Ketertarikan Remaja terhadap Pakaian Lelong Di era modern setiap orang merasa butuh dengan gaya hidup untuk menunjukkan identitas sosial seseorang. Untuk menunjukkan identitasnya remaja mendandani diri dengan berbagai sarana termasuk dengan pakaian bekas. Baju bekas ikut membentuk gaya subkultur anak muda yang khusus dan unik. Pakaian juga merefleksikan keuangan anak-anak muda yang terbatas. Dia juga menggambarkan gairah akan gaya-gaya pakaian retro yang otentik dan yang tidak ada kembarannya. Ini terjadi karena pola konsumtif para remaja yang mempengaruhi pemikiran ingin membentuk gaya subkultur anak muda. Para remaja ini cenderung menjadi seseorang sosialita yang konsuntif, apalagi barang-barang lifestyle. Saat ini di kalangan menengah keatas budaya menjual baju bekas sudah tak terpakai sedang menjadi tren. Istilahnya disebut Rius. Pakaian bekas yang dijual adalah baju-baju bermerek dari kelas menengah atas. Walaupun pakaiannya bekas harganya juga tidak murah, remaja-remaja yang ingin tetap tampil eksis ini tetap membelinya. Hal ini terjadi karena yang dipentingkan bukan lagi fungsi barangnya, tetapi lebih nilai koleksinya. Jadi barang itu bukan sekadar dari nilai harga tapi nilai simboliknya untuk pakaian branded. Di Inggris, gaya pakaian bekas mulai marak digunakan era tahun 1980-an dan tahun 1990-an. Penggunanya kala itu adalah kelompok indie dan juga mahasiwa. Mereka biasanya memakasi t-shirt bekas, jumper atau jaket bekas dan kain wol. Penggunaan pakaian bekas itu pun merambah hingga Indonesia. Konsumen baju bekas terbesar di Indonesia adalah mereka para anak-anak muda. Faktor yang memengaruhi penggunaan pakaian bekas adalah tingkat konsumtif masyarakat Indonesia yang tinggi sehingga memunculkan budaya baru. Budaya konsumtif ini sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat anak-anak muda, terutama di perkotaan. Fashion menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari penampilan dan gaya keseharian para remaja. Benda-benda seperti baju dan aksesoris yang dikenakan bukanlah sekadar penutup tubuh dan hiasan, lebih dari itu juga menjadi sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan identitas pribadi. Fashion itu menjadi bagian dari identitas mereka sendiri. Jadi indentitas kita itu banyak ditentukan bukan soal nilai agama dan segala macam tetapi lebih ke komoditas. Fenomenanya lebih gaya hidup dan identitas, simbol itu yang dikejar masayarakat. Saat ini, bukan nilai guna barang tersebut yang dicari tetapi nilai simbolik yang terkandung di barang tersebut. Akibat nilai simbolik itu, harga sebuah barang bisa melebihi harga biaya dikeluarkan dalam ongkos produksi. Padahal konsumen tahu bahwa harga itu bisa lebih mahal daripada barang baru. Selain nilai simbolik, faktor karena keinginan untuk diterima lingkungan, diakui, dan dipandang sederajat, menjadi kebutuhan urgent di era kehidupan sosial yang serba terkoneksi saat ini. Setiap orang berlomba-lomba untuk tidak tertinggal di kelompoknya. banyak yang tidak sadar bahwa keputusan-keputusan yang kita ambil sebenarnya bukan keputusan kita pribadi. Kelemahan dari masyarakat di perkotaan adalah nilai-nilai yang terinternalisasi adalah konsumtif.