Uploaded by aldyr598

pembenihan udang vaname 2020 lengkap

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) termasuk salah satu komoditas
perikanan unggulan di dunia. Menurut Rakhmawan, (2009) udang Vaname
memiliki nilai jual tinggi dalam perdagangan internasional. Udang Vaname
berkontribusi pada dunia akuakultur sebesar 47% dari total produksi jenis udang
(Focken et al, 2006 dalam Wahyudewantoro, 2011). Dilihat dari tingkat konsumen
dunia, permintaan udang Vaname rata-rata naik 11,5% per tahun (BAPPENAS,
2000).
Peningkatan
permintaan
udang
Vaname
di
dunia,
menyebabkan
bertambahnya kebutuhan larva bagi para petambak di Indonesia. Dilansir dalam
Suwoyo (2018), Pemanfaatan lahan tambak di Indonesia sebagai penghasil
komoditas udang Vaname mencapai 6.573.46ha. Hakim (2018) menambahkan,
padat tebar awal yang umum digunakan yaitu sebesar 60m2, maka diperkirakan
kebutuhan Larva udang Vaname bagi para petambak Indonesia dapat mencapai
394.407.600.000 ekor.
Permasalahan yang sering dihadapi bagi para petambak di Indonesia salah
satunya yaitu ketersediaan larva berkualitas. Kualitas Larva merupakan input utama
keberhasilan budidaya udang Vaname (Sumarwan dkk, 2007). Larva berkualitas
dihasilkan dengan penanganan produksi yang terawasi dengan persyaratan yang
telah ditetapkan. Syarat tersebut antara lain, panjang minimal 8,5mm, prevalensi
parasit maksimal 20%, dan prevalensi nekrosis maksimal 5% terhadap populasi,
dengan keseragaman ukuran 80% (SNI 1-7252-2006). Selain itu, SPF (Specific
Pathogen Free) (Erwinda, 2008) dan SPR (Specific Phatogen Resistant) juga
termasuk dalam persyaratan Larva berkualitas baik (Juarno, 2012). Permasalahan
tersebut menjadi tantangan bagi para perusahaan penghasil Naupli untuk dapat
mencukupi kebutuhan Larva dengan kualitas baik.
Maka dari itu, peluang usaha membenihkan udang Vaname menjadi potensi
yang cukup menguntungkan di masa depan. Latar belakang tersebut menjadi
landasan bagi penulis dalam melaksanakan praktik Integrasi di salah satu
2
perusahaan penghasil larva yaitu PT. Suri Tani Pemuka sebagai salah satu
perusahaan hatchery terkemuka di Indonesia.
1.2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan praktik integrase antara lain sebagai berikut.
a) Mengetahui tekhnik dan mampu melakukan pembenihan udang vaname.
b) Mengidentifikasi masalah pembenihan udang Vaname di tempat praktik
dengan metode Kaizen.
c) Mampu menghitung analisis finansial pada usaha pembenihan udang vaname.
1.3. Batasan masalah
Pada pelaksanaan praktek integrasi ini pengamatan yang dilakukan serta
pembahasannya hanya dibatasi pada masalah-masalah sebagai berikut.
a) Teknik pembenihan udang vaname (L. vannamei) meliputi kegiatan Pra
produksi (kelayakan lokasi, persiapan wadah dan persiapan media), kegiatan
produksi (pemeliharaan induk, pematangan gonad, pemijahan, penetasan
telur, penebaran naupli, pengematan pertumbuhan, pengelolaan pakan,
pengelolaan kualitas air, pengendalian hama dan penyakit), kegiatan pasca
produksi (panen dan pasca panen).
b) Analisa finansial yang dibatasi (Analisa Laba/Rugi, Revenue Cost Ratio,
Payback Periode, dan Break Even Point).
c) Identifikasi masalah dengan metode Kaizen menggunakan analisis Fishbone.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Udang Vaname
Udang Vaname (L. vannamei) memiliki sifat biologi yang unik. Udang
Vaname bersifat nokturnal atau aktif pada keadaan gelap (Darmono, 1991 dalam
Wahyuni, 2011), kanibal pada kepadatan tinggi (Hadie & Supriatna, 1988), dan
bersifat karnivora atau pemangsa berbagai jenis krustasea renik amphipoda, dan
polychaeta (Wyban & Sweeny, 1991). Mujiman & Suyanto, (1987 dalam Wahyuni,
2011) menambahkan, udang Vaname suka memangsa udang lain terutama pada saat
ganti kulit..
Udang Vaname (L. vannamei) relatif tumbuh dengan cepat (Purba, 2012).
Berat udang tetap bertambah tiap minggu dalam kultur berdensitas tinggi 100
udang/m2. Berat udang dewasa dapat mencapai 20g dan diatas berat tersebut udang
vaname cenderung tumbuh dengan lambat yaitu, sekitar 1g/minggu (Lestari, 2009).
Usia pemeliharaan udang Vaname relatif lebih cepat dibandingkan udang Windu,
yakni 90-100 hari (Brito et al., 2014). Selain itu, survival rate (SR) udang Vaname
dapat mencapai >80 % (Madenjian, 1990). Lestari (2009) menambahkan, udang
betina tumbuh lebih cepat dari pada udang jantan.
Udang Vaname (L. vannamei) memiliki nilai toleransi parameter kualitas air
yang luas. Nilai toleransi salinitas udang Vaname cukup luas (euryhaline) yaitu
sebesar 2-40g/l (Lestari, 2009) tetapi akan tumbuh dan berkembang cepat pada
salinitas 15-25g/l (Suharyadi, 2011). Temperatur yang sesuai sebesar 23-30˚C
(Amri & Kanna, 2008 dalam Lestari, 2009). Faktor lingkungan lainnya seperti,
musim ikut serta dalam mengatur fisiologi udang Vaname. Termasuk reproduksi,
perilaku, moulting, morfogenesis dan makanan. (Laimeheriwa, 2010).
2.1.1. Taksonomi Udang Vaname
Haliman & Adijaya (2005) menjelaskan bahwa taksonomi udang vaname
adalah sebagai berikut.
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
4
Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Family
: Penaeidae
Genus
: Litopenaeus
Spesies
: Litopenaeus vannamei
2.1.2. Morfologi Udang Vaname
Tubuh udang Vaname (L. vannamei) terbagi atas dua bagian, yaitu bagian
kepala (thorax) dan Bagian tubuh (abdomen). Kordi (2007) menjelaskan, pada
bagian kepala terdiri dari antena, antenula, 3 pasang maxilliped, 5 pasang kaki jalan
(periopoda). Sedangkan bagian abdomen terdiri dari 6 abdominal segment yang
mana pada masing-masing segmen memiliki sepasang kaki renang (pleopoda)
(kecuali segmen ke-6), dan sepasang uropods yang membentuk kipas bersama
telson. Morfologi Udang Vaname (L. vannamei) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi udang Vaname (Suharyadi, 2011)
Keterangan.
(1) Carapace, (2) Rostrum, (3) Mata majemuk, (4) Antennules, (5) Prosartema, (6)
Antena, (7) Maxilliped, (8) Pereopoda, (9) Pleopoda, (10) Uropoda, (11) Telson,
(a) Oesophagus, (b) Ruang cardiac, (c) Ruang pyloric, (d) Cardiac plate, (e) Gigigigi cardiac, (f) Cardiac ossicle, (g) Hepatopancreas, (h) Usus, (i) Anus
Tubuh udang Vaname dibentuk oleh dua cabang yaitu bagian luar tubuh
udang (exopodite) dan bagian dalam tubuh udang (endopodite). Bagian exopodite
kepala terdiri dari antenulla (sungut awal sebagai indera perasa), antenna (sungut
kedua sebagai sensor), mandibula (rahang atas), dan dua pasang maxillae (rahang
5
bawah). Kepala udang dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped (organ makan di
dekat maxilla) dan 5 pasang kaki berjalan (peripoda) atau kaki sepuluh (decapoda).
Maxilliped sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan.
Peripoda berbentuk beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus (bagian ujung
kaki udang). Dactylus ada yang berbentuk capit (tiga kaki di bagian belakang)
sedangkan tanpa capit (dua kaki di bagian depan) (Suharyadi, 2011).
2.1.3. Siklus Hidup
Siklus hidup udang Vaname terdiri dari 2 bagian, yaitu laut dan estuari.
Udang Vaname mencari pasangan untuk berpijah dilaut lepas. Induk udang akan
mengeluarkan telurnya hingga menetas didasar laut, kemudian larva (Nauplii, Zoea,
dan Mysis) akan melayang pada permukaan peraian (Suharyadi, 2011). Briggs,
(2011) menambahkan, ddang yang beranjak ke tahap post larva bermigrasi ke
pantai atau perairan estuari hingga menjadi remaja (juvenile). Siklus hidup udang
vaname (L. vannamei) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Siklus Hidup Udang Vaname (Wyban & Sweeney, 1991 dalam
Panjaitan, 2012)
Menurut Wyban & Sweeney (1991) dalam Wahyuni (2011), terdapat fase-fase
sebelum mencapai ke tahap udang dewasa.
1. Stadia Naupli
Telur menetas menjadi Naupli selama 24 jam (Rakhmawan, 2009). Naupli
rata-rata berukuran 0,32 – 0,58 mm. (Haliman & Adijaya, 2005 dalam Afrianto &
Muqsith, 2014). Naupi bersifat planktonik dan fototaksis positif (Wahyuni, 2011),
6
selain itu Naupli masih memiliki kuning telur sehingga tidak memerlukan makanan
untuk beberapa saat (Haliman dkk, 2005 dalam Afrinto & Muqsith, 2014).
Perkembangan stadia Naupli pada udang vaname terdiri dari enam fase. Pada
tiap fase, Naupli memiliki 3 pasang organ tubuh yaitu antena pertama, antena
kedua, dan mandible. Larva udang Vaname berbentuk seperti kutu air (Panjaitan
dkk, 2014). Fase Naupli dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Fase Naupli (Pudadera dkk., 1985)
A. Naupli I : Bentuk badan bulat telur dan mempunyai anggota badan 3 pasang.
B. Naupli II : Pada ujung antena pertama terdapat rambut (setae) yang satu panjang
dan dua lainnya pendek.
C. Naupli III : Furcal dua buah mulai jelas terlihat masing– masing dengan tigaduri
(spine) yang terdiri dari tunas maxilla dan maxilliped.
D. Naupli IV : Pada masing– masing furcal terdapat 4 buah duri yang terdiri dari
exopoda pada antena kedua beruas– ruas.
E. Naupli V : Struktur tonjolan tumbuh pada pangkal maxilla. Organ bagian
depan mulai tampak jelas.
F. Naupli VI : Perkembangan bulu– bulu makin sempurna dan duri pada furcal
tumbuh makin panjang.
2. Stadia Zoea
Naupli bermetamorfosis menjadi Zoea memerlukan waktu sekitar 40 jam
setelah penetasan (Rakhmawan, 2009). Zoea bersifat planktonis dan sensitif
terhadap cahaya (Wahyuni, 2011). Zoea sudah dapat memakan jenis phytoplankton
dan zooplankton sebagai pakan alami.
Zoea terdiri dari tiga fase. Setiap Fase dibedakan berdasarkan segmentasi
abdomen, perkembangan lateral, dan dorsal pada setiap segmen. Zoea dibagi ke
7
dalam tiga bagian tubuh, yaitu carapace, thorax dan abdomen (Wahyuni, 2009).
Fase Zoea dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Fase Zoea (Pudadera dkk., 1985)
A. Zoea I : Badan pipih dan carapace mulai nyata, mata mulai tampak, maxilla
pertama dan kedua serta maxilliped pertama dan kedua mulai berfungsi,
proses furcal mulai sempurna, dan alat pencernaan makanan tampak.
B. Zoea II : Mata bertangkai yang terdiri dari carapace sudah terlihat, rostrum dan
duri supra orbital mula bercabang.
C. Zoea III : Sepasang Uropoda biramus mulai bercabang, dan duri pada ruas– ruas
perut mulai tumbuh.
c. Stadia Mysis
Zoea bermetamorfosis menjadi Mysis yang memerlukan waktu sekitar 3-4
hari hingga masuk ke Stadia Post Larva (PL). Pada stadia Mysis, bentuk udang yang
dicirikan sudah terlihat, seperti ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Ukuran
larva pada stadia ini berkisar 3,50– 4,80 mm (Rakhmawan, 2009). Fase Mysis dan
Post larva dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Fase Mysis dan Post Larva (Pudadera dkk., 1985)
8
Wahyuni, (2009) mengatakan, Stadia Mysis terdiri dari tiga fase yang dapat
dicirikan sebagai berikut.
a). Mysis I : Bentuk badan sudah seperti dewasa.
b). Mysis II : Tunas pleopoda mulai tampak nyata tetapi belum beruas–ruas.
c.) Mysis III : Pleopoda bertambah panjang dan beruas– ruas.
d. Stadia Post Larva (PL)
Pada tahap akhir, Mysis akan bermetamorfosis menjadi Post Larva, yaitu
udang muda yang sudah memiliki ciri-ciri udang dewasa (Rakhmawan, 2009).
Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Misalnya, PL l berarti post
larva berumur satu hari (Gambar. 5). Stadia PL1 mempunyai ciri pleopoda memilki
rambut (setae) yang digunakan untuk membantu berenang. larva udang sudah mulai
aktif bergerak dan melentik. Sifat Post Larva cenderung karnivora.
2.1.4. Kebiasaan Makan
Udang Vaname menggunakan berbagai anggota tubuh untuk mencari dan
mengolah pakan dimangsa (Anwar dkk, 2007). Udang Vaname mencari dan
mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal berupa getaran dengan bantuan organ
sensor yang terdiri dari bulu-bulu halus (setae) yang terpusat pada ujung anterior
(antenula), dan maxilliped. Sinyal tersebut akan ditangkap dan direspon oleh udang
untuk mendekati sumber pakan. (Tricahyo, 1995 dalam Wahyuni, 2011). Udang
akan bergerak menggunakan kaki jalan yang memiliki capit untuk mendekati
sumber pakan. Makanan akan dijepit menggunakan capit kaki jalan satu, kemudian
dimasukkan ke dalam mulut. Pakan yang berukuran kecil masuk kedalam
kerongkongan dan esophagus. Sholeh, (2006) dalam Wahyuni, (2011)
menambahkan, bila pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, maka akan
dicerna secara kimiawi terlebih dahulu.
2.1.5. Sistem Reproduksi
Udang vaname (L. vannamei) termasuk hewan heteroseksual, yaiu
mempunyai jenis kelamin jantan dan betina terpisah. Udang jantan mempunyai
organ reproduksi yaitu Petasma, Vasa Deferensia, dan Apendiks Maskulina.
Petasma berwarna bening atau tidak berpigmen. Petasma berfungsi untuk
9
mentransfer sperma (Susanto dkk, 2004). Sedangkan udang betina mempunyai
organ reproduksi yang disebut thelicum, sepasang ovarium, oviduk, lubang genital.
Thelicum berfungsi untuk menmapung sperma sebelum terjadi pembuahan
(Mastosudarmo & Ramumiharjo, 1983 dalam Wahyuni, 2011). Alat kelamin udang
Jantan (Petasma), dan udang Betina (Thelicum) dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Alat Kelamin udang Vaname (Susanto dkk, 2004)
Perbedaan alat kelamin udan Jantan dan Betina dapat dilihat dari sisi bawah
(ventral). Telicum terletak diantara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5 (Laimeheriwa,
2010). Sedangkan Petasma terletak pada bagian antara kaki jalan ke-5 dan kaki
renang ke-1 (Anwar, 2006).
2.2. Kesesuaian Lokasi
Lokasi usaha pembenihan udang merupakan langkah awal yang harus di
lakukan sebelum melakukan atau membangun sebuah unit pembenihan. Kesesuaian
lokasi bertujuan untuk memaksimalkan kinerja produksi. BBPBAP Jepara, (2017)
mengatakan, ada beberapa aspek kesesuaian lokasi yang perlu diperhatikan dalam
membangun sebuah unit pembenihan.
1. Lokasi sesuai standar kelayakan pembenihan ikan air payau dengan prasarana
transportasi yang memadahi serta akses yang mudah dituju oleh para
pembudidaya udang.
2. Terhindar dari banjir dan bebas dari pencemaran.
3. Sumber air sesuai persyaratan yang dibutuhkan oleh unit pembenihan dan kaidah
CPIB (Cara Pembenihan Ikan yang Baik).
4. Lahan bebas konflik dan atas nama atau milik sendiri.
10
5. Lahan usaha telah dipersiapkan untuk pembangunan percontohan unit
pembenihan udang.
6. Sarana penunjang operasional dilokasi pembenihan dapat memenuhi kebutuhan
dengan penerapan teknologi yang akan dikembangkan (teknologi anjuran).
2.2.1. Syarat Teknis
a. Sumber Air
Menurut Fuady dkk, (2013), Sumber air dalam usaha pembenihan sangat
menentukan larva yang akan di hasilkan. Adapun beberapa aspek sumber air yang
diamati.
1. Bebas dari polusi dan endapan logam berat.
2. Mempunyai kandungan bahan organik yang relatif rendah.
3. Salinitas berkisar 24-35g/l.
4. pH air berkisar antara 7,8-8,6.
5. Ketersediaan air tawar yang mencukupi dan mudah didapatkan.
b. Lingkungan
Lingkungan memiliki kontribusi yang sangat besar bagi kondisi biota.
Lingkungan yang tercemar akan mengakibatkan kondisi biota menurun sehingga
mudah terserang penyakit (Kilawati & Maimunah, 2015). Lingkungan yang
bersangkutan dengan aspek sosial pun menjadi pertimbangan pada saat akan
membangun unit pembenihan (Prihutomo dkk, 2015). Adapun beberapa aspek
lingkungan yang harus di pertimbangkan pada saat akan membangun unit
pemebenihan.
1. Pencemaran setempat hatchery dapat membuang limbah yang kaya akan nutrien.
2. Penularan penyakit dari satu hatcheri ke hatcheri lain, baik melalui kontak secara
langsung maupun melalui buangan dari hatchery.
3. Daerah rawan terjadi konflik kepentingan antar masyarakat atau pengguna
sumberdaya tersebut.
c. Sarana dan Prasarana
Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai
maksud atau tujuan. Sedangkan Prasarana adalah segala penunjang agar
11
terlaksananya suatu proses usaha (Sim dkk, 2005). Menurut SNI-8037, (2014)
berikut adalah sarana dan prasarana yang harus ada ditempat pembenihan.
1. Ruang laboratorium, ruang mein, tempat penyimpanan bahan kimia dan obatobatan, penyimpanan peralatan, kantor atau ruang administrasi.
2. Bak atau wadah pengendapan atau sistem filtrasi dan tandon, karantina, benih,
pemijahan dan penetasan, pemeliharaan benih, penampungan benih, kultur
pakan alami, dan pengelolaan limbah.
3. Bahan dan peralatan produksi dan panen, peralatan mesin dan peralatan
laboratorium.
4. Sarana biosecurity sekat antar unit produksi, footbath, handsanitiser, pakaian
kerja, dan kelengkapan personil.
2.2.2. Syarat Nonteknis
Syarat nonteknis merupakan pelengkap dan pendukung syarat teknis dalam
mensukseskan kegiatan produksi benih udang vaname melaluin sarana dan
prasarana (Anwar, 2007). Syarat nonteknis menurut Rosyid, (2015) adalah sebagai
berikut.
1. Sarana transportasi.
2. Instalasi listrik (PLN).
3. Komunikasi (telepon dan internet).
4. Pelayanan kesehatan.
2.3. Teknis Pembenihan
Pembenihan adalah suatu kegiatan menghasilkan larva sebagai komponen
(input) bagi kegiatan pembesaran (Effendi, 2004). Teknis pembenihan terdiri dari
tiga aspek utama, yaitu Pra produksi, produksi, dan pasca produksi.
2.3.1. Pra Produksi
a. Persiapan Wadah
Persiapan wadah adalah kegiatan mengeringkan dan membersihkan bak dari
segala bentuk kotoran yang menempel menggunakan bahan densifektan (Sabrina
dkk, 2014). Bahan-bahan desinfektan berfungsi sebagai pembasmi hama atau
12
bakteri yang masih menempel pada dinding atau dasar bak pemeliharaan (Anwar
dkk, 2007). Bahan-bahan organik seperti amoniak yang masih tersisa pada siklus
sebelumnya, akan mengganggu kehidupan larva dikemudian.
Menurut SNI-7311, (2009) terdapat beberapa spesifikasi wadah atau bak yang
digunakan selama proses produksi. Masing-masing wadah memiliki fungsi dan
dimensi yang berbeda-beda. Wadah yang digunakan pada proses produksi
mencangkup penetasan Naupli, pakan alami, dan pemeliharaan Larva.
1. Bak Penanganan Induk
Bak penanganan Induk berfungsi sebagai wadah pemeliharaan induk hingga
pemijahan. Bentuk bak bulat, oval, atau empat persegi panjang. Bersudut tumpul
dengan luas dasar minimal 20m2, dengan ketinggian bak minimal 1m dan
kedalaman air minimal 0,6m (jarak antara permukaan air dan bibir bak minimal
0,3m). Warna dasar bak cerah dan dinding bak berwarna gelap, atau cerah
keseluruhan. Bak karanina ini biasanya terbuat dari semen, fiber glassatau plastik.
3. Bak Penanganan Telur
Bak penanganan Telur berfungsi sebagai media penetasan telur dari bak
pemijahan hingga menjadi Naupli. Bak ini memiliki volume minimal 0,03m2
dengan ketinggian bak 0,8-1m dengan kedalaman air 0,6m. Bak Penanganan Telur
terbuat dari fiber glass, semen atau plastik. Bak penetasan biasanya berbentuk bulat,
oval, atau empat persegi panjang dengan sudut tumpul.
4. Bak Pemeliharaan Larva
Bak pemeliharaan Larva dapat dipelihara pada bak yang terbuat dari semen,
fiber glass atau plastik. Biasanya bak pemeliharaan larva berbentuk bulat, oval, atau
empat persegi panjan dengan sudut tumpul. Bak yang ideal untuk pemeliharaan
Larva berkapasitas minimal 10m2 dengan ketinggian bak minimum 1,5m dan
kedalaman 1,2m dengan kemiringan 2-5% ke arah pembuangan. Menurut
Amirullah dkk, (2015), bak dibuat dengan sudut tumpul berfungsi untuk
menghindari penumpukan kotoran, dan memperlancar sirkulasi air, serta
mempermudah dalam membersihkan kotoran setelah masa pemeliharaan.
Bak pemeliharaan larva sebaiknya ditempatkan pada ruangan tertutup untuk
menjaga kestabilan suhu dan menjaga intensitas cahaya. Atap dari bak dapat terbuat
13
dari asbes dengan 40% diantaranya menggunakan atap fiber untuk pencahayaan.
Screen/ jaring atau kain kelambu yang diletakkan dibawah fiber akan menghindari
cahaya matahari secara langsung, sehingga hanya panas dan pantulan dari sinar
matahari yang masuk dalam bak larva (Wahyuni, 2011).
5. Bak kultur pakan alami
Bak kultur pakan alami dibagi menjadi 2 jenis, yaitu bak kultur pakan alami
untuk fitoplankston dan bak kultur alami untuk artemia. Untuk jenis fitoplankton,
Bak berbentuk persegi atau bulat dengan kapasitas bak 20-40% dari volume bak
pemeliharaan dengan kebutuhan pakan dari larva yang dipelihara. Sedangkan Bak
kultur pakan alami jenis artemia, biasanya wadah berbentuk bulat dengan alas
mengkerucut guna mempermudah pada saat pemanenan setelah larva menetas. Bak
ini memiliki nilai volum minimal berukuran 0,02 m3. Semua jenis bak kultur pakan
alami dilengkapi dengan sistem instalasi aerasi. Bak Kultur alami biasanya terbuat
dari fiber glass.
b. Persiapan Media
Persiapan media pemeliharaan dimulai dari penyediaan stok air laut yang
akan digunakan dalam masa pemeliharaan (Fuady dkk, 2013). Karakteristik air laut
yang dibutuhkan adalah air yang bersalinitas 29 – 31g/l, pH 7-8, suhu 29- 31ºC, DO
3-6mg/l dan bebas bahan pencemar (FAO, 2003). Afrianto & Muqsith, (2014)
mengatakan, untuk mendapatkan air laut yang baik maka dibutuhkan alur proses
sterilisasi air laut yang terdiri dari filter, pompa dan instalasi distribusi air laut. Alur
proses sterilisasi laut tersebut antara lain, filter pasir dan arang, tendon sedimentasi,
pressure filter, bak treatment (Kaporit atau Ozon), bak siap pakai, dan sterilisasi
lampu UV.
Tinggi air yang akan di ambil minimal 80cm dari permukaan air laut (dan
tidak berlumpur. Setelah pengisian air, proses selanjutnya dilakukan sterilisasi
dengan Chlorine 90% dengan dosis 10-20mg/l atau Chlorine 60% dengan dosis
30-40mg/l. Namun penggunaan Klorin harus dilakukan secara bijak karena
dikhawatirkan dapat menyebabkan tanah menjadi tandus, perairan kurang subur,
dan agen penyakit semakin resisten terhadap kadar Chlorine padaa air (Malik,
2014).
14
2.3.2. Produksi
A. Divisi Induk
Kegiatan pada divisi induk antara lain Pengadaan induk, pemeliharaan induk
(Ablasi mata, Pematangan gonad, pakan induk, dan pemijahan induk), penanganan
telur (penetasan dan pemanenan).
1. Pengadaan Induk
Induk (Broodstock) F1 didatangkan dari Negara Florida. Induk yang
digunakan wajib memiliki sertifikat SPF dan SPR. Induk udang yang akan
digunakan memiliki minimal berumur 7-8bulan. Induk baru datang, harus
dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu sebelum di pelihara di bak pemeliharaan
induk (Ramdani, 2013). induk yang berasal dari luar negeri yang tersertifikasi atau
induk hasil budidaya yang mengikuti kaidah pemuliaan dan terpantau (SNI induk
udang vaname, 2004 dalam Subaidah & Pramojo, 2008). Kriteria tersebut
diperlukan untuk menentukan calon induk yang berkualitas, tidak cacat dan sehat.
Sehingga dapat bereproduksi dengan baik (Anam & Khumaidi, 2016).
Seleksi induk dilakukan secara pengamatan visual dan pengamatan
laboratorium. Secara visual induk baru datang diamati satu per satu pada data jenis
kelamin, ukuran panjang dan berat, tidak boleh ada retak bagian kulit badan atau
punggung, tidak boleh keropos, tidak boleh berparasit, dan semua anggota tubuh
dalam kondisi baik. Pengamatan induk secara laboratorium dilakukan guna melihat
bebas dari virus, bakteri, parasit, dan jamur.
2. Pemeliharaan induk
a). Teknik Ablasi
Teknik Ablasi digunakan untuk mempercepat kematangan gonad Induk
Betina. Ablasi mata dilakukan dengan cara mengilangkan X-Organ atau biasa
disebut (gonade inhibiting hormon) pada tangkai mata udang. Secara teknis, ablasi
mata dapat dilakukan dengan cara (Cautery dan Cutting). Teknik Cautery dilakukan
dengan cara memijit tangkai mata udang. Sedangkan teknik Cutting dilakukan
dengan cara memotong mata udang (Susanto dkk, 2004). Tekhnik ablasi mata induk
Betina dapat dilihat pada Gambar 7.
15
Gambar 7. Tekhnik ablasi mata (BPPBAP Maros, 2001)
b). Tingkat kematangan gonad
Tingkat kematangan gonad (TKG) dapat dilihat dari bagian punggung udang
(Ovari) yang semakin menebal dari hari kehari. Ovari akan berkembang dari
berwarna putih hingga berwarna merah kekuningan (orange) ketika matang gonad
(Laimeheriwa,
2010).
Tingkat
Kematangan
Gonad
diukur
berdasarkan
perkembangan Ovari, yang terletak pada bagian punggung atau dorsal dari tubuh
udang, mulai dari segmen awal hingga ke pangkal ekor (Telson) (Ramdani, 2013).
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) (Arcos dkk, 2011 dalam Ramdani,
2013)
Keterangan.
1. TKG I = Didalam gonad terdapat bakal sel telur (oogonia). Sel telur (oosit) telah
tampak nukleus, dan beberapa nukleolus dalam nukleoplasma.
Nukleolus umumnya berada di tepi nukleus.
2. TKG II = Ukuran sitoplasma lebih besar dari sebelumnya. Sitoplasma mulai terisi
butiran-butiran kuning telur sehingga tampak perubahan warna oosit.
16
3. TKG III = Nukleus masih tampak tapi nukleolus sudah tidak tampak lagi. Selain
itu tampak butiran-butiran protein kecil yang menyebar di sekitar
sitoplasma.
4. TKG IV = Butiran-butiran besar protein di dalam sitoplasma semakin banyak
dan besar. Munculnya cortical rods, Inti sudah melebur.
c). Pakan Induk
Sabrina dkk, (2014) mengatakan, pakan alami yang dapat digunakan sebagai
pakan induk adalah pakan yang ketersediaannya berkelanjutan, memiliki
kandungan nutrisi yang tinggi, dan bukan sebagai pembawa penyakit. Pakan yang
dianjurkan untuk induk udang vaname menurut SNI-7311, (2009) yaitu, Cumicumi, kerang-kerangan, dan Cacing laut. Dosis yang dianjurkan antara 20% sampai
dengan 30% biomas/hari dengan frekuensi 4 kali/hari sampai dengan 6 kali/hari.
(Panjaitan dkk, 2014) menambahkan bahwa dalam masa pemeliharaan, induk diberi
pakan dengan kandungan protein lebih agar pematangan gonad lebih cepat.
d). Pemijahan Induk
Menurut SNI-7311,
(2009) Pemijahan
Induk merupakan kegiatan
pengeluaran telur oleh induk betina diikuti dengan pembuahan oleh sperma dari
spermatofore yang ada di telicum induk betina. Mutu sel sperma dapat
mempengaruhi kemampuan fertilitas telur. Seiring dengan bertambahnya umur
induk udang vaname jantan, jumlah telur yang menetas mengalami penurunan
(Anwar, 2006). Proses perkawinan induk dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Proses perkawinan induk (Subaidah dkk, 2006 dalam Anam &
Khumaidi, 2016)
17
Keterangan.
A. Induk jantan mendekati induk betina.
B. Setalah itu berenang sejajar kemudian induk jantan mengeluarkan sperma yang
kemudian ditempelkan pada thellycum betina.
C. Kemudian
induk
jantan
membalikan
badannya
dengan
menghadap
(perpendeculer)induk betina.
D. Induk jantan mensejajarkan badannya berlawanan dengan tubuh induk betina
serta menyentakkan kepala dan ekor untuk melepaskan kantung sperma dan
menempelkan ke thellycum (Afrianto & Muqsith, 2014).
Kualitas sperma (jumlah sel sperma yang hidup normal, abnormal dan mati)
pada udang vaname dipengaruhi oleh temperatur air tempat udang dipelihara
(Anwar, 2006). Beberapa kegagalan yang mungkin terjadi adalah tidak terjadinya
pembuahan yang disebabkan induk betina belum matang telur atau rusaknya
spermatophora (Kannan, 2015).
Udang Vaname memijah pada awal senja hari dengan durasi 3-16detik
(Panjaitan, 2011). Udang betina mampu menghasilkan 500.000-1.000.000 telur
setiap bertelur. Menurut (Dunham, 1978 dalam Erwinda, 2008) mengatakan bahwa
adanya perilaku kawin pada krustasea disebabkan adanya feromon. Kriteria
kualitatif dan kuantitatif pada calon induk siap dipijahkan dapat dilihat pada Tabel
1 dan 2.
Tabel 1. Kriteria kuantitatif calon induk udang Vaname (Susanto dkk, 2004)
Kriteria
Induk Jantan
Berat (g)
Panjang Tubuh
(cm)
Kelamin
Insang
Anggota Tubuh
Induk Betina
60 – 80
>80
18 – 20
20 – 25
Bersih
Bersih
1. Normal
1. Normal
2. Warna merah dengan
2. Warna merah dengan
penutup transparan
penutup transparan
lengkap dan normal
Lengkap dan normal
18
Tabel 2. Kriteria kualitatif calon induk udang Vaname (SNI-7253, 2006)
Kriteria
Pensyaratan
1. Induk berasal dari luar negeri yang tersertifikasi
Asal
2. Induk
hasil
budidaya
yang mengikuti
kaidah
pemuliaan
Warna
Bentuk Tubuh
1. Bening kecoklatan
2. Cerah dengan garis merah tepi ujung Uropoda
1. Cephalothorax lebih pendek dari Abdomen
2. Punggung lurus mendatar
1. Bebas Virus (TSV, WSSV, IHHNV)
Kesehatan
2. Bebas Necrosis
3. Anggota tubuh lengkap dan tidak cacat
4. Insang bersih dan tidak bengkak
Kekenyalan Tubuh Tidak lembek dan tidak keropos
Gerakan
Aktif normal
3. Penanganan Telur
a). Penanganan Telur
Udang Vaname bertelur dalam 1-2jam setelah proses perkawinan. Pada
malam hari induk Betina yang telah terbuahi dipindahkan ke dalam tank penetasan
telur (Hatching tank). Dalam waktu 12-16jam, telur-telur dalam tangki penetasan
akan berkembang menjadi naupli (Wyban dkk, 1991). Afrianto & Muqsith (2014)
mengatakan, dalam proses penetasan telur perlu adanya pemberian aerasi dan
pengadukan telur secara manual. Pengadukan dilakukan dengan frekuensi 15 menit
sekali. Pengadukan dilakukan agar telur melayang dipermukaan air, karena telur
yang mengendap di dasar bak akan mudah terserang jamur dan menyebabkan telur
tidak menetas (non fertil).
Selain itu media dibersihkan dari lendir yang menempel pada dinding bak. Dalam
proses penetasan, dilakukan pengamatan yang bertujuan untuk melihat
perkembangan telur. Perubahan fase Telur dimulai dari Embrio menjadi Zygote, 2Cell dan 4-Cell, Blastulla, Gastrulla, Embrio Tunas Ekstremitas, hingga menjadi
19
Larvae in Membrane (Wei dkk, 2014). Perkembangan fase telur dapat dilihat pada
Gambar 10.
Gambar 10. Perkembangan fase telur (Wei dkk, 2014)
b. Pemanenan Naupli
Menurut Afrianto dan Muqsith, (2014), Naupli yang akan dipanen harus
mencapai stadia 4 (N4). Naupli pada umumnya bersifat fototaksis positif. Sifat ini
biasanya dipergunakan untuk teknik pemanenan naupli. Sinar elektrik diletakkan di
atas tank agar dapat menembus fiber tank. Pemasangan sinar elektrik digunakan
untuk merangsang naupli untuk mendekati sinar. Pemanenan Naupli dilakukan
secara bertahap atau menunggu Naupli melayang dipermukaan tank petenasan.
Sampling Naupli dilalukan untuk mengetahui angka fekunditas, fertilitas,
dan tingkat penetasan. Perhitungan dilakukan dengan cara sampling yaitu
mengambil 5 kali pengulangan pada tiap stasiun sampel. Pengambilan sampel
menggunakan Pipet serologis dan BULB pipet sebagai penyedot.
B. Divisi larva
1. Pemeliharaan Larva
Kegiatan pemeliharaan Larva dimulai dari stadia Naupli 5-6, stadia Zoea 13, stadia Mysis 1-3, hingga mencapai stadium Post Larva (PL) 1-12. Pemeliharaan
Larva pada umumnya dilakukan selama 15 hari atau PL10 (Anwar dkk, 2007).
Larva yang ditebar pada tiap kolam disesuaikan dengan dimensi wadah
pemeliharaan. Hal ini bertujuan agar Larva dapat tumbuh dengan maksimal sesuai
dengan aturan SNI-7311, (2009).
20
2. Pengelolaan Pakan
Pakan yang digunakan umumnya mengandung nutrisi lengkap, tidak rusak
dan tidak berjamur. Pakan yang dianjurkan wajib bersertifikat dari Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB). Tempat penyimpanan pakan wajib terbebas
dari hewan pengganggu, seperti tikus, ayam dan serangga, karena dapat
menyebabkan masuknya patogen ke pakan. Jenis pakan yang diberikan yaitu pakan
alami dan pakan buatan.
a). Pakan alami
Pakan alami merupakan input dalam pemeliharaan larva udang Vaname (L.
vannamei) yang sangat penting, Pakan alami adalah pakan yang diberikan pertama
kali pada awal pemeliharaan, yaitu pada stadia (N6 – M3). Menurut Herawati
(2014), pakan alami berupa mikroalga seperti jenis diatom dapat memberikan
nutrisi yang sangat baik bagi pertumbuhan larva udang. Chaetoceros sp. merupakan
jenis diatom yang diketahui memiliki kualitas kandungan nutrisi yang baik bagi
larva.
Terdapat beberapa skala kultur pakan alami algae Cetoseros sp. yaitu skala
laboratorium, skala intermediate, dan skala massal dengan volume yang berbedabeda. Untuk menunjang pertumbuhannya, fitoplankton sangat membutuhkan
berbagai macam senyawa anorganik. Senyawa tersebut dapat berupa unsur hara
makro yaitu, N, P, K, Na, Si dan Ca maupun unsur makro yaitu, Fe, Zn, Mn, Cu,
Mg, Mo, Co, B dan lain-lain. Unsur hara makro dan mikro tersebut dapat dipenuhi
dengan pemberian pupuk (Panjaitan, 2012). Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty
(1995) dalam Panjaitan, (2012), pupuk pada skala laboratorium dan semi massal
(intermediate) biasanya digunakan bahan-bahan pupuk analis sedangkan pada
kultur skala massal digunakan bahan-bahan pupuk teknis atau pupuk pertanian
seperti ZA, Urea dan TSP.
Haemocytometer merupakan Sebuah kaca preparat yang digunakan untuk
mengukur objek. Terdapat 3 skala ukur pada kaca Haemocytometer, yaitu 9 kotak
besar (2,5mm2, kedalaman 0,1mm), 25 kotak sedang (0,25mm2, kedalaman
0,1mm), dan 625 kotak kecil (0,0025mm2, kedalaman 0,1mm). Kotak tersebut
dibatasi oleh garis rangkap yang berisi 16 kotak sudut (Nadillah, 2018).
21
Zooplankton (Artemia salina) digunakan pada pemeliharaan larva di akhir
stadia (M3 – PL10). Menurut Susanti, (2015) Artemia diberikan kepada Post Larva
udang merupakan Artemia yang memiliki kandungan protein 54,60%. Post Larva
membutuhkan protein pada pakan berkisar antara 30 - 55% untuk menunjang
pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya (Yustianti dkk., 2013).
b). Pakan Buatan
Pakan buatan adalah pakan tambahan untuk mendukung pertumbuhan dan
kelangsungan hidup larva udang Vaname. Menurut Wahyuni (2011), yang perlu
diperhatikan dari pakan tambahan ialah kebutuhan gizi bagi larva udang yang harus
terpenuhi. Pakan buatan yang digunakan setidaknya memiliki kandungan protein
antara 20 – 70%, dan karbohidrat 20%. Sukarman & Lili, (2011) mengatakan,
kandungan mineral pada pakan buatan dapat menjaga proses metabolisme larva.
Penggunaan jenis dan dosis pakan menurut (SNI Produksi Udang Vaname, 2009)
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penggunaan jenis dan dosis pakan
Jenis Pakan
Algae
1. Kepadatan (sel/ml)
Artemia (g/l/hari)
2. Dosis (larva/hari)
3. Frekuensi (hari)
Pakan buatan (g/l/hari)
1. Dosis (larva/hari)
2. Frekuensi (hari)
Z1- Z2
Stadia
M3Z3- M2
PL1
PL2PL5
PL6PL10
500-100
100-200
50
50
-
-
-
10-20
20-60
60-80
-
-
3-6
3-6
3-6
2,5-3
3-4
4-6
6-8
>8
6
6-8
6-8
6-8
6-8
Menurut (Wyban & Sweeny, 1991 dalam Tahe dkk, 2011), pemberian pakan
yang tepat, baik kualitas maupun kuantitas dapat memberikan pertumbuhan yang
optimum bagi larva. Sisa pakan yang berlebihan menyebabkan penurunan kualitas
air, sehingga berpengaruh pada pertumbuhan dan sintasan udang. Masing-masing
pakan diberikan dengan jumlah dan frekuensi tertentu sesuai dengan stadia larva.
Jenis, dosis, dan frekuensi dapat dilihat pada Tabel 3.
22
3. Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air mempunyai peranan penting sebagai pendukung
kehidupan dan pertumbuhan udang Vaname (Litopenaeus vannamaei). Pengelolaan
kualitas air pada masa pemeliharaan larva udang vaname dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu monitoring, pengecekan kualitas air, pergantian air (water
exchange), dan penyiponan. Pengelolaan kualitas air harus dijaga mulai dari awal
sampai akhir pemeliharaan agar ikan bisa hidup dengan tenang, tidak pernah
mengalami stress, dan pertumbuhan normal (Suastika, 2013).
a). Suhu
Suhu media (ºC) dapat mempengaruhi fisiologi yang terjadi pada organ tubuh
udang Vaname. Masyur dkk, (2013) mengatakan, suhu air yang layak untuk
budidaya udang Vaname adalah 28–31ᴼC. Suprapto, (2005) dalam Tahe dkk, (2011)
menambahkan, Suhu optimal untuk budidaya udang vaname berkisar 27-32 ˚C.
b). Salinitas
Salinitas media (g/l) pada umumnya dapat mempengaruhi tingkat
kelangsungan hidup udang vaname. Udang dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik pada salinitas 15 - 25g/l. Apabila salinitas berada dibawah kisaran 5g/l dan
diatas 30g/l, biasanya pertumbuhan udang relatif lebih lambat (Suharyadi, 2011).
c). Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (mg/l) merupakan salah satu
parameter penting dalam analisis kualitas air. (Suwoyo dkk, 2013) mengatakan
Oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang langsung berperan dalam
proses metabolisme biota air. Ketersediaan oksigen terlarut dalam air media
seringkali menjadi faktor pembatas (Critical factor) bagi kehidupan biota air.
Suprapto, (2005) dalam Tahe dkk, (2011), mengatakan bahwa kadar oksigen
optimal untuk budidaya udang Vaname berkisar > 3mg/l.
d). Posseince of Hydrogen (pH)
Wyban & Sweeny, (1991) dalam Tahe dkk, (2011) mengatakan, kisaran pH
air yang cocok untuk budidaya udang vaname secara intensif sebesar 7,4 - 8,9
dengan nilai optimum 8,0. (Taqwa dkk, 2008) menambahkan, apabila konsentrasi
23
pH air akan berpengaruh terhadap napsu makan udang dan reaksi kimia di dalam
air. Selain itu pH yang berada di bawah kisaran toleransi akan menyebabkan
kesulitan ganti kulit dimana kulit menjadi lembek serta kelangsungan hidupnya
menjadi rendah.
e). Nitrit (NO2)
Kadar nitrit (mg/l) yang ada pada media budidaya dapat membahayakan bagi
biota yang dipelihara, Kadar nitrit yang terlalu tinggi mampu mengoksidasi Fe
didalam hemoglobin, sehingga kemampuan biota untuk mengikat oksigen menurun
(Suwoyo dkk, 2004). Tingginya kadar nitrit berkaitan dengan bahan organik,
diantaranya penguraian bahan organik oleh mikroorganisme memerlukan oksigen
dalam jumlah banyak.
f). Alkalinitas
Alkalinitas (mg/l) adalah parameter kimia perairan yang menunjukan jumlah
ion karbonat dan bikarbonat yang mengikat logam-logam alkali. Nilai ini
menggambarkan kapasitas air untuk menetralkan asam atau penyangga terhadap
perubahan pH. Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi umumnya tidak disukai oleh
organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan atau kadar garam
natrium yang tinggi (Effendi, 2003).
4. Hama Dan Penyakit
Hama merupakan jenis organisme yang mengakibatkan kerugian bagi
pembudidaya. Proses timbulnya hama pada lingkungan budidaya disebabkan oleh
lemahnya fungsi biosekuriti yang diterapkan. Hama yang sering ditemukan dalam
lingkungan budidaya antara lain ikan liar pada tandon penampungan, Ketam, dan
Tritip (Prabowo dkk, 2014).
Pengendalian penyakit pada larva dapat dilakukan dengan pencegahan dan
pengobatan (Wahyuni, 2011). Penyakit pada udang Vaname disebabkan oleh hasil
interaksi kompleks antara tiga komponen dalam ekosistem perairan. 3 komponen
tersebut antara lain yaitu inang (udang) lemah, patogen ganas, dan kualitas
lingkungan yang buruk (Kasimo dkk, 2004). Patogen tersebut dapat berupa Virus,
Jamur, Parasit, dan Bakteri.
24
2.3.3. Pasca Produksi
A. Panen
Pemanenan sangat ditentukan oleh jarak dan waktu tujuan pengiriman.
Pemanenan lebih baik dilakukan pada waktu malam hingga pagi hari atau pada suhu
rendah (< 21ºC) dengan tujuan untuk mengurangi resiko kerusakan mutu udang.
Selain itu pemanenan malam hari juga untuk menghindari terik matahari dan resiko
udang berganti kulit (Briggs, 2011). SNI-7252, (2006) Menyatakan, Kriteria larva
siap panen dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Larva siap panen
Kriteria
Nauplis
Benur
16-18
PL10
0,5
8,5
Prevalensi parasit (%)
0
20
Infeksi Virus (%)
0
0
Keseragaman ukuran (%)
-
80
-
80
-
80
-
5
Umur (hari)
Panjang (mm)
Daya tahan terhadap :
1. Penurunan salinitas dari 30 ppt ke 0 ppt
selama 5 menit, min (%)
2. Perendaman formalin 200 (ml/m2) selama 30
menit, %min (%)
Prevalensi nokrosis (%)
B. Pasca Panen
1. Pengemasan (Packing)
SNI-7585, (2010) menyatakan, Pengemasan (Packing) merupakan suatu
metode pembungkusan dalam kantong plastik dan pengepakan dalam wadah
styrofoam. Pengemasan dilakukan dengan cepat, bersih, tersusun, dan rapih setelah
dilakukan pemanenan. Malik, (2014) menambahkan, hal yang tak kalah penting
dalam proses pengemasan yaitu.
a) Pastikan alat yang dipakai untuk mengangkut benur, seperti plastik, styrofoam,
kardus dalam kondisi bersih dari sumber pencemaran.
b) Jumlah benur PL10-12 dalam kantong plastik berkisar 2000-3000ekor/liter
untuk transportasi jarak dekat (pengangkutan di bawah 12 jam). Sedangkan
25
untuk transportasi jarak jauh (pengangukutan > 12 jam), lebih diutamakan
ukuran benur yang lebih kecil (PL 9) dengan kepadata n dalam kantong plastik
berkisar 2000-3000ekor/liter.
c) Lakukan penurunan suhu air media angkut 0-24°C untuk pengangkutan benur
lebih dari 3jam perjalanan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi metabolisme.
d) Salinitas media angkut minimal 25g/l untuk perjalanan lebih dari 12 jam dan
minimal 20g/l untuk pengangkutan jarak dekat.
e) DO air media angkut sampai di tempat tujuan minimal 4mg/l perbandingan air
dan oksigen dalam kantong plastik (wadah angkut) adalah 1:3 untuk perjalanan
maksimum 15jam apabila perjalanan lebih dari 15jam sebaiknya dilakukan.
2. Pemasaran
Kalesaran (2010) mengatakan, Pemasaran merupakan sebuah kegiatan
pendistribusian Larva dengan cara mengirimkan kepada pembeli. Pemasaran larva
udang Vaname dilakukan dengan transportasi tertutup dan terbuka. Pengangkutan
metode tertutup dilakukan apabila tujuan pengiriman diluar pulau (Bandara dan
Pelabuhan), sedangkan pengakutan dengan metode terbuka dilakukan apabila jarak
antara unit produksi dengan lokasi pembesaran tidak jauh (mobil dan Truk).
2.4. Analisa Finansial
a. Biaya Investasi
Biaya investasi merupakan dana yang dialokasikan kedalam suatu usaha
selama usaha dijalankan. Investasi meliputi segala infrastruktur yang berkaitan
dengan proses produksi. Jangka waktu investasi biasanya lebih dari satu tahun.
Dalam perhitungan analisis yang bersifat kuantitatif biaya investasi akan
mengalami penyusutan berdasarkan pada selisih antara nilai beli dengan nilai residu
terhadap umur infrastruktur yang digunakan selama proses budidaya berlangsung.
b. Biaya Tetap
Biaya Tetap merupakan biaya yang jumlahnya tetap, tidak tergantung kepada
perubahan tingkat kegiatan dalam menghasilkan keluaran atau produk di dalam
interval tertentu. Besarnya biaya tetap tidak akan dipengaruhi oleh tingkat operasi
26
pada periode waktu tertentu. Biaya Tetap dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan
meskipun tidak operasional (Adi, 2011).
c. Biaya Variabel
Biaya Variabel merupakan biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai
dengan perubahan tingkat produksi. Besarnya biaya Variabel bervariasi mengikuti
secara proporsional dengan jumlah produk yang dihasilkan, biaya variabel akan nol
/ tidak ada apabila tidak dilakukan kegiatan produksi (Adi, 2011).
d. Laba Rugi
Laba Rugi merupakan besarnya hasil, apakah mendapat keuntungan atau
kerugian dalam suatu periode (Umar, 1997). Perhitungan dilakukan dengan
memperkirakan seluruh pendapatan dan seluruh biaya beserta selisihnya, sehingga
dapat diketahui apakah usaha mengalami laba atau rugi (Sumardika, 2013). Pajak
produksi pada suatu perusahaan sebesar 5-25% dari keuntungan yang didapatkan.
e. Revenue Cost Ratio
Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) adalah perbandingan atau net benefit yang
telah didiscount bernilai positif dengan net benefit yang telah didiscount yang
bernilai negatif. Jika R/C Ratio lebih besar dari suatu, berarti gagasanusaha layak
untuk dikerjakanan dan jika lebih kecil dari satu berarti tidak layak untuk
dikerjakan.
f. Break Even Point
Break Even Point (BEP) adalah suatu analisa yang digunakan untuk
mengetahui hubungan antar variabel didalam kegiatan perusahaan. Variabel
tersebut seperti luas produksi atau tingkat produsksi yang dilaksanakan, biaya yang
dikeluarkan, serta pendapatan yang diterima perusahaan dari kegiatannya.
Pendapata perusahaan merupakan penerimaan yang dihasilkan dari kegiatan
perusahaan (Umar, 1997).
g. Payback Periode
Payback Periode (PP) adalah teknik penilaian terhadap jangka waktu
pengembalian investasi suatu proyek atau usaha. Perhitungan ini dapat dilihat dari
27
perhitungan kas bersih yang diperoleh setiap tahunnya. Nilai kas bersih merupakan
penjumlahan laba setelah pajak ditambah dengan penyusutan (Kasmir & Jakfar,
2003).
2.5. Identifikasi Masalah
Metode mengidentifikasi masalah yang sering digunakan yaitu Fishbone
Diagram atau Ishikawa Diagram (Kusnadi, 2013). Metode Fishbone digunakan
untuk menganalisis masalah dan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
masalah tersebut (Khodijah, 2015). Suatu tindakan dan langkah improvement akan
lebih mudah dilakukan jika masalah dan akar penyebab masalah sudah ditemukan.
(Purba, 2008 dalam Kusnadi, 2013). Diagram Fishbone dapat digunakan untuk
menganalisis permasalahan baik pada level individu, tim, maupun organisasi
(Asmoko, 2013).
a. Langkah-langkah Penyususan Diagram Fishbone
1. Membuat kerangka Diagram Fishbone
Menurut Asmoko, (2013) Kerangka Diagram Fishbone terdiri dari kepala
ikan, sirip, dan duri. Kepala ikan yang diletakkan pada bagian kanan, menyatakan
masalah utama. Bagian kedua merupakan sirip, yang akan digunakan untuk
menuliskan kelompok penyebab permasalahan. Bagian ketiga merupakan duri yang
akan digunakan untuk menyatakan penyebab masalah. Kerangka Diagram
Fishbone dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Diagram Fishbone (Asmoko, 2004)
28
2. Merumuskan masalah utama.
Masalah utama akan ditempatkan pada bagian kanan dari Diagram Fishbone
atau ditempatkan pada kepala ikan. Langkah pengerjaan diagram Fishbone adalah
sebagai berikut.
a) Mencari faktor utama yang berpengaruh pada permasalahan. Langkah ini
dilakukan dengan teknik brainstorming. Menurut Scarvada (2004), penyebab
permasalahan dapat dikelompokkan dalam enam kelompok yaitu materials
(bahan baku), machines and equipment (mesin dan peralatan), manpower
(sumber daya manusia), methods (metode), Mother Nature/environment
(lingkungan), dan measurement (pengukuran).
b) Menemukan penyebab untuk masing-masing kelompok penyebab masalah.
Penyebab ini ditempatkan pada duri ikan.
c) Langkah selanjutnya setelah masalah dan penyebab masalah diketahui, kita
dapat menggambarkannya dalam Diagram Fishbone.
b. Manfaat penggunaan Diagram Fishbone
1. Memfokuskan individu, tim, atau organisasi pada permasalahan utama
2. Menentukan kesepakatan mengenai penyebab suatu masalah
3. Membangun dukungan anggota tim untuk menghasilkan solusi
4. Memudahkan visualisasi hubungan antara penyebab dengan masalah
5. Memudahkan tim untuk melakukan diskusi dan menjadikan diskusi lebih terarah
pada masalah dan penyebabnya.
29
BAB III
METODE PRAKTIK
3.1. Waktu dan Tempat
Praktik Integrasi dilaksanakan selama 2 bulan yang terbagi atas 2 lokasi.
1. 01 September s/d 30 September 2019 di Hatchery PT. Suri Tani Pemuka –
Carita, Jalan Banjarmasin, Kecamatan Banjarmasin, Carita, Kota Pandeglang,
Provinsi Banten, 42264.
2. 01 Oktober s/d 30 Oktober 2019 di Hatchery PT. Suri Tani Pemuka – Anyer,
Jalan Raya Anyer, Kecamatan Karang Suraga, Anyer, Kota Serang, Provinsi
Banten. 42167.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktik dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.
Tabel 5. Alat yang digunakan
Alat
Spesifikasi
Jumlah
DO meter (mg/l)
Ketelitian 0,1
1
Refraktometer (g/l)
Ketelitian 0,1
3
Pengukur salinitas
Thermometer digital
(ºC)
Ketelitian 0,1
38
Pengukur suhu
Nitrit test kit (mg/l)
Ketelitian 0,1
1
Pengukur kandungan nitrit
pH meter
Ketelitian 0,1
2
Pengukur derajat keasaman
Alkalinitas (mg/l)
Ketelitian 0,4
1
Pengukur tingkat alkalinitas
Ketelitian 1
2
Pengukur berat pakan larva
Ketelitia 1
1
Pengukur berat pakan induk
Timbangan digital
(mg)
Timbangan gantung
(hg)
Kegunaan
Pengukur kandungan
oksigen
Dilanjutkan dalam lampiran 1.
30
Tabel 6. Bahan yang digunakan
Bahan
Spesifikasi
Induk
Jantan
a. Berat : 30 - 35g
b. Panjang : 16 - 20cm
Betina
a. Berat : 40 - 45g
b. Panjang : 17 -23cm
Jumlah
Siklus III
a. jantan 540 ekor
b. betina 592 ekor
Siklus IV
a. jantan 600 ekor
b. betina 700 ekor
Kegunaan
Probiotik
Epicin – D
10 kaleng
Sebagai pengurai
ammonia
Kaporit
Clorine 60%
5 drum
Treatment air dan
Sterilisasi Bak
Povidone
iodine
Iodine 97%
7 pack
Kantong naupli
Formalin
Formalin 40 %
5 drum
Sterilisasi air
Sebagai biota
penghasil naupli
Dilanjutkan dalam lampiran 2.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dua metode yaitu observasi dan
partisipasi aktif. Observasi dilakukan dengan pengamatan dilapangan yang meliputi
seluruh alur proses produksi. Partisipasi dilakukan dengan cara ikut melakukan
kegiatan dilapangan secara langsung dalam proses menghasilkan Larva hingga siap
jual. Data primer dan data sekunder dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.
Tabel 7. Data Primer
Kegiatan
Kesesuaian lokasi
Persiapan media
Data yang dikumpulkan
Sumber air, sumber listrik, aksesbilitas, anstalasi aerasi.
Layout, jumlah kolam, dimensi, kontruksi, dosis
Sterilisasi, dan durasi pengeringan
Asal air laut, asal air tawar, perlakuan, treathment, dosis
Persiapan media
bahan untuk sterilisasi, langkah kerja sterilisasi, dan
volume perlakuan.
Dilanjutkan dalam lampiran 3.
31
Tabel 8. Data Sekunder
No
Kegiatan
Data yang dikumpulkan
Dokumen perusahaan (denah
1.
Keadaan umum lokasi
perusahaan, struktur organisasi
perusahaan, visi dan misi perusahaan,
dan Google Map
Form laropan produksi perusahaan
2.
Data produksi
(pakan induk, pakan larva, data tebar,
data panen, data siklus produksi, data
kedatangan induk
Print Out (dosis treathment persiapan
3.
Standar Operasional Prosedur
media, dosis fumigasi, dosis sterilisasi,
dan dosis treathment biosekuriti
3.4. Metode Kerja
3.4.1. Kesesuaian Lokasi
a. Mengamati sumber listrik (tenaga listrik, dan tenaga pembangkit listrik yang
digunakan)
b. Mengamati sumber air
1. Air laut (asal air laut, jarak pengambilan air laut, pemilihan lokasi
pengambilan, kedalaman, plataran)
2. Air tawar (asal air tawar, kedalaman, jarak pendistribusian)
c. Mengamati instalai aerasi (sumber aerasi, daya aerasi, pendistribusian)
d. Mengamati biosekuriti (jenis biosekuriti, kegunaan biosekuriti yang
diterapkan, dosis zat kimia yang digunakan)
e. Mengamati sarana penunjang (jenis sarana, kegunaan bangunan produktif dan
non produksif)
3.4.2. Persiapan Wadah
a. Mengamati wadah yang digunakan dalam produksi larva (menyiapkan alat
dan bahan yang digunakan, mengukur dimensi wadah, mengidentifikasi
kontruksi wadah, dan menelaah fungsi wadah)
32
b. Mengamati layout divisi induk (mengidentifikasi sarana dan prasarana yang
dimiliki)
c. Mengamati layout divisi larva (mengidentifikasi sarana dan prasarana yang
dimiliki)
d. Mengamati alat dan bahan yang digunakan dalam pencucian wadah
e. Mengamati dan ikut melakukan kegiatan dalam mempersiapkan wadah
f. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.3. Persiapan Media
a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan dalam mempersiapkan media
b. Mengamati layout persiapan media
c. Mengamati dan ikut melakukan kegiatan dalam mempersiapkan media
d. Mengamati dosis zat kimia yang digunakan
e. Mengamati kegunaan alat dan bahan yang digunakan
f. Mengamati dan ikut melakukan penurunan salinitas pada tandon siap pakai
g. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.4. Pengadaan Induk
a. Mengamati kedatangan induk (asal induk, penanganan induk, pengemasan
dan pemasaran yang diterapkan)
b. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan untuk sampling kedatangan
induk
c. Mengamati dan ikut melakukan sampling induk (jumlah, kelengkapan bagian
tubuh, berat, dan panjang)
d. Mengamati hasil uji PCR, dan uji mikro biologi
e. Mengamati dan ikut melakukan pra aklimatisasi induk (membuka kemasan
dan penyesuaian kualitas air)
f. Mengamati dan ikut melakukan Penebaran dan pemerataan jumlah induk
g. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.5. Karantina Induk
a. Mengamati lama masa karantina
b. Mengamati fungsi dan tujuan diadakannya karantina
33
c. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan pakan (jenis, dosis, pengolahan,
frekuensi, dan perhitungan pakan yang dibutuhkan selama karantina)
d. Mengamati dan ikut melakukan Pengelolaan kualitas air (alat dan bahan yang
diterapkan, dan pergantian air)
e. Mengamati dan ikut melakukan treatment dan pengolahan air induk (alat dan
bahan yang diterapkan, kegunaan, dan kegunaan)
f. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.6. Ablasi Mata
a. Mengamati waktu pelaksanaan ablasi mata
b. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan
c. Mengamati dan ikut melakukan tekhnik pemotongan yang diterapkan
d. Mengamati tujuan dilakukannya ablasi mata
e. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.7. Pemeliharaan Induk
a. Mengamati lama pemeliharaan
b. Mengamati perbedaan induk dalam menghasilkan naupli berdasarkan lama
pemeliharaan
c. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan pakan (Jenis, pengolahan, dosis,
frekuensi, dan perhitungan pakan yang dibutuhkan selama pemeliharaan
induk)
d. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan suplement (Jenis, pengolahan,
dosis, frekuensi, dan perhitungan supplement yang dibutuhkan selama
pemeliharaan induk)
e. Mengamati dan ikut melakukan cara pemberian pakan
f. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan kualitas air (alat dan bahan yang
diterapkan, pergantian air, treathment yang diterapkan
g. Mengamati dan ikut melakukan Treatment penyakit pada induk (alat dan
bahan yang diterapkan, kegunaan, dan pengoperasian)
h. Mengamati dan ikut menghitung performa induk dalam menghasilkan telur
dan naupli
i. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
34
3.4.8. Maturasi, Pemijahan, dan Penanganan Telur
a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan
b. Mengamati alur proses produksi naupli
c. Mengamati dan ikut melakukan sampling induk matang gonad (waktu,
pemilihan induk, dan pemindahan induk)
d. Mengamati dan ikut melakukan sampling induk terbuahi (waktu, pemilihan
induk, dan pemindahan induk)
e. Mengamati dan ikut melakukan dalam menenetasan telur (waktu, alat dan
bahan yang digunakan, dan penanganan yang diterapkan)
f. Mengamati dan ikut melakukan penghitungan fekunditas, telur terbuahi, dan
Penetasan telur
g. Mengamati dan ikut melakukan pengamatan telur secara mikroskopik
(perkembangan fase, dan waktu perkembangan)
h. Mengamati dan ikut melakukan Pemanenan naupli (waktu, alat dan bahan
yang digunakan, dan penanganan yang diterapkan
i. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.9. Penebaran Naupli
a. Menyiapkan alat dan bahan
b. Mengukur jarak penebaran
c. Mengamati dan ikut melakukan pengangkutan naupli
d. Mengamati dan ikut melakukan aklimatisasi pada bak pemeliharaan larva
(waktu, dan penanganan yang diterapkan)
e. Mengamati dosis zat kimia dan desinfeksi wadah pengemasan
f. Mengamati dan menghitung data penebaran naupli
g. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.10. Pengelolaan Pakan Larva
a. Menyiapkan alat dan bahan
b. mengamati jadwal pemberian pakan (jenis pakan, waktu, dan frekuensi)
c. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan pakan alami algae (dosis pupuk,
pembuatan pupuk, proses skala kultur, standar stadia, menghitung kepadatan,
dan pengamatan pertumbuhan)
35
d. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan pakan alami artemia (dosis, dan
proses dekapsulasi, standar stadia, dan pengangkutan)
e. Mengamati dan ikut melakukan pengelolaan pakan buatan (jenis, dosis, dan
standar stadia, pakan yang terpakai, dan pemberian pakan)
f. Mengamati dan ikut melakukan penimbangan pakan sebelum diberikan
g. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.11. Pengamatan Kualitas Air
a. Menyiapkan dalat dan bahan yang digunakan
b. Mengamati dan ikut melakukan pengukuran kualitas air (jenis, frekuensi, dan
penentuan stasiun pengamatan)
c. Mengolah data kualitas air
d. Mengamati dan ikut melakukan proses pergantian air
e. Mengamati dan mengukur debit air yang tergantikan
f. Mengamati dan ikut melakukan pemberian probiotik (jenis, dosis, frekuensi,
dan kegunaan probiotik)
g. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.12. Pertumbuhan
a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan
b. Mengamati dan ikut melakukan sampling harian (pengambilan sampel,
pengamatan stadia, populasi, hama dan penyakit, serta pengamatan
keseragaman)
c. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.13. Pengelolaan Penyakit
a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan
b. Mengamati dan ikut melakukan pembuatan media agar (jenis media agar, dan
dosis zat agar, jenis baktreri yang dapat tumbuh)
c. Mengamati dan ikut melakukan inokulasi bakteri (metode pengambilan, dan
titik pengambilan)
d. Mengamati penyakit yang ditemukan (jenis, penyebab, dan penanganan)
e. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
36
3.4.14. Pengelolaan Limbah
a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan
b. Mengamati dan ikut melakukan proses pengelolaan limbah (penerapan
bioskrining dan biofilter yang digunakan)
c. Mengamati dan ikut melakukan proses perawatan bak (dosis bahan, dan
frekuensi)
d. Mengidentifikasi biosekuriti yang diterapkan (jenis, kegunaan, dan doses zat
kimia yang digunakan)
e. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.15. Panen
a. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan
b. Mengamati dan ikut melakukan proses pemanenan (waktu, dan persyaratan)
c. Mangamati dan ikut melakukan perhitungan hasil panen
d. Mengamati dan ikut melakukan sampling panen (populasi, pannjang ratarata, isi usus, lipid, dan penyakit)
e. Mengamati dan ikut melakukan aklimatisasi (pengangkutan, proses
aklimatisasi, lama aklimatisasi, fungsi aklimatisasi, dan dosis zat kimia yang
digunakan)
f. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.4.16. Pasca Panen
a. Menyiapkan alat dan bahan yang diguankan
b. Mengamati dan ikut melakukan pengemasan (waktu, jenis, dan penakaran)
c. Dokumentasi praktik (foto sarana, prasarana, dan kegiatan)
3.5. Metode Pengolahan Data
3.5.1. Aspek Teknik
a. Fekunditas (Ramdani, 2013)
Fekunditas =
Volume bak (ml)
x Rata-rata sampel telur (butir)
Volume sampel (ml)
37
b. Fertilization Rate (FR) (Ramdani, 2013)
FR =
Rata−rata sampel terbuahi(butir)
Jumlah sampel (butir)
x 100%
c. Hatching Rate (HR) (Ramdani, 2013)
HR =
Rata−rata sampel menetas (butir)
Jumlah sampel (butir)
x 100%
d. Estimasi populasi larva (Sarwono dkk., 2014)
Populasi =
Jumlah larva (ekor)
Volume sampel (ml)
x Volume media (ml)
e. Survival Rate (SR) (Yustianti dkk., 2012)
Populasi akhir (ekor)
SR =
Populasi awal (ekor)
x 100%
f. Kelimpahan algae (Vf) (Nadillah, 2018)
Volume sampel (ml) = Luas kotak (ml) x Kedalaman kotak
Di = ni x
Keterangan.
Vs
Ve
xA
38
Di = Kelimpahan jenis i (sel/l)
ni = Jumlah individu jenis i
Vs = Total volume seluruh sampel (ml)
Ve = Volume sampel yang dihitung [(jumlah kotak)(Vf)](ml)
A = Volume sampel air yang disaring (l)
g. Kebutuhan algae pada kolam pemeliharaan larva (Ka)
Ka =
Sd– Sa
Di
xV
Keterangan.
Ka = Kebutuan (sel/ml)
Sd = Standar stadia (sel/ml)
Sa = Sisa algae (sel/ml)
Di = Kelimpahan algae massal (sel/ml)
V = Volume bak (ml)
h. Pengenceran Penurunan salinitas
V1.N1 = V2.N2
Keterangan.
V1 = Volume awal (l)
V2 = Volume setelah pengenceran (l)
N1 = Salinitas awal (mg/l)
N2 = Salinitas yang dikehendaki (mg/l)
i. Alkalinitas (mg/l)
Alkalinitas (mg/l) =
(V.N)𝐻2𝑆𝑂4 𝑥 𝐵𝐸 𝐶𝑎𝐶𝑜3 𝑥 1000
Volume sampel
39
3.5.2 Analisis Finansial
a. Penyusutan
Penyusutan(Rp) =
biaya pembangunan (Rp)−perkiraan nilai sis(Rp)
umur ekonomis (tahun)
b. Laba rugi (Widodo & Syukri, 2015)
Laba/Rugi (Rp) = Total pendapatan (Rp) -Total Biaya (Rp)
c. Payback Periode (PP) (Sumardika, 2013)
PP (Rp) =
Investasi (Rp)
x 1 tahun
Penerimaan tahunan (Rp)
d. Break Even Point (BEP) (Primyantato, 2011)
BEP Harga (Rp)
BEP Unit (Rp)
biaya tetap (Rp)
biaya variabel (Rp)
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 (𝑅𝑝)
1−
biaya tetap (Rp)
biaya variabel (Rp)
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑗𝑢𝑎𝑙𝑎𝑛 (𝑅𝑝)
Harga jual unit (Rp)−
d. Revenue Cost Ratio (R/C Ratio) (Hamid & Kamisi, 2012)
R/C Ratio =
Total pendapatan
Total biaya
40
3.6. Identifikasi Masalah
a. Metode (methods)
: mencari suatu permasalahan pada ruang lingkup metode
budidaya yang dilakukan.
b. Bahan (material)
: mencari suatu permasalahan pada ruang lingkup bahan
yang digunakan.
c. Orang (mans)
: mencari suatu permasalahan pada ruang lingkup
karyawan dalam menjalankan kegiatan.
d. Alat (machine)
: mencari suatu permasalahan pada alat yang digunakan
dalam menjalankan produksi.
41
BAB IV
KEADAAN UMUM LOKASI
4.1. Lokasi Perusahaan
PT. Suri Tani Pemuka (STP) Carita terletak di Desa Banjarmasin, Kecamatan
Banjarmasin, Kabupaten Carita, Kota Pandeglang, Provinsi Banten. Luas area yang
dimiliki oleh PT. STP - Carita sebesar 16.000 m2. Pemanfaatan area perusahaan
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Pemanfaatan area perusahaan
Divisi area
MEWT (water treatment)
Pemeliharaan induk
Pemeliharaan larva
Pemeliharaan Algae
QC (Quality Control)
Lahan non produktif
Luas area (m2) Persentase (%)
2.400
15
1.600
10
1.600
10
1.600
10
800
5
8.000
50
Total pemanfaatan area yang digunakan sebagai lahan produktif yaitu sebesar
8.000m2 atau 50% dari total luas area yang dimiliki. Lahan non produktif terdiri
dari jalan, kantor, mes, pos jaga dan pekarangan. Lokasi perusahaan dapat dilihat
pada Gambar 12.
Gambar 12. Lokasi Perusahaan
42
Lokasi PT. STP - Carita sangat strategis karena dekat dengan sumber air yang
tersedia sepanjang tahun baik untuk sumber air laut maupun air tawar. Selain itu,
lokasi terhindar dari pencemaran limbah karena jauh dari lokasi pabrik dan jalur
pelayaran. Secara aspek sosial ekonomi, lokasi perusahaan dekat dengan
pemukiman penduduk sehingga mudah dalam memperoleh atau merekrut tenaga
kerja dan instalasi tenaga listrik. Lokasi yang dekat dengan jalan raya, memudahkan
perusahaan untuk mendistribusikan penjualan dan pengiriman barang. Objek
sekitar lokasi dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Objek sekitar lokasi
Mata angin
Utara
Timur laut
Timur
Tenggara
Selatan
Barat daya
Barat
Barat laut
Keterangan (objek/km)
< 50
Selat Sunda
< 10
< 100
Selat Sunda
Selat Sunda
Wisata Pantai
Wisata Kuliner Carita
Pantai Carita
Karang Tumpeng
Perumahan
Persawahan
Gunung Karang
Perumahan
Perumahan
Kaki gunung Karang
Perumahan
Perumahan
Perumahan
Taman Nasional
Jalur pelayaran
Perumahan
Ujung kulon
Selat Sunda
Krakatau
Samudra Hindia
Selat Sunda
Selat Sunda
Pulau Sumatra
4.2. Sejarah dan Perkembangan
PT. Suri Tani Pemuka (STP) - Carita adalah salah satu anak perusahaan dari
PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. PT. STP didirikan pada tahun 1996 dengan
nama Duta Benur yang membuka usaha dibidang Hetchery udang Windu (Penaeus
monodon). Pada tahun 2003 beralih pembenihan udang Vaname (L. vannamei)
karena kebutuhan pasar indonesia. Pada tahun 2011 Duta Benur berganti nama
menjadi PT. Suri Tani Pemuka hingga sekarang. Berikut adalah Visi dan Misi yang
dimiliki oleh PT. STP.
a. Visi perusahaan
Adapun visi dari PT. STP yaitu sebagai “a total solution company”, dibangun
atas dasar keyakinan dalam membina hubungan yang saling menguntungkan,
43
berdasarkan kepercayaan dan integritas. Bersama seluruh pihak-pihak terkait,
perseroan selalu mengambil posisi pro-aktif dalam mengembangkan hubungan
yang saling menguntungkan.
b. Misi perusahaan
Menjadi penyedia produk pangan berprotein terjangkau di Indonesia yang
terkemuka dan terpercaya, berlandaskan kerjasama dan pengalaman teruji, dalam
upaya memberikan manfaat bagi seluruh pihak terkait. Logo PT. Suri Tani Pemuka
dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Logo PT. Suri Tani Pemuka
4.3. Sruktur organisasi perusahaan
Struktur organisasi PT. Suri Tani Pemuka - Carita dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Struktur organisasi PT. Suri Tani Pemuka – Carita 2019
44
PT. STP memiliki beberapa divisi dalam produksi larva. Divisi tersebut antara
lain divisi Larva, divisi Induk, divisi Pakan alami, divisi Mechanical Enginering
and Water Treathment MEWT, dan divisi Quality Control (QC). Setiap bagian
Divisi memiliki peran dan tanggung jawab penting dalam kegiatan produksi. PT.
Suri Tani Pemuka – Carita dan Anyer dikepalai oleh Bapak Tirza Irwanda.
Setiap Divisi memili kepala bagian diantaranya, Divisi induk dikepalai oleh
Bapak Deffi Hendra, divisi larva dikepalai oleh bapak Rohani, divisi MEWT
dikepalai oleh Bapak Odang Edi Kurniawan, pada bagian divisi Pakan alami
dikepalai oleh bapak Sudarsono, pada bagian divisi Quality Control dikepalai oleh
Ibu Soesi Kurniati. Sedangkan pada kegiatan penunjang, seperti marketing dan
penjualan dikepalai bapak Syaheri dan bapak Imam Nugroho.
45
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pra Produksi
5.1.1. Kesesuaian Lokasi
a. Sumber listrik
Sumber tenaga listrik berasal dari PLN (Perusahaan Listrik Negara). Daya
total listrik yang dimiliki sebesar 6600 kVA. Sumber tenaga listrik yang digunakan
untuk kegiatan produksi sebesar 3.800 kVA.
Genset digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik sekunder apabila terjadi
kerusakan atau pemadaman listrik. Genset yang dimiliki bermerk
Honda
ET120000 dengan daya 660 kVA. Genset dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Genset Honda – ET120000
b. Sumber air
Air laut yang digunakan untuk pemeliharaan berasal dari Selat Sunda. Jarak
pengambilan air laut diukur melalui pipa inlet dengan jarak 200m dari garis pantai.
Lokasi pengambilan yang dipilih yaitu dengan dasar batu berpasir dengan
kedalaman 4m dari surut terendah. Air tawar yang digunakan dilokasi berasal dari
sumur bor. Sumur bor dibuat berada di tengah lokasi perusahaan, bertujuan agar air
lebih mudah untuk didistribusikan. Sumur bor yang digunakan memiliki kedalaman
8m dari daratan. Lokasi pengambilan air laut dapat dilihat pada Gambar 16.
46
Gambar 16. Lokasi pengambilan air laut
c. Instalasi aerasi
Mesin blower yang digunakan sebagai sumber tenaga yaitu merk ShowfouBS.GE dengan spesifikasi, daya listrik 40 (HP), daya hisap 1500 (mmAq),
percepatan hisap 0,23 – 114 (m3-min), dan maksimum percepatan 9 (m/min). Root
blower yang digunakan untuk suplai oksigen berjumlah 3 jalur. Oksigen yang
dihasilkan didistribusikan pada divisi induk, larva, dan algae. Instalasi aerasi
dialirkan menggunakan pipa 2 - 4inch sebelum disuplai ke bak media pemeliharaan.
Instalasi aerasi dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Instalasi aerasi
Keterangan.
A. Mesin blower merk Showfou-BS.GE (3 Root Blower)
B. Instalasi Pipa PVC berukuran (instalasi 2 - 2,5 inch, dan tampung kejut 4 inch)
C. Pendistribusian aerasi ke wadah budidaya
47
d. Sarana penunjang
Sarana penunjang didalam perusahaan dijelaskan melalui layout. Layout
sarana penunjang dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Layout sarana penunjang
5.1.2. Persiapan Wadah
Wadah yang digunakan dalam menghasilkan Larva mulai dari pengadaan
induk hingga pemanenan larva dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Wadah yang digunakan dalam produksi Larva
Jenis Wadah
Bak karantina
induk
Bak pemeliharaan
induk (Maturasi
dan Pemijahan)
Jumlah
4
4
6
Tank Spawning
dan Hatching
nauplii
12
Tank Holding
nauplii
4
12
Bak pemeliharaan
larva
10
Dimensi
(7,5x5x1,5)m
Vol. 39 m3
(12x5x1,5)m
Vol. 90 m3
(7x5x1,5)m
Vol. 52,5 m3
Tinggi : 1m
Diameter : 1,4m
Vol. 1500 liter
Tinggi : 1,2m
Diameter : 0,8m
Vol. 600 liter
(4,7x3,7x1,2)m
Vol. 21 m3
(5,5x4,5x1,2)m
Vol. 29,7 m3
Kegunaan
Bak pemeliharaan induk
dalam masa pengawasan
Bak pemeliharaan induk siap
produksi mulai dari
pematangan gonad hingga
induk betina terbuahi
Bak peneluran dan bak
penetasan telur setelah induk
betin terbuahi
Bak penampungan nauplii
setelah menetas hinnga siap
ditebar ke bak pemeliharaan
larva
Bak pemeliharaan larva mulai
dari naupli 5i, zoea, mysis,
dan post larva siap panen
48
1. Divisi Induk
Divisi induk terdiri dari 3 bangunan utama, yaitu ruang karantina induk, ruang
pemeliharaan induk, dan rang penanganan telur. Pada ruang karantina induk,
terdapat 4 bak karantina yang terdiri dari 2 bak jantan dan 2 bak betina. Pada ruang
penanganan telur, terdapat 12 bak penanganan telur yang terdiri dari 6 bak untuk
induk siklus III dan 6 bak untuk induk siklus IV. Sedangkan pada ruang
pemeliharaan induk, terdapat 2 jenis bak yang diperuntukkan untuk maturasi induk
betina (nomor genap) dan pemijahan yang berisi induk jantan (nomor ganjil).
Disamping itu terdapat ruang packing naupli, ruang perlengkapan, ruang
administrasi, gudang perlengkapan dan ruang merucah pakan.Layout bangunan
produktif pada divisi induk dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Layout bangunan divisi Induk
a. Bak karantina induk
Kontruksi bak karantina terbuat dari bahan semen (beton), berbentuk persegi
panjang dengan sudut tumpul. Dinding bak berwarna gelap, sedangkan dasar bak
berwarna lebih cerah. Hal ini sesuai dengan Subaidah, dkk (2008), yang
mengatakan warna dinding bak dicat lebih gelap agar udang tidak menabrak
dinding bak. Dimensi dan kontruksi bak karantina dapat dilihat pada Gambar 20.
49
Gambar 20. Dimensi dan kontruksi bak karantina
Pencucian dilakukan dengan menggunakan alat scouring pad (busa kasar)
dengan bahan berupa detergen 46g/l dan Oxalic Acid (C2H2O4) 500g/l pada masingmasing bak. Pengeringan bak dilakukan selama 3-4 hari hingga induk (broodstock)
siap ditebar pada bak karantina. Pencucian peralatan instalasi aerasi (batu aerasi,
pemberat, dan selang aerasi) menggunakan cara perendaman formalin 90% dengan
100ml/l. Perendaman dilakukan selama 24 jam, kemudian bilas dengan air tawar,
dan jemur dibawah sinar matahari secara langsung. Ernawati & Rochmady, (2017)
menambahkan, perlengkapan aerasi sebelum digunakan untuk pemeliharaan
sebaiknya dilakukan klorinasi menggunakan Clorine dengan dosis 100mg/l selama
1 hari.
b. Bak pemeliharaan induk (maturasi dan pemijahan)
Kontruksi bak pemeliharaan induk terbuat dari bahan semen (beton),
berbentuk persegi panjang dengan sudut tumpul. Dinding bak berwarna gelap,
sedangkan dasar bak berwarna lebih cerah. Hal ini sesuai dengan Subaidah, dkk
(2008), yang mengatakan warna dinding bak dicat lebih gelap agar udang tidak
menabrak dinding bak. Dimensi dan kontruksi bak pemeliharaan induk dapat dilihat
pada Gambar 21.
50
Gambar 21. Dimensi dan kontruksi bak pemeliharaan Induk
Pencucian wadah dilakukan untuk menghilangkan kotoran dan sisa pakan
yang menempel. Pencucian dilakukan menggunakan alat scouring pad (busa kasar)
dengan bahan berupa Detergen 46g/l dan Oxalic acid (C2H2O4) 500g/l pada masingmasing bak. Selanjutnya seluruh bagian bak dibilas menggunakan air tawar hingga
bersih, kemudian dikeringkan selama 3-4 hari. Pencucian dilakukan hanya ketika
induk (broodstock) baru datang. Pencucian peralatan instalasi aerasi (batu aerasi,
pemberat, dan selang aerasi) menggunakan cara perendaman dengan formalin 90%
dengan dosis 100 ml/l. Perendaman dilakukan selama 24 jam, kemudian bilas
dengan air tawar, jemur dibawah sinar matahari secara langsung. Ernawati &
Rochmady, (2017) menambahkan, peralatan aerasi sebelum digunakan untuk
pemeliharaan sebaiknya dilakukan klorinasi menggunakan Clorine dengan dosis
100mg/l selama 1 hari.
c. Tanki penanganan telur (Hatching & Spawning tank)
Tanki penanganan telur terbuat dari bahan fiber berbentuk silinder. Outlet
tank penanganan telur menggunakan pipa goyang berukuran 2,0 inch. Instalasi
aerasi pada bak penanganan telur tidak ditanam, hal ini bertujuan agar lebih mudah
untuk dibersihkan. Dimensi dan kontruksi tank penanganan telur dapat dilihat pada
Gambar 22.
51
Gambar 22. Dimensi dan kontroksi tank penanganan Telur
Jarak antara Batu aerasi dengan dasar tank sekitar 4-8 cm. Pencucian tank
dilakukan pada sore hari setelah pemanenan Naupli. Bahan yang digunakan untuk
mencuci yaitu Detergen dengan dosis 46gr/l, kemudian Seluruh bagian tank
digosok menggunakan scouring pad (busa kasar). Pengeringan dilakukan selama 34 jam sebelum digunakan kembali. Ernawati & Rochmady, (2017) menambahkan,
pencucian wadah sebaiknya menggunakan detergen, klorin, atau bahan desinfektan
lainnya. wadah yang telah dicuci dan dikeringkan, kemudian disusun pada letak
semula.
d. Tanki penampungan Naupli (holding tank)
Tank penampungan naupli berbentuk silinder dengan alas kerucut, terbuat dari
fiber dengan warna hitam keseluruhan. Kegiatan persiapan wadah pada tank
penampungan Naupli dilakukan dengan mencuci tank dengan Detergen 23g/l dan
kaporit dengan bahan aktif clorine 60% sebanyak 30 mg/l, kemudian Seluruh
bagian bak digosok menggunakan scouring pad (busa kasar). Pengeringan
dilakukan selama 3-4 jam sebelum digunakan kembali. Dimensi dan kontruksi tank
penampungan naupli dapat dilihat pada Gambar 23.
52
Gambar 23. Dimensi dan kontruksi tank penampungan Naupli
2. Divisi Larva
Unit STP - Carita, memiliki bak pemeliharaan larva 2 modul yaitu modul A
yang terdiri dari 10 petak besar, dan modul B yang terdiri dari 12 petak kecil. Ruang
panen dibangun disebelah ruang pemeliharaan larva agar lebih mudah untuk
dilakukan pemanenan. Ruang istirahat digunakan untuk piket malam. Layout
bangunan pada divisi Larva dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Layout bangunan divisi Larva
53
a. Bak pemeliharaan larva
Bak pemeliharaan larva terbuat dari semen (beton) dengan sudut tumpul.
Instalasi suplai oksigen menggunakan pipa paralon 1 inch yang dilubangi dengan
jarak antar titik aerasi 60 x 110cm. Bak pemeliharaan larva memiliki daya tampung
sebesar 50.000l dengan ketebalan dinding sebesar 19cm. Outlet pembuangang
menggunakan pipa goyang berukuran 4inch. Dimensi dan kontruksi bak
pemeliharaan Larva dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25. Dimensi dan kontruksi bak pemeliharaan Larva
Pencucian bak menggunakan Detergen dengan dosis 46 g/l dan dicampur
dengan Oxalic acid (C2H2O4) dengan dosis 500g/l pada masing-masing bak
pemeliharaan. Seluruh bagian bak digosok menggunakan scouring pad (busa
kasar), kemudian dikeringkan selama 1-2 hari atau hingga dimulai siklus produksi
berikutnya. Perendaman peralatan seperti, pemberat, selang aerasi, dan T aerasi
menggunakan Kaporit berbahan aktif Clorine 60% sebanyak 30mg/l. kemudian
jemur peralatan tersebut dibawah sinar Matarahi secara langsung. Pencucian plastik
atau mika penutup bak hanya menggunakan Detergen dengan dosis 46g/l, kemudian
digosok hingga sisa pakan yang menempel pada plastik hilang. Selanjutnya plastic
di jemur pada ruang penjemuran.
54
5.1.3. Persiapan Media
Divisi MEWT (Mechanical Enginering and Water Treatment) bertugas
untuk menyediakan air hingga siap untuk digunakan dalam produksi Larva. Layout
bangunan pada Divisi MEWT dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26. Layout bangunan divisi MEWT
Dalam menyediakan media siap digunakan untuk produksi Larva, terdapat
proses-proses filtrasi dan sterilisasi yang kompleks. Alur proses penyediaan media
pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27. Alur proses penyediaan media pemeliharaan
55
a. Pengambilan air Laut
Air laut dialirkan menggunakan pipa 4 inch dengan Pompa Simitzu
berkekuatan 40 HP yang disimpan pada ruang pompa (pump house). Titik
pengambilan air laut berada pada kedalaman 4m dilihat dari surut terendah.
Pengambilan air laut dilakukan pada pukul 6 pagi dan 5 sore atau setiap air pada
tandon penampungan dibawah 50cm. Pemasangan Waring dengan mess size 3,5
inch pada ujung pipa digunakan untuk menghambat sampah yang memungkinkan
ikut tersedot ke dalam pipa inlet. Pembersihan dalam pipa inlet menggunakan
Oxalid Acid dengan dosis 500g/l. Pipa akan diganti dengan yang baru apabila
terjadi kerusakan (retak dan bocor) karena tertabrak oleh perahu. Jalur pipa inlet
pada pengambilan air laut dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Jalur pipa pada pengambilan air laut
b. Filter tandu
Air laut yang sudah diambil, kemudian dilewatkan pada filter Tandu buatan
yang berisi kerikil, pasir Silica (SiO2), dan arang aktif dengan perbandian 2:1:1
dengan total daya tampung 7.000kg. Fajri dkk., (2017) menambahkan, pasir Silica
dan arang dapat digunakan untuk menyaring partikel dalam air. Filter tandu
dibersihkan selama 1 tahun sekali secara bertahap. Lumpur pada lapisan kerikil
(lapisan paling atas) dibersihkan dengan cara dikeduk sebanyak 1 kali selama akhir
siklus produksi. Filter tandu buatan pada proses water treathment dapat dilihat pada
Gambar 29.
56
Gambar 29. Filter tandu
c. Tandon Pengendapan
Tandon pengendapan atau tandon sedimentasi digunakan untuk menampung
dan mengendapkan kotoran air laut sebelum diolah pada bak Treathment. Tandon
pengendapan yang digunakan memiliki daya tampung sebesar 80.000l dengan
ketinggian tandon mencapai 0,8m. Pengisian air hingga penuh atau ketinggian 5060cm selama 3 jam. Air laut pada filter tandu dipindahkan ke tandon pengendapan
menggunakan pompa Ebara - 4inch. Air diendabkan selama 4-6 jam atau
menyesuaikan kebutuhan produksi. Permukaan air pada tandon pengendapan dapat
dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30. Permukaan air pada tandon pengendapan
57
d. Tandon Treatment
Air laut disterilkan menggunakan Kaporit dengan bahan aktif Clorine 60%
dengan dosis 30mg/l. SNI- 8037.1, (2014) menyatakan, Klorinasi air dilakukan
selama 6 jam. Kurniaji, (2013) menambahkan, aerasi pada tandon Treathment
berperan untuk mengoptimalkan porses klorinasi pada media. Tandon Treathment
dapat dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31. Tandon Treathment
Sebelum air dipindahkan ketandon siap pakai, air laut di saring menggunakan
Pressure Filter dengan merk Waterco-S900 yang berisi pasir Silica 100% atau
470kg. Panjaitan, (2012) mengatakan, penyaringan pasir adalah cara paling umum
digunakan untuk membersihkan air pada usaha pembenihan. Pressure Filter dapat
dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32. Pressure Filter
58
e. Tandon siap pakai
Tandon siap pakai digunakan untuk menampung air yang siap untuk
didistribusikan. Perlakuan yang diterapkan yaitu menurunkan salinitas dengan
target penurunan salinitas mencapai 30g/l dengan menambahkan air tawar. Rumus
pengenceran dapat dilihat pada Halaman 39. Tandon siap pakai dapat dilihat pada
Gambar 33.
Gambar 33. Tandon siap pakai
f. Sterilisasi lampu UV
Lampu UV (Ultra Violet) digunakan untuk desinfeksi bakteri, jamur, parasit,
dan virus. Sebelum media didistribusikan ke bagian divisi induk, larva, dan pakan
alami, media dilewatkan pada lampu UV dengan tekanan 102 – 104 torr dengan
panjang gelombang 254 – 366nm. Lampu UV dengan merk Sterilight-Cobalt dapat
dilihat pada Gambar 34.
Gambar 34. Lampu UV
59
g. Air Tawar
Air tawar diambil dari sumur bor menggunakan pompa 2 inch. Air tawar akan
pada Pressure Filter terlebih dahulu untuk menyaring partikel dalam air. air
kemudian dilewatkan pada lampu UV sebelum ditampung pada Tandon air tawar.
Air tawar siap pakai digunakan untuk menurunkan salinitas dan berbagai kegiatan
pencucian wadah dalam proses pemeliharaan biota.
5.2. Produksi
A. Divisi Induk
5.2.1. Pengadaan Induk
Udang vaname yang digunakan sebagai Broodstock berasal dari Negara
Florida yang dibeli melalui PT. Kona Bay Marine Resources – USA. Broodstock
F1 didatangkan melalui jalur udara dan darat menggunakan sistem pengangkutan
tertutup dalam bentuk Box. Induk yang didatangkan pada tanggal 09 oktober 2019
merupakan induk siklus ke-lima di STP - Carita selama satu tahun terakhir.
Kedatangan induk pada pukul 15.00 WIB dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35. Kedatangan Induk
Pengamatan kesehatan dan kondisi induk dilakukan secara visual dan
mikroskopik. Pengamatan dilakukan pada 2 sampel induk jantan dan betina. Hasil
pengamatan visual yang dilakukan menunjukkan induk masih dalam kondisi sehat
60
dengan anggota tubuh lengkap tanpa adanya kecacatan fisik. Hasil uji mikroskopik
melalui uji PCR juga menyatakan bahwa induk udang Negatif Virus.
Induk diambil sampel tiap masing-masing jenis kelamin 10 ekor guna
dilakukan sampling panjang dan berat. Induk siklus ke-lima yang diterima
berjumlah 1104 ekor dari total 138 box yang terdiri dari 550 ekor Jantan dan 554
ekor Betina. Hasil sampling kedatangan induk (brood stock) siklus ke-lima dapat
dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil sampling kedatangan induk
Jenis Kelamin
Berat (g)
Panjang (cm)
Jantan
37,2
17,3
Betina
45,2
18,2
Dari hasil pengukuran yang dilakukan, didapat berat dan panjang rata-rata
induk jantan adalah 37,2g dengan panjang 17,3cm sedangkan induk betina adalah
45,2g, dengan panjang 18,2cm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pramodjo, (2008)
dimana rata-rata berat panjang dan induk impor dari Florida yaitu induk jantan
35,0g dengan panjang lebih dari 17,0cm sedangkan berat induk betina 40,0g dengan
panjang lebih dari 18,0cm.
Pengukuran kualitas air dilakukan pada media bak karantina dan media
kantong induk. Pengukuran kualitas air bertujuan untuk memudahkan saat proses
aklimatisasi. Apabila terdapat perbedaan mencolok, maka perlu adanya perlakuan
tambahan. Pengukuran kualitas air pada kantong dilakukan dengan cara mengambil
sampel sebanyak 5 kantong untuk induk jantan dan 5 kantong induk betina, dan
termasuk air pada bak karantina. kemudian dilakukan pengukuran DO, suhu, pH
dan salinitas. Hasil pengukuran kualitas air pada kedatangan induk sebelum proses
aklimatisasi dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil pengukuran kualitas air sebelum proses aklimatisasi
Jenis
Bak karantina
Kantong packing
DO (mg/l)
4,1
3,3
Parameter
Suhu (˚C)
pH
26,5
8,2
25,4
7,1
Salinitas (g/l)
30,6
31,0
61
Selisih nilai pH bak karantina dan kantong induk mencapai 1,1. Maka dari
itu, perlu adanya perlakuan pada media karantina. Larutan Dixi dengan bahan aktif
asam asetat (98%) digunakan untuk menurunkan nila pH media karantina. Larutan
Dixi yang ditambahkan dengan dosis 58,3mg/l, dapat menurunkan nilai pH
sebanyak 0,9. Triharto, (2010) menambahkan, asam asetat 100% memiliki nilai
parameter pH sebesar 2,4.
5.2.2. Karantina Induk
Masa karantina dilakukan selama 7 hari terhitung mulai dari tanggal 9 oktober
– 16 oktober 2019. Lama masa karantina sesuai dengan pendapat Anam dkk, (2016)
yang mengatakan bahwa induk baru datang tidak bisa langsung dipijahkan, akan
tetapi perlu dilakukan adaptasi terlebih dahulu selama 4-7 hari sebelum induk
digunakan untuk prosduksi.
1. Aklimatisasi dan penebaran
Aklimatisasi dilakukan sebelum induk dimasukkan kedalam masing-masing
bak Karanita. Proses aklimatisasi dapat dilihat pada Lampiran 5. Dosis larutan
Vircon Aquatic yang digunakan yaitu 10mg/l. Hasil tebar induk siklus V dapat
dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil tebar induk pada bak karantina siklus V
Jenis Kelamin Kode Bak
Jantan
1
Jantan
2
Betina
3
Betina
4
Jumlah Induk (ekor)
275
275
277
277
Padat Tebar (m3)
7,34
7,34
7,39
7,39
Padat tebar (m3) pada masing-masing bak masih tergolong aman untuk
ditempatkan, karena angka tersebut masih dibawah angka dari Muqsith, (2016)
yang mengatakan bahwa padat tebar pada bak karantina yang baik yaitu 10-12m2.
2. Pengelolaan air
Pengelolaan air pada bak karantina menggunakan sistem sirkulasi (flow
trough) yaitu pergantian air dengan cara mengalirkan air baru sepanjang waktu.
62
Outlet (pipa goyang) dilubangi dengan ukuran 1,5cm sebagai tempat keluarnya air.
Debit air sebesar 4,6 l/menit mampu mengganti air sebesar 73% selama 24jam
dengan volume air 9.000 l. Hal ini sesuai dengan pendapat Anam dkk., (2016) yang
mengatakan pergantian air (water exchange) yang baik yaitu sejumlah > 50%.
Penyiponan atau pembuangan sisa pakan dan kulit moulting dilakukan pada
pagi hari pukul 07.00 WIB sebelum pemberian pakan. Proses penyiponan dilakukan
dengan gaya sedot gravitasi menggunakan selang 2inch yang disambungkan pada
Pipa outlet atau pipa pembuangan yang berada ditengah bak. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Subaidah & pramudjo, (2008) yang mengatakan penyiponan dilakukan
setiap pagi hari.
EDTA (Ethilene Diamine Tetra Acetic Acid) diberikan dengan dosis 5 mg/l
setiap pagi pukul 08.00 WIB selama 7 hari berturut-turut. Salimin & Guandjar,
(2006) menambahkan, EDTA berfungsi untuk menghilangkan kadar logam berat
pada perairan seperti Fe, Sn, Hg, Cd, Zn yang dapat menyebabkan toksisitas pada
daging, insang, dan hepatopankreas udang. Treatment pada bak Karanita dapat
dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Treatment pada bak Karantina
Bahan
Cara
Frekuensi
Kali/minggu
1
Dosis (ml/l)
25
Povidone
iodine
Pencelupan pada baskom
Pemberian pada bak
7
5
Formalin
Pemberian pada bak
7
5
Bahan yang digunakan untuk treathment yaitu Povidone Iodine dengan bahan
aktif iodine (I2) 97%, dan formalin (CH2O) 37%. Hal ini sesuai dengan pendapat
El-Gawad, dkk (2015) yang mengatakan Formaldehyde 37% dan iodine 97% dapat
digunakan untuk treathment biota yang dibudidayakan dengan dosis dan frekuensi
tertentu.
5.2.3. Ablasi Mata
Proses ablasi mata berfungsi untuk mempercepat kematangan gonad.
(Anam dkk, (2016) menambahkan, pemotongan tangkai mata bertujuan untuk
63
menghilangkan organ penghambat atau organ X (Gonad Inhibiting Hormone)
sehingga organ Y (Gonad Stimulating Hormone) dapat merangsang laju
perkembangan gonad. Ablasi mata dilakukan pada pukul 08.00-10.00 WIB. Teknik
ablasi yang dilakukan pada lokasi praktik sesuai dengan pernyataan Anam dkk.,
(2016) yang menyebutkan, ablasi dilakukan pada pagi hari dengan memotong
penuh tangkai mata menggunakan gunting arteri yang sudah dipanaskan. Proses
ablasi mata yang dimiliki perusahaan dapat dilihat pada Gambar 36.
Gambar 36. Proses ablasi mata
Keterangan.
1. Menyiapkan alat dan bahan ablasi mata
Alat yang digunakan antara lain, gunting arteri untuk memotong tangkai mata,
sampling gas untuk memanaskan gunting arteri, logam (seng) alas mata yang
digunakan untuk menjepit tangkai mata serta menjaga agar gunting tidak
mengenai badan udang, baskom sebagai wadah treatment iodine, dan seser
untuk menangkap dan menampung induk udang.
64
2. Pengambilan induk
Panaskan gunting dengan sampling gas hingga ujung gunting menyala api.
Kemudian siapkan induk betina dengan cara ditangkap dan ditampung
menggunakan seser. Keunggulan dari gunting arteri ialah, luka pada mata udang
akan langsung tertutup karena pada ujung gunting berbentuk pipih.
3. Pemasangan alas mata
Pasang alas mata pada salah satu mata yang akan dipotong. Alas mata yang
digunakan adalah logam (seng) berbentuk huruf F. cekungan pada huruf F
digunakan untuk menghimpit bagian tangkai mata agar mata tidak benpindah
posisi (merunduk kebawah).
4. Pemotongan mata
Setelah alas mata terpasang dan gunting sudah siap digunakan, potong penuh
tangkai mata secara perlahan hingga luka pada mata tertutup dengan sendirinya.
Setelah mata terpotong, panaskan kembali gunting untuk induk udang
berikutnya.
5. Treatment iodine
Isi air pada baskom kemudian tambahkan Larutan Povidone iodine berbahan
aktif iodine 97% dengan dosis 10ml/l. Larutan Poviddone iodine digunakan
sebagai antiseptik luka pada mata setelah dilakukan ablasi mata.
6. Pengembalian induk
Pengembalian induk dilakukan secara langsung atau setelah selesai di treatment
menggunakan larutan Povidone Iodine 97%.
5.2.4. Pemeliharaan Induk
1. Lama penggunaan Induk
Induk udang dipelihara dalam waktu yang relatif lama yaitu 6 bulan sebelum
akhirnya induk tidak digunakan lagi (diafkir). Induk dibedakan menurut siklus
(usia) dan jenis kelamin. Induk yang dimiliki terdiri dari 2 Siklus yakni Siklus III
dan IV.Induk Siklus III didatangkan pada tanggal 9 April 2019 yang ditempatkan
pada modul A diantaranya (A.1 Jantan, A.2 Betina, A.3 Jantan, dan A.4 Betina),
65
sedangkan Induk Siklus IV didatangkan pada tanggal 25 Agustus 2019 yang
ditempatkan pada modul B diantaranya (B.1 Jantan, B.2 Betina, B.3 Jantan, B.4
Betina, B.5 Jantan, dan B.6 Betina). Lama Induk sangat menentukan performa
dalam menghasilkan telur. Perbedaan Hatching Rate (HR) induk udang
berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Perbedaan Hatching Rate (HR) induk Siklus III berdasarkan usia
Kode
Sampel
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tanggal sampel
17 April 2019
17 April 2019
17 April 2019
21 Juni 2019
21 Juni 2019
21 Juni 2019
5 September 2019
5 September 2019
5 September 2019
Sampel induk
(ekor/tank)
10
10
10
10
10
10
10
10
10
Usia pemeliharaan
(hari)
7
7
7
73
73
73
138
138
138
HR
(ekor/tank)
1.650.510
1.589.240
1.639.530
1.538.510
1.543.030
1.481.110
1.390.130
1.213.900
1.376.770
Telur yang menetas (Hatching Rate) pada sampel tank 1, 2, dan 3 yang
diambil diawal siklus atau pada tanggal 17 April 2019 yakni sebesar 1.589.2401.650.160 ekor/tank atau 158.924-165.016 ekor/induk. Pada sampel tank 4, 5, dan
6 yang diambil dipertengahan siklus pada tanggal 21 juli 2019, nilai telur yang
menetas masih mendekati sampel awal siklus yakni sebesar 1.543.0301.538.510ekor/tank atau 154.303-163.851ekor/induk. Sedangkan pada sampel tank
7, 8, dan 9 yang diambil diakhir siklus pada tanggal 5 September 2019, naupli yang
dihasilkan mengalami penurunan yakni sebesar 1.213.900-1.390.130ekor/tank atau
139.130-121.390 ekor/induk. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Afrianto &
Muqsith (2014), Induk udang Vaname (F1) dapat menghasilkan nilai HR (Hatching
Rate) sebesar 79,00% mampu menghasilkan naupli sebanyak 197.500 ekor/induk.
2. Pengolahan pakan
Pakan yang digunakan selama masa karantina dan pemeliharaan induk
(maturasi dan pemijahan) berupa pakan alami, yaitu Cacing laut (Nereis sp.) dan
Cumi-cumi (Loligo sp.).
66
a) Cumi-cumi
Cumi-cumi didatangkan dari pengepul di daerah Teluk Lada. Pakan Cumicumi datang 1 minggu 2-3 kali dalam kondisi beku. Cara pengolahan pakan Cumicumi dapat dilihat pada Lampiran 6. Pakan rucah Cumi-cumi siap ditebar dapat
dilihat pada Gambar 37.
Gambar 37. Pakan Cumi-cumi siap tebar
b) Cacing laut
Cacing laut didatangkan dari daerah Rembang, Jawa Tengah. Pakan Cacing
laut datang 1 hari 1-2 kali dalam kondisi hidup. Pakan Cacing laut tidak dibekukan
dan dirucah, pakan hanya dibilas dan diberikan dalam kondisi hidup. Cacing laut
siap ditebar dapat dilihat pada Gambar 38.
Gambar 38. Cacing laut siap ditebar
c) Suplemet
Suplement yang digunkan yaitu Vitamin B complex dan Nature E. Dosis yang
digunakan pada masing-masing suplement yaitu 1g/kg. Aplikasi suplement
dicampur pada pakan Cumi-cumi yang diberikan satu kali pada pagi hari.
67
Vitamin B Complex mengandung (B1 (Thiamine) 10,8%, B2 (Riboflavine)
9,2%, B3 (Niacine) 15,1%, B5 (Pantotenate Acid) 14,9%, B6 (Pyridoxine) 16,3%,
dan B12 (Biotine) 8,2%, Asam (Folate) 8,9%, dan (Cobalamine) 6,6%) yang
digunakan untuk mempercepat pematangan gonad, dan menjaga kekebalan tubuh
udang. Widyaningrum, (2012) menambahkan, Vitamin B Complex digunakan
untuk mempercepat pembelahan sel dan sebagai sumber energi tambahan udang.
Nature-E 100 IU terbuat dari Vitamin E (Alfa Tokoferol ) 98% yang
digunakan untuk mempercepat laju pertumbuhan relatif dan metabolisme udang.
Winestri dkk, (2014) menambahkan, Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan yang
menjaga kerusakan protein dan enzim dari radikal yang dapat menghambat
pertumbuhan dan metabolisme udang.
3. Pengelolaan pakan
Sampling pertumbuhan dilakukan 1 kali sebelum dimulainya produksi
bulan baru. Hal ini digunakan untuk menentukan dosis pemberian pakan selama
Siklus September. Pemberian pakan selama satu hari yang diterapkan sebanyak 6
kali yang terdiri dari 2 jenis pakan alami yang berbeda. Jadwal pemberian pakan
pada pemeliharaan induk dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Jadwal pemberian pakan
No.
1.
Waktu pemberian pakan (WIB)
02.00
Jenis pakan alami
Cacing laut
2.
08.00
Cumi-cumi
3.
11.00
Cumi-cumi
4.
14.00
Cacing laut
5.
20.00
Cumi-cumi
6.
23.00
Cumi-cumi
Sampling pertumbuhan induk dilakukan pada tanggal 3 September 2019 pada
pukul 14.00 WIB atau sebelum dimulainya siklus produksi baru (Siklus produksi
bulan September). Sampling populasi dan berat bertujuan untuk menentukan
kebutuhan pakan melalui persentase biomassa pada setiap jenis induk. Hasil
sampling induk Siklus produksi bulan September dapat dilihat pada Tabel 18.
68
Tabel 18. Hasil sampling induk siklus produksi bulan September
Kode Bak
S.IV 1
S.IV 2
S.IV 3
Jenis Kelamin
Jantan
Betina
Jantan
Populasi (ekor)
187
185
189
ABW (g)
45,7
50,1
45,8
S.IV 4
Betina
186
50,3
S.III 1
S.III 2
S.III 3
S.III 4
S.III 5
S.III 6
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
151
148
151
147
151
147
49,3
56,8
49,2
56,8
49,3
56,7
Dari hasil sampling induk siklus produksi bulan September 2019, rata-rata
pakan yang diberikan pada masing-masing induk S.III dan S.IV yaitu 12,7
g/hari/individu atau sekitar 28% dari berat rata-rata individu. Hal ini tidak sesuai
dengan SNI-8037, (2006) yang menyatakan pakan induk udang dengan berat > 30g
yaitu 5,0% dari berat individu. Dosis pemberian pakan induk selama siklus
September dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Dosis pemberian pakan induk (S.III dan S.IV) selama siklus September
Jenis
Cacing Laut
Dosis (%/biomassa)
15
Pakan perhari (g/hari/individu)
6,8
Cumi-cumi
13
5,9
Total
28
12,7
4. Pengelolaan air
Pengelolaan air dilakukan dengan penyiponan dan pergantian air. Penyiponan
dilakukan pada pagi hari sebelum pemberian pakan. Debit air sebesar 7,8 liter/menit
mampu mengganti air pada bak pemeliharaan induk menggunakan sistem sirkulasi
sebesar 50,56% selama 24 jam dengan volume air 22.500 liter. Hal ini sesuai
dengan pendapat Anam dkk., (2016) yang mengatakan pergantian air (water
exchange) yang baik yaitu > 50 %. Treathment pada bak pemeliharaan induk dapat
dilihat pada Tabel 20.
69
Tabel 20. Treathment pada bak pemeliharaan induk
Bahan
Cara
Frekuensi
(kali/bulan)
1
Dosis (ml/l)
25
Povidone
iodine
Pencelupan pada baskom
Pemberian pada bak pemeliharaan
15
0,05
Formalin
Pemberian pada bak pemeliharaan
15
0,05
Bahan yang digunakan untuk treathment yaitu Povidone iodine dengan bahan
aktif iodine (I2) 97 %, dan formalin (CH2O) 37%. Treathment pada induk bertujuan
untuk Hal ini sesuai dengan pendapat El-Gawad, dkk (2015) yang mengatakan
Formaldehyde 37% dan iodine 97% dapat digunakan untuk treathment biota yang
dibudidayakan dengan dosis dan frekuensi tertentu.
5.2.5. Maturasi, Pemijahan, dan Penanganan Telur
Bak pemeliharaan induk, dibagi atas 2 kegunaan, yaitu bak maturasi (induk
betina) yang berfungsi sebagai wadah untuk mematangkan gonad induk betina dan
bak pemijahan (induk jantan) yang berfungsi sebagai wadah untuk memijahkan
induk udang. Induk betina yang telah matang gonad pada bak maturasi akan
dipindahkan ke bak pemijahan. Alur proses kegiatan maturasi hingga penanganan
telur dapat dilihat pada Gambar 39.
Gambar 39. Alur proses maturasi hingga penanganan telur.
1. Sampling matang gonad (Maturasi)
Sampling matang gonad dilakukan pada bak maturasi (bak betina) pada pukul
07.00-08.00 WIB atau sebelum pemberian pakan, kemudian dipindahkan ke bak
70
pemijahan (bak jantan). Pengambilan induk menggunakan seser dengan mesh-size
1,5inch secara perlahan. Induk yang siap dipijahkan yaitu induk dengan tingkat
kematangan gonad (TKG) 2 dan 3. Proses pemijahan dilakukan secara alami yang
berlangsung selama 10 jam hingga dilakukan sampling induk terbuahi (pemijahan).
Tingkat kematangan gonad (TKG) dapat dilihat pada Gambar 40.
Gambar 40. Tingkat kematangan gonad (TKG)
2. Sampling induk terbuahi (pemijahan)
Sampling induk terbuahi dilakukan pada bak pemijahan (bak jantan) pada
pukul 18.30-19.00 WIB dengan mengecilkan aerasi 30 menit sebelum dilakukan
sampling. Pengambilan induk dibantu dengan senter karena jenis kelamin udang
susah untuk dibedakan pada malam hari. Pemindahan induk udang dibalut dengan
handuk basah setelah dicelupkan ke dalam dipping bath. Dosis Povidone Iodine
(iodine 97%) yang digunakan pada dipping bath sebesar 10ml/l.
3. Penanganan telur
Induk betina yang telah terbuahi, kemudian dipindahkan menuju tank
penanganan telur (spawning dan Hatching tank). Induk dipindahkan kedalam tanki
penanganan telur dengan kepadatan maksimal 12ekor/tank. Proses spawning induk
berlangsung selama 6 jam yaitu dimulai dari pukul 19.00 WIB sampai dengan pukul
01.00 WIB. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Anam dkk., (2016) bahwa induk
udang vaname melepaskan telurnya pada tengah malam sampai dengan dini hari.
Pemasangan pengaduk otomatis dan heater dilakukan setelah pengembalian
induk pada pukul 01.00 WIB secara serempak ke dalam masing-masing bak
maturasi. Heater dilepas pada pukul 08.00 WIB atau pada suhu ruang > 28 ˚C.
Proses penetasan telur ditank penanganan telur berlangsung selama 6 jam yaitu
71
pukul 11.00-15.00 WIB. Selama proses penetasan tersebut, aerasi di setting besar
dan dilakukan pengadukan dengan pengaduk manual setiap 30 menit sekali untuk
mencegah terjadinya pengendapan telur.
Untuk mengetahui nilai fekunditas, telur terbuahi, dan telur yang menetas,
dilakukan sampling populasi dengan cara mengambil sampel dari tank penanganan
telur (hatching) menggunakan pipet serologis dengan ketelitian 1 ml sebanyak
25ml. Pengambilan sampel tersebut dilakukan pada 2 titik yang dianggap dapat
mewakili nilai rata-rata sampel. 2 titik tersebut antara lain, 1 titik pengambilan jauh
dari aerasi dan 1 titik pengambilan dekat dengan aerasi. Data sampling Fekunditas,
Fertilization, dan Hatching dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Data sampling Fekunditas, Fertil, dan Hatching pada Siklus September
Tannggal
05 sept
Keterangan
Jumlah
Siklus
induk
10
III
10
III
10
III
11
III
10
IV
10
IV
10
IV
10
IV
9
IV
Fekunditas
(butir)
1.800.000
1.600.000
1.700.000
2.200.000
2.000.000
2.200.000
2.200.000
2.100.000
1.900.000
Fertil (butir)
Hatching
(ekor)
1.575.000
1.390.130
1.567.000
1.213.900
1.430.000
1.296.770
1.778.000
1.468.040
1.611.000
1.288.900
1.890.000
1.693.800
1.709.000
1.488.410
1.640.000
1.308.880
1.732.000
1.473.840
Dilanjutkan pada lampiran 8.
Jika dirata-ratakan, nilai Hatching Rate (HR) yang dihasilkan pada Siklus
produksi bulan September dapat mencapai 160.000-220.000 ekor/induk. Angka
tersebut masing dibawah dari Lestari (2013) yang menyatakan, Induk udang (F1)
dapat menghasilkan nilai HR (Hatching Rate) sebesar 250.000 butir telur.
Pengamatan telur dilakukan dari tanggal 21 – 22 September 2019 pada telur
dan induk yang berbeda dengan pengawasan 24 jam. Rata-rata telur menetas pada
pukul 11-12 jam setelah telur terbuahi. Wei dkk, (2014) menambahkan, fase telur
dimulai dari embrio, zygot,
2-sel,
4-sel, blastula, gastrulla, embrio tunas
ekstremitas hingga menjadi larva dalam membran.Perkembangan fase telur dapat
dilihat pada Tabel 22.
72
Tabel 22. Perkembangan fase telur
Waktu
pengambilan
(WIB)
3
Waktu
perkembangan
(jam)
4
Sel telur mengalami pembelahan
menjadi 2 sel
21.00
1
sel telur mengalami pembelahan
sel yang ke-2 menjadi 4 sel
21.00
1
sel telur mengalami
perkembangan cepat hingga
menjadi 128 sel
22.00
1-2
Sel telur mencapai fase Morula,
yaitu menjadi peningkatan jumlah
sel
22.00
1-2
Perkembangan embrio terus
berlanjut hingga menjadi 2 lapis
(endoderm dan eksoderm)
23.00
2-4
Mulai terjadi pelekukan
(invagination), yang nantinya
akan berkembang membentuk
jaringan tubuh
00.00
2-4
Bagian-bagian sel terus
berkembang membentuk jaringan
Nauplius
01.00
4-6
Perkembangan embrio mencapai
fase blastula, yaitu embrio
mengalami perkembangan
embryonal
02.00
4-6
Cabang-cabang pertumbuhan
akan berkembang membentuk
organ bakal nauplii
04.00
6-8
Perkembangan organ nauplius
terus berlanjut hingga membentuk
organ yang spesifik
06.00
8-10
Gambar
Keterangan
1
2
73
1
2
3
4
Organ-organ tubuh mulai
terbentuk, seperti antena, dan
antenula
08.00
8-10
Organ-organ tubuh masih belum
sempurna. Sudah terbentuk setae
09.00
10-12
Organ-organ embrio sudah
terbentuk, nauplius mulai aktif
bergerak
10.00
11-12
4. Pemanenan Naupli
Naupli yang menetas diatas pukul 15.00 WIB akan dibuang, karena Naupli
dianggap sudah tidak layak untuk dibudidayakan, hal ini sudah menjadi ketetapan
SOP perusahaan. Proses pemanenan Naupli pada tank penanganan telur dapat
dilihat pada Gambar 41.
Gambar 41. Proses pemanenan Naupi
Keterangan.
a) proses penyaringan Naupli menggunakan seser nilon dengan mesh size ¼ mm
b) perendaman (Dipping) Naupli kedalam larutan Povidone iodine 97% dengan
dosis 1,0 ml/l
c) penampunan naupli pada holding tank sebelum naupli di angkut atau di packing
menuju bak pemeliharaan ataupun dijual.
74
Data penjualan naupli terdapat pada Lampiran 7. Hal ini tidak sesuai dengan
pernyataan SNI-7311 (2009) yang menyatakan, dosis iodine 100% untuk mencuci
telur dan naupli yaitu 0,1ml/l.
5.2.6. Penebaran Naupli
`
Dalam proses aklimatisasi naupli, tidak dilakukan penyesuaian media
seperti pada bak karantina dan kantong packing induk, dikarenakan jarak yang
dekat dan sumber serta kualitas air dimiliki berasal dari waktu yang sama. Proses
aklimatisasi naupli dapat dilihat pada Gambar 42.
Gambar 42. Proses aklimatisasi Naupli
Keterangan.
a) Naupi dari holding tank ditampung kedalam ember yang sudah ditambahkan
larutan Posidone Iodine (iodine 97%) dengan dosis 2,5 ml/l. Ember diangkut
menuju Divisi Larva secara perlahan dan hai-hati.
b) Pencelupan ember packing kedalam larutan Virkon Aquatic dengan dosis
10mg/l. Peggunaan larutan Vircon Aquatic bertujuan untuk mensterilkan alas
ember yang memungkinkan membawa pathogen penyakit pada media.
c) Pengapungan ember hingga penuangan secara perlahan selama 10 – 15 menit.
Penebaran Naupli dilakukan pada pagi atau sore hari.
Hal ini sesuai dengan pendapat Farchan (2006), dimana penebaran Naupli
sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari supaya fluktuasi suhu tidak mencolok
dan parameter air dilingkungan lain tidak banyak berubah. Data penebaran Naupli
pada 20 petak yang terisi dapat dilihat pada Tabel 23.
75
Tabel 23. Data penebaran Naupli Siklus September
Tanggal
Petak
penebaran
5 september 2019
A.13
6 september 2019
A.14
8 september 2019
A.15
8 september 2019
A.16
10 september 2019
A.17
10 september 2019
A.18
10 september 2019
A.19
11 september 2019
A.20
13 september 2019
B.1
13 september 2019
B.2
15 september 2019
B.3
15 september 2019
B.4
16 september 2019
B.5
16 september 2019
B.6
16 september 2019
B.7
17 september 2019
B.8
17 september 2019
B.9
18 september 2019
B.10
18 september 2019
B.11
19 september 2019
B.12
Jumlah naupli ditebar
Jumlah tebar (ekor)
Densitas (ekor/m3)
2.000.000
2.400.000
2.200.000
2.200.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.400.000
2.200.000
2.200.000
2.400.000
2.400.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.400.000
2.400.000
2.600.000
2.600.000
2.700.000
45.700.000
67.340
80.808
74.074
74.074
67.340
67.340
67.340
80.808
104.762
104.762
114.286
114.286
104.762
104.762
104.762
114.286
114.286
123.810
123.810
128.571
96.813
Naupli yang ditebar pada Siklus produksi bulan September mencapai
45.700.000 ekor yang ditebar pada 20 dari 22 bak yang tersedia.
B. Divisi Larva
5.2.7. Pengelolaan Pakan
1. Pengelolaan Pakan
Terdapat 2 jenis pakan yang diberikan di PT. Suri Tani Pemuka – Carita
dalam pemeliharaan Larva, yaitu pakan alami (Arthemia salina, dan Chaetoseros
Sp.) dan pakan buatan (cair, serbuk, dan flake). Jadwal pemberian pakan dapat
dilihat pada Tabel 24.
76
Tabel 24. Jadwal pemberian pakan selama 1 hari
No.
Waktu pemberian
(WIB)
07.00
08.30
10.30
13.00
14.30
15.30
19.00
21.30
01.00
04.00
Jenis pakan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Pakan buatan
Pakan alami (algae, artemia)
Pakan buatan
Pakan buatan
Pakan alami (algae, artemia)
Pakan buatan
Pakan buatan / Pakan alami (algae, artemia)
Pakan buatan
Pakan buatan
Pakan buatan
a. Pakan alami
Pakan larva udang pada awal pemeliharaan menggunakan pakan alami. Hal
ini karena pemberian pakan alami pada awal pemeliharan memungkinkan larva
udang untuk metabolisme dengan baik (Panjaitan dkk., 2014). Jenis Chaetoceros
sp. Digunakan pada stadia N.6 hingga M.PL sedangkan untuk Artemia salina
digunakan pada stadia MPL hingga panen.
a) Algae (Chaetoceros sp.)
Dosis pada setiap skala kultur Algae (Chaetoceros sp.) dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Dosis penggunaan pupuk pada setiap skala kultur algae
Skala kultur
Cawan petri
Erlemeyer
Test tube
Erlemeyer
Toples
Toples
Tank
Bak
20
100
15
300
2.000
4.000
800.000
Silikat
(ml)
1
2
0,5
10
20
200
Vit.mix
(ml)
1
0,201
0,5
10
20
-
FeCl
(ml)
1
2
0,5
10
20
200
8.000.000
800
-
800
Volume (ml)
NP (ml)
1
2
0,5
10
20
200
800
Kultur pakan alami algae chaetoseros dilakukan dengan cara menanamkan
bibit algae kedalam media kultur yang sudah dicampur dengan pupuk, Kemudian
77
dikultur pada dimensi yang lebih luas. Dosis pupuk yang digunakan pada masingmasing skala kultur berbeda-beda.
1) Pembuatan pupuk
a. Silikat
: aquades 1.000ml + sodium silicat (Na2SiO3) 80ml
b. Vit.mix
: aquades 1.000ml + B1 (Tiamine) 20ml + B12 (Cyanocobalamine)
1,8ml + B7 (Biotine) 1,8 ml
c. Fe.Cl
: aquades 1.000ml + Molibdenum 5ml + Zeng 5ml + Mangan 5ml +
Cobalt 5ml + Cuprum 5ml + Tritiplex 2,18gr + FeCl.III (6H2O)
1,58g
d. N.P
: aquades 1.000ml + Sodium Nitrate (NaNO3) 75gr + Phospat
(H3PO4) 5g
2) Kultur indoor (skala cawan petri)
Kultur skala cawan petri dapat dilihat pada Gambar 43.
Gambar 43. Kultur indoor (skala cawan petri)
Sterilkan alat yang digunakan menggunakan Auto Clave dengan suhu 121˚C
dengan tekanan 2 atm selama 5 menit. Beberapa tahapan yang harus dilakukan
sebelum melakukan kultur algae skala cawan petri, yaitu membuat media agar dan
inokulasi lagae. Media agar terbuat dari beberapa bahan seperti, bachto agar 66,7
(mg/ml), air laut 27g/l, dan pupuk 1ml (EDTA, Silikat, Vit.mix, FeCl, dan N.P).
kemudian dipanaskan menggunakan Hot plate (suhu 300˚C, dengan kekuatan stirrer
200), setelah air mendidih tuangkan kedalam cawan petri (diameter 15cm) hingga
menutupi permukaan (15 – 20 ml). Simpan kedalam ruangan dengan suhu 16 - 21˚C
yang disinari dengan lampu UV. Kemudian ambil bibit algae 3 - 5 ml dengan
kepadatan min. 2.750.000 sel/ml hingga menutupi skala permukaan media.
Keberhasilan kultur ditandai dengan munculnya koloni algae pada media cawan
78
petri. Lama kultur sekitar 7 - 14 hari atau hingga terdapat koloni algae dengan warna
coklat keemasan.
3) Kultur indoor (skala erlemeyer 250 ml)
Kultur skala erlemeyer 250ml dapat dilihat pada Gambar 44.
Gambar 44. Kultur indoor (skala erlemeyer 250 ml)
Kultur indoor skala erlemeyer diawali dengan menyiapkan alat dan bahan
yang digunakan, antara lain erlemeyer 250 ml, jarum ose, api bunsen, BULB pipet
ukur, auto clave, air laut (27 g/l), bibit algae, pupuk, dan alkohol 100 %. Bibit algae
dengan warna koloni cokelat keemasan dapat dilihat pada Gambar 45.
Gambar 45. Bibit algae dengan warna koloni cokelat keemasan
Setelah alat disterilkan menggunakan auto clave, tuangkan air laut 27 (g/l)
sebanyak 100 ml yang sudah melewati proses penyulingan. Tambahkan pupuk
sebanyak 2 ml (silikat, FeCl, dan NP) Kemudian ambil bibit algae dari kultur skala
cawan teri dengan koloni warna coklat keemasan menggunakan jarum ose yang
sudah steril. Kemudian homogenkan. Lama kultur skala erlemeyer 250 ml yaitu 7 14 hari.
79
5) Kultur indoor (skala test tube 40 ml)
Kultur skala test tube dapat dilihat pada Gambar 46.
Gambar 46. Kultur indoor (skala test tube 40 ml)
Sterilkan alat menggunakan Auto Clave, tambahkan air laut 27 (g/l)
kedalam test tube sebanyak 15 ml. Selanjutnya tambahkan vit.mix sebanyak 3 tetes
atau 0,201ml. Ambil bibit algae dari kultur erlemeyer 100ml sebanyak 8 ml.
Homogenkan dan simpan pada lemari kaca dengan suhu ruangan 16–21 ˚C dan
pencahayaan min. 800 lux selama 24 jam. Lama kultur skala test tube 2 hari.
6) Kultur indoor (skala erlemeyer 500 ml)
Kultur skala erlemeyer 500ml dapat dilihat pada Gambar 47.
Gambar 47. Kultur indoor (skala erlemeyer 500 ml)
Pada kultur indoor skala erlemeyer 500ml, setelah alat disterilkan
menggunakan auto clave. Tambahkan air laut 27 (g/l) sebanyak 300 ml, kemudian
tambahkan pupuk sebanyak 0,5 ml (FeCl, NP, Vit.mix, EDTA). Setelah
dihomogenkan, tambahkan bibit algae dari kultur sekala test tube sebanyak 2 test
80
tube (80 ml). Setelah dihomogenkan kembali, simpan kedalam lemari kaca dengan
suhu 16 – 21 ˚C dan pencahayaan min. 800 lux selama 24 jam. Lama kultur skala
erlemeyer yakni 2 hari.
7) Kultur intermediate (skala toples 5liter)
Kultur skala toples 5liter dapat dilihat pada Gambar 48.
Gambar 48. Kultur intermediate (skala toples 5 liter)
Pada skala intermediate skala kultur toples dan tank sudah menggunakan
aerasi. Siapkan toples 5 liter yang sudah dicuci bersih dan dikeringkan. Tambahkan
air laut dengan salinitas 27 (g/l) sebanyak 2 liter. Kemudian sterilkan menggunakan
clorine (Ca(ClO)2) dengan dosis 2,5 (ml/l). Tunggu selama 30 menit selanjutnya
tambahkan Natrium tiosulfat (Na2S2O3) sebanyak 0,25 (ml/l) untuk memastikan
kadar clorine dalam media benar-benar hilang. Setelah itu, tambahkan pupuk
sebanyak 10ml (FeCl, NP, silikat, dan Vit.mix) kedalam media, lalu homogenkan
menggunakan aerasi. Tambahkan bibit algae dari 1 kultur erlemeyer (300 ml).
Lama kultur selama 2 hari (A).Selanjutnya, siapkan kembali toples 5liter yang
sudah ditambahkan air dan pupuk seperti kultur sebelumnya. Setelah itu, bibit algae
dari kultur sebelumnya (A) ditambahkan pada kultur toples yang akan dibuat (B)
sebanyak 1.400ml. Lama kultur selama 2 hari.
8) Kultur intermediate (skala toples 10 liter)
Siapkan wadah toples 10 liter sebanyak jumlah bibit algae skala toples 5 liter.
Kemudian, tambahkan air laut sebanyak 4.000ml yang sudah disterilkan
menggunakan clorine (2,5 ml/l). Selanjutnya tambahkan pupuk sebanyak 20ml
81
(FeCl, NP, Silikat, dan Vit.mix). langkah berikutnya yakni menambahkan bibit
algae dari kultur skala toples (B) sebanyak 1 toples atau sebanyak 3.800 ml. Lama
kultur selama 2 hari. Kultur skala toples 10liter dapat dilihat pada Gambar 49.
Gambar 49. Kultur intermediate (skala toples 10 liter)
9) Kultur intermediate (skala tank 500 & 1000liter)
Kultur skala tank 1000 liter dapat dilihat pada Gambar 50.
Gambar 50. Kultur intermadiate (skala tank 1000 liter)
Tambahkan air laut sebanyak 800 liter dengan salinitas 27g/l dari tandon
algae. Kemudian sterilkan mengganakan klorin dengan dosis 0,25 (ml/l). Setelah
air siap untuk digunakan, tambahkan pupuk sebanyak 200 ml (NP, FeCl, dan
Silikat). Kemudian tambahkan bibit algae dari kultur skala toples 10 liter sebanyak
3 toples atau 8 liter. Lama kultur pada skala tank yaitu 2 hari hingga bibit algae siap
ditransfer pada bak kultur massal.
10) Kultur massal (skala bak 10.000 liter)
Pada kultur skala massal, siapkan air sebanyak 8.000 liter dengan dosis klorin
0,25 (ml/l). Setelah air siap untuk dipelihara, atau 4 jam kemudian, tambahkan
82
pupuk sebannyak 800 ml (NP, FeCl, dan Silikat). Selanjutnya transfer bibit algae
pada skala tank menggunakan pompa 2 inch ke dalam bak massal.Kultur skala
massal (10.000 liter) dapat dilihat pada Gambar 51.
Gambar 51. Ruang kultur algae (skala masal 10.000 liter)
Lama kultur selama 2 – 3 hari. Pemberian pakan algae dilakukan dengan cara
mentransfer algae siap panen dari kultur massal menuju ke bak pemeliharaan larva
menggunakan pompa 2 inch.. Kelimpahan algae pada bak kultur skala massal
(10.000 liter) mulai dari awal kultur hingga algae siap dipanen (DOC 1-3) dapat
dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Kelimpahan algae massal
DOC
Kepadatan (sel/ml)
1
1.340.000.000
2
1.890.000.000
3
2.185.000.000
Warna
Standar stadia Algae Chaetoseros pada setiap Fase larva sudah menjadi
ketetapan oleh perusahaan (SOP). Perhitungan Kelimpahan algae pada skala kultur,
dan menentukan kebutuhan algae pada kolam pemeliharaan larva dapat digunakan
83
rumus pada halaman 39. Hasil penghitungan rata-rata kepadatan algae pada tiap
skala dapat dilihat pada Lampiran 12Standar stadia yang digunakan untuk
mengetahui kebutuhan pakan dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Standar stadia Algae (Chaetoceros sp) per satu kali pemberian pakan
No.
Stadia larva
Standar stadia (Sel/m3)
1.
Naupli
50.000
2.
Zoea 1
80.000
3.
Zoea 1-2
100.000
4.
Zoea 2-3
100.000
5.
Zoea 3
120.000
6.
Zoea, Mysis mix
120.000
7.
Mysis 1
100.000
8.
Mysis 1-2
100.000
9.
Mysis 2
80.000
10.
Mysis 2-3
70.000
11.
Mysis 3
50.000
b) Artemia (Arthemia salina)
Proses dekapsulasi Artemia dapat dilihat pada Gambar 52.
Gambar 52. Proses dekapsulasi Artemia
84
Keterangan.
1) Pengisian air pada conical tank sebanyak 800 liter.
2) Pemberian artemia sebanyak 200g untuk tiap masing-masing conical tank.
3) Penetasan artemia dilakukan selama 24 jam sesuai dengan jadwal pemberian
pakan artemia terhadap larva.
4) Pemanenan dilakukan dengan menutup bak. hal ini dimaksutkan untuk
menghilangkan cahaya dari artemia agar mengendap ke dasar tank. Kemudian
ditunggu 3-5 menit. Buka kran outlet, tampung menggunakan seser artemia
dengan mesh size 105 micron. Kumpulkan tiap tank artemia ke dalam ember
tampung 500 liter sebelum didistribusikan ke dalam masing-masing bak
pemeliharaan larva.
5) Pencucian wadah dilakukan menggunakan detergen 46g/l kemudian keringkan
dan bak siap digunakan kembali. Siram lantai hingga bersih dari sisa pakan atau
kista artemia, agar ruang kultur terhindar dari bau busuk yang memungkinkan
membawa patogen penyakit.
Pakan artemia yang digunakan adalah jenis artemia dalam bentuk kista
(dekapsulasi) dan siap saji (diencerkan dalam air). untuk jenis artemia dalam bentuk
kista yang digunakan adalah merk Artemia Mackay Marine, Supreme Plus (Golden
West Artemia), dan Aqua West (Instar 1). Menurut Gustrifandi (2011) dalam
Cahyanti dkk., (2015) bahwa pakan artemia cocok untuk udang stadia larva sebab
kandungan protein yang tinggi dan mudah untuk dicerna sehingga menghasilkan
nilai pertumbuhan yang tinggi pula jika dibandingkan dengan pakan buatan. Dosis
pemberian jenis merk artemia per 1.000.000 larva dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Dosis pemberian artemia per 1.000.000 larva
Stadia
M3
PL 1
PL 2
PL 3
PL 4
PL 5 – 10
Instar 1 (gr/hari)
300
300
300
300
-
Golden West (gr/hari)
300
300
300
300
-
Mackay (gr/hari)
300
85
b. Pakan buatan
Bentuk pakan yang diberikan pada larva udang disesuaikan dengan stadia
larva udang yaitu dalam bentuk bubuk, cair, dan flake (lempengan tipis). Pakan
buatan mulai diberikan pada saat larva memasuki stadia Zoea (Z 1) sampai dengan
panen. Agar pakan buatan tetap terjaga, pakan disimpan pada rak agar tidak
langsung bersentuhan dengan lantai. Suhu ruangan diatur 21˚C agar kondisi pakan
tidak lembab. Penggunaan pakan buatan selama siklus September dapat dilihat pada
Lampiran 19. Berikut adalah ruang pengimpanan gudang pakan larva. Gudang
penyimpanan pakan buatan dapat dilihat pada Gambar 53.
Gambar 53. Gudang penyimpanan pakan buatan
Hasil perhitungan pakan buatan yang digunakan selama satu hari untuk satu
juta larva dapat dilihat pada Lampiran 10. Pemberian pakan selama siklus
September pada tiap petak pemeliharaan dapat dilihat pada Lampiran 11. Selama
praktik, kegiatan pemberian pakan alami maupun pakan buatan dilakukan tepat
pada jam pemberian pakan, karena sudah terkontrol dengan adanya aplikasi QCSharp.
menurut Agustina dkk., (2015), ketersediaan pakan yang berkualitas dalam
jumlah yang cukup akan memperkecil persentase angka kematian larva udang.
Pakan buatan yang diberikan, rata-rata memiliki kandungan protein diatas 30%. Hal
ini sesuai dengan ketentuan SNI 7321:2009 bahwa kandungan protein untuk pakan
larva minimum 40%. Dosis penggunaan pakan buatan yang dimiliki oleh
Perusahaan dapat dilihat pada Tabel 29.
86
Tabel 29. Dosis penggunaan pakan buatan yang dimiliki oleh Perusahaan
Stadiaia
Pakan
Frippak (CAR)
Spirulina (MOS)
Mackay Feed (MP-Z)
Frippak (CAR)
Spirulina (MOS)
Mackay Feed (MP-Z)
Frippak (CAR)
Spirulina (MOS)
Mackay Feed (MP-Z)
Z1
Z 1-2
Z3
Pembagian
Jumlah pakan
(%)
(gr/juta)
40
20
50
40
40
20
100
40
40
20
200
40
Dilanjutkan pada Lampiran 9.
5.2.8. Pengamatan Kualitas Air
Pengamatan kualitas air bertujuan untuk memantau perubahan atau fluktuasi
parameter air secara periodik selama siklus produksi. Parameter kualitas yang
diamati pada pemeliharaan larva antara lain, suhu, salinitas, pH, DO, nitrit, dan
alkalinitas. Hasil pengamatan kualitas air pada bak pemeliharaan larva dapat dilihat
pada Lampiran 12.
1. Suhu °C
Suhu (°C)
Kisaran rata–rata suhu pada siklus September dapat dilihat pada Gambar 54.
33
32.5
32
31.5
31
30.5
30
29.5
29
28.5
28
27.5
Suhu
07.00
Suhu
13.00
Suhu
17.00
A.13 A.14 A.15 A.16 A.17 A.18 A.19 A.20
B.1
B.2
Kode Bak
Gambar 54. Grafik nilai rata-rata suhu pada Siklus September
87
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat termometer digital
dengan ketelitian 0.1°C yang ditanam pada bak selama siklus pemeliharaan.
Pengukuran suhu dilakukan 3 kali dalam sehari yaitu pada pukul 07.00, 13.00, dan
17.00 WIB. Rata-rata Hasil suhu sesuai dengan ketentuan SNI-7311, (2009) yaitu
sebesar 28-33°C.
2. Salinitas (g/l)
Nilai rata-rata salinitas pada 10 bak dapat dilihat pada Gambar 55.
32
Salinitas (g/l)
31.8
31.6
31.4
31.2
31
30.8
30.6
Bak
A.13
Bak
A.14
Bak
A.15
Bak
A.16
Bak
A.17
Bak
A.18
Bak
A.19
Bak Bak B.1 Bak B.2
A.20
Kode bak
Gambar 55. Grafik nilai rata-rata salinitas pada siklus September
Pengukuran salinitas dilakukan pada pukul 07.00 WIB, yakni dengan cara
mengambil sampel air pada masing-masing bak, kemudian diukur menggunakan
refraktometer dengan ketelitian 0,1g/l. Hasil pengukuran salinitas menunjukkan
kisaran salinitas media pemeliharaan yaitu 30 – 32,5g/l. Dari hasil pengukuran yang
dilakukan, kisaran nilai salinitas masih tergolong dalam kisaran aman. Hal ini
sesuai dengan ketentuan SNI 7311:2009, yang menyatakan kisaran salinitas untuk
produksi larva yaitu 29-34g/l.
3. Oksigen terlarut (mg/l)
Pengukuran Oksigen terlarut (DO) dilakukan pada pagi hari yaitu pukul 07.00
WIB pada setiap bak pemeliharaan selama satu siklus. Nilai DO pada media
pemeliharaan berkisar antara 5,0 – 6,0 mg/l. Nilai rata-rata DO pada 10 bak dapat
dilihat pada Gambar 56.
88
oksigen terlarutm (g/l)
5.6
5.55
5.5
5.45
5.4
5.35
5.3
5.25
5.2
A.13
A.14
A.15
A.16
A.17
A.18
A.19
A.20
B.1
B.2
Kode Bak
Gambar 56. Grafik nilai rata-rata DO (oksigen terlarut) pada siklus September
Nilai rata-rata Oksigen terlarut terendah pada bak pemeliharaan adalah
5,4mg/l. Nilai tersebut dapat dikatakan aman dengan pedoman SNI 7311:2009
bahwa kisaran oksigen terlarut minimal adalah 5,0mg/l.
4. pH (Posseince of Hydrogen)
Hasil pengukuran pH pada masing-masing bak pemeliharaan larva dapat dilihat
pada Gambar 57.
8.18
8.16
8.14
8.12
8.1
8.08
8.06
8.04
A.13
A.14
A.15
A.16
A.17
A.18
A.19
A.20
B.1
B.2
Kode Bak
Gambar 57. Grafik nilai rata-rata pH pada bak pemeliharaan siklus September
Pengukuran dilakukan pada pagi hari yaitu pukul 07.00 WIB pada setiap bak
pemeliharaan. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu
menggunakan aquades kemudian dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya dilakukan
89
pengecekan pH pada air sampel dengan cara memasukkan probe dan menunggu
hingga angka stabil. Hasil pengukuran akan tertera pada layar pembacaan. Setelah
selesai, cuci probe pH meter dengan menggunakan aquades kemudian dilap
menggunakan tissue. Dari hasil pengukuran, pH perairan pada media budidaya
berkisar antara 8,0 - 8,3. Dari hasil pengukuran yang dilakukan, rata-rata nilai pH
pada masing-masing bak tergolong dalam kisaran normal dan baik untuk budidaya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa biota akuatik menyukai pH
sekitar 7,0 - 8,5. Ketentuan SNI 7311:2009, dimana kisaran pH yang baik untuk
proses produksi benur adalah 7,5 - 8,5.
5. Alkalinitas (mg/l)
Hasil pengukuran alkalinitas pada bak pemeliharaan larva dapat dilihat pada
Alkalinitas (mg/l)
Gambar 58.
112
111.5
111
110.5
110
109.5
109
108.5
108
107.5
A.13
A.14
A.15
A.16
A.17
A.18
A.19
A.20
B.1
B.2
Kode Bak
Gambar 58. Grafik nilai rata-rata alkalinitas bak pemeliharaan siklus September
Hasil pengukuran menunjukkan nilai alkalinitas pada media pemeliharan
selama siklus produksi bulan September berkisar antara 100 - 120mg/l. Cara
pengukuran alkalinitas dapat dilihat pada Lampiran 13. Nilai pengukuran yang
didapat tersebut masih dalam kisaran yang baik atau sesuai dengan pendapat
Effendi (2003) yang menyatakan bahwa nilai alkalinitas yang baik berkisar antara
30 - 500mg/l. Sedangkan untuk udang vaname yakni senilai 120 - 150mg/l (Suwoyo
& Mangampa, 2010).
90
6. Nitrit (mg/l)
Hasil pengukuran nitrit pada masing-masing bak dapat dilihat pada Gambar 59.
0.25
Nitrit (mg/l)
0.2
0.15
0.1
0.05
0
A.13
A.14
A.15
A.16
A.17
A.18
A.19
A.20
B.1
B.2
Kode Bak
Gambar 59. Grafik nilai rata-rata Nitrit pada pemeliharaan siklus September
Pengukuran nitrit menggunakan metode spektrofotometri dengan reagen
nitrit test kit. Air sampel diambil sebanyak 5 ml, kemudian tambahkan 5 tetes
reagen no.1 dan 5 tetes reagen no.2, kocok untuk menghomogenkan larutan.
Tunggu 3-5 menit, selanjutnya cocokkan pada skala spektrofotometri. Dari hasil
pengukuran, nilai rata-rata nitrit selama masa pemeliharaan yaitu 0,15 – 0,20mg/l
pada setiap bak. Menurut Nurdiana (2008), kandungan nitrit pada kisaran 0,10 1,00mg/l masih bisa diterima bagi biota sedangkan diatas kisaran tersebut akan
membahayakan biota yang dipelihara.
5.2.9. Pergantian air
Pergantian air dilakukan untuk memperbaiki kualitas air akibat akumulasi
feses dan sisa pakan yang berpotensi menjadi amonia. Pergantian air dilakukan
setiap pagi hari pukul 08.00 WIB sebelum dilakukan pemberian pakan. Pergantian
air dilakukan dengan cara menyipon menggunakan filter net dengan mess size
1/4mm. Persentase pergantian air pada saat larva masuk stadia zoea-mysis yaitu 10
- 20%. Sedangkan pada saat larva masuk pada pada stadia PL1 - PL4 pergantian air
yang dilakukan hingga 20 - 30%. Setelah larva masuk di stadia PL5 - panen
pergantian air dilakukan hingga 40% disesuaikan dengan kondisi perairan. Jika
91
kualitas air pada media pemeliharaan sangat buruk dilakukan pergantian air hingga
60% atau dengan dilakukan transfer ke bak pemeliharaan yang baru.
Akumulasi dari senyawa amonia, nitrit serta konversi pakan yang tinggi dapat
membuat air menjadi toksik. Untuk mengurangi resiko tersebut kegiatan
pengelolaan air sangat penting dilakukan salah satunya yaitu dengan penggantian
air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Agustina dkk., (2015) bahwa pengelolaan
kualitas air sebagai upaya untuk mengurangi akumulasi dari senyawa amonia, nitrit
serta konversi pakan yang tinggi agar perairan tidak berpotensi toksik bagi biota
yang dibudidayakan.
3.2.10. Aplikasi Probiotik
Probiotik yang diaplikasikan pada bak pemeliharaan larva adalah Epicin-D
dengan jenis bakteri (Bacillus Sp.). Hal ini sesuai dengan pendapat Moriarty dkk.,
(2006) yaitu probiotik jenis Bacillus dapat mengendalikan perkembangan bakteri
patogen dengan mengubah komunitas mikroorganisme dalam air melalui aplikasi
yang rutin. Pemberian probiotik dilakukan 1 kali dalam sehari. Total bakteri pada
Epicin-D yaitu 2 x 10^9 CFU/g. Probiotik yang digunakan dapat dilihat pada Tabel
30.
Tabel 30. Probiotik yang digunakan
Merk
dagang
Epicin-D
Kandungan
bakteri
1.Bacillus subtilis
2.Bacillus
megaterium
3.Bacillus pumilus
4.Bacillus
lichenfornis
Manfaat
Kualitas air
 Menekan
pertumbuhan bakteri
Vibrio sp.
 Mengontrol
pertumbuhan algae
 Mengurangi gas
NH3, dan NO2
Larva
 Memperbaiki
FCR
 Mengurangi
lumpur organik
 Meminimalisir
resikok penyakit
Dosis pemberian probiotik pada stadia Zoea - Mysis yaitu 5mg/l, stadia PL1
- PL2 yaitu 15mg/l, pada stadia PL3 - panen yaitu 20mg/l. Cara penggunaan EpicinD yaitu dengan menambahkan air tawar sebanyak 1 liter kemudian diaduk
menggunakan aerasi. Lama kultur bakteri sekitar 5-6 jam dan diberikan sesudah
pemberian pakan pada pukul 08.30 WIB.
92
Probiotik digunakan untuk memaksimalkan upaya perbaikan kualitas air. Hal
ini didukung oleh pernyataan Risdianto dkk., (2015) bahwa aplikasi probiotik
mampu memperbaiki dan mempertahankan kualitas air serta menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pathogen. Probiotik juga sebagai imunostimulan
yang memperkuat daya tahan tubuh udang dari serangan penyakit (Suharyadi,
2011).
3.2.11. Pertumbuhan
1. Pengamatan Larva
Pengamatan larva dilakukan secara visual dan mikroskopik. Pengamatan
visual dilakukan dengan cara mengambil sampel air dalam bak pemeliharaan
menggunakan beaker glass 300 ml kemudian diarahkan ke cahaya untuk dilakukan
pengamatan. Beberapa parameter yang diamati yaitu aktivitas renang, benangbenang feses, keseragaman, isi usus dan keberadaan makan dalam air. Pengamatan
visual bisa dilakukan setiap hari oleh teknisi lapangan. Sedangkan untuk
pengamatan mikroskopik dilakukan dengan bantuan alat mikroskop.
Sampel untuk pengamatan diambil acak dari dalam bak pemeliharaan.
Pengamatan dilakukan di laboratorium pada bagian Quality Control dengan
parameter pengamatan antara lain kondisi, abnormalitas serta perkembangan stadia.
Hasil pengamatan stadia larva dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Pengamatan stadia Larva
Hasil pengamatan
Stadia
Gambar
Microskopis
1
2
1.
Nauplii
6
2.
1.
Zoea 1
2.
3
Sepasang furcal tumbuh
menjadi 5-7 setae
Bentuk tubuh belum bisa
dibedakan, mana yang
cepalotorax dan abdomen
Tubuh sudah dapat dibedakan
antara cepalotorax dan
abdomen
mata belum muncul tetapi
sudah muali terlihat
Fisual
(makroskopis)
4
Berenang
mengikuti arus
(planktonis)
Berenang
mengikuti arus
(planktonis)
93
1
2
1.
Zoea 2
2.
3.
1.
Zoea 3
2.
3.
1.
Mysis 1
2.
Mysis 2
Mysis 3
Post
Larva
1.
2.
3
Mata mulai bertangkai diikuti
dengan penonjolan diatas
karapas
mulai tumbuh rostrum
lapisan abdomen terlihat
beruas-ruas
Ruas-ruas abdomen terlihat
jelas
pada ruas perut mulai tumbuh
sepasang duri
uropoda mulai berkembang
tunas pleopoda mulai tampak
hingga pada segmen ke5
abdomen
telson dan uropoda mulai
terbentuk
Badan mulai membengkok
tunas pleopoda tumbuh tetapi
belum bersegmen
4
Berenang
mengikuti arus
(plantonis)
Berenang
mengikuti arus
(plantonis)
Berenang
mengikuti arus
(plantonis)
Berenang
menghentakkan
bagian abdomen
1. Tunas pleopoda mulai tumbuh
panjang dan bersegmen
2. Duri dorsal mulai terbentuk
pada restrum
Berenang
menghentakkan
bagian abdomen,
Peka terhadap
gerakan
1. Bentuk morfologi seperti
udang dewasa
2. organ tubuh sudah lengkap
dan tidak mengalami
metamorfosa lagi
Berenang
menghentakkan
bagian abdomen,
Peka terhadap
gerakan
2. Sampling Populasi Larva
Sampling populasi dilakukan dengan menggunakan beacker glass 500 ml.
Sampling dilakukan pada siang hari yaitu pada pukul 14.00 WIB sebelum dilakukan
pemberian pakan. Sampling populasi dilakukan pada waktu (tebar awal, stadia zoea
2, mysis 2, PL 2 dan panen). Kegiatan sampling dilakukan untuk mengetahui
estimasi populasi yang ada dalam bak pemeliharaan. Sampling dilakukan dengan
memasukkan backer glass kedalam bak pemeliharaan dengan kedalam 0,5 m dari
permukaan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 titik yang dianggap dapat
94
mewakili padat tebar secara keseluruhan. Kemudian dilakukan penghitungan
jumlah larva secara manual.
Setelah backer glass selesai digunakan, kembalikan pada tempat perendaman
(treatment) ember yang berisi larutan Formalin 15 ml/l atau Treflan 0,10 ml/l. Hal
ini sesuai dengan SNI (2009) yang menyatakan penggunaan jenis dan dosis bahan
kimia dan obat-obatan pada produksi larva yaitu Formalin 15 - 20 ml/l dan
Trifuralin 0,05 -0,10 ml/l. Setelah didapat jumlah rata-rata larva sampel, kemudian
dilakukan perhitungan estimasi populasi. Hasil sampling populasi yang dilakukan
dapat dilihat pada Gambar 60.
Stadia
Tebar
Populasi (ekor/bak)
2,700,000
2,400,000
Stadia
Zoea 2
2,100,000
1,800,000
Stadia
Mysis 2
1,500,000
1,200,000
Stadia
PL 2
900,000
600,000
Stadia
Panen
300,000
0
A.13 A.14 A.15 A.16 A.17 A.18 A.19 A.20
B.1
B.2
Gambar 60. Grafik hasil sampling siklus September
Penurunan populasi pada tiap stadia pengamatan berkisar antara 200.000400.000 ekor/bak. Penurunan terjadi karena pada masa pembenihan, kondisi udang
yang melemah dan terjadi kanibalisme. Hal ini didukung oleh pernyataan Panjaitan
(2014) bahwa pada stadia Zoea dan Mysis pertumbuhan larva cepat, akan tetapi
fase ini juga merupakan fase kritis karena larva udang sangat rentan dan pada fase
ini pula tingkat kematian larva sangat tinggi.
5.2.12. Pengelolaan Penyakit
Proses Inokulasi bakteri dimulai dengan pengambilan sampel pada setiap
stasiun pengambilan. Cara pembuatan media agar terdapat pada lampiran 4. Sampel
air digunakan untuk mengontrol apakah terdapat bakteri yang dapat menimbulkan
95
penyakit bagi udang. Adapun media Agar yang digunakan untuk menginokulasi
bakteri dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Jenis Media Agar yang digunakan untuk menginokulasi bakteri
Bakteri
Media Agar
TCBS
(Thiosulfate
Citrate
Bilesalt
Susrose)
MA (Marine
Agar)
Titik Pengambilan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tandon maturasi
Tandon larva
Bak maturasi
Tandon siap
pakai
Tandon
Treatment
Tandon nauplii
Tandon algae
Tank Holding
Gambar
Jenis Bakteri
Warna
Vibrio cholerae
Hijau
Vibrio
parahaemolyticus
Pink
Vibrio
alginolyticus
Putih
susu
Pengecekan penyakit pada larva dilakukan dengan uji mikrobiologi.
Pengujian dilakukan pada media dan juga body larva. Pengecekan body dilakukan
dengan 2 cara yaitu body tempel dan body gerus. Pengecekan body tempel
dilakukan pada saat larva stadia PL2 dan PL6, sedangkan pengeceken dengan body
gerus PL6 dan PL8. Adapun penyakit yang berhasil diamati pada siklus September
antara lain sebagai berikut.
a. Deformitas
Larva udang yang mengalami deformitas pada kaki renang (pleopoda) dapat
dilihat pada Gambar 61.
Gambar 61. Deformitas pada kaki renang PL
96
Deformitas yang menyerang kaki renang pada Post Larva tersebut
merupakan kecacatan atau kelainan pada bagian tubuh udang. Upaya pencegahan
yang harus dilakukan agar larva tidak mengalami deformitas adalah dengan
menambahkan nutrisi pada pakan induk. Hal ini dilakukan agar induk mendapatkan
nutrisi yang cukup agar telur tidak mengalami kekurang nutrisi.
b. Nekrosis
Larva udang yang mengalami necrosis pada tubuh (abdomen) dapat dilihat pada
Gambar 62.
Gambar 62. Nekrosis pada segmen tubuh PL
Kondisi Nekrosis pada udang dipicu oleh beberapa keadaan seperti,
kepadatan yang terlalu tinggi, kadar oksigen rendah, shock salinitas, dan suhu yang
menyebabkan udang menjadi lumpuh. Pada bagian yang terjangkit Nekrosis akan
berwarna gelap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maskur, dkk (2017) yang
menyatakan Nekrosis merupakan jenis penyakit pada udang yang disebabkan oleh
bakteri (Vibrio sp.).
Gejala udang yang mengalami nekrosis yaitu timbulnya warna opaq (tidak
transparan) pada bagian tubuh yang terjangkit. Pengecekan penyakit ini dilakukan
dengan mengambil 30-50 sampel larva siap panen. Pengecekan dilakukan secara
microskopis pada setiap bagian tubuh Larva. Dari 20 petak yang dipanen, setiap
sampel yang diambil terdapat 2-6 Larva yang mengalami gejala penyakit ini.
5.2.13. Pengelolaan limbah
Pengelolaan limbah (IPAL) yang dilakukan di PT. Suri Tani Pemuka
menggunakan 2 tahapan, yaitu dengan cara mengalirkan air limbah sisa produksi
97
kedalam wadah berupa petak pengendapan yang berisi ikan karnivora, dan petak
petak kedua yang di isi dengan ikan herbivora.
1. Petak pengendapan 1
Pada petak pengendapan 1 di isi dengan ikan Jambrong dan ikan Keting. Tujuan
penggunaan ikan karnivora pada pengelolaan limbah yakni sebagai bioscreening
atau sebagai pemakan larva dan sisa pakan (artemia), serta limbah produksi pada
lapisan badan air (ikan Jambrong) dan dinding (ikan Keting).
2. Petak pengendapan 2
Pada petak pengendapan 2 di isi dengan ikan Nila Merah. Tujuan penggunaan
ikan herbivora pada pengelolaan limbah yakni sebagai biofilter atau sebagai
pemakan sisa algae yang tidak termakan pada kultur pakan massal. Instalasi
Pengelolaan Air Limbah (IPAL) dapat dilihat pada Gambar 63.
Gambar 63. Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL)
SNI, (2006) yang menyatakan, pengelolaan limbah sisa produksi perlu
dilakukan pengolahan dengan berbagai tahapan (pengendapan, penjernihan dengan
ikan herbivora dan karnivora) hingga air benar-benar aman untuk dibuang. Air pada
tandon IPAL dibuang secara bertahap ( 1-2 minggu) ke dalam saluran menuju ke
kebun Pisang yang berada di luar dinding atau di luar ruang lingkup produksi.
Tandon IPAL dibersihkan setiap siklus pemeliharaan berakhir dengan cara
mengangkat lumpur dan dicuci dengan Detergen 46 gr/l dan Oxlalid Acid 50gr/l.
5.2.16. Biosekuriti
1. Tire bath
Kendaraan yang keluar masuk area produksi akan melewati genangan air atau
tire bath yang telah diisi air dan kaporit dengan bahan aktif Clorine 60%. Dosis
98
yang digunakan yaitu 30mg/l pada musim kemarau, dan 60 – 100mg/l pada musim
hujan. Tire bath dapat dilihat pada Gambar 64.
Gambar 64. Tire bath
2. Hand-wash
Hand-wash dipasang disetiap pintu masuk area produksi. Sebelum memasuki
ruangan produksi, seluruh karyawan atau pengunjung diwajibkan untuk mencuci
tangan dengan sabun cair berbahan aktif triclosan 8,03% kemudian disemprot
menggunakan alkohol 70%. hand wash dapat dilihat pada gambar 65.
Gambar 65. Hand wash atau tempat cuci tangan.
3. Foot bath
Foot bath dipasang
pada setiap pintu masuk area produksi. Sebelum
memasuki ruang produksi, karyawan atau pengunjung diwajibkan untuk merendam
kaki foot bacth yang telah diisi Kaporit dengan baham aktif Clorine 60%. Dosis
yang digunakan yaitu 30 mg/l pada ruang (penanganan telur, pemeliharaan induk,
pemeliharaan algae, dan pemeliharaan larva) dan 50 mg/l pada ruang karantina.
Foot bath dapat dilihat pada gambar 66.
99
Gambar 66. Foot bath sebelum memasuki ruang produksi
4. Pagar area produksi
Pagar dipasang mengelilingi area produksi bertujuan sebagai faktor pembatas
antara area umum dan area produksi. Penggunaan pagar termasuk bentuk
kedisiplinan karyawan agar tidak meninggalkan area produksi sebelum jam kerja
berakhir. Selain itu, ruang produksi terhindar dari binatang liar seperti kucing atau
predator lain. Pagar area produksi dapat dilihat pada Gambar 67.
Gambar 67. Pagar area produksi
5.3 Pasca Produksi
5.3.1. Panen
Benur yang dihasilkan oleh perusahaan adalah benur yang memiliki kriteria
Specific Pathogen Free (SPF). Benur berkriteria SPF dapat mengurangi resiko
terjadinya penyakit saat dibudidayakan ditambak. Sebelum larva dinyatakan siap
panen, perlu dilakukan pengecekan oleh tim QC (Quality Control) dari standar yang
telah ditetapkan. Standar benur siap panen tersebut yakni bebas dari virus, parasit,
jamur, dan bakteri. Wyban dkk. (1992) menambahkan bahwa penyakit yang
disebabkan oleh virus tidak bisa ditanggulangi apabila telah terjangkit.
100
Pengamatan lipid dilakukan secara microskopis. Lipid dapat dilihat pada
bagian cepalotorax dengan bentuk seperti bunga. Kandungan lipid dari 20 bak yang
dipanen sangat beragam. pada sampel 30 benur rata-rata 30 - 60%. Pengecekkan
lipid dilakukan dengan mencocokkan pada gambar yang telah disesuaikan pada
masing-masing persentase lipid. Hasil panen siklus September dapat dilihat pada
Tabel 33.
Tabel 33. Hasil panen Larva siklus September
Tanggal
Kode
Stadia
Tebar
Bak
Panen
5 sept
A.13
PL 7
6 sept
A.14
PL 7
8 sept
A.15
PL 8
8 sept
A.16
PL 8
10 sept
A.17
PL 8
10 sept
A.18
PL 8
10 sept
A.19
PL 8
11 sept
A.20
PL 8
13 sept
B.1
PL 8
13 sept
B.2
PL 8
15 sept
B.3
PL 9
15 sept
B.4
PL 9
16 sept
B.5
PL 10
16 sept
B.6
PL 10
16 sept
B.7
PL 10
17 sept
B.8
PL 8
17 sept
B.9
PL 8
18 sept
B.10
PL 8
18 sept
B.11
PL 9
19 sept
B.12
PL 9
Total rata-rata
Jumlah
Tebar (ekor)
2.000.000
2.400.000
2.200.000
2.200.000
2.000.000
2.000.000
2.000.000
2.400.000
2.200.000
2.200.000
2.400.000
2.400.000
2.200.000
2.200.000
2.200.000
2.400.000
2.400.000
2.600.000
2.600.000
2.700.000
45.700.000
Jumlah Panen
(ekor)
1.300.000
1.400.000
1.400.000
1.500.000
1.200.000
1.300.000
1.300.000
1.400.000
1.300.000
1.300.000
1.300.000
1.300.000
1.200.000
1.200.000
1.200.000
1.400.000
1.400.000
1.500.000
1.600.000
1.600.000
26.900.000
SR (%)
65,00
58,34
63,64
68,18
60,00
65,00
65,00
58,33
59,09
59,09
54,16
54,16
54,54
54,54
54,54
58,34
58,34
57,69
61,53
59,25
58,42
Pengamatan virus dilakukan melalui uji PCR (Polymerase Chain Reaction).
Dari 20 Bak yang dipanen, seluruhnya dinyatakan negatif virus oleh tim QC
(Quality Control). Virus yang diamati antara lain, RNA (WSSV, IHHNV, EMS,
EHP), DNA (IMNV, TSV). Selain pada saat panen, uji PCR juga dilakukan pada
saat kedatangan induk baru. Govahi dkk, (2014) menambahkan uji PCR juga
101
dilakukan pada induk awal siklus produksi, naupli setelah telur menetas, artemia,
dan algae.
Panjang rata-rata diamati menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm
dari minimal sampel 30 ekor/petak didapatkan panjang rata-rata pada siap bak yang
dipanen yakni 7 - 8mm. Hal ini kurang sesuai dengan pernyataan SNI, (2006) yang
menyatakan panjang minimum benur siap panen yakni 8,5 mm. Udang dikatakan
baik kualitasnya jika isi usus tidak putus-putus. Dari seluruh petak yang dipanen,
tiap 30 Larva rata-rata isi usus yang tidak putus-putus mencapai 50 %.
Pemanenan larva biasanya dilakukan pada pukul 08.00 dan 19.00 WIB
dengan cara menurunkan stengah air pemeliharaan untuk memudahkan saat proses
pemanenan. Kurniaji (2013) menambahkan, penurunan air 50% dilakukan agar
mempermudah proses penyerokan.ada saluran outlet juga dipasang hapa panen
sehingga ketika outlet dibuka, larva langsung terkumpul dihapa panen. Benur yang
tersaring kemudian diseser lalu dibawa menuju bak penampungan panen dengan
menggunakan ember 10 liter.
Stadia panen pada siklus September antara PL 7-10. Hal ini tepat untuk
dilakukan karena SNI, (2006) menyatakan kondisi benur siap dipanen yakni PL 10
dengan organ tubuh mencapai tahap sempurna. Waktu pemanenan Larva yang
dilakukan telah sesuai dengan pendapat Darmono (1991) yaitu pada cuaca yang
teduh sehingga Larva tidak stres dan kualitasnya tetap terjaga.
5.3.2. Pasca panen
Hasil panen yang ditampung pada bak penampungan larva secara perlahan
diseser dan ditampung dalam bak aklimatisasi-1 dengan suhu 25-26 °C selam 2
menit. Selanjutnya pindahkan kembali ke bak aklimatisasi-2 dengan suhu 21-23 °C
selama 2 menit. Proses packing diawali dengan penyerokan larva pada bak
aklimatisasi, kemudian dilakukan scooping (penakaran). Benur yang telah di
scooping dimasukkan kedalam plastik packing (polyetylene) dengan ukuran 100cm
x 80cm , tebal 0,07 mm) yang telah diisi air dan karbon aktif. Kurniaji (2013)
menambahkan, sebelum plastik packing siap digunakan, perlu dilakukan pencucian
untuk menghilangkan senyawa mikro plastik dari pabrik. Situasi panen di PT. Suri
Tani Pemuka – Carita dapat dilihat pada Gambar 68.
102
Gambar 68. Situasi Panen di PT. Suri Tani Pemuka – Carita
Setelah larva dicampur dengan air packing, kemudian dilakukan penambahan
oksigen murni pada kantong yang disesuaikan dengan jarak tempuh larva.
Perbandingan minimal 1:1 bagian oksigen dengan air (tergantung dengan jarak
tempuh dan kepadatan), DO kantong minimal 14 mg/l. Agar tidak mudah lepas,
pengikatan dilakukan menggunakan
karet. Kemudian larva dalam bentuk
packingan tersebut, dimasukkan kedaam box sterofoam container. Tambahkan es
batu pada setiap box untuk menjaga suhu agar tetap dingin. Kemudian, dilakukan
pengepakan menggunakan lakban agar benur lebih aman.
5.4. Performansi Kinerja Budidaya
Target produksi PT. Suri Tani Pemuka – Carita dapat dilihat pada Tabel 34.
Tabel 34. Target produksi perusahaan
Jenis Target
50
Siklus
September
82
SNI,
(2009)
-
%
85,00
89,12
-
%
80,00
79,38
-
Petak
22
20
-
45.700.000
-
58,42
40,00
26.900.000
-
Satuan
Target
induk/hari
Fertilization Rate (FR)
Hatching Rate (HR)
Maturasi
Petak terisi
Tebar
Survival Rate (SR)
Panen
Panjang
Ekor/siklus 52.000.000
%
70,00
Ekor/siklus 37.000.000
Mm
8,5
7,5
8,5
Lipid
%
70
45
-
Virus
%
0
0
0
Necrosis
%
10
12
20
103
Dalam pelaksanaannya, usaha budidaya pembenihan udang vaname di PT.
Suri Tani Pemuka – Carita memiliki standar operasional prosedur (SOP) dan target
yang telah ditetapkan oleh perusahaan atau kepala bagian produksi.
5.4.1. Fertilization Rate (FR)
Perhitungan Fertilization Rate (FR) dilakukan untuk mengetahui rata-rata
persentase total telur yang berhasil terbuahi selama siklus pemeliharaan.
Fertilization Rate (FR) Siklus September, Siklus bulan Agustus, dengan target
Nilai FR (%)
perusahaan dapat dilihat pada Gambar 69.
90.00
89.00
88.00
87.00
86.00
85.00
84.00
83.00
82.00
Target Perusahaan
Siklus Agustus
Siklus September
Gambar 69. Grafik Perbandingan Fertilization Rate (FR)
Dari Grafik tersebut, diperoleh rata-rata nilai Fertilization Rate (FR) selama
2 siklus terakir melebihi nilai target perusahaan (85 %), yakni siklus bulan Agustus
sebesar 87,93 % dan siklus bulan September sebesar 89,12 %. Afrianto & Muqsith,
(2014) menambahkan, Nilai Fertilization Rate (FR) pada induk dengan performa
maksimal yaitu sebesar 84 %.
5.4.2. Hatching Rate (HR)
Perhitungan Hatching Rate (HR) dilakukan untuk mengetahui rata-rata
persentase total telur yang berhasil ditetaskan selama siklus pemeliharaan. Dari
tabel tersebut, diperoleh rata-rata nilai HR selama 2 siklus terakir mendekati nilai
target perusahaan (80 %), yakni siklus bulan Agustus sebesar 80,34 % dan siklus
bulan September sebesar 79,38 %. Afrianto & Muqsith, (2014) menambahkan nilai
rata-rata Hatching Rate umumnya sebesar 79,00 %. Hatching Rate (HR) siklus
bulan September, siklus bulan Agustus dengan target perusahaan dapat dilihat pada
Gambar 70.
Nilai HR (%)
104
80.60
80.40
80.20
80.00
79.80
79.60
79.40
79.20
79.00
Target Perusahaan
Siklus Agustus
Siklus September
Gambar 70. Grafik Perbandingan Hatching Rate (HR)
5.4.3. Survival Rate (SR)
Perhitungan Surival Rate (SR) dilakukan untuk mengetahui rata-rata
persentase total larva yang berhasil dibudidayakan hingga dipanen selama 1 siklus
pemeliharaan. Rata-rata survival rate (SR) selama 2 siklus terakhir masih kurang
dari target perusahaan (70,00%), yakni siklus bulan Agustus sebesar 58,78% dan
siklus bulan September sebesar 58,42%. Surival Rate (SR) siklus bulan September,
siklus bulan Agustus dengan target perusahaan dapat dilihat pada Gambar 71.
75.00
Nilai SR (%)
70.00
65.00
60.00
55.00
50.00
Target Perusahaan
Siklus Agustus
Siklus September
Gambar 71. Grafik perbandingan Survival Rate (SR)
Afrianto & Muqsith, (2014) menambahkan nilai rata-rata survival rate (SR)
umumnya sebesar 50,00 %. Survival rate (SR) (70 %) dibuat cukup tinggi agar
karyawan lebih bersemangat dalam mengejar target perusahaan. Aji Saputra selaku
karyawan divisi larva mengatakan, karyawan akan mendapat bonus gaji sebesar
Rp.500.000,- apabila target perusahaan tercapai seperti pada Siklus bulan April
2019.
105
5.5. Indentifikasi Masalah
5.5.1. Diagram Fishbone
Permasalahan yang berhasil ditemukan dilapangan dirangkum pada Lampiran 17.
Analisa permasalahan dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35. Analisa permasalahan
Faktor
Karyawan /
Man
Sebab
1. Karyawan cenderung
menghindari pekerjaan
merucah pakan cumi-cumi
2. Karyawan merasa pegal
dibagian punggung karena
duduk lama untuk
merucah pakan Cumi-cumi
3. Karyawan memutuskan
untuk mempercepat proses
perucahan tanpa
mementingkan hasil
potongan / cacahan
Bahan /
Materials
Mesin /
Machines
Metode /
Metods
Akibat
1. Ukuran potongan cumicumi tidak beraturan atau
tidak terpotong sepenuhnya
2. Pakan tersebut tidak disukai
oleh induk udang. hal ini
dapat dilihat pada sisa
pakan pada saat menyipon
3. Nafsu makan induk udang
menurun, mengakibatkan
pematangan gonad menjadi
melambat
-
-
1. Menggunakan pisau
dapur, bukan pisau cacah
(pisau daging)
2. Jumlah pisau terbatas
1. Hasil petongan tidak
sempurna atau cumi-cumi
tidak terpotong sepenuhnya
2. Pekerjaan sampling induk
terhambat
1. Pisau menjadi tumpul,
sehingga sulit untuk
memotong daging cumicumi
1. Pisau tidak diasah dengan
batu asah
Uang / Money
-
-
Lingkungan /
environtment
-
-
Analisa permasalahan ditemukan pada saat penulis mengikuti kegiatan
merucah pakan Cumi-cumi bersama pegawai lain, dan pada saat penulis menyipon
bak pemeliharaan induk.
106
5.5.2. Solusi Permasalahan
Beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut
dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 36. Solusi permasalahan
Faktor
Solusi permasalahan
1
2
1. Membuat tempat duduk dan meja rucah yang nyaman untuk
merucah berjam-jam pada ruang pengelolaan pakan induk
2. Tindakan tegas oleh kepala divisi induk agar karyawan tidak
menghindari kegiatan merucah pakan
3. Kualitas dan kuantitas telur menurun karena jumlah dan
kondisi pakan rucah yang tidak stabil
Karyawan /
Man
Bahan /
Materials
-
Mesin /
Machines
1. Membeli pisau rucah (pisau daging agar lebih mudah untuk
merucah daging cumi-cumi)
2. Membeli batu asah agar pisau menjadi tajam untuk merucah
cumi-cumi sehingga waktu merucah dapat dipersingkat
Metode /
Metods
1. Membeli batu asah
Uang / Money
-
Lingkungan /
Environment
-
5.6. Analisa Finansial
Data biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel atau biaya tidak tetap dan
hasil pengelolaan analisa finansial berupa analisa laba rugi hingga payback period
pada siklus produksi bulan September 2019 di PT. Suri Tani Pemuka – Carita, dapat
dilihat pada Lampiran 15, 16, 17, dan 18.
5.6.1. Analisis Laba Rugi
Usaha pembenihan udang Vaname di PT. Suri Tani Pemuka – Carita pada
siklus produksi bulan September dinyatakan menguntungkan, dengan keuntungan
sebesar Rp. 4.638.650.000,00.
107
5.6.2. Revenue Cost Ratio (R/C Ratio)
Usaha pembenihan udang vanname di PT. Suri Tani Pemuka - Carita
dikatakan layak karena R/C ratio yang dihasilkan >1, yaitu modal Rp.1,00 dapat
menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 1,69.
5.6.3. Break Even Point (BEP)
Perusahaan akan mengalami titik impas (tidak untung/tidak rugi) ketika volume
produksi sebesar Rp. 2.655.960.000,00 dan harga jual hasil produksi larva yaitu Rp.
60.891.121,30 ekor/tahun.
5.6.4. Payback Periode (PP)
Waktu yang diperlukan untuk mengembalikkan modal yang digunakan dalam
usaha pembenihan udang vaname adalah selama 0,99 tahun atau 11,88 bulan.
108
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan performansi di PT. Suri Tani Pemuka –
Carita terdapat beberapa kesimpulan yang diperoleh yaitu sebagai berikut.
a) Kegiatan persiapan wadah yang dilakukan sudah cukup baik dengan
menggunakan alat serta bahan yang sesuai untuk sterilisasi.
b) Persiapan air yang dilakukan sudah cukup baik karena dilakukan proses
desinfeksi untuk membuat air lebih aman untuk kegiatan budidaya.
c) Induk yang digunakan merupakan induk impor berkualitas baik dan telah
memenuhi syarat kriteria induk.
d) Kagiatan produksi naupli yang dilakukan cukup baik namun mengalami
penurunan dari siklus sebelumnya yang ditunjukkan dengan rata-rata tingkat
hatching rate telur yaitu 79,38 %.
e) Kegiatan pemeliharaan larva yang dilakukan sudah baik yang ditunjukkan
dengan kebutuhan pakan alami maupun pakan buatan larva telah tercukupi
dengan baik serta kondisi media pemeliharaan larva masih dalam kisaran
aman.
f) Pengelolaan penyakit yang dilakukan dapat dikatakan sangat baik karena
larva terhindar dari serangan penyakit berbahaya selama masa pemeliharaan.
g) Hasil produksi larva yang dicapai tidak memenuhi target perusahaan yang
ditunjukkan dengan rata-rata tingkat kelulus hidupan larva yaitu 62, 04 %.
2) Aspek Finansial
a) Kegiatan pembenihan udang vaname di PT. Suri Tani Pemuka – Carita
dinyatakan ‘Layak” untuk dijalankan karena dalam satu tahun dapat
menghasilkan Laba sebesar Rp. 4.638.650.000,00.
b) Kegiatan pembenihan udang vanname di PT. Suri Tani Pemuka - Carita
dinyatakan “Layak” untuk dijalankan karena R/C ratio yang dihasilkan
sebesar 1,69.
109
c) Titik impas perusahaan adalah ketika hasil produksi atau BEP (Break even
point) larva mencapai Rp. 60.891.121,30 ekor/tahun dengan BEP (Break even
point) harga sebesar Rp. 2.655.960.000,00.
d) Modal usaha dapat dikembalikan dalam jangka waktu 0,99 tahun (11,88
bulan).
6.2. Saran
1) Aspek teknis
a) Sebaiknya cara kerja pada kegiatan wadah yang dilakukan dipertahankan.
b) Sebaiknya cara kerja pada kegiatan persiapan media yang dilakukan
dipertahankan.
c) Sebaiknya induk yang digunakan tetap induk yang berkualitas.
d) Sebaiknya keberhasilan produksi naupli yang telah dicapai dipertahankan.
e) Sebaiknya jumlah penebaran pada tiap siklus ditingkatkan.
f) Sebaiknya cara kerja pada kegiatan pemeliharaan larva ditingkatkan.
g) Sebaiknya pengelolaan penyakit yang dilakukan lebih ditingkatkan.
h) Sebaiknya keberhasilan produksi larva yang telah dicapai ditingkatkan.
2) Aspek Finansial
Sebaiknya kegiatan pembenihan udang vanname ini harus ditingkatkan
karena usaha ini layak untuk dijalankan dengan tingkat keuntungan yang besar serta
tingkat pengembalian modal yang cepat.
110
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto. A. & A. Muqsith. (2014). Manajemen Produksi Nauplius Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) Di Instalasi Pembenihan Udang Balai Perikanan
Budidaya Air Payau, Gelung, Situbondo, Jawa Timur. Balai Perikanan
Budidaya Air Payau (BPBAP) - Situbondo.
Anam. C., A. Khumaidi, & A. Muqsith. (2016). Manajemen Produksi Naupli Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei). Instalasi Pembenihan Udang (IPU) Gelung
Balai Perikanan - Situbondo.
Anwar. L. O., K. Sumantadinata & O. Carman. (2007). Karakteristik Sperma Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei) Pada Beberapa Periode Rematurasi. Institut
Pertanian Bogor - Bogor.
Anwar. L.O. (2006). Karakteristik Sperma Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
Pada Beberapa Periode Rematurasi. Institut Pertanian Bogor - Bogor.
Arsyad. M., D. Wenny, & A.G. Ariesia. (2014). Pengaruh Pemberian Suhu 8˚C
Terhadap Lama Waktu Pingsan Ikan Mas (Cyprinus carpio), Ikan Patin
(Pangasius sp.), Ikan Lele (Clarias sp.), Dan ikan Gurame (Osphronemus
gourami). Jurnal Ilmiah Inovasi. Vol. 14 No. 2 Hal 110-116.
Asmoko. H. (2004). Teknik Ilustrasi Masalah - Fishbone Diagrams. Diklat
Kepemimpinan, Pusdiklat Pengembangan SDM, BPPK - Magelang.
Afriansyah. I. & I. H. Dewiyanti. (2016). ISSN - 2527-6395. Magelang. No.1 Hal
252-261.
BAPPENAS. (2000). Budidaya Udang Windu (Palaeomonidae / Penaeidae).
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
BBPBAP-Jepara. (2017). Petunjuk Teknis Revitalisasi Hatchery Skala Rumah
Tangga (HSRT). Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
(BPBBAP) - Jepara.
Erwinda. Y. E. (2008). Pembenihan Udang Putih (Penaeus vannamei) Secara
Intensif. Institut Teknologi Bandung – Bandung.
Ernawati & Rochmady. (2017). Pengaruh pemupukan dan padat penebaran
terhadap tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan post larva udang
Vaname (Litopenaeus vannamaei) - Lampung.
Farchan. M. (2006). Theknik Budidaya Udang Vaname (Litopenaes vannamei)
BAPPL-STP - Serang.
Fuady. M. F, M. N. Supardjo, & Haeruddin. (2013). Pengaruh Pengelolaan Kualitas
Air Terhadap Tingkat Kelulushidupan Dan Laju Pertumbuhan Udang
111
Vaname (Litopenaeus vannamei) Di PT. Indokor Bangun Desa, Yogyakarta.
Universitas Diponegoro – Semarang.
Fajri. M. N., Y.L. Handayani, S. Sutikno. (2017). Efektifitas Rapid Sand Filter
Untuk Meningkatkan Kualitas Air Daerah Gambut Di Provinsi Riau.
Universitas Riau – Pekanbaru.
FAO Fisheries Departement. (2003). Helth Management And Biosecurity
Maintenance In White Shrimp (Penaeus Vannamei) Hatcheries In Latin
Ameria. Viale Delle Terme Di Caracalla – Italy.
Febrianti. D., I. Widiani, & A. A. Suryani. (2010). Pendekatan Teknologi Bioflok
(Bft) Berbasis Probiotik Bacillus Subtilis Pada Tambak Udang Vaname
(Litopanaeus vanamei). Institut Pertanian Bogor – Bogor.
Govahi, Afsharnasb, Motalbei Moghanjighi, & Haghighi. (2014). Multiple
infections in shrimp Litopenaeus vannamei broodstock in commercial
hatcheries in Khouzestan Province. Iranian Journal of Fisheries Sciences.
Hadie. W. & J. Supriatna. (1988). Pengembangan Udang Galah dalam Hatchery &
Budidaya Edisi ke-2. Kanisius. Yogyakarta.
Hakim L., Supono, Yudha. T. A., Sri. W. (2018). Performa Budiaya Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) Semi Intensif do Desa Purworejo Kecamatan Pasir
Sakti Kabupaten Lampung Timur. e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi
Budidaya Perairan. Lampung
Henz. (2011). Teknik Pemeliharaan Larva Udang Vannamei (Litopenaeus
vannamei). Universitas Diponegoro - Yogyakarta
Juarno. O. (2012). Daya Saing Dan Strategi Peningkatan Ekspor Udang Indonesia
Di Pasar Internasional. Institut Pertanian Bogor - Bogor.
Jusadi. D., S. Ruchyani, I. Mokoginta, & J. Ekasari. (2011). Peningkatan
Kelangsungan Hidup dan Perkembangan Larva Udang Putih (Litopenaeus
vannamei) melalui Pengayaan Rotifera dengan Taurin. Institut Pertanian
Bogor – Bogor.
Kurniaji. A. (2013). Laporan Praktikum Manajemen Hatchery Udang Vaname
(litopenaeus vannamei). Universitas Haluoleo – Sulawesi.
Kokarin. C., M. L. Nurjadjana, & B. S. Ranoemihardjo. (1986). Produksi Induk
Masak Telur Dalam Pembenihan Udang Windu. Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau Jepara - Jepara.
Kusnadi. E. (2013). Fishbone Diagram dan Langkah-Langkah Pembuatannya.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Kilawati, Y. & Y. Maimunah. (2014). Kualitas Lingkungan Tambak Intensif
(Litapenaeus vannamei) Dalam Kaitannya Dengan Prevalensi Penyakit White
Spot Syndrome Virus. Universitas Brawijaya – Malang.
112
Kannan, Thirunavukkarasu, Jagadeesan, Shettu, & A. Kumar. (2015). Procedure
for Maturation and Spawning of Imported shrimp (Litopenaeus vannamei) in
Commercial Hatchery, South East Coast of India. Annamalai University India.
Kasmir, & Jakfar. (2003). Studi Kelayakan Bisnis. Kencana Prenada Media Grup –
Jakata. Vol. 9. Hal 78-79.
Kalesaran. O. J. (2010). Pemeliharaan Post Larva (Pl4-Pl9) Udang Vaname
(Penaeus vannamei) Di Hatchery Pt. Banggai Sentral Shrimp Provinsi
Sulawesi Tengah. Universitas Sam Ratulangi – Manado.
Khodijah. S. L. (2015). Analisis faktor-faktor Penyebab Kerusakan Produk Pada
Proses Cetak Produk. Universitas Diponegoro – Semarang.
Laimeheriwa B. M. (2010). Fisiologi Reproduksi Udang Laut (Penaeid): Interaksi
antara faktor lingkungan dengan mekanisme dan kontrol aksi hormon dan
pematangan gonad udang Windu. AQUASAINS - Jakarta.
Lante. S., & Herlinah. (2015). Pengaruh Pakan Alami (Chaetoceros spp.) Terhadap
Perkembangan Dan Sintasan Larva Udang Windu (Penaeus monodon). Balai
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau – Sulawesi Selatan.
Lestari. A. (2009). Manajemen Risiko Dalam Usaha Pembenihan Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei), Studi Kasus Di PT. Suri Tani Pamuka, Kabupaten
Serang, Provinsi Banten. Institut Pertanian Bogor - Bogor.
Lumentut H. B. & S. Hartati. (2015). Sistem Pendukung Keputusan untuk Memilih
Budidaya Ikan Air Tawar Menggunakan AF-TOPSIS. IJCCS Vol. 9 No.2 pp.
197-206. Universitas Gajah Mada – Yogyakarta.
Malik. I. (2014). Budidaya Udang Vannamei - Seri Panduan Perikanan Skala Kecil
(Versi 1), Tambak Semi Intensif dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (
IPAL ). WWF – Indonesia.
Mujiman. A.& Suyanto. (1987). Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon).
Penebar Swadaya - Jakarta.
Panjaitan. A. S. (2012). Pemeliharaan Larva Udang Vaname (Litopenaeus
Vannamei, Boone 1931) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton Yang
Berbeda. Universitas Terbuka Jakarta – Jakarta.
Pudyastuti. P. A., H. Sambodo, K. Windhani. (2018). Analisis Daya Saing Ekspor
Komoditas Udang Indonesia Di Pasar Eropa Tahun 2008-2016. Universitas
Jenderal Soedirman – Purwokerto.
Purba. C. Y. (2012). Performa Pertumbuhan Kelulushidupan, dan Kandungan
Nutrisi Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) melalui Pemberian
Pakan Artemia Produk Lokal yang Diperkaya dengan Sel Diatom. Undip –
Semarang.
113
Prabowo. R. W., S. Waluyo, Y. T. Adiputra, R. Diantari, & E. Harpeni. (2014).
Penerapan Manajemen Kesehatan Panti Benih Udang Di Kalianda Lampung
Selatan. AQUASAINS – Jakarta.
Rakhmawam. H. (2009). Analisis Daya Saing Komoditi Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) Indonesia Di Pasar Internasional. Institut Pertanian
Bogor - Bogor.
Rosyid. A. (2015). Tinjauan Aspek Non-Finansial Kelayakan Agribisnis Usaha
Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vanamei). Balai Layanan Usaha
Produksi Perikanan Budidaya - Karawang.
Sa’adah. W. & A. F. Roziqin. (2018). Upaya Peningkatan Pemasaran Benur Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei) di PT. Artha Maulana Agung. Universitas
Islam Lamongan – Lamongan.
Salimin. Z. & Gunandjar. (2006). Penggunaan EDTA sebagai Pencegah Timbulnya
Kerak pada Evaporasi Limbah Radioaktif Cair. PTLR – Batam.
Setiawan. A., A. B. Susanto, Khoironi, N. Maharani, D. Ariana, & A. Saefudin.
(2004). Pemilihan Dan Pemeliharaan Induk Udang (Litopenaeus vannamei).
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan - Jakarta.
Susanti. E., Subandiyono, & V. E. Herawati. (2015). Tingkat Pemanfaatan (Artemia
Sp.) Beku, Dan Silase Artemia Sp. Untuk Pertumbuhan Postlarva Udang
Vaname (Litopenaeus Vannamei). Universitas Diponegoro – Semarang.
Sumarwan. J., D. Anindiastuti. Suwoyo & Kaemudin. (2007). Teknik Produksi
Benih Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.) SPF Sembv Dengan Nauplius
Hasil Metode Double Screening. INDOAQUA - Yogyakarta.
Suastika. M. (2013). Kualitas Air Pada Pemeliharaan Udang Vanname
(Litopenaeus vannamei). Balai Produksi Induk Udang Unggul dan
Kekerangan Karangasem – Bali.
Sabrina. S. & D. Rachmawati. (2014). Performa Kematangan Gonad, Fekunditas
Dan Derajat Penetasan Melalui Pemberian Kombinasi Pakan Alami Pada
Induk Udang Windu (Penaeus monodon Fab). Universitas Diponegoro –
Semarang.
Sandjaja. & Atmaria. (2009). Kamus Health and Safety Programs. Telkom Open
Library – Jakarta.
SNI 01-7252-2006. (2006). Induk udang Vaname (Litopenaeus vannamei) kelas
induk pokok. Badan Standardisasi Nasional - Jakarta.
SNI 01-2705.1-2006. (2006). Udang Beku – Bagian 1 : Spesifikasi. Induk udang
vaname (Litopenaeus vannamei). Badan Standardisasi Nasional - Jakarta.
SNI 7311:2009. (2009). Produksi Benih Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
kelas benih sebar. Badan Standardisasi Nasional - Jakarta.
114
SNI 8037.1:2014. (2014). Udang Vaname (Litopenaeus vannamei, Boone 1931)
Bagian 1 : Produksi Induk Model Indoor. Badan Standardisasi Nasional Jakarta.
Suwoyo. H. S. & M. Mangampa. (2010). Aplikasi Probiotik dengan Konsentrasi
berbeda pada pemeliharaan udang vaname (Litopenaeus vannamaei)
Universitas diponegoro - Semarang.
Suwoyo. H. S. (2018). Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan
Teknologi Ekstensif Plus. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau - Bogor.
Suwoyo. H. S., M. C. Undu., & Rachmansyah. (2013). Tingkat Konsumsi Oksigen
Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Pada Ukuran Bobot Yang Berbeda.
Balai Penelitian Dan Pengembangan Budidaya Air Payau – Maros.
Tahe. S., A. Nawang, & A. Mansyur. (2011). Pengaruh Pergiliran Pakan Terhadap
Pertumbuhan Sintasan Dan Produksi Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei). Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau – Sulawesi Selatan.
Tarsim., M. J. Zairin., & E. Riani. (2009). Pengaruh Penyuntikan Estardol-17β
Pada Perkembangan Gonad Induk Udang Putih (Litopenaeus Vannamei).
Institut Pertanian Bogor – Bogor.
Taqwa. F. H., M. Fitriani, & B. T. Esto. (2008). Performa Pasca Larvae Udang
Vaname (Litopenaeus Vannamei) Pada Berbagai Lama Masa Adaptasi
Penurunan Salinitas Rendah Dengan Penambahan Natrium, Kalium Dan
Kalsium. Universitas Sriwijaya – Sumatra Selatan.
Treece. G. D., & J. M. Fox (1993). Design, Operation and Training Manual For an
Intensive Culture Shrimp (Litopenaeus vannamei). Jurnal Aquaculture
Indonesia - Jakarta.
Triharto. D. P. (2010). Studi ketahanan logam murni perairan terhadap larutan asam
basa. Universitas Indonesia – Jakarta.
Umar. H. (1997). Studi Kelayakan Bisnis. Gramedia Pustaka Utama – Jakarta Vol.
1. Hal. 66-67.
Umiliana., M. Satrtijo, & Dasrina. (2016). Pengaruh Salinitas Terhadap Infeksi
Infection myonecrosis virus (IMNV) pada udang vaname (litopenaeus
vannamei) (Boone, 1931). BPBAP – Jepara.
Wahyudewantoro. G. (2011). Catatan biologi udang putih (Litopenaeus vannamei)
(Boone, 1931). Fauna Indonesia. Jakarta. Vol. 2. Hal. 1-7.
Wahyuni. D. A. (2011). Pembenihan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
Skala Rumah Tangga (Back Yard) Di Stasiun Lapangan Praktek Pembenihan
Akademi Perikanan Sidoarjo (Slpp-Aps), Kecamatan Paciran, Kabupaten
Lamongan Propinsi Jawatimur. Universitas Airlangga – Surabaya.
115
Widyaningrum. D. (2012). Key of Performance Indicators (KPIs) on Vannamei
Shrimp Supply Chain Performance (a Preliminary Research). IOP
Conference Series.
Wiban. J., & Sweeney. (1989). Intensive shrimp growout trial in a round pond.
Marine Genetics LLC.
Winestri. J., D. Rachmawati, & I. Samidjan. (2014). Effects of Dietary Vitamin E
on the Growth dan Survival Rate of Mud Crabs (Scylla parumamosain).
Journal of Aquaculture Management and Technology.
Download
Study collections