Marker Assited Selection (MAS) Seleksi merupakan suatu proses dalam memilih individu dari suatu populasi untuk dijadikan tetua bagi generasi berikutnya (Sumantri et al., 2007). Salah satu metode seleksi adalah menggunakan marka penciri genetik. Penciri genetik merupakan bagian dari gen yang menjadi patokan untuk mempelajari gen tersebut. Lawrance dan Fowler (2002) menyatakan bahwa sifat kuantitatif dapat dipengaruhi oleh sejumlah gen (polygenes) yang tempat atau posisi lokusnya dapat diketahui melalui analisis pendekatan gen kandidat. Banyak gen yang teridentifikasi yang memiliki potensi sebagai penciri genetik atau Marker Assisted Selection (MAS) seperti gen-gen pengontrol protein susu yang dapat bermanfaat dalam mempercepat kegiatan seleksi dari sifat produksi dan bernilai ekonomis (Sumantri et al., 2007). Seleksi keunggulan genetik yang dilakukan dengan melalui identifikasi gen yang berasosiasi kuat dengan sifat produksi serta kualitas susu akan sangat mendukung terhadap program perbaikan genetik sapi perah (Bovenhuis et al., 1992). 5 Marker Assisted Selection (MAS) ini dapat diartikan sebagai penggunaan informasi dari penanda genetik untuk membantu dalam pembuatan keputusan seleksi. Hal ini biasanya akan dilakukan dalam sebuah kejadian yang melibatkan gen utama yang sudah diketahui maupun belum (Kinghorn & Julius, 2000). MAS lebih mudah untuk diterapkan ketika mutasi kausal telah diketahui. MAS dikenal sangat bermanfaat ketika pengamatan terhadap sifat sulit atau mahal untuk diukur (sifat yang tidak nampak, sex-limited atau terjadi gangguan dalam pengekspresian, hal-hal invasif seperti penyakit atau rekaman setelah penyembelihan) ketika masing-masing individu memberikan informasi yang sedikit dalam memprediksi nilai pemuliaan (sifat dengan heritabilitas rendah, determinasi genetik atau penetrasi yang rendah resesif) atau lebih umumnya, ketika pendekatan poligenik telah membatasi efektivitas atau terlalu mahalnya biaya. Oleh karena itu, diyakini bahwa MAS sangat menguntungkan bagi peternakan sapi potong yang berkonsentrasi pada kondisi yang cukup buruk (pemuliaan konvensional) dan karena itu kondisi yang mendukung untuk dilakukan MAS yakni pada sebagian besar sifat yang bersifat sex-limited, memiliki interval generasi yang panjang, pengujian progeni panjang dan mahal, pejantan sering diseleksi sebelum masa laktasi pertama mereka sebagai informasi silsilah saja. Akhirnya, sifat-sifat fungsional seperti ketahanan terhadap penyakit dan kesuburan, dengan heritabilitas rendah, serta memiliki pengaruh pada peningkatan berat badan untuk tujuan reproduksi (Boichard et al., 2006). Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone) Hormon pertumbuhan (GH) merupakan hormon polipeptida penting dengan ukuran sekitar 22 kDa yang diproduksi dari somatotropin di dalam kelenjar anterior pituitari yang berperan dalam mengontrol pertumbuhan somatik setelah kelahiran, perkembangan (Nicoll et al. 1999), metabolisme (Kaplan et al. 1999), reproduksi (Van der Kraak et al. 1990; Le Gac et al. 1993 dalam Li et al. 2005) dan osmoregulasi (Sakamoto et el. 1993; Tatsuya dan Hirano. (1993) dalam Li et al. 2005). Fungsi kelenjar pituitari sebagai pengontrol pertumbuhan sudah dijelaskan pertama kali pada tahun 1921 (Evans dan Long 1921 dalam Venugopal et al. 2002) dan yang pertama kali diisolasi dan dikarakterisasi adalah cDNA yang mengkode hormon pertumbuhan pada manusia. Hormon pertumbuhan mempunyai peranan yang penting pada proses transfer asam amino ekstraselluler melewati membran sel, khususnya ke dalam sel-sel otot dan menahan asam amino tersebut agar tetap berada di dalam sel. Selain itu hormon ini dapat memacu retensi tubuh terhadap berbagai mineral dan elemen esensial untuk pertumbuhan normal (Walsh 2002). Hormon pertumbuhan dapat menunda katabolisme asam-asam amino dan memacu inkoporasinya ke dalam protein-protein tubuh. Kerja hormon ini dipermudah oleh pankreas, korteks adrenal dan tiroid yang bekerja bersama-sama dalam memacu metabolisme lemak dan karbohidrat (CalduchGiner et al. 2000; Walsh 2002). Kemudian Matty (1985) mengatakan bahwa GH dapat meningkatkan nafsu makan, konversi pakan, sintesis protein, menurunkan ekskresi (loading) nitrogen, merangsang metabolisme dan oksidasi lemak, serta memacu sintesis dan pelepasan insulin. Growth hormone (GH) merupakan suatu hormon protein yang disintesis dan disekresikan oleh kelenjar hipofisis bagian anterior (Etherton dan Bauman 1998). Growth hormone menjadi bagian dari somatotropic axis yang berperan penting dalam pengaturan metabolisme dan fisiologi pertumbuhan mamalia (Curi et al. 2006). Fenomena peran GH dalam pertumbuhan telah dibuktikan dengan adanya peningkatan laju pertumbuhan dan komposisi karkas setelah dilakukan pemberian GH eksogenus pada ternak (Etherton dan Bauman 1998). Gen penyandi GH pada sapi ditemukan di kromosom 19 pada posisi 19q26qter (Hediger et al. 1990). Terkait dengan fungsi tersebut, gen GH digunakan sebagai salah satu kandidat kuat marker genetik untuk sifat pertumbuhan (Silveira et al. 2008) dan karkas (Ribeca et al. 2014). Kedua sifat tersebut merupakan aspek yang paling diperhatikan dalam peningkatan mutu genetik ternak potong. Fragmen gen GH-MspI berukuran 1072 pb diamplifikasi menggunakan sepasang primer sepanjang 20 basa, yaitu primer forward: 5’- CAAAGAGTTTGTAAGCTCCC-3’ dan reverse: 5’- TCCTCAAGCAGACCTATGAC-3’. Sekuen primer tersebut didesain berdasarkan informasi data sekuen gen GH dari National Center for Biotechnology Information (NCBI) dengan nomor akses GenBank EF592534. Amplifikasi dilakukan menggunakan mesin PCR Mastercycler gradient (Eppendorf). Reaksi PCR terdiri dari campuran 4,5 μL PCR kit KAPA2G Robust HotStart ReadyMix (KAPA Biosystem Inc., USA), 0,9 μL tiap primer (forward dan reverse), 1 μL sampel DNA (± 6 ng/µL), dan 4,7 μL ddH2O. Program mesin PCR diatur dalam tiga tahap siklus. Tahap pertama, satu kali siklus pra-denaturasi pada suhu 94°C selama 5 menit; tahap kedua dengan 35 kali siklus yang meliputi denaturasi pada suhu 94°C selama 30 detik, annealing pada suhu 57°C selama 45 detik dan ekstensi awal dengan suhu 72°C selama 45 detik. Siklus amplifikasi diakhiri pada tahap ketiga dengan satu kali siklus ekstensi akhir pada suhu 72°C selama 5 menit. Produk PCR selanjutnya dielektroforesis dengan medium separasi gel agarose 1% yang direndam dalam buffer 1x TBE (Tris borate EDTA) pada tegangan 180 volt selama 60 menit. Pita yang terbentuk dalam gel divisualisasi menggunakan GBOX Gel Documetation System (Syngene, UK) yang sebelumnya direndam dalam larutan Ethidium bromide (EtBr). Berdasarkan penelitian (anwar, saiful, 2015)Polimorfisme gen GH-MspI sapi SO pada penelitian ini berhasil terdeteksi dengan ditemukannya tiga pola potongan pita yang berbeda (genotipe AA, AB dan BB). Masing-masing pola potongan pita merupakan bentuk gabungan dari dua bentuk alel (A dan B). Alel A terdiri dari 4 potongan pita sedangkan alel B terdiri dari 5 pita. Kombinasi kedua alel tersebut menyusun genotipe AA (4 pita), AB (6 pita) dan BB (5 pita). Banyaknya potongan pita yang terbentuk tergantung pada banyaknya situs potong enzim restriksi dalam sekuen gen GH yang E3 E4 E5 I3 I4 A) Subtitusi (1047T>C) B) Insersi (1395_1396insC) 1047 | GenBank EF592534 CCGCACTGGGCC Sampel Alel A ......T..... Sampel Alel B ......C..... 1395 1396 | | GenBank EF592534 CCATG-TGGGGG Sampel Alel A .....C...... Sampel Alel B .....C...... Alel A Alel B Alel A Alel B 402 PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON 1 (3): 398-403, Juni 2015 digunakan. Selain dari hasil penelitian ini, beberapa penelitian sebelumnya telah memperlihatkan hasil deteksi polimorfisme fragmen spesifik dari gen GH pada beberapa bangsa sapi lokal Indonesia menggunakan metode PCRRFLP dengan enzim restriksi MspI (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2 tersebut, dapat dilihat bahwa ukuran dan posisi fragmen gen target, jenis enzim restriksi yang digunakan dan bangsa sapi menjadi faktor penentu hasil deteksi polimorfisme gen menggunakan metode PCR-RFLP. Hasil deteksi polimorfisme menggunakan metode PCRRFLP selanjutnya dikonfirmasi dengan analisis sekuensing untuk menemukan situs potong enzim MspI dalam runutan DNA. Berdasarkan hasil analisis sekuensing, kejadian mutasi ditemukan pada fragmen sampel alel B, yaitu di daerah intron 3 pada nukleotida ke-1047 (1047T>C). Mutasi inilah yang menjadi tanda adanya polimorfisme pada gen GH-MspI dalam satu populasi sapi SO. Keberadaan mutasi di intron 3 juga ditemukan pada beberapa bangsa sapi Bos indicus seperti sapi Aceh (Putra et al, 2013), sapi Kenana dan Butana (Musa et al, 2013). Mutasi lain yang ditemukan adalah di daerah intron 4 di antara nukleotida ke-1395 dan 1396 berupa insersi nukleotida C pada kedua sampel alel (A dan B), sedangkan pada sekuen GH sapi Kenana tidak terdapat nukleotida C. Penelitian ini membuktikan bahwa polimorfisme gen dapat terjadi pada populasi sapi dalam satu bangsa (within breed) dan antar bangsa (between breed). Studi yang dilakukan oleh Lagziel et al. (2000), Jakaria dan Noor (2011) dan Hartatik et al. (2013) memperlihatkan bahwa distribusi geografis, sistem perkawinan dan seleksi (alam maupun buatan) dapat mempengaruhi kejadian polimorfisme gen. Berdasarkan hasil penelitian ini, deteksi polimorfisme gen GH dapat dilakukan dengan melihat variasi pola potongan pita melalui metode PCR-RFLP maupun kejadian mutasi DNA melalui analisis sekuensing. Analisis sekuensing DNA dapat dimanfaatkan untuk mengungkap dan mengkonfirmasi lebih detail kejadian mutasi terhadap penemuan polimorfisme pada metode PCR-RFLP. Harapannya metode PCR-RFLP dapat digunakan sebagai penanda genetik yang valid dan lebih murah karena setelah terbukti terdapat titik mutasi melalui analisis sekuensing, metode tersebut dapat langsung digunakan untuk menseleksi individu sapi SO tanpa melakukan sekuensing ulang. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan alel tertentu terhadap sifat pertumbuhan pada sapi (Pereira et al. 2005; Maylinda 2011; Paputungan et al. 2013). Meskipun demikian, perlu dilakukan studi validasi penanda genetik dengan sampel DNA dan koleksi data fenotipe populasi sapi dalam jumlah yang besar dan terorganisir dengan baik untuk mendapatkan validasi yang sangat akurat (Van Eenennaam et al. 2007). PCR-RFLP Polymerase Chain Reaction (PCR) Metode PCR-RFLP Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA secara in vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan enzim polymerase dan primer. Primer merupakan oligonukleoteida spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang akan diperbanyak (Williams, 2005). Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil dari proses PCR dapat langsung divisualilsasikan dengan elektroforesis atau dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Williams, 2005). Menurut Muladno (2002), Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan mensintesa molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim polymerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam suatu thermocyler. Secara umum, reaksi yang terjadi dalam mesin PCR dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), tahap annealing (penempatan primer) dan tahap ekstensi (pemanjangan primer). Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) adalah profil DNA berupa fragmen-fragmen DNA hasil pemotongan enzim endonuklease untuk berbagai individu. Enzim endonuklease atau enzim restriksi (RE) yang mengenali situs pemotongan empat dan enam basa umum dipakai untuk analisis keragaman genetik menggunakan pendekatan analisis RFLP. Yahyoui et al. (2001) menyatakan bahwa PCR RFLP merupakan suatu metode yang sederhana dan biasa digunakan untuk mencari keragaman genotipe. Meskipun derajat keragaman genetik yang tinggi dalam spesies adalah nyata dari variasi pada karakter morfologi, evaluasi kuantitatif dari variasi genetik dapat diidentifikasi hanya setelah teknik elektroforesis protein ditemukan dari hasil penelitian genetika populasi di pertengahan tahun 1960 (Harris, 1966; Lewontin & Hubby, 1966). Teknik ini mampu mendeteksi perubahan isi dalam protein. Masih bagian dari aplikasi dari teknik ini, menyatakan bahwa kebanyakan dari populasi alami terdiri atas sejumlah besar variasi genetik dan teknik ini memfasilitasi penelitian pada genetik populasi yang sangat besar (Lewontin, 1974; Nei, 1975) Analisis RFLP biasa digunakan untuk melakukan deteksi terhadap adanya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007). Selain PCR-RFLP, PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism) juga dapat digunakan untuk analisis keragaman DNA. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal dalam melakukan pendeteksian terhadap adanya mutasi secara cepat (Hayashi, 1991). Metode ini juga merupakan metode elektroforesis yang popular untuk mengidentifikasi mutasi sekuens karena mudah, murah, dan memiliki sensitifitas tinggi walau hanya satu nukleotida saja (Nataraj, 1999). SSCP dapat mendeteksi keragaman dan mutasi titik pada berbagai posisi pada fragment DNA meskipun mutasi yang terjadi hanya pada satu basa (Orita et al., 1998). Asumsi yang mendasari metode analisis SSCP adalah bahwa perubahan yang terjadi pada nukleotdida meskipun terjadi hanya pada satu basa akan mempengaruhi bentuk (conformation) dari fragmen DNA pada kondisi untai tunggal (Bastos et al., 2001). Perbedaan konformasi molekul akan menyebabkan perbedaan migrasinya dalam gel poliakrilamid pada saat elektroforesis (Montaldo et al., 1998). Sensitifitas dari analisis SSCP merupakan hal yang cukup sulit dalam teknik karena sangat peka dalam kondisi elektroforesis. Sensitifitas dipengaruhi beberapa faktor termasuk didalamnya tipe subtitusi basa, panjang fragmen, kandungan G dan C dalam fragmen dan lokasi variasi sekuens. 12 Metode PCR-RFLP bisa mendeteksi mutasi jika situs restriksi mengalami perubahan susunan basa. Apabila mutasi terjadi di luar situs restriksi, maka mutasi tersebut tidak dapat dideteksi. Metode PCR-SSCP dapat mendeteksi perubahan pada satu basa tetapi tidak dapat diketahui basa mana yang berubah. DNA sekuensing dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan tersebut. Metode yang biasa digunakan dalam sekuensing DNA adalah metode Sanger (Muladno, 2002). Metode sekuens ini dapat digunakan untuk membandingkan sekuens dari gen yang sama pada sama pada spesies yang berbeda sehingga dimungkinkan dibuatnya diagram filogenetik. Elektroforesis Elektroforesis adalah suatu cara pemisahan campuran dari beberapa senyawa dengan melakukan suspense ke dalam air kemudian diberikan aliran listrik. Gel yang ditempatkan ke dalam sumur elektroforesis yang mengandung larutan buffer dialiri listrik. Molekul DNA yang bermuatan negatif pada PH netral akan bergerak ke arah positif. DNA bergerak melalui gel pada kecepatan yang berbeda tergantung ukurannya (Winarno dan Agustinah, 2007). Hasil analisis DNA dapat diketahui melalui proses elektroforesis. Komponen bahan kimia yang digunakan dalam proses tersebut yang utama adalah gel. Gel yang biasa digunakan yaitu gel agarose dan gel poliakrilamid. Kecepatan migrasi DNA pada proses elektroforesis ditentukan oleh beberapa faktor yaitu ukuran molekul DNA, konsentrasi agarose, konformasi DNA, voltase yang digunakan, jenis Ethidium Bromide (EtBr) yang digunakan serta komposisi larutan buffer yang dipakai (Muladno, 2010). Keragaman Genetik Keragaman genetik dalam suatu populasi merupakan salah satu sarana untuk mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus. Informasi mengenai keragaman genetik suatu bangsa akan sangat bermanfaat bagi keamanan dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan (Blot et al., 1998). Keseimbangan genetik dapat ditentukan dengan menggunakan hukum HardyWeinberg. Hukum ini merupakan salah satu yang paling dasar dan konsep yang sangat berguna pada genetika populasi. Hukum HardyWeinberg dapat berlaku 13 dalam keadaan panmixia dan tanpa adanya gangguan dari faktor yang berhubungan dengan genetik seperti seleksi, migrasi dan mutasi. Frekuensi gen dalam populasi akan tetap sama dari generasi ke generasi berikutnya. Populasi yang demikian dapat disebut dalam keadaan yang seimbang (equilibrium). Pengujian Hardy-Weinberg ini sangat bermanfaat karena untuk lokus non kodominan yang berada pada frekuensi genotipe keseimbangan Hardy-Weinberg dapat diperkiraan dari frekuensi alel dan memiliki kemungkinan analisis yang sangat kuat terhadap hubungan penanda genetik dengan penyakit (Chen & Chatterjee, 2006). Hukum Hardy-Weinberg tidaklah merupakan hukum yang mati karena apabila suatu populasi yang telah mencapai keseimbangan genetik diganggu sedemikian rupa sehingga proporsi genotipenya berubah, maka cukup dibutuhkan satu generasi perkawinan acak untuk mengembalikan keadaan seimbangnya lagi tetapi dengan keadaan keseimbangan yang baru, artinya baik frekuensi gen maupun genotipenya akan berubah (Hardjosubroto, 1998). Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa populasi dinilai beragam jika memiliki dua atau lebih alel dalam satu lokus dengan frekuensi yang cukup (biasanya lebih dari 1%). Keragaman genetik dapat diukur pula secara akurat dengan nilai heterozigositas (Nei, 1987). Pendugaan heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui dalam mempelajari genetika populasi. Derajat heterozigositas merupakan rataan persentase lokus heterozigositas tiap individu atau rataan persentase individu heterozigot dalam populasi (Nei, 1987). Nilai dari derajat heterozigositas dapat memberikan informasi mengenai tingkat polimorfisme suatu alel, serta prospek populasi di masa yang akan datang (Falconer & Mackay, 1996). Nei (1987) menyebutkan bahwa suatu alel dapat dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99. Tingkat tinggi rendahnya variasi dari suatu populasi dapat diketahui pula dari hasil penelitian oleh Javanmard et al. (2005) yang menyatakan bahwa apabila nilai heterozigositas menunjukkan nilai di bawah 0,5 (50%) maka hal tersebut mengidentifikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam suatu populasi. Kerangka Pikir Penelitian Untuk pengembangan bibit unggul ternak sapi Madura, setiap kabupatan yang ada di pulau madura memiliki Village Breeding System (VBC). Peningkatan mutu genetik ternak sapi Madura dapat dilakukan dengan (1) metode konvensional melalui seleksi berbasis performan (performance based selection, PBS) produksi (pertumbuhan), dan (2) melalui seleksi langsung pada DNA dengan memakai penyandi (marker assisted selection, MAS) yang dapat mengenali gen tertentu seperti gen hormon pertumbuhan (growth hormone, GH). Untuk mendapatkan ketepatan penerapan metode konvensional, maka sangat diperlukan kajian terhadap gabungan kedua metode ini (PBS dan MAS) melalui upaya penelitian guna mengevaluasi ketepatan kedua metode tersebut pada sifat produksi sapi Madura di Pulau Madura. Permasalahan yang menjadi titik perhatian sekarang adalah masih lemahnya sistem pencatatan (recording system) variabel tentang ukuran morfometrik dan kondisi maternal induk sebagai dasar pelaksanaan seleksi. Saat ini penerapan program intan satu saka hanya menitikberatkan pada keberhasilan pencapaian pengembangan jumlah populasi ternak (kuantitas individu ternak) di wilayah daerah. Khusus “variable recording system” dari induk, ukuran morfometrik lingkar dada (LD) dan panjang badan (PB) ternak masih sangat diperlukan, karena sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas individu (individual productivity) anak F1 sebagai ternak komersial yang merupakan dasar penerapan seleksi bobot badan hidup (seleksi performan). Penurunan bobot badan rata-rata populasi ternak yang terjadi dalam suatu wilayah bisa diakibatkan oleh peningkatan jumlah pemotongan dan pengeluaran/ekspor ternak unggul tanpa diimbangi dengan proses seleksi dalam pengembang-biakan generasi anak (G1), sehingga terjadi proses yang disebut pengurasan genetik ternak (animal genetic degradation) yang tinggal menyisakan ternak tidak unggul seadanya untuk dikembang-biakkan (Udeh et al., 2011). Pada proses operasional upaya peningkatan mutu genetik melalui PBS dan MAS, peneitian ini dilakukan dalam 3 tahap, yaitu penelitian tahap 1: Kajian ModelEstimasi Keragaman Fenotip Bobot Badan HidupTernak Sapi Madura, penelitian tahap 2:Analisis keragaman gen GH induk superior dan induk inferior sapi Madura , dan penelitian tahap 3: Asosiasi Gen GH dan performan anak F1 hasil perkawinan Pejantan (IB) pada induk superior dan inferior sebagai basis seleksi berbantu marker (MAS) dalam peningkatan kualitas genetik sapi Madura di Pulau Madura. Hasil penelitian tahap 1, 2 dan 3 adalah memperoleh(1) Software untuk perolehan hasilpendugaan fenotip bobot badan(BB, kg) hanya dengan melakukan entree data lingkar dada (LD, cm), panjang badan(PB, cm), (2) dataanak F1 yang terlacak keberadaan genotip Msp1+/+, Msp1+/-, dengan kemungkinan menunjukkan fenotip heterosis superior, (3) konsep dasar kebijakan (pemerintah/swasta) dalam peningkatan mutu genetik produksi sapi Madura. Peningkatan mutu genetic sapi Madura di Pulau Madura Seleksi basis performan (PBS): -morfometrik ukuran tubuh (Weller, 2001; xiao, 2006; dll) Upaya/kegiatan seleksi (PBS) 1. pengukuran BB 2. pengukuran LD dan PB Kelemahan : (1) waktu lama untuk pertumbuhan, (2) hasil labil dipengaruhi lingk individu terseleksi Keuntungan : informasi lebih akurat karena PBS (prod. Tinggi) berlandaskan pd MAS (genetic ind. Terpilih stabil Seleksi Gen (MAS) : - Penggunaan penyandi (marker) - Informasi molekuler untuk (pertumbuhan) - (william, 2005; sutarno, 2010_ Apabila digabung : kelemahan PBS dapat diatasi oleh kelebihan MAS gen tertentu Kegiatan MAS : 1. pelacakan gen pertumbuhan 2. penggunan penyandi (marker) enzim restriksi MspI Kelebihan: 1) waktu efisien, 2) hasil stabil/ dapat diwariskan oleh individu terseleksi Tujuan : konsep dasar implementasi peningkatan mutu genetic sapi madura Manfaat : dasar kebijakan peningkatan mutu genetic sapi Madura diwariskan Gambar 1. Kerangka Pikir peningkatan mutu genetic sapi Madura melalui seleksi performan produksi dan penyandi gen pertumbuhan DAFTAR PUSTAKA 1. Lagziel A, DeNise S, Hanotte O, Dhara S, Galzko V, Broadhead A, Davoli R, Russo V, Soller M. 2000. Geographic and breed distribution of an MspI PCR-RFLP in the bovine growth hormone (bGH) gene. Anim Genet 31: 210-213. 2. Maylinda S. 2011. Genetic polymorphism of growth hormone locus and its association with bodyweight in Grati dairy cows. Int J Biotechnol Mol Biol Res 2 (7): 117-120. 3. Saiful Anwar, et all. 2015. Deteksi polimorfisme gen growth hormone (GH-MspI) pada sapi Sumba Ongole (SO). Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1(3), Halaman: 398-403 4. Li, W.S., D. Chen, A.O.L. Wong, dan H.R. Lin. 2005. Molecular Cloning, Tissue Distribution, and Ontogeny of mRNA Expression of Growth Hormone in Orange-Spotted Grouper (Epinephelus coioides). Journal Endocrinology 50: 78–89. 5. Sumantri C, A Einstiana, JF Salamena dan I Inounu. 2007. Keragaan dan hubungan phylogenik antar domba lokal di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. JITV. 12(1):42‐54. 6. Lawrence T.L.J. dan V.R. Fowler. 2002. Growth of Farm Animals. Second edition. CABI Publishing. 7. Kinghorn, B. & Julius V. D. W. 2000. Identifying and incorporating genetic markers and major genes in animal breeding programs. QTL Course, Brazil. 8. Boichard, D., S. Fritz, M. N. Rossignol, Guillaume, J. J. Colleau, & T. Druet. 2006. Implementation of marker-assisted selection: practical lessons from dairy cattle. 8th World Congress on Genetic Applied to Livestock Production, Brazil. 9. Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Pustaka Wirausaha Muda & USESE Foundation, Bogor. 10. Muladno. 2010. Teknologi Rekayasa Genetika Ed. 2. IPB Press, Bogor. Nada, A. Somaia. 2009. 11. Nei, M. 1975. Molecular Population Genetics and Evolution. North-Holland, Amsterdam. 12. Nei, M. 1987. Molecular Evalutionery Genetics. Columbia University Press, New York. 13. Nei, M & Kumar, S. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. Oxford University Press, New York. 14. Sumantri, C., A. Anggraeni., A. Farajallah, & D. Perwitasari. 2007. Keragaman mikrosatelit DNA sapi perah FH di Balai Pembibitan Ternak Unggul Baturaden. J. ITV. 12: 124-133. 15. Bastos, E., A. Cravador, J. Azevedo, & H. Pinto. G. 2001. Single strand conformation polymorphism (SSCP) detection in six genes in Portuguese indigenous sheep breed “Churra da Teerra Quente”. Biotechnol. Agron. Soc. Environ. 5 (1): 7-15. 16. Allendrof, F.W. & G. Luikart. 2007. Conservation and The Genetics of Polulations. Blockwell Publishing, USA. 17. Curi RA et al. 2006. Growth and carcass traits associated with GH|AluI and POU1F1|HinfI gene polymorphism in Zebu and crossbred beef cattle. Genet Mol Bio 29: 56-61. 18.