekunder adalah data yang sudah tersedia berupa
kaedah atau norma hukum serta putusan pengadilan.
b. Bahan
Bahan hukum sebagai data sekunder dalam penelitian kepustakaan ini
diperoleh melalui perpustkaan, peraturan perundang-undangan dan
49
Soerjono Soekanto Soerjono dan Sri, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.53.
91
tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan yang
diteliti dan terdapat dalam :
1) Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan bersifat mengikat berupa peraturan perundangundangan, perjanjian Internasional dalam bentuk traktat dan
konvensi yang dalam hal ini terdiri dari:50
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen;
e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
f) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
g) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
h) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
i) Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1948
j) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis
k) Kode Etik Kedokteran
50
Burhan Ashofa, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 103
92
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Secara rinci mengenai judul buku
dan penulis buku terdapat di daftar pustaka dan footnote atau
catatan kaki. Bahan hukum sekunder dalam dalam penelitian ini,
terdiri dari :
a) Buku-buku yang membahas tentang Hukum Perlindungan
Konsumen,
b) Buku-buku dan tulisan ilmiah yang berhubungan dengan pasien,
malpraktik, praktik kedokteran, rumah sakit, dan jasa di bidang
kesehatan,
c) Buku-buku yang membahas mengenai metodologi penelitian
d) Internet, yaitu literatur yang berhubungan dengan hukum
perlindungan konsumen khususnya pasien dan jasa di bidang
kesehatan
3) Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang bersifat
menunjang bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari :
a) Kamus Hukum karangan Yan Pramadya Puspa,
b) Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Tim Penyusunan
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
c) Kamus Bahasa Belanda karangan S. Wojowasito,
d) Kamus lengkap Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris karangan
Andreas Halim.
93
c. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data untuk jenis
penelitian
kepustakaan
yaitu
metode
dokumentasi
dengan
mengumpulkan, mempelajari dan menganalisis berbagai bahan
kepustakaan dan dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian.
d. Alat Pengumpul Data
Adapaun alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh
data sekunder diatas yaitu melalui studi dokumen. Studi dokumen
dilakukan
dengan
memperoleh
menggunakan
referensi
hukum
fasilitas
terkait
serta
perpustkaan
media
lain
untuk
yang
memungkinkan.
2. Penelitian Lapangan
a. Data
Data yang digunakan untuk penelitian lapangan ini yaitu berupa data
primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
sumbernya.
b. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian lapangan yaitu Kantor Mahkamah Agung Republik
Indonesia di Jakarta.
c. Subjek Penelitian
Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah:
94
1) Ketua Majelis Hakim yang menangani Putusan Peninjauan
Kembali Nomor 225PK/Pid.Sus/2011 Bapak Djoko Sarwoko,
2) Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Republik
Indonesia Ridwan Mansyur.
d. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk memperoleh data
primer yaitu dengan wawancara kepada
narasumber dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka dan hanya
memuat
garis-garis
besarnya
saja
sehingga
tidak
menutup
kemungkinan diajukannya pertanyaan-pertanyaan lain yang masih
berkaitan dengan masalah yang diteliti.
e. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data
primer yaitu berupa pedoman wawancara. Pedoman wawancara
adalah daftar pertanyaan penelitian yang disusun sebagai sebuah
panduan wawancara yang menggali apa saja yang diketahui oleh
narasumber mengenai permasalahan yang diteliti oleh penulis.
Pedoman wawancara ini yang akan digunakan sebagai acuan dalam
melakukan wawancara terhadap narasumber.
95
C. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa
kualitatif yaitu tata cara penelitian dengan menghasilkan data deskriptifanalitis. Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dihubungkan
dengan teori-teori yang didapat dari studi kepustakaan untuk kemudian
disampaikan, sehingga diperoleh uraian yang bersifat deskriptif kualitatif.
Adapun analisis kualitatif yang diterapkan pada penelitian kepustakaan
dalam penulisan hukum ini yakni dengan menarik asas-asas hukum dengan
cara mengkaji kasus hukum Prita Mulyasari. Dalam mengkaji Kasus Hukum
Prita Mulyasari ini, penulis lebih menitikberatkan pada asas-asas perlindungan
konsumen dan peraturan hukum lainnya yang terkait dengan perlindungan
hukum terhadap pengguna jasa layanan kesehatan. Disisi lain analisa atas
penelitian kepustakaan dilakukan dengan menelaah sistematik peraturan
perundang-undangan terkait, dalam hal ini menganalisa kasus Prita Mulyasari
ini dihubungkan dengan berbagai segi hukum baik hukum publik maupun
privat. Penulis juga melakuan sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan,
dalam hal ini penulis melakukan analisa secara horisontal menyangkut
konsistensi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Tujuan dari metode analisis ini adalah agar diperoleh jawaban yang
bersifat menyeluruh serta sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan
berhubungan dengan permasalahan yang diangkat.
96
D. Jalannya Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti alur atau langkah-langkah sebagai
berikut:
1.
Tahap Persiapan
Persiapan penelitian dilakukan dengan berbagai kegiatan mulai dengan
mencari permasalahan hukum yang ingin diteliti, menentukan judul
selanjutnya, mengumpulkan bahan kepustkaan untuk merancang proposal
penelitian, konsultasi dan penyempurnaan serta menyusun pedoman
wawancara dan pengurusan izin penelitian. Hasilnya berupa Proposal
Penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data baik data
primer maupun data sekunder. Pengumpulan data primer yakni dengan
menuju ke lokasi penelitian dan melakukan wawancara terhadap
responden yang telah ditentukan. Selanjutnya pengumpulan data sekunder
dengan melakukan studi dokumentasi terhadap bahan-bahan hukum yang
ada. Hasilnya berupa draft penelitian.
3. Tahap Penyelesaian
Pada tahap penyelesaian ini dilakukan penyusunan dan penulisan kaporan
penelitian dengan melakukan analisis atas data yang diperoleh pada saat
pelaksanaan penelitian. Hasilnya berupa hasil penelitian hukum atau tesis.
97
E. Hambatan Penelitian
Hambatan yang dialami selama proses penelitian hukum ini yaitu sulit
untuk mendapatkan data dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
berupa Putusan Peninjauan Kembali Nomor 225PK/Pid.Sus/2011. Adapun
kesulitan atau hambatan tersebut kemudian dapat terselesaikan dengan
melakukan wawancara dengan hakim ketua majelis yang menangani
peninjauan kembali Ibu Prita Mulyasari dan melakukan wawancara dengan
bagian Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
98
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Pengguna Jasa Pelayanan
Kesehatan
Perlindungan hukum bagi konsumen yang dijamin dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) adalah adanya
kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula
dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala
kebutuhan di antara keduanya”.51 Kepastian hukum itu meliputi segala upaya
berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau
menentukan
pilihannya
atas
barang
dan/atau
jasa
kebutuhannya
serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku
pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Pemberdayaan konsumen dilakukan dengan meningkatkan kesadaran,
kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses
negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhan.
Adanya perbedaan pendapat yang mendalilkan bahwa perikatan yang
terjadi dalam pelayanan jasa kesehatan bukan merupakan suatu resultaat
verbintennis (perikatan dengan usaha keras/hasil), yang membedakan pelayanan
kesehatan dengan perdagangan pada umumnya. Sekalipun demikian, apa pun sifat
51
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia
Indonesia, hlm.9
98
99
perikatan yang terbentuk, sepanjang menimbulkan kerugian atas diri (harta benda,
tubuh, maupun jiwa) yang dilayani (pasien atau konsumen) merupakan tetap suatu
pelanggaran terhadap UUPK, yang dalam pemeriksaan kasusnya dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengingat pula sumpah
jabatan/kode etik kedokteran yang berlaku.
Banyak pihak yang berpendapat bahwa pasien di dalam pelayanan medis
selalu berada pada posisi yang lemah jika dibandingkan dengan tenaga kesehatan,
sehingga akibat dari ketidakpuasan salah satu pihak, akan selalu mengakibatkan
kerugian yang lebih besar bagi pasien. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan atau
masih awamnya pengetahuan yang dimiliki pasien.
Dalam memberikan perlindungan kepada pasien, Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak menyebutkan
secara spesifik hak dan kewajiban pasien, tetapi karena pasien juga merupakan
konsumen yaitu pengguna jasa pelayanan kesehatan, maka hak dan kewajibannya
juga mengikuti hak dan kewajiban konsumen secara keseluruhan berlaku dalam
UUPK.
Hak seorang pasien dalam UUPK diatur dalam Pasal 4 UUPK yaitu:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
Setiap pasien mempunyai hak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan dan
keselamatan selama menggunakan jasa pelayanan kesehatan dari tenaga
kesehatan.
99
100
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
Pasien mempunyai hak untuk menanyakan secara detail pelayanan kesehatan
yang akan dijalani dalam proses penyembuhan. Pasien juga memiliki hak untuk
dapat menuntut pemberian pelayanan kesehatan yang sesuai dengan yang
sudah dijanjikan oleh dokter atau rumah sakit. Sesuai dengan yang sudah
dijanjikan artinya sesuai dengan prosedur yang akan dijalani oleh pasien,
bukan jaminan berkaitan dengan pasien akan sembuh total dari penyakit yang
dideritanya.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
Pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan
jujur terhadap setiap kondisi kesehatan diri pasien.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
Setiap pasien mempunyai hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
penyakit yang dideritanya. Pasien juga mempunyai hak untuk didengar
keluhannya terkait pelayanan kesehatan yang diterimanya.
101
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Setiap pasien yang mengalami kelalaian/kesalahan dari tenaga kesehatan
berhak untuk mendapatkan advokasim perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa. Apabila dalam pembuktian pasien merupakan korban dari
kelalaian/kesalahan dokter maka pasien berhak untuk mendapatkan ganti rugi.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Setiap pasien mempunyai hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan
terkait dengan hak-hak sebagai seorang pasien. Hal ini merupakan tugas dari
lembaga konsumen swadaya masyarakat dan pemerintah untuk terus
meningkatkan kesadaran pasien untuk melindungi diri dari perilaku buruk
tenaga kesehatan.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
Pasien mempunya hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan,
kaya, miskin dan status sosial lainnya.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
Dari tindakan yang dilakukan tenaga kesehatan tidak tertutup
kemungkinan terjadi kelalaian. Terhadap kelalaian/kesalahan dari tenaga
102
kesehatan di dalam melaksanakan tugasnya, tentu saja sangat merugikan pihak
pasien selaku konsumen. Dari kelalaian/kesalahan tenaga kesehatan dalam
pelayanan medis kemungkinan berdampak sangat besar dari akibat yang
ditimbulkan, apakah dari pasien mengalami gangguan- gangguan dari hasil
yang dilakukan, atau bisa juga menyebabkan cacat/kelumpuhan atau yang
paling fatal meninggal dunia. Hal tersebut tentu saja merugikan pihak pasien.
Kerugian fisik yang dimaksud yaitu hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh
atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian non fisik berkaitan dengan
martabat seseorang.
Kerugian yang dialami pasien dapat diminta ganti kerugian terhadap
tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian/kesalahan. Dalam Pasal 19 ayat (1)
UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Di
dalam ayat (2) diatur bahwa ganti rugi tersebut dapat berupa uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi
dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
Dalam hal ini, tenaga kesehatan yang juga merupakan pelaku usaha yang
terikat dengan UUPK, wajib memberikan ganti rugi apabila pasien mengalami
kerugian akibat menggunakan pelayanan jasa kesehatan yang disediakan oleh
tenaga kesehatan tersebut.
103
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan
dan/tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, dapat digugat melalui
badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan
peradilan di tempat kedudukan konsumen.52 BPSK berwenang untuk
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha (dokter) apabila tidak
memberikan ganti rugi. Sanksi administratif tersebut berupa penetapan ganti
rugi yang jumlahnya paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).53
Pasal 8 UUPK mengatur
bahwa seorang pelaku usaha (tenaga
kesehatan) dilarang memperdagangkan jasa pelayanan kesehatan yang tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar dan ketentuan yang telah diatur
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 9 UUPK mengatur seorang
dokter dilarang untuk menawarkan, mempromosikan, mengiklankan jasa
pelayanan kesehatan secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 8 dan Pasal 9 dapat dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).
Apabila seorang tenaga kesehatan terbukti telah melakukan suatu
kelalaian/kesalahan maka pasien berhak untuk mendapatkan ganti rugi. Bentuk
dari ganti rugi tersebut bisa berupa kompensasi, penggantian biaya pelayanan
52
Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
53
Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen
104
kesehatan ataupun ganti rugi terhadap suatu keadaan yang timbul akibat adanya
kelalaian/kesalahan tenaga kesehatan tersebut.
Tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian. Undang-undang
memberikan batasan dengan menetapkan hanya kerugian yang dapat dikirakirakan atau diduga pada waktu perjanjian dibuat dan yang sungguh dianggap
sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian dari tenaga kesehatan. Apabila terjadi
perbuatan
melawan
hukum,
dalam
arti
tenaga
kesehatan
melakukan
kesalahan/kelalaian, tetapi kesalahan/kelalaian itu tidak menimbulkan kerugian,
maka tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan/kelalaian tidak perlu
bertanggung jawab hukum terhadap pasien, dalam arti tidak perlu membayar ganti
rugi kepada pasien.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pasal 64 UUPK mengatur bahwa segala ketentuan peraturan perundangundangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat UUPK
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus
dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Perlindungan hukum terhadap pasien tidak hanya diatur didalam UUPK tetapi ada
beberapa peraturan perundang-undangan
yang juga mengatur mengenai
perlindungan hukum pasien misalnya, KUHP, KUHPerdata, undang-undang
tentang kesehatan, undang-undang tentang rumah sakit, undang-undang tentang
praktik kedokteran, kode etik kedokteran, peraturan pemerintah tentang tenaga
kesehatan dan lain sebagainya.
105
Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, Pasien dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran,
mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam pasal 45 ayat (3), yaitu :
1) Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
2) Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3) Alternatif tindakan lain dan resikonya;
4) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapat isi rekam medis.
Terkait rekam medis, di dalam Pasal 12 Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 setiap pasien mempunyai hak:
1. Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan.
2. Isi rekam medis merupakan milik pasien.
3. Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk ringkasan
rekam medis.
106
4. Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau
atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu.
Oleh karena UUPK mengatur mengakui mengenai hak-hak pasien diluar
UUPK maka hak-hak pasien lainnya dapat dilihat dari bentuk tanggung jawab
seorang dokter terhadap pasien dalam hal terjadi kelalaian/kesalahan. Adapaun
bentuk tanggung jawab dokter tersebut yaitu:
1.
Tanggung jawab dokter sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap
pasien
a. Tanggung Jawab Etis
Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang dokter
adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode
Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan
Nomorr 434/ Men.Kes/SK/X/1983 yang disusun dengan
mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan
idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-Undang Dasar 1945. Kode
Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang
mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan
pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter
terhadap diri sendiri.
Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia
ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang
107
merupakan
pelanggaran
etik
dan
sekaligus
pelanggaran
hukum.
Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya
pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran.
Berikut diajukan beberapa contoh:
1) Pelanggaran Etik Murni
a) Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari
keluarga sejawat dokter dan dokter gigi.
b) Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
c) Memuji diri sendiri di depan pasien.
d) Tidak
pernah
mengikuti
pendidikan
kedokteran
yang
berkesinambungan.
e) Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
2) Pelanggaran Etikolegal
a) Pelayanan dokter di bawah standar.
b) Menerbitkan surat keterangan palsu.
c) Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.
d) Abortus provokatus.
b. Tanggung jawab profesi
Tanggung jawab profesi dokter berkaitan erat dengan profesionalisme
seorang dokter. Hal ini terkait dengan:
108
1) Pendidikan, pengalaman dan kualifikasi lain
Dalam
menjalankan
tugas
profesinya
seorang
dokter
harus
mempunyai derajat pendidikan yang sesuai dengan bidang keahlian
yang ditekuninya. Dengan dasar ilmu yang diperoleh semasa
pendidikan
di
fakultas
kedokteran
maupun
spesialisasi
dan
pengalamannya untuk menolong penderita.
2) Derajat risiko perawatan
Derajat risiko perawatan diusahakan untuk sekecil-kecilnya, sehingga
efek samping dari pengobatan diusahakan seminimal mungkin. Di
samping itu mengenai derajat risiko perawatan harus diberitahukan
terhadap penderita maupun keluarganya, sehingga pasien dapat
memilih alternatif dari perawatan yang diberitahukan oleh dokter.
3) Peralatan perawatan
Perlunya dipergunakan pemeriksaan dengan menggunakan peralatan
perawatan, apabila dari hasil pemeriksaan luar kurang didapatkan
hasil yang akurat sehingga diperlukan pemeriksaan menggunakan
bantuan alat. Namun dari jawaban responden bahwa tidak semua
pasien bersedia untuk diperiksa dengan menggunakan alat bantu (alat
kedokteran canggih), hal ini terkait erat dengan biaya yang harus
dikeluarkan bagi pasien golongan ekonomi lemah.
109
c. Tanggung jawab hukum
Tanggung jawab hukum dokter adalah suatu keterikatan dokter terhadap
ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya. Tanggung
jawab seorang dokter dalam bidang hukum terbagi dalam 3 (tiga) bagian,
yaitu:
1) Tanggung jawab dokter dalam bidang hukum perdata
a) Tanggung jawab hukum perdata karena wanprestasi
Menurut ilmu hukum perdata, seseorang dapat dianggap
melakukan wanprestasi apabila tidak melakukan apa yang
disanggupi akan dilakukan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat dan melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan serta melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya. Sehubungan dengan masalah
ini, maka wanprestasi yang dimaksudkan dalam tanggung jawab
perdata seorang dokter adalah tidak memenuhi syarat-syarat yang
tertera dalam suatu perjanjian yang telah dia adakan dengan
pasiennya.
Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar persetujuan
atau perjanjian yang terjadi hanya dapat dilakukan bila memang
ada perjanjian dokter dengan pasien. Perjanjian tersebut dapat
digolongkan sebagai persetujuan untuk melakukan atau berbuat
sesuatu. Perjanjian itu terjadi bila pasien memanggil dokter atau
pergi ke dokter, dan dokter memenuhi permintaan pasien untuk
110
mengobatinya. Dalam hal ini pasien akan membayar sejumlah
honorarium. Sedangkan dokter sebenarnya harus melakukan
prestasi
menyembuhkan
pasien
dari
penyakitnya.
Tetapi
penyembuhan itu tidak pasti selalu dapat dilakukan sehingga
seorang dokter hanya mengikatkan dirinya untuk memberikan
bantuan sedapat-dapatnya, sesuai dengan ilmu dan ketrampilan
yang dikuasainya. Artinya, dia berjanji akan berdaya upaya sekuatkuatnya untuk menyembuhkan pasien.
Dalam gugatan atas dasar wanprestasi ini, harus dibuktikan
bahwa dokter itu benar-benar telah mengadakan perjanjian,
kemudian dia telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian
tersebut (yang tentu saja dalam hal ini senantiasa harus didasarkan
pada kesalahan profesi). Jadi di sini pasien harus mempunyai buktibukti kerugian akibat tidak dipenuhinya kewajiban dokter sesuai
dengan standar profesi medis yang berlaku dalam suatu kontrak
terapeutik.
Tetapi
dalam
prakteknya
tidak
mudah
untuk
melaksanakannya, karena pasien juga tidak mempunyai cukup
informasi dari dokter mengenai tindakan-tindakan apa saja yang
merupakan kewajiban dokter dalam suatu kontrak terapeutik. Hal
ini yang sangat sulit dalam pembuktiannya karena mengingat
perikatan antara dokter dan pasien adalah bersifat inspanings
verbintenis.
111
b) Tanggung jawab hukum perdata karena perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad)
Tanggung jawab karena kesalahan merupakan bentuk klasik
pertanggungjawaban perdata. Berdasar tiga prinsip yang diatur
dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yaitu sebagai berikut :
(1) Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena
dokter tersebut telah melakukan perbuatan yang melanggar
hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: “Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang
lain,
mewajibkan
orang
yang
karena
salahnya
menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”.
Undang-undang sama sekali tidak memberikan batasan
tentang perbuatan melawan hukum, yang harus ditafsirkan oleh
peradilan.
Semula
dimaksudkan
segala
sesuatu
yang
bertentangan dengan undang-undang, jadi suatu perbuatan
melawan undang-undang. Akan tetapi sejak tahun 1919
yurisprudensi tetap telah memberikan pengertian yaitu setiap
tindakan atau kelalaian baik yang: (1) Melanggar hak orang
lain; (2) Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri;
112
(3) Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat
istiadat yang baik); (4) Tidak sesuai dengan kepatuhan dan
kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang
seorang dalam pergaulan hidup.
Seorang dokter dapat dinyatakan melakukan kesalahan
dan untuk menentukan seorang pelaku perbuatan melanggar
hukum harus membayar ganti rugi, haruslah terdapat hubungan
erat antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan.
(2) Berdasarkan Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar
wanprestasi dan melanggar hukum seperti tersebut di atas,
dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan
kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal
1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang bunyinya
sebagai berikut : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi
juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya”.
113
(3) Berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban
tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya
sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari
tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya.
(Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan
Pasal 1367 BW mengatur mengenai pembayaran ganti rugi
oleh pihak yang menyuruh atau yang memerintahkan sesuatu
pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain
tersebut.
2) Tanggung jawab dokter dalam bidang hukum pidana
Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran hukum
masyarakat, dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan
tanggung jawab pidana seorang dokter, khususnya yang menyangkut
dengan kelalaian, hal ini dilandaskan pada teori-teori kesalahan dalam
hukum pidana. Tanggung jawab pidana di sini timbul bila pertamatama dapat dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya
kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan
atau perawatan.
Dari segi hukum, kesalahan/kelalaian akan selalu berkait
dengan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh
114
orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang dikatakan mampu
bertanggung jawab apabila dapat menginsafi makna yang senyatanya
dari perbuatannya, dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang
patut dalam pergaulan masyarakat dan mampu untuk menentukan
niat/kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut.
Suatu
perbuatan
dapat
dikategorikan
sebagai
criminal
malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu perbuatan
tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin
yang salah yaitu berupa kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan.
Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di
bidang hukum pidana, diatur antara lain dalam : Pasal 263, 267, 294
ayat (2), 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ada perbedaan penting antara tindak pidana biasa dengan
tindak pidana medis. Pada tindak pidana biasa yang terutama
diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan pada tindak pidana medis
adalah penyebabnya. Walaupun berakibat fatal, tetapi jika tidak ada
unsur kelalaian atau kesalahan maka dokternya tidak dapat
dipersalahkan.
Beberapa contoh dari criminal malpractice yang berupa
kesengajaan
adalah
melakukan
aborsi
tanpa
indikasi
medis,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan
seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan eutanasia,
115
menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat
visum et repertum yang tidak benar dan memberikan keterangan yang
tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli.
Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon
dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat
menurut hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4–D, yaitu : Duty
(Kewajiban), Derelictions of That Duty (Penyimpangan kewajiban),
Damage
(Kerugian),
Direct
Causal
Relationship
(Berkaitan
langsung).
Duty atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius
contractu) atau menurut undang-undang (ius delicto). Juga adalah
kewajiban dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi. Kini
adalah kewajiban dokter pula untuk memperoleh informed consent,
dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup dan mengerti
sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu mencakup antara lain :
risiko yang melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek
sampingan, alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan
sebagainya. Peraturan tentang persetujuan tindakan medis (informed
consent) sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585
Tahun 1989.
Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi
medis (Dereliction of The Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas
fakta-fakta secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli
116
dan saksi ahli. Namun sering kali pasien mencampuradukkan antara
akibat dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien
yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian.
Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan dahulu
bahwa dokter itu telah melakukan breach of duty.
Damage berarti kerugian yang diderita pasien itu harus
berwujud dalam bentuk fisik, finansial, emosional atau berbagai
kategori kerugian lainnya, di dalam kepustakaan dibedakan : Kerugian
umum (general damages) termasuk kehilangan pendapatan yang akan
diterima, kesakitan dan penderitaan dan kerugian khusus (special
damages) kerugian finansial nyata yang harus dikeluarkan, seperti
biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima.
Jika tidak ada kerugian, maka juga tidak ada penggantian
kerugian. Direct causal relationship berarti bahwa harus ada kaitan
kausal antara tindakan yang dilakukan dengan kerugian yang diderita.
3) Tanggung jawab dokter dalam bidang hukum administrasi
Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter
melanggar hukum tata usaaha negara. Contoh tindakan dokter yang
dikategorikan sebagai administrative malpractice adalah menjalankan
praktek tanpa ijin, melakukan tindakan medis yang tidak sesuai
dengan ijin yang dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan
ijin yang sudah daluwarsa dan tidak membuat rekam medis.
117
Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus
dan diwisuda sebagai dokter tidak secara otomatis boleh melakukan
pekerjaan dokter. Seorang dokter harus lebih dahulu mengurus lisensi
agar memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis lisensi
memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan sendirisendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang melampaui
batas kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun seorang dokter
ahli kandungan mampu melakukan operasi amandel namun lisensinya
tidak membenarkan dilakukan tindakan medis tersebut. Jika ketentuan
tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap telah melakukan
administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi administratif,
misalnya berupa pembekuan lisensi untuk sementara waktu.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang
Tenaga Kesehatan mengatur bahwa sanksi administratif dapat
dijatuhkan terhadap dokter yang melalaikan kewajiban, melakukan
suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang dokter,
baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah
sebagai dokter, mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh
dokter dan melanggar ketentuan menurut atau berdasarkan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
2. Penyelesaian sengketa antara pasien dengan tenaga kesehatan
Ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban, dan larangan
yang diatur dalam UUPK dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha
118
dengan konsumen. Dalam hal ini adanya sengketa antara pasien dengan
tenaga kesehatan, baik pelanggaran terhadap pemberian ganti rugi ataupun
pelanggaran terhadap hak-hak pasien.
Penyelesaian sengketa konsumen perlu dilakukan agar tercipta
hubungan baik antara pelaku usaha (tenaga kesehatan) dengan konsumen
(pasien) sehingga masing-masing pihak mendapatkan kembali hak-haknya
dan demi terciptanya kegiatan usaha yang sehat dalam pemenuhan kebutuhan
konsumen dengan baik.
Di dalam Pasal 45 Ayat (1) dan Pasal 47, dinyatakan bahwa
penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan cara:
a. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
1) Penyelesaian penggantian kerugian seketika (secara langsung)
dengan jalan damai
Menurut Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (3) UUPK, konsumen
yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung kepada
produsen
dan
produsen
harus
memberi
tanggapan
dan/atau
penyelesaian dalam jangka waktu tujuh hari setelah transaksi
berlangsung. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, cara
penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan jalan
arbitrase, konsiliasi, dan mediasi.
119
2) Tuntutan penggantian kerugian melalui badan penyelesaian
sengketa konsumen (BPSK)
Menurut Pasal 23 UUPK, penyelesaian snegketa melalui BPSK dapat
ditempuh jika penyelesaian secara damai di luar proses pengadilan
tidak berhasil, baik karena produsen menolak untuk menanggapi
tuntutan konsumen maupun karena tidak terjadi kesepakatan antara
konsumen dengan produsen.
b. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan telah diatur dalam
Pasal 48 UUPK. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan
hanya dimungkinkan apabila:
1) Para Pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan; atau
2) Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa.54
Jika gugatan penggantian kerugian didasarkan pada peristiwa wanprestasi,
konsumen sebagai penggugat harus membuktikan:
1) Adanya hubungan perikatan (kontrak, perjanjian);
2) Adanya bagian-bagian dari kewajiban yang tidak dipenuhi oleh
produsen;
54
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm.232.
120
3) Timbulnya kerugian bagi konsumen (penggugat).
Jika gugatan penggantian kerugian didasarkan pada peristiwa perbuatan
melawan hukum, konsumen harus membuktikan:
1) Adanya perbuatan melawan hukum, baik berupa pelanggaran hak
konsumen, pelanggaran terhadap kewajiban berhati-hati, pelanggaran
norma kesusilaan, maupun norma kepatutan;
2) Adanya kesalahan dari produsen, baik berupa kesengajaan mapun
kelalaian;
3) Adanya sejumlah kerugian yang diderita konsumen penggugat;
4) Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan
kerugian.55
3. Peran Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat
Lembaga konsumen merupakan salah satu media pemberdayaan
konsumen menuju konsumen yang mempunyai harkat dan martabat yang
tinggi. Dengan adanya pemberdayaan konsumen, maka konsumen mempunyai
kemampuan untuk menunjukkan diri dan eksistensinya sebagai konsumen yang
memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam hubungan antara
konsumen dengan pelaku usaha.
Di Indonesia, sejak Tahun 1973 telah lahir Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia yang bertujuan untuk membantu konsumen Indonesia
55
Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm.149-153.
121
agar tidak dirugikan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Pengaturan
tentang lembaga konsumen swadaya masyarakat ini terdapat dalam Pasal 44
UUPK. Dalam rangka mewujudkan konsumen yang sadar akan hak-hak dan
kewajibannya, maka lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
bertugas untuk:
a. Menyebar informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak
dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
Untuk mencapai tujuannya, YLKI melaksanakan berbagai kegiatan dalam
bidang berikut ini:
a. Bidang Pendidikan, untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
penggiat YLKI maupun masyarakat konsumen tentang hak dan kewajiban
konsumen serta permasalahan-permasalahan konsumen,
122
b. Bidang Penelitian, unttuk memberikan informasi yang obyektif mengenai
mutu barang dan/atau jasa karena informasi yang tersedia hanya berasal
dari pelaku usaha secara sepihak,
c. Bidang Kampanye Publik, untuk menyebarluaskan persoalan konsumen
kepada masyarakat luas dengan kegiatan seminar, diskusi publik, dialog
interaktif, penerbitan buletin, dan lain-lain,
d. Bidang Pemantauan, untuk memantau pasar dan penelitian dalam rangka
pengumpulan data dan upaya perubahan kebijakan,
e. Bidang Pengaduan, dengan menerima pengaduan dari masyarakat dan
mencoba mencari penyelesaian dengan pembelaan hukum bagi konsumen
yang dirugikan hak-haknya.56
4.
Pembinaan dan Pengawasan oleh Pemerintah
a. Pembinaan
Menurut Pasal 29 Ayat (1) UUPK, tanggung jawab pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen berada di tangan pemerintah,
yang dalam hal ini dilaksanakan oleh menteri-meneteri terkait. Para
menteri terkait dapat mengeluarkan peraturan yang sifatnya teknis.
Berdasarkan Pasal 29 ayat (4) UUPK, pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen dimaksudkan untuk:57
56
57
Janus Sidabalok, op.cit., hlm.265.
Ibid, hlm.183
123
1) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat
antara pelaku usaha dan konsumen.
Dengan pembinaan, diharapkan akan tumbuh dan berkembang iklim
usaha yang sehat sehingga dapat mempertinggi tingkat kesejahteraan
masyarakat melalui efisiensi usaha. Dengan efisiensi, konsumen tidak
lagi dibebani biaya yang tinggi karena pelaku usaha sadar bahwa
konsumen merupakan mitra bisnis yang harus dijaga, dibina, dan
diberdayakan. Iklim usaha yang sehat juga akan mendorong
tersedianya produk-produk yang pada akhirnya akan membantu
tercapainya
tingkat
pertumbuhan
pembangunan
perekonomian
nasional.
2) Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat
Lembaga
swadaya
masyarakat
ini
merupakan
gerakan/upaya
mempertinggi kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya
melalui pengkajian terhadap perilaku konsumen dan produsen,
memberi penyuluhan, pendidikan bagi konsumen, serta membantu
konsumen mewujudkan hak-haknya. Dalam kegiatannya, lembaha
konsumen ini dapat melakukan pembinaan ke dalam (dengan
memberikan
pendidikan
kepada
konsumen)
dan
melakukan
pengawasan ke luar (dengan mengawasi pelaku usaha) sehingga
lembaga konsumen tidak harus dipandang sebagai upaya perlawanan
terhadap pelaku usaha tetapi lebih tepat jika dipandang sebagai mitra
124
pelaku usaha untuk menjembatani perbedaan kepentingan antara
pelaku usaha dengan konsumen.
3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Melalui pembinaan yang dilakukan oleh lembaga konsumen swadaya
masyarakat, maka akan tercapai sumber daya manusia yang
berkualitas yaitu konsumen yang mempunyai tingkat kesadaran penuh
akan hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen dan sebagai warga
negara.
Sedangkan
melalui
pembinaan
yang dilakukan
oleh
pemerintah kepada pelaku usaha makan akan diperoleh pelaku usaha
yang bertanggung jawab dan mempunyai kesadaran akan pentingnya
melindungi konsumen.
4) Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang
perlindungan konsumen
Melalui pembinaan, pemerintah dapat menggiatkan lembaga-lembaga
penelitian dan pengembangan yang dimiliki oleh perusahaan,
pemerintah, dan perguruan tinggi. Hasil dari kajian yang dilakukan
oleh lembaga penelitian dapat digunakan sebagai bahan untuk
menyusun kebijakan di bidang perlindungan konsumen.
b. Pengawasan
Menurut Pasal 30 Ayat (1) UUPK, pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
125
Masyarakat dapat melakukan penelitian, pengujian, dan/atau survei
terhadap barang-barang yang tersebar di Pasar, informasi yang diperoleh
masyarakat dikumpulkan kemudian diteruskan ke pihak pemerintah yang
berwenang. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga konsumen swadaya
masyarakat hanya dapat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang
beredar di pasar, sedangkan terhadap sarana dan prasarana produksi dan
distribusi hanya dapat dilakukan oleh pemerintah.58
Disamping itu, penelitian, pengujian, dan/atau survei yang dapat
dilakukan oleh lembaga konsumen hanya dapat dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan,
kenyamanan, dan keselamatan konsumen. Pengujian hanya dapat
dilakukan oleh laboratorium penguji yang telah diakreditasi agar hasil
yang diperoleh obyektif dan transparan.59
B. Kesesuaian Putusan Peninjauan Kembali Prita Mulyasari Nomor
225PK/Pid.Sus/2011 dengan UUPK
1.
Kronologi Kasus Prita Mulyasari
Pada tanggal 7 Agustus 2008, Prita Mulyasari melakukan pemeriksaan
kesehatan di Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang, Banten. Prita Mulyasari
mengeluhkan keadaan tubuh yang panas tinggi dan pusing kepala yang tidak
tertahankan. Saat itu dokter yang sedang jaga adalah dr. Indah dan dr.Hengky.
Prita kemudian disarankan untuk melakukan cek darah di laboratorium. Hasil
58
59
Ibid, hlm. 183
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm.189.
126
laboratorium Rumah Sakit Omni menyatakan bahwa Prita Mulyasari harus
dirawat inap karena menderita demam berdarah dengan hasil trombosit 27.000 ul.
Prita Mulyasari dan keluarga pun akhirnya setuju dirawat inap kemudian
diberikan berbagai macam suntikan dimana keluarga tidak mengetahui kandungan
dan fungsi dari suntikan tersebut.
Keesokan harinya yaitu pada tanggal 8 Agustus 2008, dr.Hengky
melakukan kunjungan dan melakukan revisi terhadap hasil cek darah laboratorium
yang dilakukan yaitu dari 27.000 ul menjadi 181.000 ul. Prita Mulyasari dan
keluarga kemudian menanyakan bukti hasil laboratorium tersebut namun
dr.Hengky mengatakan hal tersebut merupakan wewenang dari laboratorium RS
Omni. Pada hari itu Prita Mulyasari tetap diberikan suntikan tanpa pemberitahuan
jenis dan tujuan dilakukannya suntikan tersebut.
Prita Mulyasari kemudian merasakan kesehatannya tidak kunjung
membaik bahkan semakin parah. Ini terlihat dari adanya pembengkakakn di
tangan kiri dan suhu badan naik hingga 39 derajat. Dalam keadaan tersebut tidak
ada dokter yang melakukan kunjungan untuk melihat keadaan Prita Mulyasari.
Kemudian Pada tanggal 9 Agustus 2008, Prita Mulyasari kembali
dikunjungi oleh dr.Hengky yang memberikan informasi bahwa Prita Mulyasari
terkena virus udara. Dr.Hengky kembali memberikan instruksi kepada perawat
untuk memberikan tindakan medis berupa suntikan kepada Pasien. Sekitar Pukul
18.00 Prita Mulyasari kembali disuntik sebanyak 2 ampul yang mengakibatkan
Prita Mulyasari mengalami sesak nafas selama 15 menit dan mendapatkan
pertolongan oksigen. Dengan keadaan tersebut, Prita Mulyasari mengalami
127
pembengkakan di tangan kanan dan kemudian meminta kepada dokter jaga untuk
melepaskan semua infus, menghentikan segala suntikan dan obat-obatan.
Keesokan harinya pada tanggal 10 Agustus 2008, Prita Mulyasari kembali
mengalami pembengkakan yang telah menyebar hingga leher kiri dan mata kiri.
Keluarga Prita Mulyasari kemudian meminta penjelasan dari dr.Hengky terkait
kejadian sesak nafas yang dialami oleh Prita Mulyasari termasuk revisi hasil cek
darah di laboratorium, namun dr.Hengky kemudian menyalahkan seluruh kejadian
kepada bagian laboratorium.
Pada tanggal 11 Agustus 2008, Prita Mulyasari masih mengalami suhu
tubuh yang tinggi yaitu 39 derajat dan berniat pindah ke rumah sakit yang lain
karena merasa tidak mengalami perbaikan kesehatan di RS Omni. Prita Mulyasari
kemudian meminta data medis dirinya kepada manajemen RS Omni. Sempat
terjadi perdebatan namun akhirnya RS Omni memberikan data medis tersebut
namun tidak disertai dengan hasil laboratorium baik yang sudah direvisi maupun
yang belum direvisi.
Pada tanggal 12 Agustus 2008, Prita Mulyasari kemudian memilih untuk
pindah ke Rumah Sakit lain di daerah Bintaro. Di Rumah Sakit tersebut Prita
Mulyasari kemudian langsung dimasukkan ke ruang isolasi karena virus yang
menyerang tubuhnya dapat mudah tertular ke orang lain. Rumah Sakit tersebut
mengatakan bahwa virus yang menyerang tubuh Prita Mulyasari merupakan virus
yang biasa menyerang anak-anak. Prita Mulyasari kemudian merasa kesal karena
ternyata dirinya bukan mengidap penyakit demam berdarah dan harus disuntik
128
dengan berbagai macam obat sehingga mengalami pembengkakan di sebagian
tubuhnya.
Dihari yang sama, Keluarga Prita Mulyasari kembali ke RS Omni untuk
meminta hasil resmi laboratorium yang semula 27.000 ul dan berubah menjadi
181.000. Namun pihak rumah sakit menjanjikan akan mengirimkan hasil tersebut
ke alamat rumah Prita Mulyasari. Ditunggu hingga sore hasil laboratorium itu
tidak juga diantar sehingga keluarga Prita Mulyasari kembali mendatangani RS
Omni dan merasa sangat kesal karena yang diberikan hanyalah berupa permintaan
maaf atas kejadian yang tidak menyenangkan di Rumah Sakit Omni.
Setelah kesehatan sudah kembali pulih, Prita Mulyasari kemudian dapat
meninggalkan Rumah Sakit di daerah Bintaro tersebut. Pada tanggal 15 Agustus
2008 Prita Mulyasari kemudian menulis dan mengirimkan email pribadi dengan
alamat email [email protected] dan surat elektronik terbuka pada situs
[email protected]
dengan
judul
PENIPUAN
OMNI
INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA TANGERANG kepada orangorang terdekatnya yang berada di mailing list email yang dimilikinya tersebut. Isi
dari email tersebut terkait keluhan Prita Mulyasari terhadap pelayanan RS Omni
internasional. Email ini kemudian beredar luas di dunia maya. Isi dari email
Tergugat tersebut yaitu:
From: prita mulyasari [mailto:prita.mulyasari@ yahoo.com]
Sent: Friday, August 15, 2008 3:51 PM
To: [email protected]
Subject: Penipuan OMNI Iternational Hospital Alam Sutera
Tangerang
Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa
manusia lainnya, terutama anak-anak, lansia dan bayi. Bila anda
129
berobat, berhati-hatilah dengan kemewahan RS dan titel
International karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter
maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS International seperti ini tapi saya
mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal
7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB, saya dengan kondisi panas tinggi
dan pusing kepala, datang ke RS. OMNI Intl dengan percaya bahwa
RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti
mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya
dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan
hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya
adalah 200.000, saya diinformasikan dan ditangani oleh dr. Indah
(umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. Dr. Indah melakukan
pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan
hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000. Dr.
Indah menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan
tapi saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta
dengan RS ini. Lalu referensi dr. Indah adalah dr. Henky. Dr. Henky
memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan
dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa
penjelasan atau ijin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut
untuk apa. Keesokan pagi, dr.Henky visit saya dan
menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam
bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?), saya
kaget tapidr. Henky terus memberikan instruksi ke suster perawat
supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan
tanpa ijin pasien atau keluarga pasien. Saya tanya kembali jadi saya
sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam
bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat kuatir karena
dirumah saya memiliki 2 anak yang masih batita jadi saya lebih
memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat
sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional
standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan
yang setiap suntik tidak ada keterangan apapun dari suster perawat,
dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban
yang memuaskan, lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah
dokter dan pasien harus menerimanya. Satu box lemari pasien penuh
dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul. Tangan kiri saya
mulai membengkak, saya minta dihentikan infus dan suntikan dan
minta ketemu dengan dr. Henky namun dokter tidak datang sampai
saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya
makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang
130
saya juga tidak tahu dokter apa, setelah dicek dokter tersebut hanya
mengatakan akan menunggu dr. Henky saja.
Esoknya dr. Henky datang sore hari dengan hanya
menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi,
saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan
dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena
demam berdarah tapi dr. Henky tetap menjelaskan bahwa demam
berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah
kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali. Malamnya
saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak
napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang
namun hanya berkata menunggu dr. Hengky saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus padahal
tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri
saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan
menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan. Esoknya saya dan
keluarga menuntut dr. Henky untuk ketemu dengan kami namun
janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan
kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr. Henky mengenai sakit
saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000
dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum
pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya
leher kiri dan mata kiri saya.
Dr. Henky tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan,
dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk
diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus
kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr.
Henky bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama
yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. Dr. Henky menyalahkan
bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan
saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat
namun saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah
ke RS lain. Tapi saya membutuhkan data medis yang lengkap dan
lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis, diberikan keterangan bahwa BAB saya
lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi
tidak ada follow upnya samasekali. Lalu hasil lab yang diberikan
adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000. Saya
ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat
dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang
tercetak adalah 181.000, kepala lab saat itu adalah dr. Mimi dan
setelah saya complaint dan marah-marah, dokter tersebut
mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di
Manajemen Omni maka saya desak untuk bertemu langsung dengan
Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.
131
Saya mengajukan complaint tertulis ke Manajemen Omni dan
diterima oleh Ogi (customer service coordinator) dan saya minta
tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan
complaint, saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni
dengan staff Ogi yang tidak ada service nya sama sekali ke customer
melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima
pengajuan complaint tertulis.
Dalam kondisi sakit, saya dan suami saya ketemu dengan
Manajemen, atas nama Ogi (customer service coordinator) dan dr.
Grace (customer service manager) dan diminta memberikan
keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat
pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah
27.000 bukan 181.000 makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini
padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat
jalan.
Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab
masalah complaint saya ini tidak profesional samasekali. Tidak
menanggapi complaint dengan baik, dia mengelak bahwa lab telah
memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr. Mimi informasikan ke saya.
Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen dan dr. Henky
namun tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas
(Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4
sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam
kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini
menular, menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit
gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak, kalau
kena orang dewasa yang ke laki-laki bisa terjadi
impoten dan perempuan ke pankreas dan kista. Saya lemas
mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah
membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah
diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga
mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut
ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan
dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagiih surat hasil
lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang
tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung
ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah
sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni
memberikan surat tersebut. Saya telepon dr. Grace sebagai
penanggung jawab compaint dan diberikan keterangan bahwa
kurirnya baru mau jalan ke rumah saya namun sampai jam 4 sore
saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang kerumah saya.
Kembali saya telepon dr. Grace dan dia mengatakan bahwa sudah
132
dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah, ini benar-benar
kebohongan RS yang keterlaluan sekali, dirumah saya tidak ada
nama Rukiah, saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari
datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. Logikanya
dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya
kemana kan? makanya saya sebut Manajemen Omni PEMBOHONG
BESAR semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang
mempermainkan nyawa orang. Terutama dr. Grace dan Ogi, tidak
ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak
sesuai dengan standard International yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr. Grace, akan datang ke Omni untuk
mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni
hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya
sungguh membuat sakit hati kami, pihak manajemen hanya
menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak
disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000
dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang
mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum
masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut?
karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar
ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya
adalah hasil lab saya 27.000 adalah FIKTIF dan yang sebenarnya
saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak
napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung
tertangani
dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan, mungkin dikarenakan biaya
RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit
asuransi saya semaksimal mungkin tapi RS ini tidak memperdulikan
efek dari keserakahan ini. Ogi menyarankan saya bertemu dengan
direktur operasional RS Omni (dr. Bina) namun saya dan suami saya
terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan
kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain. Syukur
Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya
yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan
saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini
membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya
masing-masing, benar.... tapi apabila nyawa manusia dipermainkan
oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah
mempermainkan sungguh mengecewakan, semoga Allah
memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya
diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang
tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis,
133
mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni
ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu
pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni,
tolong sampaikan ke dr. Grace, dr. Henky, dr.Mimi dan Ogi bahwa
jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan
Anda. Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga,
saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan
perawatan medis dari dokter ini.
salam,
Prita Mulyasari
081513100600
prita.mulyasari@ yahoo.com
Prita Mulyasari
Alam Sutera
Atas surat elektronik tersebut kemudian Pihak RS Omni, Dr.Hengky Gosal dan
Dr.Grace Hilza Yarlen melakukan jawaban dan bantahan di Harian Media
Indonesia dan Harian Kompas yang isinya:
PENGUMUMAN & BANTAHAN
Kami, RISMA SITUMORANG, HERIBERTUS & PARTNERS, Advokat dan
Konsultan HKI, berkantor di Jalan Antara No. 45A Pasar Baru, Jakarta Pusat,
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama OMNI INTERNATIONAL
HOSPITAL ALAM SUTERA, Dr. HENGKY GOSAL, SpPD dan Dr. GRACE
HILZA YARLEN. N;
Sehubungan dengan adanya surat elektronik (e-mail) terbuka dari SAUDARI
PRITA MULYASARI beralamat di Villa Melati Mas Residence Blok C 3/13
Serpong Tangerang melalui email pribadi ([email protected]) kepada
[email protected], dan telah disebarluaskan ke berbagai alamat
email lainnya, dengan judul “PENIPUAN OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL
ALAM SUTERA TANGERANG”,
Dengan ini kami mengumumkan dan memberitahukan kepada khalayak
umum/masyarakat dan pihak ketiga, „BANTAHAN kami‟ atas surat terbuka
tersebut sebagai berikut :
1. BAHWA ISI SURAT ELEKTRONIK (E-MAIL) TERBUKA TERSEBUT
TIDAK BENAR SERTA TIDAK SESUAI DENGAN FAKTA YANG
SEBENARNYA TERJADI (TIDAK ADA PENYIMPANGAN DALAM
SOP DAN ETIK), SEHINGGA ISI SURAT TERSEBUT TELAH
MENYESATKAN KEPADA PARA PEMBACA KHUSUSNYA PASIEN,
DOKTER, RELASI OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM
134
2.
3.
SUTERA, RELASI Dr. HENGKY GOSAL, SpPD, DAN RELASI Dr.
GRACE HILZA YARLEN. N, SERTA MASYARAKAT LUAS BAIK DI
DALAM MAUPUN DI LUAR NEGERI.
BAHWA TINDAKAN SAUDARI PRITA MULYASARI YANG TIDAK
BERTANGGUNG-JAWAB TERSEBUT TELAH MENCEMARKAN
NAMA BAIK OMNI INTERNATIONAL HOSPITAL ALAM SUTERA, Dr.
HENGKY GOSAL, SpPD, dan Dr. GRACE HILZA YARLEN. N, SERTA
MENIMBULKAN KERUGIAN BAIK MATERIL MAUPUN IMMATERIL
BAGI KLIEN KAMI.
BAHWA ATAS TUDUHAN YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB
DAN TIDAK BERDASAR HUKUM TERSEBUT, KLIEN KAMI SAAT
INI AKAN MELAKUKAN UPAYA HUKUM TERHADAP SAUDARI
PRITA MULYASARI BAIK SECARA HUKUM PIDANA MAUPUN
SECARA HUKUM PERDATA.
Demikian PENGUMUMAN & BANTAHAN ini disampaikan kepada khalayak
ramai untuk tidak terkecoh dan tidak terpengaruh dengan berita yang tidak
berdasar fakta/tidak benar dan berisi kebohongan tersebut.
Jakarta, 8 September 2008.
Kuasa Hukum
Dengan adanya email keluhan dari Prita Mulyasari dan bantahan dari Pihak RS
Omni tersebut, Prita Mulyasari kemudian digugat baik secara perdata maupun
pidana.
a.
Melalui jalur perdata
Pada tanggal 24 September 2008 PT Sarana Meditama Internasional
yang merupakan pengelola RS Omni, Dr.Hengky Gosal, Sp.PD., dan
Dr.Grace Hilza Yarlen Nela menggugat Prita Mulyasari secara perdata.
Gugatan tersebut kemudian diputus oleh Pengadilan Negeri Tangerang
dengan nomor register perkara 300/PDT.G/2008/PN.TNG pada tanggal 11
Mei 2009 yang memenangkan gugatan para penggugat. Prita Mulyasari
divonis membayar kerugian materiil sebesar Rp.161.000.000,- (seratus enam
puluh juta rupiah) sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan
135
Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk kerugian imateriil. Dengan
adanya putusan tersebut Prita Mulyasari mengajukan banding.
Pengadilan Tinggi Banten kemudian menguatkan Putusan Pengadilan
Negeri Tangerang dengan putusan nomor 71/PDT/2009/PT.BTN. Isi putusan
banding tersebut berupa penolakan terhadap permohonan banding Prita
Mulyasari. Dalam putusan banding tersebut, Prita Mulyasari diwajibkan
membayar ganti rugi sebesar Rp.204.000.000,- (dua ratus empat juta rupiah)
serta diharuskan membuat iklan permohonan maaf pada surat kabar nasional
untuk sekali penerbitan. Atas putusan Pengadilan Tinggi Banten tersebut Prita
Mulyasari kemudian mengajukan kasasi.
Pada 29 September 2010, Majelis Kasasi Mahkamah Agung yang
dipimpin Dr. Harifin Tumpa, S.H., M.H. dan H.M. Hatta Ali, S.H., M.H.
serta Prof. Rehngena Purba, S.H., M.H. sebagai anggota. Dalam putusan
kasasi tersebut majelis hakim mengabulkan permohonan kasasi gugatan
perdata yang diajukan oleh Prita Mulyasari melawan PT Sarana Meditama
Internasional dengan mengeluarkan putusan kasasi nomor 300K/PDT/2010.
Dengan adanya Putusan Kasasi dari Mahkamah Agung tersebut, Prita
Mulyasari dibebaskan dari seluruh tuntutan ganti rugi tersebut.
b. Melalui jalur pidana
Pada tanggal 5 September 2008 RS Omni, dr.Hengky dan dr.Grace
melaporkan Prita Mulyasari ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda
Metro Jaya. Akibat adanya laporan tersebut sejak tanggal 13 Mei 2009 Prita
Mulyasari kemudian ditahan sebagai tahanan kejaksaan di Lapas Wanita
136
Tangerang. Alasan penahan karena Prita Mulyasari dianggap dapat melarikan
diri dan dapat menghilangkan barang bukti. Pada tanggal 2 Juni 2009
Keluarga Prita Mulyasari menerima surat perpanjangan penahanan Prita
Mulyasari hingga tanggal 23 Juni 2009.
Masyarakat bersimpati kepada Prita Mulyasari karena masih
mempunyai balita yang membutuhkan ASI. Simpati pun terus mengalir dari
semua kalangan termasuk pejabat pemerintah seperti Megawati dan Jusuf
Kalla. Komisi III DPR RI bahkan meminta Mahkamah Agung untuk
membatalkan tuntutan hukum atas Prita Mulyasari. Dengan banyaknya
perhatian dari masyarakat dan pemerintahan, Prita Mulyasari akhirnya
dibebaskan pada 3 Juni 2009 Pkl.16.20 WIB dan statusnya berubah menjadi
tahanan kota.
Pada 4 Juni 2009 sidang pertama pidana Prita Mulyasari disidangkan
di Pengadilan Negeri Tangerang. Setelah proses persidangan berlangsung,
pada tanggal 25 Juni 2009 Prita Mulyasari kemudian diputus bebas oleh
Pengadilan Negeri Tangerang dengan adanya putusan sela nomor
1269/Pid.B/2009/PN.TNG yang menyatakan bahwa Prita Mulyasari tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
pencemaran nama baik. Atas Putusan ini, Jaksa Penuntut Umum kemudian
mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi Banten.
Pengadilan Tinggi Banten kemudian mengabulkan perlawanan dari
Jaksa Penuntut Umum. Melalui putusan sela nomor 95/Pid/2009/PT.BTN
tertanggal 27 Juli 2009, majelis hakim memutuskan menerima perlawanan
137
jaksa penuntut umum dan membatalkan putusan pengadilan negeri tangerang
nomor 1269/Pid.B/2009/Pn.TNG. Dengan adanya putusan sela Pengadilan
Tinggi Banten tersebut, Pengadilan Negeri Tangerang harus membuka
kembali sidang atas nama Prita Mulyasari hingga selesai sampai putusan.
Pengadilan Negeri Tangerang kemudian kembali melanjutkan sidang
Prita Mulyasari dan kemudian menjatuhkan putusan dengan nomor
1269/Pid.B/2009/PN.TNG. Isi putusan tersebut yaitu menyatakan prita
Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana pencemaran nama baik, membebaskan Prita Mulyasari dari
semua dakwaan dan memulihkan hak Prita Mulyasari dalam kemampuan,
kedudukan dan harkat serta martabatnya. Atas putusan Pengadilan Negeri
Tangerang ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi ke
Mahkamah Agung.
Pada tanggal 30 Juni 2011, Majelis hakim kasasi mahkamah agung
yang dipimpin H.M. Zaharuddin Utama, S.H., M.H., dan R.Imam Harjadi,
S.H., M.H., serta Dr.Salman Luthan, S.H., M.H. sebagai anggota majelis,
melalui putusan kasasi nomor 822K/Pid.Sus/2010 mengabulkan permohonan
kasasi Jaksa Penuntut Umum. Prita Mulyasari divonis 6 bulan penjara dengan
masa percobaan 1 (satu) tahun. Hakim Salman Luthan dalam putusan tersebut
mengajukan beda pendapat (dissenting opinion) dan menyatakan Prita
Mulyasari tidak bersalah sehingga harus dibebaskan. Atas putusan ini, Prita
Mulyasari menyatakan mengajukan upaya hukum luar biasa, peninjauan
kembali.
138
Pada 17 September 2012, Mahkamah Agung kemudian mengabulkan
permohonan
peninjauan
kembali
tersebut
dengan
nomor
Putusan
225PK/Pid.Sus/2011. Prita Mulyasari dinyatakan bebas dan tidak terbukti
telah melakukan suatu tindak pidana.
2.
Kesesuaian Putusan Peninjauan Kembali Prita Mulyasari Nomor
225PK/Pid.Sus/2011 dengan UUPK
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis, diketahui bahwa
sepanjang diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kasus Prita Mulyasari merupakan
kasus pertama yang dijerat dengan UU ITE yang sampai tahap upaya hukum
peninjauan kembali.60 Keluh kesah yang berbentuk email tersebut dikirimkan
Prita Mulyasari ke beberapa teman sebagai bentuk curahan hati dan kekecawaan
atas pelayanan publik di RS Omni. Email yang berjudul “Penipuan Omni
International Hospital Alam Sutra Tanggerang” inilah yang kemudian menjadi
dasar tuntutan Jaksa Penuntutan Umum di Pengadilan Negeri Tangerang.
Prita Mulyasari dituntut dengan delik pencemaran nama baik (penghinaan)
sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Pasal 310 ayat
(2) junco Pasal 311 ayat (1) KUHP sesuai dengan Surat Dakwaan Kejaksaan
Negeri Tangerang Nomor Register Perkara 432/TNG/05/2009, tertanggal 20 Mei
2009.
60
Hasil Wawancara dengan Bapak Ridwan Masyur, Kepala Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada 6 November 2012
139
Jika dilihat dari hubungan antara Prita Mulyasari dengan RS Omni yang
merupakan hubungan konsumen dan pelaku usaha, maka permasalahan pokok
yang perlu dikaji dari kasus Prita Mulyasari ini adalah apakah putusan peninjauan
kembali yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim sudah sesuai dengan UUPK.
Melihat pada pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam putusan
nomor 225PK/Pid.Sus/2011 tertanggal 17 September 2011, maka dapat diketahui
bahwa Majelis Hakim lebih mengedepankan nilai keadilan daripada sebuah
kepastian hukum. Gustav Radbruch mengemukakan adanya tiga nilai dasar yang
ingin dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum,
yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, terutama nilai
kemanfaatan ini akan mengarahkan hukum pada suatu saat tertentu, sehingga
hukum itu mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakat.61 Nilai keadilan yang
dikedepankan oleh Judex Factie maupun Judex Juris dalam kasus ini terbukti
dengan menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Prita
Mulyasari. Majelis Hakim berpendapat bahwa legal standing yang dari pemohon
peninjauan
kembali
cukup
beralasan
untuk
dikabulkannya
permohonan
peninjauan kembali tersebut.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Djoko Sarwoko, Surya Jaya dan Suhadi
sebagai anggota, menyatakan Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan jaksa seperti dalam
dakwaan kesatu, kedua, dan ketiga dan membebaskannya dari semua dakwaan.
61
Gustav Radbrunch dalam Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT
Suyandaru Utama, Semarang, hlm.13.
140
Memulihkan hak terpidana dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabat.
Dalam putusan tersebut Majelis Hakim memberikan pertimbangan bahwa dalam
kasus Prita Mulyasari tersebut sangat erat kaitannya dengan kebebasan
berpendapat dan mengeluarkan pikiran. Dalam Ketentuan Pasal 28 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) diatur bahwa
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang. Jika ekspresi
berkumpul dan berpendapat Prita Mulyasari ini dianggap sebagai sebuah
penghinaan, maka hal ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 28 UUD 1945.
Kepala Biro Hukum dan Hak Asasi Manusia Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Ridwan Mansyur menyatakan bahwa majelis
hakim
dalam
pertimbangannya menjadikan perlindungan atas hak asasi manusia sebagai faktor
utama majelis hakim mengabulkan permohonan peninjauan kembali Prita
Mulyasari. Dalam Pasal Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
ditentukan bahwa:
”Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berpendapat dan
berekspresi, dan hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat
tanpa ada gangguan serta untuk mencari, menerima dan berbagi
informasi serta gagasan melalui apapun dan tanpa mengindahkan
perbatasan negara”.
Lebih lanjut, kebebasan memberikan informasi dan berita yang benar kepada
publik, dilindungi oleh Pasal 2 Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers
yang menyebutkan :
141
”Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat
yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi
hukum”.
Kebebasan berpendapat juga dilegitimasi oleh Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan :
“Setiap
orang
bebas
mempunyai,
mengeluarkan
dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan dan
atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan
memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum dan keutuhan bangsa.”
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang
sangat strategis dalam menopang jalannya kehidupan demokrasi. Hak ini dijamin
dan dilindungi oleh Negara. Namun, dalam rezim hukum dan hak asasi manusia,
selain menjamin kebebasan berekspresi ini, negara juga menjamin hak individu
atas kehormatan atau reputasi. Pengadilan lebih memilih untuk mendahulukan hak
atas reputasi daripada mempertimbangkan keduanya secara seimbang dan
seksama. Perlindungan terhadap hak atas reputasi tidak boleh mengancam
kebebasan berekspresi.
Dalam pertimbangannya majelis hakim juga berpendapat bahwa adanya
pertentangan putusan di Pengadilan Negeri Tangerang dengan Putusan Kasasi
Mahkamah Agung yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam kasus
Prita Mulyasari tersebut. Selain itu, gugatan perdata yang juga sudah diputus
hingga tingkat kasasi membebaskan Prita Mulyasari dari segala tuntutan ganti
rugi. Pertimbangan Judex Factie dan Judex Juris pada putusan terdahulu yang
mengesampingkan
kepastian
hukum
terhadap
Prita
Mulyasari
menjadi
142
pertimbangan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan peninjauan kembali.
Majelis hakim berpendapat bahwa dengan adanya pertentangan dari putusan
majelis hakim terdahulu telah menciptakan suatu celah hukum yang dapat
dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab karena putusan
tersebut akan menjadi yurisprudensi bagi putusan-putusan di masa yang akan
datang.
Pertentangan putusan tersebut yaitu di sidang perdata Prita Mulyasari yang
sudah melakukan upaya hukum hingga kasasi dinyatakan tidak terbukti secara sah
dan menyakinkan melakukan suatu penghinaan. Apa yang dikatakan oleh Prita
Mulyasari melalui surat elektronik merupakan suatu bentuk keluhan. Pernyataan
yang ditulis tidak ada maksud untuk menghina dan bukan merupakan suatu
perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi RS Omni,
Dr.Hengky dan Dr.Grace. Di sidang pidana, pada tingkat pertama di Pengadilan
Negeri Tangerang, Prita Mulyasari dibebaskan dari semua dakwaan karena
keluhan yang dikirimkan Prita Mulyasari melalui surat elektronik merupakan
suatu bentuk keluhan demi kepentingan masyarakat banyak dan fakta yang
sebenarnya dialami. Pada tingkat kasasi perbuatan Prita Mulyasari tersebut
kemudian dibenarkan telah menyebabkan pencemaran nama baik saksi korban,
dalam hal ini Dr.Hengky dan Dr.Grace, sehingga dapat merugikan praktek para
saksi korban karena pemberitaan tersebut tidak akan terhapus sampai kapan pun.
Majelis
Hakim
Peninjauan
Kembali
berpendapat
bahwa
adanya
pertentangan putusan tersebut kemudian menyebabkan tidak adanya kepastian
hukum serta keadilan bagi Prita Mulyasari. Prita Mulyasari tidak melakukan suatu
143
delik penghinaan karena isi dari surat elektronik tersebut merupakan suatu
keluhan
yang
dialamatkan
demi
kepentingan
masyarakat
berdasarkan
kejadian/fakta yang dialami oleh Prita Mulyasari. Putusan peninjauan kembali
Prita Mulyasari berdasarkan judex juris lebih memandang kepada nilai keadilan,
tidak semata-mata pada kepastian hukum.62
Dalam kedudukannya sebagai pasien hak-hak Prita Mulyasari telah
terabaikan. Salah satu hak yang telah diabaikan yaitu hak untuk mendapat
informasi yang benar atas hasil diagnosa dokter terhadap pemeriksaan kondisi
tubuh (sakit), oleh karena pihak RS Omni tidak memberikan respon positif saat
Prita Mulyasari menanyakan perihal penyakit yang sebenarnya sedang diderita.
Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 huruf (c)
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menyatakan :
”Hak konsumen antara lain adalah hak atas informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa”.
Prita Mulyasari juga menerima tindakan berupa infus dan berbagai
suntikan, dimana tindakan-tindakan tersebut diberikan tanpa melalui penjelasan
dan ijin baik dari Prita Mulyasari maupun keluarga. Prita Mulyasari kemudian
meminta keterangan perihal tujuan dari berbagai suntikan dan infus yang
diberikan kepada dirinya, namun pihak RS Omni tidak memberikan penjelasan,
keterangan maupun jawaban terkait permintaan Prita Mulyasari tersebut. Hal ini
merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4),
62
Hasil wawancara dengan Bapak Djoko Sarwoko, Ketua Majelis Hakim Peninjauan Kembali
Prita Mulyasari, Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada 6 November 2012.
144
(5) dan (6) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
yang menyatakan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasienharus
mendapat persetujuan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup : a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis, b. Tujuan
tindakan medis yang dilakukan, c. Alternatif tindakan lain dan
resikonya, d. Resiko dan kompilasi yang mungkin terjadi.
Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.
Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2),
(3), (4) dan (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Selain itu, dalam Pasal 52 Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran juga mengatur bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran, mempunyai hak:
a) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b) meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d) menolak.tindakan.medis;dan
e) mendapatkan isi rekam medis.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas menunjukan bahwa Prita
Mulyasari yang juga merupakan pasien dari RS Omni memiliki hak-hak yang
sebenarnya justru direnggut oleh RS Omni, dr.Hengky dan dr.Grace yaitu hak-hak
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung
145
maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. Jadi ketika seorang dokter
tidak memberikan pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada seorang pasien maka dokter itulah yang
sebenarnya telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Prita
Mulyasari, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata:
”Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut.”
Selain itu, Judex Facti juga tidak mempertimbangkan maksud dari Prita
Mulyasari menulis dan mengirimkan surat elektronik tersebut yang hanya
ditujukan kepada kerabat/orang-orang dekat yang semata-mata hanya ditujukan
untuk mengeluh dengan menceritakan fakta-fakta yang dialami langsung oleh
Prita Mulyasari. Tidak ada niat untuk melakukan penghinaan, atau mencemarkan
nama baik RS Omni, dr.Hengky dan dr.Grace. Hal ini menjadi tidak adil bagi
Prita Mulyasari apabila dengan menceritakan fakta-fakta yang dialami sendiri oleh
serta tidak adanya niat untuk melakukan penghinaan dan adanya hak asasi yang
dilanggar oleh RS Omni, kemudian Prita Mulyasari dinyatakan telah melakukan
Perbuatan Melawan Hukum.
Dalam perkara a quo, berlaku Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, Judex Facti Tingkat Pertama, dimana RS Omni
mengajukan bukti fotocopy Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT Sarana
Meditama International tanggal 1 Mei 2005. Hal ini telah menunjukkan bahwa RS
146
Omni adalah Pelaku Usaha. Sebagaimana yang diatur dalam UUPK pada Pasal 1
angka 1, yang berbunyi:
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorang an atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun badan badan hukum yang
didirikan danberkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”
Sementara itu, Prita Mulyasari memenuhi definisi sebagai konsumen yang
diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yangtersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain,maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.”
Dengan demikian, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 berlaku atas Prita
Mulyasari dan RS Omni. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, diatur bahwa:
“Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya
kesehatan.”
Dalam perkara a quo, dr. Hengky dan dr.Grace merupakan dokter-dokter
yang bertugas di RS Omni, sedangkan Prita Mulyasari adalah pasien. Hal ini
menunjukkan bahwa jasa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dr.Hengky dan
dr.Grace kepada Prita Mulyasari memenuhi definisi praktik kedokteran
sebagaimana disebutkan di atas, sehingga Prita Mulyasari, dr.Hengkyu dan
dr.Grace tunduk pada Undang-undang No. 29 Tahun 2004.
147
Sesuai dengan uraian fakta dari perkara a quo yang telah dijelaskan di
atas, perbuatan yang dilakukan oleh Prita Mulyasari bukan merupakan Perbuatan
Melawan Hukum karena sebagai Pasien pengguna jasa pelayanan kesehatan, Prita
Mulyasari telah melakukan kewajibannya sesuai dengan Pasal 5 huruf c dan b
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
mengatur bahwa:
“beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa, membayar nilai tukar yang telah disepakati”
Pasal 53 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
yang berbunyi:
“Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai kewajiban: Memberikan informasi yang lengkap dan
jujur tentang masalah kesehatannya; Mematuhi nasihat dan petunjuk
dokter atau dokter gigi; Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana
kesehatan; dan Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang
diterima”
Prita Mulyasari dalam perkara a quo, juga telah memenuhi hak-hak dari RS Omni,
dr.Hengky dan dr.Grace sesuai dengan Pasal 6 huruf (a) UUPK yang menetapkan:
“hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.”
dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
yang menetapkan:
“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak:
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
148
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.”
Dalam putusan peninjauan kembali nomor 225PK/Pid.Sus/2011 majelis
hakim tidak memberikan pertimbangan dalam kedudukan Prita Mulyasari sebagai
pasien dengan alasan yang menjadi pokok perkara adalah penghinaan yang
dilakukan oleh Prita Mulyasari dalam bentuk keluhan melalui surat elektronik.
Majelis hakim berpendapat bahwa pokok perkara kasus Prita Mulyasari
merupakan perlindungan hak asasi manusia dalam hal berpendapat, berekspresi
dan mengeluarkan pikiran sehingga tidak mempertimbangkan mengenai
kedudukan Prita Mulyasari sebagai seorang pasien pengguna jasa pelayanan
kesehatan.
149
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian yang telah diuraikan dalam bab-bab
sebelumnya maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Perlindungan hukum terhadap pasien sebagai pengguna jasa pelayanan
kesehatan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen diantara yaitu berupa hak-hak pasien, tanggung jawab
rumah sakit sebagai pelaku usaha, penyelesaian sengketa antara pasien dan
pelaku usaha jasa pelayanan kesehatan dan perlindungan hak atas ganti rugi.
Dokter tidak dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha di dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada saat
berada di dalam organ rumah sakit. Pada saat dokter membuka praktik
kedokteran secara pribadi maka dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha
sehingga kemudian tunduk terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran.
2. Putusan peninjauan kembali kasus Prita Mulyasari nomor 225PK/Pid.Sus/2011
belum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan
Konsumen
karena
majelis
hakim
tidak
memberikan
pertimbangan perlindungan hukum terhadap Prita Mulyasari dalam hal
kedudukan sebagai pasien atau konsumen pengguna jasa pelayanan kesehatan.
149
150
Majelis hakim hanya memberikan pertimbangan sesuai dengan dakwaan dari
jaksa penuntut umum.
B. Saran
Adapun beberapa saran penulis sehubungan dengan permasalahan hukum dalam
penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah harus membuat Undang-Undang tentang Kedudukan dan Hak
Pasien sebagai suatu legitimasi yang spesifik mengatur tentang hak-hak pasien
sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan. Dengan adanya Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran seharusnya undang-undang
mengenai kedudukan dan hak pasien harus juga dibuat agar perlindungan
antara dokter dan pasien dapat seimbang.
2. Bahwa majelis hakim dalam memutus perkara yang subjek hukumnya adalah
dokter, rumah sakit dan pasien sebaiknya merujuk pada aturan di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
merupakan payung hukum terhadap perlindungan antara pasien dan pelaku
usaha jasa pelayanan kesehatan. Majelis hakim juga harus memberikan
pertimbangan terhadap Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, yang
tunduk terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen serta Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
dan Dokter sebagai bagian dari organ rumah sakit tunduk pada UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
151
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ashofa, Burhan, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta
Halim Barkatulah, Abdul, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis
dan Perkembangan Pemikiran, FH Unlam Press, Banjarmasin
Hanitijo Soemitro, Ronny, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta
Kusuma Astuti, Endang, 2009, Perjanjian Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan
Medis di Rumah Sakit, Citra Aditya Bhakti, Bandung
Lubis, M. Sofyan, 2009, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta
Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta
___________, Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Muninjaya, A.A. Gde, 2008, Manajemen Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
Nasution, Az., 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya
Widya, Jakarta
___________, 2002, Perlindungan Konsumen; Tinjauan atas UU No.8/1999–L.N.
1999 No.42 dalam Jurnal Pusdiklat Mahkamah Agung RI Vol. 1, No.2,
April 2002, Pusdiklat MA RI, Jakarta
Redjeki Hartono, Sri, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen pada
Era Perdagangan Bebas dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar
Maju, Bandung
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta
151
152
Shofie, Yusuf, 2009, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen
Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung
Sidabalok, Janus, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra
Aditya, Bandung
Soekanto, Soerjono, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta
Sutedi, Adrian, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, Ghalia Indonesia
Tri Siwi Kristiyanti, Celina, 2008 Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta
Triwulan Tutik, Titik, dan Shinta Febriana, 2010, Perlindungan Hukum bagi
Pasien, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta
Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suyandaru
Utama, Semarang
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani,
2000, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Yuliati, 2005, Kajian Yuridis Perlindungin Hukum Bagi pasien dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
kedokteran Berkaitan dengan Malpraktik, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Malang
B. Skripsi
Lisi, Ivan Zairani, “Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen
Pelayanan Kesehatan di Kota Samarinda”, Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2008
Destyas A,.Nicky, “Perlindungan Hukum terhadap Pasien sebagai Konsumen Jasa
Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009
153
C. Jurnal
Az. Nasution, “Perlindungan Konsumen; Tinjauan atas UU No.8/1999–L.N. 1999
No.422002”, Jurnal Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Volume 1, No.2, April 2002
D. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431)
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072)
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis
Peraturan
Menteri
Kesehatan
262/MENKES/PER/III/1979
Republik
tentang
Indonesia
Ketenagaan
Rumah
Nomor
Sakit
Pemerintah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3637)
Kode Etik Kedokteran
154
E. Internet
Bahasa Indonesia, Wikipedia, “Pasien”, http://id.wikipedia.org/wiki/Pasien,
diakses pada 29 November 2012, Pkl. 20.35 WIB
Departemen
Pendidikan
Republik
Indonesia,
Pusat
Bahasa,
“Pasien”,
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 29 November
2012, Pkl. 20.41 WIB
Departemen
Pendidikan
Republik
Indonesia,
Pusat
Bahasa,
“Dokter”,
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada 29 November
2012, Pkl. 20.51 WIB
Lestari,
Ira
Cinta,
“Pengertian
Dokter
dan
Tugas
Dokter”,
http://somelus.wordpress.com/2008/11/26/pengertian-dokter-dan-tugasdokter/ diakses pada 30 November 2012, pkl.08.10 WIB
Bahasa
Indonesia,
Wikipedia,
“Rumah
sakit”,
diakses
melalui
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_sakit, diakses pada 1 Desember 2012,
pkl. 10.15 WIB
Rachmadsyah,
Shanti,
“Apakah
Dokter
Termasuk
Pelaku
Usaha”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4762/apakah-doktertermasuk-pelaku-usaha, diakses pada 3 Desember 2012, pada 19.23 WIB
F. Kamus
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Edisi Keempat, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Halim, Andreas, 2000, Kamus Indonesia-Inggris, Inggris-Indonesia, Fajar Mulya,
Surabaya
Tim The Regagere, 2009, Kamus Bahasa Belanda-Indonesia, Indonesia-Belanda,
CV Diandra Primamitra Media, Yogyakarta
Download