BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 METODE DIFUSI Tujuan pengukuran aktivitas antibakteri adalah untuk menentukan potensi suatu zat yang diduga atau telah memiki aktivitas sebagai antibakteri dalam larutan terhadap suatu bakteri (Jawetz et al., 2001). Difusi agar merupakan metode difusi yang digunakan untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih pada permukaan media agar mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba (Pratiwi, 2008).` Metode difusi agar dibedakan menjadi dua yaitu cara Kirby Bauer dan cara sumuran. 1) Cara Kirby Bauer Metode difusi disk (tes Kirby Bauer) dilakukan untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar (Pratiwi, 2008). Keunggulan uji difusi cakram agar mencakup fleksibilitas yang lebih besar dalam memilih obat yang akan diperiksa (Sacher dan McPherson, 2004). 2) Cara sumuran Metode ini serupa dengan metode difusi disk, di mana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji (Pratiwi, 2008). Sebelum dilakukannya metode difusi agar langkah pertama yang dilakukan yaitu mengisolasi senyawa kimia. Dimana isolasi adalah proses pengambilan atau pemisahan senyawa bahan alam dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Djamal, 2008). Maserasi merupakan salah satu bentuk dari proses isolasi. Metode Maserasi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengisolasi isolasi senyawa kimia dari suatu ekstrak tanaman. Metode ini dapat menghasilkan produk yang lebih baik dibandingkan dengan metode penyulingan. Ekstrak yang dihasilkan harus memperlihatkan sifat-sifat fisik dari senyawa aktif tumbuh yang akan diekstraksi agar pemisahan yang dilakukan sempurna (Mursito, 2003). Bahan pelarut yang digunakan pada metode ini dapat digunakan berulang kali sehingga tidak terbuang percuma seperti n-heksan dan metanol. Dalam proses pengekstraksian dengan corong pisah dilakukan untuk memisahkan senyawa organik yang terlarut dalam suatu pelarut dengan pelarut lainnya, dan antara kedua pelarut tersebut tidak saling melarutkan. Sehingga akan terbentuk dua lapisan, senyawa organik yang diinginkan akan tertarik pada pelarut organik selama 3 hari, kemudian disaring sampai filtrat yang dihasilkan bening. Proses maserasi dilakukan tanpa pemanasan atau dengan pemanasan (kelana, 2004). 2.2 AKTIVITAS ANTIBAKTERI Antibakteri pertumbuhan adalah bakteri yang senyawa bersifat yang digunakan merugikan. untuk Pengendalian mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme (Sulistyo, 1971). Antimikrobia meliputi golongan antibakteri, antimikotik, dan antiviral (Ganiswara, 1995). Mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri oleh senyawa antibakteri dapat berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk, perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan makanan dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat, penghambatan kerja enzim, dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Di bidang farmasi, bahan antibakteri dikenal dengan nama antibiotik, yaitu suatu substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain. Senyawa antibakteri dapat bekerja secara bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik (Pelczar dan Chan, 1988). Menurut Madigan dkk. (2000), berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa antimikrobia mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikrobia yaitu: 1. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh. Senyawa bakterostatik seringkali menghambat sintesis protein 8 atau mengikat ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap. 2. Bakteriosidal memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis sel atau pecah sel. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total tetap sedangkan jumlah sel hidup menurun. 3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel sehingga jumlah sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikrobia. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik, jumlah sel total maupun jumlah sel hidup menurun. Mekanisme penghambatan antibakteri dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu menghambat sintesis dinding sel mikrobia, merusak keutuhan dinding sel mikrobia, menghambat sintesis protein sel mikrobia, menghambat sintesis asam nukleat, dan merusak asam nukleat sel mikrobia (Sulistyo, 1971). Daya antimikrobia diukur secara in vitro agar dapat ditentukan kemampuan suatu zat antimikrobia (Jawetz , 2001). Adanya fenomena ketahanan tumbuhan secara alami terhadap mikrobia menyebabkan pengembangan sejumlah senyawa yang berasal dari tanaman yang mempunyai kandungan antibakteri dan antifungi (Griffin, 1981). 2.3 METANOL Metanol diperoleh dari distalasi destruktif kayu, merupakan alkohol yang paling sederhana dengan rumus kimia CH3OH, memiliki berat molekul 32,04, bersifat ringan, mudah menguap , tidak bewarna dan mudah terbakar. Dalam bidang industri metanol digunakan sebagai bahan tambahan pada bensin, bahan pemanas ruangan, pelarut industri pada larutan mesin fotocopy, serta bahan makanan untuk bakteri yang memproduksi protein. Dalam rumah tangga paling sering dijumpai dalam bentuk “canned heat” atau cairan pembersih kaca mobil. Methanol adalah alkohol paling sederhana, dan ringan, mudah menguap, tidak berwarna, cairan yang gampang terbakar dengan bau yang berbeda sangat, tetapi sedikit lebih manis dibandingkan dengan etanol (minuman alkohol). Pada suhu kamar, metanol merupakan cairan polar, dan digunakan sebagai antibeku, pelarut, bahan bakar, dan sebagai denaturan, zat penghilang sifat alami untuk etanol. Metanol juga digunakan untuk memproduksi biodiesel melalui reaksi transesterifikasi. (Yuhernita, 2014) 2.4 Bawang Batak (A. cinense) Bawang batak (A. cinense) memiliki morfologi seperti bawang kucai namun dengan ujung tangkai yang lebih panjang dan warnanya cenderung putih. Jadi mirip bawang daun berbentuk mungil dengan daun kecil panjang, dan juga bentuknya mirip seperti bawang merah, tapi ukurannya jauh lebih kecil, tetapi berbeda dengan kucai, biasanya digunakan sebagai campuran asinan ataupun beberapa masakan. Banyak orang yang menyebut sayuran ini dengan nama lokio, tapi ada juga yang menyebutnya dengan sebutan bawang batak. Disebut bawang batak (A.cinense) karena banyak ditemukan pada masakan-masakan khas Batak, salah satunya arsik. Tapi seiring dengan berkembangnya zaman. Lokio atau bawang batak ini juga digunakan pada masakan lainnya, seperti bahan masakan untuk menumis ayam, ikan, atau daging. Sampai sekarang bawang batak hanya digunakan dalam masakan saja (Septia, 2010). Adapun bentuk bawang batak (A. cinense) dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini: Sistematika tatanama untuk bawang batak (A.cinense) adalah sebagai berikut : Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Liliales Suku : Liliaceae Marga : Allium Jenis : Allium cinense (syamsiah dan Tajudin, 2003) Bawang batak sampai sekarang hanya digunakan sebagai bahan bumbu masakan berbeda dengan bawang putih yang sudah banyak dipergunakan dimasyarakat. Salah satunya bawang putih bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung unsur-unsur aktif, memiliki daya bunuh terhadap bakteri, sebagai bahan atibiotik, merangsang pertumbuhan sel tubuh, dan sebagai sumber vitamin B1. Selain itu, bawang putih mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi, dan mengandung sejumlah komponen kimia yang diperlukan untuk hidup manusia. Dewasa ini, bawang putih dimanfaatkan sebagai penghambat perkembangan penyakit kanker karena mengandung komponen aktif, yaitu selenium dan germanium (Anantyo, 2009). 2.5 BAKTERI GRAM POSITIF Bakteri uji dapat dibedakan antara bakteri gram positif dan gram negatif. Atas dasar teknik perwarnaan diferensiasial yang disebut pewarnaan gram, kedua kelompok bakteri ini di bedakan terutama mengenai dinding selnya (Volk dan Weller, 1993). Berbeda nyata dalam komposisi dan struktur di dinding sel antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif penting untuk dipahami karena diyakini bahwa dinding sel itulah yang menyebabkan perbedaan kedua kelompok bakteri ini memberikan respons. Bakteri gram negatif mengandung lipid, lemak atau substansi seperti lemak dalam persentase lebih tinggi dari pada yang dikandung bakteri gram positif juga lebih tipis dari pada dinding sel bakteri gram positif. Dinding sel bakteri gram negatif mengandung peptidoglikan jauh lebih sedikit, dan peptidoglikan ini mempunyai ikatan silang yang kurang efektif dibandingkan dengan yang dijumpai pada dinding bakteri gram positif. Pada saat pewarnaan dengan ungu kristal pertumbuhan bakteri gram positif lebih dihambat dengan nyata dari pada bakteri gram negatif, demikian juga dengan kerentanan terhadap antibiotik, bakteri gram positif lebih rentan terhadap penisilin daripada bakteri gram negatif (Pelczar dan Chan, 1986). 2.6 STREPTOCOCCUS MUTANS Streptococcus mutans merupakan bakteri gram positif golongan Streptococcus viridans yang dapat mengeluarkan toksin sehingga sel-sel pejamu rusak dan bersifat aerob serta relatif sering terdapat dalam rongga mulut yaitu pada permukaan gigi (Corwin, 2008). Streptococcus mutans memiliki bentuk bulat dan tersusun seperti rantai dengan diameter 0,5-0,7 mikron, tidak bergerak dan tidak memiliki spora. Streptococcus mutans dapat hidup pada daerah kaya sukrosa dan menghasilkan permukaan asam dengan menurunkan pH di dalam rongga mulut menjadi 5,5 atau lebih rendah yang membuat email mudah larut kemudian terjadi penumpukan bakteri dan mengganggu kerja saliva untuk membersihkan bakteri tersebut, sehingga jaringan keras gigi rusak dan menyebabkan terjadinya karies gigi (Alfath dkk, 2013). Karies gigi merupakan penyakit jaringan keras gigi yang masih banyak ditemukan di Indonesia pada usia anak-anak ataupun usia dewasa dengan prevalensi berkisar antara 85-99%, sehingga perlu dilakukan pencegahan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans penyebab karies gigi (Sintawati, 2009, cit. Nurhidayat dkk, 2012). Timbulnya karies gigi yang disebabkan oleh Streptococcus mutans dapat dicegah dengan memelihara kebersihan rongga mulut baik secara kimiawi ataupun mekanis. Cara kimiawi dengan menggunakan bahan antibakteri, sedangkan secara mekanis dengan menyikat gigi menggunakan sikat gigi dan pasta gigi yang mengandung antibakteri (Kidd dan Bechal, 1987). Pasta gigi mengandung bahan dan fungsi yang berbeda-beda. Bahan-bahan tersebut berfungsi untuk membersihkan permukaan gigi, mengurangi sensitivitas pada dentin, mencegah karies gigi dan memberikan rasa nyaman pada rongga mulut (Putri dkk, 2010). 2.7 BACCILUS CEREUS Bacillus cereus adalah bakteri Gram positif, aerobik fakultatif, berbentuk batang (Ash et al., 1991). Bacillus cereus merupakan penyebab paling umum dua gejala klinis diare dan muntah pada keracunan makanan berbahan dasar daging (Drobniewski, 1993). Jumlah Bacillus cereus pada produk makanan yang mencapai > 105 CFU per gram pangan dapat menyebabkan keracunan yang berupa sindrom diare dan muntah (Rajkovic et al., 2008). Bacillus cereus menghasilkan enterotoksin penyebab diare yang lebih bersifat toksik daripada jenis bakteri intoksikasi yang lain. Menurut Sentra Informasi Keracunan Nasional pada tahun 2014 terjadi kasus kematian akibat keracunan pangan sebanyak 855 kasus yang diakibatkan oleh beberapa jenis bakteri seperti Bacillus cereus, Clostridium botulinum, Staphilococcus aureus, Salmonella, dan Escherichia coli. Jumlah kasus keracunan pangan yang tercatat ini tidaklah menunjukkan data rill dari kasus keracunan pangan dikarenakan masih terdapat kasus-kasus kecil keracunan pangan yang tidak dilaporkan dan tidak diketahui oleh dinas kesehatan (BPOM, 2016). Keracunan akibat bakteri Bacillus cereus dapat mengakibatkan sakit perut, muntah dan diare. Berdasarkan penelitian insidensi keracunan makanan Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM pada tahun 1993-2000 terdapat sebuah kasus keracunan makanan akibat Bacillus cereus yang ditemukan pada seseorang setelah mengkonsumsi nasi goreng yang mengandung 350 juta sel Bacillus cereus per gram sampel. Menurut WHO pada tahun 2009 angka insidensi akibat Bacillus cereus ≥ 100 kasus per 1000 penduduk (Arisman, 2009). Bacillus cereus dapat pula menyebabkan infeksi lain yang lebih berbahaya seperti infeksi non gastrointestinal, infeksi saluran pernafasan, infeksi nosokomial, infeksi sistem saraf pusat, infeksi saluran kemih, infeksi kulit, endokarditis, dan osteomielitis (Bottone, 2010). Berdasarkan penelitian Fatmasari (2015) Bacillus cereus sensitif terhadap kloramfenikol, siprofloksasin, eritromisin dan klindamisin. Kebanyakan isolat Bacillus cereus resisten terhadap penisilin dan sefalosporin karena bakteri ini memproduksi enzim β-laktamase. Pada infeksi yang dicurigai akibat Bacillus cereus, terapi empiris mungkin diperlukan hingga menunggu profil uji kepekaan antibiotik. Resistensi Bacillus cereus terhadap eritromisin, tetrasiklin, dan karbapenem telah dilaporkan sehingga dapat mempersulit pemilihan pengobatan empiris (Bottone, 2010). Antibiotik yang digunakan pada Bacillus cereus memiliki beberapa kerugian jika penggunaannya tidak benar terutama jika dosis tidak diperhatikan. Antibiotik-antibiotik tersebut memiliki efek samping yang kurang dapat ditoleransi, selain itu antibiotik yang dapat digunakan sebagai terapi hanya sedikit. Bahan dari tumbuhan diharapkan dapat menjadi solusi bagi masyarakat untuk dijadikan salah satu alternatif pengobatan infeksi bakteri Bacillus cereus.