Uploaded by User73262

Fisiologi gizi Ulfah Qomariyah P17331112705

advertisement
FISIOLOGI GIZI
ULANGAN TENGAH SEMESTER
Diajukan untuk memenuhi Tugas mata kuliah Fisiologi Gizi
Oleh:
ULFAH QOMARIYAH
NIM. P17331112705
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
JURUSAN GIZI PROGRAM STUDI DIETISIEN
2020
1. Jawaban
a. Kerusakan apakah yang terjadi dalam tubuh Katie dan faktor apakah yang
menyebabkan hal tersebut (Sindrom insensitivitas androgen) :
Pengertian :
Sindrom insensitivitas androgen disebabkan oleh kelainan genetik pada
kromosom X. Kelainan ini menyebabkan tubuh tidak mampu merespons hormon
testosteron, yaitu hormon yang mengatur karakteristik pada laki-laki, seperti
pertumbuhan penis. Normalnya, setiap orang memiliki dua jenis kromosom seks yang
diturunkan dari orang tua, yaitu kromosom X dan Y. Bayi perempuan memiliki
kromosom XX, sedangkan bayi laki-laki memiliki kromosom XY. Pada sindrom
insensitivitas androgen, bayi laki-laki terlahir dengan kromosom XY, tetapi kelainan
genetik yang diturunkan dari ibu akan mengganggu respons tubuh anak terhadap
hormon testosteron.
Kondisi di atas menyebabkan perkembangan organ seksual anak menjadi
tidak normal. Imbasnya, organ kelamin anak bisa tumbuh sebagai perpaduan antara
organ kelamin laki-laki dan perempuan. Namun, organ dalamnya tetap sebagai organ
dalam laki-laki.
Menurut Menzoda (2011) Androgen insensitivity syndrome (AIS) adalah
kelainan yang disebabkan oleh mutasi gen yang mengkode reseptor androgen ( AR;
Xq11 – q12). Prevalensi AIS diperkirakan satu kasus di setiap 20.000 sampai 64.000
laki-laki baru lahir untuk sindrom lengkap (CAIS), dan prevalensi tidak diketahui untuk
sindrom parsial (PAIS). Gejalanya berkisar dari pria fenotipik normal dengan
gangguan spermatogenesis hingga wanita normal fenotip dengan amenore primer.
Berbagai bentuk alat kelamin ambigu telah diamati sejak lahir. Diagnosis dipastikan
dengan menentukan mutasi yang tepat pada AR gen. Individu PAIS memerlukan
diagnosis yang tepat sedini mungkin sehingga jenis kelamin dapat ditentukan,
pengobatan dapat direkomendasikan, dan mereka dapat menerima konseling genetik
yang tepat. Setelah lahir, diagnosis banding harus dilakukan dengan menggunakan
bentuk diferensiasi seksual abnormal lainnya dari amenore primer (1).
Sumber :
1) Mendoza, Nicolás dan Miguel Angel Motos. 2012. Androgen insensitivity
syndrome.
Gynecol
Endocrinol
:
0.3109/09513590.2012.705378. Epub
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22812659/
2013
2012
Jan
;29(1):15.doi:
Jul
20.
b. Mekanisme mengapa tubuh Katie terlihat feminin jika secara genetik dia laki-laki
Selama perkembangan embriologis genitalia internal terdiri dari dua
saluran aksesori; saluran mesonefrik (saluran Wolffrik) dan saluran paramesonefrik (saluran Mullerian). Duktus Themesonefrikus adalah pendahulu dari
alat kelamin pria dan perkembangannya. Di bawah pengaruh gen SRY yang
terletak di kromosom Y, di Minggu ke 7 perkembangan janin, testis memulai
diferensiasinya. Tiga hormon kunci yang bertanggung jawab untuk perkembangan
genital eksternal dan internal adalah Hormon Anti-Mullerian, testosteron dan
dihidro-testosteron disekresikan oleh testis. Hormon anti-mullerian menyebabkan
duktus
para-mesonefrik
menurun
sementara
testosteron
memengaruhi
pertumbuhan struktur aksesori pria seperti, penis, vas deferens, epididimis,
vesikula seminalis.
Sindrom insensitivitas androgen adalah kelainan genetik resesif terkait-X
yang disebabkan oleh mutasi pada gen Reseptor Androgen (AR). Akibat mutasi
pada gen AR ini, selama perkembangan janin, sel gagal merespon hormon
androgen sehingga mencegah maskulinisasi genetalia jantan. Ini juga mencegah
perkembangan karakteristik seksual sekunder laki-laki selama pubertas. Androgen
Insensitivity Syndrome (AIS) diklasifikasikan menjadi sindrom insensitivitas
androgen lengkap (CAIS), sindrom insensitivitas androgen parsial (PAIS) dan
sindrom insensitivitas androgen ringan (MAIS) berdasarkan fenotipe.
Nama lain yang diberikan untuk berbagai presentasi AIS adalah sindrom
Reifenstein, sindrom Rosewater, sindrom Morris, sindrom Gilbert-Dreyfus, sindrom
Goldberg-Maxwell, sindrom Lubs, sindrom Aiman. Gambaran klinis pada sindrom
insensitivitas androgen lengkap adalah tidak ada atau struktur mullerian
rudimenter, yaitu uterus, tuba falopi, serviks, dan vagina pendek dengan ujung
buta; dua testis non-displastik dan tidak turun; tidak adanya atau sedikit rambut
kemaluan dan rambut ketiak; payudara normal hingga terbelakang.
Riwayat keluarga akan mengungkapkan pola pewarisan terkait-X dengan
individu laki-laki yang terkena dan menunjukkan perempuan heterozigot (46, XX),
meskipun tidak ada riwayat keluarga yang signifikan tidak menghalangi diagnosis
CAIS. Sindrom Ketidaksensitifan Androgen paling sering didiagnosis pada masa
pubertas ketika pasien datang dengan amenore primer. Hal ini juga dapat
didiagnosis sebelum lahir dengan ketidaksamaan antara kariotipe yang dipetakan
dari cairan ketuban dan jenis kelamin genetik yang diverifikasi dengan USG.
Dalam kasus yang jarang, diagnosis dibuat di kemudian hari ketika pasien datang
dengan kemandulan. Meskipun belum ada kriteria diagnostik formal untuk
mengidentifikasi AIS, pemetaan kariotipe, peningkatan kadar testosteron serum,
kadar FSH serum normal atau tinggi, LH dan estradiol, pencitraan radiologis pelvis
dan pengujian genetik molekuler yang menunjukkan mutasi pada gen AR
membantu dalam diagnosis dari AIS.
Pemetaan kariotipe memegang kepentingan maksimal karena juga
membantu membedakan AIS dari kelainan genetik lain seperti sindrom Klienfelters
(47, XXY), Turners (45, XO), Disgenesis gonad campuran (45, XO; 46 XY),
Chimerisme tetragametik (46, XX; 46, XY) (2).
Sumber :
1) Fulare, Sushrut, Satish Deshmukh∗, Jyoti Gupta. Androgen Insensitivity
Syndrome: A rare genetic disorder. International Journal of Surgery Case
Reports
71
(2020)
371–373.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2210261220300444?via%3
Dihub
2. Aldosteron dan antidiuretik hormon berperan penting dalam mengatur volume dan
konsentrasi darah. Respon terhadap salah satu hormon ini terbukti bisa terjadi dalam
waktu beberapa menit dan respons terhadap hormon lainnya membutuhkan waktu
beberapa jam. Penjelasan terkait perbedaan waktu respons untuk kedua hormon
tersebut adalah sebagai berikut :
ADH adalah hormon peptida yang dibuat di hipotalamus sementara aldosteron
adalah hormon steroid yang dibuat di korteks adrenal. Selain itu, ADH adalah peptida
yang terdiri dari sembilan asam amino, sedangkan aldosteron adalah steroid yang
terbuat dari kolesterol. Oleh karena itu, ini adalah perbedaan struktural dasar antara
ADH dan aldosteron. Secara fungsional, fungsi utama ADH adalah meningkatkan
permeabilitas air pada saluran pengumpul, sedangkan fungsi utama aldosteron adalah
meningkatkan reabsorpsi aktif Na + dalam saluran pengumpul. Selain itu, ADH bekerja
melalui peningkatan permeabilitas air dengan membuka pori-pori dalam sel epitel
ginjal, sementara aldosteron bekerja melalui peningkatan aktivitas pompa natrium.
Juga, perbedaan lain antara ADH dan aldosteron adalah pelepasan setiap hormon.
ADH dilepaskan sebagai respons terhadap peningkatan osmolalitas darah atau
penurunan volume darah sementara aldosteron dilepaskan sebagai respons terhadap
peningkatan serum K, penurunan serum Na, atau perfusi ginjal yang rendah.
berdasarkan kecepatan kerjanya ADH yang merupakan hormon peptida
memberikan respon lebih cepat dan mengerahkan tindakan sementara sedangkan
aldosteron yang merupakan hormon steroid memberikan respon kerja yang lebih
lambat namun permanen.
Selain itu ADH hanya mempengaruhi retensi air yang berkaitan dengan
peningkatan reabsorpsi H2O dan mempengaruhi kerja jaringan pada ginjal, sedangkan
aldosteron kerja utamanya berkaitan dg peningkatan reabsorpsi Na+ dan ekskresi K+,
melibatkan jaringan pada ginjal, kelenjar liur, keringat, kolon distal yang kemudian
menyebabkan retensi natrium dan air, sehingga aldosteron memerlukan mekanisme
kerja yang lebih panjang.
Adapun faktorp-faktor yang menibgkatkan pelepasan aldosteron termasuk hal
berikut:
1) Peningkatan kadar renin
2) Peningkatan kadar natrium plasma
3) Penurunan kadar ACTH
Sedangkan faktor-faktor yang meningkatkan pelepasan ADH, antara lain :
1) Peningkatan osmolaritas plasma yabg dideteksi oleh osmoreseptor yang terletak
di dalam hipotalamus
2) Penurunan VSE yang dideteksi oleh reseptor volume yang terletak di dalam
sistem pembuluh darah pulmoner dan atrium kiri
3) Penurunan tekanan darah yang dideteksi oleh baroreseptor
4) Stres dan nyeri
5) Obat-obatan, termasuk morfin dan barbiturat
6) Pembedahan dan anestetik tertentu
7) Ventilator tekanan positif
Adapun faktor-faktor yang menurunkan pelepasan ADH :
1) Penurunan osmolaritas plasma
2) Peningkatan VSE
3) Peningkatan teknanan darah
4) Obat-obatan termasuk fenitoin dan etil alkohol
Sumber :
1) Horne, Mima M. 2000. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa . Jakarta :
EGC.
2) Marks, D. B., Marks, A. D., & Smith, C. M. Biokimia kedokteran dasar : sebuah
pendekatan klinis (1 ed.). Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2000
3. Perubahan kadar hormon glukokortikoid, epinefrin, insulin, dan glukagon dalam darah
setelah seseorang tidak makan selama 24 jam
Dalam keadaan hiperglikemi insulin disekresi glukosa diangkut ke sel,
sedangkan dalam keadaan hipoglikemi sekresi hormon glukagon meningkat untuk
meningkatkan kadar glukosa dalam darah. Hormon epinefrin dan glukokortikoid
berfungsi menjaga agar tidak terjadi hipoglikemi yang berlebihan.
Sejak 8 jam tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuh ma akan terjadi
hipoglikemi dan organ hati akan menggunakan cadangan glukosa terakhirnya.
respons awal untuk melawan kondisi tersebut adalah penurunan sekresi insulin dari
pankreas. Lalu, produksi glukagon oleh pankreas akan meningkat. Penurunan sekresi
insulin dan peningkatan produksi glukagon akan terdeteksi oleh hati dan direspons
dengan peningkatan glikogenolisis serta glukoneogenesis.epinefrin akan dihasilkan
semakin banyak oleh kelenjar adrenal dan menimbulkan berbagai efek terhadap sel
otot, lemak, dan ginjal untuk menurunkan pengeluaran glukosa dari tubuh. (1)
Apabila
defisiensi
meningkat. (2) Kelenjar
glukagon
adrenal
dan
terjadi,
maka
sistem
saraf
respons
perifer
epinefrin
yang
akan
mendeteksi
hipoglikemia akan memicu respons otonom yang diperantarai neurotransmiter seperti
asetilkolin dan norepinefrin. Asetilkolin merangsang rasa lapar dan diaforesis,
sedangkan norepinefrin akan memicu tremor dan palpitasi. Inilah yang kemudian
dikenal sebagai respons penyelamatan pada hipoglikemia yang juga merupakan tanda
klinis hipoglikemia yang paling mudah dikenali. (3)
Selain itu, hormon glukokortikoid juga dapat membantu dalam meningkatkan
pembentukan glukosa melalui peningkatan glukoneogenesis. Keduanya juga dapat
menghambat pengambilan glukosa di perifer yang dirangsang oleh insulin serta
meningkatkan lipolisis dan proteolisis. Namun, efek metabolik akut hormon
pertumbuhan
dan
glikokortikoid
terhadap
hipoglikemia
masih
lebih
lemah
dibandingkan efek epinefrin dan memerlukan proses hipoglikemia yang lama (3-5 jam)
sebelum efek tersebut muncul. (4)
Sumber :
1) Cryer PE. Mechanisms of Hypoglycemia-Associated Autonomic Failure and Its
Component Syndromes in Diabetes — Diabetes. Diabetes . 2005;54(12):3592–
601.
Available
from:
http://diabetes.diabetesjournals.org/cgi/content/abstract/54/12/3592
2) Cryer PE. Minireview: Glucagon in the pathogenesis of hypoglycemia and
hyperglycemia in diabetes. Endocrinology. 2012;153(3):1039–48.
3) Sprague JE, Arbeláez AM. Glucose counterregulatory responses to hypoglycemia.
Pediatr Endocrinol Rev . 2011 Sep;9(1):463-73; quiz 474-5. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22783644
4) Gerich J, Cryer P, Rizza R. Hormonal mechanisms in acute glucose
counterregulation: The relative roles of glucagon, epinephrine, norepinephrine,
growth hormone, and cortisol. Metabolism. 1980 Nov;29(11):1164–75. Available
from: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/0026049580900268
4. Kasus :
Pada pukul 2 dinihari, lampu di rumah Tuan Theo menyala yang menandakan ada
yang tidak beres di rumahnya. Tn. Theo yang menderita emfisema tidak bisa berhenti
batuk dan nafasnya juga tersengal-sengal. Istrinya kemudian menelepon RS dan
meminta agar ambulan segera datang. Di ruang gawat darurat, dari hasil pemeriksaan
terhadap jalan nafas, dokter menyimpulkan bahwa paru-paru kiri Tn. Theo telah
kolaps.
a. Mekanisme pengaruh emfisema terhadap pernapasan Tn. Theo
Emfisema adalah sebuah keadaan di mana kantong udara (alveoli) di paruparu mengalami kerusakan. Hal inilah yang pada akhirnya membuat jumlah
oksigen dalam darah berkurang.
Dalam keadaan normal alveolus bersifat elastis. Namun pada emfisema,
dinding alveoli yang mengalami kerusakan akan kehilangan elastisitasnya
sehingga udara terperangkap di dalam alveoli dan penderita akan mengalami
kesulitan untuk mengeluarkan udara dari paru-paru.
Sumber :
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2017. Emfisema, Penyakit yang
Melemahkan Fungsi Paru-Paru. PDPI Lampung & Bengkulu, 11 Jul 2017.
http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=7948
b. Peyebab paru-paru Tn. Theo kolaps, dan cara dokter dapat mendeteksi paru-paru
yang kolaps tersebut
Penyebab paru-paru kolaps :
Satuan pertukaran udara di paru disebut dengan alveoli akan mengalami
kerusakan progresif seiring waktu pada emfisema. Pasien harus inspirasi dan
ekspirasi dengan volume udara lebih besar demi memenuhi kebutuhan metabolik
distribusi oksigen (O2), pengeluaran karbon dioksida (CO2) dan menjaga
keseimbangan asam-basa. Pelebaran alveoli menyebabkan pembesaran volume
paru pada rongga toraks sehingga mengurangi kapasitas dinding dada untuk
mengembang pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi sehingga
ventilasi menjadi terbatas.
Konsekuensi emfisema lainnya adalah efek tidak langsung pada
kolapsnya saluran napas yang mengakibatkan terjadi obstruksi karena alveoli
kehilangan rekoil elastik.
Pada keadaan normal akan ada gaya traksi radial (dihasilkan oleh jaringan
penyokong pada parenkim paru) yang menarik saluran napas ke arah luar
sehingga mencegah kolapsnya saluran napas. Pada emfisema, karena terjadi
kerusakan jaringan penyokong, gaya traksi radial yang dihasilkan jadi berkurang.
Ekspirasi paksa ditandai dengan tekanan pleura yang positif dan cukup
kuat untuk menyebabkan saluran napas menjadi kolaps. Saluran napas dengan
kerusakan jaringan penyokong jadi lebih mudah kolaps dibandingkan saluran
napas normal pada ekspirasi paksa sehingga lebih mudah terjadi air trapping dan
pengurangan laju aliran udara ekspirasi.
Ketidak seim bangan protease dan antiprotease akibat pajanan asap rokok
menjadi penyebab emfisema. Penurunan rekoil elastik pada emfisema menye
babkan peningkatan volume paru serta penyempitan saluran napas (air trapping).
Hiperinflasi pada emfisema merupakan konsekuensi kondisi air trapping yang
disebabkan oleh aliran udara ekspirasi sehingga terjadi peningkatan usaha
bernapas yang menimbulkan sesak napas. Teori mengenai titik tekanan sama
pada saluran napas yang lebih mudah kolaps menjelaskan penutupan saluran
napas dini pada emfisema (1).
Diagnosis emfisema ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan seperti sesak
napas, suara napas mengi, batuk disertai atau tanpa dahak, dan nyeri dada akut.
(2)
Pemeriksaan fisik dilakukan setelah riwayat kesehatan dikumpulkan
dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pengkajian
diagnostik pada sistem pernapasan bertujuan untuk mengkaji status fungsi
anatomi dan spesimen.Pemeriksaan diagnostik untuk mengevaluasi fungsi
pernapasan termasuk uji fungsi pulmonal, oksimetri nadi, kapnografi, dan analisis
gas darah arteri.
Pemeriksaan diagnostik untuk mengevaluasi struktur anatomi termasuk
radiologi toraks dan paru-paru, ultrasonografi, CT scan, fluoroskopi, angiografi
pulmonal, PET, endoskopi, dan bronkhoskopi. Pemeriksaan diagnostik untuk
mengevaluasi spesimen termasuk pemeriksaan sputum, torasentesis, dan
pemeriksaan biopsi. (3)
Sumber :
1) Jonathan S, Damayanti T, Antariksa B. Patofisiologi Emfisema. J Respirologi
Indones [Internet]. 2019;39(1). Available from: http://www.jurnalrespirologi.org
2) KMK
RI
NOMOR
1022/MENKES/SK/XI/2008
Tentang
Pedoman
Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
3) Asih, Niluh Gede Yasmin. (2003). Keperawatan Medikal Bedah : Klien
dengan. Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : EGC.
c. bantuan ventilator untuk kasus tersebut :
Karena terjadi kolaps maka memerlukan ventilasi mekanik karena dalam
kasus ini kondisi paru-paru kiri pasien telah kolaps.
d. Alasan dari kondisi emfisema parah yang dialami oleh Tn. Theo telah merusak
alveolinya secara ekstensif dan mengurangi luas permukaan membran
pernapasannya. Meskipun pasien menerima terapi O2, namun pasien masih
memiliki keinginan yang sangat besar untuk mengambil napas (merasa tidak
mendapatkan cukup udara).
Meskipun telah diberikan terapi O2 namun alveolinya sudah mengalami
kerusakan progresif sehingga pasien harus insipirasi dan ekspirasi dengan
volume udara yang lebih besar demi memenuhi kebutuhan metabolic distribusi
oksigen, pengeluaran karbon dioksida dan menjaga keseimbangan asam basa.
Hal ini terjadi karena pelebaran alveoli menyebabkan pembesaran volume paru
pada rongga toraks sehingga mengurangi kapasitas dinding dada untuk
mengembang pada saat insipirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi sehingga
ventilasi menjadi terbatas meski telah diberikan terapi O2.
Sumber :
Jonathan S, Damayanti T, Antariksa B. Patofisiologi Emfisema. J Respirologi
Indones [Internet]. 2019;39(1). Available from: http://www.jurnalrespirologi.org
e. Yang diperlukan pembatasan zat gizi tertentu terkait kasus tersebut
Pasien COPD dapat ditingkatkan secara signifikan dengan suplemen oral
tinggi lemak, rendah karbohidrat (1). Asupan buah dan sayur terbukti bermanfaat
dalam kondisi pernapasan kronis dan akut karena mengandung antioksidan,
mineral, vitamin, flavonoid, fitokimia, dan serat (2). Asam lemak tak jenuh ganda
Omega-3 (PUFA) telah terbukti memiliki efek anti-inflamasi dan mungkin
bermanfaat dalam kondisi peradangan kronis seperti COPD dan juga pada pasien
malnutrisi (3,4). Vitamin D: Kadar vitamin D serum ditemukan rendah pada pasien
PPOK (5), dan defisiensi vitamin D terkait dengan perkembangan awal PPOK.
Berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan positif dari suplementasi vitamin
D pada pasien PPOK. Hal ini mungkin disebabkan oleh efek modulasi imun
vitamin D, dan juga membantu mengurangi miopati / kelemahan otot (6).
Suplementasi vitamin C dan E juga memainkan peran yang menjanjikan dalam
mengurangi gejala PPOK (7). Sering makan kecil yang padat kandungan nutrisi
dengan kalori yang cukup yang memenuhi pengeluaran energi basal dan
menyebabkan penambahan berat badan, makanan yang memerlukan sedikit
persiapan (misalnya suplemen nutrisi cair, microwave), istirahat sebelum makan,
dan minum multivitamin dosis harian adalah direkomendasikan.
Sumber :
1)
Cai B, Zhu Y, Ma Yi, Xu Z, Zao Yi, Wang J, Comer GM, et al. Effect of
supplementing a high-fat, low-carbohydrate enteral formula in COPD
patients. Nutrition. 2003;19:229–32.
2)
Shaheen SO, Jameson KA, Syddall HE, Aihie Sayer A, Dennison EM, Cooper
C, Robinson SM, Hertfordshire Cohort Study Group. Eur Respir J. 2010 Aug;
36(2):277-84.
3)
Rawal G, Yadav S, Shokeen P, Nagayach S. Medical nutrition therapy for the
critically ill. Int J Health Sci Res. 2015;5:384–93.
4)
Thies F, Miles EA, Nebe-von-Caron G, Powell JR, Hurst TL, Newsholme EA,
et al. Influence of dietary supplementation with long-chain n-3 or n-6
polyunsaturated fatty acids on blood inflammatory cell populations and
functions
and
on
plasma
soluble
adhesion
molecules
in
healthy
adults. Lipids. 2001;36:1183–93.
5)
Persson LJ, Aanerud M, Hiemstra PS, Hardie JA, Bakke PS, Eagan TM.
Chronic obstructive pulmonary disease is associated with low levels of vitamin
D. PLoS One. 2012;7:e38934.
6)
Rawal G, Yadav S, Shokeen P. Health and the vitamin D. Int J Health Sci
Res. 2015;5:416-23.
7)
Berthon BS, Wood LG. Nutrition and Respiratory Health—Feature
review. Nutrients. 2015;7:1618–43.
5. Maraknya penggunaan obat-obatan penekan nafsu makan “appetite suppressant”
menuai kontroversi: “apakah memberikan keuntungan atau justru membahayakan”.
Jika ditinjau dari farmakologi, terdapat 2 jenis pengobatan secara farmakologi yaitu
dengan obat sintetik (kimia) atau obat tradisional (herbal) (1)
a. Keuntungan dan kerugian penggunaan obat-obatan tersebut.
Keuntungan Obat – obat penurun nafsu makan adalah dapat mengatasi kelebihan
berat badan maupun obesitas (2).
Pada umumnya penggunaan obat tradisional dinilai lebih aman daripada
penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek
samping yang relatif lebih sedikit daripada obat modern. Akan tetapi tetap
diperlukan ketepatan penggunaan obat tradisional untuk meminimalisir efek
sampingnya, yakni : kebenaran obat, ketepatan dosis, ketepatan waktu
penggunaan, ketepatan cara penggunaan, tidak disalah gunakan, dan ketepatan
pemilihan obat untuk penyakit tertentu (3)
Sedangkan kerugian penggunaan obat- penurun berat badan antara lain :
Golongan obat yang biasa digunakan yaitu golongan gastrointestinal lipase
inhibitor contohnya adalah Orlistat. Orlistat diakui dapat digunakan jangka panjang
membantu menghambat penyerapan lemak yang dikonsumsi (4). Sayangnya,
setiap obat tentunya memiliki efek samping. Efek samping Orlistat yang mungkin
terjadi antara lain nyeri abdomen, steatorea, flatulensi, mencret, nyeri rektal,
gangguan gigi dan ginggiva, infeksi saluran napas atas, gangguan saluran napas
bawah, nyeri kepala, mens ireguler, cemas, lelah, infeksi saluran kemih,
pembentukan batu empedu, hipersensitivitas dan bahkan anafilaksis. Rata-rata,
120 mg orlistat yang dikonsumsi tiga kali per hari akan menurunkan penyerapan
lemak hingga 30%. Orlistat telah ditemukan lebih efektif dalam menghambat
pencernaan lemak dalam makanan padat, dibandingkan dengan cairan (5).
b. Jelaskan mekanisme dan cara kerja obat-obatan appetite suppressant dalam
hubungannya dengan pusat lapar dan kenyang di otak.
1) Topiramate
Obat ini merupakan obat carbonic anhidrase inhibitor lemah yang biasa
digunakan sebagai terapi kejang pada pasien epilepsi. Obat ini dikatakan juga
mempunyai efek memodulasi efek reseptor gamma aminobuthiric acid (GABA)
sehingga dapat menurunkan kerja pusat lapar. Beberapa studi yang pernah
dilakukan temyata mendapatkan penurunan berat badan hingga 6,4% dalam
waktu 12 minggu apabila diberikan dalam dosis 96 mg (6).
2) Golongan Agonis Adrenergic
Beberapa obat yang masuk dalam golongan ini adalah symphatomimetics
drugs
seperti
benzethamine,
diethylpropion
dan
phenthennin
yang
kesemuanya bersifat seperti norephinefrine. Beberapa obat pada golongan ini
bekerja dengan mekanisme yang berbeda termasuk menghambat reuptake
norephinefrine dari granul sinapnya sehingga mempunyai efek memperlama
timbulnya rasa lapar atau pada saat makan menimbulkan rasa kenyang yang
cepat (2).
3) Sibutramine
Obat ini merupakan golongan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitor yang
dapat bekerja secara sentral dan perifer. Obat ini bekerja menekan pusat lapar
dan meningkatkan rasa kenyang.( Sibutramin dan metabolitnya M1 dan M2
tidak menstimulasi reseptor serotonergik (5-HT1 atau 5-HT2), noradrenergik (
α1, α2, β1, β2, dan β3) atau reseptor dopamin secara langsung.Diperkirakan
efek penurunan berat badan karena Sibutramin disebabkan baik karena
penurunan nafsu makan dan memertahankan atau meningkatkan efak
termogenik melalui kombinasi efek pada 5-HT dan NE reuptake (2).
Sumber :
1) Liu Y, Sun M, Yao H, Liu Y, Gao R. Herbal Medicine for the Treatment of
Obesity: An Overview of Scientific Evidence from 2007 to 2017. Evidencebased Complement Altern Med. 2017;2017:1– 17.
2) Departemen Farmakologi FK Ukrida. Adakah Antiobesitas yang Aman? J
Kedokt Meditek. 2014;20(6):12–8.
3) Shofiah Sumayyah, Nada Salsabila. 2017. Obat Tradisional : Antara Khasiat
dan Efek Sampingnya. Majalah Farmasetika, Vol.2 No.5, 2017.
4) Sumithran P, Proietto J. Benefit-risk assessment of orlistat in the treatment of
obesity. Drug Saf. 2014;37(8):597-608. 23.
5) Shettar V, Patel S, Kidambi S. Epidemiology of Obesity and Pharmacologic
Treatment Options. Nutr Clin Pr. 2017;32(4):441-62.
6) Zufry H. Terapifarmakologis Pada Obesitas. J Kedokt Syiah Kuala.
2010;10(3):157–68.
Download