LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN APENDIKTOMI Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Profesi Keperawatan dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah (KMB) Dosen Pembimbing : Sumbara, S.Kep., Ners., M.Kep Disusun oleh : Lala Dwi Apriliana 201FK04029 PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG 2020 KATA PENGANTAR Alhamdulillah segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan pendahuluan ini. Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak mendapat saran, dorongan, serta keterangan-keterangan dari berbagai pihak yang merupakan pengalaman yang tidak dapat diukur secara materi, namun dapat membukakan mata penulis bahwa sesungguhnya pengalaman dan pengetahuan tersebut adalah guru yang terbaik bagi penulis. Dalam penyusunan laporan ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang dibuat baik sengaja maupun tidak sengaja, dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan dan wawasan serta pengalaman yang penulis miliki. Untuk itu kami mohon maaf atas segala kekurangan tersebut dan tidak menutup diri terhadap segala saran dan kritik serta masukan yang bersifat kontruktif bagi penulis. Akhir kata semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bandung, November 2020 Penulis i DAFTAR ISI Kata Pengantar i Daftar Isi ii BAB I BAB II PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Tujuan Penulisan 2 1.4 Manfaat Penulisan 2 TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Apendiktomi 3 2.1.1 Definisi 3 2.1.2 Klasifikasi 3 2.1.3 Epidemiologi 4 2.1.4 Etiologi 4 2.1.5 Manifestasi Klinis 5 2.1.6 Patofisiologi 6 2.1.7 Pathway 8 2.1.8 Komplikasi 9 2.1.9 Penatalaksanaan 9 2.1.10 Pemeriksaan Penunjang 11 2.1.11 Pencegahan 12 2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 13 2.2.1 Pengkajian Keperawatan 13 2.2.2 Diagnosa Keperawatan 17 2.2.3 Intervensi Keperawatan 17 2.2.4 Implementasi Keperawatan 21 2.2.5 Evaluasi Keperawatan 22 ii BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 23 3.2 Saran 23 Daftar Pustaka 24 iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit apendisitis atau sering pula disebut dengan usus buntu atau ujung usus. Penyakit usus buntu terjadi karena tersumbatnya muara usus buntu oleh berbagai hal seperti cacing, kotoran penderita yang mengering, atau biji jambu batu, tumor usus, atau lain-lain. Sumbatan itu mengakibatkan lendir usus buntu tidak dapat tersalurkan ke luar (usus besar), sehingga terjadi pembengkakan serta infeksi serius usus buntu itu (Saydam, 2011). Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Nurafif dan Kusuma, 2015). Penyakit ini dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia dua puluh sampai tiga puluh tahun. Sebanyak 70% pada usia sekitar 80 tahun. Usia 3 tahun kebawah jarang menderita dan pada usia lebih 50 tahun insidensinya menurun. Bila penyakit ini terjadi pada anak-anak, maka lebih cepat menyebabkan komplikasi. Bila tidak ditolong atau dioperasi dalam tempo 36 jam, umumnya usus buntu yang meradang itu segera bolong (perforasi) dan akan menyebabkan radang selaput usus menyeluruh. Pada orang dewasa, perforasi usus buntu itu biasa terjadi dalam dua kali dua puluh empat jam setelah mengalami radang usus buntu yang 4 akut. Karena itu, pertolongan pada penderita penyakit ini harus dilakukan sesegera mungkin (Sitorus, 2010). Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan ini akan dibahas mengenai penyakit kejang demam sederhana dan asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus kejang demam sederhana. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu : 1. Apa definisi apendiktomi? 2. Apa saja etiologi dari apendiktomi? 3. Apa manifestasi klinis apendiktomi? 4. Bagaimana patofisiologi apendiktomi? 5. Bagaimana penatalaksanaan apendiktomi? 6. Apa saja pemeriksaan penunjang apendiktomi? 7. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien apendiktomi? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Mengetahui konsep teori penyakit apendiktomi. 2. Mengetahui penerapan asuhan apendiktomi. 5 keperawatan pada pasien dengan 1.4 Manfaat Penulisan Untuk mengetahui dan menambah wawasan mengenai penyakit apendiktomi dan melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan apendiktomi. 6 BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Apendiktomi 2.1.1 Definisi Apendiktomi adalah pembedahan atau operasi pengangkatan apendiks (Haryono, 2012). Apendiktomi adalah pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat apendiks yang telah terinflamasi, hal ini dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoskopi (Smeltzer & Bare, 2013) 2.1.2 Etiologi Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis dikarenakan apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidakdilakukan sebagai tindakan pembedahan. Berbagai hal berperan faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica (Sjamsuhidayat, 2011). 7 Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks menurut Haryono (2012) diantaranya: 1. Faktor sumbatan Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing, dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. 2. Faktor bakteri Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur yang banyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%. 3. Kecenderungan familiar Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makan dalam keluarga terutama dengan 8 diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolit dan menyebabkan obstruksi lumen. 4. Faktor ras dan diet Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saatsekarang kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah mengubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara berkembang yang dulunya mengonsumsi tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi. 2.1.3 Manifestasi Klinis Menurut Wijaya & Putri (2013), klien yang dilakukan tindakan apendiktomi akan muncul berbagai manifestasi klinis seperti berikut: a) Nyeri tekan pada luka operasi b) Perubahan tanda-tanda vital c) Kelelahan dan keterbatasan dalam melakukan aktivitas perawatan diri d) Gangguan integritas kulit e) Mual dan muntah, anoreksia f) Nafsu makan menurun g) Demam yang tidak terlalu tinggi h) Biasanya terdapat konstipasi, tapi kadang-kadang terjadi diare. 9 2.1.4 Patofisiologi Apendiktomi biasanya disebabkan adanya penyumbatan lumen apendiks yang dapat diakibatkan oleh fekalit/atau apendikolit, hiperplasia limfoid, benda asing, parasit, mioplasma atau striktur karena fibrosir akibat peradangan sebelumnya. Obstruksi lumen yang terjadi mendukung perkembangan bakteri dan sekresi mukus sehingga menyebabkan distensi lumen dan peningkatan tekanan dinding lumen. Tekanan yang meningkat akan menghambat aliran limfe sehinngga menimbulkan edema, diapedesis bakteri dan pulserasi mukosa. Pada saat tersebut, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri periumbilikal.Sekresi mukus yang terus berlanjut dan tekanan yang terus meningkat menyebabkan obsruksi vena, peningkatan edema, dan pertumbuhan bakteri yang menimbulkan radang. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai pritoneum sehingga timbul nyeri daerah kanan bawah. (Saditya 2014). 10 2.1.5 Pathway 11 2.1.6 Penatalaksanaan Penatalaksaan appendisitis menurut Andra & Yessi, 2013 : a) Sebelum operasi 1) Observasi Dalam 8-12 jam setelahtimbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis sering kali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan.Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun perioritas lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (leukosit dan abdomen hitung dan jenis) toraks diulang secara periodic, foto tegak dilakukan untuk mencari memungkinkan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosa ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan. 2) Antibiotik Apendisitis tanpa komplikasi biasanya tanpa perlu di berikan antibiotik, apendisitis kecuali apendisitis perporasi.Penundaan memberikan antibiotik dapat perporasi. 12 tindak ganggrenosa bedah atau sambil mengakibatkan abses atau b) Operasi 1) Apendiktomi. 2) Apendiks di buang, jika apendiks mengalami perporasi bebas, maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotik. 3) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, masaanya mungkin mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan. c) Pasca operasi Dilakukan observasi terjadinya tanda-tanda vital untuk mengetahui perdarahan di dalam, syok, hipertrmia atau gangguan pernafasan, angkat sonde lambung, bila pasien sudah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah, baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu pasien dipuasakan, bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasiatau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.Satu pasca operasi tempat tidur pasien dianjurkan untuk duduk tegak hari di selama 2x30 menit.Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar.Hari ke tujuh jahitan diangkat dan pasien di perbolehkan pulang. 13 2.1.7 Komplikasi Komplikasi setelah pembedahan apendik menurut Muttaqin (2009): 1. Infeksi pada luka, ditandai apabila luka mengeluarkan cairan kuning atau nanah, kulit di sekitar luka menjadi merah, hangat, bengkak, atau terasa semakin sakit, 2. Abses (nanah), terdapat kumpulan di dalam rongga perut dengan gejala demam dan nyeri perut. 3. Perlengketan usus, dengan gejala rasa tidak nyaman di perut, terjadi sulit buang air besar pada tahap lanjut, dan perut terasa sangat nyeri 4. Komplikasi yang jarang terjadi seperti ileus, gangren usus, peritonitis, dan obstruksi usus. 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang 1. Hitung WBC/leukosit 10.000sel/mm³, total hampir selalu meningkat diatas pada sebagian besar pasien (95%). Jumlah leukosit yang sangat tinggi (> 20.000/mm³) memberi kesan kearah apendisitis komplikata dengan gangren atau perforasi. 2. Foto polos abdomen posisi tegak dilakukan untuk mengesampingkan adanya perforasi dan obstruksi intestinalis. Pemeriksaan ini mungkin menunjukkan dilatasi lengkung usus halus pada fosa iliaka dekstra. 3. Ultrasonografi abdomen untuk mengesampingkan penyebab lain yang mencakup penyebab dapatmemperlihatkan organ 14 ginekologik. Ultrasonografi tubular aperistaltik dan tidak mengempis dengan dinding tabung yang tebal. Pemeriksaan ultrasonografi dapat digunakan untuk menunjukkanadanya nyeri tekan olehprobe ultrasonografi (sensitivitas 85%, spesifitas 90%). 4. CT scan merupakan pemeriksaan pilihan (sensitivitas 90%, spesifisitas 90%) Protein C-reaktif meningkat pada setiap kelainan peradangan seperti apendisitis (Shenoy dan Nileswar, 2014) 2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 2.2.1 Pengkajian Menurut Muttaqin & Sari (2011), dapat ditemukan masalah psikososial yaitu pasien dengan pasca bedah akan mengalami kecemasan akibat nyeri hebat pada luka post operasinya. Selain itu pengkajian pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan diantaranya: a. Tanda-tanda Vital Pada pasien post operasi biasanya akan didapatkan takikardi dan peningkatan frekuensi pernapasan akibat dari respon kesakitan yang hebat dari pembedahan. b. Abdomen Pada abdomen akan ditemukan keluhan nyeri pada regio kanan bawah, kembung pada pasien dengan komplikasi perforasi, peningkatan respon nyeri pada saat palpasi dan nyeri lepas. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik diantaranya: 1) Pemeriksaan darah lengkap 15 Leukosit mencapai 10.000-20.000/ml, 2) C-Reaktif Protein (CRP) mengalami peningkatan yang menyebabkan inflamasi. 3) USG untuk melihat adanya inflamasi pada apendisitis. Menurut Mardalena (2017), pasien post operasi apendiktomi perlu dilakukan pengkajian berikut ini: 1) Pola nutrisi Kebiasaan makan makanan rendah serat dapat memicu terjadinya konstipasi yang akan menjadi salah satu penyebab dari timbulnya apendisitis. 2) Kebiasaan eliminasi Pasien mengalami konstipasi, tanda-tanda diare, distensi abdomen, nyeri tekan/lepas, penurunan bising usus 3) Nyeri kenyamanan : nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan. 2.2.2 Diagnosa Nurarif & Kusuma (2015), berdasarkan hasil pengkajian pada post operasi apendiktomi didapatkan diagnosa keperawatan sebagai berikut : a. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur operasi Menurut PPNI (2016), definisi nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan 16 kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Batasan karakteristik nyeri akut adalah ekspresi wajah nyeri (meringis), perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap melindungi area nyeri. Gejala dan tanda mayor: mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap menghindari nyeri, gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur. Gejala dan tanda minor: tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan menurun, fokus pada diri sendiri, menarik diri. b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanis Menurut PPNI (2016), definisi gangguan integritas kulit yaitu gangguan kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen). Batasan karakteristik gangguan integritas kulit adalah benda asing menusuk permukaan kulit. Gejala dan tanda mayor: kerusakan jaringan dan atau lapisan kulit. Gejala dan tanda minor: nyeri, perdarahan, kemerahan, hematoma. c. Defisit Nutrisi Menurut PPNI (2016), definisi defisit nutrisi adalah asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Batasan karakteristiknya ketidakmampuan yaitu kurangnnya mencerna makanan, asupan makanan, ketidakmampuan mengabsorbsi nutirisi, faktor psikologis (stres). Gejala dan tanda 17 mayor: berat badan menurun 10% dibawah rentang ideal. Gejala dan tanda minor : nafsu makan menurun, membran mukosa pucat. d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif Menurut PPNI (2016), definisi risiko infeksi yaitu beresiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik. Faktor resiko diagnosa keperawatan risiko infeksi yaitu efek prosedur invasif, kerusakan integritas kulit. 2.2.3 Intervensi Rencana keperawatan pada pasien post operasi apendiktomi dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut: . Tabel 2.1 Rencana keperawatan pada pasien post operasi Apendiktomi No Diagnosa Tujuan Intervensi 1 Nyeri akut Kontrol Nyeri Managemen Nyeri 1. Mampu 1. Lakukan mengontrol nyeri pengkajian (penyebab nyeri, secara nyeri mampu komprehensif menggunakan termasuk teknik karakteristik, nonfarmakologi durasi, untuk mengurangi kualitas, dan faktor nyeri, presipitasi. bantuan) 18 mencari lokasi, frekuensi. 2. Observasi reaksi 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan nonverbal dan ketidaknyamanan. 3. Pilih dan lakukan menggunakan penangangan nyeri manajemen nyeri. (farmakologi, 3. Menyatakan nyaman rasa setelah nyeri berkurang. nonfarmakologi, dan interpersonal). 4. Ajarkan teknik nonfarmakologi (tarik napas dalam). 5. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri. 2 Gangguan Integritas jaringan: Integritas kulit dan membran Jaringan mukosa 1. Perfusi Perawatan Luka 1. Jaga tetap jaringan normal kulit agar bersih dan kering. 2. Mobilisasi pasien 2. Tidak ada tanda- 3. Monitor kulit akan tanda infeksi adanya tanda-tanda 3. Ketebalan tekstur dan jaringan 4. Observasi normal lokasi, 4. Menunjukan terjadinya infeksi luka: dimensi, keadaan luka, tanda proses infeksi. penyembuhan luka 3 Hambatan Pergerakan Terapi latihan: Mobilitas 1. Pasien meningkat ambulasi Fisik dalam aktivitas 1. Monitor fisik 2. Mengerti 19 TTV sebelum/sesudah tujuan latihan dan liat dan peningkatan aktivitas respon pasien saat latihan. 3. Bantu untuk 2. Konsultasikan mobilisasi dengan terapi fisik (fasilitasi) tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan. 3. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi. 4. Ajari pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan. 4 Resiko Infeksi Keparahan Infeksi Kontrol Infeksi 1. Pasien bebas dari 1. Batasi pengunjung tanda dan gejala infeksi 2. Pertahankan teknik 2. Mendeskripsikan proses pasien. isolasi penularan 3. Monitor tanda dan penyakit, faktor yang infeksi sistemik dan lokal. mempengaruhi penularan gejala serta penatalaksanaanny a. 4. Dorong intake nutrisi dan cairan. 5. Ajarkan cara pencegahan infeksi 3. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi. 20 6. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah. 2.2.4 Implementasi Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana perawat. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri (independen) adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan dari hasil keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lain (Tarwoto dan Wartona, 2010). 2.2.5 Evaluasi Menurut Asmadi (2008) dalam Puspa (2019) evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment). Secara umum, evaluasi ditujukan untuk: 1) Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan. 2) Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum. 21 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Apendiktomi adalah peradangan dari apendiks vermiformis, apendisitis akut biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks yang diakibatkan oleh fekalit/apendikdolit, hiperplasia limfoid, benda asing, parasit, neoplasma, atau striktur karena fibrosis akibat perdangan sebelumnya. Apendiks memiliki panjang bervariasi sekitar 6 hingga 9 cm. Obstruksi lumen yang terjadi mendukung perkembangan bakteri dan sekresi mukus sehingga menyebabkan distensi lumen dan peningkatan tekanan dinding lumen. Tekanan yang meningkat akan menghambat aliran limfe sehingga menimbulkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saattersebut, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri periumbilikal. 3.2 Saran Adapun saran penulis kepada para pembaca, diharapkan dapat memahaminya dan mengetahui tentang konsep penyakit dan asuhan keperawatan pasien dengan apendiktomi dan dapat memahami tindakan, khususnya dalam tindakan sebagai seorang perawat profesional. 23 DAFTAR PUSTAKA Nurarif, Huda & Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Jogja Tarwoto, Wartono. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika Haryono. 2012. Keperawatan medikal bedah sistem pencernaan. Yogyakarta: Gosyen Publishing. Sjamsuhidajat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. Shenoy dan Nileswar. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid Dua. Tangerang Selatan: Karisma Publishing Group Brunner & Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC. 24