DAMPAK KEGIATAN PEMBUDIDAYAAN UDANG WINDU DAN VANAME TERHADAP LINGKUNGAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi perairan baik perairan umum, payau dan kemaritiman Indonesia cukup besar, hal ini menunjukkan bahwa peluang pengembangan budidaya dapat terus dikembangkan dan ditingkatkan untuk mendukung ketersediaan bahan baku bagi ketahanan pangan nasional maupun untuk kebutuhan ekspor, yang bertujuan tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan pembudidaya dan devisa negara, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan kesempatan usaha yang cukup luas. Selain itu, dampak positif yang terjadi dengan pengembangan budidaya yaitu berkembangnya industri sarana penunjang seperti usaha pembenihan (hatchery), pabrik pakan, peralatan dan usaha penanganan hasil. Kegiatan budidaya perikanan seolah menjadi dua sisi mata uang yang selalu diperdebatkan di antara dua kalangan, pelaku usaha dan pecinta kelestarian lingkungan. Di satu sisi, budi daya perikanan dinilai menjadi sumber produksi uang, dan di sisi yang lain justru menjadi sumber kerusakan lingkungan. Menurut Witomo (2018) ketika budidaya tambak udang beroperasi beberapa komponen lingkungan akan terkena dampak adalah kandungan bahan organik, perubahan BOD, COD, DO, kecerahan air, jumlah fitoplankton maupuan peningkatan virus dan bakteri karena pemberian input produksi yang besar sehingga terkadang limbah dari produksi budidaya tidak diolah terlebih namun langsung dibuang ke perairan. Semakin tinggi penerapan teknologi maka produksi limbah yang dindikasikan akan menyebabkan dampak negatif terhadap perairan/ekosistem disekitarnya. Pemahaman tersebut disadari oleh Pemerintah dan menjadi bahan pelajaran untuk terus mengembangkan teknologi budi daya perikanan yang tepat dan ramah lingkungan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berusaha keras untuk mengatasi persoalan tersebut melalui riset. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penyusunan makalah ini penulis akan mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan budidaya tambak udang windu dan vaname terhadap lingkungan dan memberikan rekomendasi terhadap pengelolaan kedepannya. B. Permasalahan Kegiatan Budidaya Udang Windu dan Vaname Dampak terhadap lingkungan usaha budidaya tambak udang vaname secara intensif ini juga perlu diperhatikan, misalnya pada pembuangan limbah bekas pakan udang memiliki dampak yang kurang baik bagi lingkungan perairan (Huda,2018). Limbah utama dari tambak adalah amonia yang biasanya ditemukan dengan konsetrasi tinggi di Muara. Amonia dan juga senyawa lainnya seperti nitrat dan nitrit berbahaya karena dapat memicu terjadinya eutrofikasi hingga blooming alga di perairan. Selain itu limbah kegiatan budidaya tambak udang seperti sisa cucian kolam selama periode panen jika masuk ke perairan dapat meningkatkan nutrisi dan partikel tersuspensi sehingga menyebabkan risiko nitrifikasi tinggi, mengurangi penetrasi cahaya, dan dapat menyebabkan perubahan pada fauna bentik dan karakter sedimen (Jalal and Alireza, 2017; Department of Fisheries, 2016). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tangguda dan Suryanti (2017) merupakan salah satu bukti bahwa peran limbah cair tambak udang vaname dalam meningkatkan pertumbuhan spesifik alga (Chlorella sp). Hasil penelitian eksperimen tersebut menunjukan limbah cair tambak udang vaname dengan persentase limbah sebanyak 25% memberikan hasil terbaik pada kepadatan sel (86.750 sel/ml) dan laju pertumbuhan spesifik Chlorella sp (0,341). Selain itu, Limbah yang tidak diberi perlakuan sebelum dibuang juga dapat menyebabkan penyakit pada udang yang dibudidayakan. Hal ini dikarenakan kebanyakan petambak mengandalkan air langsung dari alam/laut untuk budidaya yang pada akhirnya limbah yang telah dibuang akan dapat kembali masuk kedalam rambak dan menyebabkan penyakit pada udang yang dibudidayakan. Menurut Phornprapha (2020) masuknya kembali air limbah yang telah dibuang dapat menyebabkan tercemarnya persediaan air bahkan dapat menyebabkan tanah disekitarnya ikut tercemar. Dalam waktu yang sama ekosistem mangrove juga menerima dampak dari aktivitas budidaya udang. Berdasarkan hasil penelitian Ilman et.al (2016) untuk dua dekade kedepan kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia adalah akibat alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya tambak udang sebagai penyebab utama jika dibandingkan dengan kegiatan lainnya seperti penebangan, pembangunan pesisir, perkebunan serta karena bencana. Kasus lyang hamper sama terjadi di Bangladesh dimana Pendirian tambak untuk budidaya telah menginisiasi musnahnya ribuan hektar hutan bakau di daerah pesisir (Islam & Yasmin,2017). C. Solusi Permasalahan Kegiatan Budidaya Udang Windu dan Vaname Perlu adanya konsep pemanfataan budidaya yang berkelanjutan sebagai solusi yang tepat dalam melakukan kegiatan budidaya sekaligus menjaga kelestarian lingkungan. Solusi dalam menyelelesaikan permasalahan kegiatan budidaya udang windu dan vaname sangat beragam tergantung dari teknologi yang digunakan dan penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pengelolaan air limbah. Secara umum, pengelolaan lingkungan dalam kegiatan budidaya udang windu dan vaname telah diatur di dalam PERMEN KP No 75 tahun 2016 tentang pedoman umum pembudidayaan udang windu dan vaname. Adapun rincian pengelolaan lingkungan tersebut antara lain: Pengelolaan Lingkungan Pada Kegiatan Budidaya Udang Windu dan Vaname Dengan Teknologi Sederhana Teknologi sederhana dilakukan pada pembesaran udang windu dengan sistem monokultur dan polikultur dengan ikan bandeng dan rumput laut, serta pembesaran udang vaname secara polikultur dengan ikan bandeng. Adapun pengelolaan lingkungan pada Kegiatan Budidaya Udang Windu dan Vaname dengan Teknologi Sederhana yaitu a. menyesuaikan dengan daya dukung ruang dengan perbandingan 30 % lahan untuk budidaya udang dan 70 % untuk lahan mangrove. b. memiliki dan memelihara tanaman mangrove atau tanaman pantai lainnya yang berfungsi sebagai penyangga (buffer). c. menanam mangrove pada saluran pengeluaran yang dipengaruhi oleh pasang surut dan aliran nutrient. d. menyediakan kawasan penyangga berkisar 10% sampai dengan 30 % dari masing-masing kawasan pertambakan. e. melakukan budidaya tumpang sari hutan (silvofishery)/polyculture (udang, ikan dan rumput laut). mangrove Pengelolaan Lingkungan Pada Kegiatan Budidaya Udang Windu dan Vaname Dengan Teknologi Semi Intensif dan Intensif Pengelolaan Limbah/Effluen pada unit budidaya dengan teknologi semi intensif meliputi: a. unit budidaya memiliki petak pengelolaan limbah cair; dan b. sistem pengelolaan limbah harus memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dibuang ke perairan umum (Tabel 1) Pengelolaan Lingkungan Pada Kegiatan Budidaya Udang Windu dan Vaname Dengan Teknologi Super Intensif Pengelolaan Limbah/Effluen pada unit budidaya dengan teknologi super intensif meliputi: a. Limbah hasil panen yang banyak mengandung lumpur perlu diendapkan pada petak/saluran pengendapan. b. Penanganan limbah terlarut dilaksanakan dengan filter biologis seperti ikan herbivora, rumput laut, mangrove di petak pengendapan. c. Limbah dapat dibuang ke perairan umum setelah memenuhi standar baku mutu lingkungan. d. Limbah udang dalam bentuk cangkang hasil moulting dapat dibuat untuk Chitosan. e. Limbah padat yang berasal dari central drain dapat digunakan untuk pupuk kompos. Selain itu, pada kegiatan budidaya udang windu dan vaname dengan Teknologi Super Intensif (TSI) sangat direkomendasikan penggunaan system Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) dalam kegiataan pemanfaatannya. IPAL-TSI dikembangkan dengan mengacu pada permasalahan air buangan TSI yang mengandung TSS, TN, TP, BOT, dan Biological Oxygen Demand (BOD) yang tinggi, serta rendahnya pH dan oksigen terlarut (DO) (Syah et al, 2017). Tabel 1. Baku Mutu Limbah/Effluen Tambak Udang No. Parameter Air Satuan Kisaran Fisika 1. TSS (Total Suspended Solid) mg/l ≤ 200 2. Kekeruhan NTU (Nephelometer Turbidity Unit) ≤ 50 Kimia 1. pH - 6-9,0 2. BOD5 mg/l < 45 3. PO4-3 mg/l < 0,1 4. H2S mg/l < 0,03 5. NO3 mg/l < 75 6. NO2 mg/l < 2,5 7. NH3 mg/l < 0,1 Gymnodinium Individu/l < 8 x 102 Peridinium Individu/l < 8 x 102 Bakteri Patogen CFU (Calory Froming Unit) < 102 Biologi 1. 2. Dinoflagellata II. PEMBAHASAN Saat ini teknologi budidaya udang telah berkembang cukup pesat mulai dari teknologi sederhana hingga intensif. Perkembangan dan penerapan teknologi yang inovatif dan adaptif teknologi ini diharapkan dapat membantu pelaku usaha terutama pembudidaya udang untuk meningkatkan nilai tambah, jumlah produksinya dan menghasilkan udang yang aman dikonsumsi dalam rangka mendukung industrialisasi perikanan sebagai pemasok kebutuhan bahan baku bagi industri di hilir. Penerapanan teknologi dalam kegiatan budidaya udang seyogyanya selaras dan mengacu pada konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip daya dukung, usaha terintegrasi, pengelolaan, pengendalian, efisiensi, kualitas, percepatan (akselerasi), ramah lingkungan dan keberlanjutan. Hal yang sama juga diterapkan di Negara Thailanf (Phornprapha, 2020). Budidaya udang dilakukan dengan menerapkan teknologi budidaya udang. Teknologi budidaya udang terdiri dari teknologi sederhana, semi intensif, intensif, super intensif, karamba jaring apung, dan lahan pasir. Budidaya udang wajib menjamin mutu dan keamanan pangan hasil produksi budidaya dan menerapkan Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) dan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) dari tahap pra produksi, proses produksi dan panen yang baik untuk memenuhi persyaratan jaminan mutu dan keamanan pangan. Khususnya pada kegiatan budidaya udang windu dan vaname dengan teknologi super intensif sangat direkomendasikan penggunaan system Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) dalam kegiataan pemanfaatannya. Keuntungan dalam menggunakan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yaitu mampu menekan tingginya partikel bahan organik berupa feses udang, pakan yang tidak termakan, karapak udang, serta plankton mati yang mengendap di dasar tambak. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Syah et al (2017) menunjukan bahwa Efektivitas kinerja IPAL sangat efisien menekan parameter kunci air limbah seperti TSS, total N, dan fosfat . Sementara itu, BOD5 dikategorikan efisien dan BOT cukup efisien yang apabila masuk keperairan akan menyebabkan eutrofikasi. Desain IPAL Tambak Superintensif Konstruksi bangunan IPAL didesain berdasarkan karakteristik air buangan tambak superintensif, jumlah petak tambak superintensif yang beroperasi, dan perkiraan volume air buangan yang dikeluarkan setiap hari, serta waktu tinggal air buangan dalam IPAL. Kinerja IPAL-TSI ditentukan oleh seberapa jauh unit pengolahan dapat berfungsi memperbaiki karakteristik air buangan TSI mendekati prasyarat standar yang ditentukan. Kolam sedimentasi merupakan pengolahan tahap pertama secara fisik untuk mengurangi kandungan padatan tersuspensi melalui proses pengendapan dan didesain dalam bentuk enam kolam bersekat-sekat agar terjadi pelambatan arus air buangan dan memperpanjang jalur atau waktu alir sehingga memacu proses pengendapan partikel padat. Pada kolam ini, air buangan mulai mengalami proses pengendapan dimana partikel-partikel padat dibiarkan mengendap, sedangkan partikel-partikel yang ringan akan mengapung membentuk busa. (a) (b) Gambar 1. Instalasi pengolah air limbah (IPAL) tambak superintensif (A) dan kolam ekualisasi yang ditanami rumput laut (B). Kolam aerasi pada dasarnya merupakan unit pengolahan limbah yang dilengkapi sistem aerasi, bertujuan untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut, menurunkan BOD, dan menaikan pH dalam air buangan, serta membuang CO2 dan H2S, serta gas-gas terlarut lainnya. Kolam aerasi terdiri atas dua kolam dan didesain agar mampu mengoksidasi materi organic yang dilakukan oleh bakteri aerob, serta nitrifikasi nitrogen. Kolam ekualisasi merupakan kolam penampungan air buangan dalam tahap akhir, dimana seluruh air buangan yang sudah diolah dialirkan dan ditampung di kolam ekualisasi. Pada kolam ekualisasi dipelihara rumput laut Gracilaria sp. dan ikan mujair yang berfungsi sebagai bioindikator. Rumput laut akan menyerap nutrien dan mengonversi ke dalam biomassa yang dapat dipanen. Sementara nutrien yang tersisa akan memicu perkembangan populasi plankton sebagai pakan alami bagi ikan mujair. Kolam ekualisasi juga berfungsi untuk mengetahui secara cepat apakah air hasil olahan IPAL cukup layak bagi organisme hidup. Jika ikan yang ada di dalam kolam ekualisasi dapat hidup dengan normal berarti air olahan IPAL layak bagi kehidupan organisme perairan dan dikategorikan baik. Sebaliknya, jika ikan mengalami kematian maka berarti air olahan IPAL masih dikategorikan buruk. III. Berdasarkan pembahasan diatas PENUTUP dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembudidayaan udang windu dan vaname yang tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) jelas akan berdampak terhadap lingkungan. Dampak tersebut berupa hilangnya ekosistem pesisir seperti mangrove akibat alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya tambak udang dan menurunnya kualitas perairan. Adapun rekomendasi yang perlu dilakukan agar menjaga lingkungan dari aktivitas kegiatan pembudidayaan udang windu dan vaname yaitu : 1. Selalu menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan kegiatan pembudidayaan udang windu dan vaname. 2. melakukan budidaya tumpang sari hutan mangrove (silvofishery)/polyculture (udang, ikan dan rumput laut) demi menjaga kelesatarian ekosistem mangrove. 3. Khusus untuk Kegiatan Budidaya Udang Windu dan Vaname Dengan Teknologi Super Intensif diharapkan menggunakan system Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL). 4. Melakukan Pemeliharaan IPAL secara berkala. Misalnya melakukan pemeliharaan kolam sedimentasi secara berkala dengan memindahkan endapan sedimen menggunakan pompa lumpur. Aplikasi alat bantu aerasi dasar kolam perlu diuji pada kolam aerasi di IPAL untuk mempercepat proses pengudaraan dan pelarutan oksigen terlarut dalam menopang proses dekomposisi bahan organik air limbah. Untuk meningkatkan kinerja petak aerasi-2, maka dapat ditambahkan substrat berupa batu gunung, kerikil, kulit kerang, pecahan karang, dan bioball, berfungsi memacu proses nitrifikasi. DAFTAR PUSTAKA Department of Fisheries. 2016. National Fish week Compendium (In Bengali)., Ministry of Fisheries and Livestock, Bangladesh. 2016, 148. Huda, N. 2018. Analisis Dampak Keberadaan Tambak Udang Intensif Terhadap Kondisi Fisik Dan Sosial Ekonomi Pekerja Tambak Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan –Madura. Volume 5(5). Ilman, M., P. Dargusch., P. Dart dan Onrizal. 2016. A Historical Analysis of The Driver of Loss and Degradation of Indonesia’s Mangroves. Land Use Policy. pp. 448 – 459. Islam, M & Yasmin, R. 2017. Impact of Aquaculture and Contemporary environmental issues in Bangladesh. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies. 5(4). 100-107. Jalal, V & Alireza, M. 2017. Environmental Impact of Shrimp Culture at Gwatr Culture Site in Chabahar, Sistan-Baluchestan Province. Aquac Res Development. Volume 8 (6). Peraturan Mentri Kelautan Perikanan Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Pembudidayaan Udang Windu dan Vaname Phornprapha, W. 2020. Shrimp Farming in Thailand: A pathway to Sustainability. https://scholarship.claremont.edu/ di akses pada Tanggal 29 Oktober. Syah. R., M. Fahrur., H.S Suwoyo., Makmur 2018. Performansi Instalasi Pengolah Air Limbah Tambak Superintensif. Media Akuakultur. Volume 12 (2). Tungada, S & Suryanti, A.P. 2017. Pengaruh Limbah Cair Tambak Udang Terhadap Kepadatan Sel dan Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella sp. Seminar Nasional Riset Inovatif Witomo. C.M. 2018. Dampak Budi Daya Tambak Udang Terhadap Ekosistem Mangrove. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.