1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) termasuk salah satu komoditas perikanan unggulan di dunia. Menurut Rakhmawan, (2009) udang Vaname memiliki nilai jual tinggi dalam perdagangan internasional. Udang Vaname berkontribusi pada dunia akuakultur sebesar 47% dari total produksi jenis udang (Focken et al, 2006 dalam Wahyudewantoro, 2011). Dilihat dari tingkat konsumen dunia, permintaan udang Vaname rata-rata naik 11,5% per tahun (BAPPENAS, 2000). Peningkatan permintaan udang Vaname di dunia, menyebabkan bertambahnya kebutuhan larva bagi para petambak di Indonesia. Dilansir dalam Suwoyo (2018), Pemanfaatan lahan tambak di Indonesia sebagai penghasil komoditas udang Vaname mencapai 6.573.46ha. Hakim (2018) menambahkan, padat tebar awal yang umum digunakan yaitu sebesar 60m2, maka diperkirakan kebutuhan Larva udang Vaname bagi para petambak Indonesia dapat mencapai 394.407.600.000 ekor. Permasalahan yang sering dihadapi bagi para petambak di Indonesia salah satunya yaitu ketersediaan larva berkualitas. Kualitas Larva merupakan input utama keberhasilan budidaya udang Vaname (Sumarwan dkk, 2007). Larva berkualitas dihasilkan dengan penanganan produksi yang terawasi dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Syarat tersebut antara lain, panjang minimal 8,5mm, prevalensi parasit maksimal 20%, dan prevalensi nekrosis maksimal 5% terhadap populasi, dengan keseragaman ukuran 80% (SNI 1-7252-2006). Selain itu, SPF (Specific Pathogen Free) (Erwinda, 2008) dan SPR (Specific Phatogen Resistant) juga termasuk dalam persyaratan Larva berkualitas baik (Juarno, 2012). Permasalahan tersebut menjadi tantangan bagi para perusahaan penghasil Naupli untuk dapat mencukupi kebutuhan Larva dengan kualitas baik. Maka dari itu, peluang usaha membenihkan udang Vaname menjadi potensi yang cukup menguntungkan di masa depan. Latar belakang tersebut menjadi landasan bagi penulis dalam melaksanakan praktik Integrasi di salah satu 2 perusahaan penghasil larva yaitu PT. Suri Tani Pemuka sebagai salah satu perusahaan hatchery terkemuka di Indonesia. 1.2. Tujuan Tujuan pelaksanaan praktik integrase antara lain sebagai berikut. a) Mengetahui tekhnik dan mampu melakukan pembenihan udang vaname. b) Mengidentifikasi masalah pembenihan udang Vaname di tempat praktik dengan metode Kaizen. c) Mampu menghitung analisis finansial pada usaha pembenihan udang vaname. 1.3. Batasan masalah Pada pelaksanaan praktek integrasi ini pengamatan yang dilakukan serta pembahasannya hanya dibatasi pada masalah-masalah sebagai berikut. a) Teknik pembenihan udang vaname (L. vannamei) meliputi kegiatan Pra produksi (kelayakan lokasi, persiapan wadah dan persiapan media), kegiatan produksi (pemeliharaan induk, pematangan gonad, pemijahan, penetasan telur, penebaran naupli, pengematan pertumbuhan, pengelolaan pakan, pengelolaan kualitas air, pengendalian hama dan penyakit), kegiatan pasca produksi (panen dan pasca panen). b) Analisa finansial yang dibatasi (Analisa Laba/Rugi, Revenue Cost Ratio, Payback Periode, dan Break Even Point). c) Identifikasi masalah dengan metode Kaizen menggunakan analisis Fishbone. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Udang Vaname Udang Vaname (L. vannamei) memiliki sifat biologi yang unik. Udang Vaname bersifat nokturnal atau aktif pada keadaan gelap (Darmono, 1991 dalam Wahyuni, 2011), kanibal pada kepadatan tinggi (Hadie & Supriatna, 1988), dan bersifat karnivora atau pemangsa berbagai jenis krustasea renik amphipoda, dan polychaeta (Wyban & Sweeny, 1991). Mujiman & Suyanto, (1987 dalam Wahyuni, 2011) menambahkan, udang Vaname suka memangsa udang lain terutama pada saat ganti kulit.. Udang Vaname (L. vannamei) relatif tumbuh dengan cepat (Purba, 2012). Berat udang tetap bertambah tiap minggu dalam kultur berdensitas tinggi 100 udang/m2. Berat udang dewasa dapat mencapai 20g dan diatas berat tersebut udang vaname cenderung tumbuh dengan lambat yaitu, sekitar 1g/minggu (Lestari, 2009). Usia pemeliharaan udang Vaname relatif lebih cepat dibandingkan udang Windu, yakni 90-100 hari (Brito et al., 2014). Selain itu, survival rate (SR) udang Vaname dapat mencapai >80 % (Madenjian, 1990). Lestari (2009) menambahkan, udang betina tumbuh lebih cepat dari pada udang jantan. Udang Vaname (L. vannamei) memiliki nilai toleransi parameter kualitas air yang luas. Nilai toleransi salinitas udang Vaname cukup luas (euryhaline) yaitu sebesar 2-40g/l (Lestari, 2009) tetapi akan tumbuh dan berkembang cepat pada salinitas 15-25g/l (Suharyadi, 2011). Temperatur yang sesuai sebesar 23-30˚C (Amri & Kanna, 2008 dalam Lestari, 2009). Faktor lingkungan lainnya seperti, musim ikut serta dalam mengatur fisiologi udang Vaname. Termasuk reproduksi, perilaku, moulting, morfogenesis dan makanan. (Laimeheriwa, 2010). 2.1.1. Taksonomi Udang Vaname Haliman & Adijaya (2005) menjelaskan bahwa taksonomi udang vaname adalah sebagai berikut. Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda 4 Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Family : Penaeidae Genus : Litopenaeus Spesies : Litopenaeus vannamei 2.1.2. Morfologi Udang Vaname Tubuh udang Vaname (L. vannamei) terbagi atas dua bagian, yaitu bagian kepala (thorax) dan Bagian tubuh (abdomen). Kordi (2007) menjelaskan, pada bagian kepala terdiri dari antena, antenula, 3 pasang maxilliped, 5 pasang kaki jalan (periopoda). Sedangkan bagian abdomen terdiri dari 6 abdominal segment yang mana pada masing-masing segmen memiliki sepasang kaki renang (pleopoda) (kecuali segmen ke-6), dan sepasang uropods yang membentuk kipas bersama telson. Morfologi Udang Vaname (L. vannamei) dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Morfologi udang Vaname (Suharyadi, 2011) Keterangan. (1) Carapace, (2) Rostrum, (3) Mata majemuk, (4) Antennules, (5) Prosartema, (6) Antena, (7) Maxilliped, (8) Pereopoda, (9) Pleopoda, (10) Uropoda, (11) Telson, (a) Oesophagus, (b) Ruang cardiac, (c) Ruang pyloric, (d) Cardiac plate, (e) Gigigigi cardiac, (f) Cardiac ossicle, (g) Hepatopancreas, (h) Usus, (i) Anus Tubuh udang Vaname dibentuk oleh dua cabang yaitu bagian luar tubuh udang (exopodite) dan bagian dalam tubuh udang (endopodite). Bagian exopodite kepala terdiri dari antenulla (sungut awal sebagai indera perasa), antenna (sungut kedua sebagai sensor), mandibula (rahang atas), dan dua pasang maxillae (rahang 5 bawah). Kepala udang dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped (organ makan di dekat maxilla) dan 5 pasang kaki berjalan (peripoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxilliped sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Peripoda berbentuk beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus (bagian ujung kaki udang). Dactylus ada yang berbentuk capit (tiga kaki di bagian belakang) sedangkan tanpa capit (dua kaki di bagian depan) (Suharyadi, 2011). 2.1.3. Siklus Hidup Siklus hidup udang Vaname terdiri dari 2 bagian, yaitu laut dan estuari. Udang Vaname mencari pasangan untuk berpijah dilaut lepas. Induk udang akan mengeluarkan telurnya hingga menetas didasar laut, kemudian larva (Nauplii, Zoea, dan Mysis) akan melayang pada permukaan peraian (Suharyadi, 2011). Briggs, (2011) menambahkan, ddang yang beranjak ke tahap post larva bermigrasi ke pantai atau perairan estuari hingga menjadi remaja (juvenile). Siklus hidup udang vaname (L. vannamei) dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Siklus Hidup Udang Vaname (Wyban & Sweeney, 1991 dalam Panjaitan, 2012) Menurut Wyban & Sweeney (1991) dalam Wahyuni (2011), terdapat fase-fase sebelum mencapai ke tahap udang dewasa. 1. Stadia Naupli Telur menetas menjadi Naupli selama 24 jam (Rakhmawan, 2009). Naupli rata-rata berukuran 0,32 – 0,58 mm. (Haliman & Adijaya, 2005 dalam Afrianto & Muqsith, 2014). Naupi bersifat planktonik dan fototaksis positif (Wahyuni, 2011), 6 selain itu Naupli masih memiliki kuning telur sehingga tidak memerlukan makanan untuk beberapa saat (Haliman dkk, 2005 dalam Afrinto & Muqsith, 2014). Perkembangan stadia Naupli pada udang vaname terdiri dari enam fase. Pada tiap fase, Naupli memiliki 3 pasang organ tubuh yaitu antena pertama, antena kedua, dan mandible. Larva udang Vaname berbentuk seperti kutu air (Panjaitan dkk, 2014). Fase Naupli dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Fase Naupli (Pudadera dkk., 1985) A. Naupli I : Bentuk badan bulat telur dan mempunyai anggota badan 3 pasang. B. Naupli II : Pada ujung antena pertama terdapat rambut (setae) yang satu panjang dan dua lainnya pendek. C. Naupli III : Furcal dua buah mulai jelas terlihat masing– masing dengan tigaduri (spine) yang terdiri dari tunas maxilla dan maxilliped. D. Naupli IV : Pada masing– masing furcal terdapat 4 buah duri yang terdiri dari exopoda pada antena kedua beruas– ruas. E. Naupli V : Struktur tonjolan tumbuh pada pangkal maxilla. Organ bagian depan mulai tampak jelas. F. Naupli VI : Perkembangan bulu– bulu makin sempurna dan duri pada furcal tumbuh makin panjang. 2. Stadia Zoea Naupli bermetamorfosis menjadi Zoea memerlukan waktu sekitar 40 jam setelah penetasan (Rakhmawan, 2009). Zoea bersifat planktonis dan sensitif terhadap cahaya (Wahyuni, 2011). Zoea sudah dapat memakan jenis phytoplankton dan zooplankton sebagai pakan alami. Zoea terdiri dari tiga fase. Setiap Fase dibedakan berdasarkan segmentasi abdomen, perkembangan lateral, dan dorsal pada setiap segmen. Zoea dibagi ke 7 dalam tiga bagian tubuh, yaitu carapace, thorax dan abdomen (Wahyuni, 2009). Fase Zoea dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Fase Zoea (Pudadera dkk., 1985) A. Zoea I : Badan pipih dan carapace mulai nyata, mata mulai tampak, maxilla pertama dan kedua serta maxilliped pertama dan kedua mulai berfungsi, proses furcal mulai sempurna, dan alat pencernaan makanan tampak. B. Zoea II : Mata bertangkai yang terdiri dari carapace sudah terlihat, rostrum dan duri supra orbital mula bercabang. C. Zoea III : Sepasang Uropoda biramus mulai bercabang, dan duri pada ruas– ruas perut mulai tumbuh. c. Stadia Mysis Zoea bermetamorfosis menjadi Mysis yang memerlukan waktu sekitar 3-4 hari hingga masuk ke Stadia Post Larva (PL). Pada stadia Mysis, bentuk udang yang dicirikan sudah terlihat, seperti ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Ukuran larva pada stadia ini berkisar 3,50– 4,80 mm (Rakhmawan, 2009). Fase Mysis dan Post larva dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Fase Mysis dan Post Larva (Pudadera dkk., 1985) 8 Wahyuni, (2009) mengatakan, Stadia Mysis terdiri dari tiga fase yang dapat dicirikan sebagai berikut. a). Mysis I : Bentuk badan sudah seperti dewasa. b). Mysis II : Tunas pleopoda mulai tampak nyata tetapi belum beruas–ruas. c.) Mysis III : Pleopoda bertambah panjang dan beruas– ruas. d. Stadia Post Larva (PL) Pada tahap akhir, Mysis akan bermetamorfosis menjadi Post Larva, yaitu udang muda yang sudah memiliki ciri-ciri udang dewasa (Rakhmawan, 2009). Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Misalnya, PL l berarti post larva berumur satu hari (Gambar. 5). Stadia PL1 mempunyai ciri pleopoda memilki rambut (setae) yang digunakan untuk membantu berenang. larva udang sudah mulai aktif bergerak dan melentik. Sifat Post Larva cenderung karnivora. 2.1.4. Kebiasaan Makan Udang Vaname menggunakan berbagai anggota tubuh untuk mencari dan mengolah pakan dimangsa (Anwar dkk, 2007). Udang Vaname mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-bulu halus (setae) yang terpusat pada ujung anterior (antenula), dan maxilliped. Sinyal tersebut akan ditangkap dan direspon oleh udang untuk mendekati sumber pakan. (Tricahyo, 1995 dalam Wahyuni, 2011). Udang akan bergerak menggunakan kaki jalan yang memiliki capit untuk mendekati sumber pakan. Makanan akan dijepit menggunakan capit kaki jalan satu, kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Pakan yang berukuran kecil masuk kedalam kerongkongan dan esophagus. Sholeh, (2006) dalam Wahyuni, (2011) menambahkan, bila pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, maka akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu. 2.1.5. Sistem Reproduksi Udang vaname (L. vannamei) termasuk hewan heteroseksual, yaiu mempunyai jenis kelamin jantan dan betina terpisah. Udang jantan mempunyai organ reproduksi yaitu Petasma, Vasa Deferensia, dan Apendiks Maskulina. Petasma berwarna bening atau tidak berpigmen. Petasma berfungsi untuk 9 mentransfer sperma (Susanto dkk, 2004). Sedangkan udang betina mempunyai organ reproduksi yang disebut thelicum, sepasang ovarium, oviduk, lubang genital. Thelicum berfungsi untuk menmapung sperma sebelum terjadi pembuahan (Mastosudarmo & Ramumiharjo, 1983 dalam Wahyuni, 2011). Alat kelamin udang Jantan (Petasma), dan udang Betina (Thelicum) dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Alat Kelamin udang Vaname (Susanto dkk, 2004) Perbedaan alat kelamin udan Jantan dan Betina dapat dilihat dari sisi bawah (ventral). Telicum terletak diantara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5 (Laimeheriwa, 2010). Sedangkan Petasma terletak pada bagian antara kaki jalan ke-5 dan kaki renang ke-1 (Anwar, 2006). 2.2. Kesesuaian Lokasi Lokasi usaha pembenihan udang merupakan langkah awal yang harus di lakukan sebelum melakukan atau membangun sebuah unit pembenihan. Kesesuaian lokasi bertujuan untuk memaksimalkan kinerja produksi. BBPBAP Jepara, (2017) mengatakan, ada beberapa aspek kesesuaian lokasi yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah unit pembenihan. 1. Lokasi sesuai standar kelayakan pembenihan ikan air payau dengan prasarana transportasi yang memadahi serta akses yang mudah dituju oleh para pembudidaya udang. 2. Terhindar dari banjir dan bebas dari pencemaran. 3. Sumber air sesuai persyaratan yang dibutuhkan oleh unit pembenihan dan kaidah CPIB (Cara Pembenihan Ikan yang Baik). 4. Lahan bebas konflik dan atas nama atau milik sendiri. 10 5. Lahan usaha telah dipersiapkan untuk pembangunan percontohan unit pembenihan udang. 6. Sarana penunjang operasional dilokasi pembenihan dapat memenuhi kebutuhan dengan penerapan teknologi yang akan dikembangkan (teknologi anjuran). 2.2.1. Syarat Teknis a. Sumber Air Menurut Fuady dkk, (2013), Sumber air dalam usaha pembenihan sangat menentukan larva yang akan di hasilkan. Adapun beberapa aspek sumber air yang diamati. 1. Bebas dari polusi dan endapan logam berat. 2. Mempunyai kandungan bahan organik yang relatif rendah. 3. Salinitas berkisar 24-35g/l. 4. pH air berkisar antara 7,8-8,6. 5. Ketersediaan air tawar yang mencukupi dan mudah didapatkan. b. Lingkungan Lingkungan memiliki kontribusi yang sangat besar bagi kondisi biota. Lingkungan yang tercemar akan mengakibatkan kondisi biota menurun sehingga mudah terserang penyakit (Kilawati & Maimunah, 2015). Lingkungan yang bersangkutan dengan aspek sosial pun menjadi pertimbangan pada saat akan membangun unit pembenihan (Prihutomo dkk, 2015). Adapun beberapa aspek lingkungan yang harus di pertimbangkan pada saat akan membangun unit pemebenihan. 1. Pencemaran setempat hatchery dapat membuang limbah yang kaya akan nutrien. 2. Penularan penyakit dari satu hatcheri ke hatcheri lain, baik melalui kontak secara langsung maupun melalui buangan dari hatchery. 3. Daerah rawan terjadi konflik kepentingan antar masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut. c. Sarana dan Prasarana Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan. Sedangkan Prasarana adalah segala penunjang agar 11 terlaksananya suatu proses usaha (Sim dkk, 2005). Menurut SNI-8037, (2014) berikut adalah sarana dan prasarana yang harus ada ditempat pembenihan. 1. Ruang laboratorium, ruang mein, tempat penyimpanan bahan kimia dan obatobatan, penyimpanan peralatan, kantor atau ruang administrasi. 2. Bak atau wadah pengendapan atau sistem filtrasi dan tandon, karantina, benih, pemijahan dan penetasan, pemeliharaan benih, penampungan benih, kultur pakan alami, dan pengelolaan limbah. 3. Bahan dan peralatan produksi dan panen, peralatan mesin dan peralatan laboratorium. 4. Sarana biosecurity sekat antar unit produksi, footbath, handsanitiser, pakaian kerja, dan kelengkapan personil. 2.2.2. Syarat Nonteknis Syarat nonteknis merupakan pelengkap dan pendukung syarat teknis dalam mensukseskan kegiatan produksi benih udang vaname melaluin sarana dan prasarana (Anwar, 2007). Syarat nonteknis menurut Rosyid, (2015) adalah sebagai berikut. 1. Sarana transportasi. 2. Instalasi listrik (PLN). 3. Komunikasi (telepon dan internet). 4. Pelayanan kesehatan. 2.3. Teknis Pembenihan Pembenihan adalah suatu kegiatan menghasilkan larva sebagai komponen (input) bagi kegiatan pembesaran (Effendi, 2004). Teknis pembenihan terdiri dari tiga aspek utama, yaitu Pra produksi, produksi, dan pasca produksi. 2.3.1. Pra Produksi a. Persiapan Wadah Persiapan wadah adalah kegiatan mengeringkan dan membersihkan bak dari segala bentuk kotoran yang menempel menggunakan bahan densifektan (Sabrina dkk, 2014). Bahan-bahan desinfektan berfungsi sebagai pembasmi hama atau 12 bakteri yang masih menempel pada dinding atau dasar bak pemeliharaan (Anwar dkk, 2007). Bahan-bahan organik seperti amoniak yang masih tersisa pada siklus sebelumnya, akan mengganggu kehidupan larva dikemudian. Menurut SNI-7311, (2009) terdapat beberapa spesifikasi wadah atau bak yang digunakan selama proses produksi. Masing-masing wadah memiliki fungsi dan dimensi yang berbeda-beda. Wadah yang digunakan pada proses produksi mencangkup penetasan Naupli, pakan alami, dan pemeliharaan Larva. 1. Bak Penanganan Induk Bak penanganan Induk berfungsi sebagai wadah pemeliharaan induk hingga pemijahan. Bentuk bak bulat, oval, atau empat persegi panjang. Bersudut tumpul dengan luas dasar minimal 20m2, dengan ketinggian bak minimal 1m dan kedalaman air minimal 0,6m (jarak antara permukaan air dan bibir bak minimal 0,3m). Warna dasar bak cerah dan dinding bak berwarna gelap, atau cerah keseluruhan. Bak karanina ini biasanya terbuat dari semen, fiber glassatau plastik. 3. Bak Penanganan Telur Bak penanganan Telur berfungsi sebagai media penetasan telur dari bak pemijahan hingga menjadi Naupli. Bak ini memiliki volume minimal 0,03m2 dengan ketinggian bak 0,8-1m dengan kedalaman air 0,6m. Bak Penanganan Telur terbuat dari fiber glass, semen atau plastik. Bak penetasan biasanya berbentuk bulat, oval, atau empat persegi panjang dengan sudut tumpul. 4. Bak Pemeliharaan Larva Bak pemeliharaan Larva dapat dipelihara pada bak yang terbuat dari semen, fiber glass atau plastik. Biasanya bak pemeliharaan larva berbentuk bulat, oval, atau empat persegi panjan dengan sudut tumpul. Bak yang ideal untuk pemeliharaan Larva berkapasitas minimal 10m2 dengan ketinggian bak minimum 1,5m dan kedalaman 1,2m dengan kemiringan 2-5% ke arah pembuangan. Menurut Amirullah dkk, (2015), bak dibuat dengan sudut tumpul berfungsi untuk menghindari penumpukan kotoran, dan memperlancar sirkulasi air, serta mempermudah dalam membersihkan kotoran setelah masa pemeliharaan. Bak pemeliharaan larva sebaiknya ditempatkan pada ruangan tertutup untuk menjaga kestabilan suhu dan menjaga intensitas cahaya. Atap dari bak dapat terbuat 13 dari asbes dengan 40% diantaranya menggunakan atap fiber untuk pencahayaan. Screen/ jaring atau kain kelambu yang diletakkan dibawah fiber akan menghindari cahaya matahari secara langsung, sehingga hanya panas dan pantulan dari sinar matahari yang masuk dalam bak larva (Wahyuni, 2011). 5. Bak kultur pakan alami Bak kultur pakan alami dibagi menjadi 2 jenis, yaitu bak kultur pakan alami untuk fitoplankston dan bak kultur alami untuk artemia. Untuk jenis fitoplankton, Bak berbentuk persegi atau bulat dengan kapasitas bak 20-40% dari volume bak pemeliharaan dengan kebutuhan pakan dari larva yang dipelihara. Sedangkan Bak kultur pakan alami jenis artemia, biasanya wadah berbentuk bulat dengan alas mengkerucut guna mempermudah pada saat pemanenan setelah larva menetas. Bak ini memiliki nilai volum minimal berukuran 0,02 m3. Semua jenis bak kultur pakan alami dilengkapi dengan sistem instalasi aerasi. Bak Kultur alami biasanya terbuat dari fiber glass. b. Persiapan Media Persiapan media pemeliharaan dimulai dari penyediaan stok air laut yang akan digunakan dalam masa pemeliharaan (Fuady dkk, 2013). Karakteristik air laut yang dibutuhkan adalah air yang bersalinitas 29 – 31g/l, pH 7-8, suhu 29- 31ºC, DO 3-6mg/l dan bebas bahan pencemar (FAO, 2003). Afrianto & Muqsith, (2014) mengatakan, untuk mendapatkan air laut yang baik maka dibutuhkan alur proses sterilisasi air laut yang terdiri dari filter, pompa dan instalasi distribusi air laut. Alur proses sterilisasi laut tersebut antara lain, filter pasir dan arang, tendon sedimentasi, pressure filter, bak treatment (Kaporit atau Ozon), bak siap pakai, dan sterilisasi lampu UV. Tinggi air yang akan di ambil minimal 80cm dari permukaan air laut (dan tidak berlumpur. Setelah pengisian air, proses selanjutnya dilakukan sterilisasi dengan Chlorine 90% dengan dosis 10-20mg/l atau Chlorine 60% dengan dosis 30-40mg/l. Namun penggunaan Klorin harus dilakukan secara bijak karena dikhawatirkan dapat menyebabkan tanah menjadi tandus, perairan kurang subur, dan agen penyakit semakin resisten terhadap kadar Chlorine padaa air (Malik, 2014). 14 2.3.2. Produksi A. Divisi Induk Kegiatan pada divisi induk antara lain Pengadaan induk, pemeliharaan induk (Ablasi mata, Pematangan gonad, pakan induk, dan pemijahan induk), penanganan telur (penetasan dan pemanenan). 1. Pengadaan Induk Induk (Broodstock) F1 didatangkan dari Negara Florida. Induk yang digunakan wajib memiliki sertifikat SPF dan SPR. Induk udang yang akan digunakan memiliki minimal berumur 7-8bulan. Induk baru datang, harus dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu sebelum di pelihara di bak pemeliharaan induk (Ramdani, 2013). induk yang berasal dari luar negeri yang tersertifikasi atau induk hasil budidaya yang mengikuti kaidah pemuliaan dan terpantau (SNI induk udang vaname, 2004 dalam Subaidah & Pramojo, 2008). Kriteria tersebut diperlukan untuk menentukan calon induk yang berkualitas, tidak cacat dan sehat. Sehingga dapat bereproduksi dengan baik (Anam & Khumaidi, 2016). Seleksi induk dilakukan secara pengamatan visual dan pengamatan laboratorium. Secara visual induk baru datang diamati satu per satu pada data jenis kelamin, ukuran panjang dan berat, tidak boleh ada retak bagian kulit badan atau punggung, tidak boleh keropos, tidak boleh berparasit, dan semua anggota tubuh dalam kondisi baik. Pengamatan induk secara laboratorium dilakukan guna melihat bebas dari virus, bakteri, parasit, dan jamur. 2. Pemeliharaan induk a). Teknik Ablasi Teknik Ablasi digunakan untuk mempercepat kematangan gonad Induk Betina. Ablasi mata dilakukan dengan cara mengilangkan X-Organ atau biasa disebut (gonade inhibiting hormon) pada tangkai mata udang. Secara teknis, ablasi mata dapat dilakukan dengan cara (Cautery dan Cutting). Teknik Cautery dilakukan dengan cara memijit tangkai mata udang. Sedangkan teknik Cutting dilakukan dengan cara memotong mata udang (Susanto dkk, 2004). Tekhnik ablasi mata induk Betina dapat dilihat pada Gambar 7. 15 Gambar 7. Tekhnik ablasi mata (BPPBAP Maros, 2001) b). Tingkat kematangan gonad Tingkat kematangan gonad (TKG) dapat dilihat dari bagian punggung udang (Ovari) yang semakin menebal dari hari kehari. Ovari akan berkembang dari berwarna putih hingga berwarna merah kekuningan (orange) ketika matang gonad (Laimeheriwa, 2010). Tingkat Kematangan Gonad diukur berdasarkan perkembangan Ovari, yang terletak pada bagian punggung atau dorsal dari tubuh udang, mulai dari segmen awal hingga ke pangkal ekor (Telson) (Ramdani, 2013). Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) (Arcos dkk, 2011 dalam Ramdani, 2013) Keterangan. 1. TKG I = Didalam gonad terdapat bakal sel telur (oogonia). Sel telur (oosit) telah tampak nukleus, dan beberapa nukleolus dalam nukleoplasma. Nukleolus umumnya berada di tepi nukleus. 2. TKG II = Ukuran sitoplasma lebih besar dari sebelumnya. Sitoplasma mulai terisi butiran-butiran kuning telur sehingga tampak perubahan warna oosit. 16 3. TKG III = Nukleus masih tampak tapi nukleolus sudah tidak tampak lagi. Selain itu tampak butiran-butiran protein kecil yang menyebar di sekitar sitoplasma. 4. TKG IV = Butiran-butiran besar protein di dalam sitoplasma semakin banyak dan besar. Munculnya cortical rods, Inti sudah melebur. c). Pakan Induk Sabrina dkk, (2014) mengatakan, pakan alami yang dapat digunakan sebagai pakan induk adalah pakan yang ketersediaannya berkelanjutan, memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, dan bukan sebagai pembawa penyakit. Pakan yang dianjurkan untuk induk udang vaname menurut SNI-7311, (2009) yaitu, Cumicumi, kerang-kerangan, dan Cacing laut. Dosis yang dianjurkan antara 20% sampai dengan 30% biomas/hari dengan frekuensi 4 kali/hari sampai dengan 6 kali/hari. (Panjaitan dkk, 2014) menambahkan bahwa dalam masa pemeliharaan, induk diberi pakan dengan kandungan protein lebih agar pematangan gonad lebih cepat. d). Pemijahan Induk Menurut SNI-7311, (2009) Pemijahan Induk merupakan kegiatan pengeluaran telur oleh induk betina diikuti dengan pembuahan oleh sperma dari spermatofore yang ada di telicum induk betina. Mutu sel sperma dapat mempengaruhi kemampuan fertilitas telur. Seiring dengan bertambahnya umur induk udang vaname jantan, jumlah telur yang menetas mengalami penurunan (Anwar, 2006). Proses perkawinan induk dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Proses perkawinan induk (Subaidah dkk, 2006 dalam Anam & Khumaidi, 2016) 17 Keterangan. A. Induk jantan mendekati induk betina. B. Setalah itu berenang sejajar kemudian induk jantan mengeluarkan sperma yang kemudian ditempelkan pada thellycum betina. C. Kemudian induk jantan membalikan badannya dengan menghadap (perpendeculer)induk betina. D. Induk jantan mensejajarkan badannya berlawanan dengan tubuh induk betina serta menyentakkan kepala dan ekor untuk melepaskan kantung sperma dan menempelkan ke thellycum (Afrianto & Muqsith, 2014). Kualitas sperma (jumlah sel sperma yang hidup normal, abnormal dan mati) pada udang vaname dipengaruhi oleh temperatur air tempat udang dipelihara (Anwar, 2006). Beberapa kegagalan yang mungkin terjadi adalah tidak terjadinya pembuahan yang disebabkan induk betina belum matang telur atau rusaknya spermatophora (Kannan, 2015). Udang Vaname memijah pada awal senja hari dengan durasi 3-16detik (Panjaitan, 2011). Udang betina mampu menghasilkan 500.000-1.000.000 telur setiap bertelur. Menurut (Dunham, 1978 dalam Erwinda, 2008) mengatakan bahwa adanya perilaku kawin pada krustasea disebabkan adanya feromon. Kriteria kualitatif dan kuantitatif pada calon induk siap dipijahkan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Kriteria kuantitatif calon induk udang Vaname (Susanto dkk, 2004) Kriteria Induk Jantan Berat (g) Panjang Tubuh (cm) Kelamin Insang Anggota Tubuh Induk Betina 60 – 80 >80 18 – 20 20 – 25 Bersih Bersih 1. Normal 1. Normal 2. Warna merah dengan 2. Warna merah dengan penutup transparan penutup transparan lengkap dan normal Lengkap dan normal 18 Tabel 2. Kriteria kualitatif calon induk udang Vaname (SNI-7253, 2006) Kriteria Pensyaratan 1. Induk berasal dari luar negeri yang tersertifikasi Asal 2. Induk hasil budidaya yang mengikuti kaidah pemuliaan Warna Bentuk Tubuh 1. Bening kecoklatan 2. Cerah dengan garis merah tepi ujung Uropoda 1. Cephalothorax lebih pendek dari Abdomen 2. Punggung lurus mendatar 1. Bebas Virus (TSV, WSSV, IHHNV) Kesehatan 2. Bebas Necrosis 3. Anggota tubuh lengkap dan tidak cacat 4. Insang bersih dan tidak bengkak Kekenyalan Tubuh Tidak lembek dan tidak keropos Gerakan Aktif normal 3. Penanganan Telur a). Penanganan Telur Udang Vaname bertelur dalam 1-2jam setelah proses perkawinan. Pada malam hari induk Betina yang telah terbuahi dipindahkan ke dalam tank penetasan telur (Hatching tank). Dalam waktu 12-16jam, telur-telur dalam tangki penetasan akan berkembang menjadi naupli (Wyban dkk, 1991). Afrianto & Muqsith (2014) mengatakan, dalam proses penetasan telur perlu adanya pemberian aerasi dan pengadukan telur secara manual. Pengadukan dilakukan dengan frekuensi 15 menit sekali. Pengadukan dilakukan agar telur melayang dipermukaan air, karena telur yang mengendap di dasar bak akan mudah terserang jamur dan menyebabkan telur tidak menetas (non fertil). Selain itu media dibersihkan dari lendir yang menempel pada dinding bak. Dalam proses penetasan, dilakukan pengamatan yang bertujuan untuk melihat perkembangan telur. Perubahan fase Telur dimulai dari Embrio menjadi Zygote, 2Cell dan 4-Cell, Blastulla, Gastrulla, Embrio Tunas Ekstremitas, hingga menjadi 19 Larvae in Membrane (Wei dkk, 2014). Perkembangan fase telur dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Perkembangan fase telur (Wei dkk, 2014) b. Pemanenan Naupli Menurut Afrianto dan Muqsith, (2014), Naupli yang akan dipanen harus mencapai stadia 4 (N4). Naupli pada umumnya bersifat fototaksis positif. Sifat ini biasanya dipergunakan untuk teknik pemanenan naupli. Sinar elektrik diletakkan di atas tank agar dapat menembus fiber tank. Pemasangan sinar elektrik digunakan untuk merangsang naupli untuk mendekati sinar. Pemanenan Naupli dilakukan secara bertahap atau menunggu Naupli melayang dipermukaan tank petenasan. Sampling Naupli dilalukan untuk mengetahui angka fekunditas, fertilitas, dan tingkat penetasan. Perhitungan dilakukan dengan cara sampling yaitu mengambil 5 kali pengulangan pada tiap stasiun sampel. Pengambilan sampel menggunakan Pipet serologis dan BULB pipet sebagai penyedot. B. Divisi larva 1. Pemeliharaan Larva Kegiatan pemeliharaan Larva dimulai dari stadia Naupli 5-6, stadia Zoea 13, stadia Mysis 1-3, hingga mencapai stadium Post Larva (PL) 1-12. Pemeliharaan Larva pada umumnya dilakukan selama 15 hari atau PL10 (Anwar dkk, 2007). Larva yang ditebar pada tiap kolam disesuaikan dengan dimensi wadah pemeliharaan. Hal ini bertujuan agar Larva dapat tumbuh dengan maksimal sesuai dengan aturan SNI-7311, (2009). 20 2. Pengelolaan Pakan Pakan yang digunakan umumnya mengandung nutrisi lengkap, tidak rusak dan tidak berjamur. Pakan yang dianjurkan wajib bersertifikat dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB). Tempat penyimpanan pakan wajib terbebas dari hewan pengganggu, seperti tikus, ayam dan serangga, karena dapat menyebabkan masuknya patogen ke pakan. Jenis pakan yang diberikan yaitu pakan alami dan pakan buatan. a). Pakan alami Pakan alami merupakan input dalam pemeliharaan larva udang Vaname (L. vannamei) yang sangat penting, Pakan alami adalah pakan yang diberikan pertama kali pada awal pemeliharaan, yaitu pada stadia (N6 – M3). Menurut Herawati (2014), pakan alami berupa mikroalga seperti jenis diatom dapat memberikan nutrisi yang sangat baik bagi pertumbuhan larva udang. Chaetoceros sp. merupakan jenis diatom yang diketahui memiliki kualitas kandungan nutrisi yang baik bagi larva. Terdapat beberapa skala kultur pakan alami algae Cetoseros sp. yaitu skala laboratorium, skala intermediate, dan skala massal dengan volume yang berbedabeda. Untuk menunjang pertumbuhannya, fitoplankton sangat membutuhkan berbagai macam senyawa anorganik. Senyawa tersebut dapat berupa unsur hara makro yaitu, N, P, K, Na, Si dan Ca maupun unsur makro yaitu, Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo, Co, B dan lain-lain. Unsur hara makro dan mikro tersebut dapat dipenuhi dengan pemberian pupuk (Panjaitan, 2012). Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) dalam Panjaitan, (2012), pupuk pada skala laboratorium dan semi massal (intermediate) biasanya digunakan bahan-bahan pupuk analis sedangkan pada kultur skala massal digunakan bahan-bahan pupuk teknis atau pupuk pertanian seperti ZA, Urea dan TSP. Haemocytometer merupakan Sebuah kaca preparat yang digunakan untuk mengukur objek. Terdapat 3 skala ukur pada kaca Haemocytometer, yaitu 9 kotak besar (2,5mm2, kedalaman 0,1mm), 25 kotak sedang (0,25mm2, kedalaman 0,1mm), dan 625 kotak kecil (0,0025mm2, kedalaman 0,1mm). Kotak tersebut dibatasi oleh garis rangkap yang berisi 16 kotak sudut (Nadillah, 2018). 21 Zooplankton (Artemia salina) digunakan pada pemeliharaan larva di akhir stadia (M3 – PL10). Menurut Susanti, (2015) Artemia diberikan kepada Post Larva udang merupakan Artemia yang memiliki kandungan protein 54,60%. Post Larva membutuhkan protein pada pakan berkisar antara 30 - 55% untuk menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya (Yustianti dkk., 2013). b). Pakan Buatan Pakan buatan adalah pakan tambahan untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang Vaname. Menurut Wahyuni (2011), yang perlu diperhatikan dari pakan tambahan ialah kebutuhan gizi bagi larva udang yang harus terpenuhi. Pakan buatan yang digunakan setidaknya memiliki kandungan protein antara 20 – 70%, dan karbohidrat 20%. Sukarman & Lili, (2011) mengatakan, kandungan mineral pada pakan buatan dapat menjaga proses metabolisme larva. Penggunaan jenis dan dosis pakan menurut (SNI Produksi Udang Vaname, 2009) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penggunaan jenis dan dosis pakan Jenis Pakan Algae 1. Kepadatan (sel/ml) Artemia (g/l/hari) 2. Dosis (larva/hari) 3. Frekuensi (hari) Pakan buatan (g/l/hari) 1. Dosis (larva/hari) 2. Frekuensi (hari) Z1- Z2 Stadia M3Z3- M2 PL1 PL2PL5 PL6PL10 500-100 100-200 50 50 - - - 10-20 20-60 60-80 - - 3-6 3-6 3-6 2,5-3 3-4 4-6 6-8 >8 6 6-8 6-8 6-8 6-8 Menurut (Wyban & Sweeny, 1991 dalam Tahe dkk, 2011), pemberian pakan yang tepat, baik kualitas maupun kuantitas dapat memberikan pertumbuhan yang optimum bagi larva. Sisa pakan yang berlebihan menyebabkan penurunan kualitas air, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan dan sintasan udang. Masing-masing pakan diberikan dengan jumlah dan frekuensi tertentu sesuai dengan stadia larva. Jenis, dosis, dan frekuensi dapat dilihat pada Tabel 3. 22 3. Pengelolaan Kualitas Air Pengelolaan kualitas air mempunyai peranan penting sebagai pendukung kehidupan dan pertumbuhan udang Vaname (Litopenaeus vannamaei). Pengelolaan kualitas air pada masa pemeliharaan larva udang vaname dilakukan dengan beberapa cara, yaitu monitoring, pengecekan kualitas air, pergantian air (water exchange), dan penyiponan. Pengelolaan kualitas air harus dijaga mulai dari awal sampai akhir pemeliharaan agar ikan bisa hidup dengan tenang, tidak pernah mengalami stress, dan pertumbuhan normal (Suastika, 2013). a). Suhu Suhu media (ºC) dapat mempengaruhi fisiologi yang terjadi pada organ tubuh udang Vaname. Masyur dkk, (2013) mengatakan, suhu air yang layak untuk budidaya udang Vaname adalah 28–31ᴼC. Suprapto, (2005) dalam Tahe dkk, (2011) menambahkan, Suhu optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 27-32 ˚C. b). Salinitas Salinitas media (g/l) pada umumnya dapat mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup udang vaname. Udang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada salinitas 15 - 25g/l. Apabila salinitas berada dibawah kisaran 5g/l dan diatas 30g/l, biasanya pertumbuhan udang relatif lebih lambat (Suharyadi, 2011). c). Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (mg/l) merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air. (Suwoyo dkk, 2013) mengatakan Oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang langsung berperan dalam proses metabolisme biota air. Ketersediaan oksigen terlarut dalam air media seringkali menjadi faktor pembatas (Critical factor) bagi kehidupan biota air. Suprapto, (2005) dalam Tahe dkk, (2011), mengatakan bahwa kadar oksigen optimal untuk budidaya udang Vaname berkisar > 3mg/l. d). Posseince of Hydrogen (pH) Wyban & Sweeny, (1991) dalam Tahe dkk, (2011) mengatakan, kisaran pH air yang cocok untuk budidaya udang vaname secara intensif sebesar 7,4 - 8,9 dengan nilai optimum 8,0. (Taqwa dkk, 2008) menambahkan, apabila konsentrasi 23 pH air akan berpengaruh terhadap napsu makan udang dan reaksi kimia di dalam air. Selain itu pH yang berada di bawah kisaran toleransi akan menyebabkan kesulitan ganti kulit dimana kulit menjadi lembek serta kelangsungan hidupnya menjadi rendah. e). Nitrit (NO2) Kadar nitrit (mg/l) yang ada pada media budidaya dapat membahayakan bagi biota yang dipelihara, Kadar nitrit yang terlalu tinggi mampu mengoksidasi Fe didalam hemoglobin, sehingga kemampuan biota untuk mengikat oksigen menurun (Suwoyo dkk, 2004). Tingginya kadar nitrit berkaitan dengan bahan organik, diantaranya penguraian bahan organik oleh mikroorganisme memerlukan oksigen dalam jumlah banyak. f). Alkalinitas Alkalinitas (mg/l) adalah parameter kimia perairan yang menunjukan jumlah ion karbonat dan bikarbonat yang mengikat logam-logam alkali. Nilai ini menggambarkan kapasitas air untuk menetralkan asam atau penyangga terhadap perubahan pH. Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi umumnya tidak disukai oleh organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan atau kadar garam natrium yang tinggi (Effendi, 2003). 4. Hama Dan Penyakit Hama merupakan jenis organisme yang mengakibatkan kerugian bagi pembudidaya. Proses timbulnya hama pada lingkungan budidaya disebabkan oleh lemahnya fungsi biosekuriti yang diterapkan. Hama yang sering ditemukan dalam lingkungan budidaya antara lain ikan liar pada tandon penampungan, Ketam, dan Tritip (Prabowo dkk, 2014). Pengendalian penyakit pada larva dapat dilakukan dengan pencegahan dan pengobatan (Wahyuni, 2011). Penyakit pada udang Vaname disebabkan oleh hasil interaksi kompleks antara tiga komponen dalam ekosistem perairan. 3 komponen tersebut antara lain yaitu inang (udang) lemah, patogen ganas, dan kualitas lingkungan yang buruk (Kasimo dkk, 2004). Patogen tersebut dapat berupa Virus, Jamur, Parasit, dan Bakteri. 24 2.3.3. Pasca Produksi A. Panen Pemanenan sangat ditentukan oleh jarak dan waktu tujuan pengiriman. Pemanenan lebih baik dilakukan pada waktu malam hingga pagi hari atau pada suhu rendah (< 21ºC) dengan tujuan untuk mengurangi resiko kerusakan mutu udang. Selain itu pemanenan malam hari juga untuk menghindari terik matahari dan resiko udang berganti kulit (Briggs, 2011). SNI-7252, (2006) Menyatakan, Kriteria larva siap panen dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kriteria Larva siap panen Kriteria Nauplis Benur 16-18 PL10 0,5 8,5 Prevalensi parasit (%) 0 20 Infeksi Virus (%) 0 0 Keseragaman ukuran (%) - 80 - 80 - 80 - 5 Umur (hari) Panjang (mm) Daya tahan terhadap : 1. Penurunan salinitas dari 30 ppt ke 0 ppt selama 5 menit, min (%) 2. Perendaman formalin 200 (ml/m2) selama 30 menit, %min (%) Prevalensi nokrosis (%) B. Pasca Panen 1. Pengemasan (Packing) SNI-7585, (2010) menyatakan, Pengemasan (Packing) merupakan suatu metode pembungkusan dalam kantong plastik dan pengepakan dalam wadah styrofoam. Pengemasan dilakukan dengan cepat, bersih, tersusun, dan rapih setelah dilakukan pemanenan. Malik, (2014) menambahkan, hal yang tak kalah penting dalam proses pengemasan yaitu. a) Pastikan alat yang dipakai untuk mengangkut benur, seperti plastik, styrofoam, kardus dalam kondisi bersih dari sumber pencemaran. b) Jumlah benur PL10-12 dalam kantong plastik berkisar 2000-3000ekor/liter untuk transportasi jarak dekat (pengangkutan di bawah 12 jam). Sedangkan 25 untuk transportasi jarak jauh (pengangukutan > 12 jam), lebih diutamakan ukuran benur yang lebih kecil (PL 9) dengan kepadata n dalam kantong plastik berkisar 2000-3000ekor/liter. c) Lakukan penurunan suhu air media angkut 0-24°C untuk pengangkutan benur lebih dari 3jam perjalanan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi metabolisme. d) Salinitas media angkut minimal 25g/l untuk perjalanan lebih dari 12 jam dan minimal 20g/l untuk pengangkutan jarak dekat. e) DO air media angkut sampai di tempat tujuan minimal 4mg/l perbandingan air dan oksigen dalam kantong plastik (wadah angkut) adalah 1:3 untuk perjalanan maksimum 15jam apabila perjalanan lebih dari 15jam sebaiknya dilakukan. 2. Pemasaran Kalesaran (2010) mengatakan, Pemasaran merupakan sebuah kegiatan pendistribusian Larva dengan cara mengirimkan kepada pembeli. Pemasaran larva udang Vaname dilakukan dengan transportasi tertutup dan terbuka. Pengangkutan metode tertutup dilakukan apabila tujuan pengiriman diluar pulau (Bandara dan Pelabuhan), sedangkan pengakutan dengan metode terbuka dilakukan apabila jarak antara unit produksi dengan lokasi pembesaran tidak jauh (mobil dan Truk). 2.4. Analisa Finansial a. Biaya Investasi Biaya investasi merupakan dana yang dialokasikan kedalam suatu usaha selama usaha dijalankan. Investasi meliputi segala infrastruktur yang berkaitan dengan proses produksi. Jangka waktu investasi biasanya lebih dari satu tahun. Dalam perhitungan analisis yang bersifat kuantitatif biaya investasi akan mengalami penyusutan berdasarkan pada selisih antara nilai beli dengan nilai residu terhadap umur infrastruktur yang digunakan selama proses budidaya berlangsung. b. Biaya Tetap Biaya Tetap merupakan biaya yang jumlahnya tetap, tidak tergantung kepada perubahan tingkat kegiatan dalam menghasilkan keluaran atau produk di dalam interval tertentu. Besarnya biaya tetap tidak akan dipengaruhi oleh tingkat operasi 26 pada periode waktu tertentu. Biaya Tetap dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan meskipun tidak operasional (Adi, 2011). c. Biaya Variabel Biaya Variabel merupakan biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan tingkat produksi. Besarnya biaya Variabel bervariasi mengikuti secara proporsional dengan jumlah produk yang dihasilkan, biaya variabel akan nol / tidak ada apabila tidak dilakukan kegiatan produksi (Adi, 2011). d. Laba Rugi Laba Rugi merupakan besarnya hasil, apakah mendapat keuntungan atau kerugian dalam suatu periode (Umar, 1997). Perhitungan dilakukan dengan memperkirakan seluruh pendapatan dan seluruh biaya beserta selisihnya, sehingga dapat diketahui apakah usaha mengalami laba atau rugi (Sumardika, 2013). Pajak produksi pada suatu perusahaan sebesar 5-25% dari keuntungan yang didapatkan. e. Revenue Cost Ratio Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) adalah perbandingan atau net benefit yang telah didiscount bernilai positif dengan net benefit yang telah didiscount yang bernilai negatif. Jika R/C Ratio lebih besar dari suatu, berarti gagasanusaha layak untuk dikerjakanan dan jika lebih kecil dari satu berarti tidak layak untuk dikerjakan. f. Break Even Point Break Even Point (BEP) adalah suatu analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel didalam kegiatan perusahaan. Variabel tersebut seperti luas produksi atau tingkat produsksi yang dilaksanakan, biaya yang dikeluarkan, serta pendapatan yang diterima perusahaan dari kegiatannya. Pendapata perusahaan merupakan penerimaan yang dihasilkan dari kegiatan perusahaan (Umar, 1997). g. Payback Periode Payback Periode (PP) adalah teknik penilaian terhadap jangka waktu pengembalian investasi suatu proyek atau usaha. Perhitungan ini dapat dilihat dari 27 perhitungan kas bersih yang diperoleh setiap tahunnya. Nilai kas bersih merupakan penjumlahan laba setelah pajak ditambah dengan penyusutan (Kasmir & Jakfar, 2003). 2.5. Identifikasi Masalah Metode mengidentifikasi masalah yang sering digunakan yaitu Fishbone Diagram atau Ishikawa Diagram (Kusnadi, 2013). Metode Fishbone digunakan untuk menganalisis masalah dan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah tersebut (Khodijah, 2015). Suatu tindakan dan langkah improvement akan lebih mudah dilakukan jika masalah dan akar penyebab masalah sudah ditemukan. (Purba, 2008 dalam Kusnadi, 2013). Diagram Fishbone dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan baik pada level individu, tim, maupun organisasi (Asmoko, 2013). a. Langkah-langkah Penyususan Diagram Fishbone 1. Membuat kerangka Diagram Fishbone Menurut Asmoko, (2013) Kerangka Diagram Fishbone terdiri dari kepala ikan, sirip, dan duri. Kepala ikan yang diletakkan pada bagian kanan, menyatakan masalah utama. Bagian kedua merupakan sirip, yang akan digunakan untuk menuliskan kelompok penyebab permasalahan. Bagian ketiga merupakan duri yang akan digunakan untuk menyatakan penyebab masalah. Kerangka Diagram Fishbone dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Diagram Fishbone (Asmoko, 2004) 28 2. Merumuskan masalah utama. Masalah utama akan ditempatkan pada bagian kanan dari Diagram Fishbone atau ditempatkan pada kepala ikan. Langkah pengerjaan diagram Fishbone adalah sebagai berikut. a) Mencari faktor utama yang berpengaruh pada permasalahan. Langkah ini dilakukan dengan teknik brainstorming. Menurut Scarvada (2004), penyebab permasalahan dapat dikelompokkan dalam enam kelompok yaitu materials (bahan baku), machines and equipment (mesin dan peralatan), manpower (sumber daya manusia), methods (metode), Mother Nature/environment (lingkungan), dan measurement (pengukuran). b) Menemukan penyebab untuk masing-masing kelompok penyebab masalah. Penyebab ini ditempatkan pada duri ikan. c) Langkah selanjutnya setelah masalah dan penyebab masalah diketahui, kita dapat menggambarkannya dalam Diagram Fishbone. b. Manfaat penggunaan Diagram Fishbone 1. Memfokuskan individu, tim, atau organisasi pada permasalahan utama 2. Menentukan kesepakatan mengenai penyebab suatu masalah 3. Membangun dukungan anggota tim untuk menghasilkan solusi 4. Memudahkan visualisasi hubungan antara penyebab dengan masalah 5. Memudahkan tim untuk melakukan diskusi dan menjadikan diskusi lebih terarah pada masalah dan penyebabnya. 29 BAB III METODE PRAKTIK 3.1. Waktu dan Tempat Praktik Integrasi dilaksanakan selama 2 bulan yang terbagi atas 2 lokasi. 1. 01 September s/d 30 September 2019 di Hatchery PT. Suri Tani Pemuka – Carita, Jalan Banjarmasin, Kecamatan Banjarmasin, Carita, Kota Pandeglang, Provinsi Banten, 42264. 2. 01 Oktober s/d 30 Oktober 2019 di Hatchery PT. Suri Tani Pemuka – Anyer, Jalan Raya Anyer, Kecamatan Karang Suraga, Anyer, Kota Serang, Provinsi Banten. 42167. 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam praktik dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5. Alat yang digunakan Alat Spesifikasi Jumlah DO meter (mg/l) Ketelitian 0,1 1 Refraktometer (g/l) Ketelitian 0,1 3 Pengukur salinitas Thermometer digital (ºC) Ketelitian 0,1 38 Pengukur suhu Nitrit test kit (mg/l) Ketelitian 0,1 1 Pengukur kandungan nitrit pH meter Ketelitian 0,1 2 Pengukur derajat keasaman Alkalinitas (mg/l) Ketelitian 0,4 1 Pengukur tingkat alkalinitas Ketelitian 1 2 Pengukur berat pakan larva Ketelitia 1 1 Pengukur berat pakan induk Timbangan digital (mg) Timbangan gantung (hg) Kegunaan Pengukur kandungan oksigen Dilanjutkan dalam lampiran 1. 30 Tabel 6. Bahan yang digunakan Bahan Spesifikasi Induk Jantan a. Berat : 30 - 35g b. Panjang : 16 - 20cm Betina a. Berat : 40 - 45g b. Panjang : 17 -23cm Jumlah Siklus III a. jantan 540 ekor b. betina 592 ekor Siklus IV a. jantan 600 ekor b. betina 700 ekor Kegunaan Probiotik Epicin – D 10 kaleng Sebagai pengurai ammonia Kaporit Clorine 60% 5 drum Treatment air dan Sterilisasi Bak Povidone iodine Iodine 97% 7 pack Kantong naupli Formalin Formalin 40 % 5 drum Sterilisasi air Sebagai biota penghasil naupli Dilanjutkan dalam lampiran 2. 3.3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan dua metode yaitu observasi dan partisipasi aktif. Observasi dilakukan dengan pengamatan dilapangan yang meliputi seluruh alur proses produksi. Partisipasi dilakukan dengan cara ikut melakukan kegiatan dilapangan secara langsung dalam proses menghasilkan Larva hingga siap jual. Data primer dan data sekunder dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Tabel 7. Data Primer Kegiatan Kesesuaian lokasi Persiapan media Data yang dikumpulkan Sumber air, sumber listrik, aksesbilitas, anstalasi aerasi. Layout, jumlah kolam, dimensi, kontruksi, dosis Sterilisasi, dan durasi pengeringan Asal air laut, asal air tawar, perlakuan, treathment, dosis Persiapan media bahan untuk sterilisasi, langkah kerja sterilisasi, dan volume perlakuan. Dilanjutkan dalam lampiran 3. 31 Tabel 8. Data Sekunder No Kegiatan Data yang dikumpulkan Dokumen perusahaan (denah 1. Keadaan umum lokasi perusahaan, struktur organisasi perusahaan, visi dan misi perusahaan, dan Google Map Form laropan produksi perusahaan 2. Data produksi (pakan induk, pakan larva, data tebar, data panen, data siklus produksi, data kedatangan induk Print Out (dosis treathment persiapan 3. Standar Operasional Prosedur media, dosis fumigasi, dosis sterilisasi, dan dosis treathment biosekuriti 3.4. Metode Kerja 3.4.1. Kesesuaian Lokasi a. Mengamati sumber listrik (tenaga listrik, dan tenaga pembangkit listrik yang digunakan) b. Mengamati sumber air 1. Air laut (asal air laut, jarak pengambilan air laut, pemilihan lokasi pengambilan, kedalaman, plataran) 2. Air tawar (asal air tawar, kedalaman, jarak pendistribusian) c. Mengamati instalai aerasi (sumber aerasi, daya aerasi, pendistribusian) d. Mengamati biosekuriti (jenis biosekuriti, kegunaan biosekuriti yang diterapkan, dosis zat kimia yang digunakan) e. Mengamati sarana penunjang (jenis sarana, kegunaan bangunan produktif dan non produksif) 3.4.2. Persiapan Wadah a. Mengamati wadah yang digunakan dalam produksi larva (menyiapkan alat dan bahan yang digunakan, mengukur dimensi wadah, mengidentifikasi kontruksi wadah, dan menelaah fungsi wadah) 32 b. Mengamati layout divisi induk (mengidentifikasi sarana dan prasarana yang dimiliki) c. Mengamati layout divisi larva (mengidentifikasi sarana dan prasarana yang dimiliki) d. Mengamati alat dan bahan yang digunakan dalam pencucian wadah e. Mengamati dan ikut melakukan kegiatan dalam mempersiapkan wadah f. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.3. Persiapan Media a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam mempersiapkan media b. Mengamati layout persiapan media c. Mengamati dan ikut melakukan kegiatan dalam mempersiapkan media d. Mengamati dosis zat kimia yang digunakan e. Mengamati kegunaan alat dan bahan yang digunakan f. Mengamati dan ikut melakukan penurunan salinitas pada tandon siap pakai g. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.4. Pengadaan Induk a. Mengamati kedatangan induk (asal induk, penanganan induk, pengemasan dan pemasaran yang diterapkan) b. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan untuk sampling kedatangan induk c. Mengamati dan ikut melakukan sampling induk (jumlah, kelengkapan bagian tubuh, berat, dan panjang) d. Mengamati hasil uji PCR, dan uji mikro biologi e. Mengamati dan ikut melakukan pra aklimatisasi induk (membuka kemasan dan penyesuaian kualitas air) f. Mengamati dan ikut melakukan Penebaran dan pemerataan jumlah induk g. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.5. Karantina Induk a. Mengamati lama masa karantina b. Mengamati fungsi dan tujuan diadakannya karantina 33 c. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan pakan (jenis, dosis, pengolahan, frekuensi, dan perhitungan pakan yang dibutuhkan selama karantina) d. Mengamati dan ikut melakukan Pengelolaan kualitas air (alat dan bahan yang diterapkan, dan pergantian air) e. Mengamati dan ikut melakukan treatment dan pengolahan air induk (alat dan bahan yang diterapkan, kegunaan, dan kegunaan) f. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.6. Ablasi Mata a. Mengamati waktu pelaksanaan ablasi mata b. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan c. Mengamati dan ikut melakukan tekhnik pemotongan yang diterapkan d. Mengamati tujuan dilakukannya ablasi mata e. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.7. Pemeliharaan Induk a. Mengamati lama pemeliharaan b. Mengamati perbedaan induk dalam menghasilkan naupli berdasarkan lama pemeliharaan c. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan pakan (Jenis, pengolahan, dosis, frekuensi, dan perhitungan pakan yang dibutuhkan selama pemeliharaan induk) d. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan suplement (Jenis, pengolahan, dosis, frekuensi, dan perhitungan supplement yang dibutuhkan selama pemeliharaan induk) e. Mengamati dan ikut melakukan cara pemberian pakan f. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan kualitas air (alat dan bahan yang diterapkan, pergantian air, treathment yang diterapkan g. Mengamati dan ikut melakukan Treatment penyakit pada induk (alat dan bahan yang diterapkan, kegunaan, dan pengoperasian) h. Mengamati dan ikut menghitung performa induk dalam menghasilkan telur dan naupli i. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 34 3.4.8. Maturasi, Pemijahan, dan Penanganan Telur a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan b. Mengamati alur proses produksi naupli c. Mengamati dan ikut melakukan sampling induk matang gonad (waktu, pemilihan induk, dan pemindahan induk) d. Mengamati dan ikut melakukan sampling induk terbuahi (waktu, pemilihan induk, dan pemindahan induk) e. Mengamati dan ikut melakukan dalam menenetasan telur (waktu, alat dan bahan yang digunakan, dan penanganan yang diterapkan) f. Mengamati dan ikut melakukan penghitungan fekunditas, telur terbuahi, dan Penetasan telur g. Mengamati dan ikut melakukan pengamatan telur secara mikroskopik (perkembangan fase, dan waktu perkembangan) h. Mengamati dan ikut melakukan Pemanenan naupli (waktu, alat dan bahan yang digunakan, dan penanganan yang diterapkan i. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.9. Penebaran Naupli a. Menyiapkan alat dan bahan b. Mengukur jarak penebaran c. Mengamati dan ikut melakukan pengangkutan naupli d. Mengamati dan ikut melakukan aklimatisasi pada bak pemeliharaan larva (waktu, dan penanganan yang diterapkan) e. Mengamati dosis zat kimia dan desinfeksi wadah pengemasan f. Mengamati dan menghitung data penebaran naupli g. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.10. Pengelolaan Pakan Larva a. Menyiapkan alat dan bahan b. mengamati jadwal pemberian pakan (jenis pakan, waktu, dan frekuensi) c. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan pakan alami algae (dosis pupuk, pembuatan pupuk, proses skala kultur, standar stadia, menghitung kepadatan, dan pengamatan pertumbuhan) 35 d. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan pakan alami artemia (dosis, dan proses dekapsulasi, standar stadia, dan pengangkutan) e. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan pakan buatan (jenis, dosis, dan standar stadia, pakan yang terpakai, dan pemberian pakan) f. Mengamati dan ikut melakukan penimbangan pakan sebelum diberikan g. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.11. Pengamatan Kualitas Air a. Menyiapkan dalat dan bahan yang digunakan b. Mengamati dan ikut melakukan pengukuran kualitas air (jenis, frekuensi, dan penentuan stasiun pengamatan) c. Mengolah data kualitas air d. Mengamati dan ikut melakukan proses pergantian air e. Mengamati dan mengukur debit air yang tergantikan f. Mengamati dan ikut melakukan pemberian probiotik (jenis, dosis, frekuensi, dan kegunaan probiotik) g. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.12. Pertumbuhan a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan b. Mengamati dan ikut melakukan sampling harian (pengambilan sampel, pengamatan stadia, populasi, hama dan penyakit, serta pengamatan keseragaman) c. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.13. Pengelolaan Penyakit a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan b. Mengamati dan ikut melakukan pembuatan media agar (jenis media agar, dan dosis zat agar, jenis baktreri yang dapat tumbuh) c. Mengamati dan ikut melakukan inokulasi bakteri (metode pengambilan, dan titik pengambilan) d. Mengamati penyakit yang ditemukan (jenis, penyebab, dan penanganan) e. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 36 3.4.14. Pengelolaan Limbah a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan b. Mengamati dan ikut melakukan proses pengelolaan limbah (penerapan bioskrining dan biofilter yang digunakan) c. Mengamati dan ikut melakukan proses perawatan bak (dosis bahan, dan frekuensi) d. Mengidentifikasi biosekuriti yang diterapkan (jenis, kegunaan, dan doses zat kimia yang digunakan) e. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.15. Panen a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan b. Mengamati dan ikut melakukan proses pemanenan (waktu, dan persyaratan) c. Mangamati dan ikut melakukan perhitungan hasil panen d. Mengamati dan ikut melakukan sampling panen (populasi, pannjang ratarata, isi usus, lipid, dan penyakit) e. Mengamati dan ikut melakukan aklimatisasi (pengangkutan, proses aklimatisasi, lama aklimatisasi, fungsi aklimatisasi, dan dosis zat kimia yang digunakan) f. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.4.16. Pasca Panen a. Menyiapkan alat dan bahan yang diguankan b. Mengamati dan ikut melakukan pengemasan (waktu, jenis, dan penakaran) c. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan) 3.5. Metode Pengolahan Data 3.5.1. Aspek Teknik a. Fekunditas (Ramdani, 2013) Fekunditas = Volume bak (ml) x Rata-rata sampel telur (butir) Volume sampel (ml) 37 b. Fertilization Rate (FR) (Ramdani, 2013) FR = Rata−rata sampel terbuahi(butir) Jumlah sampel (butir) x 100% c. Hatching Rate (HR) (Ramdani, 2013) HR = Rata−rata sampel menetas (butir) Jumlah sampel (butir) x 100% d. Estimasi populasi larva (Sarwono dkk., 2014) Populasi = Jumlah larva (ekor) Volume sampel (ml) x Volume media (ml) e. Survival Rate (SR) (Yustianti dkk., 2012) Populasi akhir (ekor) SR = Populasi awal (ekor) x 100% f. Kelimpahan algae (Vf) (Nadillah, 2018) Volume sampel (ml) = Luas kotak (ml) x Kedalaman kotak Di = ni x Keterangan. Vs Ve xA 38 Di = Kelimpahan jenis i (sel/l) ni = Jumlah individu jenis i Vs = Total volume seluruh sampel (ml) Ve = Volume sampel yang dihitung [(jumlah kotak)(Vf)](ml) A = Volume sampel air yang disaring (l) g. Kebutuhan algae pada kolam pemeliharaan larva (Ka) Ka = Sd– Sa Di xV Keterangan. Ka = Kebutuan (sel/ml) Sd = Standar stadia (sel/ml) Sa = Sisa algae (sel/ml) Di = Kelimpahan algae massal (sel/ml) V = Volume bak (ml) h. Pengenceran Penurunan salinitas V1.N1 = V2.N2 Keterangan. V1 = Volume awal (l) V2 = Volume setelah pengenceran (l) N1 = Salinitas awal (mg/l) N2 = Salinitas yang dikehendaki (mg/l) i. Alkalinitas (mg/l) Alkalinitas (mg/l) = (V.N)𝐻2𝑆𝑂4 𝑥 𝐵𝐸 𝐶𝑎𝐶𝑜3 𝑥 1000 Volume sampel 39 3.5.2 Analisis Finansial a. Penyusutan Penyusutan(Rp) = biaya pembangunan (Rp)−perkiraan nilai sis(Rp) umur ekonomis (tahun) b. Laba rugi (Widodo & Syukri, 2015) Laba/Rugi (Rp) = Total pendapatan (Rp) -Total Biaya (Rp) c. Payback Periode (PP) (Sumardika, 2013) PP (Rp) = Investasi (Rp) x 1 tahun Penerimaan tahunan (Rp) d. Break Even Point (BEP) (Primyantato, 2011) BEP Harga (Rp) BEP Unit (Rp) biaya tetap (Rp) biaya variabel (Rp) 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 (𝑅𝑝) 1− biaya tetap (Rp) biaya variabel (Rp) 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 (𝑅𝑝) Harga jual unit (Rp)− d. Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) (Hamid & Kamisi, 2012) R/C Ratio = Total pendapatan Total biaya 40 3.6. Identifikasi Masalah a. Metode (methods) : mencari suatu permasalahan pada ruang lingkup metode budidaya yang dilakukan. b. Bahan (material) : mencari suatu permasalahan pada ruang lingkup bahan yang digunakan. c. Orang (mans) : mencari suatu permasalahan pada ruang lingkup karyawan dalam menjalankan kegiatan. d. Alat (machine) : mencari suatu permasalahan pada alat yang digunakan dalam menjalankan produksi. 41 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI 4.1. Lokasi Perusahaan PT. Suri Tani Pemuka (STP) Carita terletak di Desa Banjarmasin, Kecamatan Banjarmasin, Kabupaten Carita, Kota Pandeglang, Provinsi Banten. Luas area yang dimiliki oleh PT. STP - Carita sebesar 16.000 m2. Pemanfaatan area perusahaan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Pemanfaatan area perusahaan Divisi area MEWT (water treatment) Pemeliharaan induk Pemeliharaan larva Pemeliharaan Algae QC (Quality Control) Lahan non produktif Luas area (m2) Persentase (%) 2.400 15 1.600 10 1.600 10 1.600 10 800 5 8.000 50 Total pemanfaatan area yang digunakan sebagai lahan produktif yaitu sebesar 8.000m2 atau 50% dari total luas area yang dimiliki. Lahan non produktif terdiri dari jalan, kantor, mes, pos jaga dan pekarangan. Lokasi perusahaan dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Lokasi Perusahaan 42 Lokasi PT. STP - Carita sangat strategis karena dekat dengan sumber air yang tersedia sepanjang tahun baik untuk sumber air laut maupun air tawar. Selain itu, lokasi terhindar dari pencemaran limbah karena jauh dari lokasi pabrik dan jalur pelayaran. Secara aspek sosial ekonomi, lokasi perusahaan dekat dengan pemukiman penduduk sehingga mudah dalam memperoleh atau merekrut tenaga kerja dan instalasi tenaga listrik. Lokasi yang dekat dengan jalan raya, memudahkan perusahaan untuk mendistribusikan penjualan dan pengiriman barang. Objek sekitar lokasi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Objek sekitar lokasi Mata angin Utara Timur laut Timur Tenggara Selatan Barat daya Barat Barat laut Keterangan (objek/km) < 50 Selat Sunda < 10 < 100 Selat Sunda Selat Sunda Wisata Pantai Wisata Kuliner Carita Pantai Carita Karang Tumpeng Perumahan Persawahan Gunung Karang Perumahan Perumahan Kaki gunung Karang Perumahan Perumahan Perumahan Taman Nasional Jalur pelayaran Perumahan Ujung kulon Selat Sunda Krakatau Samudra Hindia Selat Sunda Selat Sunda Pulau Sumatra 4.2. Sejarah dan Perkembangan PT. Suri Tani Pemuka (STP) - Carita adalah salah satu anak perusahaan dari PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. PT. STP didirikan pada tahun 1996 dengan nama Duta Benur yang membuka usaha dibidang Hetchery udang Windu (Penaeus monodon). Pada tahun 2003 beralih pembenihan udang Vaname (L. vannamei) karena kebutuhan pasar indonesia. Pada tahun 2011 Duta Benur berganti nama menjadi PT. Suri Tani Pemuka hingga sekarang. Berikut adalah Visi dan Misi yang dimiliki oleh PT. STP. a. Visi perusahaan Adapun visi dari PT. STP yaitu sebagai “a total solution company”, dibangun atas dasar keyakinan dalam membina hubungan yang saling menguntungkan, 43 berdasarkan kepercayaan dan integritas. Bersama seluruh pihak-pihak terkait, perseroan selalu mengambil posisi pro-aktif dalam mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan. b. Misi perusahaan Menjadi penyedia produk pangan berprotein terjangkau di Indonesia yang terkemuka dan terpercaya, berlandaskan kerjasama dan pengalaman teruji, dalam upaya memberikan manfaat bagi seluruh pihak terkait. Logo PT. Suri Tani Pemuka dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Logo PT. Suri Tani Pemuka 4.3. Sruktur organisasi perusahaan Struktur organisasi PT. Suri Tani Pemuka - Carita dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Struktur organisasi PT. Suri Tani Pemuka – Carita 2019 44 PT. STP memiliki beberapa divisi dalam produksi larva. Divisi tersebut antara lain divisi Larva, divisi Induk, divisi Pakan alami, divisi Mechanical Enginering and Water Treathment MEWT, dan divisi Quality Control (QC). Setiap bagian Divisi memiliki peran dan tanggung jawab penting dalam kegiatan produksi. PT. Suri Tani Pemuka – Carita dan Anyer dikepalai oleh Bapak Tirza Irwanda. Setiap Divisi memili kepala bagian diantaranya, Divisi induk dikepalai oleh Bapak Deffi Hendra, divisi larva dikepalai oleh bapak Rohani, divisi MEWT dikepalai oleh Bapak Odang Edi Kurniawan, pada bagian divisi Pakan alami dikepalai oleh bapak Sudarsono, pada bagian divisi Quality Control dikepalai oleh Ibu Soesi Kurniati. Sedangkan pada kegiatan penunjang, seperti marketing dan penjualan dikepalai bapak Syaheri dan bapak Imam Nugroho. 45 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pra Produksi 5.1.1. Kesesuaian Lokasi a. Sumber listrik Sumber tenaga listrik berasal dari PLN (Perusahaan Listrik Negara). Daya total listrik yang dimiliki sebesar 6600 kVA. Sumber tenaga listrik yang digunakan untuk kegiatan produksi sebesar 3.800 kVA. Genset digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik sekunder apabila terjadi kerusakan atau pemadaman listrik. Genset yang dimiliki bermerk Honda ET120000 dengan daya 660 kVA. Genset dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Genset Honda – ET120000 b. Sumber air Air laut yang digunakan untuk pemeliharaan berasal dari Selat Sunda. Jarak pengambilan air laut diukur melalui pipa inlet dengan jarak 200m dari garis pantai. Lokasi pengambilan yang dipilih yaitu dengan dasar batu berpasir dengan kedalaman 4m dari surut terendah. Air tawar yang digunakan dilokasi berasal dari sumur bor. Sumur bor dibuat berada di tengah lokasi perusahaan, bertujuan agar air lebih mudah untuk didistribusikan. Sumur bor yang digunakan memiliki kedalaman 8m dari daratan. Lokasi pengambilan air laut dapat dilihat pada Gambar 16. 46 Gambar 16. Lokasi pengambilan air laut c. Instalasi aerasi Mesin blower yang digunakan sebagai sumber tenaga yaitu merk ShowfouBS.GE dengan spesifikasi, daya listrik 40 (HP), daya hisap 1500 (mmAq), percepatan hisap 0,23 – 114 (m3-min), dan maksimum percepatan 9 (m/min). Root blower yang digunakan untuk suplai oksigen berjumlah 3 jalur. Oksigen yang dihasilkan didistribusikan pada divisi induk, larva, dan algae. Instalasi aerasi dialirkan menggunakan pipa 2 - 4inch sebelum disuplai ke bak media pemeliharaan. Instalasi aerasi dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Instalasi aerasi Keterangan. A. Mesin blower merk Showfou-BS.GE (3 Root Blower) B. Instalasi Pipa PVC berukuran (instalasi 2 - 2,5 inch, dan tampung kejut 4 inch) C. Pendistribusian aerasi ke wadah budidaya 47 d. Sarana penunjang Sarana penunjang didalam perusahaan dijelaskan melalui layout. Layout sarana penunjang dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Layout sarana penunjang 5.1.2. Persiapan Wadah Wadah yang digunakan dalam menghasilkan Larva mulai dari pengadaan induk hingga pemanenan larva dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Wadah yang digunakan dalam produksi Larva Jenis Wadah Bak karantina induk Bak pemeliharaan induk (Maturasi dan Pemijahan) Jumlah 4 4 6 Tank Spawning dan Hatching nauplii 12 Tank Holding nauplii 4 12 Bak pemeliharaan larva 10 Dimensi (7,5x5x1,5)m Vol. 39 m3 (12x5x1,5)m Vol. 90 m3 (7x5x1,5)m Vol. 52,5 m3 Tinggi : 1m Diameter : 1,4m Vol. 1500 liter Tinggi : 1,2m Diameter : 0,8m Vol. 600 liter (4,7x3,7x1,2)m Vol. 21 m3 (5,5x4,5x1,2)m Vol. 29,7 m3 Kegunaan Bak pemeliharaan induk dalam masa pengawasan Bak pemeliharaan induk siap produksi mulai dari pematangan gonad hingga induk betina terbuahi Bak peneluran dan bak penetasan telur setelah induk betin terbuahi Bak penampungan nauplii setelah menetas hinnga siap ditebar ke bak pemeliharaan larva Bak pemeliharaan larva mulai dari naupli 5i, zoea, mysis, dan post larva siap panen 48 1. Divisi Induk Divisi induk terdiri dari 3 bangunan utama, yaitu ruang karantina induk, ruang pemeliharaan induk, dan rang penanganan telur. Pada ruang karantina induk, terdapat 4 bak karantina yang terdiri dari 2 bak jantan dan 2 bak betina. Pada ruang penanganan telur, terdapat 12 bak penanganan telur yang terdiri dari 6 bak untuk induk siklus III dan 6 bak untuk induk siklus IV. Sedangkan pada ruang pemeliharaan induk, terdapat 2 jenis bak yang diperuntukkan untuk maturasi induk betina (nomor genap) dan pemijahan yang berisi induk jantan (nomor ganjil). Disamping itu terdapat ruang packing naupli, ruang perlengkapan, ruang administrasi, gudang perlengkapan dan ruang merucah pakan.Layout bangunan produktif pada divisi induk dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Layout bangunan divisi Induk a. Bak karantina induk Kontruksi bak karantina terbuat dari bahan semen (beton), berbentuk persegi panjang dengan sudut tumpul. Dinding bak berwarna gelap, sedangkan dasar bak berwarna lebih cerah. Hal ini sesuai dengan Subaidah, dkk (2008), yang mengatakan warna dinding bak dicat lebih gelap agar udang tidak menabrak dinding bak. Dimensi dan kontruksi bak karantina dapat dilihat pada Gambar 20. 49 Gambar 20. Dimensi dan kontruksi bak karantina Pencucian dilakukan dengan menggunakan alat scouring pad (busa kasar) dengan bahan berupa detergen 46g/l dan Oxalic Acid (C2H2O4) 500g/l pada masingmasing bak. Pengeringan bak dilakukan selama 3-4 hari hingga induk (broodstock) siap ditebar pada bak karantina. Pencucian peralatan instalasi aerasi (batu aerasi, pemberat, dan selang aerasi) menggunakan cara perendaman formalin 90% dengan 100ml/l. Perendaman dilakukan selama 24 jam, kemudian bilas dengan air tawar, dan jemur dibawah sinar matahari secara langsung. Ernawati & Rochmady, (2017) menambahkan, perlengkapan aerasi sebelum digunakan untuk pemeliharaan sebaiknya dilakukan klorinasi menggunakan Clorine dengan dosis 100mg/l selama 1 hari. b. Bak pemeliharaan induk (maturasi dan pemijahan) Kontruksi bak pemeliharaan induk terbuat dari bahan semen (beton), berbentuk persegi panjang dengan sudut tumpul. Dinding bak berwarna gelap, sedangkan dasar bak berwarna lebih cerah. Hal ini sesuai dengan Subaidah, dkk (2008), yang mengatakan warna dinding bak dicat lebih gelap agar udang tidak menabrak dinding bak. Dimensi dan kontruksi bak pemeliharaan induk dapat dilihat pada Gambar 21. 50 Gambar 21. Dimensi dan kontruksi bak pemeliharaan Induk Pencucian wadah dilakukan untuk menghilangkan kotoran dan sisa pakan yang menempel. Pencucian dilakukan menggunakan alat scouring pad (busa kasar) dengan bahan berupa Detergen 46g/l dan Oxalic acid (C2H2O4) 500g/l pada masingmasing bak. Selanjutnya seluruh bagian bak dibilas menggunakan air tawar hingga bersih, kemudian dikeringkan selama 3-4 hari. Pencucian dilakukan hanya ketika induk (broodstock) baru datang. Pencucian peralatan instalasi aerasi (batu aerasi, pemberat, dan selang aerasi) menggunakan cara perendaman dengan formalin 90% dengan dosis 100 ml/l. Perendaman dilakukan selama 24 jam, kemudian bilas dengan air tawar, jemur dibawah sinar matahari secara langsung. Ernawati & Rochmady, (2017) menambahkan, peralatan aerasi sebelum digunakan untuk pemeliharaan sebaiknya dilakukan klorinasi menggunakan Clorine dengan dosis 100mg/l selama 1 hari. c. Tanki penanganan telur (Hatching & Spawning tank) Tanki penanganan telur terbuat dari bahan fiber berbentuk silinder. Outlet tank penanganan telur menggunakan pipa goyang berukuran 2,0 inch. Instalasi aerasi pada bak penanganan telur tidak ditanam, hal ini bertujuan agar lebih mudah untuk dibersihkan. Dimensi dan kontruksi tank penanganan telur dapat dilihat pada Gambar 22. 51 Gambar 22. Dimensi dan kontroksi tank penanganan Telur Jarak antara Batu aerasi dengan dasar tank sekitar 4-8 cm. Pencucian tank dilakukan pada sore hari setelah pemanenan Naupli. Bahan yang digunakan untuk mencuci yaitu Detergen dengan dosis 46gr/l, kemudian Seluruh bagian tank digosok menggunakan scouring pad (busa kasar). Pengeringan dilakukan selama 34 jam sebelum digunakan kembali. Ernawati & Rochmady, (2017) menambahkan, pencucian wadah sebaiknya menggunakan detergen, klorin, atau bahan desinfektan lainnya. wadah yang telah dicuci dan dikeringkan, kemudian disusun pada letak semula. d. Tanki penampungan Naupli (holding tank) Tank penampungan naupli berbentuk silinder dengan alas kerucut, terbuat dari fiber dengan warna hitam keseluruhan. Kegiatan persiapan wadah pada tank penampungan Naupli dilakukan dengan mencuci tank dengan Detergen 23g/l dan kaporit dengan bahan aktif clorine 60% sebanyak 30 mg/l, kemudian Seluruh bagian bak digosok menggunakan scouring pad (busa kasar). Pengeringan dilakukan selama 3-4 jam sebelum digunakan kembali. Dimensi dan kontruksi tank penampungan naupli dapat dilihat pada Gambar 23. 52 Gambar 23. Dimensi dan kontruksi tank penampungan Naupli 2. Divisi Larva Unit STP - Carita, memiliki bak pemeliharaan larva 2 modul yaitu modul A yang terdiri dari 10 petak besar, dan modul B yang terdiri dari 12 petak kecil. Ruang panen dibangun disebelah ruang pemeliharaan larva agar lebih mudah untuk dilakukan pemanenan. Ruang istirahat digunakan untuk piket malam. Layout bangunan pada divisi Larva dapat dilihat pada Gambar 24. Gambar 24. Layout bangunan divisi Larva 53 a. Bak pemeliharaan larva Bak pemeliharaan larva terbuat dari semen (beton) dengan sudut tumpul. Instalasi suplai oksigen menggunakan pipa paralon 1 inch yang dilubangi dengan jarak antar titik aerasi 60 x 110cm. Bak pemeliharaan larva memiliki daya tampung sebesar 50.000l dengan ketebalan dinding sebesar 19cm. Outlet pembuangang menggunakan pipa goyang berukuran 4inch. Dimensi dan kontruksi bak pemeliharaan Larva dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 25. Dimensi dan kontruksi bak pemeliharaan Larva Pencucian bak menggunakan Detergen dengan dosis 46 g/l dan dicampur dengan Oxalic acid (C2H2O4) dengan dosis 500g/l pada masing-masing bak pemeliharaan. Seluruh bagian bak digosok menggunakan scouring pad (busa kasar), kemudian dikeringkan selama 1-2 hari atau hingga dimulai siklus produksi berikutnya. Perendaman peralatan seperti, pemberat, selang aerasi, dan T aerasi menggunakan Kaporit berbahan aktif Clorine 60% sebanyak 30mg/l. kemudian jemur peralatan tersebut dibawah sinar Matarahi secara langsung. Pencucian plastik atau mika penutup bak hanya menggunakan Detergen dengan dosis 46g/l, kemudian digosok hingga sisa pakan yang menempel pada plastik hilang. Selanjutnya plastic di jemur pada ruang penjemuran. 54 5.1.3. Persiapan Media Divisi MEWT (Mechanical Enginering and Water Treatment) bertugas untuk menyediakan air hingga siap untuk digunakan dalam produksi Larva. Layout bangunan pada Divisi MEWT dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26. Layout bangunan divisi MEWT Dalam menyediakan media siap digunakan untuk produksi Larva, terdapat proses-proses filtrasi dan sterilisasi yang kompleks. Alur proses penyediaan media pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar 27. Alur proses penyediaan media pemeliharaan 55 a. Pengambilan air Laut Air laut dialirkan menggunakan pipa 4 inch dengan Pompa Simitzu berkekuatan 40 HP yang disimpan pada ruang pompa (pump house). Titik pengambilan air laut berada pada kedalaman 4m dilihat dari surut terendah. Pengambilan air laut dilakukan pada pukul 6 pagi dan 5 sore atau setiap air pada tandon penampungan dibawah 50cm. Pemasangan Waring dengan mess size 3,5 inch pada ujung pipa digunakan untuk menghambat sampah yang memungkinkan ikut tersedot ke dalam pipa inlet. Pembersihan dalam pipa inlet menggunakan Oxalid Acid dengan dosis 500g/l. Pipa akan diganti dengan yang baru apabila terjadi kerusakan (retak dan bocor) karena tertabrak oleh perahu. Jalur pipa inlet pada pengambilan air laut dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 28. Jalur pipa pada pengambilan air laut b. Filter tandu Air laut yang sudah diambil, kemudian dilewatkan pada filter Tandu buatan yang berisi kerikil, pasir Silica (SiO2), dan arang aktif dengan perbandian 2:1:1 dengan total daya tampung 7.000kg. Fajri dkk., (2017) menambahkan, pasir Silica dan arang dapat digunakan untuk menyaring partikel dalam air. Filter tandu dibersihkan selama 1 tahun sekali secara bertahap. Lumpur pada lapisan kerikil (lapisan paling atas) dibersihkan dengan cara dikeduk sebanyak 1 kali selama akhir siklus produksi. Filter tandu buatan pada proses water treathment dapat dilihat pada Gambar 29. 56 Gambar 29. Filter tandu c. Tandon Pengendapan Tandon pengendapan atau tandon sedimentasi digunakan untuk menampung dan mengendapkan kotoran air laut sebelum diolah pada bak Treathment. Tandon pengendapan yang digunakan memiliki daya tampung sebesar 80.000l dengan ketinggian tandon mencapai 0,8m. Pengisian air hingga penuh atau ketinggian 5060cm selama 3 jam. Air laut pada filter tandu dipindahkan ke tandon pengendapan menggunakan pompa Ebara - 4inch. Air diendabkan selama 4-6 jam atau menyesuaikan kebutuhan produksi. Permukaan air pada tandon pengendapan dapat dilihat pada Gambar 30. Gambar 30. Permukaan air pada tandon pengendapan 57 d. Tandon Treatment Air laut disterilkan menggunakan Kaporit dengan bahan aktif Clorine 60% dengan dosis 30mg/l. SNI- 8037.1, (2014) menyatakan, Klorinasi air dilakukan selama 6 jam. Kurniaji, (2013) menambahkan, aerasi pada tandon Treathment berperan untuk mengoptimalkan porses klorinasi pada media. Tandon Treathment dapat dilihat pada Gambar 31. Gambar 31. Tandon Treathment Sebelum air dipindahkan ketandon siap pakai, air laut di saring menggunakan Pressure Filter dengan merk Waterco-S900 yang berisi pasir Silica 100% atau 470kg. Panjaitan, (2012) mengatakan, penyaringan pasir adalah cara paling umum digunakan untuk membersihkan air pada usaha pembenihan. Pressure Filter dapat dilihat pada Gambar 32. Gambar 32. Pressure Filter 58 e. Tandon siap pakai Tandon siap pakai digunakan untuk menampung air yang siap untuk didistribusikan. Perlakuan yang diterapkan yaitu menurunkan salinitas dengan target penurunan salinitas mencapai 30g/l dengan menambahkan air tawar. Rumus pengenceran dapat dilihat pada Halaman 39. Tandon siap pakai dapat dilihat pada Gambar 33. Gambar 33. Tandon siap pakai f. Sterilisasi lampu UV Lampu UV (Ultra Violet) digunakan untuk desinfeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus. Sebelum media didistribusikan ke bagian divisi induk, larva, dan pakan alami, media dilewatkan pada lampu UV dengan tekanan 102 – 104 torr dengan panjang gelombang 254 – 366nm. Lampu UV dengan merk Sterilight-Cobalt dapat dilihat pada Gambar 34. Gambar 34. Lampu UV 59 g. Air Tawar Air tawar diambil dari sumur bor menggunakan pompa 2 inch. Air tawar akan pada Pressure Filter terlebih dahulu untuk menyaring partikel dalam air. air kemudian dilewatkan pada lampu UV sebelum ditampung pada Tandon air tawar. Air tawar siap pakai digunakan untuk menurunkan salinitas dan berbagai kegiatan pencucian wadah dalam proses pemeliharaan biota. 5.2. Produksi A. Divisi Induk 5.2.1. Pengadaan Induk Udang vaname yang digunakan sebagai Broodstock berasal dari Negara Florida yang dibeli melalui PT. Kona Bay Marine Resources – USA. Broodstock F1 didatangkan melalui jalur udara dan darat menggunakan sistem pengangkutan tertutup dalam bentuk Box. Induk yang didatangkan pada tanggal 09 oktober 2019 merupakan induk siklus ke-lima di STP - Carita selama satu tahun terakhir. Kedatangan induk pada pukul 15.00 WIB dapat dilihat pada Gambar 35. Gambar 35. Kedatangan Induk Pengamatan kesehatan dan kondisi induk dilakukan secara visual dan mikroskopik. Pengamatan dilakukan pada 2 sampel induk jantan dan betina. Hasil pengamatan visual yang dilakukan menunjukkan induk masih dalam kondisi sehat 60 dengan anggota tubuh lengkap tanpa adanya kecacatan fisik. Hasil uji mikroskopik melalui uji PCR juga menyatakan bahwa induk udang Negatif Virus. Induk diambil sampel tiap masing-masing jenis kelamin 10 ekor guna dilakukan sampling panjang dan berat. Induk siklus ke-lima yang diterima berjumlah 1104 ekor dari total 138 box yang terdiri dari 550 ekor Jantan dan 554 ekor Betina. Hasil sampling kedatangan induk (brood stock) siklus ke-lima dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil sampling kedatangan induk Jenis Kelamin Berat (g) Panjang (cm) Jantan 37,2 17,3 Betina 45,2 18,2 Dari hasil pengukuran yang dilakukan, didapat berat dan panjang rata-rata induk jantan adalah 37,2g dengan panjang 17,3cm sedangkan induk betina adalah 45,2g, dengan panjang 18,2cm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pramodjo, (2008) dimana rata-rata berat panjang dan induk impor dari Florida yaitu induk jantan 35,0g dengan panjang lebih dari 17,0cm sedangkan berat induk betina 40,0g dengan panjang lebih dari 18,0cm. Pengukuran kualitas air dilakukan pada media bak karantina dan media kantong induk. Pengukuran kualitas air bertujuan untuk memudahkan saat proses aklimatisasi. Apabila terdapat perbedaan mencolok, maka perlu adanya perlakuan tambahan. Pengukuran kualitas air pada kantong dilakukan dengan cara mengambil sampel sebanyak 5 kantong untuk induk jantan dan 5 kantong induk betina, dan termasuk air pada bak karantina. kemudian dilakukan pengukuran DO, suhu, pH dan salinitas. Hasil pengukuran kualitas air pada kedatangan induk sebelum proses aklimatisasi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil pengukuran kualitas air sebelum proses aklimatisasi Jenis Bak karantina Kantong packing DO (mg/l) 4,1 3,3 Parameter Suhu (˚C) pH 26,5 8,2 25,4 7,1 Salinitas (g/l) 30,6 31,0 61 Selisih nilai pH bak karantina dan kantong induk mencapai 1,1. Maka dari itu, perlu adanya perlakuan pada media karantina. Larutan Dixi dengan bahan aktif asam asetat (98%) digunakan untuk menurunkan nila pH media karantina. Larutan Dixi yang ditambahkan dengan dosis 58,3mg/l, dapat menurunkan nilai pH sebanyak 0,9. Triharto, (2010) menambahkan, asam asetat 100% memiliki nilai parameter pH sebesar 2,4. 5.2.2. Karantina Induk Masa karantina dilakukan selama 7 hari terhitung mulai dari tanggal 9 oktober – 16 oktober 2019. Lama masa karantina sesuai dengan pendapat Anam dkk, (2016) yang mengatakan bahwa induk baru datang tidak bisa langsung dipijahkan, akan tetapi perlu dilakukan adaptasi terlebih dahulu selama 4-7 hari sebelum induk digunakan untuk prosduksi. 1. Aklimatisasi dan penebaran Aklimatisasi dilakukan sebelum induk dimasukkan kedalam masing-masing bak Karanita. Proses aklimatisasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Dosis larutan Vircon Aquatic yang digunakan yaitu 10mg/l. Hasil tebar induk siklus V dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil tebar induk pada bak karantina siklus V Jenis Kelamin Kode Bak Jantan 1 Jantan 2 Betina 3 Betina 4 Jumlah Induk (ekor) 275 275 277 277 Padat Tebar (m3) 7,34 7,34 7,39 7,39 Padat tebar (m3) pada masing-masing bak masih tergolong aman untuk ditempatkan, karena angka tersebut masih dibawah angka dari Muqsith, (2016) yang mengatakan bahwa padat tebar pada bak karantina yang baik yaitu 10-12m2. 2. Pengelolaan air Pengelolaan air pada bak karantina menggunakan sistem sirkulasi (flow trough) yaitu pergantian air dengan cara mengalirkan air baru sepanjang waktu. 62 Outlet (pipa goyang) dilubangi dengan ukuran 1,5cm sebagai tempat keluarnya air. Debit air sebesar 4,6 l/menit mampu mengganti air sebesar 73% selama 24jam dengan volume air 9.000 l. Hal ini sesuai dengan pendapat Anam dkk., (2016) yang mengatakan pergantian air (water exchange) yang baik yaitu sejumlah > 50%. Penyiponan atau pembuangan sisa pakan dan kulit moulting dilakukan pada pagi hari pukul 07.00 WIB sebelum pemberian pakan. Proses penyiponan dilakukan dengan gaya sedot gravitasi menggunakan selang 2inch yang disambungkan pada Pipa outlet atau pipa pembuangan yang berada ditengah bak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Subaidah & pramudjo, (2008) yang mengatakan penyiponan dilakukan setiap pagi hari. EDTA (Ethilene Diamine Tetra Acetic Acid) diberikan dengan dosis 5 mg/l setiap pagi pukul 08.00 WIB selama 7 hari berturut-turut. Salimin & Guandjar, (2006) menambahkan, EDTA berfungsi untuk menghilangkan kadar logam berat pada perairan seperti Fe, Sn, Hg, Cd, Zn yang dapat menyebabkan toksisitas pada daging, insang, dan hepatopankreas udang. Treatment pada bak Karanita dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Treatment pada bak Karantina Bahan Cara Frekuensi Kali/minggu 1 Dosis (ml/l) 25 Povidone iodine Pencelupan pada baskom Pemberian pada bak 7 5 Formalin Pemberian pada bak 7 5 Bahan yang digunakan untuk treathment yaitu Povidone Iodine dengan bahan aktif iodine (I2) 97%, dan formalin (CH2O) 37%. Hal ini sesuai dengan pendapat El-Gawad, dkk (2015) yang mengatakan Formaldehyde 37% dan iodine 97% dapat digunakan untuk treathment biota yang dibudidayakan dengan dosis dan frekuensi tertentu. 5.2.3. Ablasi Mata Proses ablasi mata berfungsi untuk mempercepat kematangan gonad. (Anam dkk, (2016) menambahkan, pemotongan tangkai mata bertujuan untuk 63 menghilangkan organ penghambat atau organ X (Gonad Inhibiting Hormone) sehingga organ Y (Gonad Stimulating Hormone) dapat merangsang laju perkembangan gonad. Ablasi mata dilakukan pada pukul 08.00-10.00 WIB. Teknik ablasi yang dilakukan pada lokasi praktik sesuai dengan pernyataan Anam dkk., (2016) yang menyebutkan, ablasi dilakukan pada pagi hari dengan memotong penuh tangkai mata menggunakan gunting arteri yang sudah dipanaskan. Proses ablasi mata yang dimiliki perusahaan dapat dilihat pada Gambar 36. Gambar 36. Proses ablasi mata Keterangan. 1. Menyiapkan alat dan bahan ablasi mata Alat yang digunakan antara lain, gunting arteri untuk memotong tangkai mata, sampling gas untuk memanaskan gunting arteri, logam (seng) alas mata yang digunakan untuk menjepit tangkai mata serta menjaga agar gunting tidak mengenai badan udang, baskom sebagai wadah treatment iodine, dan seser untuk menangkap dan menampung induk udang. 64 2. Pengambilan induk Panaskan gunting dengan sampling gas hingga ujung gunting menyala api. Kemudian siapkan induk betina dengan cara ditangkap dan ditampung menggunakan seser. Keunggulan dari gunting arteri ialah, luka pada mata udang akan langsung tertutup karena pada ujung gunting berbentuk pipih. 3. Pemasangan alas mata Pasang alas mata pada salah satu mata yang akan dipotong. Alas mata yang digunakan adalah logam (seng) berbentuk huruf F. cekungan pada huruf F digunakan untuk menghimpit bagian tangkai mata agar mata tidak benpindah posisi (merunduk kebawah). 4. Pemotongan mata Setelah alas mata terpasang dan gunting sudah siap digunakan, potong penuh tangkai mata secara perlahan hingga luka pada mata tertutup dengan sendirinya. Setelah mata terpotong, panaskan kembali gunting untuk induk udang berikutnya. 5. Treatment iodine Isi air pada baskom kemudian tambahkan Larutan Povidone iodine berbahan aktif iodine 97% dengan dosis 10ml/l. Larutan Poviddone iodine digunakan sebagai antiseptik luka pada mata setelah dilakukan ablasi mata. 6. Pengembalian induk Pengembalian induk dilakukan secara langsung atau setelah selesai di treatment menggunakan larutan Povidone Iodine 97%. 5.2.4. Pemeliharaan Induk 1. Lama penggunaan Induk Induk udang dipelihara dalam waktu yang relatif lama yaitu 6 bulan sebelum akhirnya induk tidak digunakan lagi (diafkir). Induk dibedakan menurut siklus (usia) dan jenis kelamin. Induk yang dimiliki terdiri dari 2 Siklus yakni Siklus III dan IV.Induk Siklus III didatangkan pada tanggal 9 April 2019 yang ditempatkan pada modul A diantaranya (A.1 Jantan, A.2 Betina, A.3 Jantan, dan A.4 Betina), 65 sedangkan Induk Siklus IV didatangkan pada tanggal 25 Agustus 2019 yang ditempatkan pada modul B diantaranya (B.1 Jantan, B.2 Betina, B.3 Jantan, B.4 Betina, B.5 Jantan, dan B.6 Betina). Lama Induk sangat menentukan performa dalam menghasilkan telur. Perbedaan Hatching Rate (HR) induk udang berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Perbedaan Hatching Rate (HR) induk Siklus III berdasarkan usia Kode Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tanggal sampel 17 April 2019 17 April 2019 17 April 2019 21 Juni 2019 21 Juni 2019 21 Juni 2019 5 September 2019 5 September 2019 5 September 2019 Sampel induk (ekor/tank) 10 10 10 10 10 10 10 10 10 Usia pemeliharaan (hari) 7 7 7 73 73 73 138 138 138 HR (ekor/tank) 1.650.510 1.589.240 1.639.530 1.538.510 1.543.030 1.481.110 1.390.130 1.213.900 1.376.770 Telur yang menetas (Hatching Rate) pada sampel tank 1, 2, dan 3 yang diambil diawal siklus atau pada tanggal 17 April 2019 yakni sebesar 1.589.2401.650.160 ekor/tank atau 158.924-165.016 ekor/induk. Pada sampel tank 4, 5, dan 6 yang diambil dipertengahan siklus pada tanggal 21 juli 2019, nilai telur yang menetas masih mendekati sampel awal siklus yakni sebesar 1.543.0301.538.510ekor/tank atau 154.303-163.851ekor/induk. Sedangkan pada sampel tank 7, 8, dan 9 yang diambil diakhir siklus pada tanggal 5 September 2019, naupli yang dihasilkan mengalami penurunan yakni sebesar 1.213.900-1.390.130ekor/tank atau 139.130-121.390 ekor/induk. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Afrianto & Muqsith (2014), Induk udang Vaname (F1) dapat menghasilkan nilai HR (Hatching Rate) sebesar 79,00% mampu menghasilkan naupli sebanyak 197.500 ekor/induk. 2. Pengolahan pakan Pakan yang digunakan selama masa karantina dan pemeliharaan induk (maturasi dan pemijahan) berupa pakan alami, yaitu Cacing laut (Nereis sp.) dan Cumi-cumi (Loligo sp.). 66 a) Cumi-cumi Cumi-cumi didatangkan dari pengepul di daerah Teluk Lada. Pakan Cumicumi datang 1 minggu 2-3 kali dalam kondisi beku. Cara pengolahan pakan Cumicumi dapat dilihat pada Lampiran 6. Pakan rucah Cumi-cumi siap ditebar dapat dilihat pada Gambar 37. Gambar 37. Pakan Cumi-cumi siap tebar b) Cacing laut Cacing laut didatangkan dari daerah Rembang, Jawa Tengah. Pakan Cacing laut datang 1 hari 1-2 kali dalam kondisi hidup. Pakan Cacing laut tidak dibekukan dan dirucah, pakan hanya dibilas dan diberikan dalam kondisi hidup. Cacing laut siap ditebar dapat dilihat pada Gambar 38. Gambar 38. Cacing laut siap ditebar c) Suplemet Suplement yang digunkan yaitu Vitamin B complex dan Nature E. Dosis yang digunakan pada masing-masing suplement yaitu 1g/kg. Aplikasi suplement dicampur pada pakan Cumi-cumi yang diberikan satu kali pada pagi hari. 67 Vitamin B Complex mengandung (B1 (Thiamine) 10,8%, B2 (Riboflavine) 9,2%, B3 (Niacine) 15,1%, B5 (Pantotenate Acid) 14,9%, B6 (Pyridoxine) 16,3%, dan B12 (Biotine) 8,2%, Asam (Folate) 8,9%, dan (Cobalamine) 6,6%) yang digunakan untuk mempercepat pematangan gonad, dan menjaga kekebalan tubuh udang. Widyaningrum, (2012) menambahkan, Vitamin B Complex digunakan untuk mempercepat pembelahan sel dan sebagai sumber energi tambahan udang. Nature-E 100 IU terbuat dari Vitamin E (Alfa Tokoferol ) 98% yang digunakan untuk mempercepat laju pertumbuhan relatif dan metabolisme udang. Winestri dkk, (2014) menambahkan, Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan yang menjaga kerusakan protein dan enzim dari radikal yang dapat menghambat pertumbuhan dan metabolisme udang. 3. Pengelolaan pakan Sampling pertumbuhan dilakukan 1 kali sebelum dimulainya produksi bulan baru. Hal ini digunakan untuk menentukan dosis pemberian pakan selama Siklus September. Pemberian pakan selama satu hari yang diterapkan sebanyak 6 kali yang terdiri dari 2 jenis pakan alami yang berbeda. Jadwal pemberian pakan pada pemeliharaan induk dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jadwal pemberian pakan No. 1. Waktu pemberian pakan (WIB) 02.00 Jenis pakan alami Cacing laut 2. 08.00 Cumi-cumi 3. 11.00 Cumi-cumi 4. 14.00 Cacing laut 5. 20.00 Cumi-cumi 6. 23.00 Cumi-cumi Sampling pertumbuhan induk dilakukan pada tanggal 3 September 2019 pada pukul 14.00 WIB atau sebelum dimulainya siklus produksi baru (Siklus produksi bulan September). Sampling populasi dan berat bertujuan untuk menentukan kebutuhan pakan melalui persentase biomassa pada setiap jenis induk. Hasil sampling induk Siklus produksi bulan September dapat dilihat pada Tabel 18. 68 Tabel 18. Hasil sampling induk siklus produksi bulan September Kode Bak S.IV 1 S.IV 2 S.IV 3 Jenis Kelamin Jantan Betina Jantan Populasi (ekor) 187 185 189 ABW (g) 45,7 50,1 45,8 S.IV 4 Betina 186 50,3 S.III 1 S.III 2 S.III 3 S.III 4 S.III 5 S.III 6 Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina 151 148 151 147 151 147 49,3 56,8 49,2 56,8 49,3 56,7 Dari hasil sampling induk siklus produksi bulan September 2019, rata-rata pakan yang diberikan pada masing-masing induk S.III dan S.IV yaitu 12,7 g/hari/individu atau sekitar 28% dari berat rata-rata individu. Hal ini tidak sesuai dengan SNI-8037, (2006) yang menyatakan pakan induk udang dengan berat > 30g yaitu 5,0% dari berat individu. Dosis pemberian pakan induk selama siklus September dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Dosis pemberian pakan induk (S.III dan S.IV) selama siklus September Jenis Cacing Laut Dosis (%/biomassa) 15 Pakan perhari (g/hari/individu) 6,8 Cumi-cumi 13 5,9 Total 28 12,7 4. Pengelolaan air Pengelolaan air dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air. Penyiponan dilakukan pada pagi hari sebelum pemberian pakan. Debit air sebesar 7,8 liter/menit mampu mengganti air pada bak pemeliharaan induk menggunakan sistem sirkulasi sebesar 50,56% selama 24 jam dengan volume air 22.500 liter. Hal ini sesuai dengan pendapat Anam dkk., (2016) yang mengatakan pergantian air (water exchange) yang baik yaitu > 50 %. Treathment pada bak pemeliharaan induk dapat dilihat pada Tabel 20. 69 Tabel 20. Treathment pada bak pemeliharaan induk Bahan Cara Frekuensi (kali/bulan) 1 Dosis (ml/l) 25 Povidone iodine Pencelupan pada baskom Pemberian pada bak pemeliharaan 15 0,05 Formalin Pemberian pada bak pemeliharaan 15 0,05 Bahan yang digunakan untuk treathment yaitu Povidone iodine dengan bahan aktif iodine (I2) 97 %, dan formalin (CH2O) 37%. Treathment pada induk bertujuan untuk Hal ini sesuai dengan pendapat El-Gawad, dkk (2015) yang mengatakan Formaldehyde 37% dan iodine 97% dapat digunakan untuk treathment biota yang dibudidayakan dengan dosis dan frekuensi tertentu. 5.2.5. Maturasi, Pemijahan, dan Penanganan Telur Bak pemeliharaan induk, dibagi atas 2 kegunaan, yaitu bak maturasi (induk betina) yang berfungsi sebagai wadah untuk mematangkan gonad induk betina dan bak pemijahan (induk jantan) yang berfungsi sebagai wadah untuk memijahkan induk udang. Induk betina yang telah matang gonad pada bak maturasi akan dipindahkan ke bak pemijahan. Alur proses kegiatan maturasi hingga penanganan telur dapat dilihat pada Gambar 39. Gambar 39. Alur proses maturasi hingga penanganan telur. 1. Sampling matang gonad (Maturasi) Sampling matang gonad dilakukan pada bak maturasi (bak betina) pada pukul 07.00-08.00 WIB atau sebelum pemberian pakan, kemudian dipindahkan ke bak 70 pemijahan (bak jantan). Pengambilan induk menggunakan seser dengan mesh-size 1,5inch secara perlahan. Induk yang siap dipijahkan yaitu induk dengan tingkat kematangan gonad (TKG) 2 dan 3. Proses pemijahan dilakukan secara alami yang berlangsung selama 10 jam hingga dilakukan sampling induk terbuahi (pemijahan). Tingkat kematangan gonad (TKG) dapat dilihat pada Gambar 40. Gambar 40. Tingkat kematangan gonad (TKG) 2. Sampling induk terbuahi (pemijahan) Sampling induk terbuahi dilakukan pada bak pemijahan (bak jantan) pada pukul 18.30-19.00 WIB dengan mengecilkan aerasi 30 menit sebelum dilakukan sampling. Pengambilan induk dibantu dengan senter karena jenis kelamin udang susah untuk dibedakan pada malam hari. Pemindahan induk udang dibalut dengan handuk basah setelah dicelupkan ke dalam dipping bath. Dosis Povidone Iodine (iodine 97%) yang digunakan pada dipping bath sebesar 10ml/l. 3. Penanganan telur Induk betina yang telah terbuahi, kemudian dipindahkan menuju tank penanganan telur (spawning dan Hatching tank). Induk dipindahkan kedalam tanki penanganan telur dengan kepadatan maksimal 12ekor/tank. Proses spawning induk berlangsung selama 6 jam yaitu dimulai dari pukul 19.00 WIB sampai dengan pukul 01.00 WIB. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Anam dkk., (2016) bahwa induk udang vaname melepaskan telurnya pada tengah malam sampai dengan dini hari. Pemasangan pengaduk otomatis dan heater dilakukan setelah pengembalian induk pada pukul 01.00 WIB secara serempak ke dalam masing-masing bak maturasi. Heater dilepas pada pukul 08.00 WIB atau pada suhu ruang > 28 ˚C. Proses penetasan telur ditank penanganan telur berlangsung selama 6 jam yaitu 71 pukul 11.00-15.00 WIB. Selama proses penetasan tersebut, aerasi di setting besar dan dilakukan pengadukan dengan pengaduk manual setiap 30 menit sekali untuk mencegah terjadinya pengendapan telur. Untuk mengetahui nilai fekunditas, telur terbuahi, dan telur yang menetas, dilakukan sampling populasi dengan cara mengambil sampel dari tank penanganan telur (hatching) menggunakan pipet serologis dengan ketelitian 1 ml sebanyak 25ml. Pengambilan sampel tersebut dilakukan pada 2 titik yang dianggap dapat mewakili nilai rata-rata sampel. 2 titik tersebut antara lain, 1 titik pengambilan jauh dari aerasi dan 1 titik pengambilan dekat dengan aerasi. Data sampling Fekunditas, Fertilization, dan Hatching dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Data sampling Fekunditas, Fertil, dan Hatching pada Siklus September Tannggal 05 sept Keterangan Jumlah Siklus induk 10 III 10 III 10 III 11 III 10 IV 10 IV 10 IV 10 IV 9 IV Fekunditas (butir) 1.800.000 1.600.000 1.700.000 2.200.000 2.000.000 2.200.000 2.200.000 2.100.000 1.900.000 Fertil (butir) Hatching (ekor) 1.575.000 1.390.130 1.567.000 1.213.900 1.430.000 1.296.770 1.778.000 1.468.040 1.611.000 1.288.900 1.890.000 1.693.800 1.709.000 1.488.410 1.640.000 1.308.880 1.732.000 1.473.840 Dilanjutkan pada lampiran 8. Jika dirata-ratakan, nilai Hatching Rate (HR) yang dihasilkan pada Siklus produksi bulan September dapat mencapai 160.000-220.000 ekor/induk. Angka tersebut masing dibawah dari Lestari (2013) yang menyatakan, Induk udang (F1) dapat menghasilkan nilai HR (Hatching Rate) sebesar 250.000 butir telur. Pengamatan telur dilakukan dari tanggal 21 – 22 September 2019 pada telur dan induk yang berbeda dengan pengawasan 24 jam. Rata-rata telur menetas pada pukul 11-12 jam setelah telur terbuahi. Wei dkk, (2014) menambahkan, fase telur dimulai dari embrio, zygot, 2-sel, 4-sel, blastula, gastrulla, embrio tunas ekstremitas hingga menjadi larva dalam membran.Perkembangan fase telur dapat dilihat pada Tabel 22. 72 Tabel 22. Perkembangan fase telur Waktu pengambilan (WIB) 3 Waktu perkembangan (jam) 4 Sel telur mengalami pembelahan menjadi 2 sel 21.00 1 sel telur mengalami pembelahan sel yang ke-2 menjadi 4 sel 21.00 1 sel telur mengalami perkembangan cepat hingga menjadi 128 sel 22.00 1-2 Sel telur mencapai fase Morula, yaitu menjadi peningkatan jumlah sel 22.00 1-2 Perkembangan embrio terus berlanjut hingga menjadi 2 lapis (endoderm dan eksoderm) 23.00 2-4 Mulai terjadi pelekukan (invagination), yang nantinya akan berkembang membentuk jaringan tubuh 00.00 2-4 Bagian-bagian sel terus berkembang membentuk jaringan Nauplius 01.00 4-6 Perkembangan embrio mencapai fase blastula, yaitu embrio mengalami perkembangan embryonal 02.00 4-6 Cabang-cabang pertumbuhan akan berkembang membentuk organ bakal nauplii 04.00 6-8 Perkembangan organ nauplius terus berlanjut hingga membentuk organ yang spesifik 06.00 8-10 Gambar Keterangan 1 2 73 1 2 3 4 Organ-organ tubuh mulai terbentuk, seperti antena, dan antenula 08.00 8-10 Organ-organ tubuh masih belum sempurna. Sudah terbentuk setae 09.00 10-12 Organ-organ embrio sudah terbentuk, nauplius mulai aktif bergerak 10.00 11-12 4. Pemanenan Naupli Naupli yang menetas diatas pukul 15.00 WIB akan dibuang, karena Naupli dianggap sudah tidak layak untuk dibudidayakan, hal ini sudah menjadi ketetapan SOP perusahaan. Proses pemanenan Naupli pada tank penanganan telur dapat dilihat pada Gambar 41. Gambar 41. Proses pemanenan Naupi Keterangan. a) proses penyaringan Naupli menggunakan seser nilon dengan mesh size ¼ mm b) perendaman (Dipping) Naupli kedalam larutan Povidone iodine 97% dengan dosis 1,0 ml/l c) penampunan naupli pada holding tank sebelum naupli di angkut atau di packing menuju bak pemeliharaan ataupun dijual. 74 Data penjualan naupli terdapat pada Lampiran 7. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan SNI-7311 (2009) yang menyatakan, dosis iodine 100% untuk mencuci telur dan naupli yaitu 0,1ml/l. 5.2.6. Penebaran Naupli ` Dalam proses aklimatisasi naupli, tidak dilakukan penyesuaian media seperti pada bak karantina dan kantong packing induk, dikarenakan jarak yang dekat dan sumber serta kualitas air dimiliki berasal dari waktu yang sama. Proses aklimatisasi naupli dapat dilihat pada Gambar 42. Gambar 42. Proses aklimatisasi Naupli Keterangan. a) Naupi dari holding tank ditampung kedalam ember yang sudah ditambahkan larutan Posidone Iodine (iodine 97%) dengan dosis 2,5 ml/l. Ember diangkut menuju Divisi Larva secara perlahan dan hai-hati. b) Pencelupan ember packing kedalam larutan Virkon Aquatic dengan dosis 10mg/l. Peggunaan larutan Vircon Aquatic bertujuan untuk mensterilkan alas ember yang memungkinkan membawa pathogen penyakit pada media. c) Pengapungan ember hingga penuangan secara perlahan selama 10 – 15 menit. Penebaran Naupli dilakukan pada pagi atau sore hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Farchan (2006), dimana penebaran Naupli sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari supaya fluktuasi suhu tidak mencolok dan parameter air dilingkungan lain tidak banyak berubah. Data penebaran Naupli pada 20 petak yang terisi dapat dilihat pada Tabel 23. 75 Tabel 23. Data penebaran Naupli Siklus September Tanggal Petak penebaran 5 september 2019 A.13 6 september 2019 A.14 8 september 2019 A.15 8 september 2019 A.16 10 september 2019 A.17 10 september 2019 A.18 10 september 2019 A.19 11 september 2019 A.20 13 september 2019 B.1 13 september 2019 B.2 15 september 2019 B.3 15 september 2019 B.4 16 september 2019 B.5 16 september 2019 B.6 16 september 2019 B.7 17 september 2019 B.8 17 september 2019 B.9 18 september 2019 B.10 18 september 2019 B.11 19 september 2019 B.12 Jumlah naupli ditebar Jumlah tebar (ekor) Densitas (ekor/m3) 2.000.000 2.400.000 2.200.000 2.200.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.400.000 2.200.000 2.200.000 2.400.000 2.400.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.400.000 2.400.000 2.600.000 2.600.000 2.700.000 45.700.000 67.340 80.808 74.074 74.074 67.340 67.340 67.340 80.808 104.762 104.762 114.286 114.286 104.762 104.762 104.762 114.286 114.286 123.810 123.810 128.571 96.813 Naupli yang ditebar pada Siklus produksi bulan September mencapai 45.700.000 ekor yang ditebar pada 20 dari 22 bak yang tersedia. B. Divisi Larva 5.2.7. Pengelolaan Pakan 1. Pengelolaan Pakan Terdapat 2 jenis pakan yang diberikan di PT. Suri Tani Pemuka – Carita dalam pemeliharaan Larva, yaitu pakan alami (Arthemia salina, dan Chaetoseros Sp.) dan pakan buatan (cair, serbuk, dan flake). Jadwal pemberian pakan dapat dilihat pada Tabel 24. 76 Tabel 24. Jadwal pemberian pakan selama 1 hari No. Waktu pemberian (WIB) 07.00 08.30 10.30 13.00 14.30 15.30 19.00 21.30 01.00 04.00 Jenis pakan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Pakan buatan Pakan alami (algae, artemia) Pakan buatan Pakan buatan Pakan alami (algae, artemia) Pakan buatan Pakan buatan / Pakan alami (algae, artemia) Pakan buatan Pakan buatan Pakan buatan a. Pakan alami Pakan larva udang pada awal pemeliharaan menggunakan pakan alami. Hal ini karena pemberian pakan alami pada awal pemeliharan memungkinkan larva udang untuk metabolisme dengan baik (Panjaitan dkk., 2014). Jenis Chaetoceros sp. Digunakan pada stadia N.6 hingga M.PL sedangkan untuk Artemia salina digunakan pada stadia MPL hingga panen. a) Algae (Chaetoceros sp.) Dosis pada setiap skala kultur Algae (Chaetoceros sp.) dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Dosis penggunaan pupuk pada setiap skala kultur algae Skala kultur Cawan petri Erlemeyer Test tube Erlemeyer Toples Toples Tank Bak 20 100 15 300 2.000 4.000 800.000 Silikat (ml) 1 2 0,5 10 20 200 Vit.mix (ml) 1 0,201 0,5 10 20 - FeCl (ml) 1 2 0,5 10 20 200 8.000.000 800 - 800 Volume (ml) NP (ml) 1 2 0,5 10 20 200 800 Kultur pakan alami algae chaetoseros dilakukan dengan cara menanamkan bibit algae kedalam media kultur yang sudah dicampur dengan pupuk, Kemudian 77 dikultur pada dimensi yang lebih luas. Dosis pupuk yang digunakan pada masingmasing skala kultur berbeda-beda. 1) Pembuatan pupuk a. Silikat : aquades 1.000ml + sodium silicat (Na2SiO3) 80ml b. Vit.mix : aquades 1.000ml + B1 (Tiamine) 20ml + B12 (Cyanocobalamine) 1,8ml + B7 (Biotine) 1,8 ml c. Fe.Cl : aquades 1.000ml + Molibdenum 5ml + Zeng 5ml + Mangan 5ml + Cobalt 5ml + Cuprum 5ml + Tritiplex 2,18gr + FeCl.III (6H2O) 1,58g d. N.P : aquades 1.000ml + Sodium Nitrate (NaNO3) 75gr + Phospat (H3PO4) 5g 2) Kultur indoor (skala cawan petri) Kultur skala cawan petri dapat dilihat pada Gambar 43. Gambar 43. Kultur indoor (skala cawan petri) Sterilkan alat yang digunakan menggunakan Auto Clave dengan suhu 121˚C dengan tekanan 2 atm selama 5 menit. Beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum melakukan kultur algae skala cawan petri, yaitu membuat media agar dan inokulasi lagae. Media agar terbuat dari beberapa bahan seperti, bachto agar 66,7 (mg/ml), air laut 27g/l, dan pupuk 1ml (EDTA, Silikat, Vit.mix, FeCl, dan N.P). kemudian dipanaskan menggunakan Hot plate (suhu 300˚C, dengan kekuatan stirrer 200), setelah air mendidih tuangkan kedalam cawan petri (diameter 15cm) hingga menutupi permukaan (15 – 20 ml). Simpan kedalam ruangan dengan suhu 16 - 21˚C yang disinari dengan lampu UV. Kemudian ambil bibit algae 3 - 5 ml dengan kepadatan min. 2.750.000 sel/ml hingga menutupi skala permukaan media. Keberhasilan kultur ditandai dengan munculnya koloni algae pada media cawan 78 petri. Lama kultur sekitar 7 - 14 hari atau hingga terdapat koloni algae dengan warna coklat keemasan. 3) Kultur indoor (skala erlemeyer 250 ml) Kultur skala erlemeyer 250ml dapat dilihat pada Gambar 44. Gambar 44. Kultur indoor (skala erlemeyer 250 ml) Kultur indoor skala erlemeyer diawali dengan menyiapkan alat dan bahan yang digunakan, antara lain erlemeyer 250 ml, jarum ose, api bunsen, BULB pipet ukur, auto clave, air laut (27 g/l), bibit algae, pupuk, dan alkohol 100 %. Bibit algae dengan warna koloni cokelat keemasan dapat dilihat pada Gambar 45. Gambar 45. Bibit algae dengan warna koloni cokelat keemasan Setelah alat disterilkan menggunakan auto clave, tuangkan air laut 27 (g/l) sebanyak 100 ml yang sudah melewati proses penyulingan. Tambahkan pupuk sebanyak 2 ml (silikat, FeCl, dan NP) Kemudian ambil bibit algae dari kultur skala cawan teri dengan koloni warna coklat keemasan menggunakan jarum ose yang sudah steril. Kemudian homogenkan. Lama kultur skala erlemeyer 250 ml yaitu 7 14 hari. 79 5) Kultur indoor (skala test tube 40 ml) Kultur skala test tube dapat dilihat pada Gambar 46. Gambar 46. Kultur indoor (skala test tube 40 ml) Sterilkan alat menggunakan Auto Clave, tambahkan air laut 27 (g/l) kedalam test tube sebanyak 15 ml. Selanjutnya tambahkan vit.mix sebanyak 3 tetes atau 0,201ml. Ambil bibit algae dari kultur erlemeyer 100ml sebanyak 8 ml. Homogenkan dan simpan pada lemari kaca dengan suhu ruangan 16–21 ˚C dan pencahayaan min. 800 lux selama 24 jam. Lama kultur skala test tube 2 hari. 6) Kultur indoor (skala erlemeyer 500 ml) Kultur skala erlemeyer 500ml dapat dilihat pada Gambar 47. Gambar 47. Kultur indoor (skala erlemeyer 500 ml) Pada kultur indoor skala erlemeyer 500ml, setelah alat disterilkan menggunakan auto clave. Tambahkan air laut 27 (g/l) sebanyak 300 ml, kemudian tambahkan pupuk sebanyak 0,5 ml (FeCl, NP, Vit.mix, EDTA). Setelah dihomogenkan, tambahkan bibit algae dari kultur sekala test tube sebanyak 2 test 80 tube (80 ml). Setelah dihomogenkan kembali, simpan kedalam lemari kaca dengan suhu 16 – 21 ˚C dan pencahayaan min. 800 lux selama 24 jam. Lama kultur skala erlemeyer yakni 2 hari. 7) Kultur intermediate (skala toples 5liter) Kultur skala toples 5liter dapat dilihat pada Gambar 48. Gambar 48. Kultur intermediate (skala toples 5 liter) Pada skala intermediate skala kultur toples dan tank sudah menggunakan aerasi. Siapkan toples 5 liter yang sudah dicuci bersih dan dikeringkan. Tambahkan air laut dengan salinitas 27 (g/l) sebanyak 2 liter. Kemudian sterilkan menggunakan clorine (Ca(ClO)2) dengan dosis 2,5 (ml/l). Tunggu selama 30 menit selanjutnya tambahkan Natrium tiosulfat (Na2S2O3) sebanyak 0,25 (ml/l) untuk memastikan kadar clorine dalam media benar-benar hilang. Setelah itu, tambahkan pupuk sebanyak 10ml (FeCl, NP, silikat, dan Vit.mix) kedalam media, lalu homogenkan menggunakan aerasi. Tambahkan bibit algae dari 1 kultur erlemeyer (300 ml). Lama kultur selama 2 hari (A).Selanjutnya, siapkan kembali toples 5liter yang sudah ditambahkan air dan pupuk seperti kultur sebelumnya. Setelah itu, bibit algae dari kultur sebelumnya (A) ditambahkan pada kultur toples yang akan dibuat (B) sebanyak 1.400ml. Lama kultur selama 2 hari. 8) Kultur intermediate (skala toples 10 liter) Siapkan wadah toples 10 liter sebanyak jumlah bibit algae skala toples 5 liter. Kemudian, tambahkan air laut sebanyak 4.000ml yang sudah disterilkan menggunakan clorine (2,5 ml/l). Selanjutnya tambahkan pupuk sebanyak 20ml 81 (FeCl, NP, Silikat, dan Vit.mix). langkah berikutnya yakni menambahkan bibit algae dari kultur skala toples (B) sebanyak 1 toples atau sebanyak 3.800 ml. Lama kultur selama 2 hari. Kultur skala toples 10liter dapat dilihat pada Gambar 49. Gambar 49. Kultur intermediate (skala toples 10 liter) 9) Kultur intermediate (skala tank 500 & 1000liter) Kultur skala tank 1000 liter dapat dilihat pada Gambar 50. Gambar 50. Kultur intermadiate (skala tank 1000 liter) Tambahkan air laut sebanyak 800 liter dengan salinitas 27g/l dari tandon algae. Kemudian sterilkan mengganakan klorin dengan dosis 0,25 (ml/l). Setelah air siap untuk digunakan, tambahkan pupuk sebanyak 200 ml (NP, FeCl, dan Silikat). Kemudian tambahkan bibit algae dari kultur skala toples 10 liter sebanyak 3 toples atau 8 liter. Lama kultur pada skala tank yaitu 2 hari hingga bibit algae siap ditransfer pada bak kultur massal. 10) Kultur massal (skala bak 10.000 liter) Pada kultur skala massal, siapkan air sebanyak 8.000 liter dengan dosis klorin 0,25 (ml/l). Setelah air siap untuk dipelihara, atau 4 jam kemudian, tambahkan 82 pupuk sebannyak 800 ml (NP, FeCl, dan Silikat). Selanjutnya transfer bibit algae pada skala tank menggunakan pompa 2 inch ke dalam bak massal.Kultur skala massal (10.000 liter) dapat dilihat pada Gambar 51. Gambar 51. Ruang kultur algae (skala masal 10.000 liter) Lama kultur selama 2 – 3 hari. Pemberian pakan algae dilakukan dengan cara mentransfer algae siap panen dari kultur massal menuju ke bak pemeliharaan larva menggunakan pompa 2 inch.. Kelimpahan algae pada bak kultur skala massal (10.000 liter) mulai dari awal kultur hingga algae siap dipanen (DOC 1-3) dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Kelimpahan algae massal DOC Kepadatan (sel/ml) 1 1.340.000.000 2 1.890.000.000 3 2.185.000.000 Warna Standar stadia Algae Chaetoseros pada setiap Fase larva sudah menjadi ketetapan oleh perusahaan (SOP). Perhitungan Kelimpahan algae pada skala kultur, dan menentukan kebutuhan algae pada kolam pemeliharaan larva dapat digunakan 83 rumus pada halaman 39. Hasil penghitungan rata-rata kepadatan algae pada tiap skala dapat dilihat pada Lampiran 12Standar stadia yang digunakan untuk mengetahui kebutuhan pakan dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Standar stadia Algae (Chaetoceros sp) per satu kali pemberian pakan No. Stadia larva Standar stadia (Sel/m3) 1. Naupli 50.000 2. Zoea 1 80.000 3. Zoea 1-2 100.000 4. Zoea 2-3 100.000 5. Zoea 3 120.000 6. Zoea, Mysis mix 120.000 7. Mysis 1 100.000 8. Mysis 1-2 100.000 9. Mysis 2 80.000 10. Mysis 2-3 70.000 11. Mysis 3 50.000 b) Artemia (Arthemia salina) Proses dekapsulasi Artemia dapat dilihat pada Gambar 52. Gambar 52. Proses dekapsulasi Artemia 84 Keterangan. 1) Pengisian air pada conical tank sebanyak 800 liter. 2) Pemberian artemia sebanyak 200g untuk tiap masing-masing conical tank. 3) Penetasan artemia dilakukan selama 24 jam sesuai dengan jadwal pemberian pakan artemia terhadap larva. 4) Pemanenan dilakukan dengan menutup bak. hal ini dimaksutkan untuk menghilangkan cahaya dari artemia agar mengendap ke dasar tank. Kemudian ditunggu 3-5 menit. Buka kran outlet, tampung menggunakan seser artemia dengan mesh size 105 micron. Kumpulkan tiap tank artemia ke dalam ember tampung 500 liter sebelum didistribusikan ke dalam masing-masing bak pemeliharaan larva. 5) Pencucian wadah dilakukan menggunakan detergen 46g/l kemudian keringkan dan bak siap digunakan kembali. Siram lantai hingga bersih dari sisa pakan atau kista artemia, agar ruang kultur terhindar dari bau busuk yang memungkinkan membawa patogen penyakit. Pakan artemia yang digunakan adalah jenis artemia dalam bentuk kista (dekapsulasi) dan siap saji (diencerkan dalam air). untuk jenis artemia dalam bentuk kista yang digunakan adalah merk Artemia Mackay Marine, Supreme Plus (Golden West Artemia), dan Aqua West (Instar 1). Menurut Gustrifandi (2011) dalam Cahyanti dkk., (2015) bahwa pakan artemia cocok untuk udang stadia larva sebab kandungan protein yang tinggi dan mudah untuk dicerna sehingga menghasilkan nilai pertumbuhan yang tinggi pula jika dibandingkan dengan pakan buatan. Dosis pemberian jenis merk artemia per 1.000.000 larva dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Dosis pemberian artemia per 1.000.000 larva Stadia M3 PL 1 PL 2 PL 3 PL 4 PL 5 – 10 Instar 1 (gr/hari) 300 300 300 300 - Golden West (gr/hari) 300 300 300 300 - Mackay (gr/hari) 300 85 b. Pakan buatan Bentuk pakan yang diberikan pada larva udang disesuaikan dengan stadia larva udang yaitu dalam bentuk bubuk, cair, dan flake (lempengan tipis). Pakan buatan mulai diberikan pada saat larva memasuki stadia Zoea (Z 1) sampai dengan panen. Agar pakan buatan tetap terjaga, pakan disimpan pada rak agar tidak langsung bersentuhan dengan lantai. Suhu ruangan diatur 21˚C agar kondisi pakan tidak lembab. Penggunaan pakan buatan selama siklus September dapat dilihat pada Lampiran 19. Berikut adalah ruang pengimpanan gudang pakan larva. Gudang penyimpanan pakan buatan dapat dilihat pada Gambar 53. Gambar 53. Gudang penyimpanan pakan buatan Hasil perhitungan pakan buatan yang digunakan selama satu hari untuk satu juta larva dapat dilihat pada Lampiran 10. Pemberian pakan selama siklus September pada tiap petak pemeliharaan dapat dilihat pada Lampiran 11. Selama praktik, kegiatan pemberian pakan alami maupun pakan buatan dilakukan tepat pada jam pemberian pakan, karena sudah terkontrol dengan adanya aplikasi QCSharp. menurut Agustina dkk., (2015), ketersediaan pakan yang berkualitas dalam jumlah yang cukup akan memperkecil persentase angka kematian larva udang. Pakan buatan yang diberikan, rata-rata memiliki kandungan protein diatas 30%. Hal ini sesuai dengan ketentuan SNI 7321:2009 bahwa kandungan protein untuk pakan larva minimum 40%. Dosis penggunaan pakan buatan yang dimiliki oleh Perusahaan dapat dilihat pada Tabel 29. 86 Tabel 29. Dosis penggunaan pakan buatan yang dimiliki oleh Perusahaan Stadiaia Pakan Frippak (CAR) Spirulina (MOS) Mackay Feed (MP-Z) Frippak (CAR) Spirulina (MOS) Mackay Feed (MP-Z) Frippak (CAR) Spirulina (MOS) Mackay Feed (MP-Z) Z1 Z 1-2 Z3 Pembagian Jumlah pakan (%) (gr/juta) 40 20 50 40 40 20 100 40 40 20 200 40 Dilanjutkan pada Lampiran 9. 5.2.8. Pengamatan Kualitas Air Pengamatan kualitas air bertujuan untuk memantau perubahan atau fluktuasi parameter air secara periodik selama siklus produksi. Parameter kualitas yang diamati pada pemeliharaan larva antara lain, suhu, salinitas, pH, DO, nitrit, dan alkalinitas. Hasil pengamatan kualitas air pada bak pemeliharaan larva dapat dilihat pada Lampiran 12. 1. Suhu °C Suhu (°C) Kisaran rata–rata suhu pada siklus September dapat dilihat pada Gambar 54. 33 32.5 32 31.5 31 30.5 30 29.5 29 28.5 28 27.5 Suhu 07.00 Suhu 13.00 Suhu 17.00 A.13 A.14 A.15 A.16 A.17 A.18 A.19 A.20 B.1 B.2 Kode Bak Gambar 54. Grafik nilai rata-rata suhu pada Siklus September 87 Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat termometer digital dengan ketelitian 0.1°C yang ditanam pada bak selama siklus pemeliharaan. Pengukuran suhu dilakukan 3 kali dalam sehari yaitu pada pukul 07.00, 13.00, dan 17.00 WIB. Rata-rata Hasil suhu sesuai dengan ketentuan SNI-7311, (2009) yaitu sebesar 28-33°C. 2. Salinitas (g/l) Nilai rata-rata salinitas pada 10 bak dapat dilihat pada Gambar 55. 32 Salinitas (g/l) 31.8 31.6 31.4 31.2 31 30.8 30.6 Bak A.13 Bak A.14 Bak A.15 Bak A.16 Bak A.17 Bak A.18 Bak A.19 Bak Bak B.1 Bak B.2 A.20 Kode bak Gambar 55. Grafik nilai rata-rata salinitas pada siklus September Pengukuran salinitas dilakukan pada pukul 07.00 WIB, yakni dengan cara mengambil sampel air pada masing-masing bak, kemudian diukur menggunakan refraktometer dengan ketelitian 0,1g/l. Hasil pengukuran salinitas menunjukkan kisaran salinitas media pemeliharaan yaitu 30 – 32,5g/l. Dari hasil pengukuran yang dilakukan, kisaran nilai salinitas masih tergolong dalam kisaran aman. Hal ini sesuai dengan ketentuan SNI 7311:2009, yang menyatakan kisaran salinitas untuk produksi larva yaitu 29-34g/l. 3. Oksigen terlarut (mg/l) Pengukuran Oksigen terlarut (DO) dilakukan pada pagi hari yaitu pukul 07.00 WIB pada setiap bak pemeliharaan selama satu siklus. Nilai DO pada media pemeliharaan berkisar antara 5,0 – 6,0 mg/l. Nilai rata-rata DO pada 10 bak dapat dilihat pada Gambar 56. 88 oksigen terlarutm (g/l) 5.6 5.55 5.5 5.45 5.4 5.35 5.3 5.25 5.2 A.13 A.14 A.15 A.16 A.17 A.18 A.19 A.20 B.1 B.2 Kode Bak Gambar 56. Grafik nilai rata-rata DO (oksigen terlarut) pada siklus September Nilai rata-rata Oksigen terlarut terendah pada bak pemeliharaan adalah 5,4mg/l. Nilai tersebut dapat dikatakan aman dengan pedoman SNI 7311:2009 bahwa kisaran oksigen terlarut minimal adalah 5,0mg/l. 4. pH (Posseince of Hydrogen) Hasil pengukuran pH pada masing-masing bak pemeliharaan larva dapat dilihat pada Gambar 57. 8.18 8.16 8.14 8.12 8.1 8.08 8.06 8.04 A.13 A.14 A.15 A.16 A.17 A.18 A.19 A.20 B.1 B.2 Kode Bak Gambar 57. Grafik nilai rata-rata pH pada bak pemeliharaan siklus September Pengukuran dilakukan pada pagi hari yaitu pukul 07.00 WIB pada setiap bak pemeliharaan. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan aquades kemudian dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya dilakukan 89 pengecekan pH pada air sampel dengan cara memasukkan probe dan menunggu hingga angka stabil. Hasil pengukuran akan tertera pada layar pembacaan. Setelah selesai, cuci probe pH meter dengan menggunakan aquades kemudian dilap menggunakan tissue. Dari hasil pengukuran, pH perairan pada media budidaya berkisar antara 8,0 - 8,3. Dari hasil pengukuran yang dilakukan, rata-rata nilai pH pada masing-masing bak tergolong dalam kisaran normal dan baik untuk budidaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa biota akuatik menyukai pH sekitar 7,0 - 8,5. Ketentuan SNI 7311:2009, dimana kisaran pH yang baik untuk proses produksi benur adalah 7,5 - 8,5. 5. Alkalinitas (mg/l) Hasil pengukuran alkalinitas pada bak pemeliharaan larva dapat dilihat pada Alkalinitas (mg/l) Gambar 58. 112 111.5 111 110.5 110 109.5 109 108.5 108 107.5 A.13 A.14 A.15 A.16 A.17 A.18 A.19 A.20 B.1 B.2 Kode Bak Gambar 58. Grafik nilai rata-rata alkalinitas bak pemeliharaan siklus September Hasil pengukuran menunjukkan nilai alkalinitas pada media pemeliharan selama siklus produksi bulan September berkisar antara 100 - 120mg/l. Cara pengukuran alkalinitas dapat dilihat pada Lampiran 13. Nilai pengukuran yang didapat tersebut masih dalam kisaran yang baik atau sesuai dengan pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30 - 500mg/l. Sedangkan untuk udang vaname yakni senilai 120 - 150mg/l (Suwoyo & Mangampa, 2010). 90 6. Nitrit (mg/l) Hasil pengukuran nitrit pada masing-masing bak dapat dilihat pada Gambar 59. 0.25 Nitrit (mg/l) 0.2 0.15 0.1 0.05 0 A.13 A.14 A.15 A.16 A.17 A.18 A.19 A.20 B.1 B.2 Kode Bak Gambar 59. Grafik nilai rata-rata Nitrit pada pemeliharaan siklus September Pengukuran nitrit menggunakan metode spektrofotometri dengan reagen nitrit test kit. Air sampel diambil sebanyak 5 ml, kemudian tambahkan 5 tetes reagen no.1 dan 5 tetes reagen no.2, kocok untuk menghomogenkan larutan. Tunggu 3-5 menit, selanjutnya cocokkan pada skala spektrofotometri. Dari hasil pengukuran, nilai rata-rata nitrit selama masa pemeliharaan yaitu 0,15 – 0,20mg/l pada setiap bak. Menurut Nurdiana (2008), kandungan nitrit pada kisaran 0,10 1,00mg/l masih bisa diterima bagi biota sedangkan diatas kisaran tersebut akan membahayakan biota yang dipelihara. 5.2.9. Pergantian air Pergantian air dilakukan untuk memperbaiki kualitas air akibat akumulasi feses dan sisa pakan yang berpotensi menjadi amonia. Pergantian air dilakukan setiap pagi hari pukul 08.00 WIB sebelum dilakukan pemberian pakan. Pergantian air dilakukan dengan cara menyipon menggunakan filter net dengan mess size 1/4mm. Persentase pergantian air pada saat larva masuk stadia zoea-mysis yaitu 10 - 20%. Sedangkan pada saat larva masuk pada pada stadia PL1 - PL4 pergantian air yang dilakukan hingga 20 - 30%. Setelah larva masuk di stadia PL5 - panen pergantian air dilakukan hingga 40% disesuaikan dengan kondisi perairan. Jika 91 kualitas air pada media pemeliharaan sangat buruk dilakukan pergantian air hingga 60% atau dengan dilakukan transfer ke bak pemeliharaan yang baru. Akumulasi dari senyawa amonia, nitrit serta konversi pakan yang tinggi dapat membuat air menjadi toksik. Untuk mengurangi resiko tersebut kegiatan pengelolaan air sangat penting dilakukan salah satunya yaitu dengan penggantian air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agustina dkk., (2015) bahwa pengelolaan kualitas air sebagai upaya untuk mengurangi akumulasi dari senyawa amonia, nitrit serta konversi pakan yang tinggi agar perairan tidak berpotensi toksik bagi biota yang dibudidayakan. 3.2.10. Aplikasi Probiotik Probiotik yang diaplikasikan pada bak pemeliharaan larva adalah Epicin-D dengan jenis bakteri (Bacillus Sp.). Hal ini sesuai dengan pendapat Moriarty dkk., (2006) yaitu probiotik jenis Bacillus dapat mengendalikan perkembangan bakteri patogen dengan mengubah komunitas mikroorganisme dalam air melalui aplikasi yang rutin. Pemberian probiotik dilakukan 1 kali dalam sehari. Total bakteri pada Epicin-D yaitu 2 x 10^9 CFU/g. Probiotik yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Probiotik yang digunakan Merk dagang Epicin-D Kandungan bakteri 1.Bacillus subtilis 2.Bacillus megaterium 3.Bacillus pumilus 4.Bacillus lichenfornis Manfaat Kualitas air Menekan pertumbuhan bakteri Vibrio sp. Mengontrol pertumbuhan algae Mengurangi gas NH3, dan NO2 Larva Memperbaiki FCR Mengurangi lumpur organik Meminimalisir resikok penyakit Dosis pemberian probiotik pada stadia Zoea - Mysis yaitu 5mg/l, stadia PL1 - PL2 yaitu 15mg/l, pada stadia PL3 - panen yaitu 20mg/l. Cara penggunaan EpicinD yaitu dengan menambahkan air tawar sebanyak 1 liter kemudian diaduk menggunakan aerasi. Lama kultur bakteri sekitar 5-6 jam dan diberikan sesudah pemberian pakan pada pukul 08.30 WIB. 92 Probiotik digunakan untuk memaksimalkan upaya perbaikan kualitas air. Hal ini didukung oleh pernyataan Risdianto dkk., (2015) bahwa aplikasi probiotik mampu memperbaiki dan mempertahankan kualitas air serta menghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen. Probiotik juga sebagai imunostimulan yang memperkuat daya tahan tubuh udang dari serangan penyakit (Suharyadi, 2011). 3.2.11. Pertumbuhan 1. Pengamatan Larva Pengamatan larva dilakukan secara visual dan mikroskopik. Pengamatan visual dilakukan dengan cara mengambil sampel air dalam bak pemeliharaan menggunakan beaker glass 300 ml kemudian diarahkan ke cahaya untuk dilakukan pengamatan. Beberapa parameter yang diamati yaitu aktivitas renang, benangbenang feses, keseragaman, isi usus dan keberadaan makan dalam air. Pengamatan visual bisa dilakukan setiap hari oleh teknisi lapangan. Sedangkan untuk pengamatan mikroskopik dilakukan dengan bantuan alat mikroskop. Sampel untuk pengamatan diambil acak dari dalam bak pemeliharaan. Pengamatan dilakukan di laboratorium pada bagian Quality Control dengan parameter pengamatan antara lain kondisi, abnormalitas serta perkembangan stadia. Hasil pengamatan stadia larva dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Pengamatan stadia Larva Hasil pengamatan Stadia Gambar Microskopis 1 2 1. Nauplii 6 2. 1. Zoea 1 2. 3 Sepasang furcal tumbuh menjadi 5-7 setae Bentuk tubuh belum bisa dibedakan, mana yang cepalotorax dan abdomen Tubuh sudah dapat dibedakan antara cepalotorax dan abdomen mata belum muncul tetapi sudah muali terlihat Fisual (makroskopis) 4 Berenang mengikuti arus (planktonis) Berenang mengikuti arus (planktonis) 93 1 2 1. Zoea 2 2. 3. 1. Zoea 3 2. 3. 1. Mysis 1 2. Mysis 2 Mysis 3 Post Larva 1. 2. 3 Mata mulai bertangkai diikuti dengan penonjolan diatas karapas mulai tumbuh rostrum lapisan abdomen terlihat beruas-ruas Ruas-ruas abdomen terlihat jelas pada ruas perut mulai tumbuh sepasang duri uropoda mulai berkembang tunas pleopoda mulai tampak hingga pada segmen ke5 abdomen telson dan uropoda mulai terbentuk Badan mulai membengkok tunas pleopoda tumbuh tetapi belum bersegmen 4 Berenang mengikuti arus (plantonis) Berenang mengikuti arus (plantonis) Berenang mengikuti arus (plantonis) Berenang menghentakkan bagian abdomen 1. Tunas pleopoda mulai tumbuh panjang dan bersegmen 2. Duri dorsal mulai terbentuk pada restrum Berenang menghentakkan bagian abdomen, Peka terhadap gerakan 1. Bentuk morfologi seperti udang dewasa 2. organ tubuh sudah lengkap dan tidak mengalami metamorfosa lagi Berenang menghentakkan bagian abdomen, Peka terhadap gerakan 2. Sampling Populasi Larva Sampling populasi dilakukan dengan menggunakan beacker glass 500 ml. Sampling dilakukan pada siang hari yaitu pada pukul 14.00 WIB sebelum dilakukan pemberian pakan. Sampling populasi dilakukan pada waktu (tebar awal, stadia zoea 2, mysis 2, PL 2 dan panen). Kegiatan sampling dilakukan untuk mengetahui estimasi populasi yang ada dalam bak pemeliharaan. Sampling dilakukan dengan memasukkan backer glass kedalam bak pemeliharaan dengan kedalam 0,5 m dari permukaan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 titik yang dianggap dapat 94 mewakili padat tebar secara keseluruhan. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah larva secara manual. Setelah backer glass selesai digunakan, kembalikan pada tempat perendaman (treatment) ember yang berisi larutan Formalin 15 ml/l atau Treflan 0,10 ml/l. Hal ini sesuai dengan SNI (2009) yang menyatakan penggunaan jenis dan dosis bahan kimia dan obat-obatan pada produksi larva yaitu Formalin 15 - 20 ml/l dan Trifuralin 0,05 -0,10 ml/l. Setelah didapat jumlah rata-rata larva sampel, kemudian dilakukan perhitungan estimasi populasi. Hasil sampling populasi yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 60. Stadia Tebar Populasi (ekor/bak) 2,700,000 2,400,000 Stadia Zoea 2 2,100,000 1,800,000 Stadia Mysis 2 1,500,000 1,200,000 Stadia PL 2 900,000 600,000 Stadia Panen 300,000 0 A.13 A.14 A.15 A.16 A.17 A.18 A.19 A.20 B.1 B.2 Gambar 60. Grafik hasil sampling siklus September Penurunan populasi pada tiap stadia pengamatan berkisar antara 200.000400.000 ekor/bak. Penurunan terjadi karena pada masa pembenihan, kondisi udang yang melemah dan terjadi kanibalisme. Hal ini didukung oleh pernyataan Panjaitan (2014) bahwa pada stadia Zoea dan Mysis pertumbuhan larva cepat, akan tetapi fase ini juga merupakan fase kritis karena larva udang sangat rentan dan pada fase ini pula tingkat kematian larva sangat tinggi. 5.2.12. Pengelolaan Penyakit Proses Inokulasi bakteri dimulai dengan pengambilan sampel pada setiap stasiun pengambilan. Cara pembuatan media agar terdapat pada lampiran 4. Sampel air digunakan untuk mengontrol apakah terdapat bakteri yang dapat menimbulkan 95 penyakit bagi udang. Adapun media Agar yang digunakan untuk menginokulasi bakteri dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Jenis Media Agar yang digunakan untuk menginokulasi bakteri Bakteri Media Agar TCBS (Thiosulfate Citrate Bilesalt Susrose) MA (Marine Agar) Titik Pengambilan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Tandon maturasi Tandon larva Bak maturasi Tandon siap pakai Tandon Treatment Tandon nauplii Tandon algae Tank Holding Gambar Jenis Bakteri Warna Vibrio cholerae Hijau Vibrio parahaemolyticus Pink Vibrio alginolyticus Putih susu Pengecekan penyakit pada larva dilakukan dengan uji mikrobiologi. Pengujian dilakukan pada media dan juga body larva. Pengecekan body dilakukan dengan 2 cara yaitu body tempel dan body gerus. Pengecekan body tempel dilakukan pada saat larva stadia PL2 dan PL6, sedangkan pengeceken dengan body gerus PL6 dan PL8. Adapun penyakit yang berhasil diamati pada siklus September antara lain sebagai berikut. a. Deformitas Larva udang yang mengalami deformitas pada kaki renang (pleopoda) dapat dilihat pada Gambar 61. Gambar 61. Deformitas pada kaki renang PL 96 Deformitas yang menyerang kaki renang pada Post Larva tersebut merupakan kecacatan atau kelainan pada bagian tubuh udang. Upaya pencegahan yang harus dilakukan agar larva tidak mengalami deformitas adalah dengan menambahkan nutrisi pada pakan induk. Hal ini dilakukan agar induk mendapatkan nutrisi yang cukup agar telur tidak mengalami kekurang nutrisi. b. Nekrosis Larva udang yang mengalami necrosis pada tubuh (abdomen) dapat dilihat pada Gambar 62. Gambar 62. Nekrosis pada segmen tubuh PL Kondisi Nekrosis pada udang dipicu oleh beberapa keadaan seperti, kepadatan yang terlalu tinggi, kadar oksigen rendah, shock salinitas, dan suhu yang menyebabkan udang menjadi lumpuh. Pada bagian yang terjangkit Nekrosis akan berwarna gelap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maskur, dkk (2017) yang menyatakan Nekrosis merupakan jenis penyakit pada udang yang disebabkan oleh bakteri (Vibrio sp.). Gejala udang yang mengalami nekrosis yaitu timbulnya warna opaq (tidak transparan) pada bagian tubuh yang terjangkit. Pengecekan penyakit ini dilakukan dengan mengambil 30-50 sampel larva siap panen. Pengecekan dilakukan secara microskopis pada setiap bagian tubuh Larva. Dari 20 petak yang dipanen, setiap sampel yang diambil terdapat 2-6 Larva yang mengalami gejala penyakit ini. 5.2.13. Pengelolaan limbah Pengelolaan limbah (IPAL) yang dilakukan di PT. Suri Tani Pemuka menggunakan 2 tahapan, yaitu dengan cara mengalirkan air limbah sisa produksi 97 kedalam wadah berupa petak pengendapan yang berisi ikan karnivora, dan petak petak kedua yang di isi dengan ikan herbivora. 1. Petak pengendapan 1 Pada petak pengendapan 1 di isi dengan ikan Jambrong dan ikan Keting. Tujuan penggunaan ikan karnivora pada pengelolaan limbah yakni sebagai bioscreening atau sebagai pemakan larva dan sisa pakan (artemia), serta limbah produksi pada lapisan badan air (ikan Jambrong) dan dinding (ikan Keting). 2. Petak pengendapan 2 Pada petak pengendapan 2 di isi dengan ikan Nila Merah. Tujuan penggunaan ikan herbivora pada pengelolaan limbah yakni sebagai biofilter atau sebagai pemakan sisa algae yang tidak termakan pada kultur pakan massal. Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) dapat dilihat pada Gambar 63. Gambar 63. Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) SNI, (2006) yang menyatakan, pengelolaan limbah sisa produksi perlu dilakukan pengolahan dengan berbagai tahapan (pengendapan, penjernihan dengan ikan herbivora dan karnivora) hingga air benar-benar aman untuk dibuang. Air pada tandon IPAL dibuang secara bertahap ( 1-2 minggu) ke dalam saluran menuju ke kebun Pisang yang berada di luar dinding atau di luar ruang lingkup produksi. Tandon IPAL dibersihkan setiap siklus pemeliharaan berakhir dengan cara mengangkat lumpur dan dicuci dengan Detergen 46 gr/l dan Oxlalid Acid 50gr/l. 5.2.16. Biosekuriti 1. Tire bath Kendaraan yang keluar masuk area produksi akan melewati genangan air atau tire bath yang telah diisi air dan kaporit dengan bahan aktif Clorine 60%. Dosis 98 yang digunakan yaitu 30mg/l pada musim kemarau, dan 60 – 100mg/l pada musim hujan. Tire bath dapat dilihat pada Gambar 64. Gambar 64. Tire bath 2. Hand-wash Hand-wash dipasang disetiap pintu masuk area produksi. Sebelum memasuki ruangan produksi, seluruh karyawan atau pengunjung diwajibkan untuk mencuci tangan dengan sabun cair berbahan aktif triclosan 8,03% kemudian disemprot menggunakan alkohol 70%. hand wash dapat dilihat pada gambar 65. Gambar 65. Hand wash atau tempat cuci tangan. 3. Foot bath Foot bath dipasang pada setiap pintu masuk area produksi. Sebelum memasuki ruang produksi, karyawan atau pengunjung diwajibkan untuk merendam kaki foot bacth yang telah diisi Kaporit dengan baham aktif Clorine 60%. Dosis yang digunakan yaitu 30 mg/l pada ruang (penanganan telur, pemeliharaan induk, pemeliharaan algae, dan pemeliharaan larva) dan 50 mg/l pada ruang karantina. Foot bath dapat dilihat pada gambar 66. 99 Gambar 66. Foot bath sebelum memasuki ruang produksi 4. Pagar area produksi Pagar dipasang mengelilingi area produksi bertujuan sebagai faktor pembatas antara area umum dan area produksi. Penggunaan pagar termasuk bentuk kedisiplinan karyawan agar tidak meninggalkan area produksi sebelum jam kerja berakhir. Selain itu, ruang produksi terhindar dari binatang liar seperti kucing atau predator lain. Pagar area produksi dapat dilihat pada Gambar 67. Gambar 67. Pagar area produksi 5.3 Pasca Produksi 5.3.1. Panen Benur yang dihasilkan oleh perusahaan adalah benur yang memiliki kriteria Specific Pathogen Free (SPF). Benur berkriteria SPF dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit saat dibudidayakan ditambak. Sebelum larva dinyatakan siap panen, perlu dilakukan pengecekan oleh tim QC (Quality Control) dari standar yang telah ditetapkan. Standar benur siap panen tersebut yakni bebas dari virus, parasit, jamur, dan bakteri. Wyban dkk. (1992) menambahkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus tidak bisa ditanggulangi apabila telah terjangkit. 100 Pengamatan lipid dilakukan secara microskopis. Lipid dapat dilihat pada bagian cepalotorax dengan bentuk seperti bunga. Kandungan lipid dari 20 bak yang dipanen sangat beragam. pada sampel 30 benur rata-rata 30 - 60%. Pengecekkan lipid dilakukan dengan mencocokkan pada gambar yang telah disesuaikan pada masing-masing persentase lipid. Hasil panen siklus September dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Hasil panen Larva siklus September Tanggal Kode Stadia Tebar Bak Panen 5 sept A.13 PL 7 6 sept A.14 PL 7 8 sept A.15 PL 8 8 sept A.16 PL 8 10 sept A.17 PL 8 10 sept A.18 PL 8 10 sept A.19 PL 8 11 sept A.20 PL 8 13 sept B.1 PL 8 13 sept B.2 PL 8 15 sept B.3 PL 9 15 sept B.4 PL 9 16 sept B.5 PL 10 16 sept B.6 PL 10 16 sept B.7 PL 10 17 sept B.8 PL 8 17 sept B.9 PL 8 18 sept B.10 PL 8 18 sept B.11 PL 9 19 sept B.12 PL 9 Total rata-rata Jumlah Tebar (ekor) 2.000.000 2.400.000 2.200.000 2.200.000 2.000.000 2.000.000 2.000.000 2.400.000 2.200.000 2.200.000 2.400.000 2.400.000 2.200.000 2.200.000 2.200.000 2.400.000 2.400.000 2.600.000 2.600.000 2.700.000 45.700.000 Jumlah Panen (ekor) 1.300.000 1.400.000 1.400.000 1.500.000 1.200.000 1.300.000 1.300.000 1.400.000 1.300.000 1.300.000 1.300.000 1.300.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.400.000 1.400.000 1.500.000 1.600.000 1.600.000 26.900.000 SR (%) 65,00 58,34 63,64 68,18 60,00 65,00 65,00 58,33 59,09 59,09 54,16 54,16 54,54 54,54 54,54 58,34 58,34 57,69 61,53 59,25 58,42 Pengamatan virus dilakukan melalui uji PCR (Polymerase Chain Reaction). Dari 20 Bak yang dipanen, seluruhnya dinyatakan negatif virus oleh tim QC (Quality Control). Virus yang diamati antara lain, RNA (WSSV, IHHNV, EMS, EHP), DNA (IMNV, TSV). Selain pada saat panen, uji PCR juga dilakukan pada saat kedatangan induk baru. Govahi dkk, (2014) menambahkan uji PCR juga 101 dilakukan pada induk awal siklus produksi, naupli setelah telur menetas, artemia, dan algae. Panjang rata-rata diamati menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm dari minimal sampel 30 ekor/petak didapatkan panjang rata-rata pada siap bak yang dipanen yakni 7 - 8mm. Hal ini kurang sesuai dengan pernyataan SNI, (2006) yang menyatakan panjang minimum benur siap panen yakni 8,5 mm. Udang dikatakan baik kualitasnya jika isi usus tidak putus-putus. Dari seluruh petak yang dipanen, tiap 30 Larva rata-rata isi usus yang tidak putus-putus mencapai 50 %. Pemanenan larva biasanya dilakukan pada pukul 08.00 dan 19.00 WIB dengan cara menurunkan stengah air pemeliharaan untuk memudahkan saat proses pemanenan. Kurniaji (2013) menambahkan, penurunan air 50% dilakukan agar mempermudah proses penyerokan.ada saluran outlet juga dipasang hapa panen sehingga ketika outlet dibuka, larva langsung terkumpul dihapa panen. Benur yang tersaring kemudian diseser lalu dibawa menuju bak penampungan panen dengan menggunakan ember 10 liter. Stadia panen pada siklus September antara PL 7-10. Hal ini tepat untuk dilakukan karena SNI, (2006) menyatakan kondisi benur siap dipanen yakni PL 10 dengan organ tubuh mencapai tahap sempurna. Waktu pemanenan Larva yang dilakukan telah sesuai dengan pendapat Darmono (1991) yaitu pada cuaca yang teduh sehingga Larva tidak stres dan kualitasnya tetap terjaga. 5.3.2. Pasca panen Hasil panen yang ditampung pada bak penampungan larva secara perlahan diseser dan ditampung dalam bak aklimatisasi-1 dengan suhu 25-26 °C selam 2 menit. Selanjutnya pindahkan kembali ke bak aklimatisasi-2 dengan suhu 21-23 °C selama 2 menit. Proses packing diawali dengan penyerokan larva pada bak aklimatisasi, kemudian dilakukan scooping (penakaran). Benur yang telah di scooping dimasukkan kedalam plastik packing (polyetylene) dengan ukuran 100cm x 80cm , tebal 0,07 mm) yang telah diisi air dan karbon aktif. Kurniaji (2013) menambahkan, sebelum plastik packing siap digunakan, perlu dilakukan pencucian untuk menghilangkan senyawa mikro plastik dari pabrik. Situasi panen di PT. Suri Tani Pemuka – Carita dapat dilihat pada Gambar 68. 102 Gambar 68. Situasi Panen di PT. Suri Tani Pemuka – Carita Setelah larva dicampur dengan air packing, kemudian dilakukan penambahan oksigen murni pada kantong yang disesuaikan dengan jarak tempuh larva. Perbandingan minimal 1:1 bagian oksigen dengan air (tergantung dengan jarak tempuh dan kepadatan), DO kantong minimal 14 mg/l. Agar tidak mudah lepas, pengikatan dilakukan menggunakan karet. Kemudian larva dalam bentuk packingan tersebut, dimasukkan kedaam box sterofoam container. Tambahkan es batu pada setiap box untuk menjaga suhu agar tetap dingin. Kemudian, dilakukan pengepakan menggunakan lakban agar benur lebih aman. 5.4. Performansi Kinerja Budidaya Target produksi PT. Suri Tani Pemuka – Carita dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Target produksi perusahaan Jenis Target 50 Siklus September 82 SNI, (2009) - % 85,00 89,12 - % 80,00 79,38 - Petak 22 20 - 45.700.000 - 58,42 40,00 26.900.000 - Satuan Target induk/hari Fertilization Rate (FR) Hatching Rate (HR) Maturasi Petak terisi Tebar Survival Rate (SR) Panen Panjang Ekor/siklus 52.000.000 % 70,00 Ekor/siklus 37.000.000 Mm 8,5 7,5 8,5 Lipid % 70 45 - Virus % 0 0 0 Necrosis % 10 12 20 103 Dalam pelaksanaannya, usaha budidaya pembenihan udang vaname di PT. Suri Tani Pemuka – Carita memiliki standar operasional prosedur (SOP) dan target yang telah ditetapkan oleh perusahaan atau kepala bagian produksi. 5.4.1. Fertilization Rate (FR) Perhitungan Fertilization Rate (FR) dilakukan untuk mengetahui rata-rata persentase total telur yang berhasil terbuahi selama siklus pemeliharaan. Fertilization Rate (FR) Siklus September, Siklus bulan Agustus, dengan target Nilai FR (%) perusahaan dapat dilihat pada Gambar 69. 90.00 89.00 88.00 87.00 86.00 85.00 84.00 83.00 82.00 Target Perusahaan Siklus Agustus Siklus September Gambar 69. Grafik Perbandingan Fertilization Rate (FR) Dari Grafik tersebut, diperoleh rata-rata nilai Fertilization Rate (FR) selama 2 siklus terakir melebihi nilai target perusahaan (85 %), yakni siklus bulan Agustus sebesar 87,93 % dan siklus bulan September sebesar 89,12 %. Afrianto & Muqsith, (2014) menambahkan, Nilai Fertilization Rate (FR) pada induk dengan performa maksimal yaitu sebesar 84 %. 5.4.2. Hatching Rate (HR) Perhitungan Hatching Rate (HR) dilakukan untuk mengetahui rata-rata persentase total telur yang berhasil ditetaskan selama siklus pemeliharaan. Dari tabel tersebut, diperoleh rata-rata nilai HR selama 2 siklus terakir mendekati nilai target perusahaan (80 %), yakni siklus bulan Agustus sebesar 80,34 % dan siklus bulan September sebesar 79,38 %. Afrianto & Muqsith, (2014) menambahkan nilai rata-rata Hatching Rate umumnya sebesar 79,00 %. Hatching Rate (HR) siklus bulan September, siklus bulan Agustus dengan target perusahaan dapat dilihat pada Gambar 70. Nilai HR (%) 104 80.60 80.40 80.20 80.00 79.80 79.60 79.40 79.20 79.00 Target Perusahaan Siklus Agustus Siklus September Gambar 70. Grafik Perbandingan Hatching Rate (HR) 5.4.3. Survival Rate (SR) Perhitungan Surival Rate (SR) dilakukan untuk mengetahui rata-rata persentase total larva yang berhasil dibudidayakan hingga dipanen selama 1 siklus pemeliharaan. Rata-rata survival rate (SR) selama 2 siklus terakhir masih kurang dari target perusahaan (70,00%), yakni siklus bulan Agustus sebesar 58,78% dan siklus bulan September sebesar 58,42%. Surival Rate (SR) siklus bulan September, siklus bulan Agustus dengan target perusahaan dapat dilihat pada Gambar 71. 75.00 Nilai SR (%) 70.00 65.00 60.00 55.00 50.00 Target Perusahaan Siklus Agustus Siklus September Gambar 71. Grafik perbandingan Survival Rate (SR) Afrianto & Muqsith, (2014) menambahkan nilai rata-rata survival rate (SR) umumnya sebesar 50,00 %. Survival rate (SR) (70 %) dibuat cukup tinggi agar karyawan lebih bersemangat dalam mengejar target perusahaan. Aji Saputra selaku karyawan divisi larva mengatakan, karyawan akan mendapat bonus gaji sebesar Rp.500.000,- apabila target perusahaan tercapai seperti pada Siklus bulan April 2019. 105 5.5. Indentifikasi Masalah 5.5.1. Diagram Fishbone Permasalahan yang berhasil ditemukan dilapangan dirangkum pada Lampiran 17. Analisa permasalahan dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Analisa permasalahan Faktor Karyawan / Man Sebab 1. Karyawan cenderung menghindari pekerjaan merucah pakan cumi-cumi 2. Karyawan merasa pegal dibagian punggung karena duduk lama untuk merucah pakan Cumi-cumi 3. Karyawan memutuskan untuk mempercepat proses perucahan tanpa mementingkan hasil potongan / cacahan Bahan / Materials Mesin / Machines Metode / Metods Akibat 1. Ukuran potongan cumicumi tidak beraturan atau tidak terpotong sepenuhnya 2. Pakan tersebut tidak disukai oleh induk udang. hal ini dapat dilihat pada sisa pakan pada saat menyipon 3. Nafsu makan induk udang menurun, mengakibatkan pematangan gonad menjadi melambat - - 1. Menggunakan pisau dapur, bukan pisau cacah (pisau daging) 2. Jumlah pisau terbatas 1. Hasil petongan tidak sempurna atau cumi-cumi tidak terpotong sepenuhnya 2. Pekerjaan sampling induk terhambat 1. Pisau menjadi tumpul, sehingga sulit untuk memotong daging cumicumi 1. Pisau tidak diasah dengan batu asah Uang / Money - - Lingkungan / environtment - - Analisa permasalahan ditemukan pada saat penulis mengikuti kegiatan merucah pakan Cumi-cumi bersama pegawai lain, dan pada saat penulis menyipon bak pemeliharaan induk. 106 5.5.2. Solusi Permasalahan Beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Solusi permasalahan Faktor Solusi permasalahan 1 2 1. Membuat tempat duduk dan meja rucah yang nyaman untuk merucah berjam-jam pada ruang pengelolaan pakan induk 2. Tindakan tegas oleh kepala divisi induk agar karyawan tidak menghindari kegiatan merucah pakan 3. Kualitas dan kuantitas telur menurun karena jumlah dan kondisi pakan rucah yang tidak stabil Karyawan / Man Bahan / Materials - Mesin / Machines 1. Membeli pisau rucah (pisau daging agar lebih mudah untuk merucah daging cumi-cumi) 2. Membeli batu asah agar pisau menjadi tajam untuk merucah cumi-cumi sehingga waktu merucah dapat dipersingkat Metode / Metods 1. Membeli batu asah Uang / Money - Lingkungan / Environment - 5.6. Analisa Finansial Data biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel atau biaya tidak tetap dan hasil pengelolaan analisa finansial berupa analisa laba rugi hingga payback period pada siklus produksi bulan September 2019 di PT. Suri Tani Pemuka – Carita, dapat dilihat pada Lampiran 15, 16, 17, dan 18. 5.6.1. Analisis Laba Rugi Usaha pembenihan udang Vaname di PT. Suri Tani Pemuka – Carita pada siklus produksi bulan September dinyatakan menguntungkan, dengan keuntungan sebesar Rp. 4.638.650.000,00. 107 5.6.2. Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) Usaha pembenihan udang vanname di PT. Suri Tani Pemuka - Carita dikatakan layak karena R/C ratio yang dihasilkan >1, yaitu modal Rp.1,00 dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 1,69. 5.6.3. Break Even Point (BEP) Perusahaan akan mengalami titik impas (tidak untung/tidak rugi) ketika volume produksi sebesar Rp. 2.655.960.000,00 dan harga jual hasil produksi larva yaitu Rp. 60.891.121,30 ekor/tahun. 5.6.4. Payback Periode (PP) Waktu yang diperlukan untuk mengembalikkan modal yang digunakan dalam usaha pembenihan udang vaname adalah selama 0,99 tahun atau 11,88 bulan. 108 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan performansi di PT. Suri Tani Pemuka – Carita terdapat beberapa kesimpulan yang diperoleh yaitu sebagai berikut. a) Kegiatan persiapan wadah yang dilakukan sudah cukup baik dengan menggunakan alat serta bahan yang sesuai untuk sterilisasi. b) Persiapan air yang dilakukan sudah cukup baik karena dilakukan proses desinfeksi untuk membuat air lebih aman untuk kegiatan budidaya. c) Induk yang digunakan merupakan induk impor berkualitas baik dan telah memenuhi syarat kriteria induk. d) Kagiatan produksi naupli yang dilakukan cukup baik namun mengalami penurunan dari siklus sebelumnya yang ditunjukkan dengan rata-rata tingkat hatching rate telur yaitu 79,38 %. e) Kegiatan pemeliharaan larva yang dilakukan sudah baik yang ditunjukkan dengan kebutuhan pakan alami maupun pakan buatan larva telah tercukupi dengan baik serta kondisi media pemeliharaan larva masih dalam kisaran aman. f) Pengelolaan penyakit yang dilakukan dapat dikatakan sangat baik karena larva terhindar dari serangan penyakit berbahaya selama masa pemeliharaan. g) Hasil produksi larva yang dicapai tidak memenuhi target perusahaan yang ditunjukkan dengan rata-rata tingkat kelulus hidupan larva yaitu 62, 04 %. 2) Aspek Finansial a) Kegiatan pembenihan udang vaname di PT. Suri Tani Pemuka – Carita dinyatakan ‘Layak” untuk dijalankan karena dalam satu tahun dapat menghasilkan Laba sebesar Rp. 4.638.650.000,00. b) Kegiatan pembenihan udang vanname di PT. Suri Tani Pemuka - Carita dinyatakan “Layak” untuk dijalankan karena R/C ratio yang dihasilkan sebesar 1,69. 109 c) Titik impas perusahaan adalah ketika hasil produksi atau BEP (Break even point) larva mencapai Rp. 60.891.121,30 ekor/tahun dengan BEP (Break even point) harga sebesar Rp. 2.655.960.000,00. d) Modal usaha dapat dikembalikan dalam jangka waktu 0,99 tahun (11,88 bulan). 6.2. Saran 1) Aspek teknis a) Sebaiknya cara kerja pada kegiatan wadah yang dilakukan dipertahankan. b) Sebaiknya cara kerja pada kegiatan persiapan media yang dilakukan dipertahankan. c) Sebaiknya induk yang digunakan tetap induk yang berkualitas. d) Sebaiknya keberhasilan produksi naupli yang telah dicapai dipertahankan. e) Sebaiknya jumlah penebaran pada tiap siklus ditingkatkan. f) Sebaiknya cara kerja pada kegiatan pemeliharaan larva ditingkatkan. g) Sebaiknya pengelolaan penyakit yang dilakukan lebih ditingkatkan. h) Sebaiknya keberhasilan produksi larva yang telah dicapai ditingkatkan. 2) Aspek Finansial Sebaiknya kegiatan pembenihan udang vanname ini harus ditingkatkan karena usaha ini layak untuk dijalankan dengan tingkat keuntungan yang besar serta tingkat pengembalian modal yang cepat. 110 DAFTAR PUSTAKA Afrianto. A. & A. Muqsith. (2014). Manajemen Produksi Nauplius Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Di Instalasi Pembenihan Udang Balai Perikanan Budidaya Air Payau, Gelung, Situbondo, Jawa Timur. Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) - Situbondo. Anam. C., A. Khumaidi, & A. Muqsith. (2016). Manajemen Produksi Naupli Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Instalasi Pembenihan Udang (IPU) Gelung Balai Perikanan - Situbondo. Anwar. L. O., K. Sumantadinata & O. Carman. (2007). Karakteristik Sperma Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Pada Beberapa Periode Rematurasi. Institut Pertanian Bogor - Bogor. Anwar. L.O. (2006). Karakteristik Sperma Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Pada Beberapa Periode Rematurasi. Institut Pertanian Bogor - Bogor. Arsyad. M., D. Wenny, & A.G. Ariesia. (2014). Pengaruh Pemberian Suhu 8˚C Terhadap Lama Waktu Pingsan Ikan Mas (Cyprinus carpio), Ikan Patin (Pangasius sp.), Ikan Lele (Clarias sp.), Dan ikan Gurame (Osphronemus gourami). Jurnal Ilmiah Inovasi. Vol. 14 No. 2 Hal 110-116. Asmoko. H. (2004). Teknik Ilustrasi Masalah - Fishbone Diagrams. Diklat Kepemimpinan, Pusdiklat Pengembangan SDM, BPPK - Magelang. Afriansyah. I. & I. H. Dewiyanti. (2016). ISSN - 2527-6395. Magelang. No.1 Hal 252-261. BAPPENAS. (2000). Budidaya Udang Windu (Palaeomonidae / Penaeidae). Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. BBPBAP-Jepara. (2017). Petunjuk Teknis Revitalisasi Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara (BPBBAP) - Jepara. Erwinda. Y. E. (2008). Pembenihan Udang Putih (Penaeus vannamei) Secara Intensif. Institut Teknologi Bandung – Bandung. Ernawati & Rochmady. (2017). Pengaruh pemupukan dan padat penebaran terhadap tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan post larva udang Vaname (Litopenaeus vannamaei) - Lampung. Farchan. M. (2006). Theknik Budidaya Udang Vaname (Litopenaes vannamei) BAPPL-STP - Serang. Fuady. M. F, M. N. Supardjo, & Haeruddin. (2013). Pengaruh Pengelolaan Kualitas Air Terhadap Tingkat Kelulushidupan Dan Laju Pertumbuhan Udang 111 Vaname (Litopenaeus vannamei) Di PT. Indokor Bangun Desa, Yogyakarta. Universitas Diponegoro – Semarang. Fajri. M. N., Y.L. Handayani, S. Sutikno. (2017). Efektifitas Rapid Sand Filter Untuk Meningkatkan Kualitas Air Daerah Gambut Di Provinsi Riau. Universitas Riau – Pekanbaru. FAO Fisheries Departement. (2003). Helth Management And Biosecurity Maintenance In White Shrimp (Penaeus Vannamei) Hatcheries In Latin Ameria. Viale Delle Terme Di Caracalla – Italy. Febrianti. D., I. Widiani, & A. A. Suryani. (2010). Pendekatan Teknologi Bioflok (Bft) Berbasis Probiotik Bacillus Subtilis Pada Tambak Udang Vaname (Litopanaeus vanamei). Institut Pertanian Bogor – Bogor. Govahi, Afsharnasb, Motalbei Moghanjighi, & Haghighi. (2014). Multiple infections in shrimp Litopenaeus vannamei broodstock in commercial hatcheries in Khouzestan Province. Iranian Journal of Fisheries Sciences. Hadie. W. & J. Supriatna. (1988). Pengembangan Udang Galah dalam Hatchery & Budidaya Edisi ke-2. Kanisius. Yogyakarta. Hakim L., Supono, Yudha. T. A., Sri. W. (2018). Performa Budiaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Semi Intensif do Desa Purworejo Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur. e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. Lampung Henz. (2011). Teknik Pemeliharaan Larva Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Universitas Diponegoro - Yogyakarta Juarno. O. (2012). Daya Saing Dan Strategi Peningkatan Ekspor Udang Indonesia Di Pasar Internasional. Institut Pertanian Bogor - Bogor. Jusadi. D., S. Ruchyani, I. Mokoginta, & J. Ekasari. (2011). Peningkatan Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Larva Udang Putih (Litopenaeus vannamei) melalui Pengayaan Rotifera dengan Taurin. Institut Pertanian Bogor – Bogor. Kurniaji. A. (2013). Laporan Praktikum Manajemen Hatchery Udang Vaname (litopenaeus vannamei). Universitas Haluoleo – Sulawesi. Kokarin. C., M. L. Nurjadjana, & B. S. Ranoemihardjo. (1986). Produksi Induk Masak Telur Dalam Pembenihan Udang Windu. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara - Jepara. Kusnadi. E. (2013). Fishbone Diagram dan Langkah-Langkah Pembuatannya. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Kilawati, Y. & Y. Maimunah. (2014). Kualitas Lingkungan Tambak Intensif (Litapenaeus vannamei) Dalam Kaitannya Dengan Prevalensi Penyakit White Spot Syndrome Virus. Universitas Brawijaya – Malang. 112 Kannan, Thirunavukkarasu, Jagadeesan, Shettu, & A. Kumar. (2015). Procedure for Maturation and Spawning of Imported shrimp (Litopenaeus vannamei) in Commercial Hatchery, South East Coast of India. Annamalai University India. Kasmir, & Jakfar. (2003). Studi Kelayakan Bisnis. Kencana Prenada Media Grup – Jakata. Vol. 9. Hal 78-79. Kalesaran. O. J. (2010). Pemeliharaan Post Larva (Pl4-Pl9) Udang Vaname (Penaeus vannamei) Di Hatchery Pt. Banggai Sentral Shrimp Provinsi Sulawesi Tengah. Universitas Sam Ratulangi – Manado. Khodijah. S. L. (2015). Analisis faktor-faktor Penyebab Kerusakan Produk Pada Proses Cetak Produk. Universitas Diponegoro – Semarang. Laimeheriwa B. M. (2010). Fisiologi Reproduksi Udang Laut (Penaeid): Interaksi antara faktor lingkungan dengan mekanisme dan kontrol aksi hormon dan pematangan gonad udang Windu. AQUASAINS - Jakarta. Lante. S., & Herlinah. (2015). Pengaruh Pakan Alami (Chaetoceros spp.) Terhadap Perkembangan Dan Sintasan Larva Udang Windu (Penaeus monodon). Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau – Sulawesi Selatan. Lestari. A. (2009). Manajemen Risiko Dalam Usaha Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei), Studi Kasus Di PT. Suri Tani Pamuka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Institut Pertanian Bogor - Bogor. Lumentut H. B. & S. Hartati. (2015). Sistem Pendukung Keputusan untuk Memilih Budidaya Ikan Air Tawar Menggunakan AF-TOPSIS. IJCCS Vol. 9 No.2 pp. 197-206. Universitas Gajah Mada – Yogyakarta. Malik. I. (2014). Budidaya Udang Vannamei - Seri Panduan Perikanan Skala Kecil (Versi 1), Tambak Semi Intensif dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah ( IPAL ). WWF – Indonesia. Mujiman. A.& Suyanto. (1987). Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon). Penebar Swadaya - Jakarta. Panjaitan. A. S. (2012). Pemeliharaan Larva Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei, Boone 1931) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang Berbeda. Universitas Terbuka Jakarta – Jakarta. Pudyastuti. P. A., H. Sambodo, K. Windhani. (2018). Analisis Daya Saing Ekspor Komoditas Udang Indonesia Di Pasar Eropa Tahun 2008-2016. Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto. Purba. C. Y. (2012). Performa Pertumbuhan Kelulushidupan, dan Kandungan Nutrisi Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) melalui Pemberian Pakan Artemia Produk Lokal yang Diperkaya dengan Sel Diatom. Undip – Semarang. 113 Prabowo. R. W., S. Waluyo, Y. T. Adiputra, R. Diantari, & E. Harpeni. (2014). Penerapan Manajemen Kesehatan Panti Benih Udang Di Kalianda Lampung Selatan. AQUASAINS – Jakarta. Rakhmawam. H. (2009). Analisis Daya Saing Komoditi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Indonesia Di Pasar Internasional. Institut Pertanian Bogor - Bogor. Rosyid. A. (2015). Tinjauan Aspek Non-Finansial Kelayakan Agribisnis Usaha Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vanamei). Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya - Karawang. Sa’adah. W. & A. F. Roziqin. (2018). Upaya Peningkatan Pemasaran Benur Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di PT. Artha Maulana Agung. Universitas Islam Lamongan – Lamongan. Salimin. Z. & Gunandjar. (2006). Penggunaan EDTA sebagai Pencegah Timbulnya Kerak pada Evaporasi Limbah Radioaktif Cair. PTLR – Batam. Setiawan. A., A. B. Susanto, Khoironi, N. Maharani, D. Ariana, & A. Saefudin. (2004). Pemilihan Dan Pemeliharaan Induk Udang (Litopenaeus vannamei). Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan - Jakarta. Susanti. E., Subandiyono, & V. E. Herawati. (2015). Tingkat Pemanfaatan (Artemia Sp.) Beku, Dan Silase Artemia Sp. Untuk Pertumbuhan Postlarva Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei). Universitas Diponegoro – Semarang. Sumarwan. J., D. Anindiastuti. Suwoyo & Kaemudin. (2007). Teknik Produksi Benih Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.) SPF Sembv Dengan Nauplius Hasil Metode Double Screening. INDOAQUA - Yogyakarta. Suastika. M. (2013). Kualitas Air Pada Pemeliharaan Udang Vanname (Litopenaeus vannamei). Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan Karangasem – Bali. Sabrina. S. & D. Rachmawati. (2014). Performa Kematangan Gonad, Fekunditas Dan Derajat Penetasan Melalui Pemberian Kombinasi Pakan Alami Pada Induk Udang Windu (Penaeus monodon Fab). Universitas Diponegoro – Semarang. Sandjaja. & Atmaria. (2009). Kamus Health and Safety Programs. Telkom Open Library – Jakarta. SNI 01-7252-2006. (2006). Induk udang Vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok. Badan Standardisasi Nasional - Jakarta. SNI 01-2705.1-2006. (2006). Udang Beku – Bagian 1 : Spesifikasi. Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei). Badan Standardisasi Nasional - Jakarta. SNI 7311:2009. (2009). Produksi Benih Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar. Badan Standardisasi Nasional - Jakarta. 114 SNI 8037.1:2014. (2014). Udang Vaname (Litopenaeus vannamei, Boone 1931) Bagian 1 : Produksi Induk Model Indoor. Badan Standardisasi Nasional Jakarta. Suwoyo. H. S. & M. Mangampa. (2010). Aplikasi Probiotik dengan Konsentrasi berbeda pada pemeliharaan udang vaname (Litopenaeus vannamaei) Universitas diponegoro - Semarang. Suwoyo. H. S. (2018). Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Teknologi Ekstensif Plus. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau - Bogor. Suwoyo. H. S., M. C. Undu., & Rachmansyah. (2013). Tingkat Konsumsi Oksigen Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Pada Ukuran Bobot Yang Berbeda. Balai Penelitian Dan Pengembangan Budidaya Air Payau – Maros. Tahe. S., A. Nawang, & A. Mansyur. (2011). Pengaruh Pergiliran Pakan Terhadap Pertumbuhan Sintasan Dan Produksi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau – Sulawesi Selatan. Tarsim., M. J. Zairin., & E. Riani. (2009). Pengaruh Penyuntikan Estardol-17β Pada Perkembangan Gonad Induk Udang Putih (Litopenaeus Vannamei). Institut Pertanian Bogor – Bogor. Taqwa. F. H., M. Fitriani, & B. T. Esto. (2008). Performa Pasca Larvae Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Pada Berbagai Lama Masa Adaptasi Penurunan Salinitas Rendah Dengan Penambahan Natrium, Kalium Dan Kalsium. Universitas Sriwijaya – Sumatra Selatan. Treece. G. D., & J. M. Fox (1993). Design, Operation and Training Manual For an Intensive Culture Shrimp (Litopenaeus vannamei). Jurnal Aquaculture Indonesia - Jakarta. Triharto. D. P. (2010). Studi ketahanan logam murni perairan terhadap larutan asam basa. Universitas Indonesia – Jakarta. Umar. H. (1997). Studi Kelayakan Bisnis. Gramedia Pustaka Utama – Jakarta Vol. 1. Hal. 66-67. Umiliana., M. Satrtijo, & Dasrina. (2016). Pengaruh Salinitas Terhadap Infeksi Infection myonecrosis virus (IMNV) pada udang vaname (litopenaeus vannamei) (Boone, 1931). BPBAP – Jepara. Wahyudewantoro. G. (2011). Catatan biologi udang putih (Litopenaeus vannamei) (Boone, 1931). Fauna Indonesia. Jakarta. Vol. 2. Hal. 1-7. Wahyuni. D. A. (2011). Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Skala Rumah Tangga (Back Yard) Di Stasiun Lapangan Praktek Pembenihan Akademi Perikanan Sidoarjo (Slpp-Aps), Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan Propinsi Jawatimur. Universitas Airlangga – Surabaya. 115 Widyaningrum. D. (2012). Key of Performance Indicators (KPIs) on Vannamei Shrimp Supply Chain Performance (a Preliminary Research). IOP Conference Series. Wiban. J., & Sweeney. (1989). Intensive shrimp growout trial in a round pond. Marine Genetics LLC. Winestri. J., D. Rachmawati, & I. Samidjan. (2014). Effects of Dietary Vitamin E on the Growth dan Survival Rate of Mud Crabs (Scylla parumamosain). Journal of Aquaculture Management and Technology.