TRAUMA KAPITIS Pembimbing : Dr. Maria Ingrid Tjahjadi, Sp.S Disusun oleh: Dinda Puspita Dewi 112018011 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT HUSADA JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 29 JUNI – 1 AGUSTUS 2020 BAB I PENDAHULUAN Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif. Trauma kepala adalah trauma mekanik yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya baik secara langsung ataupun tidak langsung, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun psikososial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran, baik permanen ataupun temporer. Trauma merupakan penyebab utama pada anak diatas usia 1 tahun di Amerika Serikat. Menurut Dawodu (2003) insidensi trauma kepala tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun dengan insidens sebanyak 32,8/100.000. Perbandingan antara lelaki dan perempuan ialah 3,4 : 1. Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu-lintas (bermotor) di mana pada setiap tahun diperkirakan 1 juta meninggal dan 20 juta cedera. Di Indonesia kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit.80 % di kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10%termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokokpokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala. BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Definisi Trauma Kapitis Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.1,2 II. Anatomi 2.1 Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu: • Skin atau kulit • Connective tissue atau jaringan penyambung • Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak • Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar. • Perikranium Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.3 2.2 Tulang Tengkorak Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum. 2.3 Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : 1. Duramater Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinussinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteriarteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis. 2. Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. 3. Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater. 2.4 Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardio respiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.3-5 2.5 Cairan serebrospinalis Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari. 2.6 Tentorium Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).4 2.7 Vaskularisasi Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Venavena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis. III. Epidemiologi Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala melibatkan kelompok usia produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki.3 IV. Patofisiologi Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga selsel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera fokal, kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural, dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difus berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis. 2-4 Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio dibawah are benturan disebut lesi kontusio “coup”, diseberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup, dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.2-4 Gambar 2.1. Mekanisme terjadinya Kontusio Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup). Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan atau keluaran penderita. Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.2-4 Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.2-4 V. Klasifikasi Trauma Kapitis Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.7,8 a) Mekanisme cedera kepala Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. b) Beratnya cedera Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut : 1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat. 2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15 c) Morfologi cedera Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi intrakranial. 1. Fraktur cranium Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervusfasialis. 2. Lesi Intrakranial Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan. 2-6 a. Komosio cerebri Gegar otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi otak, termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala. Tanda- tanda/gejala geger otak, yaitu: hilang kesadaran, sakit kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening, lemah, pandangan ganda. b. Kontusio cerebri Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia retrograde, amnesia pasca traumatik, dan terdapat kelainan neurologis, tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi: • Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan kematian. • Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi). • Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditas desebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi). c. Hematoma Epidural Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% darikeseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsung lama. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya ‘lucid interval´ yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf. d. Hematom Subdural Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining . Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis. Gambar 2.2. Perbedaan Lokasi Perdaran Epidural dan Subdural • SDH Akut Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah. • SDH Kronis Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrana fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. e. Subarachnoid hematoma Perdarahan subarachnoid terjadi di dalam ruang subarachnoid (yang memisahkan antara membrana arachnoid dan piamater). Selain karena trauma, perdarahan juga dapat terjadi secara spontan akibat aneurisma (Saccular Berry’s Aneurism) atau malformasi arteriovenosa. Gejala yang timbul antara lain sakit kepala berat yang mendadak (“thunderclap headache”), penurunan kesadaran, mual/muntah dan terkadang kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya refleks cahaya menunjukkan adanya herniasi otak akibat peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular dapat timbul. Defisiensi neurologis berupa abnormalitas N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar serta tidak mampu mengangkat kelopak mata di sisi yang sama) menunjukkan kemungkinan perdarahan berasal dari a.communicating posterior. Sebagai respons terhadap perdarahan, pelepasan adrenalin akan meningkatkan tekanan darah dan aritmia. Sebanyak 85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh aneurisma serebral, kebanyakan terletak di sirkulus Wilisi dan percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi arteriovena, tumor, atau penggunaan antikoagulan. Selain itu trauma cedera otak juga dapat menyebabkan perdarahan subarachnoid, melalui fraktur tulang sekitar atau kontusio intraserebral. Gambar 2.3. Lokasi Perdarahan pada Epidural, Subdural dan Intraselebral f. Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisilainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.6 g. Cedera difus Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali. cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad. Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus dan cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan. Dalam beberapa referensi, trauma maxillo facial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan. Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan:2 1. Patologi - Komosio cerebri - Kontusio cerebri - Laseratio cerebri 2. Lokasi lesi o Lesi difus o Lesi kerusakan vaskuler otak o Lesi fokal i. Kontusio dan laserasi cerebri ii. Hematom intrakranial 1. hematom ekstradural 2. hematom subdural 3. hematom intraparenkimal - hematom sub arachnoid - hematom intraserebral - hematom intrserbellar 3. Derajat kesadaran berdasarkan GCS Kategori GCS Minimal 15 Ringan 13-15 Sedang 9-12 Gambaran klinik Pingsan (-), defisit neurologi (-) Pingsan <10 menit, defisit neurologi (-) Pingsan >10 menit s.d 6 jam, defisit CT-Scan Otak Normal Normal Abnormal Berat neurologi (+) Pingsan >6 jam, defisit neurologi (+) Abnormal 3-8 Catatan: 1. Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di unit gawat darurat 2. Jika abnormalitas Ct-Scan berupa perdarahan intrakranial penderita dimasukkan klasifikasi trauma kapitis berat. VI. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama: 1. tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus 2. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir kompleks 3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis : • Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran. • Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal. • Respon pupil mungkn lenyap. • Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK. • Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial. • Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat. A. Hematoma Epidural Perdarahan yang terjadi diantara tabula interna-duramater. Hematom massif, akibat pecahnya arteri meningea media atau sinus venosus. Tanda diagnosis klinik: 1. Lucid interval (+) 2. Kesadaran makin menurun 3. Late hemiparese kontralateral lesi 4. Pupil anisokor 5. Babinsky (+) kontralateral lesi 6. Fraktur di daerah temporal • Hematoma Epidural di Fossa Posterior Gejala dan tanda klinis: 1. Lucid interval tidak jelas 2. Fraktur cranii oksipital 3. kehilangan kesadaran cepat 4. Gangguan serebellum, batang otak dan pernafasan 5. Pupil Isokor Penunjang diagnosis: - CT Scan Otak : gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan dura, umumnya di daerah temporal, dan tampak bikonveks. B. Hematoma Subdural Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arachnoid, akibat rusaknya ‘bridging vein’ (vena jembatan) Jenis : 1. Akut : interval lucid 0-5 hari 2. Subakut : interval lucid 5 hari-beberapa minggu 3. Kronik : interval lucid > 3 bulan • Hematoma Subdural Akut Gejala dan tanda klinis: - Sakit kepala - Kesadaran menurun +/- Penunjang diagnostik: - CT Scan Otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan araknoid, umunya karena robekan dan bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit. C. Hematoma Intraserebral Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono atau multiple. • Fraktur Basis Kranii 1. Anterior Gejala dan tanda klinis: - Keluarnya cairan liquor melalui hidung/rhinorhea - Perdarahan bilateral periorbital ecchymosis/raccon eye - Anosmia 2. Media Gejala dan tanda klinis: - Keluarnya cairan liquor melalui telinga/otorrhea - Gangguan N.VII & VIII 3. Posterior Gejala dan tanda klinis: Bilateral mastoid ekimosis/battle’s sign - Penunjang diagnostik: - Memastikan cairan cerebrospinal secara sederhana dengan tes halo - Scanning otak resolusi tinggi dengan irisan 3 mm (50% +) (high resolution and thin section) • Diffuse Axonal Injury (DAI) Gejala dan tanda klinis : - Koma lama pasca trauma kapitis (prolonged coma) - Disfungsi saraf otonom - Demam tinggi Penunjang diagnostik : CT Scan otak - Awal-normal, tidak ada tanda adanya perdarahan, edema, kontusio. D. Perdarahan Subarakhnoid Gejala dan tanda klinis : - Kaku kuduk - Nyeri kepala - Bisa didapati gangguan kesadaran Penunjang diagnostik : CT Scan otak : perdarahan (hiperdens) di ruang subarachnoid VII. Penegakkan Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan: 1. Anamnesis - Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid - Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea - Amnesia traumatika (retrograd/anterograd) 2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis - Kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow (GCS) Mata (EYE) Nilai >1 tahun 0-1 tahun 4 Spontan Spontan 3 Dengan perintah verbal Dengan panggilan 2 Dengan nyeri Dengan nyeri 1 Tidak ada respon Tidak ada respon Motorik 6 Menurut perintah 5 Dapat melokalisasi nyeri Melokasi nyeri 4 Fleksi terhadap nyeri Fleksi terhadap nyeri 3 Fleksi abnormal (dekorikasi) Fleksi abnormal (dekorikasi) 2 Ekstensi (desereberasi) Ekstensi (desereberasi) 1 Tidak ada respon Tidak ada respon Verbal Nilai >5 tahun 2-5 tahun 0-2 tahun 5 Orientasi baik & berbicara Kata-kata tepat Menangis yang sesuai 4 Disorientasi & berbicara Kata-kata tidak tepat Menangis 3 Kata-kata yang tidak tepat, menangis Berteriak Menangis yang tidak sesuai/berteriak 2 Suara yang tidak berarti Merintih Merintih 1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon Catatan: • Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan skor verbalnya tidak dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen verbal tersebut. Pasien dengan intubasi, skor GCS maksimal adalah 10 T dan minimal 2 T. • Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka, diberi tanda C (eye closed) untuk komponen mata. • Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M pada komponen motoriknya. - Tanda-tanda vital - Otorrhea/rhinorrhea - Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata - Gangguan fokal neurologis - Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot - Refleks patologis - Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, reflex kornea, doll’s eye phenomen - Monitor pola pernapasan: Cheyne stokes, central neurogenic, hiperventilasi, apneustic breath, ataxic breath - Gangguan fungsi otonom - Funduskopi 3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial 4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal - Linier - Impresi - Terbuka/tertutup 5. CT Scan Otak: Untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa - Gambaran kontusio - Gambaran edema otak - Gambaran perdarahan (hiperdens) - Hematoma epidural - Hematoma subdural - Perdarahan Subarachnoid - Hematom intraserebral 6. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks 7. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma. 8. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang. 9. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang). 10. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak.. 11. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak. 12. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid. 13. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan TIK. 14. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. 15. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. 16. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. VIII. Tatalaksana Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :1,2 • A = Airway (jalan nafas) Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan mengeluarkan darah, gigi yang patah, muntahan, dsb. Bila perlu lakukan intubasi (waspadai kemungkinan adanya fraktur tulang leher) • B = Breathing (pernafasan) Pastikan pernapasan adekuat Perhatikan frekuensi, pola nafas dan pernafasan dada kanan dan kiri (simetris). Bila ada gangguan pernafasan, cari penyebab apakah terdapat gangguan pada sentral (otak dan batang otak) atau perifer (otot pernafasan atau paru-paru). Bila perlu, berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target saturasi O2>92%. • C = Circulation (sirkulasi) Pertahankan tekanan darah sistolik > 90 mmHg. Pasang sulur intravena. Berikan cairan intravena drip, NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Hindari cairan hipotonus. Bila perlu berikan vasopresor dan inotropik. • D = Disability (yaitu untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan pemeriksaan cepat status umum dan neurologi) Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan setelah kondisi pasien stabil. • E = Laboratorium - Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit - Urin: perdarahan (+/-) - Radiologi o Foto polos kepalaAP/lateral o CT scan kepala o Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal • F = Manajemen terapi - Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi Siapkan untuk masuk ruang rawat i. - Penanganan luka luka - Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan Konsensus di ruang rawat pada trauma kapitis sedang dan berat, yaitu: - Lanjutkan penanganan ABC - Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai pasien sadar (pantauan dilakukan tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien SKG 15) Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai berikut: o Tekanan darah sistolik < 90 mmHg o Suhu > 38˚C o Frekuensi nafas > 20x/m - Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial dengan cara: o Elevasi kepala 30 o Hiperventilasi o Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu 1/2 jam- 1jam, drip cept, dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 6 jam dari pemberian pertama dan 0,25 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan 24 jam dari pemberian pertama. o Berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka pendek - Mengatasi komplikasi o Kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure pada kasus risiko tinggi o Infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai dosis infeksi intrakranial selama 10-14 hari. o Gastrointestinal-pendarahan lambung o Demam o DIC ii. Pemberian cairan dan nutrisi adekuat. Penatalaksanaan lainnya: 1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. 2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi. 3. Pemberian analgetika 4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %. 5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin). 6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak. 7. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N. iii. Tindakan terhadap peningktatan TIK 1. Pemantauan TIK dengan ketat 2. Oksigenisasi adekuat. 3. Pemberian manitol. 4. Penggunaan steroid. 5. Peningkatan kepala tempat tidur. 6. Bedah neuro. iv. Tindakan pendukung lain 1. Dukungan ventilasi. 2. Pencegahan kejang. 3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi. 4. Terapi anti konvulsan. 5. Klorpromazin untuk menenangkan pasien. 6. Pemasangan selang nasogastrik IX. Prognosis Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat dengan cedera kepala ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik. Sekitar 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik dan atau CT-scan. Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan operasi, penderita mungkin dapat dipulangkan dalam beberapa hari kemudian. Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1,2 Daftar Pustaka 1. IT Maria.Konsensus Nasional. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (PERDO).Jakarta,2011.hal 2-3. 2. PERDOSSI, 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. PERDOSSI. Jakarta. 3. Greenberg Michael I. 2008. Text-atlas of emergency medicine. Penerbit Erlangga. Jakarta, hal 44-51. 4. Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua. Jong W.D. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC 5. Haryo W et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta 6. Handbook of Neurosurgery, Mark S. Greenberg (edt), 7th Ed, Thieme New York, NewYork, 2010 7. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 201 8. Arif Mansjoer. dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta