BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biodiversitas sangat penting dan tak ternilai harganya karena kehidupan manusia sangat bergantung padanya. Biodiversitas menggambarkan fondasi dari ekosistem, yang melalui jasa ekosistem yang dihasilkannya mempengaruhi kesejahteraan manusia. Manusia tidak akan pernah berhenti untuk berusaha meningkatkan kualitas hidupnya. Kemajuan industri dan teknologi telah dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Akan tetapi di sisi lain, berdampak kepada lingkungan, pada akhirnya berdampak pula terhadap lingkungan. Untuk melihat indikator biologis, harus mengetahui daur pencemaran lingkungan, apakah terjadi pencemaran atau tidak, maka harus diketahui keadaan lingkungan tersebut sebelum ada kegiatan yang selanjutnya akan dipakai sebagai garis dasar. Apabila terjadi perubahan (kenaikan) terhadap garis dasar (keadaan lingkungan sebelum ada kegiatan), berarti lingkungan telah mengalami pencemaran. Pencemaran lingkungan, baik melalui udara, air maupun daratan pada akhirnya akan sampai juga kepada manusia, maka perlu diketahui daur pencemaran lingkungan. Dengan memperhatikan daur pencemaran lingkungan tersebut, akan memudahkan dalam melakukan penelitian dan pengambilan analisis contoh lingkungan Dalam rangka analisis keadaan lingkungan, masalah indikator biologis perlu diketahui dan ditentukan “ada tidaknya kenaikan keadaan lingkungan dari keadaan garis dasar, melalui analisis kandungan logam/kandungan senyawa kimia yang terdapat di dalam hewan/tanaman/suatu hasil dari hewan atau tanaman. Indikator biologis dapat ditentukan dari hewan / tanaman yang terletak pada daur pencemaran lingkungan sebelum sampai kepada manusia. Maka pengambilan contoh lingkungan, baik yang berasal dari hewan maupun tanaman, haruslah yang terletak pada jalur yang menuju dan berakhir pada manusia. 1 B. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian Biodiversas ? 2. Apa saja Konsep dari Indikator Biologi ? 3. Apa Saja Tipe Indikator dan Jenis-Jenis Indikator Biologi ? 4. Apa Saja Kriteria Mahluk Hidup Sebagai Indikator Biologi ? 5. Apa Saja Indikator Biologi Kualitas Air ? 6. Apa Saja Indikator Biologi Kualitas Tanah ? 7. Apa Saja Indikator Biologi Kualitas Udara ? 8. Apa Saja Indikator Biologi Kondisi Ekosistem Secara Umum ? C. Tujuan Makalah 1. Untuk Mengetahui Pengertian Biodiversas 2. Untuk Mengetahui Konsep Dari Indikator Biologi 3. Untuk Mengetahui Tipe Indikator dan Jenis-Jenis Indikator Biologi 4. Untuk Mengetahui Kriteria Mahluk Hidup Sebagai Indikator Biologi 5. Untuk Mengetahui Indikator Biologi Kualitas Air 6. Untuk Mengetahui Indikator Biologi Kualitas Tanah 7. Untuk Mengetahui Indikator Biologi Kualitas Udara 8. Untuk Mengetahui Indikator Biologi Kondisi Ekosistem Secara Umum 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Biodiversitas Keanekaragam hayati (biological-diversity atau biodiversity) adalah semua makhluk hidup di bumi (tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme) termasuk keanekaragaman genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman ekosistem yang dibentuknya (DITR 2007). Keanekaragaman hayati itu sendiri terdiri atas tiga tingkatan (Purvis dan Hector 2000), yaitu: 1. Keanekaragaman spesies, yaitu keanekaragaman semua spesies makhluk hidup di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan yang bersel banyak atau multiseluler). 2. Keanekaragaman genetik, yaitu variasi genetik dalam satu spesies, baik di antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individuindividu dalam satu populasi. 3. Keanekaragaman ekosistem, yaitu komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing. Keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan dasar dari munculnya beragam jasa ekosistem (ecosystem services), baik dalam bentuk barang/produk maupun dalam bentuk jasa lingkungan yang sangat diperlukan oleh perikehidupan makhluk hidup, khususnya manusia. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan di berbagai sektor yang cukup pesat beberapa dekade terakhir ini, banyak ekosistem alam penyedia berbagai jasa lingkungan dan produk tersebut di atas mengalami kerusakan karena berbagai factor. 3 B. Konsep Indikator Biologi Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang saling berhubungan, yang keberadaannya atau perilakunya sangat erat berhubungan dengan kondisi lingkungan tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai satu petunjuk kualitas lingkungan atau uji kuantitatif (Setyono & Sutarto, 2008; Triadmodjo, 2008). Bioindikator menunjukkan sensitivitas dan/atau toleransi terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat penilai kondisi lingkungan (Setiawan, 2008). Bioindikator adalah makhluk yang diamati penampakannya untuk dipakai sebagai petunjuk tentang keadaan kondisi lingkungan dan sumber daya pada habitatnya. Selain itu, bioindikator mampu mencerminkan kualitas suatu lingkungan atau dapat memberikan gambaran situasi ekologi (Juliantara, 2011). Bioindikator memandang bahwa kelompok organisme adalah saling terkait, dimana kehadiran, ketidakhadiran, dan/atau tingkah lakunya sangat erat terkait dengan status lingkungan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai indikator (Winarni, 2016). Suatu organisme yang dapat memberikan respon, indikasi, peringatan dini, representasi, refleksi, dan informasi kondisi atau perubahan suatu ekosistem disebut bioindikator (Weissman et al., 2006). Bioindikator merupakan salah satu komponen penting dalam pengelolaan ekosistem. Dasar pemikiran akan adanya suatu organisme indikatif adalah adanya hubungan yang erat antara suatu organisme dengan parameter biotik dan abiotik dalam ekosistem (McGeoch et al., 2002). Suatu organisme akan berkembang secara optimal pada kondisi lingkungan ideal. Komponen ekosistem yang tidak ideal berdampak pada perubahan mekanisme kehidupan organisme (Pribadi, 2009). Bioindikator juga berarti organisme maupun anggota komunitas yang mampu memberikan informasi terkait kondisi lingkungan secara parsial, bagian kecil, atau keseluruhan. 4 Bioindikator harus mampu memberikan gambaran status lingkungan dan/atau kondisi biotik; mengindikasikan dampak perubahan habitat, perubahan komunitas atau pun ekosistem; atau menggambarkan keragaman kelompok takson, atau keragaman dalam suatu daerah yang diamati. Organisme dapat memonitor perubahan (biokimia, fisiologi, atau kebiasaan) yang mungkin mengindikasikan adanya masalah di ekosistemnya. Bioindikator dapat menunjukkan tentang kumpulan efek dari berbagai pencemar yang berbeda di ekosistem (Kripa et al., 2013). Di alam terdapat hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme yang peka dan ada pula yang tahan terhadap kondisi lingkungan tertentu. Organisme yang peka akan mati karena pencemaran dan organisme yang tahan akan tetap hidup. Siput air dan Planaria merupakan contoh hewan yang peka pencemaran. Sungai yang mengandung siput air dan planaria menunjukkan sungai tersebut belum mengalami pencemaran. Sebaliknya, cacing merah (Tubifex) merupakan cacing yang tahan hidup dan bahkan berkembang baik di lingkungan yang kaya bahan organik, meskipun spesies hewan yang lain telah mati. Ini berarti keberadaan cacing tersebut dapat dijadikan indikator adanya pencemaran zat organik. Organisme yang dapat dijadikan petunjuk pencemaran dikenal sebagai indikator biologis. Bioindikator terkadang lebih dapat dipercaya daripada indikator kimia. Pabrik yang membuang limbah ke sungai dapat mengatur pembuangan limbahnya ketika akan dikontrol oleh pihak yang berwenang. Pengukuran secara kimia pada limbah pabrik tersebut selalu menunjukkan tidak adanya pencemaran. Tetapi tidak demikian dengan makluk hidup yang menghuni ekosistem air secara terus menerus. Di sungai itu terdapat hewan-hewan, mikroorganisme, bentos, mikroinvertebrata, ganggang, yang dapat dijadikan bioindikator. 5 C. Tipe dan Jenis Indikator Biologi Menurut Setiawan (2008) indikator dalam aplikasinya dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu indikator lingkungan, indikator ekologis dan indikator keanekaragaman hayati. Ketiga indikator tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Indikator lingkungan, merupakan organisme atau kelompok populasi yang peka akan adanya lingkungan rusak, tercemar atau mengalami perubahan kondisi. Indikator lingkungan dibagi lagi menjadi 5, yaitu sentinels, detektor, eksploiter, akumulator, dan bioassay organisme. 2. Indikator ekologis, merupakan takson atau kelompok yang peka akan adanya tekanan terhadap lingkungan, mengindikasikan dampak tekanan terhadap makhluk hidup dan respon diwakili oleh sampel takson di habitat itu. 3. Indikator keanekaragaman hayati, merupakan kelompok takson atau fungsional mengindikasikan beberapa ukuran keanekaragaman atau kekayaan jenis, kekayaan sifat, dan status endemisitas takson di atasnya pada habitat tertentu. Indikator biodiversitas dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok referensi, kelompok kunci dan kelompok focal. Berdasarkan fungsinya, menurut Setiawan (2008) indikator dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Indikator (kehadiran dan absensinya menyimpulkan tentang permasalahan lingkungan, secara kuantitatif jarang). 2. Spesies uji (tanggapannya mengindikasikan tentang permasalah yang luas, spesies uji umumnya memiliki standarisasi yang tinggi) 3. Monitor (menyediakan bukti akan adanya perubahan, kesimpulan kuantitatif biasanya mungkin melalui kalibrasi). Monitor terdiri dari monitor aktif yang tersedia dengan cepat di alam) dan monitor pasif (organisme monitor yang di introduksi). Berdasarkan status makhluk hidupnya, bioindikator dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 6 1. Fitoindikator. Penerapan fitoindikator memiliki beberapa manfaat, yaitu a. Menunjukkan adanya paparan polutan, b. Memudahkan identifikasi racun, c. Menjadi indikator early warning (peringatan dini) rusaknya lingkungan, d. Menjadi early indicator (indikator dini) pemulihan lingkungan, dan e. Melengkapi data analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). 2. Zooindikator a. Keystone species dan endangered species b. Bioindication sensu lato (secara luas) Menurut Parmar et al (2016) berdasarkan pengaruh yang dapat dirasakan organisme, indikator dibagi menjadi empat, yaitu : 1. Indikator Polusi, merupakan spesies yang diketahui sensitif terhadap polusi atau mampu mendeteksi adanya polutan. 2. Indikator Lingkungan, merupakan spesies atau kelompok spesies yang merespon secara prediktif terhadap gangguan atau perubahan lingkungan (misalnya sentinel, detektor, penghisap, akumulator, dan organisme bioassay). Sistem indikator lingkungan adalah serangkaian indikator yang bertujuan untuk mendiagnosis keadaan lingkungan untuk pembuatan kebijakan lingkungan. 3. Indikator Ekologi, merupakan spesies yang diketahui sensitif terhadap fragmentasi habitat atau tekanan lainnya. Spesies ini mampu mendeteksi perubahan dalam di lingkungan alami dan dampaknya. Tanggapan indikator mewakili komunitas. 4. Indikator Keanekaragaman hayati. Kekayaan spesies dari takson indikator digunakan sebagai indikator untuk kekayaan spesies suatu komunitas. Namun, definisi tersebut telah diperluas menjadi “parameter keanekaragaman hayati yang terukur”, termasuk misalnya kekayaan spesies, 7 endemisme, parameter genetik, parameter khusus populasi, dan parameter lanskap. Berbagai jenis bioindikator dapat dijelaskan dari perspektif berbeda. Menurut tujuan bioindikasi, tiga jenis bioindikator dijelaskan perbedaannya, yaitu: 1. Indikator kepatuhan. Indikator kepatuhan, misalnya atribut populasi ikan diukur pada tingkat populasi, komunitas atau ekosistem, dan difokuskan pada isu-isu seperti keberlanjutan populasi atau masyarakat secara keseluruhan. 2. Indikator diagnostik. Indikator diagnostik dan peringatan dini diukur pada tingkat individu atau suborganisme (biomarker). 3. Indikator peringatan dini. Indikator peringatan dini berfokus pada tanggapan cepat dan sensitif terhadap perubahan lingkungan. Akumulasi bioindikator (misalnya kerang, lumut) dibedakan dari efek toksik bioindikator, dengan efek yang dipelajari pada tingkat organisasi biologis yang berbeda, D. Kriteria Makhluk Hidup Sebagai Indikator Lingkungan Menurut Odum (1993), pedoman mengenai makhluk yang dapat digunakan sebagai bioindikator, yaitu: 1. Spesies steno (kisaran toleransinya sempit) lebih baik dipakai sebagai indikator dibandingkan dengan spesies yang euri (kisaran toleransinya luas). 2. Spesies yang dewasa lebih baik dipakai sebagai indikator dibandingkan dengan yang masih muda. 3. Sebelum mempercayai penampakan mahluk sebagai indikator ekologis, maka terlebih dahulu harus ada bukti yang cukup bahwa suatu faktor yang dipermasalahkan memang benar dapat membatasi. 28 Bioindikator (Teori dan Aplikasi dalam Biomonitoring) 4. Banyak hubungan diantara jenis, populasi, dan seluruh komunitas seringkali memberikan indikator yang lebih dapat dipercaya daripada satu jenis yang 8 tunggal karena integrasi keadaan yang lebih baik dicerminkan oleh keseluruhan daripada oleh sebagian. Juliantara (2011) menyatakan bahwa bioindikator yang dapat digunakan untuk memantau keadaan polusi di suatu tempat sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Organisme yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap perubahan lingkungan. 2. Organisme yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kebiasaan hidup menetap di suatu tempat atau pemencarannya terbatas. 3. Organisme yang dijadikan sebagai bioindikator mudah dilakukan pengambilan sampel dan merupakan organisme yang umum dijumpai di lokasi pengamatan. 4. Akumulasi dari polutan tidak mengakibatkan kematian pada organisme yang dijadikan sebagai bioindikator. 5. Organisme yang dijadikan sebagai bioindikator lebih disukai yang berumur panjang, sehingga dapat diperoleh individu contoh dari berbagai stadium atau dari berbagai tingkatan umur. Selain itu, menurut Juliantara (2011) beberapa kriteria umum yang dapat digunakan untuk menggunakan suatu jenis organisme sebagai bioindikator adalah: 1. Secara taksonomi telah stabil dan cukup diketahui. 2. Sejarah alamiahnya diketahui 3. Siap dan mudah disurvei dan dimanipulasi 4. Taksa yang lebih tinggi terdistribusi secara luas pada berbagai tipe habitat 5. Taksa yang lebih rendah spesialis dan sensitif terhadap perubahan habitat 6. Pola keanekaragaman mengambarkan atau terkait dengan taksa lainnya yang berkerabat atau tidak. 7. Memiliki potensi ekonomi yang penting. 9 E. Indikator Biologi Kualitas Air 1. Pemantauan Kualitas Air Pemantauan kualitas air penting dilakukan, karena akan berhubungan kelayakan dan baku mutu air. Peratuaran Pemerintah No. 20 tahun 1990 mengelompokkan kualitas air menjadi beberapa golongan menurut peruntukannya. Adapun penggolongan air menurut peruntukannya adalah sebagai berikut. 1) Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung, tanpa pengolahan terlebih dahulu. 2) Golongan B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum. 3) Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan 4) Golongan D, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, usaha pertokoan, industri dan pembangkit listrik tenaga air. Pemantauan kualitas air suatu perairan memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut (manson, 1993); 1) Enviromental surveillance, yakni tujuan untuk mendeteksi dan mengukur pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu pencemar terhadap kualitas lingkungan dan mengetahui perbaikan kualitas lingkungan setelah pencemar tersebut dihilangkan. 2) Establishing water-quality criteria, yakni tujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara perubahan variable-variable ekologi perairan dengan parameter fisika dan kimia, untuk mendapatkan baku mutu kualitas air. 3) Appraisal of resources, yakni tujuan untuk mengetahui gambaran kualitas air pada suatu tempat secara umum. Pada hakekatnya, pemantauan kualitas air pada perairan umum memiliki tujuan diantaranya: 10 1) Mengetahui nilai kualitas air dalam bentuk parameter fisika, kimia dan biologi. 2) Membandingkan nilai kualitas air tersebut dengan baku mutu sesuai dengan peruntukannya. 3) Menilai kelayakan suatu sumber daya air untuk kepentingan tertentu. 2. Pencemaran Air Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau,sungai,lautandan air tanah akibat aktivitas manusia. Danau, sungai, lautan dan air tanah adalah bagian penting dalam siklus kehidupan manusia dan merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Selain mengalirkan air juga mengalirkan sedimen dan polutan. Berbagai macam fungsinya sangat membantu kehidupan manusia. Pemanfaatan terbesar danau, sungai, lautan dan air tanah adalah untuk irigasi pertanian, bahan baku air minum, sebagai saluran pembuangan air hujan dan air limbah, bahkan sebenarnya berpotensi sebagai objek wisata. Pencemaran air merupakan masalah global utama yang membutuhkan evaluasi dan revisi kebijakan sumber daya air pada semua tingkat (dari tingkat internasional hingga sumber air pribadi dan sumur). Telah dikatakan bahwa polusi air adalah penyebab terkemuka di dunia untuk kematian dan penyakit, dan tercatat atas kematian lebih dari 14.000 orang setiap harinya. Diperkirakan 700 juta orang India tidak memiliki akses ke toilet, dan 1.000 anak-anak India meninggal karena penyakit diare setiap hari. Sekitar 90% dari kota-kota Cina menderita polusi air hingga tingkatan tertentu, dan hampir 500 juta orang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman. Ditambah lagi selain polusi air merupakan masalah akut di negara berkembang, negara-negara industri/maju masih berjuang dengan masalah polusi juga. Dalam laporan nasional yang paling baru pada kualitas air di Amerika Serikat, 45 persen dari mil sungai dinilai, 47 11 persen dari danau hektar dinilai, dan 32 persen dari teluk dinilai dan muara mil persegi diklasifikasikan sebagai tercemar. 3. Aspek Biologi dalam Pencemaran Air Menurut Tresna; (2009) penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai tanda ada pencemaran. Spesies yang ada dalam kepadatan yang tinggi dinamakan Spesies Indeks atau organisme indikator populasi. Pencemar dalam suatu ekosistem mungkin cukup banyak, sehingga akan meracuni semua organisme yang ada disana. Biasanya suatu pencemar cukup banyak untuk membunuh spesies tertentu, tetapi tidak membahayakan spesies lainnya. Apabila air tercemar, ada kemungkinan pergeseran-pergeseran dan jumlah spesies yang banyak dengan ukuran yang sedang populasinya kepada spesies yang sedikit tetapi berpopulasi tinggi. Spesies indeks yang dapat digunakan sebagai organisme indikator biologi untuk pencemaran termasuk didalamnya fauna dasar, bakteri, ganggang, zooplankton dan ikan tertentu. Indeks spesies ini bergantung pada dua hal, yakni sifat pencemaran dan tahap eutrofikasi air tertentu. Keragaman populasi dalam suatu ekosistem perairan menunjukan eksistensi perairan tersebut. Danau sebagai salah satu ekosistem air, merupakan terminal air sementara, karena volume air dapat berkurang disaat-saat tertentu. Pengaruh populasi ini brgantung pada jumlah air yang ada dan luasan danau. Ganggang dapat dijadikan indikator pencemaran. Banyak ganggang yang tahan hidup dalam air yang tercemar. Spesies ganggang tertentu tumbuh subur sehingga menghabiskan banyak makanan air eutrofik. Proporsi pertumbuhan berbagai ganggang dapat dijadikan indikator pencemaran pada lingkungan perairan tersebut. Untuk memantau pencemaran air (sungai) digunakan kombinasi parameter fisika, kimia dan biologi. Tapi sering hanya digunakan parameter fisika seperti temperatur, warna, bau, rasa dan kekeruhan air. Atau pun parameter 12 kimia seperti partikel terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia (BOD), partikel tersuspensi (SS), Amonia (NH3). Parameter biologi masih jarang digunakan sebagai parameter penentu pencemaran. Padahal pengukuran menggunakan parameter fisika dan kimia hanya memberikan gambaran kualitas lingkungan perairan sesaat dan cenderung memberikan hasil dengan interprestasi dalam kisaran luas (Verheyen dalam Tresna, 2009). Menurut Soeparmo (1985) dampak pencemaran air dapat mempengaruhi perubahan struktur dan fungsi ekosistem sungai, baik hewan maupun tumbuhan. Setiap spesies mempunyai batas antara toleransi terhadap suatu faktor yang ada di lingkungan teori toleransi Shelford (ODUM dalam Tresna, 2009). Perbedaan batas toleransi antara dua jenis populasi terhadap faktor-faktor lingkungan mempengaruhi kemampuan berkompetisi, jika sebagai akibat suatu pencemaran limbah industri terhadap suatu lingkungan adalah berupa penurunan atau berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air, maka spesies yang mempunyai toleransi terhadap kondisi tersebut akan meningkat populasinya kaena spesies kompetisinya berkurang (Soeparmo, 1985). Menurut Hawkes (1979), banyaknya bahan pencemaran dalam perairan akan mengurangi spesies yang ada dan pada umumnya akan meningkatkan populasi jenis yang tahan terhadap kondisi perairan tersebut. Indikator biologi digunakan untuk menilai secara makro perubahan keseimbangan ekologi, khususnya ekosistem akibat pengaruh limbah. Contohnya pada suatu kawasan pertanian (persawahan), penggunaan pestisida dan insektisida akan menurunkan populasi hewan yang termasuk golongan inskta serangga baik di darat dan di air. Kondisi ini akan menghambat siklus rantai makanan, dimana si pemakan serangga akan menurun jumlahnya. Ketika rantai makanan terhambat maka keseimbangan akan bergeser. Menurut Verheyen dalam Tresna (2009), spesies yang dapat bertahan hidup pada lingkungan terpopulasi, akan menderita stress fisiologi yang dapat 13 digunakan sebagai indikator biologi. Pendapat ini juga dapat dibuktikan dengan mengamati perbedaan warna kulit pada ikan lele ketika dipelihara pada media pemeliharaan yang berbeda dan dengan kondisi kualitas air yang berbeda. Yang pertama ikan lele dipelihara pada media dengan kondisi kualitas air yang optimal dan pergantian air yang cukup. Pada kondisi ini ikan lele akan menampilkan warna kulit yang cerah. Kondisi yang kedua adalah ketika ikan lele dipelihara pada kondisi lingkungan yang terbatas dengan tanpa ada pergantian air. Pada kondisi ini ikan lele akan merespon dengan menampilkan warna kulit yang lebih gelap. Dibanding dengan menggunakan parameter fisika dan kimia, indikator biologi dapat memantau secara kotinyu. Hal ini karena komunitas biota perairan (flora/fauna) menghabiskan seluruh hidupnya di lingkungan tersebut. Di samping itu, indikator biologis merupakan petunjuk yang mudah untuk memantau terjadinya pencemaran. Adanya pencemaran lingkungan keanekaragaman spesies akan menurun dan mata rantai makanannya menjadi lebih sederhana, kecuali bila terjadi penyuburan. Flora dan fauna yang dapat dijadikan indikator biologis pencemaran sungai dapat diamati dari keanekaragaman spesies/diversitas, laju pertumbuhan struktur/sebaran umur dan seks rasio. Tingginya keanekaragaman flora dan fauna ekosistem sungai menandakan kualitas air sungai tersebut baik/belum tercemar. Tetapi sebaliknya bila keanekaragamannya kurang, sungai tersebut dapat dikatakan tercemar. Indikator biologi pencemaran sungai harus memenuhi kriteria: Mudah diidentifikasi Mudah dijadikan sample, artinya tidak perlu bantuan opertor khusus, maupun peralatan yang mahal dan dapat dilakukan secara kuantitatif. Mempunyai distribusi yang kosmopolit 14 Kelimpahan suatu spesies dapat digunakan untuk menganalisa indeks diversitas. Mempunyai arti ekonomi sebagai sumber penghasilan (ikan), atau hama/organisme pengganggu (contoh: algae) Mudah menghimpun/menimbun bahan cemar Mudah dibudidayakan di laboratorium Mempunyai keragaman jenis (gnetis/relung) yang sedikit. Rao dalam Efendi (2003), mengelompokan bahan pencemar di perairan menjadi beberapa kelompok, yaitu : 1) Limbah yang mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut (oxygen demanding waste) 2) Limbah yang mengakibatkan munculnya penyakit (disease causing agent) 3) Senyawa organik sintetis 4) Nutrient tumbuhan 5) Senyawa organik dan mineral 6) Sedimen 7) Radioaktif 8) Panas (thermal discarge) 9) Minyak Wiryono (2012) mengklasifikasikan polusi air berdasarkan sumbernya dan berdasarkan macam polutan. Berdasarkan sumbernya ada polusi dengan sumber titik tertentu (point source pollution). Ada juga polusi yang tidak bersumber dari titik tertentu (non point source pollution). Sumber polusi air dan bahan pollutan dapat diamati dengan keberadaan biota yang mendominasi pada kawasan yang tercemar tersebut. Kecenderungan organisme yang mampu bertahan hidup pada bahan cemaran air (bahan pollutan) akan mudah diamati. Contohnya Alga hijau-biru (Microytis sp) meningkat bila perairan subur/pencemar pupuk Nitrogen (N), pencemaran pupuk Phospat (PO4) 15 meningkat dapat dilihat dengan meningkatnya kehadiran Alga Hijaubiru (Anabaena sp). Beberapa tingkat pencemaran bahan organik dalam air tawar dan fauna mikro invertebrata yang terkait sebagai indikator biologis: Limbah organik yang sangat pekat (Oksigen terlarut pada taraf nol) fauna makro invertebrata yang ada hanya golongan cacing dan genus Tubifex dan Limnodrillus. Kalau kondisi air lebih baik, maka hewan golongan cacing tersebut akan diikuti oleh larva Chironomous (cacing darah) Pada zona air yng sudah pulih spesies yang khas adalah Asellus Aquaticus disamping Chironomous tetapi ada pula banyak makro invertebrata lain seperti lintah dan moluska tertentu. Setelah zona asellus, kondisi air putih lebih baik, terdapat zona Gammarus. Zona ini mungkin dianggap sebagai zona taraf pertama kembalinya fauna yang biasa terdapat pada air bersih. Ciri zona Gammarus adalah banyaknya keragaman jenis hewan makro invertebrata, termasuk Trichoptera dan Ephemeroptera. Taraf kelompok hewan lain akan kembali, yang tergantung pada tipe sungai atau hulu sungai. Hewan makro invertebrata untuk indikator biologis pencemaran organik pada beberapa tingkat stadium dibagi atas: Indikator air bersih: Ephemera, Ecdyonurus, Leuctra, Nemurella dan Perla. Indikator pencemaran ringan : Amphinemura, Ephemerella, Ceanis, Gammarus, Beatis, Valvata, Bhytynia, Hydropsyche, Limnodrius, Rhyacophyla dan Sericostoma. Indikator pencemaran sedang : Asellus, Sialis, Limneae, Physa dan Sphaerium Indikator pencemaran berat : Nais, Chironomous, Tubifex, dan Eristalis 16 F. Indikator Biologi Kualitas Tanah 1. Kualitas Air Secara umum kualitas tanah (soil quality) didefenisikan sebagai kapasitas tanah untuk berfungsi dalam suatu ekosistem dalam hubungannya dengan daya dukungnya terhadap tanaman dan hewan, pencegahan erosi dan pengurangan terjadinya pengaruh negatif terhadap sumberdaya air dan udara (Karlen et al., 1997). Kualitas tanah dapat dilihat dari 2 sisi (Seybold et al., 1999) : a. Sebagai kualitas inherent tanah (inherent soil quality) yang ditentukan oleh lima faktor pembentuk tanah, atau b. Kualitas tanah yang bersifat dinamis (dynamic soil quality), yakni perubahan fungsi tanah sebagai fungsi dari penggunaan dan pengeloaan tanah oleh manusia. Terdapat konsesus umum bahwa tata ruang lingkup kualitas tanah mencakup tiga komponen pokok yakni (Parr et al., 1992) : a. Produksi berkelanjutan yakni kemampuan tanah untuk meningkatkan produksi dan tahan terhadap erosi. b. Mutu lingkungan, yaitu mutu air, tanah dan udara dimana tanah diharapkan mampu mengurangi pencemaran lingkungan, penyakit dan kerusakan di sekitarnya. c. Kesehatan makhluk hidup, yaitu mutu makanan sebagai produksi yang dihasilkan dari tanah harus memenuhi faktor keamanan (safety) dan komposisi gizi. Karena bersifat kompleks, kualitas tanah tidak dapat diukur namun dapat diduga dari sifat-sifat tanah yang dapat diukur dan dapat dijadikan indikator dari kualitas tanah. 17 2. Indikator Kualitas Tanah Indikator kualitas tanah adalah sifat fisika, kimia dan biologi serta proses dan karakteristik yang dapat diukur untuk memantau berbagai perubahan dalam tanah (USDA, 1996). Secara lebih spesifik Doran dan Parkin (1994) menyatakan bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi kriteria: a. Berkorelasi baik dengan berbagai proses ekosistem dan berorientasi modeling. b. Mengintegrasikan berbagai sifat dan proses kimia, fisika dan biologi tanah. c. Mudah diaplikasikan pada berbagai kondisi lapang dan dapat diakses oleh para pengguna. d. Peka terhadap variasi pengelolaan dan iklim (terutama untuk menilai kualitas tanah yang bersifat dinamis). e. Sedapat mungkin merupakan komponen basis tanah. Selama ini evaluasi terhadap kualitas tanah lebih difokuskan terhadap sifat fisika dan kimia tanah karena metode pengukuran yang sederhana dari parameter tersebut relatif tersedia (Larson and Pierce, 1991). Akhir-akhir ini telah disepakati bahwa sifat-sifat biologi dan biokimia dapat lebih cepat teridentifikasi dan merupakan indikator yang sensitif dari kerusakan agroekosistem atau perubahan produktivitas tanah (Kenedy and Pependick, 1995). 3. Kerusakan Tanah (soil degradation) Kerusakan tanah didefenisikan sebagai proses atau fenomena penurunan kapasitas tanah dalam mendukung kehidupan. Arsyad (2000) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya fungsi tanah, baik fungsinya sebagai sumber unsur hara tumbuhan maupun maupun fungsinya sebagai matrik tempat akar tumbuhan berjangkar dan tempat air tersimpan. Oldeman (1993) mendefinisikan kerusakan tanah sebagai proses atau fenomena penurunan 18 kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan pada saat ini atau pada saat yang akan datang yang disebabkan oleh ulah manusia. Terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis DAS tersebut kemungkinan disebabkan beberapa faktor: a. Penggunaan dan peruntukkan lahan menyimpang dari rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Tata Ruang Daerah. Misalnya, daerah yang diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan menjadi pertanian, hutan produksi dialihfungsikan menjadi pemukiman, lahan budidaya pertanian dialihfungsikan menjadi pemukiman atau industri. b. Penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak lahan yang semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan yang hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian bahkan permukiman. Banyak lahan yang kemiringan lerengnya lebih dari 30 persen bahkan 45 persen masih dijadikan pertanian yang intensif atau pemukiman. c. Perlakuan terhadap lahan di dalam DAS tersebut tidak memenuhi syaratsyarat yang diperlukan oleh lahan tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah, serta teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak memadai. Setiap penggunaan lahan (hutan, pertanian, industri, pemukiman) harus sesuai dengan syarat, yakni menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang memadai. Teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan belum tentu memadai di bidang yang lain. Pemilihan teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan sangat dipengaruhi oleh faktor bio-fisik (tanah, topografi, penggunaan lahan, hujan/iklim) lahan yang bersangkutan. Jenis teknik konservasi tanah dan air yang tersedia untuk dipilih dan diterapkan mulai dari yang paling ringan sampai berat, antara lain, penggunaan mulsa, penanaman mengikuti kontur, pengolahan mengikuti kontur, pengolahan tanah konservasi (tanpa olah 19 tanah, pengolahan tanah minimum), pengaturan jarak tanam, penanaman dalam strip (strip cropping), dan penanaman berurutan (rotasi). d. Tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan masyarakat menerapkan konservasi tanah dan air secara mamadai di setiap penggunaan lahan. Dengan tidak adanya UU ini maka masyarakat tidak merasa berkewajiban untuk melaksanakan teknik konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus meningkat. Hal ini terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan atau penerapan teknik konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan lahan, seperti Departemen Pertanian, Departemen PU, dan Departemen Dalam Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi lahan dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air. 4. Kapasitas Penyangga dan Pemulihan Tanah Lal (2000) menyatakan bahwa resiliensi tanah tergantung pada keseimbangan antara restorasi tanah dan degradasi tanah. Proses degradasi di lahan kering antara lain memburuknya struktur tanah, gangguan terhadap siklus air, karbon dan hara, sedangkan restorasinya meliputi pembentukan mikroagregat mantap, mekanisme humifikasi dan biomassa C tanah, meningkatkan cadangan hara dan mekanisme siklus hara, dan keragaman hayati. Beberapa ahli tanah mendefenisikan pemulihan sebagai kapasitas tanah untuk memulihkan fungsi dari kemantapan (integritas) strukturalnya setelah mengalami gangguan. Seybold et al., (1990) mendefenisikan kapasitas penyangga sebagai kapasitas tanah untuk tetap melakukan fungsinya walaupun mengalami gangguan. Dinyatakannya secara langsung terdapat 3 pendekatan untuk mengkaji resiliensi tanah antara lain: 1. Mengukur secara langsung pemulihan (recovery) setelah terjadinya gangguan. 20 2. Melakukan kuantifikasi terpadu mekanisme pemulihan (recovery) setelah terjadi gangguan. 3. Mengukur sifat-sifat yang mendukung indikator mekanisme pemulihan (recovery) tersebut. G. Indikator Biologi Kualitas Udara Kemelimpahan hayati merupakan salah satu indikator lingkungan baik. Melalui berbagai penelitian, ditemukan bahwa beberapa tumbuhan ternyata menunjukan beberapa reaksi dan respon terhadap gas berbahaya, yang dapat digunakan sebagai indikator biologis tertentu untuk memantau kondisi udara. Tumbuhan yang terdampak polusi yang berbeda akan menunjukkan gejala yang berbeda. Gejala-gelaja ini dapat digunakan untuk menilai jenis polutan di udara, dan memperkirakan rentang konsentrasinya sesuai dengan tingkat kerusakan tumbuhan dan waktu pencemaran (Conti & Cecchetti, 2001). Dibandingkan dengan metode pemantauan tradisional, menggunakan tumbuhan untuk memantau polutan udara adalah metode yang lebih ekonomis, sederhana, dan dapat diandalkan. 1. Lichen Lichen merupakan gabungan bakteri (Cyanobacterium) dan alga simbiotik, sebagian besar dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang keras. Bentuk lichen adalah seperti kerak (sehingga disebut lumut kerak), tumbuh lebat pada pohon, batu dan tanah kosong. Tapi lumut peka terhadap SO2, H2S dan polutan udara lainnya, dan bahkan sejumlah kecil zat beracun dapat mempengaruhi pertumbuhannya, dan menyebabkan kematian. Kita dapat menyelidiki spesies, jumlah, dan daerah penyebaran lichen di sekitar area yang terkontaminasi untuk memperkirakan polusi (Cen, 2015). Lichen sangat sensitif terhadap polusi H2S di udara. Karena lichen tidak memiliki akar, mereka menyerap banyak bahan mentahnya langsung dari udara dan uap air di sekitar mereka. Hal ini membuat mereka sangat 21 sensitif terhadap polusi udara dan hujan asam dan karena lichen tidak memiliki cara untuk mengeluarkan polutan yang mereka serap, bahan-bahan ini tetap berada di dalam sel mereka. Karena polutan menumpuk di dalamnya, lichen dapat digunakan untuk memantau akumulasi polutan jangka panjang. Para ilmuwan mengumpulkan dan menganalisis lichen dekat sumber polusi untuk menentukan seberapa jauh polusi telah menyebar. Dibandingkan dengan indikator fisika-kimia, penggunaan lichee sebagai bioindikator tidak mahal untuk digunakan dalam mengevaluasi polusi udara. Lichen juga dapat digunakan untuk mengukur polutan unsur beracun dan logam radioaktif karena mereka mengikat zat-zat ini dalam benang jamur mereka di mana mereka memusatkan mereka dari waktu ke waktu. Para ilmuwan lingkungan kemudian dapat mengevaluasi akumulasi ini untuk menentukan sejarah udara lokal. Penggunaan Lichen sebagai indikator biologi memiliki beberapa keuntungan, yaitu: - Banyak spesies lichen memiliki rentang geografis yang luas, memungkinkan studi gradien polusi jarak jauh. - Morfologi lichen tidak bervariasi dengan musim, dan akumulasi polutan dapat terjadi sepanjang tahun. - Lichen biasanya berumur panjang. - Pertukaran air dan gas di seluruh thallus lichen membuat mereka sensitif terhadap polusi. - Lichen tidak memiliki akar dan tidak memiliki akses ke sumber nutrien tanah dan bergantung pada endapan, rembesan air di atas permukaan substrat, atmosfer dan sumber nutrisi lain yang sangat encer. Dengan demikian, kandungan jaringan mereka sebagian besar mencerminkan sumber nutrisi di atmosfer dan kontaminan. 22 - Lichen tidak memiliki jaringan pelindung atau jenis sel yang diperlukan untuk menjaga kadar air internal tetap konstan. Lichen dianggap sebagai biomonitor yang paling andal menurut karakteristik fisiologis, morfologi, dan anatomi spesifik mereka. Perubahan kualitas udara dapat dideteksi oleh spesies lichen epiphytic yang sensitif terhadap pencemar udara. Sangat penting untuk melakukan penilaian suatu daerah yang seharusnya memiliki cukup spesies liche untuk memantau polusi udara (Asif, 2018). Lebih lanjut menurut Asif (2018) lichen juga menunjukkan kepekaan terhadap beberapa polutan lain, seperti logam berat dan ozon, tetapi untuk sebagian besar kerusakan lumut dapat dikaitkan dengan SO2. Efek polusi terhadap lichen tergantung pada pH substrat, permukaan tempat lichen tumbuh. Secara umum, substrat alkalin seperti kulit dasar atau batu kapur melawan keasaman pencemaran SO2. Ketika hujan asam jatuh pada substrat, satu jenis bentuk pertumbuhan lichen akan sering diganti dengan bentuk lain yang lebih toleran. Di daerah-daerah dengan lichen yang tinggi dapat ditemukan hanya di tempat-tempat seperti luka di pohon dan di dinding batu pasir, yang memiliki pH (dasar) tinggi. 2. Bryophyta Bryofita adalah tumbuhan yang tidak memiliki sistem vascular dan sederhana baik secara morfologi maupun anatomis. Potensi pertumbuhan dalam bryofita tidak begitu terpolarisasi sebagai tanaman vaskular. Bryofita tumbuh di berbagai habitat terutama di tempat lembab di tanah, batu, batang dan ranting pohon dan batang pohon yang jatuh. Mereka mendapatkan nutrisi langsung dari zat terlarut dalam kelembaban udara. Beberapa zat mungkin diserap langsung dari substrat oleh difusi melalui sel-sel gametofit. Bryofita digunakan sebagai indikator yang dapat diandalkan dari polusi udara. Mereka dieksploitasi sebagai instrumen bryometers untuk mengukur polusi udara 23 fitotoksik. Bryofita baik secara mandiri atau bersama dengan lumut dapat menjadi organisme berharga dalam mengembangkan Index of Atmospheric Purity (IAP) yang didasarkan pada jumlah, frekuensi-cakupan dan faktor resistensi spesies. Indeks ini dapat menyediakan gambaran yang adil tentang efek jangka panjang dari polusi di daerah tertentu. Ada dua kategori bryofita sebagai respons terhadap polusi, yaitu (1) yang sangat sensitif terhadap polusi dan menunjukkan gejala-gejala cedera yang terlihat bahkan di hadapan sejumlah kecil polutan. Ini berfungsi sebagai indikator yang baik tentang tingkat polusi dan juga sifat polutan. (2) yang memiliki kapasitas untuk menyerap dan menyimpan polutan dalam jumlah yang jauh lebih tinggi daripada yang diserap oleh kelompok tanaman lain yang tumbuh di habitat yang sama. Tanaman ini menjebak dan mencegah daur ulang polutan-polutan tersebut dalam ekosistem untuk periode waktu yang berbeda. Analisis tanaman semacam itu memberi gambaran yang adil tentang tingkat pencemaran logam (Govindapyari et al., 2010). Ada gejalan menurunnya jumlah pemiskinan komunitas bryofita di dalam dan di sekitar kota-kota dan kawasan industri. Daerah pinggiran terdiri dari serangkaian habitat dengan berbagai substrat dan kelembapan air dan tunduk pada berbagai tingkat polusi. Bryofita yang menempati substrat tertentu tampak lebih sensitif terhadap polusi udara daripada yang lain. Bryofita telah menghilang dari lingkungan industri perkotaan karena kepekaannya terhadap udara yang tercemar. Keanekaragaman spesies di daerah yang tercemar tidak hanya berbeda dengan jarak dari sumber polusi tetapi juga dengan jenis substrat. (Govindapyari et al., 2010). bryofita memiliki kemampuan untuk memfasilitasi deteksi unsur-unsur yang hadir dalam konsentrasi yang sangat rendah. Lumut dapat disimpan selama beberapa tahun tanpa kerusakan yang nyata dan spesimen lama dapat dengan mudah dianalisis secara kimia. Jadi bryofita dapat berfungsi sebagai 24 “Bank Spesimen Lingkungan”. Bryofita tumbuh di berbagai habitat dan memperoleh nutrisi dari zat terlarut dalam kelembaban udara. Substansi secara langsung diserap dari substrata oleh difusi melalui sel. Polutan mencapai dalam jaringan bryofita dari pengendapan kering dalam bentuk gas dan partikel. Zat-zat ini mudah terakumulasi di pabrik dan jumlahnya melebihi dari yang ada di lingkungan sekitarnya. Jadi bryofita menunjukkan adanya elemen dan gradien konsentrasinya di masing-masing substrata. Kualitas unik dari bryofita untuk mengakumulasi unsur-unsur adalah karena distribusi mereka yang luas, kemampuan untuk tumbuh di berbagai habitat, luas permukaan yang besar, dan kurangnya kutikula dan stomata dan sifat hijau dan ektohidrat alami dari tanaman. 3. Pteridophyta Pteridofita (kelompok paku-pakuan) adalah indikator positif dari integritas hutan. Dianggap berada di antara tanaman darat paling awal muncul, pteridofita adalah kelompok yang terdiversifikasi secara global (Kreft et al., 2010). Oleh karena itu, kelompok tumbuhan ini ada di mana-mana dan memiliki kombinasi atribut menguntungkan untuk studi bioindikator. Pertama, sebagian besar herbivore (vertebrata, serangga) menghindarinya. Kedua, mereka tidak memiliki mekanisme penyerbukan biotik atau zoochory. Akhirnya, spora pteridofita memungkinkan mereka menjadi pionir di habitat asli yang terisolasi dari lainnya. Oleh karena itu, distribusi mereka erat mencerminkan kondisi habitat abiotik, memfasilitasi analisis pola kelompok taksa lainnya. Memang, pteridofita adalah salah satu perintis biodiversitas; keanekaragaman hayati mereka telah ditunjukkan untuk memprediksi kekayaan spesies secara keseluruhan (Leal et al., 2010), dan kehadiran atau ketiadaan dapat digunaka untuk membedakan pola floristik dari tipe hutan. 4. Tumbuhan Tingkat Tinggi 25 Tumbuhan tidak dapat memilih dan memindahkan tempat tinggal mereka seperti hewan, dan dengan demikian menjalani hidupnya dengan menanggapi lingkungan sekitarnya. Setiap kali komponen lingkungan, seperti suhu, kadar air tanah, nutrisi, dan polutan udara, melebihi kisaran adaptasi atau menjadi terbatas, tanaman mengembangkan gejala atau pertumbuhan abnormal. Munculnya gejala atau pertumbuhan abnormal semacam itu merupakan indikator yang baik tentang bahaya pencemaran lingkungan pada manusia. Sejumlah polutan udara, seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida, ozon, nitrat peroksikarat, halogen, dan hujan asam, dapat merusak tumbuhan. Oleh karena itu, tumbuhan menawarkan sistem alarm atau peringatan dini yang sangat baik untuk mendeteksi keberadaan konsentrasi polutan udara yang berlebihan dan sering memberikan bukti pertama bahwa udara tercemar. Respon tumbuhan, terutama gejala daun yang khas, telah lama digunakan sebagai indikator polutan udara. Selain itu, jumlah akumulasi logam juga telah digunakan sebagai bioindikator (Nouchi, 2002). Prinsip dasar pemantauan polutan udara menggunakan tumbuhan adalah menggunakan efek biologis mereka untuk polutan udara. Dapat dikatakan, gejala kerusakan organ tumbuhan terutama daun, berkaitan dengan jenis, konsentrasi, dan waktu pengontakan polutan. Situasi polusi udara, khususnya jenis-jenis polutan di udara, dapat dievaluasi melalui jenis tumbuhan yang terluka atau mengalami kerusakan dan menunjukkan gejalagejala tertentu. Selain itu, konsentrasi polutan dinilai berdasarkan jumlah tumbuhan yang terpapar dan waktu kontaminasi tumbuhan. Polutan yang berasal dari udara memasuki tumbuhan melalui stomata daun. Daun adalah bagian penting dari tumbuhan, dan merupakan organ utama untuk fotosintesis dan transpirasi. Polutan udara secara langsung dapat merusak daun. Tingkat viktimisasi secara langsung berkaitan dengan apakah 26 polusi udara masuk ke stomata atau tidak dan berapa banyak polutan yang masuk. Hal tersebut dimonitor dari gejala tanaman yang mana dan berapa banyak konsentrasi gas berbahaya (Pesch & Schroeder, 2006), khususnya (1) Memantau polusi udara menggunakan tumbuhan indikator untuk dijaga. Misalnya, menanam berbagai tumbuhan berbeda yang memiliki kepekaan, tidak hanya memperindah lingkungan tetapi juga memantau polusi. (2) Memperkirakan tingkat polusi udara melalui komunitas tumbuhan. Karena kepekaan tumbuhan berbeda terhadap pencemaran, maka reaksi berbagai jenis tumbuhan berbeda secara signifikan untuk setiap polusi udara. 5. Lebah Madu sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan Menurut Asif (2018) lebah madu sangat mungkin digunakan untuk menentukan kualitas lingkungan untuk bioindikasi. Lebah madu adalah bioindikator efisien yang bereaksi dengan cepat terhadap berbagai faktor eksternal. Kasus pencemaran lingkungan dan udara atmosfer yang telah menyumbang ketidakseimbangan tingkat kesehatan, status kehidupan, dan kualitas penduduk dalam beberapa tahun terakhir, telah dimonitor. Masalah yang ada di lingkungan dimonitor dengan menentukan jejak di pabrik dan asal-usul hewan bersama dengan lebah madu dan manusia. Lebah madu, berkat fitur morfologi mereka dan juga produknya, dianggap sebagai indikator pencemaran lingkungan yang baik oleh zat beracun, baik logam berat, unsur radioaktif, atau polutan organik yang persisten seperti pestisida. Lebah dapat membawa kembali ke sarang banyak kontaminan yang disimpan pada tumbuhan utilitarian. Pestisida yang digunakan dalam pertanian (terutama pada musim ketika kegiatan pertanian mencapai puncaknya) bukan hanya menjadi penyebab kematian lebah skala besar, tetapi juga bisa menjadi produk lebah. Kehadiran xenobiotik dalam produk ini dapat merusak kualitas dan sifat mereka, dan membahayakan kesehatan manusia (Bargañska et al., 2016). 27 Hasil penelitian Zhelyazkova (2012) menyimpulkan bahwa sangat memungkinkan untuk mengasumsikan bahwa lebah madu (Apis mellifera L.) menanggapi perubahan di lingkungan mereka dan khususnya untuk peningkatan jumlah logam berat di tanah, udara, tanaman. Itu membuat mereka menjadi indikator yang andal dan memungkinkan penggunaannya dalam biomonitoring lingkungan. Madu lebah (Apis mellifera L) adalah bioindikator yang baik karena terkait erat dengan lingkungan alam di mana ia hidup. H. Indikator Biologi Kondisi Ekosistem Secara Umum Keberadaan keanekaragaman spesies yang lebih luas, keragaman genetik dan kompleksitas struktural ekosistem memungkinkan adaptasi ekosistem yang lebih besar dan lebih baik terhadap perubahan. Sebagai kebalikannya, ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang lebih sedikit lebih rapuh dan rentan terhadap gangguan, fakta yang dapat mengubah integritas dan stabilitasnya dengan lebih mudah (Moreno et al., 2018). . Indikator biologi telah disarankan sebagai salah satu komponen dari strategi untuk menilai keberlanjutan (Venier & Pearce, 2004). Dalam konteks lokal, Indonesia memiliki berbagai macam ekosistem hutan (hutan hujan yang luar biasa). Hutan-hutan tersebut saat ini sangat terfragmentasi karena berbagai tekanan khususnya karena aktivitas manusia. Fragmen hutan dianggap sebagai salah satu tempat utama keanekaragaman hayati planet ini.kita. Fragmentasi dan degradasi habitat hutan mempengaruhi (kerentanan beberapa spesies tinggi) spesies yang sangat sensitif, mendorong penurunan serius keanekaragaman hayati. Sebagai upaya menjaga kelestarian ekosistem hutan maka perlu mempertimbangkan tingkat konservasi spesies bioindikator dan pengembangan pengelolaan hutan berkelanjutan dari sumber daya alam. Pemahaman yang lebih luas tentang keanekaragaman hayati menyiratkan pemilihan sekumpulan 28 indikator yang akan memberi gambaran seluas mungkin tentang keadaan ekologi dan alam liar. Berdasarkan tinjauan Maleque et al (2009), Tinjauan potensi bioindikator difokuskan ke beberapa kelompok arthropoda hutan. Kelompok arthropoda yang berbeda bereaksi secara berbeda terhadap pengelolaan hutan. Semut, kumbang carabid, dan laba-laba sering memberikan tanggapan skala lokal, gangguan pertumbuhan vegetasi ang disebabkan oleh penipisan dan dapat digunakan untuk menyimpulkan kesesuaian ekologi perawatan pengelolaan hutan. Kumbang kotoran dan ngengat merespon perubahan habitat yang disebabkan oleh fragmentasi hutan dan dapat menunjukkan kesesuaian teknik pengelolaan hutan tingkat lansekap. Kumbang kupu-kupu dan cerambycid merespon sangat positif terhadap keberadaan tanaman herba dan pohon understory dan dapat digunakan untuk menyimpulkan integritas perawatan penipisan dalam pengelolaan hutan. Lalat Syrphid, yang merupakan selebaran kuat yang terkait dengan kompleksitas vegetasi, dapat digunakan sebagai bioindikator praktik pengelolaan hutan tingkat lanskap. 1. Arthropoda yang digunakan Secara Frequent a. Semut Semut telah digunakan secara luas sebagai efektif bioindikator gangguan untuk manajemen ekosistem dan restorasi keanekaragaman hayati berkenaan dengan kepentingan eko-fungsional mereka dan sensitivitas tinggi terhadap gangguan ekosistem yang ditimbulkan dengan menipisnya hutan, invasi spesies, kebakaran hutan, konversi hutan, fragmentasi hutan, dan bentuk-bentuk gangguan lainnya. b. Kupu-kupu dan ngengat Kupu-kupu telah digunakan sebagai indikator ekosistem yang sehat karena mereka memiliki asosiasi yang kuat dengan variabel habitat seperti kondisi cerah, ladang penuh bunga, padang rumput, daerah perbukitan, tepi 29 hutan, dan kelimpahan tanaman herba. Pemantauan kelimpahan kupu-kupu dapat menunjukkan keberadaan seminatural kondisi; khususnya, kelimpahan bunga, understory herba penutup, dan keragaman vegetasi yang telah ditemukan untuk mempromosikan keragaman kupu-kupu dalam suatu ekosistem. Hal ini mungkin karena kekayaan spesies kupu-kupu dikaitkan dengan kekayaan jenis tumbuhan vascular, kekayaan spesies tumbuhan nektar, dan kekayaan spesies tumbuhan herba. Oleh karena itu, pemeliharaan penduduk asli vegetasi understory dan kondisi padang rumput melalui praktik kehutanan harus memastikan kupu-kupu konservasi, bahkan di hutan tanaman conifer. Ngengat juga telah digunakan sebagai bioindikator selama vegetasi pemulihan setelah gangguan lingkungan. Beberapa ngengat keluarga/subfamili (misal Arctiinae, Catocalinae, Heliothinae, Noctuinae, Hermeniidae, dan Phycitinae) menanggapi secara positif gangguan, sementara yang lain (misal, Ennominae, Geometrina, Epipaschiinae, Lymantriidae, dan Anthelidae) merespon negative terhadap gangguan. Tanggapan yang berbeda ini untuk perubahan lingkungan membuat mereka bioindikator yang sesuai. c. Carabid beetles Penggunaan carabid atau kumbang tanah bisa efektif karnea biaya karena mudah sampel, dan dengan demikian sering digunakan sebagai indikator perubahan ekosistem di padang rumput dan hutan boreal. Carabid beetles bisa digunakan untuk menyimpulkan intensitas gangguan skala lokal. Fragmentasi hutan mengurangi jumlah spesies carabid berbadan besar yang tidak menyebar dengan baik, sementara itu jumlah mereka meningkat di beberapa jenis non-hutan. Karenanya, carabid dapat digunakan untuk mengindikasikan gangguan hutan yang disebabkan oleh fragmentasi. Peneliti menemukan bahwa pertanian yang lanskapya disederhanakan mendukung kekayaan spesies carabid yang lebih tinggi, tetapi tidak mengandung atau 30 beberapa spesies berbadan besar (misalnya, Carabus spp.), Hal ini menunjukkan bahwa intensitas rendah pada padang rumput seminatural dan hutan seminatural seharusnya dipertahankan dalam lanskap pertanian berintensitas tinggi untuk melestarikan komposisi komunitas carabid pada skala lanskap. d. Kumbang Cerambycid Larva cerambycid sering tergantung pada kayu dalam berbagai kondisi, sementara yang dewasa adalah pengumpan tanaman dan penyerbuk di ekosistem hutan yang beragam, dan dengan demikian telah menjadi kelompok serangga sasaran untuk penelitian keanekaragaman hayati hutan. Kumbang cerambycid berasosiasi dengan tumbuhan berbunga, material kayu kasar, dan pohon tua (yaitu sisasisa bekas hutan tua dalam perkebunan konifer) di ekosistem hutan subtropis. Spesifisitas habitat dan kunci identifikasi sederhana membuat indikator kumbang cerambycid sesuai perubahan ekosistem hutan. e. Kumbang kotoran Kumbang kotoran tersebar luas di hampir semua bentang alam, termasuk gurun, lahan pertanian, hutan, dan padang rumput. Selain kotoran dan bangkai, beberapa memakan jamur, daun yang membusuk, dan buahbuahan. Berdasarkan karakteristik ini, kumbang kotoran dianggap sebagai takson fokus ideal untuk keanekaragaman hayati pemantauan. Kumbang kotoran bisa digunakan sebagai bioindikator yang sangat baik dari modifikasi hutan, fragmentasi, tebang habis, dan pengurangan dampak penebangan, terutama di daerah tropis. f. Laba-laba Laba-laba telah sukses digunakan sebagai bioindikator dalam praktik pengelolaan hutan karena mereka dapat dengan mudah diidentifikasi dan memiliki respon berbeda terhadap gangguan alami dan antropogenik. Laba31 laba bioindikator dari perubahan ekosistem yang disebabkan oleh tebang habis, kebakaran hutan, perkembangan vegetasi,dan kompleksitas tegakan hutan Laba-laba dengan kemampuan penyebaran tinggi dapat bertahan di vegetasi yang terisolasi, sementara spesies dengan kemampuan penyebaran yang buruk dapat hilang dari tanah yang kecil dan sangat terisolasi. Variabel respons ini membuat laba-laba menjadi baik indikator gangguan habitat akibat konversi hutan dan fragmentasi. g. Syrphid terbang Distribusi geografis yang luas dan lingkungan yang sesuai merupakan variabel penting saat larva membuat syrphid lalat berpotensi bioindikator yang baik. Lalat syrphid diakui memiliki tanggapan yang berbeda di antara hutan sekunder muda, campuran hutan, dan hutan tua. Hutan harus nilai bioindikator potensial dalam membandingkan keanekaragaman hayati berbagai habitat hutan. Dalam skala lokal, lalat syrphid adalah fitur indikator habitat struktural karena kekayaan spesies dan keragaman lalat syrphid berkorelasi positif dengan kompleksitas struktural berdiri vertikal dan vegetasi lapisan tanah. Keragaman lalat syrphid meningkat hanya setelah tebang habis tetapi menurun saat usia tegakan. Mobilitas yang tinggi lalat syrphid dewasa membuat mereka alat yang paling cocok untuk menilai keragaman hayati tingkat lanskap. h. Tawon parasite Karena posisi trofiknya yang tinggi, biologi kompleks, dan rentang inang sempit, persyaratan habitat untuk tawon parasit adalah kompleks dan khusus, dan mereka baru-baru ini digunakan sebagai bioindikator untuk habitat hutan. Peneliti menemukan bahwa parasitoid lebih berlimpah di habitat hutan campuran yang kaya spesies (terdiri dari atas pohon berdaun lebar dan kekayaan spesies pohon tinggi) daripada di hutan jenis konifer pada skala lanskap. Kedua hutan jenis dan karakteristik kayu mati memiliki efek 32 yang lebih besar pada kumpulan parasitoid, menunjukkan bahwa pemeliharaan keanekaragaman habitat kayu mati adalah penting untuk konservasi parasitoid. Pengumpulan parasitoid di antara jenis hutan yang berbeda, seperti padang alang-alang setelah kebakaran hutan, perkebunan muda dan dewasa Acacia mangium, hutan sekunder muda, dan hutan sekunder tua di dataran rendah Kalimantan Timur, Indonesia, dan menemukan bahwa pemantauan keragaman parasitoid dapat menunjukkan tahap pemulihan tegakan perkebunan. i. Nyamuk Data dari 20 survei nyamuk yang dilakukan di daerah hutan tropis dianalisis dengan menggunakan prosedur statistik multivariat (analisis korespondensi dan analisis klaster). Hasilnya ditafsirkan dalam kaitannya dengan tingkat degradasi yang dilaporkan untuk setiap hutan di lokasi pengumpulan data, memungkinkan pemilihan spesies atau kelompok spesies yang bertindak sebagai indikator yang baik dari perubahan lingkungan lokal. Dengan pendekatan ini, berbagai lokasi yang berbeda di sepanjang gradien modifikasi antropogenik berkorelasi dengan nyamuk tertentu. Model yang dihasilkan memungkinkan untuk mengklasifikasikan jenis kayu yang berbeda menurut status pengawetan mereka, dengan menggunakan spesies nyamuk yang ada. Empat nyamuk bioindikator untuk tingkat degradasi hutan tertentu di Brasil diusulkan, yaitu Kerteszia, Aedes scapularis, Mansoniini dan Haemagogus (Dorvillé, 1996). 2. Penggunaan Fungsi Ekosistem dan Beberapa Kelompok Taksonomi Jamak Beberapa kelompok artropoda memiliki arti fungsional yang telah digunakan sebagai indikator degradasi atau peningkatan peran ekologi di hutan. Secara khusus, kelimpahan penyerbuk dan musuh alami (parasitoid dan predator) dapat digunakan untuk menunjukkan peraturan untuk pertanian dan 33 kehutanan. Hewan penyerbuk berkontribusi sekitar sepertiga dari produksi tanaman, dan 60–90% spesies tanaman membutuhkan suatu hewan penyerbuk. Penyerbuk menanggapi secara kuat perubahan ekosistem dan mereka kehilangan dapat memiliki konsekuensi negatif untuk reproduksi tanaman. Spesies bumblebee meningkat seiring dengan peningkatan keanekaragaman tumbuhan, tetapi menurun dengan peningkatan ternak merumput. Di lanskap hutan-lahan pertanian campuran, hasil tanaman yang diserbuki oleh hewan mungkin menurun karena penurunan penyerbuk yang tinggal di hutan. Misalnya, bumblebee yang tinggal di hutan (yaitu, Bombus ardens sakagami dan B. sapporoensis hypocrite) telah dilaporkan sebagai penyerbuk utama di Jepang. Pemantauan kelimpahan bumblebee dapat menjadi indikasi keberhasilan penyerbukan dan hasil tanaman. Penyerbuk hutan yang tinggal di sana meningkatkan hasil kopi. Banyak musuh alami juga bisa digunakan sebagai bioindikator ekosistem-ekosistem. Hubungan fungsional antara parasitoid dan herbivora host sangat bergantung pada kepadatan, distribusi, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan habitat seperti struktur vegetasi dan tempat mencari makan untuk serangga herbivora. Selain itu, keanekaragaman spesies tanaman dan struktur lansekap habitat secara langsung mempengaruhi ketergantungan tanaman herbivora, dan secara tidak langsung mempengaruhi predator herbivora. Umumnya kompleks lanskap dengan mosaik tanaman yang terhubung dengan baik, mendukung kelimpahan dan makanan musuh yang lebih tinggi. Satu kelompok spesies, satu takson, atau satu grup fungsional tidak dapat digunakan sebagai pengganti untuk keseluruhan keanekaragaman hayati karena spesies yang berbeda dan kelompok spesies merespon secara berbeda terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, kelompok taksonomi jamak 34 telah banyak digunakan sebagai indikator keanekaragaman hayati secara keseluruhan. Sungai di banyak negara merupakan satu-satunya habitat akuatik alami. Habitat riparian menyediakan makanan dan sumber daya penampungan bagi banyak spesies, mereka bertindak sebagai koridor biologis, terbukti sangat penting untuk keanekaragaman hayati pada skala yang berbeda. Namun, daerah-daerah ini menderita dari aktivitas manusia melalui perubahan dalam penggunaan lahan, fragmentasi habitat, erosi, saluranisasi, atau penurunan kualitas air. Untuk menilai kualitas dan integritas ekologi sungai dan habitat riparian, perlu untuk mengembangkan metodologi standar. Indikator dapat merangkum atau mengelompokkan data lingkungan yang kompleks, memberikan gambaran global tentang keanekaragaman hayati dan ancamannya. Invertebrata, tanaman, atau ikan biasanya digunakan, tetapi hal ini hanya fokus pada sungai itu sendiri, mengabaikan ekosistem riparian. 3. Burung Sebagai Bioindikator Hubungan spesies-lingkungan burung terbukti menjadi indikator yang baik untuk habitat riparian sungai Mediterania (Godinho et al., 2010) dan dengan demikian dapat digunakan sebagai model untuk menilai kualitas, gangguan yang relevan, dan efisiensi proses restorasi. Survei burung dilakukan pada skala ruang dan waktu yang berbeda menggunakan metode pengukuran titik standar. Beberapa aspek berbeda dari variasi komunitas burung riparian dinilai, diantaranya (1) sepanjang gradien kompleksitas vegetasi menurun, (2) sepanjang gradien hulu-hilir, (3) lanskap sekitarnya yang berbeda, (4) waktu, (5) status manajemen, (6) waktu dan status manajemen, dan (7) sebelum dan sesudah rehabilitasi sungai (Roché et al., 2010). 35 BAB III KESIMPULAN Keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan dasar dari munculnya beragam jasa ekosistem (ecosystem services), baik dalam bentuk barang/produk maupun dalam bentuk jasa lingkungan yang sangat diperlukan oleh perikehidupan makhluk hidup, khususnya manusia. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan di berbagai sektor yang cukup pesat beberapa dekade terakhir ini, banyak ekosistem alam penyedia berbagai jasa lingkungan dan produk tersebut di atas mengalami kerusakan karena berbagai factor. Sebagai upaya menjaga kelestarian ekosistem maka perlu mempertimbangkan tingkat konservasi spesies bioindikator dan pengembangan pengelolaan ekosistem berkelanjutan dari sumber daya alam. Pemahaman yang lebih luas tentang keanekaragaman hayati menyiratkan pemilihan sekumpulan indikator yang akan memberi gambaran seluas mungkin tentang keadaan ekologi dan alam liar. 36 DAFTAR PUSTAKA DITR [Department of Industry Tourism and Resources of Australian Government]. 2007. Biodiversity Management: Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry. Department of Industry, Tourism and Resources, Government of Australia, Canberra Juliantara, K. (2011). Lintah (Hirudo medicinalis) sebagai bioindikator pencemaran lingkungan perairan tawar. Retrieved from http://www.kompasiana.com/lintah_(Hirudomedicinalis) sebagai_Bioindikator_Pencemaran_Lingkungan_Perairan_Tawar Kripa, P. K., Prasanth, K. M., Sreejesh, K. K. & Thomas, T. P. (2013). Aquatic macroinvertebrates as bioindicators of stream water quality-A case study in Koratty, Kerala, India. Research Journal of Recent Sciences, 2 (ISC-2012), 217-222 McGeoch, M.A. van Rensburg, B.J. & Botes, A. (2002). The verification and application of bioindicators: a case study of dung beetles in savanna ecosystem. J Appl Ecol, 39, 661-672. Parmar, T. K., Rawtani, D. & Agrawal, Y. K. (2016) Bioindicators: the natural indicator of environmental pollution, Frontiers in Life Science, 9(2), 110-118, DOI: 10.1080/21553769.2016.1162753. Purvis A, Hector A. 2000. Getting the measure of biodiversity. Nature 405: 212-219 Pribadi, T. (2009). Keanekaragaman komunitas rayap pada tipe penggunaan lahan yang berbeda sebagai bioindikator kualitas lingkungan (Tesis tidak diterbitkan). Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Setiawan, D. (2008). Struktur komunitas makrozoobentos sebagai bioindikator kualitas lingkungan perairan Hilir Sungai Musi. (Tesis tidak diterbitkan). Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. 37 Setyono, P. & Soetarto, E. S. (2008). Biomonitoring degradasi ekosistem akibat limbah CPO di muara Sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan metode elektromorf isozim esterase. Biodiversitas, 9(3), 232-236. Weissman, L. Fraiber, M. Shine, L. Garty, J. and Hochman, A. (2006). Responses of antioxidants in the lichen ramalina lacera may serve as a warning nearly bioindication systems for detection of water pollution stress. Fems. Microbiol. Ecol. 58, 41-53. Winarni, I. (2016) Peran mikroba sebagai biomonitoring kualitas perairan tawar pada beberapa situ. In: Peran Matematika, Sains, dan Teknologi dalam Mendukung Gaya Hidup Perkotaan (Urban Lifestyle) yang Berkualitas. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. Zannatul,. F, & Muktadir, A. K. M. (2009). A review: potent 38