Uploaded by User73261

BIODIVERSITAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Biodiversitas sangat
penting
dan
tak
ternilai
harganya
karena
kehidupan manusia sangat bergantung padanya. Biodiversitas menggambarkan
fondasi
dari
ekosistem,
yang melalui jasa ekosistem yang dihasilkannya
mempengaruhi kesejahteraan manusia. Manusia tidak akan pernah berhenti untuk
berusaha meningkatkan kualitas hidupnya. Kemajuan industri dan teknologi telah
dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Akan tetapi di sisi lain, berdampak
kepada lingkungan, pada akhirnya berdampak pula terhadap lingkungan. Untuk
melihat indikator biologis, harus mengetahui daur pencemaran lingkungan,
apakah terjadi pencemaran atau tidak, maka harus diketahui keadaan lingkungan
tersebut sebelum ada kegiatan yang selanjutnya akan dipakai sebagai garis dasar.
Apabila terjadi perubahan (kenaikan) terhadap garis dasar (keadaan lingkungan
sebelum ada kegiatan), berarti lingkungan telah mengalami pencemaran.
Pencemaran lingkungan, baik melalui udara, air maupun daratan pada
akhirnya akan sampai juga kepada manusia, maka perlu diketahui daur
pencemaran lingkungan. Dengan memperhatikan daur pencemaran lingkungan
tersebut, akan memudahkan dalam melakukan penelitian dan pengambilan
analisis contoh lingkungan Dalam rangka analisis keadaan lingkungan, masalah
indikator biologis perlu diketahui dan ditentukan “ada tidaknya kenaikan keadaan
lingkungan
dari
keadaan
garis
dasar,
melalui
analisis
kandungan
logam/kandungan senyawa kimia yang terdapat di dalam hewan/tanaman/suatu
hasil dari hewan atau tanaman. Indikator biologis dapat ditentukan dari hewan /
tanaman yang terletak pada daur pencemaran lingkungan sebelum sampai kepada
manusia. Maka pengambilan contoh lingkungan, baik yang berasal dari hewan
maupun tanaman, haruslah yang terletak pada jalur yang menuju dan berakhir
pada manusia.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Biodiversas ?
2. Apa saja Konsep dari Indikator Biologi ?
3. Apa Saja Tipe Indikator dan Jenis-Jenis Indikator Biologi ?
4. Apa Saja Kriteria Mahluk Hidup Sebagai Indikator Biologi ?
5. Apa Saja Indikator Biologi Kualitas Air ?
6. Apa Saja Indikator Biologi Kualitas Tanah ?
7. Apa Saja Indikator Biologi Kualitas Udara ?
8. Apa Saja Indikator Biologi Kondisi Ekosistem Secara Umum ?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Biodiversas
2. Untuk Mengetahui Konsep Dari Indikator Biologi
3. Untuk Mengetahui Tipe Indikator dan Jenis-Jenis Indikator Biologi
4. Untuk Mengetahui Kriteria Mahluk Hidup Sebagai Indikator Biologi
5. Untuk Mengetahui Indikator Biologi Kualitas Air
6. Untuk Mengetahui Indikator Biologi Kualitas Tanah
7. Untuk Mengetahui Indikator Biologi Kualitas Udara
8. Untuk Mengetahui Indikator Biologi Kondisi Ekosistem Secara Umum
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Biodiversitas
Keanekaragam hayati (biological-diversity atau biodiversity) adalah
semua makhluk hidup di bumi (tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme)
termasuk keanekaragaman genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman
ekosistem yang dibentuknya (DITR 2007).
Keanekaragaman hayati itu sendiri terdiri atas tiga tingkatan (Purvis dan
Hector 2000), yaitu:
1. Keanekaragaman spesies, yaitu keanekaragaman semua spesies makhluk
hidup di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom
bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan yang bersel banyak atau
multiseluler).
2. Keanekaragaman genetik, yaitu variasi genetik dalam satu spesies, baik di
antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara
individuindividu dalam satu populasi.
3. Keanekaragaman ekosistem, yaitu komunitas biologi yang berbeda serta
asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing.
Keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan dasar dari munculnya
beragam jasa ekosistem (ecosystem services), baik dalam bentuk barang/produk
maupun dalam bentuk jasa lingkungan yang sangat diperlukan oleh
perikehidupan makhluk hidup, khususnya manusia. Sejalan dengan pertambahan
jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan di berbagai sektor yang
cukup pesat beberapa dekade terakhir ini, banyak ekosistem alam penyedia
berbagai jasa lingkungan dan produk tersebut di atas mengalami kerusakan
karena berbagai factor.
3
B. Konsep Indikator Biologi
Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang saling
berhubungan, yang keberadaannya atau perilakunya sangat erat berhubungan
dengan kondisi lingkungan tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai satu
petunjuk kualitas lingkungan atau uji kuantitatif (Setyono & Sutarto, 2008;
Triadmodjo, 2008). Bioindikator menunjukkan sensitivitas dan/atau toleransi
terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai
alat penilai kondisi lingkungan (Setiawan, 2008).
Bioindikator adalah makhluk yang diamati penampakannya untuk
dipakai sebagai petunjuk tentang keadaan kondisi lingkungan dan sumber daya
pada habitatnya. Selain itu, bioindikator mampu mencerminkan kualitas suatu
lingkungan atau dapat memberikan gambaran situasi ekologi (Juliantara, 2011).
Bioindikator memandang bahwa kelompok organisme adalah saling
terkait, dimana kehadiran, ketidakhadiran, dan/atau tingkah lakunya sangat erat
terkait dengan status lingkungan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai
indikator (Winarni, 2016). Suatu organisme yang dapat memberikan respon,
indikasi, peringatan dini, representasi, refleksi, dan informasi kondisi atau
perubahan suatu ekosistem disebut bioindikator (Weissman et al., 2006).
Bioindikator
merupakan
salah
satu
komponen
penting
dalam
pengelolaan ekosistem. Dasar pemikiran akan adanya suatu organisme indikatif
adalah adanya hubungan yang erat antara suatu organisme dengan parameter
biotik dan abiotik dalam ekosistem (McGeoch et al., 2002). Suatu organisme
akan berkembang secara optimal pada kondisi lingkungan ideal. Komponen
ekosistem yang tidak ideal berdampak pada perubahan mekanisme kehidupan
organisme (Pribadi, 2009). Bioindikator juga berarti organisme maupun anggota
komunitas yang mampu memberikan informasi terkait kondisi lingkungan secara
parsial, bagian kecil, atau keseluruhan.
4
Bioindikator harus mampu memberikan gambaran status lingkungan
dan/atau kondisi biotik; mengindikasikan dampak perubahan habitat, perubahan
komunitas atau pun ekosistem; atau menggambarkan keragaman kelompok
takson, atau keragaman dalam suatu daerah yang diamati. Organisme dapat
memonitor perubahan (biokimia, fisiologi, atau kebiasaan) yang mungkin
mengindikasikan adanya masalah di ekosistemnya.
Bioindikator dapat menunjukkan tentang kumpulan efek dari berbagai
pencemar yang berbeda di ekosistem (Kripa et al., 2013). Di alam terdapat
hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme yang peka dan ada pula yang tahan
terhadap kondisi lingkungan tertentu. Organisme yang peka akan mati karena
pencemaran dan organisme yang tahan akan tetap hidup. Siput air dan Planaria
merupakan contoh hewan yang peka pencemaran. Sungai yang mengandung
siput air dan planaria menunjukkan sungai tersebut belum mengalami
pencemaran. Sebaliknya, cacing merah (Tubifex) merupakan cacing yang tahan
hidup dan bahkan berkembang baik di lingkungan yang kaya bahan organik,
meskipun spesies hewan yang lain telah mati. Ini berarti keberadaan cacing
tersebut dapat dijadikan indikator adanya pencemaran zat organik. Organisme
yang dapat dijadikan petunjuk pencemaran dikenal sebagai indikator biologis.
Bioindikator terkadang lebih dapat dipercaya daripada indikator kimia.
Pabrik yang membuang limbah ke sungai dapat mengatur pembuangan
limbahnya ketika akan dikontrol oleh pihak yang berwenang. Pengukuran secara
kimia pada limbah pabrik tersebut selalu menunjukkan tidak adanya pencemaran.
Tetapi tidak demikian dengan makluk hidup yang menghuni ekosistem air secara
terus menerus. Di sungai itu terdapat hewan-hewan, mikroorganisme, bentos,
mikroinvertebrata, ganggang, yang dapat dijadikan bioindikator.
5
C. Tipe dan Jenis Indikator Biologi
Menurut Setiawan (2008) indikator dalam aplikasinya dikelompokkan
dalam tiga kategori yaitu indikator lingkungan, indikator ekologis dan indikator
keanekaragaman hayati. Ketiga indikator tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Indikator lingkungan, merupakan organisme atau kelompok populasi yang
peka akan adanya lingkungan rusak, tercemar atau mengalami perubahan
kondisi. Indikator lingkungan dibagi lagi menjadi 5, yaitu sentinels, detektor,
eksploiter, akumulator, dan bioassay organisme.
2. Indikator ekologis, merupakan takson atau kelompok yang peka akan adanya
tekanan terhadap lingkungan, mengindikasikan dampak tekanan terhadap
makhluk hidup dan respon diwakili oleh sampel takson di habitat itu.
3. Indikator keanekaragaman hayati, merupakan kelompok takson atau
fungsional mengindikasikan beberapa ukuran keanekaragaman atau kekayaan
jenis, kekayaan sifat, dan status endemisitas takson di atasnya pada habitat
tertentu. Indikator biodiversitas dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu
kelompok referensi, kelompok kunci dan kelompok focal.
Berdasarkan fungsinya, menurut Setiawan (2008) indikator dapat
dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Indikator (kehadiran dan absensinya menyimpulkan tentang permasalahan
lingkungan, secara kuantitatif jarang).
2. Spesies uji (tanggapannya mengindikasikan tentang permasalah yang luas,
spesies uji umumnya memiliki standarisasi yang tinggi)
3. Monitor (menyediakan bukti akan adanya perubahan, kesimpulan kuantitatif
biasanya mungkin melalui kalibrasi). Monitor terdiri dari monitor aktif yang
tersedia dengan cepat di alam) dan monitor pasif (organisme monitor yang di
introduksi).
Berdasarkan status makhluk hidupnya, bioindikator dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
6
1. Fitoindikator. Penerapan fitoindikator memiliki beberapa manfaat, yaitu
a. Menunjukkan adanya paparan polutan,
b. Memudahkan identifikasi racun,
c. Menjadi indikator early warning (peringatan dini) rusaknya lingkungan,
d. Menjadi early indicator (indikator dini) pemulihan lingkungan, dan
e. Melengkapi data analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
2. Zooindikator
a. Keystone species dan endangered species
b. Bioindication sensu lato (secara luas)
Menurut Parmar et al (2016) berdasarkan pengaruh yang dapat dirasakan
organisme, indikator dibagi menjadi empat, yaitu :
1. Indikator Polusi, merupakan spesies yang diketahui sensitif terhadap polusi
atau mampu mendeteksi adanya polutan.
2. Indikator Lingkungan, merupakan spesies atau kelompok spesies yang
merespon secara prediktif terhadap gangguan atau perubahan lingkungan
(misalnya sentinel, detektor, penghisap, akumulator, dan organisme
bioassay). Sistem indikator lingkungan adalah serangkaian indikator yang
bertujuan untuk mendiagnosis keadaan lingkungan untuk pembuatan
kebijakan lingkungan.
3. Indikator Ekologi, merupakan spesies yang diketahui sensitif terhadap
fragmentasi habitat atau tekanan lainnya. Spesies ini mampu mendeteksi
perubahan dalam di lingkungan alami dan dampaknya. Tanggapan indikator
mewakili komunitas.
4. Indikator Keanekaragaman hayati. Kekayaan spesies dari takson indikator
digunakan sebagai indikator untuk kekayaan spesies suatu komunitas.
Namun,
definisi
tersebut
telah
diperluas
menjadi
“parameter
keanekaragaman hayati yang terukur”, termasuk misalnya kekayaan spesies,
7
endemisme, parameter genetik, parameter khusus populasi, dan parameter
lanskap.
Berbagai jenis bioindikator dapat dijelaskan dari perspektif berbeda.
Menurut tujuan bioindikasi, tiga jenis bioindikator dijelaskan perbedaannya,
yaitu:
1. Indikator kepatuhan. Indikator kepatuhan, misalnya atribut populasi ikan
diukur pada tingkat populasi, komunitas atau ekosistem, dan difokuskan
pada isu-isu seperti keberlanjutan populasi atau masyarakat secara
keseluruhan.
2. Indikator diagnostik. Indikator diagnostik dan peringatan dini diukur pada
tingkat individu atau suborganisme (biomarker).
3. Indikator peringatan dini. Indikator peringatan dini berfokus pada tanggapan
cepat dan sensitif terhadap perubahan lingkungan. Akumulasi bioindikator
(misalnya kerang, lumut) dibedakan dari efek toksik bioindikator, dengan
efek yang dipelajari pada tingkat organisasi biologis yang berbeda,
D. Kriteria Makhluk Hidup Sebagai Indikator Lingkungan
Menurut Odum (1993), pedoman mengenai makhluk yang dapat
digunakan sebagai bioindikator, yaitu:
1. Spesies steno (kisaran toleransinya sempit) lebih baik dipakai sebagai
indikator dibandingkan dengan spesies yang euri (kisaran toleransinya luas).
2. Spesies yang dewasa lebih baik dipakai sebagai indikator dibandingkan
dengan yang masih muda.
3. Sebelum mempercayai penampakan mahluk sebagai indikator ekologis,
maka terlebih dahulu harus ada bukti yang cukup bahwa suatu faktor yang
dipermasalahkan memang benar dapat membatasi. 28 Bioindikator (Teori
dan Aplikasi dalam Biomonitoring)
4. Banyak hubungan diantara jenis, populasi, dan seluruh komunitas seringkali
memberikan indikator yang lebih dapat dipercaya daripada satu jenis yang
8
tunggal karena integrasi keadaan yang lebih baik dicerminkan oleh
keseluruhan daripada oleh sebagian.
Juliantara (2011) menyatakan bahwa bioindikator yang dapat digunakan
untuk memantau keadaan polusi di suatu tempat sebaiknya memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Organisme yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kisaran toleransi
yang sempit terhadap perubahan lingkungan.
2. Organisme yang dijadikan sebagai bioindikator memiliki kebiasaan hidup
menetap di suatu tempat atau pemencarannya terbatas.
3. Organisme
yang
dijadikan
sebagai
bioindikator
mudah
dilakukan
pengambilan sampel dan merupakan organisme yang umum dijumpai di
lokasi pengamatan.
4. Akumulasi dari polutan tidak mengakibatkan kematian pada organisme
yang dijadikan sebagai bioindikator.
5. Organisme yang dijadikan sebagai bioindikator lebih disukai yang berumur
panjang, sehingga dapat diperoleh individu contoh dari berbagai stadium
atau dari berbagai tingkatan umur.
Selain itu, menurut Juliantara (2011) beberapa kriteria umum yang dapat
digunakan untuk menggunakan suatu jenis organisme sebagai bioindikator
adalah:
1. Secara taksonomi telah stabil dan cukup diketahui.
2. Sejarah alamiahnya diketahui
3. Siap dan mudah disurvei dan dimanipulasi
4. Taksa yang lebih tinggi terdistribusi secara luas pada berbagai tipe habitat
5. Taksa yang lebih rendah spesialis dan sensitif terhadap perubahan habitat
6. Pola keanekaragaman mengambarkan atau terkait dengan taksa lainnya yang
berkerabat atau tidak.
7. Memiliki potensi ekonomi yang penting.
9
E. Indikator Biologi Kualitas Air
1. Pemantauan Kualitas Air
Pemantauan kualitas air penting dilakukan, karena akan berhubungan
kelayakan dan baku mutu air. Peratuaran Pemerintah No. 20 tahun 1990
mengelompokkan
kualitas
air
menjadi
beberapa
golongan
menurut
peruntukannya. Adapun penggolongan air menurut peruntukannya adalah
sebagai berikut.
1) Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara
langsung, tanpa pengolahan terlebih dahulu.
2) Golongan B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum.
3) Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan
dan peternakan
4) Golongan D, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian,
usaha pertokoan, industri dan pembangkit listrik tenaga air.
Pemantauan kualitas air suatu perairan memiliki tiga tujuan utama sebagai
berikut (manson, 1993);
1) Enviromental surveillance, yakni tujuan untuk mendeteksi dan mengukur
pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu pencemar terhadap kualitas
lingkungan dan mengetahui perbaikan kualitas lingkungan setelah
pencemar tersebut dihilangkan.
2) Establishing water-quality criteria, yakni tujuan untuk mengetahui
hubungan sebab akibat antara perubahan variable-variable ekologi
perairan dengan parameter fisika dan kimia, untuk mendapatkan baku
mutu kualitas air.
3) Appraisal of resources, yakni tujuan untuk mengetahui gambaran kualitas
air pada suatu tempat secara umum.
Pada hakekatnya, pemantauan kualitas air pada perairan umum memiliki tujuan
diantaranya:
10
1) Mengetahui nilai kualitas air dalam bentuk parameter fisika, kimia dan
biologi.
2) Membandingkan nilai kualitas air tersebut dengan baku mutu sesuai
dengan peruntukannya.
3) Menilai kelayakan suatu sumber daya air untuk kepentingan tertentu.
2. Pencemaran Air
Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat
penampungan air seperti danau,sungai,lautandan air tanah akibat aktivitas
manusia. Danau, sungai, lautan dan air tanah adalah bagian penting dalam siklus
kehidupan manusia dan merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Selain
mengalirkan air juga mengalirkan sedimen dan polutan. Berbagai macam
fungsinya sangat membantu kehidupan manusia. Pemanfaatan terbesar danau,
sungai, lautan dan air tanah adalah untuk irigasi pertanian, bahan baku air
minum, sebagai saluran pembuangan air hujan dan air limbah, bahkan
sebenarnya berpotensi sebagai objek wisata.
Pencemaran air merupakan masalah global utama yang membutuhkan
evaluasi dan revisi kebijakan sumber daya air pada semua tingkat (dari tingkat
internasional hingga sumber air pribadi dan sumur). Telah dikatakan bahwa
polusi air adalah penyebab terkemuka di dunia untuk kematian dan penyakit, dan
tercatat atas kematian lebih dari 14.000 orang setiap harinya. Diperkirakan 700
juta orang India tidak memiliki akses ke toilet, dan 1.000 anak-anak India
meninggal karena penyakit diare setiap hari. Sekitar 90% dari kota-kota Cina
menderita polusi air hingga tingkatan tertentu, dan hampir 500 juta orang tidak
memiliki akses terhadap air minum yang aman. Ditambah lagi selain polusi air
merupakan masalah akut di negara berkembang, negara-negara industri/maju
masih berjuang dengan masalah polusi juga. Dalam laporan nasional yang paling
baru pada kualitas air di Amerika Serikat, 45 persen dari mil sungai dinilai, 47
11
persen dari danau hektar dinilai, dan 32 persen dari teluk dinilai dan muara mil
persegi diklasifikasikan sebagai tercemar.
3. Aspek Biologi dalam Pencemaran Air
Menurut Tresna; (2009) penurunan dalam keanekaragaman spesies
dapat juga dianggap sebagai tanda ada pencemaran. Spesies yang ada dalam
kepadatan yang tinggi dinamakan Spesies Indeks atau organisme indikator
populasi. Pencemar dalam suatu ekosistem mungkin cukup banyak, sehingga
akan meracuni semua organisme yang ada disana. Biasanya suatu pencemar
cukup banyak untuk membunuh spesies tertentu, tetapi tidak membahayakan
spesies lainnya. Apabila air tercemar, ada kemungkinan pergeseran-pergeseran
dan jumlah spesies yang banyak dengan ukuran yang sedang populasinya kepada
spesies yang sedikit tetapi berpopulasi tinggi.
Spesies indeks yang dapat digunakan sebagai organisme indikator
biologi untuk pencemaran termasuk didalamnya fauna dasar, bakteri, ganggang,
zooplankton dan ikan tertentu. Indeks spesies ini bergantung pada dua hal, yakni
sifat pencemaran dan tahap eutrofikasi air tertentu. Keragaman populasi dalam
suatu ekosistem perairan menunjukan eksistensi perairan tersebut. Danau sebagai
salah satu ekosistem air, merupakan terminal air sementara, karena volume air
dapat berkurang disaat-saat tertentu. Pengaruh populasi ini brgantung pada
jumlah air yang ada dan luasan danau.
Ganggang dapat dijadikan indikator pencemaran. Banyak ganggang
yang tahan hidup dalam air yang tercemar. Spesies ganggang tertentu tumbuh
subur sehingga menghabiskan banyak makanan air eutrofik. Proporsi
pertumbuhan berbagai ganggang dapat dijadikan indikator pencemaran pada
lingkungan perairan tersebut.
Untuk memantau pencemaran air (sungai) digunakan kombinasi
parameter fisika, kimia dan biologi. Tapi sering hanya digunakan parameter
fisika seperti temperatur, warna, bau, rasa dan kekeruhan air. Atau pun parameter
12
kimia seperti partikel terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia (BOD), partikel
tersuspensi (SS), Amonia (NH3). Parameter biologi masih jarang digunakan
sebagai parameter penentu pencemaran. Padahal pengukuran menggunakan
parameter fisika dan kimia hanya memberikan gambaran kualitas lingkungan
perairan sesaat dan cenderung memberikan hasil dengan interprestasi dalam
kisaran luas (Verheyen dalam Tresna, 2009).
Menurut Soeparmo (1985) dampak pencemaran air dapat mempengaruhi
perubahan struktur dan fungsi ekosistem sungai, baik hewan maupun tumbuhan.
Setiap spesies mempunyai batas antara toleransi terhadap suatu faktor yang ada
di lingkungan teori toleransi Shelford (ODUM dalam Tresna, 2009). Perbedaan
batas toleransi antara dua jenis populasi terhadap faktor-faktor lingkungan
mempengaruhi kemampuan berkompetisi, jika sebagai akibat suatu pencemaran
limbah industri terhadap suatu lingkungan adalah berupa penurunan atau
berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air, maka spesies yang mempunyai
toleransi terhadap kondisi tersebut akan meningkat populasinya kaena spesies
kompetisinya berkurang (Soeparmo, 1985).
Menurut Hawkes (1979), banyaknya bahan pencemaran dalam perairan
akan mengurangi spesies yang ada dan pada umumnya akan meningkatkan
populasi jenis yang tahan terhadap kondisi perairan tersebut. Indikator biologi
digunakan untuk menilai secara makro perubahan keseimbangan ekologi,
khususnya ekosistem akibat pengaruh limbah. Contohnya pada suatu kawasan
pertanian (persawahan), penggunaan pestisida dan insektisida akan menurunkan
populasi hewan yang termasuk golongan inskta serangga baik di darat dan di air.
Kondisi ini akan menghambat siklus rantai makanan, dimana si pemakan
serangga akan menurun jumlahnya. Ketika rantai makanan terhambat maka
keseimbangan akan bergeser.
Menurut Verheyen dalam Tresna (2009), spesies yang dapat bertahan
hidup pada lingkungan terpopulasi, akan menderita stress fisiologi yang dapat
13
digunakan sebagai indikator biologi. Pendapat ini juga dapat dibuktikan dengan
mengamati perbedaan warna kulit pada ikan lele ketika dipelihara pada media
pemeliharaan yang berbeda dan dengan kondisi kualitas air yang berbeda. Yang
pertama ikan lele dipelihara pada media dengan kondisi kualitas air yang optimal
dan pergantian air yang cukup. Pada kondisi ini ikan lele akan menampilkan
warna kulit yang cerah. Kondisi yang kedua adalah ketika ikan lele dipelihara
pada kondisi lingkungan yang terbatas dengan tanpa ada pergantian air. Pada
kondisi ini ikan lele akan merespon dengan menampilkan warna kulit yang lebih
gelap.
Dibanding dengan menggunakan parameter fisika dan kimia, indikator
biologi dapat memantau secara kotinyu. Hal ini karena komunitas biota perairan
(flora/fauna) menghabiskan seluruh hidupnya di lingkungan tersebut. Di samping
itu, indikator biologis merupakan petunjuk yang mudah untuk memantau
terjadinya pencemaran. Adanya pencemaran lingkungan keanekaragaman spesies
akan menurun dan mata rantai makanannya menjadi lebih sederhana, kecuali bila
terjadi penyuburan. Flora dan fauna yang dapat dijadikan indikator biologis
pencemaran sungai dapat diamati dari keanekaragaman spesies/diversitas, laju
pertumbuhan struktur/sebaran umur dan seks rasio. Tingginya keanekaragaman
flora dan fauna ekosistem sungai menandakan kualitas air sungai tersebut
baik/belum tercemar. Tetapi sebaliknya bila keanekaragamannya kurang, sungai
tersebut dapat dikatakan tercemar.
Indikator biologi pencemaran sungai harus memenuhi kriteria:

Mudah diidentifikasi

Mudah dijadikan sample, artinya tidak perlu bantuan opertor
khusus, maupun peralatan yang mahal dan dapat dilakukan secara
kuantitatif.

Mempunyai distribusi yang kosmopolit
14

Kelimpahan suatu spesies dapat digunakan untuk menganalisa
indeks diversitas.

Mempunyai arti ekonomi sebagai sumber penghasilan (ikan), atau
hama/organisme pengganggu (contoh: algae)

Mudah menghimpun/menimbun bahan cemar

Mudah dibudidayakan di laboratorium

Mempunyai keragaman jenis (gnetis/relung) yang sedikit.
Rao dalam Efendi (2003), mengelompokan bahan pencemar di perairan
menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1) Limbah yang mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut (oxygen
demanding waste)
2) Limbah yang mengakibatkan munculnya penyakit (disease causing agent)
3) Senyawa organik sintetis
4) Nutrient tumbuhan
5) Senyawa organik dan mineral
6) Sedimen
7) Radioaktif
8) Panas (thermal discarge)
9) Minyak
Wiryono (2012) mengklasifikasikan polusi air berdasarkan sumbernya
dan berdasarkan macam polutan. Berdasarkan sumbernya ada polusi dengan
sumber titik tertentu (point source pollution). Ada juga polusi yang tidak
bersumber dari titik tertentu (non point source pollution).
Sumber polusi air dan bahan pollutan dapat diamati dengan keberadaan
biota yang mendominasi pada kawasan yang tercemar tersebut. Kecenderungan
organisme yang mampu bertahan hidup pada bahan cemaran air (bahan pollutan)
akan mudah diamati. Contohnya Alga hijau-biru (Microytis sp) meningkat bila
perairan subur/pencemar pupuk Nitrogen (N), pencemaran pupuk Phospat (PO4)
15
meningkat dapat dilihat dengan meningkatnya kehadiran Alga Hijaubiru
(Anabaena sp). Beberapa tingkat pencemaran bahan organik dalam air tawar dan
fauna mikro invertebrata yang terkait sebagai indikator biologis:

Limbah organik yang sangat pekat (Oksigen terlarut pada taraf nol) fauna
makro invertebrata yang ada hanya golongan cacing dan genus Tubifex
dan Limnodrillus.

Kalau kondisi air lebih baik, maka hewan golongan cacing tersebut akan
diikuti oleh larva Chironomous (cacing darah)

Pada zona air yng sudah pulih spesies yang khas adalah Asellus Aquaticus
disamping Chironomous tetapi ada pula banyak makro invertebrata lain
seperti lintah dan moluska tertentu.

Setelah zona asellus, kondisi air putih lebih baik, terdapat zona
Gammarus. Zona ini mungkin dianggap sebagai zona taraf pertama
kembalinya fauna yang biasa terdapat pada air bersih. Ciri zona
Gammarus adalah banyaknya keragaman jenis hewan makro invertebrata,
termasuk Trichoptera dan Ephemeroptera.

Taraf kelompok hewan lain akan kembali, yang tergantung pada tipe
sungai atau hulu sungai.
Hewan makro invertebrata untuk indikator biologis pencemaran organik
pada beberapa tingkat stadium dibagi atas:

Indikator air bersih: Ephemera, Ecdyonurus, Leuctra, Nemurella dan
Perla.

Indikator pencemaran ringan : Amphinemura, Ephemerella, Ceanis,
Gammarus, Beatis, Valvata, Bhytynia, Hydropsyche, Limnodrius,
Rhyacophyla dan Sericostoma.

Indikator pencemaran sedang : Asellus, Sialis, Limneae, Physa dan
Sphaerium

Indikator pencemaran berat : Nais, Chironomous, Tubifex, dan Eristalis
16
F. Indikator Biologi Kualitas Tanah
1. Kualitas Air
Secara umum kualitas tanah (soil quality) didefenisikan sebagai kapasitas
tanah untuk berfungsi dalam suatu ekosistem dalam hubungannya dengan daya
dukungnya terhadap tanaman dan hewan, pencegahan erosi dan pengurangan
terjadinya pengaruh negatif terhadap sumberdaya air dan udara (Karlen et al.,
1997).
Kualitas tanah dapat dilihat dari 2 sisi (Seybold et al., 1999) :
a. Sebagai kualitas inherent tanah (inherent soil quality) yang ditentukan oleh
lima faktor pembentuk tanah, atau
b. Kualitas tanah yang bersifat dinamis (dynamic soil quality), yakni
perubahan fungsi tanah sebagai fungsi dari penggunaan dan pengeloaan
tanah oleh manusia.
Terdapat konsesus umum bahwa tata ruang lingkup kualitas tanah mencakup tiga
komponen pokok yakni (Parr et al., 1992) :
a. Produksi berkelanjutan yakni kemampuan tanah untuk meningkatkan
produksi dan tahan terhadap erosi.
b. Mutu lingkungan, yaitu mutu air, tanah dan udara dimana tanah diharapkan
mampu mengurangi pencemaran lingkungan, penyakit dan kerusakan di
sekitarnya.
c. Kesehatan makhluk hidup, yaitu mutu makanan sebagai produksi yang
dihasilkan dari tanah harus memenuhi faktor keamanan (safety) dan
komposisi gizi.
Karena bersifat kompleks, kualitas tanah tidak dapat diukur namun dapat
diduga dari sifat-sifat tanah yang dapat diukur dan dapat dijadikan indikator dari
kualitas tanah.
17
2. Indikator Kualitas Tanah
Indikator kualitas tanah adalah sifat fisika, kimia dan biologi serta proses
dan karakteristik yang dapat diukur untuk memantau berbagai perubahan dalam
tanah (USDA, 1996). Secara lebih spesifik Doran dan Parkin (1994) menyatakan
bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi kriteria:
a.
Berkorelasi baik dengan berbagai proses ekosistem dan berorientasi
modeling.
b.
Mengintegrasikan berbagai sifat dan proses kimia, fisika dan biologi
tanah.
c.
Mudah diaplikasikan pada berbagai kondisi lapang dan dapat diakses
oleh para pengguna.
d.
Peka terhadap variasi pengelolaan dan iklim (terutama untuk menilai
kualitas tanah yang bersifat dinamis).
e.
Sedapat mungkin merupakan komponen basis tanah.
Selama ini evaluasi terhadap kualitas tanah lebih difokuskan terhadap sifat
fisika dan kimia tanah karena metode pengukuran yang sederhana dari parameter
tersebut relatif tersedia (Larson and Pierce, 1991). Akhir-akhir ini telah disepakati
bahwa sifat-sifat biologi dan biokimia dapat lebih cepat teridentifikasi dan
merupakan indikator yang sensitif dari kerusakan agroekosistem atau perubahan
produktivitas tanah (Kenedy and Pependick, 1995).
3. Kerusakan Tanah (soil degradation)
Kerusakan tanah didefenisikan sebagai proses atau fenomena penurunan
kapasitas tanah dalam mendukung kehidupan. Arsyad (2000) menyatakan bahwa
kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya fungsi tanah, baik fungsinya
sebagai sumber unsur hara tumbuhan maupun maupun fungsinya sebagai matrik
tempat akar tumbuhan berjangkar dan tempat air tersimpan. Oldeman (1993)
mendefinisikan kerusakan tanah sebagai proses atau fenomena penurunan
18
kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan pada saat ini atau pada saat yang
akan datang yang disebabkan oleh ulah manusia.
Terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis DAS tersebut
kemungkinan disebabkan beberapa faktor:
a. Penggunaan dan peruntukkan lahan menyimpang dari rencana Tata Ruang
Wilayah atau Rencana Tata Ruang Daerah. Misalnya, daerah yang
diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan menjadi pertanian,
hutan produksi dialihfungsikan menjadi pemukiman, lahan budidaya
pertanian dialihfungsikan menjadi pemukiman atau industri.
b. Penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak
lahan yang semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah
menjadi pertanian, atau lahan yang hanya cocok untuk hutan dijadikan
lahan pertanian bahkan permukiman. Banyak lahan yang kemiringan
lerengnya lebih dari 30 persen bahkan 45 persen masih dijadikan pertanian
yang intensif atau pemukiman.
c. Perlakuan terhadap lahan di dalam DAS tersebut tidak memenuhi syaratsyarat yang diperlukan oleh lahan tidak memenuhi kaidah-kaidah
konservasi tanah, serta teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan
tidak memadai. Setiap penggunaan lahan (hutan, pertanian, industri,
pemukiman) harus sesuai dengan syarat, yakni menerapkan teknik
konservasi tanah dan air yang memadai. Teknik konservasi yang memadai
di suatu bidang lahan belum tentu memadai di bidang yang lain. Pemilihan
teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan sangat dipengaruhi
oleh faktor bio-fisik (tanah, topografi, penggunaan lahan, hujan/iklim)
lahan yang bersangkutan. Jenis teknik konservasi tanah dan air yang
tersedia untuk dipilih dan diterapkan mulai dari yang paling ringan sampai
berat, antara lain, penggunaan mulsa, penanaman mengikuti kontur,
pengolahan mengikuti kontur, pengolahan tanah konservasi (tanpa olah
19
tanah, pengolahan tanah minimum), pengaturan jarak tanam, penanaman
dalam strip (strip cropping), dan penanaman berurutan (rotasi).
d. Tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang
mengharuskan masyarakat menerapkan konservasi tanah dan air secara
mamadai di setiap penggunaan lahan. Dengan tidak adanya UU ini maka
masyarakat tidak merasa berkewajiban untuk melaksanakan teknik
konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus meningkat. Hal
ini terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan
atau penerapan teknik konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan
lahan, seperti Departemen Pertanian, Departemen PU, dan Departemen
Dalam Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi
lahan dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air.
4. Kapasitas Penyangga dan Pemulihan Tanah
Lal (2000) menyatakan bahwa resiliensi tanah tergantung pada
keseimbangan antara restorasi tanah dan degradasi tanah. Proses degradasi di
lahan kering antara lain memburuknya struktur tanah, gangguan terhadap siklus
air, karbon dan hara, sedangkan restorasinya meliputi pembentukan mikroagregat
mantap, mekanisme humifikasi dan biomassa C tanah, meningkatkan cadangan
hara dan mekanisme siklus hara, dan keragaman hayati.
Beberapa ahli tanah mendefenisikan pemulihan sebagai kapasitas tanah
untuk memulihkan fungsi dari kemantapan (integritas) strukturalnya setelah
mengalami gangguan. Seybold et al., (1990) mendefenisikan kapasitas penyangga
sebagai kapasitas tanah untuk tetap melakukan fungsinya walaupun mengalami
gangguan. Dinyatakannya secara langsung terdapat 3 pendekatan untuk mengkaji
resiliensi tanah antara lain:
1. Mengukur secara langsung pemulihan (recovery) setelah terjadinya
gangguan.
20
2.
Melakukan kuantifikasi terpadu mekanisme pemulihan (recovery) setelah
terjadi gangguan.
3. Mengukur sifat-sifat yang mendukung indikator mekanisme pemulihan
(recovery) tersebut.
G. Indikator Biologi Kualitas Udara
Kemelimpahan hayati merupakan salah satu indikator lingkungan baik.
Melalui berbagai penelitian, ditemukan bahwa beberapa tumbuhan ternyata
menunjukan beberapa reaksi dan respon terhadap gas berbahaya, yang dapat
digunakan sebagai indikator biologis tertentu untuk memantau kondisi udara.
Tumbuhan yang terdampak polusi yang berbeda akan menunjukkan gejala yang
berbeda. Gejala-gelaja ini dapat digunakan untuk menilai jenis polutan di udara,
dan memperkirakan rentang konsentrasinya sesuai dengan tingkat kerusakan
tumbuhan dan waktu pencemaran (Conti & Cecchetti, 2001). Dibandingkan
dengan metode pemantauan tradisional, menggunakan tumbuhan untuk
memantau polutan udara adalah metode yang lebih ekonomis, sederhana, dan
dapat diandalkan.
1. Lichen
Lichen merupakan gabungan bakteri (Cyanobacterium) dan alga
simbiotik, sebagian besar dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang keras.
Bentuk lichen adalah seperti kerak (sehingga disebut lumut kerak), tumbuh
lebat pada pohon, batu dan tanah kosong. Tapi lumut peka terhadap SO2, H2S
dan polutan udara lainnya, dan bahkan sejumlah kecil zat beracun dapat
mempengaruhi pertumbuhannya, dan menyebabkan kematian. Kita dapat
menyelidiki spesies, jumlah, dan daerah penyebaran lichen di sekitar area
yang terkontaminasi untuk memperkirakan polusi (Cen, 2015).
Lichen sangat sensitif terhadap polusi H2S di udara. Karena lichen
tidak memiliki akar, mereka menyerap banyak bahan mentahnya langsung
dari udara dan uap air di sekitar mereka. Hal ini membuat mereka sangat
21
sensitif terhadap polusi udara dan hujan asam dan karena lichen tidak
memiliki cara untuk mengeluarkan polutan yang mereka serap, bahan-bahan
ini tetap berada di dalam sel mereka. Karena polutan menumpuk di dalamnya,
lichen dapat digunakan untuk memantau akumulasi polutan jangka panjang.
Para ilmuwan mengumpulkan dan menganalisis lichen dekat sumber polusi
untuk menentukan seberapa jauh polusi telah menyebar. Dibandingkan
dengan indikator fisika-kimia, penggunaan lichee sebagai bioindikator tidak
mahal untuk digunakan dalam mengevaluasi polusi udara. Lichen juga dapat
digunakan untuk mengukur polutan unsur beracun dan logam radioaktif
karena mereka mengikat zat-zat ini dalam benang jamur mereka di mana
mereka memusatkan mereka dari waktu ke waktu. Para ilmuwan lingkungan
kemudian dapat mengevaluasi akumulasi ini untuk menentukan sejarah udara
lokal.
Penggunaan Lichen sebagai indikator biologi memiliki beberapa
keuntungan, yaitu:
-
Banyak
spesies
lichen
memiliki
rentang
geografis
yang
luas,
memungkinkan studi gradien polusi jarak jauh.
-
Morfologi lichen tidak bervariasi dengan musim, dan akumulasi polutan
dapat terjadi sepanjang tahun.
-
Lichen biasanya berumur panjang.
-
Pertukaran air dan gas di seluruh thallus lichen membuat mereka sensitif
terhadap polusi.
-
Lichen tidak memiliki akar dan tidak memiliki akses ke sumber nutrien
tanah dan bergantung pada endapan, rembesan air di atas permukaan
substrat, atmosfer dan sumber nutrisi lain yang sangat encer. Dengan
demikian, kandungan jaringan mereka sebagian besar mencerminkan
sumber nutrisi di atmosfer dan kontaminan.
22
-
Lichen tidak memiliki jaringan pelindung atau jenis sel yang diperlukan
untuk menjaga kadar air internal tetap konstan.
Lichen dianggap sebagai biomonitor yang paling andal menurut
karakteristik fisiologis, morfologi, dan anatomi spesifik mereka. Perubahan
kualitas udara dapat dideteksi oleh spesies lichen epiphytic yang sensitif
terhadap pencemar udara. Sangat penting untuk melakukan penilaian suatu
daerah yang seharusnya memiliki cukup spesies liche untuk memantau polusi
udara (Asif, 2018).
Lebih lanjut menurut Asif (2018) lichen juga menunjukkan kepekaan
terhadap beberapa polutan lain, seperti logam berat dan ozon, tetapi untuk
sebagian besar kerusakan lumut dapat dikaitkan dengan SO2. Efek polusi
terhadap lichen tergantung pada pH substrat, permukaan tempat lichen
tumbuh. Secara umum, substrat alkalin seperti kulit dasar atau batu kapur
melawan keasaman pencemaran SO2. Ketika hujan asam jatuh pada substrat,
satu jenis bentuk pertumbuhan lichen akan sering diganti dengan bentuk lain
yang lebih toleran. Di daerah-daerah dengan lichen yang tinggi dapat
ditemukan hanya di tempat-tempat seperti luka di pohon dan di dinding batu
pasir, yang memiliki pH (dasar) tinggi.
2. Bryophyta
Bryofita adalah tumbuhan yang tidak memiliki sistem vascular dan
sederhana baik secara morfologi maupun anatomis. Potensi pertumbuhan
dalam bryofita tidak begitu terpolarisasi sebagai tanaman vaskular. Bryofita
tumbuh di berbagai habitat terutama di tempat lembab di tanah, batu, batang
dan ranting pohon dan batang pohon yang jatuh. Mereka mendapatkan nutrisi
langsung dari zat terlarut dalam kelembaban udara. Beberapa zat mungkin
diserap langsung dari substrat oleh difusi melalui sel-sel gametofit. Bryofita
digunakan sebagai indikator yang dapat diandalkan dari polusi udara. Mereka
dieksploitasi sebagai instrumen bryometers untuk mengukur polusi udara
23
fitotoksik. Bryofita baik secara mandiri atau bersama dengan lumut dapat
menjadi organisme berharga dalam mengembangkan Index of Atmospheric
Purity (IAP) yang didasarkan pada jumlah, frekuensi-cakupan dan faktor
resistensi spesies. Indeks ini dapat menyediakan gambaran yang adil tentang
efek jangka panjang dari polusi di daerah tertentu.
Ada dua kategori bryofita sebagai respons terhadap polusi, yaitu (1)
yang sangat sensitif terhadap polusi dan menunjukkan gejala-gejala cedera
yang terlihat bahkan di hadapan sejumlah kecil polutan. Ini berfungsi sebagai
indikator yang baik tentang tingkat polusi dan juga sifat polutan. (2) yang
memiliki kapasitas untuk menyerap dan menyimpan polutan dalam jumlah
yang jauh lebih tinggi daripada yang diserap oleh kelompok tanaman lain
yang tumbuh di habitat yang sama. Tanaman ini menjebak dan mencegah daur
ulang polutan-polutan tersebut dalam ekosistem untuk periode waktu yang
berbeda. Analisis tanaman semacam itu memberi gambaran yang adil tentang
tingkat pencemaran logam (Govindapyari et al., 2010).
Ada gejalan menurunnya jumlah pemiskinan komunitas bryofita di
dalam dan di sekitar kota-kota dan kawasan industri. Daerah pinggiran terdiri
dari serangkaian habitat dengan berbagai substrat dan kelembapan air dan
tunduk pada berbagai tingkat polusi. Bryofita yang menempati substrat
tertentu tampak lebih sensitif terhadap polusi udara daripada yang lain.
Bryofita telah menghilang dari lingkungan industri perkotaan karena
kepekaannya terhadap udara yang tercemar. Keanekaragaman spesies di
daerah yang tercemar tidak hanya berbeda dengan jarak dari sumber polusi
tetapi juga dengan jenis substrat. (Govindapyari et al., 2010).
bryofita memiliki kemampuan untuk memfasilitasi deteksi unsur-unsur
yang hadir dalam konsentrasi yang sangat rendah. Lumut dapat disimpan
selama beberapa tahun tanpa kerusakan yang nyata dan spesimen lama dapat
dengan mudah dianalisis secara kimia. Jadi bryofita dapat berfungsi sebagai
24
“Bank Spesimen Lingkungan”. Bryofita tumbuh di berbagai habitat dan
memperoleh nutrisi dari zat terlarut dalam kelembaban udara. Substansi
secara langsung diserap dari substrata oleh difusi melalui sel. Polutan
mencapai dalam jaringan bryofita dari pengendapan kering dalam bentuk gas
dan partikel. Zat-zat ini mudah terakumulasi di pabrik dan jumlahnya
melebihi dari yang ada di lingkungan sekitarnya. Jadi bryofita menunjukkan
adanya elemen dan gradien konsentrasinya di masing-masing substrata.
Kualitas unik dari bryofita untuk mengakumulasi unsur-unsur adalah karena
distribusi mereka yang luas, kemampuan untuk tumbuh di berbagai habitat,
luas permukaan yang besar, dan kurangnya kutikula dan stomata dan sifat
hijau dan ektohidrat alami dari tanaman.
3. Pteridophyta
Pteridofita (kelompok paku-pakuan) adalah indikator positif dari
integritas hutan. Dianggap berada di antara tanaman darat paling awal
muncul, pteridofita adalah kelompok yang terdiversifikasi secara global (Kreft
et al., 2010). Oleh karena itu, kelompok tumbuhan ini ada di mana-mana dan
memiliki kombinasi atribut menguntungkan untuk studi bioindikator.
Pertama, sebagian besar herbivore (vertebrata, serangga) menghindarinya.
Kedua, mereka tidak memiliki mekanisme penyerbukan biotik atau zoochory.
Akhirnya, spora pteridofita memungkinkan mereka menjadi pionir di habitat
asli yang terisolasi dari lainnya. Oleh karena itu, distribusi mereka erat
mencerminkan kondisi habitat abiotik, memfasilitasi analisis pola kelompok
taksa lainnya. Memang, pteridofita adalah salah satu perintis biodiversitas;
keanekaragaman hayati mereka telah ditunjukkan untuk memprediksi
kekayaan spesies secara keseluruhan (Leal et al., 2010), dan kehadiran atau
ketiadaan dapat digunaka untuk membedakan pola floristik dari tipe hutan.
4. Tumbuhan Tingkat Tinggi
25
Tumbuhan tidak dapat memilih dan memindahkan tempat tinggal
mereka seperti hewan, dan dengan demikian menjalani hidupnya dengan
menanggapi lingkungan sekitarnya. Setiap kali komponen lingkungan,
seperti suhu, kadar air tanah, nutrisi, dan polutan udara, melebihi kisaran
adaptasi atau menjadi terbatas, tanaman mengembangkan gejala atau
pertumbuhan abnormal. Munculnya gejala atau pertumbuhan abnormal
semacam itu merupakan indikator yang baik tentang bahaya pencemaran
lingkungan pada manusia. Sejumlah polutan udara, seperti sulfur dioksida,
nitrogen oksida, ozon, nitrat peroksikarat, halogen, dan hujan asam, dapat
merusak tumbuhan. Oleh karena itu, tumbuhan menawarkan sistem alarm
atau peringatan dini yang sangat baik untuk mendeteksi keberadaan
konsentrasi polutan udara yang berlebihan dan sering memberikan bukti
pertama bahwa udara tercemar. Respon tumbuhan, terutama gejala daun yang
khas, telah lama digunakan sebagai indikator polutan udara. Selain itu,
jumlah akumulasi logam juga telah digunakan sebagai bioindikator (Nouchi,
2002).
Prinsip dasar pemantauan polutan udara menggunakan tumbuhan
adalah menggunakan efek biologis mereka untuk polutan udara. Dapat
dikatakan, gejala kerusakan organ tumbuhan terutama daun, berkaitan
dengan jenis, konsentrasi, dan waktu pengontakan polutan. Situasi polusi
udara, khususnya jenis-jenis polutan di udara, dapat dievaluasi melalui jenis
tumbuhan yang terluka atau mengalami kerusakan dan menunjukkan gejalagejala tertentu. Selain itu, konsentrasi polutan dinilai berdasarkan jumlah
tumbuhan yang terpapar dan waktu kontaminasi tumbuhan.
Polutan yang berasal dari udara memasuki tumbuhan melalui stomata
daun. Daun adalah bagian penting dari tumbuhan, dan merupakan organ
utama untuk fotosintesis dan transpirasi. Polutan udara secara langsung dapat
merusak daun. Tingkat viktimisasi secara langsung berkaitan dengan apakah
26
polusi udara masuk ke stomata atau tidak dan berapa banyak polutan yang
masuk. Hal tersebut dimonitor dari gejala tanaman yang mana dan berapa
banyak konsentrasi gas berbahaya (Pesch & Schroeder, 2006), khususnya (1)
Memantau polusi udara menggunakan tumbuhan indikator untuk dijaga.
Misalnya, menanam berbagai tumbuhan berbeda yang memiliki kepekaan,
tidak hanya memperindah lingkungan tetapi juga memantau polusi. (2)
Memperkirakan tingkat polusi udara melalui komunitas tumbuhan. Karena
kepekaan tumbuhan berbeda terhadap pencemaran, maka reaksi berbagai
jenis tumbuhan berbeda secara signifikan untuk setiap polusi udara.
5. Lebah Madu sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan
Menurut Asif (2018) lebah madu sangat mungkin digunakan untuk
menentukan kualitas lingkungan untuk bioindikasi. Lebah madu adalah
bioindikator efisien yang bereaksi dengan cepat terhadap berbagai faktor
eksternal. Kasus pencemaran lingkungan dan udara atmosfer yang telah
menyumbang ketidakseimbangan tingkat kesehatan, status kehidupan, dan
kualitas penduduk dalam beberapa tahun terakhir, telah dimonitor. Masalah
yang ada di lingkungan dimonitor dengan menentukan jejak di pabrik dan
asal-usul hewan bersama dengan lebah madu dan manusia.
Lebah madu, berkat fitur morfologi mereka dan juga produknya,
dianggap sebagai indikator pencemaran lingkungan yang baik oleh zat
beracun, baik logam berat, unsur radioaktif, atau polutan organik yang
persisten seperti pestisida. Lebah dapat membawa kembali ke sarang banyak
kontaminan yang disimpan pada tumbuhan utilitarian. Pestisida yang
digunakan dalam pertanian (terutama pada musim ketika kegiatan pertanian
mencapai puncaknya) bukan hanya menjadi penyebab kematian lebah skala
besar, tetapi juga bisa menjadi produk lebah. Kehadiran xenobiotik dalam
produk ini dapat merusak kualitas dan sifat mereka, dan membahayakan
kesehatan manusia (Bargañska et al., 2016).
27
Hasil penelitian Zhelyazkova (2012) menyimpulkan bahwa sangat
memungkinkan untuk mengasumsikan bahwa lebah madu (Apis mellifera L.)
menanggapi perubahan di lingkungan mereka dan khususnya untuk
peningkatan jumlah logam berat di tanah, udara, tanaman. Itu membuat
mereka menjadi indikator yang andal dan memungkinkan penggunaannya
dalam biomonitoring lingkungan. Madu lebah (Apis mellifera L) adalah
bioindikator yang baik karena terkait erat dengan lingkungan alam di mana ia
hidup.
H. Indikator Biologi Kondisi Ekosistem Secara Umum
Keberadaan keanekaragaman spesies yang lebih luas, keragaman genetik
dan kompleksitas struktural ekosistem memungkinkan adaptasi ekosistem yang
lebih besar dan lebih baik terhadap perubahan. Sebagai kebalikannya, ekosistem
dengan keanekaragaman hayati yang lebih sedikit lebih rapuh dan rentan
terhadap gangguan, fakta yang dapat mengubah integritas dan stabilitasnya
dengan lebih mudah (Moreno et al., 2018).
. Indikator biologi telah disarankan sebagai salah satu komponen dari
strategi untuk menilai keberlanjutan (Venier & Pearce, 2004). Dalam konteks
lokal, Indonesia memiliki berbagai macam ekosistem hutan (hutan hujan yang
luar biasa). Hutan-hutan tersebut saat ini sangat terfragmentasi karena berbagai
tekanan khususnya karena aktivitas manusia. Fragmen hutan dianggap sebagai
salah satu tempat utama keanekaragaman hayati planet ini.kita. Fragmentasi dan
degradasi habitat hutan mempengaruhi (kerentanan beberapa spesies tinggi)
spesies yang sangat sensitif, mendorong penurunan serius keanekaragaman
hayati.
Sebagai upaya menjaga kelestarian ekosistem hutan maka perlu
mempertimbangkan tingkat konservasi spesies bioindikator dan pengembangan
pengelolaan hutan berkelanjutan dari sumber daya alam. Pemahaman yang lebih
luas tentang keanekaragaman hayati menyiratkan pemilihan sekumpulan
28
indikator yang akan memberi gambaran seluas mungkin tentang keadaan ekologi
dan alam liar.
Berdasarkan tinjauan Maleque et al (2009), Tinjauan potensi bioindikator
difokuskan ke beberapa kelompok arthropoda hutan. Kelompok arthropoda yang
berbeda bereaksi secara berbeda terhadap pengelolaan hutan. Semut, kumbang
carabid, dan laba-laba sering memberikan tanggapan skala lokal, gangguan
pertumbuhan vegetasi
ang disebabkan oleh penipisan dan dapat digunakan
untuk menyimpulkan kesesuaian ekologi perawatan pengelolaan hutan.
Kumbang kotoran dan ngengat merespon perubahan habitat yang disebabkan
oleh fragmentasi hutan dan dapat menunjukkan kesesuaian teknik pengelolaan
hutan tingkat lansekap. Kumbang kupu-kupu dan cerambycid merespon sangat
positif terhadap keberadaan tanaman herba dan pohon understory dan dapat
digunakan
untuk
menyimpulkan
integritas
perawatan
penipisan
dalam
pengelolaan hutan. Lalat Syrphid, yang merupakan selebaran kuat yang terkait
dengan kompleksitas vegetasi, dapat digunakan sebagai bioindikator praktik
pengelolaan hutan tingkat lanskap.
1. Arthropoda yang digunakan Secara Frequent
a. Semut
Semut telah digunakan secara luas sebagai efektif bioindikator
gangguan untuk manajemen ekosistem dan restorasi keanekaragaman hayati
berkenaan dengan kepentingan eko-fungsional mereka dan sensitivitas tinggi
terhadap gangguan ekosistem yang ditimbulkan dengan menipisnya hutan,
invasi spesies, kebakaran hutan, konversi hutan, fragmentasi hutan, dan
bentuk-bentuk gangguan lainnya.
b. Kupu-kupu dan ngengat
Kupu-kupu telah digunakan sebagai indikator ekosistem yang sehat
karena mereka memiliki asosiasi yang kuat dengan variabel habitat seperti
kondisi cerah, ladang penuh bunga, padang rumput, daerah perbukitan, tepi
29
hutan, dan kelimpahan tanaman herba. Pemantauan kelimpahan kupu-kupu
dapat menunjukkan keberadaan seminatural kondisi; khususnya, kelimpahan
bunga, understory herba penutup, dan keragaman vegetasi yang telah
ditemukan untuk mempromosikan keragaman kupu-kupu dalam suatu
ekosistem. Hal ini mungkin karena kekayaan spesies kupu-kupu dikaitkan
dengan kekayaan jenis tumbuhan vascular, kekayaan spesies tumbuhan
nektar, dan kekayaan spesies tumbuhan herba. Oleh karena itu, pemeliharaan
penduduk asli vegetasi understory dan kondisi padang rumput melalui praktik
kehutanan harus memastikan kupu-kupu konservasi, bahkan di hutan tanaman
conifer.
Ngengat juga telah digunakan sebagai bioindikator selama vegetasi
pemulihan
setelah
gangguan
lingkungan.
Beberapa
ngengat
keluarga/subfamili (misal Arctiinae, Catocalinae, Heliothinae, Noctuinae,
Hermeniidae, dan Phycitinae) menanggapi secara positif gangguan, sementara
yang lain (misal, Ennominae, Geometrina, Epipaschiinae, Lymantriidae, dan
Anthelidae) merespon negative terhadap gangguan. Tanggapan yang berbeda
ini untuk perubahan lingkungan membuat mereka bioindikator yang sesuai.
c. Carabid beetles
Penggunaan carabid atau kumbang tanah bisa efektif karnea biaya
karena mudah sampel, dan dengan demikian sering digunakan sebagai
indikator perubahan ekosistem di padang rumput dan hutan boreal. Carabid
beetles bisa digunakan untuk menyimpulkan intensitas gangguan skala lokal.
Fragmentasi hutan mengurangi jumlah spesies carabid berbadan besar yang
tidak menyebar dengan baik, sementara itu jumlah mereka meningkat di
beberapa jenis non-hutan. Karenanya, carabid dapat digunakan untuk
mengindikasikan gangguan hutan yang disebabkan oleh fragmentasi. Peneliti
menemukan bahwa pertanian yang lanskapya disederhanakan mendukung
kekayaan spesies carabid yang lebih tinggi, tetapi tidak mengandung atau
30
beberapa spesies berbadan besar (misalnya, Carabus spp.), Hal ini
menunjukkan bahwa intensitas rendah pada padang rumput seminatural dan
hutan seminatural seharusnya dipertahankan dalam lanskap pertanian
berintensitas tinggi untuk melestarikan komposisi komunitas carabid pada
skala lanskap.
d. Kumbang Cerambycid
Larva cerambycid sering tergantung pada kayu dalam berbagai
kondisi, sementara yang dewasa adalah pengumpan tanaman dan penyerbuk
di ekosistem hutan yang beragam, dan dengan demikian telah menjadi
kelompok serangga sasaran untuk penelitian
keanekaragaman hayati hutan. Kumbang cerambycid berasosiasi
dengan tumbuhan berbunga, material kayu kasar, dan pohon tua (yaitu sisasisa bekas hutan tua dalam perkebunan konifer) di ekosistem hutan subtropis.
Spesifisitas habitat dan kunci identifikasi sederhana membuat indikator
kumbang cerambycid sesuai perubahan ekosistem hutan.
e. Kumbang kotoran
Kumbang kotoran tersebar luas di hampir semua bentang alam,
termasuk gurun, lahan pertanian, hutan, dan padang rumput. Selain kotoran
dan bangkai, beberapa memakan jamur, daun yang membusuk, dan buahbuahan. Berdasarkan karakteristik ini, kumbang kotoran dianggap sebagai
takson fokus ideal untuk keanekaragaman hayati pemantauan. Kumbang
kotoran bisa digunakan sebagai bioindikator yang sangat baik dari modifikasi
hutan, fragmentasi, tebang habis, dan pengurangan dampak penebangan,
terutama di daerah tropis.
f. Laba-laba
Laba-laba telah sukses digunakan sebagai bioindikator dalam praktik
pengelolaan hutan karena mereka dapat dengan mudah diidentifikasi dan
memiliki respon berbeda terhadap gangguan alami dan antropogenik. Laba31
laba bioindikator dari perubahan ekosistem yang disebabkan oleh tebang
habis, kebakaran hutan, perkembangan vegetasi,dan kompleksitas tegakan
hutan Laba-laba dengan kemampuan penyebaran tinggi dapat bertahan di
vegetasi yang terisolasi, sementara spesies dengan kemampuan penyebaran
yang buruk dapat hilang dari tanah yang kecil dan sangat terisolasi. Variabel
respons ini membuat laba-laba menjadi baik indikator gangguan habitat akibat
konversi hutan dan fragmentasi.
g. Syrphid terbang
Distribusi geografis yang luas dan lingkungan yang sesuai merupakan
variabel penting saat larva membuat syrphid lalat berpotensi bioindikator
yang baik. Lalat syrphid diakui memiliki tanggapan yang berbeda di antara
hutan sekunder muda, campuran hutan, dan hutan tua. Hutan harus nilai
bioindikator potensial dalam membandingkan keanekaragaman hayati
berbagai habitat hutan. Dalam skala lokal, lalat syrphid adalah fitur indikator
habitat struktural karena kekayaan spesies dan keragaman lalat syrphid
berkorelasi positif dengan kompleksitas struktural berdiri vertikal dan vegetasi
lapisan tanah. Keragaman lalat syrphid meningkat hanya setelah tebang habis
tetapi menurun saat usia tegakan. Mobilitas yang tinggi lalat syrphid dewasa
membuat mereka alat yang paling cocok untuk menilai keragaman hayati
tingkat lanskap.
h. Tawon parasite
Karena posisi trofiknya yang tinggi, biologi kompleks, dan rentang
inang sempit, persyaratan habitat untuk tawon parasit adalah kompleks dan
khusus, dan mereka baru-baru ini digunakan sebagai bioindikator untuk
habitat hutan. Peneliti menemukan bahwa parasitoid lebih berlimpah di
habitat hutan campuran yang kaya spesies (terdiri dari atas pohon berdaun
lebar dan kekayaan spesies pohon tinggi) daripada di hutan jenis konifer pada
skala lanskap. Kedua hutan jenis dan karakteristik kayu mati memiliki efek
32
yang
lebih
besar
pada
kumpulan
parasitoid,
menunjukkan
bahwa
pemeliharaan keanekaragaman habitat kayu mati adalah penting untuk
konservasi parasitoid.
Pengumpulan parasitoid di antara jenis hutan yang berbeda, seperti
padang alang-alang setelah kebakaran hutan, perkebunan muda dan dewasa
Acacia mangium, hutan sekunder muda, dan hutan sekunder tua di dataran
rendah Kalimantan Timur, Indonesia, dan menemukan bahwa pemantauan
keragaman parasitoid
dapat
menunjukkan
tahap
pemulihan tegakan
perkebunan.
i. Nyamuk
Data dari 20 survei nyamuk yang dilakukan di daerah hutan tropis
dianalisis dengan menggunakan prosedur statistik multivariat (analisis
korespondensi dan analisis klaster). Hasilnya ditafsirkan dalam kaitannya
dengan tingkat degradasi yang dilaporkan untuk setiap hutan di lokasi
pengumpulan data, memungkinkan pemilihan spesies atau kelompok spesies
yang bertindak sebagai indikator yang baik dari perubahan lingkungan lokal.
Dengan pendekatan ini, berbagai lokasi yang berbeda di sepanjang gradien
modifikasi antropogenik berkorelasi dengan nyamuk tertentu. Model yang
dihasilkan memungkinkan untuk mengklasifikasikan jenis kayu yang berbeda
menurut status pengawetan mereka, dengan menggunakan spesies nyamuk
yang ada. Empat nyamuk bioindikator untuk tingkat degradasi hutan tertentu
di Brasil diusulkan, yaitu Kerteszia, Aedes scapularis, Mansoniini dan
Haemagogus (Dorvillé, 1996).
2. Penggunaan Fungsi Ekosistem dan Beberapa Kelompok Taksonomi Jamak
Beberapa kelompok artropoda memiliki arti fungsional yang telah
digunakan sebagai indikator degradasi atau peningkatan peran ekologi di
hutan. Secara khusus, kelimpahan penyerbuk dan musuh alami (parasitoid dan
predator) dapat digunakan untuk menunjukkan peraturan untuk pertanian dan
33
kehutanan. Hewan penyerbuk berkontribusi sekitar sepertiga dari produksi
tanaman, dan 60–90% spesies tanaman membutuhkan suatu hewan
penyerbuk. Penyerbuk menanggapi secara kuat perubahan ekosistem dan
mereka kehilangan dapat memiliki konsekuensi negatif untuk reproduksi
tanaman.
Spesies
bumblebee
meningkat
seiring
dengan
peningkatan
keanekaragaman tumbuhan, tetapi menurun dengan peningkatan ternak
merumput. Di lanskap hutan-lahan pertanian campuran, hasil tanaman yang
diserbuki oleh hewan mungkin menurun karena penurunan penyerbuk yang
tinggal di hutan. Misalnya, bumblebee yang tinggal di hutan (yaitu, Bombus
ardens sakagami dan B. sapporoensis hypocrite) telah dilaporkan sebagai
penyerbuk utama di Jepang. Pemantauan kelimpahan bumblebee dapat
menjadi indikasi keberhasilan penyerbukan dan hasil tanaman. Penyerbuk
hutan yang tinggal di sana meningkatkan hasil kopi.
Banyak musuh alami juga bisa digunakan sebagai bioindikator
ekosistem-ekosistem. Hubungan fungsional antara parasitoid dan herbivora
host sangat bergantung pada kepadatan, distribusi, dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan habitat seperti struktur vegetasi dan tempat mencari
makan untuk serangga herbivora. Selain itu, keanekaragaman spesies tanaman
dan struktur lansekap habitat secara langsung mempengaruhi ketergantungan
tanaman herbivora, dan secara tidak langsung mempengaruhi predator
herbivora. Umumnya kompleks lanskap dengan mosaik tanaman yang
terhubung dengan baik, mendukung kelimpahan dan makanan musuh yang
lebih tinggi.
Satu kelompok spesies, satu takson, atau satu grup fungsional tidak
dapat digunakan sebagai pengganti untuk keseluruhan keanekaragaman hayati
karena spesies yang berbeda dan kelompok spesies merespon secara berbeda
terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, kelompok taksonomi jamak
34
telah banyak digunakan sebagai indikator keanekaragaman hayati secara
keseluruhan.
Sungai di banyak negara merupakan satu-satunya habitat akuatik
alami. Habitat riparian menyediakan makanan dan sumber daya penampungan
bagi banyak spesies, mereka bertindak sebagai koridor biologis, terbukti
sangat penting untuk keanekaragaman hayati pada skala yang berbeda.
Namun, daerah-daerah ini menderita dari aktivitas manusia melalui perubahan
dalam penggunaan lahan, fragmentasi habitat, erosi, saluranisasi, atau
penurunan kualitas air. Untuk menilai kualitas dan integritas ekologi sungai
dan habitat riparian, perlu untuk mengembangkan metodologi standar.
Indikator dapat merangkum atau mengelompokkan data lingkungan yang
kompleks, memberikan gambaran global tentang keanekaragaman hayati dan
ancamannya. Invertebrata, tanaman, atau ikan biasanya digunakan, tetapi hal
ini hanya fokus pada sungai itu sendiri, mengabaikan ekosistem riparian.
3. Burung Sebagai Bioindikator
Hubungan spesies-lingkungan burung terbukti menjadi indikator yang
baik untuk habitat riparian sungai Mediterania (Godinho et al., 2010) dan
dengan demikian dapat digunakan sebagai model untuk menilai kualitas,
gangguan yang relevan, dan efisiensi proses restorasi. Survei burung
dilakukan pada skala ruang dan waktu yang berbeda menggunakan metode
pengukuran titik standar. Beberapa aspek berbeda dari variasi komunitas
burung riparian dinilai, diantaranya (1) sepanjang gradien kompleksitas
vegetasi menurun, (2) sepanjang gradien hulu-hilir, (3) lanskap sekitarnya
yang berbeda, (4) waktu, (5) status manajemen, (6) waktu dan status
manajemen, dan (7) sebelum dan sesudah rehabilitasi sungai (Roché et al.,
2010).
35
BAB III
KESIMPULAN
Keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan dasar dari munculnya
beragam jasa ekosistem (ecosystem services), baik dalam bentuk barang/produk
maupun dalam bentuk jasa lingkungan yang sangat diperlukan oleh perikehidupan
makhluk hidup, khususnya manusia. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk
dan perkembangan pembangunan di berbagai sektor yang cukup pesat beberapa
dekade terakhir ini, banyak ekosistem alam penyedia berbagai jasa lingkungan dan
produk tersebut di atas mengalami kerusakan karena berbagai factor.
Sebagai upaya menjaga kelestarian ekosistem maka perlu mempertimbangkan
tingkat konservasi spesies bioindikator dan pengembangan pengelolaan ekosistem
berkelanjutan dari sumber daya alam. Pemahaman yang lebih luas tentang
keanekaragaman hayati menyiratkan pemilihan sekumpulan indikator yang akan
memberi gambaran seluas mungkin tentang keadaan ekologi dan alam liar.
36
DAFTAR PUSTAKA
DITR [Department of Industry Tourism and Resources of Australian Government].
2007. Biodiversity Management: Leading Practice Sustainable Development
Program for the Mining Industry. Department of Industry, Tourism and
Resources, Government of Australia, Canberra
Juliantara, K. (2011). Lintah (Hirudo medicinalis) sebagai bioindikator pencemaran
lingkungan
perairan
tawar.
Retrieved
from
http://www.kompasiana.com/lintah_(Hirudomedicinalis)
sebagai_Bioindikator_Pencemaran_Lingkungan_Perairan_Tawar
Kripa, P. K., Prasanth, K. M., Sreejesh, K. K. & Thomas, T. P. (2013). Aquatic
macroinvertebrates as bioindicators of stream water quality-A case study in
Koratty, Kerala, India. Research Journal of Recent Sciences, 2 (ISC-2012),
217-222
McGeoch, M.A. van Rensburg, B.J. & Botes, A. (2002). The verification and
application of bioindicators: a case study of dung beetles in savanna
ecosystem. J Appl Ecol, 39, 661-672.
Parmar, T. K., Rawtani, D. & Agrawal, Y. K. (2016) Bioindicators: the natural
indicator of environmental pollution, Frontiers in Life Science, 9(2), 110-118,
DOI: 10.1080/21553769.2016.1162753.
Purvis A, Hector A. 2000. Getting the measure of biodiversity. Nature 405: 212-219
Pribadi, T. (2009). Keanekaragaman komunitas rayap pada tipe penggunaan lahan
yang berbeda sebagai bioindikator kualitas lingkungan (Tesis tidak
diterbitkan). Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Setiawan, D. (2008). Struktur komunitas makrozoobentos sebagai bioindikator
kualitas lingkungan perairan Hilir Sungai Musi. (Tesis tidak diterbitkan).
Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
37
Setyono, P. & Soetarto, E. S. (2008). Biomonitoring degradasi ekosistem akibat
limbah CPO di muara Sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan metode
elektromorf isozim esterase. Biodiversitas, 9(3), 232-236.
Weissman, L. Fraiber, M. Shine, L. Garty, J. and Hochman, A. (2006). Responses of
antioxidants in the lichen ramalina lacera may serve as a warning nearly
bioindication systems for detection of water pollution stress. Fems. Microbiol.
Ecol. 58, 41-53.
Winarni, I. (2016) Peran mikroba sebagai biomonitoring kualitas perairan tawar pada
beberapa situ. In: Peran Matematika, Sains, dan Teknologi dalam Mendukung
Gaya Hidup Perkotaan (Urban Lifestyle) yang Berkualitas. Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka. Zannatul,. F, & Muktadir, A. K. M. (2009). A
review: potent
38
Download