MID-TERM PUBLIC POLICY “ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENAHAN KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DI TAHUN 2018” Oleh: Lukita Ummahati/201810050311006 Seperti yang kita ketahui bersama, bahan bakar minyak (BBM) sudah menjadi kebutuhan konsumsi yang tinggi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. BBM merupakan bahan-bahan yang sangat sering digunakan dalam proses pembakaran seharihari dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia. Bahan bakar minyak (BBM) sudah menjadi pendamping hidup masyakat dalam menjalani dan menjamin sebuah proses kehidupan terlebih dalam bidang transportasi yang menggunakan bensin atau solar sebagai bahan bakarnya. Tidak hanya di bidang transportasi, (Saptanto, Zamroni, Ramadhan, & Wijaya, 2017) mengatakan penggunaan BBM juga berpengaruh di bidang kelautan dan perikanan. BBM telah menjadi unsur vital dalam input produksi bagi kegiatan usaha produksi ikan. Selain memiliki pengaruh besar dalam sektor transportasi, kelautan dan perikanan, BBM juga berpengaruh besar dalam usaha rakyat di bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini ditujukan pada penggunaan berbagai mesin yang menunjang proses produktivitas di sektor pertanian dan perkebunan. Dilansir dari website https://www.bphmigas.go.id/ ditahun 2017, konsumsi JBU (Jenis BBM Umum) mencapai angka 55,400,604.901 liter. Hal serupa juga dinyatakan oleh (Fuhaid, 2011) bahwa bahan bakar sudah menjadi bagian dalam memenuhi kebutuhan manusia. Bahan bakar minyak sebagai bagian dari bahan bakar cair merupakan bahan bakar yang struktur penyusunnya tidak rapat seperti bahan bakar padat. Maka dari itu, dengan begitu pentingnya kehadiran bahan bakar minyak, maka bahan bakar minyak (BBM) ini menjadi barang yang sangat strategis dalam memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat sehingga menjadi bagian penting bagian negara dan menjadi kuasa hajat hidup orang banyak. Untuk itu, (Simatupang & Friyatno, 2016) menyatakan bahwa sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 2, maka segala bentuk produksi dan distribusi, serta harga dikuasai atau menjadi tanggung jawab oleh pemerintah. Dalam perjalanannya, harga BBM di Indonesia menjadi tanggung jawab pemerintah dimana harga yang telah diatur oleh pemerintah harus berlaku sama di seluruh wilayah Indonesia. dalam menetapkan suatu harga, pemerintah bersama DPR dan Pertamina –badan usaha milik negara (BUMN) yang diberikan kewenangan dalam mengatur segala produksi dan distibusi BBM– menetapkan harga BBM dengan pertimbangan biaya-biaya pokok penyediaan BBM serta tingkat kemampuan daya beli (willingness to pay) masyarakat. Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina sebagai tugas pelayanan masyarakat (public service obligation) Pertamina memiliki perintah untuk melaksanakan tugas penyediaan dan pelayanan bahan bakar minyak (BBM) untuk keperluan dalam negeri. (Nugroho, 2004) memberikan spesifikasi terkait bahan bakar minyak (BBM) yang didefinisikan oleh pemerintah Indonesia guna keperluan pengaturan harga dan pemberian subsidi, yang meliputi: bensin (premium gasoline), solar (IDO dan ADO: industrial diesel oil dan automotive diesel oil), minyak bakar (FO: fuel oil), serta minyak tanah (kerosene). Dilema Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Desan desus tentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi isu yang hangat di kalangan masyarakat. Dengan tingginya permintaan konsumsi masyarakat serta harga bahan bakar minyak (BBM) di kancah Internasional sangat memberi pengaruh terhadap peningkatan harga BBM secara signifikan. Sehingga, dampak lebih panjangnya adalah mengancam keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) suatu negara. (Dc, 2015) mengatakan bahwa tentu saja, jika harga bahan bakar minyak (BBM) mengalami kenaikan maka akan berdampak pada naiknya berbagai harga kebutuhan pokok lainnya. Untuk itu, peran pemerintah harus mengambil langkah cerdas dengan menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) domestik dengan perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) secara Internasional. Ketika pasar bahan bakar minyak (BBM) secara global tengah membicarakan terkait penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang ditengarai sedang mengalami krisis, hal yang berbeda terjadi di Indonesia tepatnya di tahun 2018. Terjadinya beberapa pro dan kontra pendapat terhadap turunnya kebijakan pemerintah yang menahan harga bahan bakar minyak (BBM) agar tetap seperti kebijakan sebelumnya. Banyak pihak yang mengkritik dengan tegas atas putusan kebijakan untuk tetap menahan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tengah mengalami krisis di sektor global. Berbagai pihak yang kurang menyetujui kebijakan ini mengulas kembali bagaimana kebijakan awal masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang berani menerapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang pemicunya adalah tingginya permintaan impor bahan bakar minyak (BBM) serta kenaikan harga minyak dunia yang mulai mengalami kenaikan di tahun 2014. Pemerintah menilai dengan penahanan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan upaya untuk mengendalikan inflasi negara. Inflasi secara sederhana merupakan kecenderungan akan naiknya suatu harga barang dan jasa secara umum yang berlangsung terus menerus. Jika harga barang dan jasa dalam suatu negara mengalami kenaikan secara terus menerus, maka negara tersebut mengalami kenaikan inflasi pula. Sehingga dampaknya dapat menurunkan nilai tukar mata uang terhadap nilai tukas mata uang secara global. Dengan demikian, inflasi juga dipahami sebagai penurunan nilai mata uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum. Perhitungannya, jika pemerintah tetap ingin menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) maka akan menaikkan satuan harga secara umum, yang juga berdampak pada satuan harga lainnya seperti sembako dan lainlain. Membahas mengenai aspek ekonomi yang ditimbulkan dan menjadi pertimbangan, maka banyak pihak yang merespon baik menyetujui kebijakan tersebut ataupun yang tidak menyetujuinya. Dilansir dari website https://www.bbc.com/ pada bulan agustus 2018 nilai impor migas Indonesia menjadi pencapaian tertinggi impor migas selama satu tahun terakhir, yakni dengan jumlah 3,04 miliar dolar AS. Seiring dengan tingginya jumlah impor minyak mentah ternyata juga terjadi dengan melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS. Kenaikan nilai dolar AS terhadap mata uang dunia adalah akibat dari keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang memang sulit untuk diprediksi. Berbeda dengan Nigeria, negara berkembang yang pemerintahannya bekerja sama dengan berbagai pihak swasta untuk tetap melaksanakan impor minyak bumi. (Chikwem, 2016) menunjukkan insiden vandalisme pipa yang melumpuhkan empat kilang yang ada. Vandalisasi pipa yang disengaja ini dilakukan melalui upaya bersama dari pejabat pemerintah, staf sektor hilir minyak dan importir produk minyak bumi sehingga mereka dapat terus mengimpor bahan bakar. Selain itu, alasan lain pemerintah yang berupaya untuk menahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus menerus ditekan oleh pihak-pihak luar seperti Bank Dunia (World Bank) dan para pemerhati ekonomi adalah sebagai salah satu jalan bagi pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai bagian untuk menstabilkan perekonomian negara dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan menurut (Akimaya & Dahl, 2017) tujuannya adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial daripada penghematan yang dihasilkan. Untuk memberikan kemudahan pencarian bahan bakar dan memberikan kesederhanaan kepada masyarakat, serta analisis efek kesejahteraan konsumen. Kami berasumsi bahwa kurva pasokan bensin sangat elastis tanpa kendala kapasitas. Karenanya, kami mengabaikan perubahan dalam kesejahteraan produsen bensin. Maka dari itu, keputusan dengan turunnya keputusan pemerintah untuk menahan kenaikan harga bahan bakar minya (BBM) dinilai sebagai upaya untuk mensejahterakan masyarakat agar tetap berjalan seperti biasa sehingga tidak ada pengurangan jumlah permintaan bagi masyarakat sebagai konsumen aktif pemerintah. Tidak hanya itu, penahanan harga bahan bakar ini diharapkan dapat menjaga stabilitas politik di tengah tahun-tahun politik. Ketika stabilitas politik dirasa tidak aman, maka hal tersebut juga berperngaruh pada stabilitas perekonomian suatu negara. Pernyataan mengani stabilitas politik inilah yang menjadi topik utama serta alsan paling kuat bagi pemerintah untuk tetap menahan harga kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Alasan populis ini yang menjadi senjata bagi pemerintahan terpilih untuk tetap melanggengkan kebijakan dan kekuasaannya dalam rangka mengambil hati masyarakat supaya pada pemilihan presiden tahun depan atau periode berikutnya tetap menjadi pilihan masyarakat. Penjelasan lebih lanjut mengenai stabilitas politik akan dijelaskan pada bagian analisis pendekatan yang diambil pemerintah dalam menurunkan kebijakan ini. Pada dasarnya, penilaian pihak yang berpendapat kurang setuju atas kebijakan ini adalah hasil dari asumsi akan kenaikan minyak bumi yang mengalami kenaikan setiap tahunnya yang belum dapat dipastikan kebenarannya di tahun-tahun yang akan datang. Adapun pertimbangan lain adalah dengan minimnya keuntungan yang diperoleh oleh Pertamina selaku badan usaha milik negara (BUMN) yang seharusnya menerima keuntungan dalam rangka membantu menaikkan stabilitas perekonomian suatu negara. Lembaga-lembaga non pemerintahan tingkat dunia mengkhawatirkan kebijakan ini sebagai upaya untuk memperingatkan dan mengantisipasi kondisi-kondisi terburuk yang akan terjadi jika pemerintah tetap bersikukuh menahan harga bahan bakar minyak (BBM) ini. Masalah lain yang mengisyaratkan dilema akan penentuan harga bahn bakar minya (BBM) juga datang dari berbagai hirearki yang ada tumpang tindih kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan juga satu kementerian dengan kementerian lain yang tidak selaras, atau kadang-kadang berlawanan dari setiap target (Putrasari, Praptijanto, Santoso, & Lim, 2016). Analisis Pendekatan dalam Penentuan Kebijakan Pendekatan yang dapat dianalisis dalam kebijakan ini adalah Group Theory. Menurut teori tersebut, dalam (Anyebe, 2018) kebijakan publik adalah produk dari perjuangan kelompok. Apa yang dapat disebut sebagai kebijakan publiknya adalah keseimbangan yang dicapai dalam perjuangan kelompok ini pada saat tertentu, dan itu mewakili keseimbangan yang terus-menerus diupayakan oleh kelompok atau kelompok yang bersaing untuk memenangkan tujuannya atau kepentingannya. Banyak kebijakan publik mencerminkan kegiatan kelompok (Anderson, 1997) dalam (Anyebe, 2018). Dalam teori ini adalah untuk mencoba menganalisis bagaimana masing-masing dari berbagai kelompok dalam suatu masyarakat mencoba untuk mempengaruhi kebijakan publik untuk keuntungannya di tingkat perumusan kebijakan. Aspek politik menjadi unsur utama dalam penentuan kebijakan ini. Kebijakan populis di tahun-tahun menjelang pemilihan presiden sudah menjadi hal perlu diperhatikan dalam menjalankan target dari kelompok yang memiliki kepentingan. (Bergeaud & Raimbault, 2020) menyatakan bahwa Preferensi politik juga penting, karena harga gas turun dengan tingkat di mana suatu daerah telah memilih kandidat dari Partai Republik (partai yang memenangi pemilihan). Temuan terakhir ini menunjukkan adanya hubungan sirkuler: negara-negara yang menggunakan mobil paling cenderung memberikan suara kepada politisi yang mempromosikan kebijakan mobil pro. Hal ini dibahas dalam Hammaretal. (2004) dan dipandang sebagai salah satu kendala utama dalam pengaturan suatu pajak oline gas yang memadai (lihat juga Parryand Small, 2005). Zitzewitz (2013) dalam (Bergeaud & Raimbault, 2020) menunjukkan bahwa harga bahan bakar digunakan sebagai alat politik, terutama di negara-negara bagian, dengan menganalisis fluktuasi sesaat sebelum pemilihan penting. Sangat menarik untuk dicatat bahwa korelasi antara preferensi politik dan harga gas bertahan setelah mengendalikan semua faktor lain, termasuk fakta bahwa negara-negara republik kurang padat dan ratarata mobil lebih intensif. (Subirats, 2001) menjelaskan, kelompok kepentingan atau penekan pada dasarnya ada untuk mempengaruhi keputusan pemerintah yang mendukung anggota mereka atau khalayak ramai. Sebagai tambahan, kelompok kepentingan atau kelompok penekan memberikan kontribusi berikut untuk proses: Sensitisasi anggota mereka dan masyarakat umum pada isi kebijakan publik sensitif tertentu. Hal tersebut adalah sebagai salah satu cara untuk menciptakan kesadaran dan pencerahan kepada publik terkait kehadiran satu kelompok kepentingan yang mempengaruhi unsur-unsur dalam masyarakat. Begitu pula dalam membuat tuntutan kebijakan. Kelompok penekan akan senantiasa mengatasnamakan anggota mereka atau masyarakat umum yang ketika pada gilirannya termasuk sebagai masukan perumusan kebijakan. Kelompok kepentingan juga secara aktif berkontribusi dalam memberikan aspiras kepada pemerintah tentang inisiatif dan arahan kebijakan yang dapat memiliki konsekuensi bagi masyarakat umum, dan yang terakhir adalah membantu pemerintah menghasilkan umpan balik pada publik kebijakan dan dampaknya terhadap masyarakat. (Anyebe, 2018) menjelaskan kembali bahwa karena kekuatan untuk mendominasi keputusan kebijakan tergantung pada solidaritas dan kekuatan kelompok kepentingan atau kelompok penekan, maka dinamika proses kebijakan diharapkan lebih bersemangat dan sengit dalam masyarakat majemuk daripada yang homogen. Dalam masyarakat semacam itu, kemampuan suatu kelompok untuk memiringkan kebijakan sesuai keinginannya bergantung pada sejumlah faktor, yang menonjol di antaranya adalah: faktor kekayaan agar mampu memberikan jaminan kepada masyarakat akan keberhasilan kelompoknya dalam mengelola suatu tatanan masyarakat. Kemudian faktor keterampilan mengelola organisasi, adalah bagaimana kelompok kepentingan mampu mengorganisir berbagai instansi dalam rangka mencapai tujuannya. Kemudian kualitas kepemimpinan yang dilakukan dengan berbagai framing kepada salah satu anggota yang dinilai kemiliki kualitas kepemimpinan yang baik. Selanjutnya, eterampilan tawar-menawar atau lebih dikenal dengan istilah koneksi serta sedikit keberuntungan. Beberapa definisi dan karakterisasi mengenai kelompok kepentingan atau kelompok penekan diatas adalah sebagai bentuk dari faktor utama turunnya kebijakan pemerintahan Indonesia di periode awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan berbagai macam aktor pendukung yang ikut serta dalam mengambil peran untuk melanggengkan tujuannya melalui pemberian pengaruh kepada pemerintahan untuk tetap menjalankan kebijakan ini. Kebijakan ini bernar adanya jika masyarakat menganggapnya sebagai kebijakan populis. Hal tersebut sebagai rencana kekuasaan sekarang untuk berlomba-lomba mengambill hati masyarakat agar terpilih kembali pada pemilihan berikutnya. Sebagian masyarakat pun sangat senang dengan turunnya kebijakan ini, terbukti dengan tidak adanya kritik dari masyarakat terhadap kebijakan yang menahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ini. Tindakan masyarakat tersebut dinilai menguntungkan pihak empunya kepentingan. Berbagai kritik yang dilontarkan atas kebijakan ini ditanggapi mudah oleh pemerintahan terpilih. Respon atas kritik tersebut dirasa tidak sesuai dengan harapan para kritikus yang menilai tindakan dan alasan untuk melaksanakan kebijakan ini memiliki kecenderungan yang masih bersifat asumtif. Mayoritas suara yang mendukung kebijakan ini mengatakan bahwa kebijakan penahanan harga bahan bakar minyak (BBM) ini sebagai upaya untuk menjaga citra presiden terpilih agar dapat terpilih lagi di tahun atau di periode berikutnya. Aspek ekonomi berupa pengendalian inflasi negara serta menjaga kekuatan atau daya beli masyarakat hanya menjadi dalih semata. Memang benar kedua alasan tersebut memberi pengaruh terhadap perekonomian negara, namun bukan menjadi faktor utama turunnya kebijakan untuk menahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan untuk menahan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ini adalah salah satu dari beragam kebijakan yang juga mempengaruhi stabilitas inflasi negara serta stabilitas daya beli masyarakat. Pengaruh besar tidaknya kebijakan ini terhadap stabilitas negara masih menjadi perbincangan karena keberlangsungan kebijakan ini masih diteruskan hingga pemilihan presiden selanjutnya sebagai bagian dari janji pemerintahan terpilih. Daftar Pustaka Akimaya, M., & Dahl, C. (2017). Simulation of price controls for different grade of gasoline: The case of Indonesia. Energy Economics, 68, 373–382. https://doi.org/10.1016/j.eneco.2017.10.012 Anyebe, P. A. A. (2018). An Overview of Approaches to the Study of Public Policy. International Journal of Political Science, 4(1), 8–17. https://doi.org/10.20431/24549452.0401002 Bergeaud, A., & Raimbault, J. (2020). An empirical analysis of the spatial variability of fuel prices in the United States. Transportation Research Part A: Policy and Practice, 132(January 2017), 131–143. https://doi.org/10.1016/j.tra.2019.10.016 Chikwem, F. C. (2016). The political economy of fuel importation probes and development of refineries in Nigeria. Insight on Africa, 8(1), 18–39. https://doi.org/10.1177/0975087815612287 Dc, A. N. N. (2015). Sikap Media Terhadap Isu Kenaikan Harga BBM Bersubsidi (Analisis Framing Pemberitaan Koran Tempo dan Harian Sindo). Interaksi Online, 4(13). Fuhaid, N. (2011). Amrullah, Muh Syahrir, Fachrul Januar. Nugroho, H. (2004). Apakah persoalannya pada subsidi BBM ? 1–22. Putrasari, Y., Praptijanto, A., Santoso, W. B., & Lim, O. (2016). Resources, policy, and research activities of biofuel in Indonesia: A review. Energy Reports, 2, 237–245. https://doi.org/10.1016/j.egyr.2016.08.005 Saptanto, S., Zamroni, A., Ramadhan, A., & Wijaya, R. A. (2017). Analisis Kebijakan Dampak Penyesuaian Harga Bbm Bersubsidi Untuk Nelayan. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 6(2), 85. https://doi.org/10.15578/jksekp.v6i2.3328 Simatupang, P., & Friyatno, S. (2016). Dampak Perubahan Harga Bahan Bakar Minyak Terhadap Kinerja Sektor Pertanian (Pendekatan Analisis Input-Ouput). Jurnal Agro Ekonomi, 34(1), 1. https://doi.org/10.21082/jae.v34n1.2016.1-15 Subirats, J. (2001). Public policy analysis. Gaceta Sanitaria / S.E.S.P.A.S, 15(3), 259–264. https://doi.org/10.1016/S0213-9111(01)71557-9