LAPORAN TUTORIAL B BLOK 26 Tutor: Agita Dora Fitri, S.Kom., M.K.K.K.HIMa disusun oleh: Kelompok B6 Anggota: Clarisya Resky Vania 04011181621006 Muhammad Iqbal Fadhilah 04011181621007 Miranti Adi Ningsih 04011181621008 Anis Illiana 04011181621047 Frilla Adhany Marsya 04011181621048 Desi Mawarni 04011181621056 Nauval Togi Prasetyo 04011281621113 Tiara Putri Yosineba 04011281621134 Nada Premawedia 04011281621135 Nadela Priscellia 04011181621153 PENDIDIKAN DOKTER UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan Tutorial ini dapat terselesaikan dengan baik. Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Tim Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan laporan ini. Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan. Tim Penyusun 2 DAFTAR ISI Kata Pengantar..................................................................................................................2 Daftar Isi...........................................................................................................................3 BAB I : Pendahuluan A. Latar Belakang…………………………………………………......................4 B. Maksud dan Tujuan…………………………………………………………..4 C. Data Tutorial………………………………………………………………….4 BAB II : Isi A. Skenario.........………………………………………………………………...5 B. Klarifikasi Istilah..............................................................................................6 C. Identifikasi Masalah..........................................................................................7 D. Analisis Masalah...............................................................................................8 E. Learning Issue.................................................................................................16 F. Kerangka Konsep............................................................................................38 BAB III : Penutup A. Kesimpulan ....................................................................................................39 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….40 3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan kasus yang diberikan mengenai Surveilans. B. Maksud dan Tujuan Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu: 1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. 2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis pembelajaran diskusi kelompok. 3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial. C. Data Tutorial 1. Tutor : Agita Dora Fitri, S.Kom., M.K.K.K.HIMa 2. Moderator : Nada Premawedia 3. Waktu : 1. Senin, 23 September 2019 Pukul 13.00 – 15.00 WIB 2. Rabu, 25 September 2019 Pukul 13.00– 15.00 WIB 4 BAB II ISI A. SKENARIO B BLOK 26 Dr. Desi baru bertugas 6 bulan sebagai Kepala Puskesmas “Manggis” Puskesmas “Manggis” berada di Kecamatan “Mangga” yang terdiri dari 4 Desa, yang total penduduk 45 ribu jiwa. Ditengah Desa tersebut mengalir sungai yang dipakai sebagai sumber air rumah tangga dan sebagai tempat (MCK). Di desa tersebut terdapat sampah dimana-mana dikarenakan masyarakatnya mempunyai kebiasaan membuang sampah sembarangan. Mayoritas penduduknya adalah petani sawit. Puskesmas “Manggis” mempunyai SDM Kesehatan yang belum lengkap sehingga belum terakreditasi. Puskesmas ini belum mempunyai PWS yang lengkap yang menggambarkan kinerja program wilayah kerja Puskesmas “Manggis”. Dalam 7 hari ini ada 5 orang anak Sekolah Dasar yang di diagnosa Demam Berdarah Dengue yang dirujuk ke Rumah Sakit. Bulan September tahun lalu terdiagnosa DBD 15 orang. Dari evaluasi program terjadi peningkatan kasus DBD 2 kali dibandingkan bulan sama pada tahun lalu. Dokter Desi mengadakan pertemuan dengan seluruh staf Puskesmas untuk melihat jadwal kegiatan promosi kesehatan dan kesehatan lingkungan di wilayah Puskesmas dan PHBS di Sekolah Dasar tersebut. Dari hasil pertemuan dengan staf Puskesmas dalam 3 bulan ini kegiatan promosi kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan belum terlaksana, sampah menumpuk, dan banyak sampah yang masuk selokan sehingga menghambat saluran air dan dari hasil pemantauan, banyak jentik-jentik nyamuk di rumah – rumah penduduk. Melihat permasalahan yang ada, dr. Desi berkoordinasi dengan Pak Camat, segera mengadakan pertemuan dengan Kepala Desa, Pak RT, kepala Sekolah, Tokoh agama, kader kesehatan, mengadakan Survei Mawas Diri dan dilanjutkan dengan Musyawarah Masyarakat Desa serta diharapkan akan menurun penyakit Demam Berdarah Dengue di Kecamatan “Mangga”. Minggu yang lalu, Puskesmas “Manggis” dikunjungi oleh staff Dinas Kesehatan Kabupaten karena kegiatan surveilans DBD tidak jalan. Dokter Desi ingin menurunkan kejadian DBD di wilayah Puskesmas Manggis dengan membuat program-program kegiatan prevensi terhadap penyakit DBD. 5 B. Klarifikasi Istilah Istilah Klarifikasi MCK Mandi Cuci Kakus; salah satu sarana fasilitas umum yang digunakan bersama oleh beberapa keluarga untuk keperluan mandi, mencuci, dan buang air dilokasi pemukiman tertentu yang dinilai berpenduduk cukup padat dan tingkat kemampuan ekonomi yang rendah. PWS Alat manajemen untuk melakukan pemantauan suatu program disuatu wilayah kerja secara terus menerus agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. DBD Demam Berdarah Dengue; Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. PHBS Perilaku Hidup Bersih dan Sehat; semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran, sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan kesehatan di masyarakat. Survei Mawas Diri Kegiatan pengenalan, pengumpulan, dan pengkajian masyarakat kesehatan yang dilakukan oleh kader dan tokoh masyarakat setempat dibawah bimbingan Kepala Desa atau Kelurahan dan petugas kesehatan. Surveilans Pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Prevensi Upaya untuk mencegah timbulnya masalah. Musyawarah Pertemuan perwakilan warga desa beserta tokoh masyarakatnya Masyarakat Desa dan para petugas kesehatan untuk mebahas hasil Survei Mawas Diri dan mencanangkan penanggulangan masalah kesehatan yang diperoleh dari hasil Survei Mawas Diri. 6 C. Identifikasi Masalah No. 1. Masalah Dr. Desi baru bertugas 6 bulan sebagai Kepala Puskesmas “Manggis” Konsen ✔ ✔ ✔ Puskesmas “Manggis” berada di Kecamatan “Mangga” yang terdiri dari 4 Desa, yang total penduduk 45 ribu jiwa. Ditengah Desa tersebut mengalir sungai yang dipakai sebagai sumber air rumah tangga dan sebagai tempat (MCK). Di desa tersebut terdapat sampah dimana-mana dikarenakan masyarakatnya mempunyai kebiasaan membuang sampah sembarangan. Mayoritas penduduknya adalah petani sawit. 2. Puskesmas “Manggis” mempunyai SDM Kesehatan yang belum lengkap ✔✔✔✔ sehingga belum terakreditasi. Puskesmas ini belum mempunyai PWS yang lengkap yang menggambarkan kinerja program wilayah kerja Puskesmas “Manggis”. Dalam 7 hari ini ada 5 orang anak Sekolah Dasar yang di diagnosa Demam Berdarah Dengue yang dirujuk ke Rumah Sakit. Bulan September tahun lalu terdiagnosa DBD 15 orang. Dari evaluasi program terjadi peningkatan kasus DBD 2 kali dibandingkan bulan sama pada tahun lalu. 3. Dokter Desi mengadakan pertemuan dengan seluruh staf Puskesmas untuk ✔✔✔ melihat jadwal kegiatan promosi kesehatan dan kesehatan lingkungan di wilayah Puskesmas dan PHBS di Sekolah Dasar tersebut. Dari hasil pertemuan dengan staf Puskesmas dalam 3 bulan ini kegiatan promosi kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan belum terlaksana, sampah menumpuk, dan banyak sampah yang masuk selokan sehingga menghambat saluran air dan dari hasil pemantauan, banyak jentik-jentik nyamuk di rumah –rumah penduduk. 4. ✔✔ Melihat permasalahan yang ada, dr. Desi berkoordinasi dengan Pak Camat, segera mengadakan pertemuan dengan Kepala Desa, Pak RT, kepala Sekolah, Tokoh agama, kader kesehatan, mengadakan Survei Mawas Diri dan dilanjutkan dengan Musyawarah Masyarakat Desa serta diharapkan akan menurun penyakit Demam Berdarah Dengue di Kecamatan “Mangga”. 5. ✔ Minggu yang lalu, Puskesmas “Manggis” dikunjungi oleh staff Dinas Kesehatan Kabupaten karena kegiatan surveilans DBD tidak jalan. 6. ✔ Dokter Desi ingin menurunkan kejadian DBD di wilayah Puskesmas Manggis dengan membuat program-program kegiatan prevensi terhadap penyakit DBD. 7 D. Analisis Masalah 1. Dr. Desi baru bertugas 6 bulan sebagai Kepala Puskesmas “Manggis” Puskesmas “Manggis” berada di Kecamatan “Mangga” yang terdiri dari 4 Desa, yang total penduduk 45 ribu jiwa. Ditengah Desa tersebut mengalir sungai yang dipakai sebagai sumber air rumah tangga dan sebagai tempat (MCK). Di desa tersebut terdapat sampah dimana-mana dikarenakan masyarakatnya mempunyai kebiasaan membuang sampah sembarangan. Mayoritas penduduknya adalah petani sawit. a. Apa saja peran Puskesmas terhadap kesehatan lingkungan? Dasar hukum diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lingkungan di Puskesmas. Salah satu visi dari puskesmas adalah adanya program kegiatan penyehatan lingkungan berupa: Jumlah desa/kelurahan yang melaksanakan STBM Persentase sasaran air minum yang dilakukan pengawasan Jumlah tempat-tempat umum (TTU) yang diawasi memenuhi syarat kesehatan lingkungan Presentase tempat pengelolaan makanan (TPM) yang dilakukan pengawasan Jumlah kabupaten/kota sehat (kumulatif) Jumlah pasar yang memenuhi syarat kesehatan yang dilakukan pengawasan b. Apa dampak sungai yang dijadikan tempat MCK terhadap kesehatan masyarakat? Perilaku MCK disungai sebenarnya tidak dianjurkan oleh para pakar kesehatan, air sungai yang keruh tentu banyak sekali mengandung bakteri atau mikroba yang merugikan kesehatan berupa timbulnya beberapa penyakit antara lain, diare, disentri, penyakit kulit dan lain-lainnya. Berdasarkan Rantai Penularan 1. Waterborne Disease adalah penyakit yang penularannya melalui air yang terkontaminasi oleh pathogen dari penderita atau karier. Contoh penyakit diare, disenteri, kolera, hepatitis, dan demam typhoid. 2. Water-related insect vector adalah penyakit yang ditularkan oleh serangga yang hidup di air atau dekat air. Contoh penyakit Dengue, malaria, Trypanosoma. 3. Penyakit kulit gatal-gatal, merah dan panas. 8 c. Apa pengaruh membuang sampah sembarangan terhadap air sungai dan kesehatan masyarakat? 1. Dampak bagi kesehatan Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang seperti lalat dan anjing yang dapat menimbulkan penyakit. Potensi behaya kesehatan yang dapat di timbulkan adalah sebagai berikut: a. Penyakit diare, kolera, tifoid, menyebar dengan cepat karena virus yang berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air minum. b. Penyakit jamur dapat menyebar misalnya jamur kulit. c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita. Cacing ini masuk ke dalam pencernaan binatang ternak melalui makanannya berupa sisa makanan/sampah. d. Sampah beracun seperti sampah buangan limbah pabrik yan memproduksi bakteri dan akumulator. 2. Dampak terhadap lingkungan Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase/sungai dapat mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga beberapa spesies akan lenyap hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas cair organik, seperti metaba. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak. 3. Dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi. a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang kurang menyenangkan bagi masyarakat, seperti bau yang tidak sedap dan pemandangan yang buruk karena sampah yang bertebaran dimana-mana. b. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan. c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal penting disini meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas) 9 d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan, jembatan, drainase dan lain-lain. d. Apa potensi masalah yang ditimbulkan dari mayoritas penduduk sebagai petani sawit? Mayoritas penduduk sebagai petani sawit menggambarkan banyaknya perkebunan kelapa sawit pada Kecamatan Mangga. Kelapa sawit sapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa berkurangnya kuantitas air tanah, pencemaran air, dan berkurangnya populasi satwa. Dampak perkebunan kelapa sawit adalah berkurangnya kuantitas air tanah sehingga ketika musim kemarau datang, tak jarang terjadi kekeringan. Evapotranspirasi pada tanaman kelapa sawit mencapai 81%. Evapotranspirasi adalah gabungan antara evaporasi dari permukaan tanah dan transpirasi tanaman yang mengalami penguapan sehingga berpengaruh terhadap kesediaan air tanah. Selain itu, kepala sawit juga berdampak negatif terhadap kebersihan sungai. Aktivitas industri sawit menghasilkan limbah cair yang akan meluap dan terbuang ke sungai sehingga akan menimbulkan eksternalitas. Ekternalitas yang dirasakan oleh masyarakat adalah gangguan kesehatan, pencemaran air sungai, berkurangnya populasi ikan dan menimbulkan bau tak sedap. Tercemarnya air sungai oleh bahan kimia beracun dan berbahaya (B3) akibat limbah cair, dapat mengakibatkan masyarakat mengalami gangguan kesehatan seperti diare dan gatal-gatal apabila sungai masih dimanfaatkan sebagai sumber air utama. 10 2. Puskesmas “Manggis” mempunyai SDM Kesehatan yang belum lengkap sehingga belum terakreditasi. Puskesmas ini belum mempunyai PWS yang lengkap yang menggambarkan kinerja program wilayah kerja Puskesmas “Manggis”. Dalam 7 hari ini ada 5 orang anak Sekolah Dasar yang di diagnosa Demam Berdarah Dengue yang dirujuk ke Rumah Sakit. Bulan September tahun lalu terdiagnosa DBD 15 orang. Dari evaluasi program terjadi peningkatan kasus DBD 2 kali dibandingkan bulan sama pada tahun lalu. a. Apa penyebab paling sering DBD dapat meningkat di suatu daerah? Faktor-faktor yang bertanggung jawab mengakibatkan peningkatan kasus Dengue dan DBD masing-masing sebagai masalah kesehatan global adalah kompleks dan belum sepenuhnya difahami. Walau bagaimanapun, kemunculan semula penyakit ini sangat erat kaitannya dengan perubahan demografik dan masyarakat lebih 50 tahun dahulu. Dua faktor utama adalah ketidakseimbangan pertumbuhan populasi secara global dan urbanisasi yang tidak terancang dan terkawal terutama di negara-negara tropikal yang sedang membangun. Perumahan yang di bawah standar, kepadatan, penurunan kebersihan air dan sistem pengurusan bahan buangan dengan urbanisasi yang tidak terancang telah menciptakan kondisi yang ideal untuk peningkatan penyakit yang ditransmisi oleh nyamuk di kawasan tropical. Faktor ketiga terbesar adalah pengawalan nyamuk yang kurang efektif di daerah di mana Dengue adalah endemik. Sejak 25 tahun lalu, yang diberi perhatian adalah dengan melakukan penyemprotan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa, namun cara ini tidak efektif. Sebagai tambahan, distribusi geografis dan kepadatan populasi Aedes aegypti semakin meningkat, terutama di kawasan kota di daerah tropik disebabkan meningkatnya bilangan habitat larva nyamuk di lingkungan domestik. Tambahan pula kini diperkenalkan penggunaan plastik nonbiodegradable dan penggunaan ban kendaraan yang mana keduaduanya ini meningkatkan lagi prevalensi penyakit DBD Faktor keempat yang berperan dalam peningkatan kasus Dengue dan DBD ini adalah meningkatnya perjalanan udara (air travel), di mana menyediakan mekanisme yang ideal untuk transportasi Dengue dan banyak patogen lain ke seluruh dunia. Kebanyakan pariwisata mendapat infeksi dari negara yang dilawatinya namun hanya menunjukkan tanda setelah pulang ke negara asal, 11 menyebabkan virus Dengue ini tersebar luas ke merata tempat di seluruh dunia sekaligus menambah strain baru untuk virus ini. Faktor kelima yang menyumbang kepada epidemik Dengue ini adalah kekurangan infrastruktur kesehatan di kebanyakan negara dalam 30 tahun lalu. Kekurangan narasumber menyebabkan kurangnya ahli terlatih yang faham dan boleh memikirkan tentang cara pencegahan dan program kontrol untuk penyakit yang tersebar melalui vektor ini. Secara kebetulan, kesehatan umum telah mengubah polisi untuk memilih menggunakan metode pengawalan nyamuk berteknologi tinggi yang dipercayai paling efektif daripada mencegah penularan dengan mengurangi sumber pembiakan larva melalui kebersihan lingkungan. Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit demam berdarah dengue antara lain: (1) tingkat pengetahuan tentang tanda atau gejala; (2) cara penularan dan pencegahan penyakit DBD; (3) kebiasaan tidur siang; (4) kebiasaan menggantung pakaian; (5) kebiasaan membersihkan tempat penampungan air; (6) kebiasaan membersihkan halaman di sekitar rumah; (7) tempat penampungan air di dalam atau di luar rumah yang terbuka; dan (8) tempat penampungan air di dalam atau di luar rumah yang positif jentik. Semua faktor-faktor tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian DBD (Zubir, 2011). b. Apa syarat akreditasi Puskesmas? Dasar hukum diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri Dokter, dan Tempat Mandiri Dokter Gigi. Penilaian keberhasilan Puskesmas dapat dilakukan oleh internal organisasi Puskesmas itu sendiri, yaitu dengan ”Penilaian Kinerja Puskesmas,” yang mencakup manajemen sumber daya termasuk alat, obat, keuangan dan tenaga, serta didukung dengan manajemen sistem pencatatan dan pelaporan, disebut Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS). Tujuan utama akreditasi Puskesmas adalah untuk pembinaan peningkatan mutu, kinerja melalui perbaikan yang berkesinambungan terhadap sistem manajemen, sistem manajemen mutu dan sistem penyelenggaraan pelayanan dan program, serta penerapan manajemen risiko, dan bukan sekedar penilaian untuk mendapatkan sertifikat akreditasi. 12 Struktur standar akreditasi Puskesmas terdiri dari 9 bab, dengan total 776 elemen penilaian, setiap bab akan diuraikan dalam standar, tiap standar akan diuraikan dalam kriteria, tiap kriteria diuraikan dalam elemen penilaian untuk menilai penilaian kriteria tersebut. BAB I Judul Jumlah Jumlah Jumlah Elemen Standar Kriteria Penilaian 3 13 59 Manajemen 6 29 121 Peningkatan Mutu dan Manajemen Risiko 1 7 32 yang 3 10 53 Kepemimpinan dan Manajemen Upaya 7 22 101 Penyelenggaraan Pelayanan Puskesmas (PPP) II Kepemimpinan dan Puskesmas (KMP) III (PMMR) IV Upaya Kesehatan Masyarakat berorientasi sasaran (UKMBS) V Kesehatan Masyarakat (KMUKM) VI Sasaran Kinerja UKM (SKUKM) 1 6 29 VII Layanan Klinis yang Berorientasi Pasien 10 33 151 7 36 172 4 12 58 (LKBP) VIII Manajemen Penunjang Layanan Klinis (MPLK) XI Peningkatan Mutu Klinis dan Keselamatan Pasien (PMKP) Akreditasi Puskesmas menilai tiga kelompok pelayanan di Puskesmas, yaitu: 1. Kelompok Administrasi Manajemen, yang diuraikan dalam : a. Penyelenggaraan Pelayanan Puskesmas (PPP) b. Kepemimpinan dan Manajemen Puskesmas (KMP) c. Peningkatan Mutu Puskesmas (PMP) 2. Kelompok Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), yang diuraikan dalam: a. Upaya Kesehatan Masyarakat yang Berorientasi Sasaran (UKMBS) b. Kepemimpinan dan Manajemen Upaya Kesehatan Masyarakat (KMUKM) KETENAGAAN PUSKESMAS 13 Kepala Puskesmas adalah tenaga kesehatan yang kompeten sesuai dengan peraturan perundangan. Kepala Puskesmas adalah tenaga kesehatan. Ada kejelasan persyaratan Kepala Puskesmas. Ada kejelasan uraian tugas Kepala Puskesmas. Terdapat bukti pemenuhan persyaratan penanggung jawab sesuai dengan yang ditetapkan. Tersedia tenaga medis, tenaga kesehatan lain, dan tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang disediakan. Dilakukan analisis kebutuhan tenaga sesuai dengan kebutuhan dan pelayanan yang disediakan. Ditetapkan persyaratan kompetensi untuk tiap-tiap jenis tenaga yang dibutuhkan. Dilakukan upaya untuk pemenuhan kebutuhan tenaga sesuai dengan yang dipersyaratkan. Ada kejelasan uraian tugas untuk setiap tenaga yang bekerja di Puskesmas. Persyaratan perizinan untuk tenaga medis, keperawatan, dan tenaga kesehatan yang lain dipenuhi c. Sasaran Kinerja Upaya Kesehatan Masyarakat 3. Kelompok Upaya Kesehatan Perorangan, yang diuraikan dalam: a. Layanan Klinis yang Berorientasi Pasien (LKBP) b. Manajemen Penunjang Layanan Klinis (MPLK) c. Peningkatan Mutu Klinis dan Keselamatan Pasien (PMKP) c. Apa itu SDM Kesehatan? Sumber daya manusia kesehatan yaitu berbagai jenis tenaga kesehatan klinik maupun nonklinik yang melaksanakan upaya medis dan intervensi kesehatan masyarakat. 14 d. Apa hukum yang mendasari SDM Kesehatan Puskesmas? Miranti, tiara Struktur Organisasi Puskesmas Berdasarkan Permenkes 75 Tahun 2014 Pasal 16 (1) Sumber daya manusia Puskesmas terdiri atas Tenaga Kesehatan dan tenaga non kesehatan. (2) Jenis dan jumlah Tenaga Kesehatan dan tenaga non kesehatansebagaimana dimaksud pada ayat(1) dihitung berdasarkan analisis beban kerja, dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan yang diselenggarakan, jumlah penduduk dan persebarannya, karakteristik wilayah kerja, luas wilayah kerja, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya di wilayah kerja, dan pembagian waktu kerja. (3) )Jenis Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit terdiri atas: a. dokter atau dokter layanan primer; b. dokter gigi; c. perawat; d. bidan; e. tenaga kesehatan masyarakat; f. tenaga kesehatan lingkungan; g. ahli teknologi laboratorium medik; h. tenaga gizi; dan i. tenaga kefarmasian. (4) Tenaga non kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dapat mendukung kegiatan ketatausahaan, administrasi keuangan, sistem informasi, dan kegiatan operasional lain di Puskesmas. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan jumlah minimal Tenaga Kesehatan dan tenaga non kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. 15 Pasal 17 (1) Tenaga Kesehatan di Puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, standar proseduroperasional,etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasiendengan memperhatikan keselamatan dan kesehatan dirinya dalam bekerja. (2) Setiap Tenaga Kesehatan yang bekerja di Puskesmas harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 18 (1) Pelayanan kefarmasian diPuskesmas harus dilaksanakan oleh Tenaga Kesehatanyang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian. (2) Pelayanan kefarmasian di Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (KEMENKES, 2014). e. Bagaimana PWS yang harus dibuat oleh Puskesmas “Manggis”? PWS KIA 1. Pengumpulan Data a. Jenis Data Data Sasaran: Jumlah seluruh ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, seluruh bayi, seluruh anak balita, seluruh PUS Data pelayanan : Jumlah K1, K4, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, ibu nifas yang dilayani 3 kali (KF 3) oleh tenaga kesehatan, neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan pada umur 6 48 jam, neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan lengkap (KN lengkap), ibu hamil, bersalin dan nifas dengan faktor risiko/komplikasi yang dideteksi oleh masyarakat, kasus komplikasi obstetri yang ditangani, neonatus dengan komplikasi yang ditangani, bayi 29 hari 12 bulan yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya 4 kali, anak balita (12 59 bulan) yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya 8 kali, anak balita sakit yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar, peserta KB aktf. 16 b. Sumber Data Pendataan dan pencatatan sasaran di wilayah kerja berasal dari register kohort ibu, bayi, anak, peserta KB 2. Pencatatan a. Data Sasaran Data sasaran diperoleh bidan di desa/kelurahan dari para kader dan dukun bayi yang melakukan pendataan ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir, bayi dan anak balita dimana sasaran tersebut diberikan buku KIA dan bagi ibu hamil dipasang stiker P4K di depan rumahnya. Selain itu data sasaran juga dapat diperoleh dengan mengumpulkan data sasaran yang berasal dari lintas program dan fasilitas pelayanan lain yang ada di wilayah kerjanya. b. Data Pelayanan Bidan di desa/kelurahan mencatat semua detail pelayanan KIA di dalam kartu ibu, kohort Ibu, kartu bayi, kohort bayi, kohort anak, balita, kohort KB, dan buku KIA. 3. Pengolahan Data Setiap bulan Bidan di desa mengolah data yang tercantum dalam buku kohort dan dijadikan sebagai bahan laporan bulanan KIA. Bidan Koordinator di Puskesmas menerima laporan bulanan tersebut dari semua BdD dan mengolahnya menjadi laporan dan informasi kemajuan pelayanan KIA bulanan yang disebut PWS KIA. Langkah pengolahan data adalah Pembersihan data: melihat kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir yang tersedia. Validasi: melihat kebenaran dan ketepatan data. Pengelompokan: sesuai dengan kebutuhan data yang harus dilaporkan. Hasil pengolahan data dapat disajikan dalam bentuk: Narasi: dipergunakan untuk menyusun laporan atau profil suatu wilayah kerja, misalnya dalam Laporan PWS KIA yang diserahkan kepada instansi terkait. Tabulasi: dipergunakan untuk menjelaskan narasi dalam bentuk lampiran. Grafik: dipergunakan untuk presentasi dalam membandingkan keadaan antar waktu, antar tempat dan pelayanan. Sebagian besar hasil PWS disajikan dalam bentuk grafik. 17 Peta: dipergunakan untuk menggambarkan kejadian berdasarkan gambaran geografis. 4. Pembuatan Grafik PWS KIA PWS KIA disajikan dalam bentuk grafik dari tiap indikator yang dipakai, yang juga menggambarkan pencapaian tiap desa/kelurahan dalam tiap bulan. Langkah-langkah pokok dalam pembuatan grafik PWS KIA: a. Penyiapan Data Data yang diperlukan untuk membuat grafik dari tiap indikator diperoleh dari catatan kartu ibu, buku KIA, register kohort ibu, kartu bayi, kohort bayi serta kohort anak balita per desa/kelurahan, catatan posyandu, laporan dari perawat/bidan/dokter praktik swasta, rumah sakit bersalin dan sebagainya. Untuk grafik antar wilayah, data yang diperlukan adalah data cakupan per desa/kelurahan dalam kurun waktu yang sama Untuk grafik antar waktu, data yang perlu disiapkan adalah data cakupan per bulan Untuk grafik antar variabel diperlukan data variabel yang mempunyai korelasi misalnya : K1, K4 dan Pn b. Penggambaran Grafik Menentukan target rata rata per bulan untuk menggambarkan skala pada garis vertikal (sumbu Y). Hasil perhitungan pencapaian kumulatif cakupan per desa/kelurahan sampai dengan bulan ini dimasukkan ke dalam jalur % kumulatif secara berurutan sesuai peringkat. Pencapaian tertinggi di sebelah kiri dan terendah di sebelah kanan, sedangkan pencapaian untuk puskesmas dimasukkan ke dalam kolom terakhir Nama desa/kelurahan bersangkutan dituliskan pada lajur desa/kelurahan (sumbu X), sesuai dengan cakupan kumulatif masingmasing desa/kelurahan yang dituliskan pada butir b diatas. Hasil perhitungan pencapaian pada bulan ini dan bulan lalu untuk tiap desa/kelurahan dimasukkan ke dalam lajur masing-masing. Gambar anak panah dipergunakan untuk mengisi lajur tren. Bila pencapaian cakupan bulan ini lebih besar dari bulan lalu, maka 18 digambar anak panah yang menunjuk ke atas. Sebaliknya, untuk cakupan bulan ini yang lebih rendah dari cakupan bulan lalu, digambarkan anak panah yang menunjukkan kebawah, sedangkan untuk cakupan yang tetap / sama gambarkan dengan tanda (-). 5. Analisis, Penelusuran Data Kohort dan Rencana Tindak Lanjut a. Analisis a. Analisis Sederhana Analisis ini membandingkan cakupan hasil kegiatan antar wilayah terhadap target dan kecenderungan dari waktu ke waktu. Analisis sederhana ini bermanfaat untuk mengetahui desa/kelurahan mana yang paling memerlukan perhatian dan tindak lanjut yang harus dilakukan Dari matriks diatas dapat disimpulkan adanya 4 macam status cakupan desa/kelurahan, yaitu : Status baik Adalah desa/kelurahan dengan cakupan diatas target yang ditetapkan untuk bulan ini, dan mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang meningkat atau tetap jika dibandingkan dengan cakupan bulan lalu. Status kurang Adalah desa/kelurahan dengan cakupan diatas target bulan ini, namun mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang menurun jika dibandingkan dengan cakupan bulan lalu. Status cukup Adalah desa/kelurahan dengan cakupan dibawah target bulan ini, namun mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang meningkat jika dibandingkan dengan cakupan bulan lalu. 19 Status jelek Adalah desa/kelurahan dengan cakupan dibawah target bulan ini, dan mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang menurun dibandingkan dengan bulan lalu. b. Analisis Lanjut Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan variabel tertentu dengan variabel terkait lainnya untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel yang dimaksud. 2. Penelusuran Data Kohort Mengidentifikasi kasus/masalah secara individu selama masa hamil, bersalin, masa nifas, neonatus, bayi dan balita Membangun perencanaan berdasarkan masalah yang spesifik 1. Rencana Tindak Lanjut Bagi kepentingan program, analisis PWS KIA ditujukan untuk menghasilkan suatu keputusan tindak lanjut teknis dan non-teknis bagi puskesmas. Keputusan tersebut harus dijabarkan dalam bentuk rencana operasional jangka pendek untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi sesuai dengan spesifikasi daerah 20 Rencana operasional tersebut perlu dibicarakan dengan semua pihak yang terkait : Bagi desa/kelurahan yang berstatus baik atau cukup, pola penyelenggaraan pelayanan KIA perlu dilanjutkan, dengan beberapa penyesuaian tertentu sesuai kebutuhan antara lain perbaikan mutu pelayanan. Bagi desa/kelurahan berstatus kurang dan terutama yang berstatus jelek, perlu prioritas intervensi sesuai dengan permasalahan. Intervensi yang bersifat teknis (termasuk segi penyediaan logistik) harus dibicarakan dalam pertemuan minilokakarya puskesmas dan/atau rapat dinas kesehatan kabupaten/kota (untuk mendapat bantuan dari kabupaten/kota). Intervensi yang bersifat non-teknis (untuk motivasi, penggerakan sasaran, dan mobilisasi sumber daya di masyarakat) harus dibicarakan pada rapat koordinasi kecamatan dan/atau rapat dinas kesehatan kabupaten/kota (untuk mendapat bantuan dari kabupaten/kota). 3. Dokter Desi mengadakan pertemuan dengan seluruh staf Puskesmas untuk melihat jadwal kegiatan promosi kesehatan dan kesehatan lingkungan di wilayah Puskesmas dan PHBS di Sekolah Dasar tersebut. Dari hasil pertemuan dengan staf Puskesmas dalam 3 bulan ini kegiatan promosi kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan belum terlaksana, sampah menumpuk, dan banyak sampah yang masuk selokan sehingga menghambat saluran air dan dari hasil pemantauan, banyak jentikjentik nyamuk di rumah –rumah penduduk. a. Bagaimana prosedur PHBS? Mengacu pada Piagam Ottawa (Ottawa Charter) yang merupakan hasil dari Konferensi Internasional Promosi Kesehatan Pertama di Ottawa (Kanada), tiga strategi pokok yang harus dilaksanakan dalam promosi kesehatan adalah (1) advokasi, (2) bina suasana, dan (3) pemberdayaan. Ketiga strategi tersebut dilaksanakan dalam bentuk tindakan (aksi) sebagai berikut. 1. Mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan (healthy public policy), yaitu mengupayakan agar para penentu kebijakan di berbagai sektor di setiap tingkatan administrasi menetapkan kebijakan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. 21 2. Menciptakan lingkungan yang mendukung (supportive environment), yaitu mengupayakan agar setiap sektor dalam melaksanakan kegiatannya mengarah kepada terwujudnya lingkungan sehat (fisik dan nonfisik). 3. Memperkuat gerrakan masyarakat (community action), yaitu memberikan dukungan terhadap kegiatan masyarakat agar lebih berdaya dalam mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan. 4. Mengembangkan kemampuan individu (personal skills), yaitu menguayakan agar setiap individu masyarakat tahu, mau dan mampu membuat keputusan yang efektif dalam upaya memelihara, meningkatkan, serta mewujudkan kesehatannya, melalui pemberian informasi, serta pendidikan dan pelaksanaan yang memadai. 5. Menata kembali arah pelayanan kesehatan (reorient health services), yaitu mengubah pola pikir serta sistem pelayanan kesehatan masyarakat agar lebih mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa mengesampingkan aspek kuratif dan rehabilitatif. Di Indonesia, strategi pokok tersebut kemudian diformulasikan kembali ke dalam kalimat (1) gerakan pemberdayaan (G), yang didukung oleh (2) bina suasana (B), dan (3) advokasi (A), serta dilandasi oleh semangat (4) kemitraan. 22 b. Bagaimana promosi dan preventif untuk kasus DBD? 1. Strategi Promosi Kesehatan Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi kesehatan, yaitu: Advokasi, Bina suasana, dan Gerakan pemberdayaan. Dalam program pengendalian DBD strategi promosi kesehatan yang harus dilakukan adalah (1) pemberdayaan masyarakat, (2) pembinaan susana lingkungan sosialnya, dan (3) advokasi kepada pihak-pihak yang dapat mendukung terlaksananya program pengendalian DBD. a. Gerakan Pemberdayaan Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk menumbuhkan dan mengembangkan norma yang membuat masyarakat mampu untuk pengendalian DBD secara mandiri. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer (msyarakat umum) agar berperan serta secara aktif dalam pengendalian DBD. Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. Kunci keberhasilan gerakan pemberdayaan adalah membuat orang tersebut memahami bahwa penyakit DBD adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang orang yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan masalah, maka orang tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apa pun lebih lanjut. Manakala ia telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan. Metode yang digunakan adalah promosi individu, promosi kelompok, promosi massa dengan materi/pesan mengenai tanda dan gejala DBD, cara pencegahan dan pengendalian DBD dan 3M plus. 23 b. Strategi Bina Suasana Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan penanggulangan DBD. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut. Sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai berikut: Kader dan Tokoh masyarakat Lintas program (Intern Dep. Kesehatan) Lintas sektor (Sektor terkait) Organisasi pemuda (Karang Taruna, Saka Bakti Husada, dll) Organisasi Profesi (misalnya IBI, IDI, dll) Organisasi Wanita (Dharma Wanita, IWAPI, KOWANI, dll) Organisasi keagamaan (Pengajian, Majelis Taklim, Ibadah Rumah Tangga) Organisasi Kesenian Lembaga Swadaya Masyarakat. Metode Bina Suasana Orientasi Pelatihan Kunjungan lapangan Jumpa pers Dialog terbuka/interaktif diberbagai media Lokakarya/seminar Penulisan artikel di media massa Khotbah di tempat peribadatan Materi pesan, dengan menggunakan media antara lain media massa cetak & elektronik (radio, televisi, koran, majalah, situs internet, dan lain-lain), Media tradisional Waspada Nyamuk Demam Berdarah Gejala demam berdarah 24 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan bebas jentik nyamuk di rumah 3 M Plus Hasil yang ingin dicapai Adanya opini positif berkembang di masyarakat tentang pentingnya pengendalian DBD Semua kelompok potensial di masyarakat ikut menyuarakan dan mendukung pengendalian DBD Adanya dukungan sumber daya (SDM, Dana, Sumber daya lain) dari kelompok potensial di masyarakat c. Strategi Advokasi Advokasi kesehatan adalah upaya secara sistimatis untuk mempengaruhi pimpinan, pembuat/penentu kebijakan, keputusan dan penyandang dana dan pimpinan media massa agar proaktif dan mendukung berbagai kegiatan promosi penanggulangan Penanggulangan DBD sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing. Sasaran advokasi adalah: Pimpinan legislative (Komisi DPRD) Pimpinan eksekutif (Gubernur, Bupati, Bappeda) Penyandang dana Pimpinan media massa Pimpinan institusi lintas sektoral Tokoh Agama/Masyarakat/PKK, organisasi profesi Metode Advokasi: Lobby Pendekatan Informal Penggunaan media massa Materi Pesan Harus diketahui jumlah kasus DBD di wilayahnya Program cara pencegahan dan pengendalian DBD Kebijakan dalam pengendalian DBD (menyiapkan tenaga kesehatan, dan lintas sektor lain untuk melaksanakan program bebas DBD. 25 Hasil yang diharapkan Adanya dukungan politis, kebijakan/keputusan dan sumber daya (SDM, dana dan sumber daya lainnya) dalam penanggulangan DBD. Terbentuknya forum komunikasi/komite/pokjanal yang beranggotakan lembaga pemerintah, swasta, LSM, Dunia Usaha, untuk membahas dan memberi masukan dalam penanggulangan BDB 2. Tindakan Preventif DBD Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit a. Kimiawi Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran. Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD adalah: Sasaran dewasa methylpirimiphos), (nyamuk) adalah Pyrethroid : Organophospat (Cypermethrine, (Malathion, lamda-cyhalotrine, cyflutrine, Permethrine & S-Bioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging dan pengabutan dingin/ULV Sasaran pra dewasa (jentik) : Organophospat (Temephos). b. Biologi Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi seperti predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik 26 (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung, Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor DBD. Golongan insektisida biologi untuk pengendalian DBD (Insect Growth Regulator/IGR dan Bacillus Thuringiensis Israelensis/BTi), ditujukan untuk stadium pra dewasa yang diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor. c. Manajemen Lingkungan Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus (menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas, dan plus: menyemprot, memelihara ikan predator, menabur larvasida dll); dan menghambat pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah dll) d. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Pengendalian Vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus. Sasaran, Semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD : Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (nonTPA) Tempat penampungan air alamiah Ukuran keberhasilan Keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. 27 Cara PSN DBD, PSN DBD dilakukan dengan cara ‘3M-Plus’, 3M yang dimaksud yaitu: Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan lain-lain (M2) Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan (M3). Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti: Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah, dan lain-lain) Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air Memasang kawat kasa Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai Menggunakan kelambu Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah. Menurut Kementrian Kesehatan RI. Dalam penanganan DBD, peran serta masyarakat untuk menekan kasus ini sangat menentukan. Oleh karenanya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus perlu terus dilakukan secara berkelanjutan sepanjang tahun khususnya pada musim penghujan. Program PSN , yaitu: 1) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain 2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan 3) Memanfaatkan kembali 28 atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular Demam Berdarah. Gerakkan implementasi PSN 3M-PLUS berupa : - 29 c. Bagaimana cara untuk mengetahui sebaran DBD (epidemiologi) di wilayah kerja Puskesmas “Manggis”? Penyelidikan epidemiologi DBD memantau kasus penyakit DBD, hasil lab, vektor dan lingkungan dengan faktor risiko epidemi DBD. KLB DBD dapat dihindari bila Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu dan berkesinambungan. Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. 30 1. Descriptive 1) Populations{Correlational studies} 2) Individual: Case report, Case series, Cross sectional studies Epidemiologi deskriptif akan menjawab 4 pertanyaan berikut: a) What, yaitu apa masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat dan berapa besarnya masalah kesehatan masyarakat, maka jawabannya akan mengukur masalah kesehatan. b) Who, yaitu siapa yang terkena masalah kesehatan masyarakat adalah masyarakat. Tentunya yang terkena masalah kesehatan masyarakat adalah masyarakat atau sekelompok manusia (man) yang menjadi host penyakit. Man yang akan dibahas adalah karakteristiknya, meliputi jenis kelamin, usia, paritas, agama, ras, genetika, tingkat pendidikan, penghasilan, jenis pekerjaan, jumlah keluarga,dll. c) Where, yaitu dimana masyarakat yang terkena masalah kesehatan. Jawabannya adalah menjelaskan tempat (place) dengan karakteristik tempat tinggal, batas geografis, desa-kota, batas administrative, dll. d) When, yaitu kapan masyarakat terkena masalah kesehatan. Jawabannya adalah menjelaskan waktu (time) dengan karakteristik periode penyakit atau gangguan kesehatan jangka penmdek (ukurannya detik, menit, jam, hari, minggu) jangka panjang (bulan, tahun) periode musiman, dll. 2. Analytic studies 1) Observational a. Case control b. Cohort: Retrospective, Prospective 2) Interventional/Experimental: Randomized controlled trial, Field trial, Clinical trial Epidemiologi analitik bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor, baik fisik, biologis, sosial, kultural, dan perilaku, yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit, disebut determinan penyakit. Determinan penyakit meliputi faktor risiko dan kausa (etiologi) penyakit. Hasil studi epidemiologi analitik memberikan basis rasional untuk melakukan program pencegahan. Jika faktor etiologi (kausa) penyakit dan cara 31 mengurangi atau mengeliminasi faktor-faktor itu diketahui, maka dapat dibuat program pencegahan dan pengendalian penyakit dan kematian karena penyakit tersebut. Desain Penelitian 1. Cross sectional penelitian yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara faktor risiko dan efek (penyakit) yang dilakukan hanya di 1 titik waktu tetertentu (peneliti hanya melakukan 1 kali observasi/pengumpulan data) 2. Case control penelitian yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara faktor risiko dan efek (penyakit) yang dilakukan dengan pendekatan retrospektif. Efek (penyakit) yang akan diteliti saat ini dicari hubungannya dengan adanya riwayat faktor risiko pada orang yang sama. 3. Cohort study mengobservasi variabel dalam suatu periode waktu tertentu atau disebut juga secara longitudinal. Pada penelitian ini, sampel akan selalu di follow up sampai waktu tertentu sehingga dapat mengetahui dinamika perjalanan penyakit. d. Apa hubungan perilaku hidup masyarakat di Kecamatan Mangga dengan kejadian DBD? Perilaku hidup masyarakat di kecamatan mangga berupa memakai sungai yang merupakan sumber air sebagai tempat MCK. Membuang sampah sembarangan, terutama ke selokan sehingga menghambat saluran air. Keadaan ini akan menyebabkan tercemarnya air dan menjadi tempat perkembang biakan vektor DBD berupa nyamuk aedes aegypti. Nyamuk aedes aegypti cenderung berkembang biak di tempat yang gelap, kotor dan lembab, salah satunya di tumpukan sampah yang terisi genangan air. Sampah yang dibuang disembarang tempat akan mudah terisi genangan air hujan dan dijadikan tempat bagi nyamuk untuk bertelur. Perilaku masyarakat juga dipengaruhi oleh nilai, norma, pengetahuan dan sikap. Perilaku juga menyangkut dimensi ekonomi, termasuk tersedianya sarana prasarana. Oleh sebab itu, kejadian DBD pada kecamatan Mangga juga dipengaruhi oleh tidak terlaksananya kegiatan promosi kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan oleh sasaran sekunder sehingga berdampak pada perilaku masyarakat. 32 4. Melihat permasalahan yang ada, dr. Desi berkoordinasi dengan Pak Camat, segera mengadakan pertemuan dengan Kepala Desa, Pak RT, kepala Sekolah, Tokoh agama, kader kesehatan, mengadakan Survei Mawas Diri dan dilanjutkan dengan Musyawarah Masyarakat Desa serta diharapkan akan menurun penyakit Demam Berdarah Dengue di Kecamatan “Mangga”. a. Apa itu Survei Mawas Diri? Jelaskan! Definisi Survei Mawas Diri atau disingkat SMD adalah kegiatan pengenalan, pengumpulan dan pengkajian masalah kesehatan yang dilakukan oleh kader dan tokoh masyarakat setempat dibawah bimbingan petugas kesehatan atau perawat di desa. Tujuan Survey Mawas Diri adalah : 1. Pengumpulan data, masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku; 2. Mengkaji dan menganalisis masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku yang paling menonjol di masyarakat; 3. Mengiventarisasi sumber daya masyarakat yang dapat mendukung upaya mengatasi masalah kesehatan; 4. Diperoleh dukungan dari kepala desa/kelurahan dan pemuka masyarakat dalam pelaksanaan penggerakan dan pemberdayaan masyarakat di Desa Siaga. Survei Mawas Diri (SMD) sangat penting untuk dilaksanakan agar masyarakat menjadi sadar akan adanya masalah kesehatan yang sedang dihadapi, masyarakat mampu mengenal, mengumpulkan data dan mengkaji masalah yang ada dalam lingkungannya sendiri, timbulnya minat dan kesadaran untuk mengetahui masalah-masalah kesehatan dan pentingnya masalah tersebut segera diatasi, serta mampu untuk menggali sumber daya yang ada atau dimiliki. Hasil SMD Puskesmas kemudian akan menjadi dasar untuk menyusun pemecahan masalah yang dihadapi. Langkah-langkah Survey Mawas Diri (SMD) Persiapan SMD Menyusun daftar pertanyaan, Menyusun lembar observasi untuk meng-observasi rumah, halaman dan lingkungan, Menentukan kriteria responden, termasuk cakupan wilayah dan jumlah Kepala Keluarga (KK). 33 Pelaksanaan SMD Melakukan interview atau wawancara terhadap responden, dan melakukan pengamatan terhadap rumah dan lingkungan. Tindak Lanjut SMD Meninjau kembali Pelaksanaan Survei Mawas Diri; merangkum, mengolah dan menganalisa data yang telah dikumpulkan; dan menyusun laporan SMD sebagai bahan untuk pelaksanaan Musyawarah Masyarakat Desa (MMD). Pengolahan Data SMD Setelah melakukan pengolahan data, selanjutnya dibuat kesepakatan tentang : 1. Masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat; 2. Menentukan Prioritas Masalah; dan 3. Kesediaan masyarakat untuk ikut serta dalam menentukan pemecahan masalah. 4. Penyajian data SMD Adapun metode penyajian data SMD dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara yaitu : Tekstular, yaitu dengan menggunakan kalimat; Tabular, yaitu dengan menggunakan tabel; Grafikal, yaitu dengan menggunakan grafik. b. Apa itu MMD? Jelaskan! Musyawarah masyarakat desa (MMD) adalah pertemuan seluruh warga desa untuk membahas hasil Survei Mawas Diri dan merencanakan penanggulangan masalah kesehatan yang diperoleh dari Survei Mawas Diri. Musyawarah Masyarakat Desa Musyawarah masyarakat desa dilaksanakan setelah survey mawas diri. Di forum ini di bahas masalah yang ditemukan pada survey mawas diri, kemudian dilakukan pemecahan masalah bersama antara masyarakat dan puskesmas. Di dalam musyawarah masyarakat desa di tentukan langkah-langkah yang ditempuh untuk mengatasi masalah kesehatan yang ditemukan. Musyawarah masyarakat desa diadakan di rumah kepala desa. Musyawah masyarakat desa ini melibatkan bidan desa, petugas promkes puskesmas, kader, kepala desa, pkk desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan lain-lain. 34 Tujuan dari MMD adalah sebagai berikut: Masyarakat mengenal masalah kesehatan di wilayahnya. Masyarakat sepakat untuk menanggulangi masalah kesehatan. Masyarakat menyusun rencana kerja untuk menanggulangi masalah kesehatan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan MMD adalah sebagai berikut: Musyawarah Masyarakat Desa harus dihadiri oleh pemuka masyarakat desa, petugas puskesmas, dan sektor terkait kecamatan (seksi pemerintahan dan pembangunan, BKKBN, pertanian, agama, dll). Musyawarah Masyarakat Desa dilaksanakan di balai desa atau tempat pertemuan lain yang ada di desa. Musyawarah Masyarakat Desa dilaksanakan segera setelah SMD dilaksanakan. Cara pelaksanaan Musyawarah Masyarakat Desa adalah sebagai berikut: Pembukaan dengan menguraikan maksud dan tujuan MMD dipimpin oleh kepala desa. Pengenalan masalah kesehatan oleh masyarakat sendiri melalui curah pendapat dengan mempergunakan alat peraga, poster, dll dengan dipimpin oleh ibu desa. Penyajian hasil SMD. Perumusan dan penentuan prioritas masalah kesehatan atas dasar pengenalan masalah dan hasil SMD, dilanjutkan dengan rekomendasi teknis dari petugas kesehatan di desa atau perawat komunitas. Penyusunan rencana penanggulangan masalah kesehatan dengan dipimpin oleh kepala desa. Penutup. 35 c. Bagaimana pengaruh SMD dan MMD terhadap penurunan kasus DBD? Dengan adanya SMD dan MMD diharapkan masyarakat menjadi sadar tentang masalah kasus DBD karena masyarakat sendiri yang melakukan pengumpulan fakta dan data sehingga masyarakat lebih tahu tentang besarnya masalah DBD apabila tidak dilakukan tindakan preventif dengan segera. SMD dan MMD juga bertujuan memberdayakan sumber daya yang dimiliki desa agar dapat melaksanakan program pencegahan DBD secara cepat dan efisien karena langsung dilakukan oleh masyarakat sendiri sehingga akan lebih mudah mengomunikasikan kepada masyarakat melalui tokoh masyarakat dan orangorang yang berperan dalam masyarakat tersebut dimana mereka sudah mengetahui kultur dan kebiasaan masyarakat yang menjadi sasaran program penurunan kasus DBD misalnya dengan 3M, fogging, dan beberapa hal lainnya yang merupakan tindakan preventif terhadap penyakit DBD. d. Apa peran tokoh-tokoh masyarakat terhadap penurunan DBD? Masyarakat sebagai tokoh dapat berperan menyebarluaskan informasi dalam pengendalian demam berdarah. Selain itu seorang tokoh mempunyai pengaruh yang besar dalam menggerakkan masyarakat luas, karena masyarakat umum lebih mudah menerima apa yang dijelaskan oleh tokoh panutannya. Peran tokoh masyarakat seperti Ketua RT atau RW lebih banyak pada kebersihan lingkungan secara umum seperti kebersihan taman, pinggir jalan dan selokan, jadi tidak fokus pada masalah kesehatan. 5. Minggu yang lalu, Puskesmas “Manggis” dikunjungi oleh staff Dinas Kesehatan Kabupaten karena kegiatan surveilans DBD tidak jalan. a. Bagaimana kegiatan surveilans DBD? o Tahap Persiapan Tahap persiapan dalam surveilens epidemiologi penyakit demam berdarah merupakan identifikasi faktor risiko DBD untuk menggambarkan tingkat risiko suatu wilayah, yang telah diambil sebelum musim penularan DBD hingga mulai terjadinya kasus melalui kegiatan survey cepat. Materi faktor risiko dibatasi pada faktor perilaku dan lingkungan, sedangkan faktor vector (nyamuk) misalnya jarak terbang nyamuk, jenis nyamuk dan kepadatan nyamuk tidak dimasukkan sebagai 36 variable mengingat tingginya tingkat mobilitas penduduk memungkinkan seseorang menderita DBD dari penularan nyamuk di daerah lain. Pada tahap pertama dihasilkan peta stratifikasi faktor risiko DBD untuk masing-masing desa. Hasil dari tahap ini digunakan untuk intervensi guna pengendalian faktor risiko sesuai hasil survey cepat. Materi penelitian dianalisis berdasarkan unsur–unsure epidemiologi yaitu orang, tempat dan waktu, yang ditampilkan dalam bentuk peta faktor risiko. Implementasi Dilakukan pendataan faktor risiko DBD melalui Rapid Survey pada saat menjelang musim penularan untuk mendapatkan data terbaru untuk menentukan jenis intervensi sehingga dapat dihasilkan peta faktor risiko, peta kasus dan peta kegiatan lain, dan dengan teknik over layer dapat dilakukan perencanaan maupun evaluasi program pemberantasan. o Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan dan pencatatan data dapat dilakukan yaitu: 1. Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima puskesmas dapat berasal dari rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas sendiri atau puskesmas lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain – lain), dan hasil penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari rumah sakit/unit pelayanan kesehatan lainnya). 2. Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD menggunakan ‘Buku catatan harian penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD. Menurut Sitepu dkk (2010), pengumpulan data yang dilakukan dalam pelaksanaan sistem surveilans DBD, yaitu Petugas di DKK Singkawang mengumpulkan. Data kasus DBD dari rumah sakit (RS) dengan cara dijemput langsung. Laporan dari RS akan ditabulasi untuk diteruskan kepada masingmasing petugas di tingkat Puskesmas agar segera dilakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE). 37 Petugas surveilans lebih aktif dalam mengumpulkan data kasus DBD dan menginformasikan kepada petugas Puskesmas. Petugas Puskesmas melaksanakan active case finding di masyarakat di sekitar tempat tinggal kasus. o Tahap Analisis dan Interpretasi 1. Analisis Data Data yang terkumpul dari kegiatan surveilans epidemiologi diolah dan disajikan dalam bentuk tabel situasi demam berdarah tiap puskesmas, RS maupun daerah. serta tabel endemisitas dan grafik kasus DBD per minggu/bulan/tahun. Analisis dilakukan dengan melihat pola maksimal-minimal kasus DBD, dimana jumlah penderita tiap tahun ditampilkan dalam bentuk grafik sehingga tampak tahun dimana terjadi terdapat jumlah kasus tertinggi (maksimal) dan tahun dengan jumlah kasus terendah (minimal). Kasus tertinggi biasanya akan berulang setiap kurun waktu 3–5 tahun, sehingga kapan akan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat diperkirakan. Analisis juga dilakukan dengan membuat rata–rata jumlah penderita tiap bulan selama 5 tahun, dimana bulan dengan rata–rata jumlah kasus terendah merupakan bulan yang tepat untuk intervensi karena bulan berikutnya merupakan awal musim penularan. Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan dipergunakan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuranukuran epidemiologi seperti rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi penyakit. Dalam program pemberantasan DBD dikenal beberapa indikator yang diperoleh dari hasil analisis data yaitu: Angka kesakitan/CFR (Case Fatality Rate) merupakan jumlah kasus DBD di suatu wilayah tertentu selama 1 tahun tiap 100.000 penduduk. Angka kematian/IR (Incidence Rate) adalah banyaknya penderita DBD yang meninggal dari seluruh penderita DBD di suatu wilayah. ABJ (Angka Bebas Jentik)/Case fatality rate didefinisikan sebagai persentase rumah yang bebas dari jentik dari seluruh rumah yang diperiksa. 38 Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes berperan dalam penyelenggaraan Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Puskesmas (STP Puskesmas), Rumah Sakit (STP Rumah Sakit) dan Laboratorium (STP Laboratorium). Unit surveilans Puskesmas Unit surveilans Rumah Sakit Unit surveilans Laboratorium Unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Unit surveilans Dinas Kesehatan Provinsi Unit surveilans Ditjen PPM&PL Depkes 2. Interpretasi Di samping menghasilkan informasi untuk pihak puskesmas dan DKK, informasi juga harus disebarluaskan kepada stakeholder yang lain seperti Camat dan lurah, lembaga swadaya masyarakat, Pokja/Pokjanal DBD dan lain-lain. Penyebarluasan informasi dapat berbentuk laporan rutin mingguan wabah dan laporan insidentil bila terjadi KLB. o Tahap Diseminasi dan Advokasi Tahap Diseminasi Tahap diseminasi yakni melakukan penyiapan bahan perencanaan, monitoring & evaluasi, koordinasi kajian, pengembangan dan diseminasi, serta pendidikan dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi. Yang mana hasil analisis dan interpretasi didiseminasikan kepada orang-orang yang berkepentingan dan sebagai umpan balik (feedback) agar pengumpulan data di masa yang akan datang menjadi lebih baik. Diseminasi berguna kepada orang-orang yang mengumpulkan data, decision maker, orang-orang tertentu (pakar) dan masyarakat. Pelaksanaan diseminasi dapat berupa buletin dan laporan, seminar, simposium serta laporan. Tahap Advokasi Tahap advokasi yakni melakukan penyiapan bahan perencanaan, monitoring & evaluasi, koordinasi pelaksanaan advokasi dan fasilitasi kejadian luar biasa, serta wabah dan bencana. Advokasi dilakukan kepada Bupati/Walikota dan DPRD. 39 o Tahap Evaluasi Tahap evaluasi sistem surveilans merupakan suatu tahapan dalam surveilans yang dilakukan secara sistematis untuk menilai efektivitas program. Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan. Setiap program surveilans sebaiknya dinilai secara periodik untuk mengevaluasi manfaatnya. Sistem atau program tersebut dikatakan dapat berguna apabila secara memuaskan memenuhi paling tidak salah satu dari pernyataan berikut: Apakah kegiatan surveilans dapat mendeteksi kecenderungan yang mengidentifikasi perubahan dalam kejadian kasus penyakit, Apakah program surveilans dapat mendeteksi epidemic kejadian penyakit di wilayah tersebut, Apakah kegiatan surveilans dapat memberikan informasi tentang besarnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan kejadian penyakit di wilayah tersebut, Apakah program surveilans dapat mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian penyakit, dan Apakah program surveilans tersebut dapat menilai efek tindakan pengendalian. Seperti contoh kasus DBD, surveilans epidemiologi untuk kasus DBD ini juga memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Hingga di akhir tahapan dilakukannya evaluasi dari sistem surveilans epidemiologi DBD tersebut. Program pengendalian vektor DBD dapat dilakukan dengan beberapa metode yakni: Pengendalian Biologis (pengendalian jumlah predator vector untuk mengendalikan jumlah vektor DBD) Pengendalian kimiawi (melalui penggunaan insektisida) Perlindungan individu (penggunaan repellent, penggunaan pakaian yang menguran gigigitan nyamuk) Partisipasi masyarakat 40 Peraturan Perundangan (bahwa pengendalian DBD juga memerlukan peran serta masyarakat bukan hanya dari sektor kesehatan). Dengan adanya evaluasi program-program kesehatan yang telah dilakukan diharapkan dapat lebih mengefektifkan serta mengefisienkan program pengendalian kasus DBD. Sehingga, program pengendalian yang dilakukan tidak hanya sia-sia dan dapat bermanfaat khususnya dalam menurunkan jumlah kejadian kasus DBD di daerah setempat. Pelaksanaan surveilans penyakit DBD dibantu oleh kader jumantik yang mengumpulkan data terkait faktor risiko penyakit DBD pada setiap rumah di wilayah kerja Puskesmas Kader jumantik selanjutnya mengumpulkan data tersebut ke puskesmas. Petugas surveilans di puskesmas merekap data- data yang telah terkumpul dan dilaporkan kepada Dinas Kesehatan. 41 6. Dokter Desi ingin menurunkan kejadian DBD di wilayah Puskesmas Manggis dengan membuat program-program kegiatan prevensi terhadap penyakit DBD. a. Apa saja program kegiatan prevensi terhadap penyakit DBD berdasarkan langkahlangkah yang telah dijelaskan di atas? 1. Health Promotion, dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: a) Pendidikan dan Penyuluhan tentang kesehatan pada masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Selain itu juga dilakukan untuk membina peran serta masyarakat melalui berbagai jalur komunikasi dan informasi kepada masyarakat, seperti melalui televisi, radio dan media massa lainnya, kerja bakti dan lombalomba yang berkaitan dengan kesehatan di kelurahan atau desa, sekolah atau tempat-tempat umum lainnya. b) Memberdayakan kearifan lokal yang ada. Misalnya kearifan lokal masyarakat di pedesaan yaitu gotong royong. Hal ini jika dilakukan secara rutin tiap minggunya dalam bentuk bersama-sama membersihkan lingkungan sekitar akan sangat berguna untuk meningkatkan status kesehatan. c) Perbaikan suplai dan penyimpanan air. Air sebagai sumber kehidupan memegang peranan yang sangat penting dalam kelanjutan dan kesejahteraan hidup manusia. Permasalahan sanitasi air bersih menjadi salah satu permasalahan kesehatan lingkungan di Indonesia. Oleh karena itu, perbaikan suplai dan penyimpanan air sangat penting untuk dilakukan mengingat permasalahan atau penyakit berupa water borne disease sangat beraneka ragam. Bahkan air juga bisa menjadi tempat hidup dan perkembangbiakan vektor penyakit lain seperti demam berdarah dengue (DBD). d) Menekan angka pertumbuhan penduduk. Daerah yang terjangkit DBD pada umumnya adalah kota atau wilayah yang padat penduduk. Rumah-rumah yang saling berdekatan memudahkan penularan penyakit ini, mengingat nyamuk Aedes aegypti jarak terbangnya maksimal 200 meter. Hubungan yang baik antar daerah memudahkan penyebaran penyakit ke daerah lain. Selain itu, hal ini juga berkaitan erat dengan mobilitas penduduk yang memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lainnya dan biasanya penyakit 42 menjalar dimulai dari satu sumber penularan kemudian mengikuti lalu lintas penduduk. e) Perbaikan sanitasi lingkungan, tata ruang kota dan kebijakan pemerintah. Hal ini erat kaitannya dengan pemukiman penduduk, tempat-tempat umum, sarana dan prasarana kota, dan lain-lain. Penataan ruang kota yang baik akan meningkatkan status kesehatan masyarakat setempat. Selain itu sanitasi lingkungan juga harus diperbaiki karena beberapa hal berikut ini: - Keberadaan Densitas Aedes aegypti pada Daerah Endemis Demam Berdarah di beberapa daerah menunjukkan bahwa tempat perindukkan nyamuk Aedes aegypti yang paling banyak berupa bak mandi, kemudian diikuti gentong, bak WC, tempayan, ember dan tempat wudhu . - Keberadaan pot tanaman hias. Keberadaan pot tanaman hias di rumah khususnya tanaman hias yang menggunakan media air sebagai pertumbuhan pada kenyataannya terdapat genangan air. Genangan air ini dijadikan sebagai breeding place nyamuk Aedes aegypti. - Keberadaan saluran air hujan. menunjukkan adanya hubungan antara keberadaan saluran air hujan dengan endemisitas demam berdarah dengue. Perubahan musim dari kemarau ke penghujan menjadi titik rawan ledakan kasus demam berdarah, apalagi didukung oleh keberadaan saluran air hujan yang dapat menampung genangan air. - Keberadaan kontainer. Genangan yang disukai sebagai tempat perindukkan nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer atau tempat penampungan air bukan genangan air di tanah. 2. Specific protection a. Abatisasi Program ini secara massal memberikan bubuk abate secara cuma-cuma kepada seluruh rumah, terutama di wilayah yang endemis DBD semasa musim penghujan. Tujuannya agar kalau sampai menetas, jentik nyamuknya mati dan tidak sampai terlanjur menjadi nyamuk dewasa yang akan menambah besar populasinya. Abitasasi selektif atau larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan atau menaburkan larvasida ke dalam penampungan air yang positif terdapat jentik aedes Fogging focus adalah kegiatan menyemprot dengan insektisida (malation, losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per 1 43 dukuh. Penyemprotan bisa membahayakan kesehatan jika dilakukan tidak dengan hati-hati. Oleh karena itu, takaran insektisida yang dipakai harus diukur dengan cermat, dan tidak sampai berlebihan. b. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) Pemeriksaan Jentik Berkala adalah kegiatan reguler tiga bulan sekali, dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan rumah di tengah sebagai pusatnya) atau metode zig-zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan jentik atau House Index (HI). Pembersihan jentik bisa dilakukan dengan pogram Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), menggunakan ikan, dan larvasidasi. Tidak semua jenis ikan memangsa jentik nyamuk Aedes, hanya ikan jenis gambusia, seperti ikan kepala timah. Selain itu ada beberapa pemangsa jentik nyamuk Aedes yang ada di alam, yaitu burung air, serangga, dan ikan. Namun pemangsa itu sudah semakin langka, sehingga campur tangan manusia memang diperlukan. c. Penggerakan PSN Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak mandi atau WC, drum seminggu sekali, menutup rapat-rapat TPA seperti gentong air atau tempayan, mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan serta mengganti air vas bunga, tempat minum burung seminggu sekali merupakan upaya untuk melakukan PSN DBD. Masyarakat diharapkan rutin melakukan kegiatan tersebut dan pihak pemerintah melakukan pemeriksaan jentik berkala, sehingga pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD dapat berjalan dengan baik. 44 d. Pencegahan gigitan nyamuk. Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan pemakaian kawat kasa, menggunakan kelambu, menggunakan obat nyamuk (bakar, oles), dan tidak melakukan kebiasaan beresiko seperti tidur siang, dan menggantung baju. Pemakaian kasa pada ventilasi yang dilakukan merupakan pencegahan secara fisik terhadap nyamuk yang bertujuan agar nyamuk tidak sampai masuk rumah ataupun kamar tidur. e. Pengendalian vektor. Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Sejak tahun 2004 telah diperkenalkan suatu metode komunikasi atau penyampaian informasi atau pesan yang berdampak pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN melalui pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Communication for Behavioral Impact (COMBI) (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010). Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian vektornya. Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu: 1. Manajemen lingkungan, 2. Pengendalian Biologis, 3. Pengendalian Kimiawi, 4. Partisipasi masyarakat, 5. Perlindungan Individu dan 6. Peraturan perundangan 3. Early Diagnosis dan Prompt Treatment Pengendalian penyakit menular akan berjalan efektif kalau penyakit menular yang bersangkutan memiliki metode deteksi dini untuk diagnostik. Menurut Kemenkes RI, 2010, Alat deteksi dini akan sangat efektif pula apabila diikuti dengan pengobatan (prompt treatment) secara dini. Gabungan keduanya yakni –early diagnostic dan 45 prompt treatment, merupakan pendekatan yang amat ampuh untuk mengendalikan penyakit menular. Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus (antigen) secara dini dengan metode antigen capture (NS1 atau non-structural protein 1) untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Deteksi virus bisa dilakukan sehari sebelum penderita menderita demam, hingga virus hilang pada hari ke sembilan. Setelah diketahui ada nya virus, penderita diberi antiviral yang efektif membunuh virus DBD (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010). Deteksi dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader dengan mencari kasus DBD secara pro aktif disekitar penderita pertama yang diketahui alamatnya, atau menggunakan petugas yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD disetiap RW, atau Kelurahan. Beberapa metode lain untuk melakukan pencegahan pada tahap Early Diagnosis dan Prompt Treatment antara lain sebagai berikut: a. Pelacakan penderita. Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis) yaitu kegiatan mendatangi rumah-rumah dari kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk mencari penderita lain dan memeriksa angka jentik dalam radius ±100 m dari rumah indeks. b. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain. Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan kasus termasuk merujuk ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terdekat . c. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium penting dan bermanfaat untuk mengetahui beberapa hal. Pertama, dapat lebih dini mengetahui benar ada infeksi virus dengue. Kedua, sudah seberapa parah penyakitnya berlangsung, apa sedang terancam syok, dan tindakan medis apa yang perlu segera dilakukan. Ketiga, untuk memonitor apakah penyakitnya sudah dalam proses menyembuh. Selain itu dengan melakukan pemeriksaan darah berkala, sekurang-kurangnya setiap 4-6 jam dapat diketahui pasien DBD masih dalam stadium yang ringan atau sudah stadium berat. Pemeriksaan juga dilakukan pada bagian hati penderita. Hati yang lunak menjadi tanda penderita demam berdarah mendekati fase kritis. Selain itu, pemeriksaan laboratorium akan dilakukan pada hari ketiga, kelima, dan selanjutnya untuk mengetahui keadaan penderita secara lebih pasti. Berikut ini beberapa pemeriksaan darah yang mungkin dilakukan pada penderita DBD: 46 - Pemeriksaan darah tepi untuk mengetahui jumlah leukosit. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengantisipasi terjadinya leukopenia. - Pemeriksaan limfosit atipikal (sel darah putih yang muncul pada infeksi virus). Jika terjadi peningatan, mengindikasikan dalam waktu kurang lebih 24 jam penderita akan bebas demam dan memasuki fase kritis. - Pemeriksaan trombositopenia dan trombosit. Jika terjadi penurunan jumlah keduanya, mengindikasikan penderita DBD memasuki fase kritis dan memerlukan perawatan ketat di rumah sakit . d. Pengobatan penderita demam berdarah dapat dilakukan dengan cara: - Pemberian cairan yang cukup untuk mengurangi rasa haus dan dehidrasi akibat dari demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Penderita diberi minum sebanyak 1, 52 liter dalam 24 jam. - Antipiretik, seperti golongan Acetaminofen (parasetamol) dan jangan diberikan golongan salisilat karena dapat menyebabkan bertambahnya perdarahan. - Surface cooling - Antikonvulsan. - Pada penderita kejang dapat diberikan diazepam (valium) dan fenobarbital (luminal) Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan penyakit demam dengue maupun demam dengue berdarah ini (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010). Riset masih dalam progress untuk mengembangkan vaksin dengue tetravalent yang efektif dan aman. Dalam keadaan tidak adanya vaksin dengue untuk kesehatan masyarakat pada saat sekarang, pencegahan dan pertahanan outbreak dengue akan menjadi pengendalian vektor jangka panjang yang efektif dengan partisipasi komunitas dan surveilans epidemiologi yang agresif. 4. Disability Limitation Pembatasan kecacatan yang dilakukan adalah untuk menghilangkan gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan suatu penyakit. Dampak dari penyakit DBD yang tidak segera diatasi, antara lain: - Paru-paru basah. Hal ini bisa terjadi karena cairan plasma merembes keluar dari pembuluh, ruang-ruang tubuh, seperti di antara selaput paru (pleura) juga terjadi 47 penumpukan. Pada anak-anak sering terjadi bendungan cairan pada selubung paruparunya (pleural effusion). - Komplikasi pada mata, otak, dan buah zakar. Pada mata dapat terjadi kelumpuhan saraf bola mata, sehingga mungkin nantinya akan terjadi kejulingan atau bisa juga terjadi peradangan pada tirai mata (iris) kalau bukan pada kornea yang berakhir dengan gangguan penglihatan. Peradangan pada otak bisa menyisakan kelumpuhan atau gangguan saraf lainnya. Umumnya penyakit DBD berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Oleh karena itu, sebagian besar penderita DBD tidak menunjukkan gejala sisa. Komplikasi pada penderita DBD misalnya perdarahan paru dan sepsis. Jika virus dengue menyerang otak, dan tergolong ganas serta daya tahan tubuh penderita rendah, kerusakan daerah otak cukup luas. Oleh karena itu, mungkin dapat meninggalkan gejala sisa. Namun, keadaan ini jarang terjadi. Selain itu, jika keadaan penderita bertambah parah atau akibat jumlah cairan yang masuk tidak memadai maka penderita akan memasuki fase syok. Perdarahan yang tak terkontrol dari berbgaai organ tubuh yang sulit dihentikan juga dapat terjadi sebagai akibat terjadinya gangguan pembekuan darah secara menyeluruh. Ketika sudah mengalami perdarahan menunjukkan bahwa kegawatan penyakitnya sudah masuk dalam derajat II yang merupakan satu tingkat di bawah fase DDS (Dengue Shock Syndrome). Fase DDS merupakan kondisi paling parah atau stadium akhir dari infeksi virus dengue ini. Jika seorang penderita DBD sudah masuk dalam fase ini, maka risiko kematian yang mengancamnya menjadi cukup besar. Bahkan, kalaupun penderita berhasil lolos dari fase ini, besar kemungkinan pula ia akan mengalami kecacatan akibat kegagalan salah satu atau beberapa fungsi organnya, mulai dari otak, ginjal, hingga hati. Pembatasan kecacatan dapat dilakukan dengan pengobatan dan perawatan. Obat-obatan yang diberikan kepada pasien DBD hanya bersifat meringankan keluhan dan gejalanya semata. Obat demam, obat mual, dan vitamin tak begitu besar peranannya untuk meredakan penyakitnya. Jauh lebih penting upaya pemberian cairan atau tranfusi darah, tranfusi sel trombosit, atau pemberian cairan plasma. Pada tubuh pasien DBD yang terjadi adalah darah mengalami kehilangan plasma. Plasma merembes keluar pembuluh darah. Pada tingkat kekentalan tertentu, sirkulasi terganggu. Infus cairan mencegah terjadinya kegagalan sirkulasi, sehingga syok yang timbul dapat dicegah . 48 5. Rehabilitation Setelah sembuh dari penyakit demam berdarah dengue, kadang-kadang orang menjadi cacat, untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak akan segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu oorang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau menerima mereka sebagai anggoota masyarakat yang normal. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga perlu pendidikan kesehatan pada masyarakat. Rehabilitasi pada penderita DBD yang mengalami kelumpuhan saraf mata yang menyebabkan kejulingan terdiri atas: 1. Rehabilitasi fisik, yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan fisik semaksimal-maksimalnya. Misalnya dengan donor mata agar saraf mata dapat berfungsi dengan normal kembali. 2. Rehabilitasi mental, yaitu agar bekas penderita dapat menyesuaikan diri dalam hubungan perorangan dan sosial secara memuaskan. Seringkali bersamaan dengan terjadinya cacat badaniah muncul pula kelainan-kelainan atau gangguan mental. Untuk hal ini bekas penderita perlu mendapatkan bimbingan kejiwaan sebelum kembali ke dalam masyarakat. 3. Rehabilitasi sosial vokasional, yaitu agar bekas penderita menempati suatu pekerjaan atau jabatan dalam masyarakat dengan kapasitas kerja yang semaksimalmaksimalnya sesuai dengan kemampuan dan ketidak mampuannya. Rehabilitasi aesthesis, perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa keindahan, walaupun kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak dapat dikembalikan misalnya dengan menggunakan mata palsu. 49 E. LEARNING ISSUE 1. PWS 1.1 Definisi Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terus menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA yang dimaksud meliput pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, dan balita. Kegiatan PWS KIA terdiri dari pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak/instansi terkait untuk tindak lanjut. 1.2 Tujuan 2. Tujuan umum : Terpantaunya cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus-menerus di setiap wilayah kerja. 3. Tujuan Khusus : a. Memantau pelayanan KIA secara Individu melalui Kohort b. Memantau kemajuan pelayanan KIA dan cakupan indikator KIA secara teratur (bulanan) dan terus menerus. c. Menilai kesenjangan pelayanan KIA terhadap standar pelayanan KIA. d. Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator KIA terhadap target yang ditetapkan. e. Menentukan sasaran individu dan wilayah prioritas yang akan ditangani secara intensif berdasarkan besarnya kesenjangan. f. Merencanakan tindak lanjut dengan menggunakan sumber daya yang tersedia dan yang potensial untuk digunakan. g. Meningkatkan peran aparat setempat dalam penggerakan sasaran dan mobilisasi sumber daya. h. Meningkatkan peran serta dan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan KIA. 50 1.3 Prinsip Pengelolaan Program KIA Pengelolaan program KIA bertujuan memantapkan dan meningkatkan jangkauan serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Pemantapan pelayanan KIA dewasa ini diutamakan pada kegiatan pokok sebagai berikut : 1. Peningkatan pelayanan antenatal sesuai standar bagi seluruh ibu hamil di semua fasilitas kesehatan. 2. Peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan kompeten diarahkan ke fasilitas kesehatan. 3. Peningkatan pelayanan bagi seluruh ibu nifas sesuai standar di semua fasilitas kesehatan. 4. Peningkatan pelayanan bagi seluruh neonatus sesuai standar di semua fasilitas kesehatan. 5. Peningkatan deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat. 6. Peningkatan penanganan komplikasi kebidanan dan neonatus secara adekuat dan pengamatan secara terus-menerus oleh tenaga kesehatan. 7. Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh bayi sesuai standar di semua fasilitas kesehatan. 8. Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh anak balita sesuai standar di semua fasilitas kesehatan. 9. Peningkatan pelayanan KB sesuai standar 1.4 Indikator Pemantauan 1. Akses Pelayanan Antenatal (cakupan K1) dalah cakupan ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan antenatal oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta kemampuan program dalam menggerakkan masyarakat. 2. Cakupan pelayanan ibu hamil (cakupan K4) Adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar, paling sedikit empat kali dengan distribusi waktu 1 kali pada trimester ke-1, 1 kali pada trimester ke-2 dan 2 kali pada trimester ke-3 disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 51 3. Cakupan Persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) Adalah cakupan ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan, di suatu wilayah kerja dalam kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam pertolongan persalinan sesuai standar. 4. Cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan (KF3) Adalah cakupan pelayanan kepada ibu pada masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca bersalin sesuai standar paling sedikit 3 kali dengan distribusi waktu 6 jam s/d hari ke-3 (KF1), hari ke-4 s/d hari ke-28 (KF2) dan hari ke-29 s/d hari ke-42 (KF3) setelah bersalin di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 5. Cakupan Pelayanan Neonatus Pertama (KN 1) Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar pada 6 - 48 jam setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat diketahui akses/jangkauan pelayanan kesehatan neonatal 6. Cakupan Pelayanan Kesehatan Neonatus 0-28 hari (KN Lengkap). Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar paling sedikit tiga kali dengan distribusi waktu 1 kali pada 6-48 jam, 1 kali pada hari ke 3 hari ke 7 dan 1 kali pada hari ke 8 hari, ke 28 setelah lahir disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat diketahui efektifitas dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal 7. Deteksi faktor risiko dan komplikasi oleh Masyarakat Adalah cakupan ibu hamil dengan faktor risiko atau komplikasi yang ditemukan oleh kader atau dukun bayi atau masyarakat serta dirujuk ke tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Masyarakat disini, bisa keluarga ataupun ibu hamil, bersalin, nifas itu sendiri. 8. Cakupan Penanganan Komplikasi Obstetri (PK) Adalah cakupan Ibu dengan komplikasi kebidanan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu yang ditangani secara definitif sesuai dengan standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan. Penanganan definitif adalah penanganan/pemberian tindakan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan setiap kasus komplikasi kebidanan. 52 9. Cakupan Penanganan Komplikasi Neonatus Adalah cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani secara definitif oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Penanganan definitif adalah pemberian tindakan akhir pada setiap kasus komplikasi neonatus yang pelaporannya dihitung 1 kali pada masa neonatal. Kasus komplikasi yang ditangani adalah seluruh kasus yang ditangani tanpa melihat hasilnya hidup atau mati. Indikator ini menunjukkan kemampuan sarana pelayanan kesehatan dalam menangani kasus kasus kegawatdaruratan neonatal, yang kemudian ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya, atau dapat dirujuk ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi. 10. Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi 29 hari 12 bulan (Kunjungan Bayi) Adalah cakupan bayi yang mendapatkan pelayanan paripurna minimal 4 kali yaitu 1 kali pada umur 29 hari 2 bulan, 1 kali pada umur 3-5 bulan, dan satu kali pada umur 6-8 bulan dan 1 kali pada umur 9-11 bulan sesuai standar di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat diketahui efektifitas, continuum of care dan kualitas pelayanan kesehatan bayi 11. Cakupan Pelayanan Anak Balita (12 59 bulan). Adalah cakupan anak balita (12 59 bulan) yang memperoleh pelayanan sesuai standar, meliputi pemantauan pertumbuhan minimal 8x setahun, pemantauan perkembangan minimal 2 x setahun, pemberian vitamin A 2 x setahun 12. Cakupan Pelayanan Kesehatan Anak Balita Sakit yang dilayani dengan MTBS Adalah cakupan anak balita (umur 12 59 bulan) yang berobat ke Puskesmas dan mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar (MTBS) di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. 13. Cakupan Peserta KB aktif (Contraceptive Prevalence Rate) Adalah cakupan dari peserta KB yang baru dan lama yang masih aktif menggunakan alat dan obat kontrasepsi (alokon) dibandingkan dengan jumlah pasangan usia subur di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Indikator ini menunjukkan jumlah peserta KB baru dan lama yang masih aktif memakai alokon terus-menerus hingga saat ini untuk menunda, menjarangkan kehamilan atau yang mengakhiri kesuburan. 53 1.5 Pengumpulan, Pencatatan dan Pengolahan Data Kia 1. Pengumpulan Data a. Jenis Data Data Sasaran: Jumlah seluruh ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, seluruh bayi, seluruh anak balita, seluruh PUS Data pelayanan : Jumlah K1, K4, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, ibu nifas yang dilayani 3 kali (KF 3) oleh tenaga kesehatan, neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan pada umur 6 48 jam, neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan lengkap (KN lengkap), ibu hamil, bersalin dan nifas dengan faktor risiko/komplikasi yang dideteksi oleh masyarakat, kasus komplikasi obstetri yang ditangani, neonatus dengan komplikasi yang ditangani, bayi 29 hari 12 bulan yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya 4 kali, anak balita (12 59 bulan) yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya 8 kali, anak balita sakit yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar, peserta KB aktf. b. Sumber Data Pendataan dan pencatatan sasaran di wilayah kerja berasal dari register kohort ibu, bayi, anak, peserta KB 2. Pencatatan a. Data Sasaran Data sasaran diperoleh bidan di desa/kelurahan dari para kader dan dukun bayi yang melakukan pendataan ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir, bayi dan anak balita dimana sasaran tersebut diberikan buku KIA dan bagi ibu hamil dipasang stiker P4K di depan rumahnya. Selain itu data sasaran juga dapat diperoleh dengan mengumpulkan data sasaran yang berasal dari lintas program dan fasilitas pelayanan lain yang ada di wilayah kerjanya. b. Data Pelayanan Bidan di desa/kelurahan mencatat semua detail pelayanan KIA di dalam kartu ibu, kohort Ibu, kartu bayi, kohort bayi, kohort anak, balita, kohort KB, dan buku KIA. 3. Pengolahan Data Setiap bulan Bidan di desa mengolah data yang tercantum dalam buku kohort dan dijadikan sebagai bahan laporan bulanan KIA. Bidan Koordinator di Puskesmas menerima laporan bulanan tersebut dari semua BdD dan mengolahnya menjadi laporan 54 dan informasi kemajuan pelayanan KIA bulanan yang disebut PWS KIA. Langkah pengolahan data adalah Pembersihan data: melihat kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir yang tersedia. Validasi: melihat kebenaran dan ketepatan data. Pengelompokan: sesuai dengan kebutuhan data yang harus dilaporkan. Hasil pengolahan data dapat disajikan dalam bentuk: Narasi: dipergunakan untuk menyusun laporan atau profil suatu wilayah kerja, misalnya dalam Laporan PWS KIA yang diserahkan kepada instansi terkait. Tabulasi: dipergunakan untuk menjelaskan narasi dalam bentuk lampiran. Grafik: dipergunakan untuk presentasi dalam membandingkan keadaan antar waktu, antar tempat dan pelayanan. Sebagian besar hasil PWS disajikan dalam bentuk grafik. Peta: dipergunakan untuk menggambarkan kejadian berdasarkan gambaran geografis. 4. Pembuatan Grafik PWS KIA PWS KIA disajikan dalam bentuk grafik dari tiap indikator yang dipakai, yang juga menggambarkan pencapaian tiap desa/kelurahan dalam tiap bulan. Langkah-langkah pokok dalam pembuatan grafik PWS KIA: a. Penyiapan Data Data yang diperlukan untuk membuat grafik dari tiap indikator diperoleh dari catatan kartu ibu, buku KIA, register kohort ibu, kartu bayi, kohort bayi serta kohort anak balita per desa/kelurahan, catatan posyandu, laporan dari perawat/bidan/dokter praktik swasta, rumah sakit bersalin dan sebagainya. Untuk grafik antar wilayah, data yang diperlukan adalah data cakupan per desa/kelurahan dalam kurun waktu yang sama Untuk grafik antar waktu, data yang perlu disiapkan adalah data cakupan per bulan Untuk grafik antar variabel diperlukan data variabel yang mempunyai korelasi misalnya : K1, K4 dan Pn b. Penggambaran Grafik Menentukan target rata rata per bulan untuk menggambarkan skala pada garis vertikal (sumbu Y). Hasil perhitungan pencapaian kumulatif cakupan per desa/kelurahan sampai dengan bulan ini dimasukkan ke dalam jalur % kumulatif secara berurutan sesuai 55 peringkat. Pencapaian tertinggi di sebelah kiri dan terendah di sebelah kanan, sedangkan pencapaian untuk puskesmas dimasukkan ke dalam kolom terakhir Nama desa/kelurahan bersangkutan dituliskan pada lajur desa/kelurahan (sumbu X), sesuai dengan cakupan kumulatif masing-masing desa/kelurahan yang dituliskan pada butir b diatas. Hasil perhitungan pencapaian pada bulan ini dan bulan lalu untuk tiap desa/kelurahan dimasukkan ke dalam lajur masing-masing. Gambar anak panah dipergunakan untuk mengisi lajur tren. Bila pencapaian cakupan bulan ini lebih besar dari bulan lalu, maka digambar anak panah yang menunjuk ke atas. Sebaliknya, untuk cakupan bulan ini yang lebih rendah dari cakupan bulan lalu, digambarkan anak panah yang menunjukkan kebawah, sedangkan untuk cakupan yang tetap / sama gambarkan dengan tanda (-). 1.6 Analisis, Penelusuran Data Kohort dan Rencana Tindak Lanjut a. Analisis a. Analisis Sederhana Analisis ini membandingkan cakupan hasil kegiatan antar wilayah terhadap target dan kecenderungan dari waktu ke waktu. Analisis sederhana ini bermanfaat untuk mengetahui desa/kelurahan mana yang paling memerlukan perhatian dan tindak lanjut yang harus dilakukan Dari matriks diatas dapat disimpulkan adanya 4 macam status cakupan desa/kelurahan, yaitu : Status baik Adalah desa/kelurahan dengan cakupan diatas target yang ditetapkan untuk bulan ini, dan mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang meningkat atau tetap jika dibandingkan dengan cakupan bulan lalu. 56 Status kurang Adalah desa/kelurahan dengan cakupan diatas target bulan ini, namun mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang menurun jika dibandingkan dengan cakupan bulan lalu. Status cukup Adalah desa/kelurahan dengan cakupan dibawah target bulan ini, namun mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang meningkat jika dibandingkan dengan cakupan bulan lalu. Status jelek Adalah desa/kelurahan dengan cakupan dibawah target bulan ini, dan mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang menurun dibandingkan dengan bulan lalu. b. Analisis Lanjut Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan variabel tertentu dengan variabel terkait lainnya untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel yang dimaksud. 3. Penelusuran Data Kohort Mengidentifikasi kasus/masalah secara individu selama masa hamil, bersalin, masa nifas, neonatus, bayi dan balita Membangun perencanaan berdasarkan masalah yang spesifik 4. Rencana Tindak Lanjut Bagi kepentingan program, analisis PWS KIA ditujukan untuk menghasilkan suatu keputusan tindak lanjut teknis dan non-teknis bagi puskesmas. Keputusan tersebut harus dijabarkan dalam bentuk rencana operasional jangka pendek untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi sesuai dengan spesifikasi daerah 57 Rencana operasional tersebut perlu dibicarakan dengan semua pihak yang terkait : Bagi desa/kelurahan yang berstatus baik atau cukup, pola penyelenggaraan pelayanan KIA perlu dilanjutkan, dengan beberapa penyesuaian tertentu sesuai kebutuhan antara lain perbaikan mutu pelayanan. Bagi desa/kelurahan berstatus kurang dan terutama yang berstatus jelek, perlu prioritas intervensi sesuai dengan permasalahan. Intervensi yang bersifat teknis (termasuk segi penyediaan logistik) harus dibicarakan dalam pertemuan minilokakarya puskesmas dan/atau rapat dinas kesehatan kabupaten/kota (untuk mendapat bantuan dari kabupaten/kota). Intervensi yang bersifat non-teknis (untuk motivasi, penggerakan sasaran, dan mobilisasi sumber daya di masyarakat) harus dibicarakan pada rapat koordinasi kecamatan dan/atau rapat dinas kesehatan kabupaten/kota (untuk mendapat bantuan dari kabupaten/kota). 58 Alur pengolahan data, analisis dan pemanfaatan data PWS KIA di tingkat Puskesmas Umpan Balik : Umpan Balik dari Puskesmas : 1 bulan sekali Umpan Balik dari Kabupaten/Kota : 1 bulan sekali Umpan Balik dari Propinsi : 3 - 6 bulan sekali Umpan Balik dari Pusat : 6 - 12 bulan sekali 2. PHBS 1. Definisi PHBS merupakan kependekan dari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan karena kesadaran pribadi sehingga keluarga dan seluruh anggotanya mampu menolong diri sendiri pada bidang kesehatan serta memiliki peran aktif dalam aktivitas masyarakat. Perilaku hidup bersih sehat pada dasarnya merupakan sebuah upaya untuk menularkan pengalaman mengenai pola hidup sehat melalui individu, kelompok ataupun masyarakat luas dengan jalur–jalur komunikasi sebagai media berbagi informasi. Ada berbagai informasi yang dapat dibagikan seperti materi edukasi guna menambah pengetahuan serta meningkatkan sikap dan perilaku terkait cara hidup yang bersih dan sehat. 59 2. Tujuan PHBS Tujuan utama dari gerakan PHBS adalah meningkatkan kualitas kesehatan melalui proses penyadartahuan yang menjadi awal dari kontribusi individu–individu dalam menjalani perilaku kehidupan sehari – hari yang bersih dan sehat. 3. Manfaat PHBS Manfaat PHBS yang paling utama adalah terciptanya masyarakat yang sadar kesehatan dan memiliki bekal pengetahuan dan kesadaran untuk menjalani perilaku hidup yang menjaga kebersihan dan memenuhi standar kesehatan. 4. Hakikat Perilaku Perilaku individu berkaitan dengan faktor-faktor pengetahuan dan sikap individu. Perilaku juga menyangkut dimensi kultural berupa system nilai dan norma. Sistem nilai adalah acuan tentang hal-hal yang dianggap baik dan hal-hal yang dianggap buruk. Sedangkan norma adalah aturan tertulis yang disebut norma hukum. Selain itu, perilaku juga berkaitan dengan dimensi ekonomi dan hal-hal lain yang merupakan pendukung perilaku, yang disebut dengan faktor-faktor predisposisi (predisposing factors). 5. Tatanan PHBS PHBS mencakup semua perilaku yang harus dipraktikkan di bidang pencegahan dan penanggulangan penyakit, penyehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, gizi, farmasi dan pemeliharaan kesehatan. Perilaku-perilaku tersebut harus dipraktikkan dimanapun seseorang berada baik dirumah tangga, di institusi pendidikan, di tempat keja, di tempat umum dan di fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dijumpai. Tatanan PHBS melibatkan beberapa elemen yang merupakan bagian dari tempat beraktivitas dalam kehidupan sehari–hari. Berikut ini 5 tatanan PBHS yang dapat menjadi simpul–simpul untuk memulai proses penyadartahuan tentang perilaku hidup bersih sehat: PHBS di Rumah tangga PHBS di Institusi Pendidikan PHBS di Tempat kerja PHBS di Sarana kesehatan PHBS di Tempat umum 60 5.1. Tatanan PHBS di Rumah Tangga Salah satu tatanan PHBS yang utama adalah PHBS rumah tangga yang bertujuan memberdayakan anggota sebuah rumah tangga untuk tahu, mau dan mampu menjalankan perilaku kehidupan yang bersih dan sehat serta memiliki peran yang aktif pada gerakan di tingkat masyarakat. Tujuan utama dari tatanan PHBS di tingkat rumah tangga adalah tercapainya rumah tangga yang sehat. Terdapat beberapa indikator PHBS pada tingkatan rumah tangga yang dapat dijadikan acuan untuk mengenali keberhasilan dari praktek perilaku hidup bersih dan sehat pada tingkatan rumah tangga. Berikut ini 10 indikator PHBS pada tingkatan rumah tangga : 1. Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan. Persalinan yang mendapat pertolongan dari pihak tenaga kesehatan baik itu dokter, bidan ataupun paramedis memiliki standar dalam penggunaan peralatan yang bersih, steril dan juga aman. Langkah tersebut dapat mencegah infeksi dan bahaya lain yang beresiko bagi keselamatan ibu dan bayi yang dilahirkan. 2. Pemberian ASI eksklusif Kesadaran mengenai pentingnya ASI bagi anak di usia 0 hingga 6 bulan menjadi bagian penting dari indikator keberhasilan praktek perilaku hidup bersih dan sehat pada tingkat rumah tangga. 3. Menimbang bayi dan balita secara berkala Praktek tersebut dapat memudahkan pemantauan pertumbuhan bayi. Penimbangan dapat dilakukan di Posyandu sejak bayi berusia 1 bulan hingga 5 tahun. Posyandu dapat menjadi tempat memantau pertumbuhan anak dan menyediakan kelengkapan imunisasi. Penimbangan secara teratur juga dapat memudahkan deteksi dini kasus gizi buruk. 4. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih Praktek ini merupakan langkah yang berkaitan dengan kebersihan diri sekaligus langkah pencegahan penularan berbagai jenis penyakit berkat tangan yang bersih dan bebas dari kuman. 5. Menggunakan air bersih Air bersih merupakan kebutuhan dasar untuk menjalani hidup sehat. 61 6. Menggunakan jamban sehat Jamban merupakan infrastruktur sanitasi penting yang berkaitan dengan unit pembuangan kotoran dan air untuk keperluan pembersihan. 7. Memberantas jentik nyamuk Nyamuk merupakan vektor berbagai jenis penyakit dan memutus siklus hidup makhluk tersebut menjadi bagian penting dalam pencegahan berbagai penyakit. 8. Konsumsi buah dan sayur Buah dan sayur dapat memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral serta serat yang dibutuhkan tubuh untuk tumbuh optimal dan sehat. 9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari Aktivitas fisik dapat berupa kegiatan olahraga ataupun aktivitas bekerja yang melibatkan gerakan dan keluarnya tenaga. 10. Tidak merokok di dalam rumah Perokok aktif dapat menjadi sumber berbagai penyakit dan masalah kesehatan bagi perokok pasif. Berhenti merokok atau setidaknya tidak merokok di dalam rumah dapat menghindarkan keluarga dari berbagai masalah kesehatan. 5.2. Tatanan PHBS di Institusi Pendidikan Di institusi pendidikan (kampus, sekolah, pesantren dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan institusi pendidikan ber-PHBS yang mencakup antara lain mencuci tangan menggunakan sabun megonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengonsumsi Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain. 5.3. Tatanan PHBS di Tempat Kerja Di tempat kerja (kantor, pabrik dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan tempat kerja ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, mengonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat, membuang sampah ditempat sampah, tidak merokok, tidak mengonsumsi NAPZA, tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain. 62 5.4. Tatanan PHBS di Tempat Umum Di tempat umum (tempat ibadah, pasar, pertokoan, terminal, dermaga dan lainlain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan tempat umum ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, membuang sampah ditempat sampah, tidak merokok, tidak mengonsumsi NAPZA, tidak meludah disembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain. 5.5. Tatanan PHBS di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Di fasilitas pelayanan kesehatan (klinik, Puskesmas, rumah sakit dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan fasilitas pelayanan kesehatan ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengonsumsi NAPZA, tidak meludah di semabrang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain. 6. Sasaran PHBS Karena di masing-masing tatanan dijumpai masyarakat (yaitu masyarakan tatanan yang bersangkutan), maka di masing-masing tatanan juga terdapat berbagai peran. Dengan demikian, di masing-masing tatanan dapat dijumati tiga kelompok besar sasaran pembinaan PHBS, yaitu sasaran primer, sasaran sekunder, dan sasaran tersier. Sasaran primer berupa sasaran langsung, yaitu individu anggota masyarakat, kelompok-kelompok dalam masyarakat dan masyarakan secara keseluruhan, yang diharapkan untuk mempraktikkan PHBS. Sasaran sekunder adalah mereka yang memiliki pengaruh terhadap sasaran primer dalam pengambilan keputusannya untuk mempraktikkan PHBS. Termasuk disini adalah para pemuka masyarakat atau tokoh masyarakat yang umumnya menjadi panutan sasaran primer. Terdapat berbagai jenis tokoh masyarakat seperti misalnya tokoh atau pemuka adat, pemuka agama, tokoh politik, tokoh pertanian, tokoh pendidikan, tokoh bisnis, tokoh pemuda, remaja, wanita, tokoh kesehatan dan lainlain. Pemuka atau tokoh adalah seseorang yang memiliki kelebihan di antara orang lain dalam suatu kelompok atau masyarakat. Sasaran tersier adalah mereka yang berada dalam posisi pengambilan keputusan formal, sehingga dapat memberikan dukungan, baik berupa kebijakan/pengaturan dan atau sumber daya dalam proses pembinaan PHBS terhadap sasaran primer. Mereka 63 juga sering disebut sebagai tokoh masyarakat formal, yakni orang yang memiliki posisi menentukan dalam struktur formal di masyarakatnya (penentu kebijakan) 7. Strategi Pembinaan PHBS Menyadari rumitnya hakikat dari perilaku, maka perlu dilaksanakan strategi Promosi Kesehatan untuk pembinaan PHBS yang bersifat menyeluruh. Mengacu pada Piagam Ottawa (Ottawa Charter) yang merupakan hasil dari Konferensi Internasional Promosi Kesehatan Pertama di Ottawa (Kanada), tiga strategi pokok yang harus dilaksanakan dalam promosi kesehatan adalah (1) advokasi, (2) bina suasana, dan (3) pemberdayaan. Di Indonesia, strategi pokok tersebut kemudian diformulasikan kembali ke dalam kalimat (1) Gerakan pemberdayaan (G), yang didukung oleh (2) bina suasana (B), dan (3) advokasi (A), serta dilandasi oleh semangat (4) kemitraan. Dengan demikian, pemberdayaan adalah strategi pokok dalam rangka mengembangkan kemampuan individu dan memperkuat gerakan masyarakat. Bina suasana adalah strategi pokok dalam rangka menciptakan lingkungan (khususnya nonfisik) yang mendukung. Sedangkan advokasi adalah strategi pokok dalam rangka mengembangkan kebijakan berwawasan kesehatan, menciptakan lingkungan fisik yang mendukung dan menata kembali arah pelayanan kesehatan. Kesemuanya itu dilaksanakan melalui pengembangan kemitraan. Dengan melaksanakan strategi pokok tersebut secara benar dan terkoordinasi diharapkan akan tercipta PHBS yang berupa kemampuan masyarakat berperilaku mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan. 64 1. Pemberdayaan Dalam upaya promosi kesehatan, pemberdayaan merupakan bagian yang sangat penting, dan bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak. Pemberdayaan merupakan proses memosisikan masyarakat agar memiliki peran yang besar (kedaulatan) dalam pengambilan keputusan dan penetapan tindakan yang berkaitan dengan kesehatannya. Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi kepada individu, keluarga atau kelompok (sasaran) secara terusmenerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek atittude), dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Oleh sebab itu, sesuai dengan sasarannya dapat dibedakan adanya (a) pemberdayaan individu, (b) pemberdayaan keluarga, dan (c) pemberdayaan kelompok/ masyarakat. Dalam mengupayakan agar sasaran tahu dan sadar, kuncinya terletak pada keberhasilan membuat sasaran tersebut memahami bahwa sesuatu (misalnya diare) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang sasaran yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan masalah, maka sasaran tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apa pun lebih lanjut. Saat sasaran telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan. Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan menyajikan fakta-fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para tokoh masyarakat sebagai panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama yang dia sendiri dan keluarganya tak pernah terserang. Diare karena perilaku yang dipraktikkannya. Bilamana seorang individu atau sebuah keluarga sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung. Tetapi yang seringkali dipraktekkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses pemberdayaan kelompok/ masyarakat melalui pengorganisasian masyarakat (community organization) atau pembangunan masyarakat (community development). Untuk itu, sejumlah individu dan keluarga 65 yang telah mau, dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerjasama memecahkan kesulitan yang dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih juga memerlukan bantuan dari luar (misalnya dari pemerintah atau dari dermawan). Di sinilah letak pentingya sinkronisasi promosi kesehatan dengan program kesehatan yang didukungnya dan program-program sektor lain yang berkaitan. Hal-hal yang akan diberikan kepada masyarakat oleh program kesehatan dan program lain sebagai bantuan, hendaknya disampaikan pada fase ini, bukan sebelumnya. Bantuan itu hendaknya juga sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya, baik di antara mereka maupun antara mereka dengan pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan berhasil guna. Setelah itu, sesuai ciri-ciri sasaran, situasi dan kondisi, lalu ditetapkan, diadakan dan digunakan metode dan media komunikasi yang tepat. 2. Bina Suasana Bina Suasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial dimana pun ia berada (keluarga di rumah, organisasi siswa/mahasiswa, serikat pekerja/karyawan, orang-orang yang menjadi panutan/idola, kelompok arisan, majelis agama dan bahkan masyarakat umum) menyetujui atau mendukung perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk memperkuat proses pemberdayaan, khususnya dalam upaya meningkatkan para individu dari fase tahu ke fase mau, perlu dilakukan bina suasana. Terdapat tiga kategori proses bina suasana, yaitu (a) bina suasana individu, (b) bina suasana kelompok, dan (c) bina suasana publik. a. Bina Suasana Individu Bina suasana individu dilakukan oleh individu tokoh masyarakat. Dalam kategori ini, tokoh-tokoh masyarakat menjadi individu panutan dalam hal perilaku yang sedang diperkenalkan yaitu dengan mempraktikkan perilaku 66 yang sedang diperkenalkan tersebut (misalnya seorang kepala sekolah atau pemuka agama yang tidak merokok) b. Bina Suasana Kelompok Bina suasana kelompok dilakukan oleh kelompok dalam masyarakat, seperti pengurus Rukum Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga (RW), majelis pengajuan, perkumpulan seni, organisasi profesi, PKK, organisasi siswa/mahasiswa, pramuka, dll. Dalam kategori ini kelompok tersebut menjadi kelompok yang peduli terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan dan menyetujui atau mendukungnya. Bentuk dukungan dapat berupa kelompok tersebut bersedia juga mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak terkait dan atau melakukan kontrol social terhadap anggotanya. c. Bina Suasana Publik Bina suasana publik dilakukan oleh masyarakat umum melalui pengembangan kemitraan dan pemanfaatan media komunikasi, seperti radio, televisi, koran, dan lain-lain sehingga dapat tercipta pendapat umum. Dengan demikian, maka media massa tersebut lalu menjadi mitra dalam rangka menyebarluaskan informasi tentang perilaku yang sedang diperkenalkan dan menciptakan pendapat umum atau opini publik yang positif tentang perilaku tersebut. Suasana atau pendapat umum yang positif ini akan dirasakan pula sebagai pendukung atau penekan (social pressure) oleh individu anggota masyarakat sehingga akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang sedang diperkenalkan. 3. Advokasi Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Pihak-pihak yanŐ terkait ini berupa tokoh-tokoh masyarakat (formal dan informal) yang umumnya berperan sebagai narasumber (opinion leader), atau penentu kebijakan (norma) atau penyandang dana (termasuk swasta dan dunia usaha). Juga berupa kelompok-kelompok dalam masyarakat dan media massa yang dapat berperan dalam menciptakan suasana kondusif, opini publik dan doronŐan (pressure) bagi terciptanya PHBS masyarakat. Advokasi merupakan upaya untuk menyukseskan bina suasana dan pemberdayaan atau 67 proses pembinaan PHBS secara umum. Perlu disadari bahwa komitmen dan dukungan yang diupayakan melalui advokasi jarang diperoleh dalam waktu singkat. Pada diri sasaran advokasi umumnya berlangsung tahapan-tahapan, yaitu (1) mengetahui atau menyadari adanya masalah, (2) tertarik untuk ikut mengatasi masalah, (3) peduli terhadap pemecahan masalah dengan mempertimbangkan berbagai alternatif pemecahan masalah, (4) sepakat untuk memecahkan masalah denŐan memilih salah satu alternatif pemecahan masalah, dan (5) memutuskan tindak lanjut kesepakatan. Dengan demikian, maka advokasi harus dilakukan secara terencana, cermat dan tepat. Bahan-bahan advokasi harus disiapkan dengan matang, yaitu: a. Sesuai minat dan perhatian sasaran advokasi. b. Memuat rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah. c. Memuat peran si sasaran dalam pemecahan masalah. d. Berdasarkan kepada fakta atau evidence-based. e. Dikemas secara menarik dan jelas. f. Sesuai dengan waktu yang tersedia. Sebagaimana pemberdayaan dan bina suasana, advokasi juga akan lebih efektif bila dilaksanakan dengan prinsip kemitraan, yaitu dengan membentuk jejaring advokasi atau forum kerjasama, dengan melibatkan kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga (RW), majelis pengajian, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi wanita (misalnya PKK), organisasi siswa/ mahasiswa, Pramuka, organisasi pemuda, serikat pekerja dan lain-lain. Dengan kerjasama, melalui pembagian tugas dan saling-dukung, maka sasaran advokasi akan dapat diarahkan untuk sampai kepada tujuan yang diharapkan. Sebagai konsekuensinya, metode dan media advokasi pun harus ditentukan secara cermat, sehingga kerjasama dapat berjalan baik. 4. Kemitraan Kemitraan harus digalang baik dalam rangka pemberdayaan maupun bina suasana dan advokasi guna membangun kerjasama dan mendapatkan dukungan. Dengan demikian kemitraan perlu digalang antara individu, keluarga, pejabat atau instansi pemerintah yang terkait dengan urusan 68 kesehatan (lintas sector), pemuka atau tokoh masyarakat, media massa dan lain-lain. Kemitraan yang digalang harus berlandaskan pada tiga prinsip dasar, yaitu (a)kesetaraan, (b) keterbukaan dan (c) saling menguntungkan. a. Kesetaraan Kesetaraan berarti tidak diciptakan hubungan yang bersifat hirarkis. Semua harus diawali dengan kesediaan menerima bahwa masing-masing berada dalam kedudukan yang sama (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah). Keadaan ini dapat dicapai apabila semua pihak bersedia mengembangkan hubungan kekeluargaan, yaitu hubungan yang dilandasi kebersamaan atau kepentingan bersama. Bila kemudian dibentuk struktur hirarkis (misalnya sebuah tim), adalah karena kesepakatan. b. Keterbukaan Di dalam setiap langkah diperlukan adanya kejujuran dari masing-masing pihak. Setiap usul/saran/komentar harus disertai dengan alasan yang jujur, sesuai fakta, tidak menutup-tutupi sesuatu. Pada awalnya hal ini mungkin akan menimbulkan diskusi yang seru layaknya “pertengkaran”. Akan tetapi kesadaran akan kekeluargaan dan kebersamaan, akan mendorong timbulnya solusi yang adil dari “pertengkaran” tersebut. c. Saling menguntungkan Solusi yang adil ini terutama dikaitkan dengan adanya keuntunan yang didapat oleh semua pihak yang terlibat. Dengan demikian PHBS dan kegiatan-kegiatan kesehatan harus dapat dirumuskan keuntungankeuntungannya (baik langsung maupun tidak langsung) bagi semua pihak yang terkait. Termasuk keuntungan ekonomis, bila mungkin. 3. SMD Pengertian Survei Mawas Diri (SMD) Survei Mawas Diri adalah kegiatan pengenalan, pengumpulan dan pengkajian masyarakat kesehatan yang dilakukan oleh kader dan tokok masyarakat setempat dibawah bimbingan kepala Desa/Kelurahan dan petugas kesehatan (petugas Puskesmas, Bidan di Desa). 69 Survei Mawas Diri adalah pengenalan, pengumpulan, pengkajian masalah kesehatan pekerja untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat pekerja mengenai kesehatan kerja. Tujuan Survei Mawas Diri (SMD) a) Dilaksanakannya pengumpulan data, masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku. b) Mengkaji dan menganalisis masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku yang paling menonjol di masyarakat. c) Mengiventarisasi sumber daya masyarakat yang dapat mendukung upaya mengatasi masalah kesehatan. d) Diperolehnya dukungan kepala desa/kelurahan dan pemuka masyarakat dalam pelaksanaan penggerakan dan pemberdayaan masyarakat di Desa Siaga. Pentingnya pelaksanaan Survei Mawas Diri (SMD) a) Agar masyarakat menjadi sadar akan adanya masalah, karena mereka sendiri yang melakukan pengumpulan fakta & data, b) Untuk mengetahui besarnya masalah yang ada dilingkungannya sendiri, c) Untuk menggali sumber daya yang ada / dimiliki desa d) Hasil SMD dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun pemecahan masalah yang dihadapi Sasaran Survei Mawas Diri (SMD) Sasaran SMD adalah semua rumah yang ada di desa/kelurahan atau menetapkan sampel rumah dilokasi tertentu (± 450 rumah) yang dapat menggambarkan kondisi masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku pada umumnya di desa/kelurahan. Pelaksana Survei Mawas Diri (SMD) a) Kader yang telah dilatih tentang apa SMD, cara pengumpulan data (menyusun daftar pertanyaan sederhana), cara pengamatan, cara pengolahan/analisa data sederhana & cara penyajian b) Tokoh masyarakat di desa Cara Pelaksanaan Survei Mawas Diri (SMD) a) Petugas Puskesmas, Bidan di desa dan kader/kelompok warga yang ditugaskan untuk melaksanakan SMD dengan kegiatan meliputi : a. Pengenalan instrumen (daftar pertanyaan) yang akan dipergunakan dalam pengumpulan data dan informasi masalah kesehatan. b. Penentuan sasaran baik jumlah KK ataupun lokasinya 70 c. Penentuan cara memperoleh informasi masalah kesehatan dengan cara wawancara yang menggunakan daftar pertanyaan. b) Pelaksana SMD Kader, tokoh masyarakat dan kelompok warga yang telah ditunjuk melaksanakan SMD dengan bimbingan petugas Puskesmas dan bidan di desa mengumpulkan informasi masalah kesehatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. c) Pengolahan Data Kader, tokoh masyarakat dan kelompok warga yang telah ditunjuk mengolah data SMD dengan bimbingan petugas Puskesmas dan bidan di desa, sehingga dapat diperoleh perumusan masalah kesehatan untuk selanjutnya merumuskan prioritas masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku di desa/kelurahan yang bersangkutan. Cara melaksanakan Survei Mawas Diri (SMD) Pengamatan langsung dengan cara : a) Observasi partisipatif : Melakukan koordinasi dengan pengurus RW siaga tentang rencana survei mawas diri terkait dengan tujuan, metode dan strategi pelaksanaannya. b) Berjalan bersama masyarakat mengkaji lapangan ( Transection walk) : c) Wawancara dengan kunjungan rumah , Bersama kader dasar wisma melakukan pendataan dari rumah ke rumah dengan metode tanya jawab, pengisian formulir, observasi dan pemeriksaan fisik rumah dan anggotanya. d) Wawancara mendalam ( DKT/FGD) secara kelompok Langkah – langkah Survei Mawas Diri (SMD) a) Persiapan Menyusun daftar pertanyaan : a. Berdasarkan prioritas masalah yang ditemui di Puskesmas & Desa (data sekunder) b. Dipergunakan untuk memandu pengumpulan data c. Pertanyaan harus jelas, singkat, padat & tidak bersifat mempengaruhi responden d. Kombinasi pertanyaan terbuka, tertutup dan menjaring e. Menampung juga harapan masyarakat Menyusun lembar observasi (pengamatan) Untuk mengobservasi rumah, halaman rumah, lingkungan sekitarnya. Menentukan Kriteria responden, termasuk cakupan wilayah & jumlah KK 71 b) c) d) Pelaksanaan: Pelaksanaan interview/wawancara terhadap Responden Pengamatan terhadap rumah-tangga & lingkungan Tindak lanjut Meninjau kembali pelaksanaan SMD, Merangkum, mengolah & menganalisis data yang telah dikumpulkan Menyusun laporan SMD, sebagai bahan untuk MMD Pengolahan data Setelah data diolah, sebaiknya disepakati: a. Masalah yang dirasakan oleh masyarakat. b. Prioritas masalah c. Kesediaan masyarakat untuk ikut berperan serta aktif dalam pemecahan masalah Cara penyajian data Survei Mawas Diri (SMD) Ada 3 cara penyajian data yaitu : a) Secara Tekstular (mempergunakan kalimat) Adalah Penyajian data hasil penelitian menggunakan kalimat. b) Secara Tabular (menggunakan tabel) Merupakan Penyajian data dalam bentuk kumpulan angka yang disusun menurut kategori-kategori tertentu, dalam suatu daftar. Dalam tabel, disusun dengan cara alfabetis, geografis, menurut besarnya angka, historis, atau menurut kelas-kelas yang lazim. c) Secara Grafikal ( menggunakan grafik) Adalah gambar – gambar yang menunjukkan secara visual data berupa angka atau simbol – simbol yang biasanya dibuat berdasarkan dari data tabel yang telah dibuat. 72 4. MMD Musyawarah masyarakat desa (MMD) merupakan pertemuan perwakilan warga desa/kelurahan, Tim Desa dan Kelurahan Siaga Aktif dan Pokjanal Kecamatan membahas hasil SMD, prioritas masalah yang akan diatasi, menggali potensi sumber daya yang dimiliki dan penyusunan rencana intervensi. Frekuensi pertemuan MMD minimal dilakukan 3 kali per tahun. Tujuan dari MMD ini adalah sebagai berikut: a. Masyarakat mengenal masalah kesehatan di wilayahnya. b. Masyarakat sepakat untuk menanggulangi masalah kesehatan. c. Masyarakat menyusun rencana rencana kerja untuk menanggulangi masalah kesehatan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan MMD adalah sebagai berikut : a. Musyawarah Masyarakat desa harus dihadiri oleh pemuka masyarakat desa, petugas puskesmas, dan sektor terkait di kecamatan, (seksi pemerintahan dan pembangunan, BKKBN, pertanian, agama, dan lain-lain). b. Musyawarah Masyarakat desa dilaksanakan di balai desa atau tempat pertemuan lainnya yang ada di desa. c. Musyawarah Masyarakat desa dilaksanakan segera setelah SMD dilakukan. Cara melakukan Musyawarah Masyarakat desa adalah sebagai berikut : a. Pembukaan dengan menguraikan maksud dan tujuan MMD dipimpin oleh kepala Desa. b. Pengenalan masalah kesehatan oleh masyarakat sendiri melalui curah pendapat dengan mempergunakan alat peraga, poster, dan lain-lain dengan dipimpin oleh ibu desa. c. Penyajian hasil SMD oleh kelompok SMD d. Perumusan dan penentuan prioritas masalah kesehatan atas dasar pengenalan masalah dan hasil SMD, dilanjutkan dengan rekomendasi teknis dari petugas kesehatan di desa atau perawat komunitas. e. Penyusunan rencana penanggulangan masalah kesehatan dengan dipimpin oleh kepala desa. f. Penutup. 73 5. Surveilans A. Latar Belakang. Dalam rangka mepercepat pemerataan hasil pembangunan serta memperkuat integritas wilayah dan persatuan nasional maka, pada tahun 2001 telah diberlakukan secara penuh pelaksanaan Undang Undang RI No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang Undang RI No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerapan undang-undang tersebut memberikan otonomi luas pada Kabupaten/Kota dan otonomi terbatas pada Propinsi, sehingga pemerintah daerah akan semakin leluasa menentukan prioritas pembangunan daerahnya, oleh karena itu daerah harus memiliki kemampuan memilih prioritas penanggulangan masalah kesehatan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerah, serta mencari sumber-sumber dana yang dapat digunakan mendukung penyelesaian masalah. Sebelum berlakunya undang-undang tersebut diatas telah diselenggarakan kegiatan surveilans dalam rangka mendukung penyediaan informasi epidemiologi untuk pengambilan keputusan yang meliputi Sistem Surveilans Terpadu (SST), Surveilans Sentinel Puskesmas, Surveilans Acute Flaccid Paralysis, Surveilans Tetanus Neonatorum, Surveilans Campak, Surveilans Infeksi Nosokomial, Surveilans HIV/AID, Surveilans Dampak Krisis, Surveilans Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit dan Bencana, Surveilans Penyakit Tidak Menular serta Surveilans Kesehatan Lingkungan untuk mendukung penyelenggaraan program pencegahan dan pemberantasan penyakit, Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) dan penelitian. Pada Peraturan Pemerintah RI. No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, BAB II Pasal 2 ayat 3.10.j menyatakan bahwa salah satu kewenangan Pemerintah di Bidang Kesehatan adalah surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah penyakit menular dan kejadian luar biasa, sementara pada BAB II Pasal 3 ayat 5.9.d menyatakan bahwa salah satu kewenangan Propinsi di Bidang Kesehatan adalah surveilans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan kejadian luar biasa. Oleh karena itu, untuk mewujudkan visi Indonesia sehat dan tercapainya tujuan nasional pembangunan kesehatan serta terwujudnya tujuan pembangunan kesehatan daerah yang spesifik dan lokal yang memerlukan penerapan konsep pengambilan 74 keputusan berdasarkan fakta, maka diselenggarakan sistem surveilans epidemiologi kesehatan yang handal, sehingga para manajer kesehatan dapat mengambil keputusan program yang berhasil guna (efektif) serta berdaya guna (efisien) sesuai dengan masalah yang dihadapi. B. Pengertian Selama ini pengertian konsep surveilans epidemiologi sering dipahami hanya sebagai kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan KLB, pengertian seperti itu menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasi epidemiologi sebagi bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilans epidemeiologi. Menurut WHO, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu definisi surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data. Dalam sistem ini yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalahmasalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Sistem surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat C. Ruang Lingkup Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan. Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu secara operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan sendiri, diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan kerjasama yang harmonis antar sektor dan antar program, sehingga perlu dikembangkan subsistem survailans epidemiologi kesehatan yang terdiri dari Surveilans Epidemiologi Penyakit 75 Menular, Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan Dan Perilaku, Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan, dan Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra 1. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular. 2. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak menular. 3. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor risiko untuk mendukung program penyehatan lingkungnan. 4. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor risiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu. 5. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor risiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra. II. VISI, MISI, TUJUAN DA N STRATEGI A. VISI : Manajemen kesehatan berbasis fakta yang cepat, tepat, dan akurat. B. MISI 1. Memperkuat sistem surveilans disetiap unit pelaksana program kesehatan. 2. Meningkatkan kemampuan analisis dan rekomendasi epidemiologi yang berkualitas dan bermanfaat. 3. Menggalang dan meningkatkan kerjasama dan kemitraan unit surveilans dalam pertukaran serta penyebaran informasi. 4. Memperkuat sumber daya manusia di bidang epidemiologi untuk manajer dan fungsional C. TUJUAN Tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa 76 yang cepat dan tepat secara nasional, propinsi dan kabupaten/kota menuju Indonesia sehat 2010. D. STRATEGI 1. Advokasi dan dukungan perundang-undangan 2. Pengembangan sistem surveilans sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan program secara nasional, propinsi dan kabupaten/kota, termasuk penyelenggaraan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa penyakit dan bencana 3. Peningkatan mutu data dan informasi epidemiologi 4. Peningkatan profesionalisme tenaga epidemiologi. 5. Pengembangan tim epidemiologi yang handal. 6. Penguatan jejaring survailans epidemiologi. 7. Peningkatan surveilans epidemiologi setiap tenaga kesehatan. 8. Peningkatan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi elektromedia yang terintegrasi dan interaktif. III. PENYELENGGARAAN SISTEM SURVEILANS EPIDEMIOLOGI KESEHATAN A. Pengorganisasian Setiap instansi kesehatan pemerintah, instansi kesehatan propinsi, instansi kesehatan kabupaten/kota dan lembaga kesehatan masyarakat dan swasta wajib menyelenggarakan surveilans epidemiologi, baik secara fungsional atau struktural. B. Mekanisme Kerja Kegiatan surveilans epidemiologi kesehatan merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus dan sistematis dengan mekanisme kerja sebagai berikut : 1. Identifikasi kasus dan masalah kesehatan serta informasi terkait lainnya 2. Perekaman, pelaporan, dan pengolahan data 3. Analisis dan interpretasi data 4. Studi epidemiologi 5. Penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkannya 6. Membuat rekomendasi dan alternatif tindaklanjut 7. Umpan balik. 77 C. Jenis Penyelenggaraan Pelaksanaan surveilans epidemiologi kesehatan dapat menggunakan satu cara atau kombinasi dari beberapa cara penyelenggaraan surveilans epidemiologi. Caracara penyelenggaraan surveilans epidemiologi dibagi berdasarkan atas metode pelaksanaan, aktifitas pengumpulan data dan pola pelaksanaannya. 1. Penyelenggaraan Berdasarkan Metode Pelaksanaan a. Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan, dan atau faktor risiko kesehatan b. Surveilans Epidemiologi Khusus, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan, faktor risiko atau situasi khusus kesehatan c. Surveilans Sentinel, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya masalah kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas. d. Studi Epidemiologi, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada periode tertentu serta populasi dan atau wilayah tertentu untuk mengetahui lebih mendalam gambaran epidemiologi penyakit, permasalahan dan atau faktor risiko kesehatan 2. Penyelenggaraan Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data a. Surveilans Aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya. b. Surveilans Pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya. 3. Penyelenggaraan Berdasarkan Pola Pelaksanaan a. Pola Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan atau bencana b. Pola Selain Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk keadaan diluar KLB dan atau wabah dan atau bencana 4. Penyelenggaraan Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan 78 a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau tidak menggunakan peralatan pendukung pemeriksaan. b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan lainnya D. Sasaran Penyelenggaraan Sasaran penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan meliputi masalahmasalah yang berkaitan dengan program kesehatan yang ditetapkan berdasarkan prioritas nasional, bilateral, regional dan global, penyakit potensial wabah, bencana dan komitmen lintas sektor serta sasaran spesifik lokal atau daerah. Secara rinci sasaran penyelenggaran sistem surveilans epidemiologi kesehatan adalah sebagai berikut : 1. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi penyakit menular adalah : a. Surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi b. Surveilans AFP c. Surveilans penyakit potensial wabah atau kejadian luar biasa penyakit menular dan keracunan d. Surveilans penyakit demam berdarah dan demam berdarah dengue e. Surveilans malaria f. Surveilans penyakit-penyakit zoonosis, antraks, rabies, leptospirosis dan sebagainya g. Surveilans penyakit filariasis h. Surveilans penyakit tuberkulosis i. Surveilans penyakit diare, tipus perut, kecacingan dan penyakit perut lainnya j. Surveilans penyakit kusta k. Surveilans penyakit frambosia l. Surveilans penyakit HIV/AIDS m. Surveilans penyakit menular seksual n. Surveilans penyakit pnemonia, termasuk penyakit pneumonia akut berat (severe acute respiratory syndrome) 2. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular 79 Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi penyakit tidak menular adalah : a. Surveilans hipertensi, stroke dan penyakit jantung koroner b. Surveilans diabetes mellitus c. Surveilans neoplasma d. Surveilans penyakit paru obstuksi kronis e. Surveilans gangguan mental f. Surveilans kesehatan akibat kecelakaan 3. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan lingkungan dan perilaku adalah : a. Surveilans sarana air bersih b. Surveilans tempat-tempat umum c. Surveilans pemukiman dan lingkungan perumahan d. Surveilans limbah industri, rumah sakit dan kegiatan lainnya e. Surveilans vektor penyakit f. Surveilans kesehatan dan keselamatan kerja g. Surveilans rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, termasuk infeksi nosokomial 4. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi masalah kesehatan adalah : a. Surveilans gizi dan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) b. Surveilans gizi mikro kurang yodium, anemia gizi besi, kekurangan vitamin A c. Surveilans gizi lebih d. Surveilans kesehatan ibu dan anak termasuk reproduksi. e. Surveilans kesehatan lanjut usia. f. Surveilans penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan berbahaya g. Surveilans penggunaan sediaan farmasi, obat, obat tradisionil, bahan kosmetika, serta peralatan h. Surveilans kualitas makanan dan bahan tambahan makanan 5. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan matra adalah : a. surveilans kesehatan haji 80 b. Surveilans kesehatan pelabuhan dan lintas batas perbatasan c. Surveilans bencana dan masalah sosial d. Surveilans kesehatan matra laut dan udara e. Surveilans pada kejadian luar biasa penyakit dan keracunan Setiap penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan sebagaimana tersebut diatas disusun dalam suatu pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Sesuai kebutuhan nasional dapat dikembangkan penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan lainnya dengan keputusan Menteri Kesehatan, dan sesuai kebutuhan di daerah Propinsi dengan keputusan Gubernur Propinsi bersangkutan. E. Komponen Sistem Setiap penyelenggaraan surveilans epidemiologi penyakit dan masalah kesehatan lainnya sebagaimana tersebut diatas terdiri dari beberapa komponen yang menyusun bangunan sistem surveilans yang terdiri atas komponen sebagai berikut: 1. Tujuan yang jelas dan dapat diukur 2. Unit surveilans epidemiologi yang terdiri dari kelompok kerja surveilans epidemiologi dengan dukungan tenaga profesional 3. Konsep surveilans epidemiologi sehingga terdapat kejelasan sumber dan caracara memperoleh data, cara-cara mengolah data, cara-cara melakukan analisis, sasaran penyebaran atau pemanfaatan data dan informasi epidemiologi, serta mekanisme kerja surveilans epidemiologi 4. Dukungan advokasi, peraturan perundang-undangan, sarana dan anggaran 5. Pelaksanaan mekanisme kerja surveilans epidemiologi 6. Jejaring surveilans epidemiologi yang dapat membangun kerjasama dalam pertukaran data dan informasi epidemiologi, analisis, dan peningkatan kemampuan surveilans epidemiologi. 7. Indikator kinerja Penyelenggaraan surveilans epidemiologi dilaksanakan melalui jejaring surveilans epidemiologi antara unit-unit surveilans dengan sumber data, antara unit-unit surveilans epidemiologi dengan pusat-pusat penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan unit-unit surveilans lainnya. Secara skematis dapat digambarkan jejaring sistem surveilans epidemiologi kesehatan diantara unit-unit utama di Departemen Kesehatan (DepKes) dan Unit Pelaksana Teknis Pusat (UPT DepKes), pusat-pusat penelitian dan 81 pengembangan (Puslitbang) dan pusat-pusat data dan informasi, diantara unit-unit kerja Dinas Kesehatan Propinsi (lembaga pemerintah di Propinsi yang bertanggungjawab dalam bidang kesehatan) dan UPT Dinas Kesehatan Propinsi, dan diantara unit-unit kerja Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (lembaga pemerintah di Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab dalam bidang kesehatan) dan UPT Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Jejaring surveilans epidemiologi juga terdapat antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta mitra nasional dan internasional. F. Sumber Data, Pelaporan, dan Penyebaran Data – Informasi 1. Sumber Data Sumber data surveilans epidemiologi meliputi : a. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat. b. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan kantor pemirintah dan masyarakat. c. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan dan masyarakat d. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan geofisika e. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat. f. Data kondisi lingkungan. g. Laporan wabah h. Laporan penyelidikan wabah/KLB i. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan j. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya 82 k. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat. l. Laporan kondisi pangan. m. Data dan informasi penting lainnya. 2. Pelaporan Unit sumber data menyediakan data yang diperlukan dalam penyelenggaraan surveilans epidemiologi termasuk rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit penelitian, unit program - sektor dan unit statistik lainnya. 3. Penyebaran Data dan Informasi Data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusatpusat penelitian dan pusatpusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi G. Peran Unit Surveilans Epidemiologi Kesehatan Untuk menjamin berlangsungnya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan maka dijabarkan peran setiap unit penyelenggaraan surveilans epidemiologi 1. Unit Surveilans Epidemiologi Pusat a. Pengaturan penyelenggaraan surveilans epidemiologi nasional. b. Menyusun pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi nasional c. Menyelenggarakan manajemen surveilans epidemiologi nasional d. Melakukan kegiatan surveilans epidemiologi nasional, termasuk SKD-KLB. e. Pembinaan dan asistensi teknis f. Monitoring dan evaluasi g. Melakukan penyelidikan KLB sesuai kebutuhan nasional h. Pengembangan pemanfaatan teknologi surveilans epidemiologi i. Pengembangan metodologi surveilans epidemiologi j. Pengembangan kompetensi sumber daya manusia surveilans epidemiologi nasional k. Menjalin kerjasama nasional dan internasional secara teknis dan sumber-sumber dana. 83 2. Unit Pelaksana Teknis Pusat a. Menjadi pusat rujukan surveilans epidemiologi regional dan nasional b. Pengembangan dan pelaksanaan surveilans epidemiologi regional dan nasional c. Kerjasama surveilans epidemiologi dengan propinsi, nasional dan internasional 3. Pusat Data dan Informasi. a. Koordinasi pengelolaan sumber data dan informasi kesehatan nasional. b. Koordinasi kajian strategis dan penyajian informasi kesehatan. c. Asistensi teknologi informasi 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. a. Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi dan metode surveilans epidemiologi b. Melakukan penelitian lebih lanjut terhadap temuan dan atau rekomendasi surveilans epidemiologi 5. Unit Surveilans Epidemiologi Propinsi a. Melaksanakan surveilans epidemiologi nasional di wilayah propinsi, termasuk SKD-KLB b. Menyelenggarakan manajemen surveilans epidemiologi propinsi c. Melakukan penyelidikan KLB sesuai kebutuhan propinsi d. Membuat pedoman teknis operasional surveilans epidemiologi sesuai dengan pedoman yang berlaku . e. Menyelenggarakan pelatihan surveilans epidemiologi f. Pembinaan dan asistensi teknis ke kabupaten / kota. g. Monitoring dan evaluasi. h. Mengembangkan dan melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit dan masalah kesehatan spesifik lokal. 6. Unit Pelaksana Teknis Propinsi a. Pusat rujukan surveilans epidemiologi propinsi b. Pengembangan dan pelaksanaan surveilans epidemiologi propinsi c. Kerjasama surveilans epidemiologi dengan pusat dan kabupaten/kota 84 7. Rumah Sakit Propinsi a. Melaksanakan surveilans epidemiologi rumah sakit dan infeksi nosokomial di rumah sakit b. Identifikasi dan rujukan kasus sebagai sumber data surveilans epidemiologi Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat c. Melakukan kajian epidemiologi penyakit menular dan tidak menular serta masalah kesehatan lainnya di rumah sakit 8. Laboratorium Kesehatan Propinsi a. Melaksanakan surveilans epidemiologi b. Melakukan identifikasi dan rujukan spesimen pemeriksaan laboratorium 9. Unit Surveilans Kabupaten/Kota a. Pelaksana surveilans epidemiologi nasional diwilayah kabupaten/kota. b. Menyelenggarakan manajemen surveilans epidemiologi c. Melakukan penyelidikan dan penanggulangan KLB diwilayah kabupaten / kota yang bersangkutan d. Supervisi dan asistensi teknis ke puskesmas dan rumah sakit dan komponen surveilans diwilayahnya. e. Melaksanakan pelatihan surveilans epidemiologi f. Monitoring dan evaluasi. g. Melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit spesifik lokal. 10. Rumah Sakit Kabupaten/Kota a. Melaksanakan surveilans epidemiologi rumah sakit dan infeksi nosokomial di rumah sakit b. Identifikasi dan rujukan kasus sebagai sumber data surveilans epidemiologi Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat c. Melakukan kajian epidemiologi penyakit menular dan tidak menular serta masalah kesehatan lainnya di rumah sakit 85 11. Puskesmas. a. Pelaksana surveilans epidemiologi nasional diwilayah puskesmas b. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan penyakit dan masalah kesehatan c. Melakukan koordinasi surveilans epidemiologi dengan praktek dokter, bidan swasta dan unit pelayanan kesehatan yang berada diwilayah kerjanya. d. Melakukan kordinasi surveilans epidemiologi antar puskesmas yang berbatasan e. Melakukan SKD-KLB dan penyelidikan KLB di wilayah puskesmas f. Melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit dan masalah kesehatan spesifik lokal. 12. Laboratorium Kesehatan Kabupaten/Kota a. Melaksanakan surveilans epidemiologi b. Melakukan identifikasi dan rujukan spesimen pemeriksaan laboratorium 13. Mitra a. Sebagai sumber data dan informasi serta referensi yang berkaitan dengan faktor risiko penyakit dan masalah kesehatan lainnya. b. Kerjasama dalam kajian epidemiologi penyakit dan masalah kesehatan c. Kerjasama dalam pengembangan teknologi dan metode surveilans epidemiologi d. Kemitraan dalam mengupayakan dana dan sarana penyelenggaraan surveilans epidemiologi H. SUMBER DAYA Sumber daya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan meliputi : 1. Sumber Daya Manusia a. Tenaga ahli epidemiologi (S1,S2,S3). b. Tenaga pelaksana surveilans epidemiologi terlatih asisten epidemiologi lapangan, dan petugas puskesmas terlatih surveilans epidemiologi. c. Manajer unit kesehatan yang mendapat orientasi epidemiologi d. Jabatan fungsional epidemiologi. e. Jabatan fungsional entomologi f. Jabatan fungsional sanitarian g. Jabatan fungsional statistisi h. Sumber daya manusia laboratorium 86 i. Sumber daya manusia lainnya yang terkait 2. Sarana yang diperlukan untuk terlaksananya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan 87 3.Pembiayaan Sumber biaya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan terdiri sumber dana APBN, APBD Kabupaten/Kota, APBD Propinsi, Bantuan Luar Negeri, Bantuan Nasional dan Daerah, dan swadaya masyarakat I. Indikator Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan Kinerja penyelengaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan diukur dengan indikator masukan, proses dan keluaran. Ketiga indikator tersebut merupakan satu kesatuan, dimana kelemahan salah satu indikator tersebut menunjukkan kinerja sistem surveilans yang belum memadai. Indikatorindikator tesebut adalah sebagai berikut : 88 89 F. KERANGKA KONSEP Surveilans Epidemiologi tidak optimal Perilaku Hidup yang Tidak Bersih dan Sehat Demam Berdarah Dengue ↑ SDM Puskesmas tidak memadai Pertemuan Pemangku Kepentingan dan Petugas Kesehatan Survei Mawas Diri Musyawarah Masyarakat Desa Rencana untuk menanggulangi DBD 5 Level of Prevention Health Promotion Optimalisasi Surveilans Pemenuhan SDM Puskesmas PHBS (Gerakan pemberdayaan, Bina Suasana, Advokasi, serta Kemitraan) Spesific Protection Early Diagnosis and Prompt Treatment Disability and Limitation Rehabilitation 90 BAB III PENUTUP KESIMPULAN Dokter Desi sebagai Kepala Puskesmas Manggis perlu melakukan upaya untuk menurunkan kejadian DBD melalui program-program atau kegiatan prevensi terhadap penyakit DBD di wilayah Puskesmas Manggis berdasarkan hasil Survei Mawas Diri dan Musyawarah Masyarakat Desa serta mengoptimalkan kembali kegiatan Surveilans. 91 DAFTAR PUSTAKA Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA) Kementrian Kesehatan RI. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Sehat (PHBS). Jakarta: Kemenkes RI. Kepmenkes RI. 1992. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 581 Tahun 1992 Tentang Pemberantasan Penyakit DBD. Jakarta. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri Dokter, dan Tempat Praktir Mandiri Dokter Gigi. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lingkungan di Puskesmas Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi: Topik Utama ‘Demam Berdarah Dengue’. Volume 2, Agustus 2010. ISSN-20871546. Zubir, F. A. (2011) Prevalensi Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Pasien Anak di RSUP H Adam Malik Medan dari Januari hingga Desember 2009. Universitas Sumatera Utara. 92