BAB I PENDAHULUAN Tesis ini mengambil tema

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Tesis ini mengambil tema mengenai pasukan keamanan internasional di Afghanistan,
dengan fokus pada keputusan Perancis untuk segera menarik pasukannya dari Afghanistan
empat tahun sebelum mandat penarikan pasukan bersama seluruh negara di bawah kendali
NATO. Keputusan itu ditolak oleh NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan
Amerika Serikat (AS) karena kesepakatan soal penarikan pasukan telah dibuat, yaitu pada
akhir tahun 2014. Menarik kemudian untuk menganalisis keputusan Perancis tersebut.
Latar Belakang
Perubahan peta politik internasional yang semakin kompleks pasca Perang Dingin
ditunjukkan dengan munculnya berbagai isu baru dalam politik global. Adanya pergeseran
persoalan politik dunia yang lebih bervariasi seperti isu terorisme internasional, konflik etnis,
pelanggaran hak asasi manusia, masalah lingkungan dan isu lainnya semakin mempengaruhi
dinamika politik internasional. Amerika Serikat muncul sebagai aktor unipolar yang
mendominasi politik dunia setelah berakhirnya Perang Dingin, sehingga berbagai peristiwa
yang terjadi dapat dipahami sebagai menunjukkan hubungan dengan kepentingan ekonomi
dan politik AS.
Salah satu tragedi besar pasca Perang Dingin ialah peristiwa yang terjadi pada
tanggal 11 September 2001, yaitu pengeboman gedung kembar World Trade Center (WTC)
dan markas Departemen Pertahanan AS (Pentagon) yang merupakan kebanggaan AS. Isu
terorisme kemudian menjadi agenda utama yang difokuskan oleh AS menjelang abad ke-21.
Dapat dikatakan isu tersebut menjadi titik sentral kebijakan luar maupun dalam negeri AS.
Selang beberapa waktu setelah hancurnya dua menara kembar WTC, Presiden George W.
Bush berpidato di Joint Session of Congress mengenai kebijakan “war against terorism”.1
Munculnya aktor non-negara, dalam hal ini kelompok teroris, yang berhadapan langsung
1
„President Bush Declares "War on Terror”,‟ Middle East Issues,
<http://middleeast.about.com/od/usmideastpolicy/a/bush-war-on-terror-speech.htm>, diakses pada 17
Desember 2012.
1
dengan aktor negara (AS) menyebarluaskan retorika tentang musuh bersama yang harus
diberantas: terorisme. Bush menyampaikan juga pernyataan “either you are with us or you
are with the terrorists,” seolah-olah AS memilah dunia ke dalam dua sisi,yaitu bersamasama AS memerangi teroris berarti menjadi “kawan” atau tidak ingin melawan teroris yang
berarti akan menjadi “lawan”. Bush mengajak seluruh rakyat AS untuk berperang sekuat
tenaga melawan terorisme. “Perang yang tidak akan usai sampai seluruh kelompok teroris
berjangkauan global itu kalah dan bertekuk lutut,” demikian kata Bush dengan penuh
percaya diri.2
Dalam serangan bom 11 September itu, yang dituduh sebagai pelaku utama adalah
mereka yang berasal dari Timur Tengah. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, AS
mengindikasikan keterlibatan Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda, sebuah kelompok
Islam yang memiliki tujuan menetapkan dasar-dasar agama yang konservatif sebagai dasar
untuk menjalankan dunia. Sebelumnya, Osama pernah melakukan penyerangan terhadap
warga AS baik didalam maupun di luar negeri. Berbagai peristiwa tersebut menguatkan
tuduhan AS mengenai keterlibatan Osama dan Al-Qaeda dalam peristiwa 9/11.3 Selain itu,
kelompok Taliban di Afghanistan juga masuk dalam daftar bidikan karena diyakini
melindungi keberadaan Osama bin Laden. Taliban sendiri lahir di Afghanistan pada tahun
1996 sebagai sebuah kekuatan baru yang beranggotakan lulusan sekolah-sekolah Islam
tradisional dan menginginkan Afghanistan berdiri sebagai negara Islam. Pada awalnya
Taliban disambut baik oleh rakyat Afghanistan karena telah berhasil mengakhiri kekerasan
dan konflikpasca invasi Uni Soviet, tetapi paham „fundamentalis‟-nya kemudian telah
mengasingkan ia dari banyak warga suku tradisional di negara tersebut.4
Merespon isu terorisme, AS melancarkan aksi militer ke Afghanistan, yang disebut
sebagai negara sarang teroris dan markas utama pelatihan jaringan terorisme. Pada 7 Oktober
2001 AS menjatuhkan lima rudal jelajah di Kabul, ibu kota Afghanistan.5 AS menginginkan
jatuhnya pemerintahan Afghanistan yang memiliki kedekatan terhadap Al-Qaeda dan
digantikan oleh pemerintahan baru yang diharapkan dapat menjadi sekutu AS. Penyerangan
2
J.D. Gray, Fakta Sebenarnya Tragedi 11 September, Sinergi Publishing, Jakarta, 2004, p. 37.
A. Wachtel, 11 September: Kisah Yang Terlewatkan, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2009, p. 22.
4
R.W. Mansbach & K.L.Rafferty. Introduction to Global Politics, edisi Bahasa Indonesia Pengantar
Politik Global, diterjemahkan oleh Amat Asnawi, Nusamedia, Bandung, 2012, p. 271.
5
A.H. Mahally, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, p. 48.
3
2
terhadap kelompok Taliban dengan tujuan membasmi terorisme juga mendapat respon dari
negara-negara yang berada dalam satu payung NATO. AS mendapatkan keuntungan berupa
dukungan NATO setelah Pasal 5 Traktat NATO mengatur bahwa serangan atau ancaman
terhadap salah satu negara anggota NATO dapat dianggap sebagai ancaman terhadap seluruh
anggota.6 Dengan berdasar kesepakatan tersebut pasukan dari berbagai negara anggota
ditempatkan di Afghanistan dengan alasan untuk membasmi sarang teroris internasional. Uni
Eropa menekankan bahwa balasan AS untuk penyerangan teror 9/11 ini harus “proporsional”
dan perlu berkonsultasi dengan sekutu-sekutunya sebelum mengambil tindakan.7
Di tahun 2001 NATO mulai menempatkan pasukannya di Afghanistan. Sekitar
130.000 personel International Security Assistance Force (ISAF) dibawah pimpinan NATO
yang berasal dari puluhan negara berada di Afghanistan untuk memerangi Taliban. ISAF
didirikan atas mandat Dewan Keamanan PBB pada 20 Desember 2001 sebagaimana disebut
dalam Perjanjian Bonn.8 ISAF pada awalnya ditugaskan untuk mengamankan Kabul dan
wilayah sekitarnya dari Taliban, Al-Qaeda dan faksi perang lainnya, sehingga
memungkinkan untuk pembentukan Pemerintahan Transisi Afghanistan yang dipimpin oleh
Hamid Karzai. Pada bulan Oktober 2003, Dewan Keamanan PBB memerintahkan perluasan
misi ISAF pada seluruh wilayah Afghanistan.9 Berdasarkan perintah itu ISAF kemudian
memperluas misinya dalam empat tahap utama. Sejak tahun 2006, ISAF terlibat dalam
operasi tempur yang lebih intensif di Afghanistan Selatan, yang diteruskan pada tahun 2007
dan 2008. Sebagai konsekuensinya, serangan terhadap ISAF di bagian lain Afghanistan juga
meningkat dan ranah perangnya semakin melebar hingga saat ini (lihat Gambar 1).
6
S.M.Walt, America and the World, Debating the New Shape of International Politics, edisi Bahasa
Indonesia Amerika dan Dunia: Memperdebatkan bentuk baru politik Internasional, diterjemahkan oleh Y.A.
Pareanom & A.Z. Rofiqi, Yayasan Obor Indonesia, 2005, Jakarta,p. 373.
7
Walt, p. 373.
8
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa,Document 1154 Annex I - International Security Force,
2001, p. 9.
9
United Nations Security Council (UNSC) Resolution No. 1510 (2003), 13 October 2003.
3
Gambar 1. Perluasan Pasukan ISAF di Afghanistan10
Dalam misi menggempur Taliban tersebut, AS menjadi negara penyumbang pasukan
terbanyak dalam ISAF dengan total mencapai 94 ribu personel militer.11 Pasukan AS
mempunyai wilayah penyebaran paling luas di berbagai provinsi di Afghanistan. Perancis,
salah satu kekuatan utama NATO, adalah penyumbang terbesar keempat bagi personel ISAF
setelah AS, Inggris, dan Jerman. Pada awalnya terdapat sekitar 2.550 tentara Perancis di
Afghanistan, mengalami peningkatan hingga pada tahun 2011 berjumlah 4.000 orang.
Di akhir tahun 2012, Perancis mengambil keputusan untuk mempercepat penarikan
tentaranya dari Afghanistan, setahun lebih awal dari rencana Paris dan dua tahun sebelum
tenggat kesepakatan NATO. Perancis telah kehilangan banyak pasukan selama ditugaskan ke
negara terkoyak perang tersebut. Disisi lain, Afghanistan merupakan pengalaman yang tidak
terlupakan bagi negara-negara Eropa. Mayoritas rakyat Eropa ingin mengakhiri tiga dekade
perang serta kekerasan, tetapi pengiriman pasukan NATO ke Kabul dianggap telah berubah
10
„International Security Assistance Force,‟ North Atlantic Treaty
Organization,<http://www.nato.int/isaf/docu/epub/pdf/placemat_archive/isaf_placemat_090112.pdf>, diakses
pada 3 Januari 2013.
11
„Jumlah Pasukan Amerika dan NATO di Afghanistan mencapai 150.000,‟ The Global
Review,<http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=2277&type=8#.UOaAP2eKr3U>,
diakses pada 3 Januari 2013.
4
menjadi unjuk kekuatan militer dan sangat melanggar nilai HAM.12 Selain itu, gelombang
anti-perang di Eropa kian meningkat disaat krisis ekonomi melanda benua ini, tetapi
pemerintah lebih condong menghamburkan anggaran belanja untuk membiayai perang di
Afghanistan ketimbang memenuhi kebutuhan rakyat. Dengan demikian, perang di
Afghanistan menjadi jalan bagi kubu oposisi dibanyak negara Eropa mengusung slogan antiperang untuk memenangkan pemilu.Begitu juga dengan Francois Hollande yang
memenangkan pemilihan presiden Perancis dengan janji segera menarik semua pasukan yang
ditempatkan di Afghanistan. Selanjutnya, Perancis hanya akan mengirim pasukan ke negara
lain di bawah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).13
Penarikan pasukan tempur Perancis ini dikecam keras oleh AS dan NATO.14 Sebagai
anggota terbesar NATO, AS menghendaki pasukan organisasi ini tetap di Afghanistan
setidaknya hingga akhir 2014 dan memerintahkan negara lain agar pasukannya tetap berada
di Afghanistan hingga waktu yang telah ditentukan. Namun, Perancis tetap bersikukuh
menekankan bahwa penarikan pasukannya harus benar-benar terlaksana ditahun 2012.
Perancis telah mulai menarik pasukannya dari Afghanistan sejak tahun 2011.Presiden
Nicolas Sarkozy pernah mengumumkan bahwa misi tempur Perancis akan berakhir pada
awal tahun 2013. Namun pengganti Sarkozy, Hollande mempercepat jadwal tersebut menjadi
akhir 2012. Sekarang Perancis menyisakan sekitar seribu tentaranya di Afghanistan yang
bertugas untuk mengirim kembali seluruh peralatan militer ke Perancis, sementara 500
lainnya akan tetap berada di Afghanistan untuk memberikan pelatihan bagi pasukan
Afghanistan yang masih minim pengalaman. Pada pertemuan puncak NATO di Chicago
12
„Dua Pilihan NATO, Tetap atau Hengkang dari Afghanistan,‟ Iran Indonesian Radio,
<http://indonesian.irib.ir/fokus/-/asset_publisher/v5Xe/content/dua-pilihan-nato-tetap-atau-hengkang-dariafghanistan>, diakses pada 3 Januari 2013.
13
„Hollande, Harapan Baru Perancis dan Eropa,‟ Iran Indonesian Radio, <http://indonesian.irib.ir/hidden2/-/asset_publisher/yzR7/content/hollande-harapan-baru-perancis-daneropa?redirect=http%3A%2F%2Findonesian.irib.ir%2Fhidden2%3Fp_p_id%3D101_INSTANCE_yzR7%26p_p_lifecycle%3D0%26p_p_state%3Dnormal%26p_p_mode%3
Dview%26p>, diakses pada 19 April 2013.
14
E.F. Wardhana,‘Perancis tarik pasukan tempurnya dari Afghanistan,‟ Sindonews, 20 November
2012,<http://nasional.sindonews.com/read/2012/11/20/40/690035/perancis-tarik-pasukan-tempurnya-dariafghanistan>,diakses pada 17 Desember 2012.
5
tahun 2012,15 AS menekankan agar Perancis harus tetap berkontribusi dalam operasi NATO
di Afghanistan. Friksi tersebut membuat pusing 29 anggota NATO dan negara-negara lain
yang ikut mengirim pasukan ke Afghanistan.16
Pertanyaan penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian:
Mengapa Perancis mengambil kebijakan untuk mempercepat penarikan pasukannya dari
Afghanistan lebih awal dari kesepakatan bersama NATO, yang menjadwalkannya pada
akhir tahun 2014?
Reviu literatur
Terdapat sejumlah literatur yang berkenaan dengan pokok masalah yang akan dikaji
oleh tesis ini. Literatur pertama memaparkan ketidakharmonisan hubungan antara Perancis
dan AS sebagaimana yang tersirat dalam tema penelitian ini, yaitu Persaingan Amerika
Serikat dan Perancis di Kawasan Timur Tengah yang merupakan tesis dari Dewi Chandra
Hazani.17 Tulisan Hazani sangat mendukung ide peneliti yang mengangkat topik yang
hampir sama tentang perbedaan kepentingan Perancis dan AS, namun peneliti berfokus
dalam konteks kebijakan Perancis pada masalah penarikan pasukan NATO di Afghanistan
yang lebih cepat dari waktu yang disepakati bersama sebelumnya. Sementara itu, penelitian
Hazani menjelaskan tentang perbedaan pendapat AS dan Perancis yang dititikberatkan pada
kasus perang Irak dan perluasan kepentingan nasional kedua negara tersebut di Timur
Tengah.
Hazani menggambarkan secara terinci perbedaan sikapantara Perancis dan AS pada
Perang Teluk di Irak yang terjadi pada tahun 2003. Ketika itu Perancis mulai
memperlihatkan perbedaan sikap dengan menolak agresi militer AS. Pada tahun 1991
Perancis memang ikut menggempur Irak dengan alasan ia merupakan anggota tetap Dewan
15
„Perundingan Puncak NATO Summit dimulai di Chicago,‟ Lensa
Indonesia,<http://www.lensaindonesia.com/2012/05/21/perundingan-puncak-nato-summit-dimulai-dichicago.html>, diakses pada 25 Maret 2013.
16
„Dua Pilihan NATO, Tetap atau Hengkang dari Afghanistan.‟
17
D.C. Hazani, Persaingan Amerika Serikat dan Perancis di Kawasan Timur Tengah, tesis Program Studi
S-2 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2006.
6
Keamanan PBB pemegang hak veto, namun pada perang Irak 2003 Perancis beranggapan
pemecahan masalah Irak masih dapat ditempuh dengan jalan damai. Terjadilah friksi dan
kontradiksi kepentingan antara Perancis dengan AS.
AS menghadapi kenyataan bahwa sekutunya dalam NATO, yaitu Perancis, adalah
negara yang paling keras menantang rencana menyerang Irak. AS curiga atas penentangan
itu mengingat terdapatnya kontrak minyak Perancis dengan Irak, seperti yang dimiliki oleh
Total Fina-Elf yang merupakan perusahaan minyak terbesar di Perancis yang menyumbang
25% bagi devisa negara.18 Selain itu, Perancis masih berpegang teguh pada prinsip
“kehadiran, keseimbangan dan kedamaian”, di mana ia berusaha memelihara hubungan yang
sudah ada sejak dahulu dengan negara-negara di Timur Tengah, termasuk Irak yang
merupakan negara yang “kurang disukai” oleh AS.
Perancis memang sudah lama bersahabat dengan Irak, termasuk dalam hubungan
militer kedua negara yang antara lain berwujud penjualan senjata. Kegiatan tersebut
meningkat saat Perancis dipimpin Presiden Jacques Chirac. Sementara AS, dengan politik
luar negerinya berupa “perang melawan terorisme”, pernah diperintah oleh Presiden George
W. Bush yang selalu mencurigai keterlibatan Irak dalam upaya pembunuhan ayahnya, Bush
senior.19Bush sangat membenci pemimpin Irak Saddam Hussein, seperti tampak dalam
pidatonya pada tanggal 29 Januari 2003: “Saddam Hussein has terrorized his own people.
He‟s terrorized his own neighborhood. He is danger not only to countries in the region, but
as I explained last night, because of Al-Qaeda conections, because of his history, he‟s a
danger to the American people. And we‟ve got deal with him, before it is too late.”20
Kemarahan Bush mendorong AS untuk melakukan intervensi ke negara-negara yang
disinyalir berpotensi sebagai ancaman, terutama Irak. AS mengirimkan sekitar 500ribu
pasukan ke Irak, namun aksi ini tidak mendapatkan dukungan dari Perancis. Perancis
dianggap menghalangi niat AS untuk melaksanakan agresi ke Irak.21 Seorang pejabat
pemerintahan AS mengatakan bahwa pengiriman suku cadang militer Perancis ke Irak
18
Total Fina-Elf, <http://www.totalFina.com/proggress_report>, sebagaimana dikutip dalam Hazani, p. 3.
Hazani, p. 4.
20
Tim Index, Saddam Hussein - Jejak Langkah Singa Padang Pasir, Index Publishing House, Yogyakarta,
2003, p. 90, sebagaimana dikutip dalam Hazani, p. 47.
21
„Tragedi Irak: Bush, Perang itu menyakitkan!‟, Kompas.com, 21 Maret 2013,
<http://internasional.kompas.com/read/2013/03/21/08083035/Bush.Perang.Itu.Menyakitkan>, diakses pada 25
Maret 2013.
19
7
merupakan salah satu alasan mengapa Perancis dengan suara keras menentang aksi militer
AS. Hal ini pula yang meningkatkan sentimen anti-Perancis di AS. Perancis pernah berusaha
merusak upaya AS menyerang Irak dengan memperlemah Resolusi Dewan Keamanan PBB
No. 1441, yang mengharuskan Irak memusnahkan semua program persenjataan kimia,
biologi dan nuklir yang ia miliki.22
Terdapat dugaan bahwa persaingan AS dan Perancis berlangsung karena keduanya
berupaya memaksakan kepentingan nasional masing-masing, khususnya untuk menguasai
perekonomian di Timur Tengah. Perancis berinvestasi dalam eksplorasi ladang minyak Irak
agar ia mendapatkan pasokan minyak murah yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan
ekonomi dan industrinya. Sementara itu, AS berkepentingan agar sumber-sumber alam di
Timur Tengah tidak jatuh ketangan musuh. AS sangat berang ketika perusahaan
multinasional AS tidak dapat masuk ke Irak, sementara Total Fina-Elf justru mendapat
kontrak milyaran dolar. Inilah yang menjadi inti perselisihan kedua negara menurut Hazani,
yaitu kepentingan ekonomi di Timur Tengah. Meskipun penelitian Hazani tidak terlalu
banyak menyinggung perbedaan prinsip kedua negara dalam NATO,namun ia tetap menjadi
acuan untuk membantu peneliti melihat perbedaan sikap antara Perancis dan AS.
Literatur kedua adalah risalah Jason Davidson yang berjudul From Harmony to Hard
Times: A Neoclassical Realist Explanation of Transatlantic Burden-sharing in Afghanistan
and Iraq.23 Tulisan ini memaparkan kerjasama antara AS dengan Inggris dan Perancis pada
misi mereka di dua negara Timur Tengah, yaitu Afghanistan dan Irak. Saat AS memutuskan
untuk menggempur Afghanistan melalui Operation Enduring Freedom (OEF) di tahun 2001,
Inggris dan Perancis ikut serta menurunkan pasukan. Namun ketika tahun 2003 AS
menginisiasi Operation Iraqi Freedom (OIF), Perancis dengan tegas menolak untuk
memberikan dukungan militernya. Tulisan ini memberikan masukan berarti kepada peneliti
dalam membahas topik yang sama tentang intervensi militer di Afghanistan yang diprakasai
oleh AS, namun berbeda pada fokus penelitian.
22
B. Gertz, Irak Strengthens Air Foce with French Parts, sebagaimana dikutip dalam Hazani, p. 29.
J.W. Davidson, From Harmony to Hard Times: A Neoclassical Realist Explanation of Transatlantic
Burden-sharing in Afghanistan and Iraq, paper presented at the 2009 International Studies Association Annual
Conference in New York, <http://www.imtlucca.it/whats_new/_seminars_docs/000190-09.03.04_Davidsonpaper_2in1.pdf>, diakses pada 17 Desember 2012.
23
8
Dengan menggunakan penjelasan realisme neoklasik, Davidson menganalisis bahwa
keputusan yang diambil oleh Inggris dan Perancis mewakili kepentingan nasional masingmasing. Perancis dibawah kepemimpinan Sarkozy bersikukuh bahwa keputusan AS untuk
mengintervensi Irak adalah keputusan yang salah. Sementara Inggris dibawah pemerintahan
Perdana Menteri Tony Blair mendukung penuh kebijakan AS pada Irak. Bahkan pada
tanggal 18 Desember 2001, London Times melaporkan bahwa Blair mengatakan Inggris akan
memimpin kekuatan pasukan penjaga perdamaian di Afghanistan sebagaikontribusi dan
respon terhadap permintaan dari AS. Faktor politik domestik Perancis dan Inggris berperan
besar dalam keputusan kedua negara untuk tidak memberikan dukungan militer kepada AS.
Davidson lebih lanjut memaparkan bahwa politik yang diusung Inggris ialah berdasarkan
kepentingan nasional dan aliansi, sementara Perancis lebih kearah kepentingan nasional dan
politik “prestige.”24
Tulisan Davidson ini mendukung peneliti dalam menggunakan kerangka realisme
neoklasik untuk menganalisis bagaimana perilaku Perancis dalam struktur internasional. Di
sini, penulis akan menggunakan realisme neoklasik untuk melihat bahwa faktor politik dalam
negeri berpengaruh dalam keputusan Perancis untuk menyetujui atau menolak pemberian
dukungan militer kepada AS.
Literatur ketiga berjudul NATO in Afghanistan: A New Mission for an Old Alliance.25
Tulisan ini menjabarkan misi NATO di Afghanistan dan membentuk pasukan keamanan
yang disebut ISAF. Hal utama yang disampaikan tulisan ini ialah bahwa sejak tahun 2006
banyak aspek yang berkembang dari operasi utama pasukan ISAF. Oleh karena itu, strategi
dalam menjalankan seluruh tugas harus diubah mengikuti kebijakan-kebijakan baru yang
dicetuskan oleh NATO.
Selama ini fokus dalam misi NATO hanya seputar penyerangan terhadap markas
Taliban. War on Terror memang menjadi agenda utama saat pembentukan pasukan
keamanan di Afghanistan. Namun, setelah 6 tahun akhirnya NATO mengerahkan ISAF
untuk melatih Tentara Nasional Afghanistan. ISAF berhasil membentuk 30.000 tentara
24
Davidson, p. 17.
J.W. Peterson, NATO in Afghanistan: A New Mission for an Old Alliance, Paper Presented at the Annual
Meeting of the Georgia Political Science Association, November 2007,
<http://ww2.valdosta.edu/~jpetersn/natoafghan.pdf>, diakses pada 25 November 2013.
25
9
nasional dari penduduk Afghanistan yang berjumlah sekitar 31juta jiwa.26 Agenda ini dinilai
begitu penting karena dapat membantu ISAF guna melawan Taliban dan mempersiapkan
pengalihan tanggung jawab keamanan dalam negeri tersebut. James Peterson menekankan
bahwa pasukan di sebuah negara perang seperti Afghanistan harus siap dengan banyak
fungsi. Para tentara sebagai delegasi negara untuk menyampaikan bantuan ekonomi dari
negara-negara donormelakukan pembangunan berbagai fasilitas. Memelihara pertumbuhan
ekonomi lebih lanjut dialokasikan dengan membekali masyarakat lokal dalam peningkatan
mutu sumber daya manusia. Selain itu, bantuan pasukan keamanan berfungsi untuk
membentuk negara demokrasi yang tegak hukum serta menjadi garda terdepan untuk
memberantas perdagangan narkoba.
Karya Peterson memperlihatkan bagaimana NATO berperan sebagai wadah
pembentukan pasukan keamanan internasional dengan tugas di lapangan. Ia tidak
menyinggung kendali AS sebagai negara penggerak ISAF serta tidak membahas kepentingan
nasional negara-negara yang memiliki porsi besar dalam menyumbang pasukan maupun
dana. Dengan demikian, tulisan ini menjadi data sekunder mengenai eksistensi NATO dalam
perannya sebagai penjaga perdamaian dan komitmen para sekutu untuk mencapai target yang
telah disepakati.
Landasan Teoritik
Realisme merupakan pemikiran terkemuka dalam politik internasional yang bertahan
dalam jangka waktu yang cukup lama. Teori realisme klasik dan neorealisme digunakan
secara luas dalam kajian hubungan internasional ketika Richard Ashley menarik perbedaan
yang tajam antara teori politik internasional karya Kenneth Waltz dan para realis
sebelumnya. Teori klasik ini telah mengalami perkembangan dan melahirkan beberapa
pemikiran baru. Salah satunya adalah realisme neoklasik, yang merupakan mesin analisis
untuk memproduksi sebuah Kebijakan Luar Negeri. Untuk menjawab pertanyaan penelitian
dalam tesis ini, penulis akan menggunakan perspektif tersebut. Teori realisme neoklasik ini
dapat dikatakan sebagai teori yang menyempurnakan pendekatan realisme dan neorealisme
dalam pembentukan politik luar negeri. Seperti yang ditulis oleh Gideon Rose dalam artikel
26
Peterson, p. 7.
10
jurnalnya yang berjudul “Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy”, perspektif
ini menggabungkan komponen domestik internal dan lingkungan eksternal. Ia mendukung
pernyataan bahwa ruang lingkup dan ambisi dari kebijakan luar negeri suatu negara
digerakkan oleh tujuan rasional. Analisis mengenai kekuatan harus melihat hubungan suatu
negara dengan masyarakatnya, karena hubungan itu berpengaruh pada pembagian sumber
daya nasional dan kepentingan nasional untuk menganalisis politik luar negeri.27 Perspektif
ini juga menekankan bahwa kepentingan nasional berada diatas segalanya dan segala
kerugian harus dihindari untuk mencapai kepentingan nasional secara maksimal.
Teori kebijakan luar negeri ini mengulas mengenai pengambilan kebijakan luar
negeri suatu negara yang didorong oleh posisinya dalam struktur internasional dan juga
kekuatan relatif negara tersebut. Untuk menciptakan sebuah kerangka kebijakan luar negeri,
tekanan sistemik harus diterjemahkan melalui intervensi pada tingkat unit. Sehingga variabel
domestik menjadi bagian yang tidak boleh terlupakan dari mata rantai perspektif ini. Fareed
Zakaria salah satu ilmuan yang konsen menulis mengenai teori ini berpendapat bahwa elit
politik adalah pelaku utama dalam pengambilan kebijakan karena persepsi mereka mengenai
keadaan menjadi sangat penting. Variabel domestik lainnya adalah mendefinisikan
bagaimana pendapat dan tekanan kelompok masyarakat mempengaruhi kemampuan negara
untuk mengekstrak sumber daya dari masyarakatnya.28
Realisme neoklasik mengakui pentingnya kekuasaan relatif suatu negara dalam
membentuk keinginannya. Bagaimana sebuah negara melakukan tindakan dalam sistem
internasional yang dibentuk oleh sistem anarki dan pendistribusian kekuasaan relatif.
Namun, tidak berhenti sampai di sana, untuk mendapatkan gambaran keseluruhan yang lebih
spesifik dan lebih jelas dari kebijakan luar negeri suatu negara, variabel domestik merupakan
tumpuan utama untuk menyelesaikan rantai analisis ini. Prinsip utama realisme neoklasik
adalah bahwa kebijakan luar negeri adalah hasil dari struktur internasional, pengaruh
domestik, dan juga hubungan yang kompleks antara keduanya. Meskipun kekuatan nasional
dan posisi negara dalam struktur internasional adalah faktor yang menentukan dalam pilihan
kebijakan luar negeri negara, peran variabel dalam negeri tidak bisa dilepaskan dalam
27
G. Rose, „Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy‟, World Politics, vol. 51, no. 1, October
1998, pp. 146-147.
28
Rose, p. 147.
11
membentuk kebijakan luar negeri suatu negara. Atas dasar ini, realisme neoklasik mencoba
untuk memecahkan masalah dalam penelitian hubungan internasional dengan membangun
jembatan antara sistem internasional dan Negara. Sebagaimana dikutip dalam penjelasan
Rose :
“[Neoclassical realism] explicitly incorporates both external and internal
variables, updating and systematizing certain insights drawn from classical
realist thought. Its adherents argue that the scope and ambition of a
country‟s foreign policy is driven first and foremost by its place in the
international system and specifically by its relative material power
capabilities. This is why they are realists. They argue further, however, that
the impact of such power capabilities on foreign policy is indirect and
complex, because systemic pressures must be translated through intervening
variables at the unit level. This is why they are neoclassical.”29
Ketika realisme selalu berbicara mengenai permasalahan keamanan, realisme
neoklasik menolak asumsi bahwa satu-satunya tujuan negara adalah masalah keamanan.
Negara mencoba untuk menggunakan kekuasaan mereka untuk mengarahkan sistem
internasional menuju tujuan mereka. Oleh karena itu, dalam praktiknya, negara-negara yang
lebih kuat akan menuntut kebijakan luar negeri yang lebih jauh.30 Setiap negara menjalankan
fungsi pokok yang sama seperti keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Namun, ada negaranegara besar yang biasanya menentukan pola disitribusi kekuatan yang ada dan mendominasi
yang lain dan ada pula negara-negara kecil yang harus menyesuaikan perilakunya dengan
struktur sistem internasional yang berlaku.31 Realisme neoklasik percaya, memahami
hubungan antara kekuasaan dan kebijakan memerlukan pengamatan yang mendalam,
terutama dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara.
Zakaria memperkuat pendekatan diatas dengan menyimpulkan bahwa pembentukan
kebijakan luar negeri memang dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni struktur internasional
dan distribusi kekuatan. Kemudian, faktor internal berupa struktur domestik sebuah negara,
baik struktur ekonomi maupun politik yang dapat menentukan tingkah laku negara, juga
tidak kalah penting.32 Disampaikan oleh Fareed: “a good account of a nation‟s foreign
29
Rose, p. 147.
Rose, p. 147.
31
A. Jemadu, Politik Global Dalam Teori dan Praktek Edisi 2, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, p.27.
32
F. Zakaria, „Realism and domestic Politics: A Review Essay‟, International Security, no. 17, Summer
1992, pp. 177-198.
30
12
policy should include systemic, domestic, and other influences, specifying what aspects of
policy can be explained by what factors.”33 Zakaria menulis bahwa sebuah teori kebijakan
luar negeri pertama-tama harus bertanya dan menjawab apa dampak yang ditimbulkan dari
sistem internasional terhadap kebijakan nasional. Menurut Zakaria, penjelasan pada faktor
eksternal untuk menghasilkan kebijakan luar negeri tidak boleh mengabaikan politik dalam
negeri atau budaya nasional atau para aktor (individu) pembuat keputusan. Oleh karena itu,
menganalisa sebuah kebijakan luar negeri berangkat dari pembahasan pada dampak sistemik
pada keputusan kebijakan luar negeri kemudian fokus akhir seorang peneliti harus berada
pada variabel pilihan pada konteks wilayah domestik seperti jenis rezim yang ada, birokrasi
atau negarawan.34 Pada analisis yang serupa, Rose mengidentifikasi dan memperkenalkan
variabel sela ini sebagai persepsi pengambil keputusan, di mana tekanan sistemik harus
disaring.
Realisme neoklasik menjelaskan bahwa produk kebijakan luar negeri dimediasi oleh
faktor-faktor domestik dan dipengaruhi oleh tekanan struktur internasional. Apabila realisme
membicarakan konsep klasik tentang esensialis “sifat manusia” dan realisme struktural
sebagai teori politik internasional,35 realisme neoklasik merangkum bahwa kebijakan luar
negeri adalah hasil dari struktur internasional, faktor-faktor domestik, dan interaksi kompleks
diantara keduanya.36 Negara berada dipersimpangan antara lingkungan internasional dimana
negara berinteraksi dan hubungan negara dengan masyarakatnya. Sebuah negara harus
mampu mengatur proses domestik untuk memaksimalkan kepentingannya. Sebagaimana
dikemukakan Randall Schweller, analisis realisme neoklasik harus mempertimbangkan
aspek-aspek non-struktural seperti karakter kepemimpinan elit maupun tanggapan publik
terhadap kebijakan luar negeri, sehingga penyelarasan antara kepentingan elit dan
33
Zakaria, p. 178.
J.Mononen, War or Peace for Finland? Neoclassical Realist Case Study of Finnish Foreign Policy in the
Context of the Anti-Bolshevik Intervention in Russia 1918 – 1920, tesis Program Studi S-2 Ilmu Politik dan
Hubungan Internasional University of Tampere, Finland, 2008, p. 5.
35
Liu Feng & Zhang Ruizhang, „Tipologi Realisme‟, dalam Asrudin & M.J. Suryana, Refleksi Teori
Hubungan Internasional dari Tradisional ke Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, p. 29.
36
Liu Feng & Zhang Ruizhang, p. 31.
34
13
kepentingan publik akan menjadi variabel yang berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri
setelah elit mempertimbangkan kepentingan-nya vis a vis tekanan internasional.37
Dalam kasus ini akan dianalisis bagaimana keputusan Perancis untuk segera
mengakhiri keterlibatannya dalam perang di Afghanistan, yang mendapat tentangan dari AS
sebagai negara yang berperan dominan dalam politik dunia. Dengan menggunakan
pendekatan realisme neoklasik akan dianalisis faktor-faktor penggerak pengambilan
keputusan Perancis dalam upaya percepatan penarikan pasukan dari Afghanistan,
sebagaimana digambarkan berikut ini.
Gambar 2. Kerangka teori realisme neoklasik untuk memahami tindakan Perancis
Independent Variable
(situasi eksternal)
Perubahan lingkungan
eksternal, struktur
internasional dan tekanan
krisis ekonomi
Intervening Variable
(situasi internal)
Pembiayaan perang dan
protes masyarakat
Perancis
Dependent Variable
Kebijakan Perancis untuk
segera mungkin menarik
pasukan lebih awal dari
waktu yang disepakati
Berdasarkan skema diatas, pendekatan realisme neoklasik digunakan untuk
menganalisis faktor-faktor penggerak kebijakan Perancis menarik mundur pasukannya dari
Afghanistan. Realisme neoklasik menentang prinsip metodologi klasik bahwa untuk
menjelaskan output politik luar negeri suatu negara hanyalah perlu berfokus pada salah satu
level analisis saja.38 Dalam tulisan Thomas Juneau dijelaskan:“Neoclassical realism
proposes a clear causal chain, with three „steps‟: the independent variable (the country‟s
relative position in the international distribution of power), the intervening variable (the
37
B.W. Nugroho, Populisme dalam Reformulasi Politik Luar Negeri Indonesia di Era Reformasi, tesis
Program Studi S-2 Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010, p. 22.
38
M. Rosyidin, „Integrasi Struktur dan Unit: Teori Politik Luar Negeri dalam Perspektif Realisme
Neoklasik‟, Global Jurnal Politik Internasional, vol. 10, no. 2, 2010, p. 156.
14
domestic level) and the dependent variable or the foreign policy outcome.”39 Realisme
neoklasik menegaskan bahwa pengejaran tujuan utama Perancis melalui politik luar
negerinya tidak bisa dipisahkan dari faktor eksternal dan faktor internal yang
menyebabkannya. Di sini variabel independen menjelaskan perubahan lingkungan pasca
Perang Dingin yang diwarnai dengan kebijakan war on terror telah mewajibkan Perancis
sebagai bagian dari NATO untuk turun tangan dalam perang di Afghanistan. Sementara itu,
faktor domestik Perancisberupa instabilitas dalam negeri menyusul keterlibatan dalam
perang di Afghanistan yang memunculkan permasalahan ekonomi akibat pemborosan dana
dalam pembiayaan militer. Rantai ketiga, variabel dependen, melahirkan output kebijakan
luar negeri Perancis untuk menarik pasukan lebih awal yang merupakan wujud penyelarasan
kepentingan nasional dengan tekanan struktur intenasional.
Hipotesis
Perancis melihat bahwa misi yang diusung pasukan ISAF telah selesai dan harus
segera meninggalkan Afghanistan. Walaupun AS menghendaki seluruh pasukan ISAF tetap
berada di Afghanistan hingga akhir 2014, namun Perancis dengan sangat tegas memutuskan
penarikan pasukannya dipercepat pada akhir tahun 2012. Peneliti mengajukan hipotesis
bahwa sikap Perancis disebabkan kuatnya pengaruh instabilitas domestik, dimana terdapat
desakan masyarakat untuk menghentikan keterlibatan negara itu dalam perang yang terlalu
lama di Afghanistan setelah Perancis mengalami ketidakstabilan ekonomi dalam negeri
yang salah satu penyebabnya adalah pembiayaan militer. Hal tersebut merupakan filter dari
tekanan pada sistem internasional yang telah mengalami perubahan lingkungan strategis
serta permasalahan krisis ekonomi yang melanda Eropa dan AS.
Sistematika Penulisan
Tesis ini akan disusun dalam lima bab, yang masing-masing akan terdiri dari
beberapa subbab sesuai dengan kebutuhan analisis. Setelah Bab Pertama ini, Bab Kedua
akan menunjukkan deskripsi mengenai pembentukan pasukan ISAF di Afghanistan, kondisi
Afghanistan pasca invasi NATO, diakhiri dengan keikutsertaan Perancis untuk bergabung
39
T. Juneau, Power, Perceptions, Identity and Factional Politics; A Neoclassical realist Analysis of
Iranian Foreign Policy, 2001-2007, Carleton University, Ottawa, 2009,p.7.
15
dengan pasukan NATO di Afghanistan. Pada Bab Ketiga peneliti akan lebih dalam
membahas mengenai situasi keamanan di Afghanistan, bagaimana peran pasukan Perancis
dalam situasi tersebut, yang akhirnya mengarah kepada penilaian bahwa sudah seharusnya
keterlibatan pasukan Perancis diakhiri.
Bab Keempat akan memaparkan analisis tentang proses pengambilan kebijakan luar
negeri Perancis, yaitu faktor struktur internasional yang diterjemahkan oleh faktor domestik
Perancis sebagai variabel pengantara sehingga akan mempengaruhi pembuatan keputusan
untuk penarikan pasukan lebih awal dari kesepakatan. Tesis ini akan diakhiri dengan Bab
Kelima yang berisikan kesimpulan dari temuan penelitian kasus yang diteliti.
16
Download