Uploaded by User65711

[B6 Tutorial B Blok 26]

advertisement
LAPORAN TUTORIAL B
BLOK 26
Tutor: Agita Dora Fitri, S.Kom., M.K.K.K.HIMa
disusun oleh:
Kelompok B6
Anggota:
Clarisya Resky Vania
04011181621006
Muhammad Iqbal Fadhilah
04011181621007
Miranti Adi Ningsih
04011181621008
Anis Illiana
04011181621047
Frilla Adhany Marsya
04011181621048
Desi Mawarni
04011181621056
Nauval Togi Prasetyo
04011281621113
Tiara Putri Yosineba
04011281621134
Nada Premawedia
04011281621135
Nadela Priscellia
04011181621153
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan
Tutorial ini dapat terselesaikan dengan baik.
Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian
dari skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tim Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam pembuatan laporan ini.
Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan
laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca
akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.
Tim Penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................2
Daftar Isi...........................................................................................................................3
BAB I
: Pendahuluan
A. Latar Belakang…………………………………………………......................4
B. Maksud dan Tujuan…………………………………………………………..4
C. Data Tutorial………………………………………………………………….4
BAB II
: Isi
A. Skenario.........………………………………………………………………...5
B. Klarifikasi Istilah..............................................................................................6
C. Identifikasi Masalah..........................................................................................7
D. Analisis Masalah...............................................................................................8
E. Learning Issue.................................................................................................16
F. Kerangka Konsep............................................................................................38
BAB III : Penutup
A.
Kesimpulan ....................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….40
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran
untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis
memaparkan kasus yang diberikan mengenai Surveilans.
B. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1.
Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2.
Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
pembelajaran diskusi kelompok.
3.
Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.
C. Data Tutorial
1.
Tutor
: Agita Dora Fitri, S.Kom., M.K.K.K.HIMa
2.
Moderator
: Nada Premawedia
3. Waktu
: 1. Senin, 23 September 2019
Pukul 13.00 – 15.00 WIB
2. Rabu, 25 September 2019
Pukul 13.00– 15.00 WIB
4
BAB II
ISI
A. SKENARIO B BLOK 26
Dr. Desi baru bertugas 6 bulan sebagai Kepala Puskesmas “Manggis” Puskesmas
“Manggis” berada di Kecamatan “Mangga” yang terdiri dari 4 Desa, yang total penduduk 45
ribu jiwa. Ditengah Desa tersebut mengalir sungai yang dipakai sebagai sumber air rumah
tangga dan sebagai tempat (MCK). Di desa tersebut terdapat sampah dimana-mana
dikarenakan masyarakatnya mempunyai kebiasaan membuang sampah sembarangan.
Mayoritas penduduknya adalah petani sawit.
Puskesmas “Manggis” mempunyai SDM Kesehatan yang belum lengkap sehingga
belum terakreditasi. Puskesmas ini belum mempunyai PWS yang lengkap yang
menggambarkan kinerja program wilayah kerja Puskesmas “Manggis”. Dalam 7 hari ini ada
5 orang anak Sekolah Dasar yang di diagnosa Demam Berdarah Dengue yang dirujuk ke
Rumah Sakit. Bulan September tahun lalu terdiagnosa DBD 15 orang. Dari evaluasi program
terjadi peningkatan kasus DBD 2 kali dibandingkan bulan sama pada tahun lalu.
Dokter Desi mengadakan pertemuan dengan seluruh staf Puskesmas untuk melihat
jadwal kegiatan promosi kesehatan dan kesehatan lingkungan di wilayah Puskesmas dan
PHBS di Sekolah Dasar tersebut. Dari hasil pertemuan dengan staf Puskesmas dalam 3 bulan
ini kegiatan promosi kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan belum
terlaksana, sampah menumpuk, dan banyak sampah yang masuk selokan sehingga
menghambat saluran air dan dari hasil pemantauan, banyak jentik-jentik nyamuk di rumah –
rumah penduduk.
Melihat permasalahan yang ada, dr. Desi berkoordinasi dengan Pak Camat, segera
mengadakan pertemuan dengan Kepala Desa, Pak RT, kepala Sekolah, Tokoh agama, kader
kesehatan, mengadakan Survei Mawas Diri dan dilanjutkan dengan Musyawarah Masyarakat
Desa serta diharapkan akan menurun penyakit Demam Berdarah Dengue di Kecamatan
“Mangga”.
Minggu yang lalu, Puskesmas “Manggis” dikunjungi oleh staff Dinas Kesehatan
Kabupaten karena kegiatan surveilans DBD tidak jalan.
Dokter Desi ingin menurunkan kejadian DBD di wilayah Puskesmas Manggis dengan
membuat program-program kegiatan prevensi terhadap penyakit DBD.
5
B. Klarifikasi Istilah
Istilah
Klarifikasi
MCK
Mandi Cuci Kakus; salah satu sarana fasilitas umum yang
digunakan bersama oleh beberapa keluarga untuk keperluan
mandi, mencuci, dan buang air dilokasi pemukiman tertentu yang
dinilai berpenduduk cukup padat dan tingkat kemampuan ekonomi
yang rendah.
PWS
Alat manajemen untuk melakukan pemantauan suatu program
disuatu wilayah kerja secara terus menerus agar dapat dilakukan
tindak lanjut yang cepat dan tepat.
DBD
Demam Berdarah Dengue; Penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
PHBS
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat; semua perilaku kesehatan yang
dilakukan atas kesadaran, sehingga anggota keluarga atau keluarga
dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan
aktif dalam kegiatan kesehatan di masyarakat.
Survei Mawas Diri
Kegiatan pengenalan, pengumpulan, dan pengkajian masyarakat
kesehatan yang dilakukan oleh kader dan tokoh masyarakat
setempat dibawah bimbingan Kepala Desa atau Kelurahan dan
petugas kesehatan.
Surveilans
Pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus menerus dan
sistematis yang kemudian disebarluaskan kepada pihak-pihak yang
bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah
kesehatan lainnya.
Prevensi
Upaya untuk mencegah timbulnya masalah.
Musyawarah
Pertemuan perwakilan warga desa beserta tokoh masyarakatnya
Masyarakat Desa
dan para petugas kesehatan untuk mebahas hasil Survei Mawas
Diri dan mencanangkan penanggulangan masalah kesehatan yang
diperoleh dari hasil Survei Mawas Diri.
6
C. Identifikasi Masalah
No.
1.
Masalah
Dr. Desi baru bertugas 6 bulan sebagai Kepala Puskesmas “Manggis”
Konsen
✔ ✔ ✔
Puskesmas “Manggis” berada di Kecamatan “Mangga” yang terdiri dari 4
Desa, yang total penduduk 45 ribu jiwa. Ditengah Desa tersebut mengalir
sungai yang dipakai sebagai sumber air rumah tangga dan sebagai tempat
(MCK). Di desa tersebut terdapat sampah dimana-mana dikarenakan
masyarakatnya mempunyai kebiasaan membuang sampah sembarangan.
Mayoritas penduduknya adalah petani sawit.
2.
Puskesmas “Manggis” mempunyai SDM Kesehatan yang belum lengkap
✔✔✔✔
sehingga belum terakreditasi. Puskesmas ini belum mempunyai PWS yang
lengkap yang menggambarkan kinerja program wilayah kerja Puskesmas
“Manggis”. Dalam 7 hari ini ada 5 orang anak Sekolah Dasar yang di diagnosa
Demam Berdarah Dengue yang dirujuk ke Rumah Sakit. Bulan September
tahun lalu terdiagnosa DBD 15 orang. Dari evaluasi program terjadi
peningkatan kasus DBD 2 kali dibandingkan bulan sama pada tahun lalu.
3.
Dokter Desi mengadakan pertemuan dengan seluruh staf Puskesmas untuk
✔✔✔
melihat jadwal kegiatan promosi kesehatan dan kesehatan lingkungan di
wilayah Puskesmas dan PHBS di Sekolah Dasar tersebut. Dari hasil
pertemuan dengan staf Puskesmas dalam 3 bulan ini kegiatan promosi
kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan belum terlaksana,
sampah menumpuk, dan banyak sampah yang masuk selokan sehingga
menghambat saluran air dan dari hasil pemantauan, banyak jentik-jentik
nyamuk di rumah –rumah penduduk.
4.
✔✔
Melihat permasalahan yang ada, dr. Desi berkoordinasi dengan Pak Camat,
segera mengadakan pertemuan dengan Kepala Desa, Pak RT, kepala Sekolah,
Tokoh agama, kader kesehatan, mengadakan Survei Mawas Diri dan
dilanjutkan dengan Musyawarah Masyarakat Desa serta diharapkan akan
menurun penyakit Demam Berdarah Dengue di Kecamatan “Mangga”.
5.
✔
Minggu yang lalu, Puskesmas “Manggis” dikunjungi oleh staff Dinas
Kesehatan Kabupaten karena kegiatan surveilans DBD tidak jalan.
6.
✔
Dokter Desi ingin menurunkan kejadian DBD di wilayah Puskesmas Manggis
dengan membuat program-program kegiatan prevensi terhadap penyakit DBD.
7
D. Analisis Masalah
1. Dr. Desi baru bertugas 6 bulan sebagai Kepala Puskesmas “Manggis” Puskesmas
“Manggis” berada di Kecamatan “Mangga” yang terdiri dari 4 Desa, yang total
penduduk 45 ribu jiwa. Ditengah Desa tersebut mengalir sungai yang dipakai sebagai
sumber air rumah tangga dan sebagai tempat (MCK). Di desa tersebut terdapat
sampah dimana-mana dikarenakan masyarakatnya mempunyai kebiasaan membuang
sampah sembarangan. Mayoritas penduduknya adalah petani sawit.
a. Apa saja peran Puskesmas terhadap kesehatan lingkungan?
Dasar hukum diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Lingkungan di Puskesmas.
Salah satu visi dari puskesmas adalah adanya program kegiatan penyehatan
lingkungan berupa:

Jumlah desa/kelurahan yang melaksanakan STBM

Persentase sasaran air minum yang dilakukan pengawasan

Jumlah tempat-tempat umum (TTU) yang diawasi memenuhi syarat kesehatan
lingkungan

Presentase tempat pengelolaan makanan (TPM) yang dilakukan pengawasan

Jumlah kabupaten/kota sehat (kumulatif)

Jumlah pasar yang memenuhi syarat kesehatan yang dilakukan pengawasan
b. Apa dampak sungai yang dijadikan tempat MCK terhadap kesehatan masyarakat?
Perilaku MCK disungai sebenarnya tidak dianjurkan oleh para pakar
kesehatan, air sungai yang keruh tentu banyak sekali mengandung bakteri atau
mikroba yang merugikan kesehatan berupa timbulnya beberapa penyakit antara
lain, diare, disentri, penyakit kulit dan lain-lainnya.
Berdasarkan Rantai Penularan
1. Waterborne Disease adalah penyakit yang penularannya melalui air yang
terkontaminasi oleh pathogen dari penderita atau karier. Contoh penyakit
diare, disenteri, kolera, hepatitis, dan demam typhoid.
2. Water-related insect vector adalah penyakit yang ditularkan oleh serangga
yang hidup di air atau dekat air. Contoh penyakit Dengue, malaria,
Trypanosoma.
3. Penyakit kulit gatal-gatal, merah dan panas.
8
c. Apa pengaruh membuang sampah sembarangan terhadap air sungai dan kesehatan
masyarakat?
1. Dampak bagi kesehatan
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai merupakan tempat
yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik bagi berbagai binatang
seperti lalat dan anjing yang dapat menimbulkan penyakit. Potensi behaya
kesehatan yang dapat di timbulkan adalah sebagai berikut:
a. Penyakit diare, kolera, tifoid, menyebar dengan cepat karena virus yang
berasal dari sampah dengan pengelolaan tidak tepat dapat bercampur air
minum.
b. Penyakit jamur dapat menyebar misalnya jamur kulit.
c. Penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan. Salah satu
contohnya adalah suatu penyakit yang dijangkitkan oleh cacing pita.
Cacing ini masuk ke dalam pencernaan binatang ternak melalui
makanannya berupa sisa makanan/sampah.
d. Sampah beracun seperti sampah buangan limbah pabrik yan memproduksi
bakteri dan akumulator.
2. Dampak terhadap lingkungan
Cairan rembesan sampah yang masuk ke dalam drainase/sungai dapat
mencemari air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga
beberapa spesies akan lenyap hal ini mengakibatkan berubahnya ekosistem
perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke dalam air akan
menghasilkan asam organik dan gas cair organik, seperti metaba. Selain
berbau kurang sedap, gas ini dalam konsentrasi tinggi dapat meledak.
3. Dampak terhadap keadaan sosial dan ekonomi.
a. Pengelolaan sampah yang kurang baik akan membentuk lingkungan yang
kurang menyenangkan bagi masyarakat, seperti bau yang tidak sedap dan
pemandangan yang buruk karena sampah yang bertebaran dimana-mana.
b. Memberikan dampak negatif terhadap kepariwisataan.
c. Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat
kesehatan masyarakat. Hal penting disini meningkatnya pembiayaan
secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan pembiayaan secara
tidak langsung (tidak masuk kerja, rendahnya produktivitas)
9
d. Pembuangan sampah padat ke badan air dapat menyebabkan banjir dan
akan memberikan dampak bagi fasilitas pelayanan umum seperti jalan,
jembatan, drainase dan lain-lain.
d. Apa potensi masalah yang ditimbulkan dari mayoritas penduduk sebagai petani
sawit?
Mayoritas penduduk sebagai petani sawit menggambarkan banyaknya perkebunan
kelapa sawit pada Kecamatan Mangga. Kelapa sawit sapat menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan berupa berkurangnya kuantitas air tanah, pencemaran
air, dan berkurangnya populasi satwa. Dampak perkebunan kelapa sawit adalah
berkurangnya kuantitas air tanah sehingga ketika musim kemarau datang, tak
jarang terjadi kekeringan. Evapotranspirasi pada tanaman kelapa sawit mencapai
81%. Evapotranspirasi adalah gabungan antara evaporasi dari permukaan tanah
dan transpirasi tanaman yang mengalami penguapan sehingga berpengaruh
terhadap kesediaan air tanah. Selain itu, kepala sawit juga berdampak negatif
terhadap kebersihan sungai. Aktivitas industri sawit menghasilkan limbah cair
yang akan meluap dan terbuang ke sungai sehingga akan menimbulkan
eksternalitas. Ekternalitas yang dirasakan oleh masyarakat adalah gangguan
kesehatan, pencemaran air sungai, berkurangnya populasi ikan dan menimbulkan
bau tak sedap. Tercemarnya air sungai oleh bahan kimia beracun dan berbahaya
(B3) akibat limbah cair, dapat mengakibatkan masyarakat mengalami gangguan
kesehatan seperti diare dan gatal-gatal apabila sungai masih dimanfaatkan sebagai
sumber air utama.
10
2. Puskesmas “Manggis” mempunyai SDM Kesehatan yang belum lengkap sehingga
belum terakreditasi. Puskesmas ini belum mempunyai PWS yang lengkap yang
menggambarkan kinerja program wilayah kerja Puskesmas “Manggis”. Dalam 7 hari
ini ada 5 orang anak Sekolah Dasar yang di diagnosa Demam Berdarah Dengue yang
dirujuk ke Rumah Sakit. Bulan September tahun lalu terdiagnosa DBD 15 orang. Dari
evaluasi program terjadi peningkatan kasus DBD 2 kali dibandingkan bulan sama
pada tahun lalu.
a. Apa penyebab paling sering DBD dapat meningkat di suatu daerah?
Faktor-faktor yang bertanggung jawab mengakibatkan peningkatan kasus
Dengue dan DBD masing-masing sebagai masalah kesehatan global adalah
kompleks dan belum sepenuhnya difahami. Walau bagaimanapun, kemunculan
semula penyakit ini sangat erat kaitannya dengan perubahan demografik dan
masyarakat lebih 50 tahun dahulu. Dua faktor utama adalah ketidakseimbangan
pertumbuhan populasi secara global dan urbanisasi yang tidak terancang dan
terkawal terutama di negara-negara tropikal yang sedang membangun. Perumahan
yang di bawah standar, kepadatan, penurunan kebersihan air dan sistem
pengurusan bahan buangan dengan urbanisasi yang tidak terancang telah
menciptakan kondisi yang ideal untuk peningkatan penyakit yang ditransmisi oleh
nyamuk di kawasan tropical.
Faktor ketiga terbesar adalah pengawalan nyamuk yang kurang efektif di
daerah di mana Dengue adalah endemik. Sejak 25 tahun lalu, yang diberi
perhatian adalah dengan melakukan penyemprotan insektisida untuk membunuh
nyamuk dewasa, namun cara ini tidak efektif. Sebagai tambahan, distribusi
geografis dan kepadatan populasi Aedes aegypti semakin meningkat, terutama di
kawasan kota di daerah tropik disebabkan meningkatnya bilangan habitat larva
nyamuk di lingkungan domestik. Tambahan pula kini diperkenalkan penggunaan
plastik nonbiodegradable dan penggunaan ban kendaraan yang mana keduaduanya ini meningkatkan lagi prevalensi penyakit DBD
Faktor keempat yang berperan dalam peningkatan kasus Dengue dan DBD ini
adalah meningkatnya perjalanan udara (air travel), di mana menyediakan
mekanisme yang ideal untuk transportasi Dengue dan banyak patogen lain ke
seluruh dunia. Kebanyakan pariwisata mendapat infeksi dari negara yang
dilawatinya namun hanya menunjukkan tanda setelah pulang ke negara asal,
11
menyebabkan virus Dengue ini tersebar luas ke merata tempat di seluruh dunia
sekaligus menambah strain baru untuk virus ini.
Faktor kelima yang menyumbang kepada epidemik Dengue ini adalah
kekurangan infrastruktur kesehatan di kebanyakan negara dalam 30 tahun lalu.
Kekurangan narasumber menyebabkan kurangnya ahli terlatih yang faham dan
boleh memikirkan tentang cara pencegahan dan program kontrol untuk penyakit
yang tersebar melalui vektor ini. Secara kebetulan, kesehatan umum telah
mengubah polisi untuk memilih menggunakan metode pengawalan nyamuk
berteknologi tinggi yang dipercayai paling efektif daripada mencegah penularan
dengan mengurangi sumber pembiakan larva melalui kebersihan lingkungan.
Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit demam berdarah
dengue antara lain: (1) tingkat pengetahuan tentang tanda atau gejala; (2) cara
penularan dan pencegahan penyakit DBD; (3) kebiasaan tidur siang; (4) kebiasaan
menggantung pakaian; (5) kebiasaan membersihkan tempat penampungan air; (6)
kebiasaan membersihkan halaman di sekitar rumah; (7) tempat penampungan air
di dalam atau di luar rumah yang terbuka; dan (8) tempat penampungan air di
dalam atau di luar rumah yang positif jentik. Semua faktor-faktor tersebut
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian DBD (Zubir,
2011).
b. Apa syarat akreditasi Puskesmas?
Dasar hukum diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat
Praktik Mandiri Dokter, dan Tempat Mandiri Dokter Gigi.
Penilaian keberhasilan Puskesmas dapat dilakukan oleh internal organisasi
Puskesmas itu sendiri, yaitu dengan ”Penilaian Kinerja Puskesmas,” yang
mencakup manajemen sumber daya termasuk alat, obat, keuangan dan tenaga,
serta didukung dengan manajemen sistem pencatatan dan pelaporan, disebut
Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS). Tujuan utama akreditasi
Puskesmas adalah untuk pembinaan peningkatan mutu, kinerja melalui perbaikan
yang berkesinambungan terhadap sistem manajemen, sistem manajemen mutu dan
sistem penyelenggaraan pelayanan dan program, serta penerapan manajemen
risiko, dan bukan sekedar penilaian untuk mendapatkan sertifikat akreditasi.
12
Struktur standar akreditasi Puskesmas terdiri dari 9 bab, dengan total 776
elemen penilaian, setiap bab akan diuraikan dalam standar, tiap standar akan
diuraikan dalam kriteria, tiap kriteria diuraikan dalam elemen penilaian untuk
menilai penilaian kriteria tersebut.
BAB
I
Judul
Jumlah
Jumlah
Jumlah Elemen
Standar
Kriteria
Penilaian
3
13
59
Manajemen
6
29
121
Peningkatan Mutu dan Manajemen Risiko
1
7
32
yang
3
10
53
Kepemimpinan dan Manajemen Upaya
7
22
101
Penyelenggaraan Pelayanan Puskesmas
(PPP)
II
Kepemimpinan
dan
Puskesmas (KMP)
III
(PMMR)
IV
Upaya
Kesehatan
Masyarakat
berorientasi sasaran (UKMBS)
V
Kesehatan Masyarakat (KMUKM)
VI
Sasaran Kinerja UKM (SKUKM)
1
6
29
VII
Layanan Klinis yang Berorientasi Pasien
10
33
151
7
36
172
4
12
58
(LKBP)
VIII
Manajemen Penunjang Layanan Klinis
(MPLK)
XI
Peningkatan Mutu Klinis dan Keselamatan
Pasien (PMKP)
Akreditasi Puskesmas menilai tiga kelompok pelayanan di Puskesmas, yaitu:
1. Kelompok Administrasi Manajemen, yang diuraikan dalam :
a. Penyelenggaraan Pelayanan Puskesmas (PPP)
b. Kepemimpinan dan Manajemen Puskesmas (KMP)
c. Peningkatan Mutu Puskesmas (PMP)
2. Kelompok Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), yang diuraikan dalam:
a. Upaya Kesehatan Masyarakat yang Berorientasi Sasaran (UKMBS)
b. Kepemimpinan dan Manajemen Upaya Kesehatan Masyarakat (KMUKM)
KETENAGAAN PUSKESMAS
13

Kepala Puskesmas adalah tenaga kesehatan yang kompeten sesuai
dengan peraturan perundangan.
 Kepala Puskesmas adalah tenaga kesehatan.
 Ada kejelasan persyaratan Kepala Puskesmas.
 Ada kejelasan uraian tugas Kepala Puskesmas.
 Terdapat bukti pemenuhan persyaratan penanggung jawab sesuai
dengan yang ditetapkan.

Tersedia tenaga medis, tenaga kesehatan lain, dan tenaga non
kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan jenis pelayanan yang
disediakan.
 Dilakukan analisis kebutuhan tenaga sesuai dengan kebutuhan dan
pelayanan yang disediakan.
 Ditetapkan persyaratan kompetensi untuk tiap-tiap jenis tenaga
yang dibutuhkan.
 Dilakukan upaya untuk pemenuhan kebutuhan tenaga sesuai
dengan yang dipersyaratkan.
 Ada kejelasan uraian tugas untuk setiap tenaga yang bekerja di
Puskesmas.
 Persyaratan perizinan untuk tenaga medis, keperawatan, dan tenaga
kesehatan yang lain dipenuhi
c. Sasaran Kinerja Upaya Kesehatan Masyarakat
3. Kelompok Upaya Kesehatan Perorangan, yang diuraikan dalam:
a. Layanan Klinis yang Berorientasi Pasien (LKBP)
b. Manajemen Penunjang Layanan Klinis (MPLK)
c. Peningkatan Mutu Klinis dan Keselamatan Pasien (PMKP)
c. Apa itu SDM Kesehatan?
Sumber daya manusia kesehatan yaitu berbagai jenis tenaga kesehatan
klinik maupun nonklinik yang melaksanakan upaya medis dan intervensi
kesehatan masyarakat.
14
d. Apa hukum yang mendasari SDM Kesehatan Puskesmas? Miranti, tiara
Struktur Organisasi Puskesmas Berdasarkan Permenkes 75 Tahun 2014
Pasal 16
(1) Sumber daya manusia Puskesmas terdiri atas Tenaga Kesehatan dan tenaga
non kesehatan.
(2) Jenis dan jumlah Tenaga Kesehatan dan tenaga non kesehatansebagaimana
dimaksud pada ayat(1) dihitung berdasarkan analisis beban kerja, dengan
mempertimbangkan
jumlah
pelayanan
yang
diselenggarakan,
jumlah
penduduk dan persebarannya, karakteristik wilayah kerja, luas wilayah kerja,
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya di wilayah
kerja, dan pembagian waktu kerja.
(3) )Jenis Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit
terdiri atas:
a. dokter atau dokter layanan primer;
b. dokter gigi;
c. perawat;
d. bidan;
e. tenaga kesehatan masyarakat;
f. tenaga kesehatan lingkungan;
g. ahli teknologi laboratorium medik;
h. tenaga gizi; dan
i. tenaga kefarmasian.
(4) Tenaga non kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dapat
mendukung kegiatan ketatausahaan, administrasi keuangan, sistem informasi,
dan kegiatan operasional lain di Puskesmas.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan jumlah minimal Tenaga Kesehatan
dan tenaga non kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
15
Pasal 17
(1) Tenaga Kesehatan di Puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi,
standar pelayanan, standar proseduroperasional,etika profesi, menghormati
hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasiendengan
memperhatikan keselamatan dan kesehatan dirinya dalam bekerja.
(2) Setiap Tenaga Kesehatan yang bekerja di Puskesmas harus memiliki surat
izin praktik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Pelayanan kefarmasian diPuskesmas harus dilaksanakan oleh Tenaga
Kesehatanyang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk melakukan
pekerjaan kefarmasian.
(2) Pelayanan kefarmasian di Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(KEMENKES, 2014).
e. Bagaimana PWS yang harus dibuat oleh Puskesmas “Manggis”?
PWS KIA
1. Pengumpulan Data
a. Jenis Data

Data Sasaran: Jumlah seluruh ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, seluruh
bayi, seluruh anak balita, seluruh PUS

Data pelayanan : Jumlah K1, K4, persalinan yang ditolong oleh tenaga
kesehatan, ibu nifas yang dilayani 3 kali (KF 3) oleh tenaga kesehatan,
neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan pada umur 6 48 jam,
neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan lengkap (KN
lengkap), ibu hamil, bersalin dan nifas dengan faktor risiko/komplikasi
yang dideteksi oleh masyarakat, kasus komplikasi obstetri yang
ditangani, neonatus dengan komplikasi yang ditangani, bayi 29 hari 12
bulan yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya 4 kali, anak
balita (12 59 bulan) yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya
8 kali, anak balita sakit yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai
standar, peserta KB aktf.
16
b. Sumber Data
Pendataan dan pencatatan sasaran di wilayah kerja berasal dari register
kohort ibu, bayi, anak, peserta KB
2. Pencatatan
a. Data Sasaran
Data sasaran diperoleh bidan di desa/kelurahan dari para kader dan dukun
bayi yang melakukan pendataan ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir,
bayi dan anak balita dimana sasaran tersebut diberikan buku KIA dan bagi
ibu hamil dipasang stiker P4K di depan rumahnya. Selain itu data sasaran
juga dapat diperoleh dengan mengumpulkan data sasaran yang berasal dari
lintas program dan fasilitas pelayanan lain yang ada di wilayah kerjanya.
b. Data Pelayanan
Bidan di desa/kelurahan mencatat semua detail pelayanan KIA di dalam
kartu ibu, kohort Ibu, kartu bayi, kohort bayi, kohort anak, balita, kohort
KB, dan buku KIA.
3. Pengolahan Data
Setiap bulan Bidan di desa mengolah data yang tercantum dalam buku kohort
dan dijadikan sebagai bahan laporan bulanan KIA. Bidan Koordinator di
Puskesmas menerima laporan bulanan tersebut dari semua BdD dan
mengolahnya menjadi laporan dan informasi kemajuan pelayanan KIA
bulanan yang disebut PWS KIA. Langkah pengolahan data adalah

Pembersihan data: melihat kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir
yang tersedia.

Validasi: melihat kebenaran dan ketepatan data.

Pengelompokan: sesuai dengan kebutuhan data yang harus dilaporkan.
Hasil pengolahan data dapat disajikan dalam bentuk:

Narasi: dipergunakan untuk menyusun laporan atau profil suatu wilayah
kerja, misalnya dalam Laporan PWS KIA yang diserahkan kepada instansi
terkait.

Tabulasi: dipergunakan untuk menjelaskan narasi dalam bentuk lampiran.

Grafik: dipergunakan untuk presentasi dalam membandingkan keadaan
antar waktu, antar tempat dan pelayanan. Sebagian besar hasil PWS
disajikan dalam bentuk grafik.
17

Peta: dipergunakan untuk menggambarkan kejadian berdasarkan gambaran
geografis.
4. Pembuatan Grafik PWS KIA
PWS KIA disajikan dalam bentuk grafik dari tiap indikator yang dipakai, yang
juga menggambarkan pencapaian tiap desa/kelurahan dalam tiap bulan.
Langkah-langkah pokok dalam pembuatan grafik PWS KIA:
a. Penyiapan Data
Data yang diperlukan untuk membuat grafik dari tiap indikator diperoleh
dari catatan kartu ibu, buku KIA, register kohort ibu, kartu bayi, kohort
bayi serta kohort anak balita per desa/kelurahan, catatan posyandu, laporan
dari perawat/bidan/dokter praktik swasta, rumah sakit bersalin dan
sebagainya.

Untuk grafik antar wilayah, data yang diperlukan adalah data cakupan
per desa/kelurahan dalam kurun waktu yang sama

Untuk grafik antar waktu, data yang perlu disiapkan adalah data
cakupan per bulan

Untuk grafik antar variabel diperlukan data variabel yang mempunyai
korelasi misalnya : K1, K4 dan Pn
b. Penggambaran Grafik

Menentukan target rata rata per bulan untuk menggambarkan skala
pada garis vertikal (sumbu Y).

Hasil perhitungan pencapaian kumulatif cakupan per desa/kelurahan
sampai dengan bulan ini dimasukkan ke dalam jalur % kumulatif
secara berurutan sesuai peringkat. Pencapaian tertinggi di sebelah kiri
dan terendah di sebelah kanan, sedangkan pencapaian untuk
puskesmas dimasukkan ke dalam kolom terakhir

Nama
desa/kelurahan
bersangkutan
dituliskan
pada
lajur
desa/kelurahan (sumbu X), sesuai dengan cakupan kumulatif masingmasing desa/kelurahan yang dituliskan pada butir b diatas.

Hasil perhitungan pencapaian pada bulan ini dan bulan lalu untuk tiap
desa/kelurahan dimasukkan ke dalam lajur masing-masing.

Gambar anak panah dipergunakan untuk mengisi lajur tren. Bila
pencapaian cakupan bulan ini lebih besar dari bulan lalu, maka
18
digambar anak panah yang menunjuk ke atas. Sebaliknya, untuk
cakupan bulan ini yang lebih rendah dari cakupan bulan lalu,
digambarkan anak panah yang menunjukkan kebawah, sedangkan
untuk cakupan yang tetap / sama gambarkan dengan tanda (-).
5. Analisis, Penelusuran Data Kohort dan Rencana Tindak Lanjut
a. Analisis
a. Analisis Sederhana
Analisis ini membandingkan cakupan hasil kegiatan antar wilayah
terhadap target dan kecenderungan dari waktu ke waktu. Analisis
sederhana ini bermanfaat untuk mengetahui desa/kelurahan mana yang
paling memerlukan perhatian dan tindak lanjut yang harus dilakukan
Dari matriks diatas dapat disimpulkan adanya 4 macam status cakupan
desa/kelurahan, yaitu :

Status baik
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan diatas target yang ditetapkan
untuk bulan ini, dan mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang
meningkat atau tetap jika dibandingkan dengan cakupan bulan lalu.

Status kurang
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan diatas target bulan ini, namun
mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang menurun jika
dibandingkan dengan cakupan bulan lalu.

Status cukup
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan dibawah target bulan ini,
namun mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang meningkat
jika dibandingkan dengan cakupan bulan lalu.
19

Status jelek
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan dibawah target bulan ini, dan
mempunyai
kecenderungan
cakupan
bulanan
yang
menurun
dibandingkan dengan bulan lalu.
b. Analisis Lanjut
Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan variabel tertentu
dengan variabel terkait lainnya untuk mengetahui hubungan sebab akibat
antar variabel yang dimaksud.
2. Penelusuran Data Kohort

Mengidentifikasi kasus/masalah secara individu selama masa hamil,
bersalin, masa nifas, neonatus, bayi dan balita

Membangun perencanaan berdasarkan masalah yang spesifik
1. Rencana Tindak Lanjut
Bagi kepentingan program, analisis PWS KIA ditujukan untuk menghasilkan
suatu keputusan tindak lanjut teknis dan non-teknis bagi puskesmas.
Keputusan tersebut harus dijabarkan dalam bentuk rencana operasional jangka
pendek untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi sesuai dengan
spesifikasi daerah
20
Rencana operasional tersebut perlu dibicarakan dengan semua pihak yang
terkait :

Bagi desa/kelurahan yang berstatus baik atau cukup, pola penyelenggaraan
pelayanan KIA perlu dilanjutkan, dengan beberapa penyesuaian tertentu
sesuai kebutuhan antara lain perbaikan mutu pelayanan.

Bagi desa/kelurahan berstatus kurang dan terutama yang berstatus jelek,
perlu prioritas intervensi sesuai dengan permasalahan.

Intervensi yang bersifat teknis (termasuk segi penyediaan logistik) harus
dibicarakan dalam pertemuan minilokakarya puskesmas dan/atau rapat
dinas
kesehatan
kabupaten/kota
(untuk
mendapat
bantuan
dari
kabupaten/kota).

Intervensi yang bersifat non-teknis (untuk motivasi, penggerakan sasaran,
dan mobilisasi sumber daya di masyarakat) harus dibicarakan pada rapat
koordinasi kecamatan dan/atau rapat dinas kesehatan kabupaten/kota
(untuk mendapat bantuan dari kabupaten/kota).
3. Dokter Desi mengadakan pertemuan dengan seluruh staf Puskesmas untuk melihat
jadwal kegiatan promosi kesehatan dan kesehatan lingkungan di wilayah Puskesmas
dan PHBS di Sekolah Dasar tersebut. Dari hasil pertemuan dengan staf Puskesmas
dalam 3 bulan ini kegiatan promosi kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan
lingkungan belum terlaksana, sampah menumpuk, dan banyak sampah yang masuk
selokan sehingga menghambat saluran air dan dari hasil pemantauan, banyak jentikjentik nyamuk di rumah –rumah penduduk.
a. Bagaimana prosedur PHBS?
Mengacu pada Piagam Ottawa (Ottawa Charter) yang merupakan hasil
dari Konferensi Internasional Promosi Kesehatan Pertama di Ottawa (Kanada),
tiga strategi pokok yang harus dilaksanakan dalam promosi kesehatan adalah (1)
advokasi, (2) bina suasana, dan (3) pemberdayaan. Ketiga strategi tersebut
dilaksanakan dalam bentuk tindakan (aksi) sebagai berikut.
1. Mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan (healthy public
policy), yaitu mengupayakan agar para penentu kebijakan di berbagai sektor di
setiap
tingkatan
administrasi
menetapkan
kebijakan
dengan
mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
21
2. Menciptakan lingkungan yang mendukung (supportive environment), yaitu
mengupayakan agar setiap sektor dalam melaksanakan kegiatannya mengarah
kepada terwujudnya lingkungan sehat (fisik dan nonfisik).
3. Memperkuat gerrakan masyarakat (community action), yaitu memberikan
dukungan terhadap kegiatan masyarakat agar lebih berdaya dalam
mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan.
4. Mengembangkan kemampuan individu (personal skills), yaitu menguayakan
agar setiap individu masyarakat tahu, mau dan mampu membuat keputusan
yang efektif dalam upaya memelihara, meningkatkan, serta mewujudkan
kesehatannya, melalui pemberian informasi, serta pendidikan dan pelaksanaan
yang memadai.
5. Menata kembali arah pelayanan kesehatan (reorient health services), yaitu
mengubah pola pikir serta sistem pelayanan kesehatan masyarakat agar lebih
mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa mengesampingkan aspek
kuratif dan rehabilitatif.
Di Indonesia, strategi pokok tersebut kemudian diformulasikan kembali ke
dalam kalimat (1) gerakan pemberdayaan (G), yang didukung oleh (2) bina
suasana (B), dan (3) advokasi (A), serta dilandasi oleh semangat (4)
kemitraan.
22
b. Bagaimana promosi dan preventif untuk kasus DBD?
1. Strategi Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat
paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru.
Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar
promosi kesehatan, yaitu: Advokasi, Bina suasana, dan Gerakan pemberdayaan.
Dalam program pengendalian DBD strategi promosi kesehatan yang harus
dilakukan adalah (1) pemberdayaan masyarakat, (2) pembinaan susana lingkungan
sosialnya, dan (3) advokasi kepada pihak-pihak yang dapat mendukung
terlaksananya program pengendalian DBD.
a. Gerakan Pemberdayaan
Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk menumbuhkan
dan mengembangkan norma yang membuat masyarakat mampu untuk
pengendalian DBD secara mandiri. Strategi ini tepatnya ditujukan pada
sasaran primer (msyarakat umum) agar berperan serta secara aktif dalam
pengendalian DBD. Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan
melalui kemitraan serta menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat
ini banyak dijumpai Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. Kunci
keberhasilan gerakan pemberdayaan adalah membuat orang tersebut
memahami bahwa penyakit DBD adalah masalah baginya dan bagi
masyarakatnya. Sepanjang orang yang bersangkutan belum mengetahui dan
menyadari bahwa sesuatu itu merupakan masalah, maka orang tersebut tidak
akan bersedia menerima informasi apa pun lebih lanjut. Manakala ia telah
menyadari masalah yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan
informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan.
Metode yang digunakan adalah promosi individu, promosi kelompok, promosi
massa dengan materi/pesan mengenai tanda dan gejala DBD, cara pencegahan
dan pengendalian DBD dan 3M plus.
23
b. Strategi Bina Suasana
Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang
mendorong
individu
anggota
masyarakat
untuk
mau
melakukan
penanggulangan DBD. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan
sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada memiliki opini yang
positif terhadap perilaku tersebut.

Sasaran dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
 Kader dan Tokoh masyarakat
 Lintas program (Intern Dep. Kesehatan)
 Lintas sektor (Sektor terkait)
 Organisasi pemuda (Karang Taruna, Saka Bakti Husada, dll)
 Organisasi Profesi (misalnya IBI, IDI, dll)
 Organisasi Wanita (Dharma Wanita, IWAPI, KOWANI, dll)
 Organisasi keagamaan (Pengajian, Majelis Taklim, Ibadah Rumah
Tangga)
 Organisasi Kesenian
 Lembaga Swadaya Masyarakat.

Metode Bina Suasana
 Orientasi
 Pelatihan
 Kunjungan lapangan
 Jumpa pers
 Dialog terbuka/interaktif diberbagai media
 Lokakarya/seminar
 Penulisan artikel di media massa
 Khotbah di tempat peribadatan

Materi pesan, dengan menggunakan media antara lain media massa cetak
& elektronik (radio, televisi, koran, majalah, situs internet, dan lain-lain),
Media tradisional
 Waspada Nyamuk Demam Berdarah
 Gejala demam berdarah
24
 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan bebas jentik nyamuk
di rumah
 3 M Plus

Hasil yang ingin dicapai
 Adanya opini positif berkembang di masyarakat tentang pentingnya
pengendalian DBD
 Semua kelompok potensial di masyarakat ikut menyuarakan dan
mendukung pengendalian DBD
 Adanya dukungan sumber daya (SDM, Dana, Sumber daya lain) dari
kelompok potensial di masyarakat
c. Strategi Advokasi
Advokasi kesehatan adalah upaya secara sistimatis untuk mempengaruhi
pimpinan, pembuat/penentu kebijakan, keputusan dan penyandang dana dan
pimpinan media massa agar proaktif dan mendukung berbagai kegiatan
promosi penanggulangan Penanggulangan DBD sesuai dengan bidang dan
keahlian masing-masing.

Sasaran advokasi adalah:
 Pimpinan legislative (Komisi DPRD)
 Pimpinan eksekutif (Gubernur, Bupati, Bappeda)
 Penyandang dana
 Pimpinan media massa
 Pimpinan institusi lintas sektoral
 Tokoh Agama/Masyarakat/PKK, organisasi profesi

Metode Advokasi:
 Lobby
 Pendekatan Informal
 Penggunaan media massa

Materi Pesan
 Harus diketahui jumlah kasus DBD di wilayahnya
 Program cara pencegahan dan pengendalian DBD
 Kebijakan dalam pengendalian DBD (menyiapkan tenaga kesehatan,
dan lintas sektor lain untuk melaksanakan program bebas DBD.
25

Hasil yang diharapkan
 Adanya dukungan politis, kebijakan/keputusan dan sumber daya
(SDM, dana dan sumber daya lainnya) dalam penanggulangan DBD.
 Terbentuknya forum komunikasi/komite/pokjanal yang beranggotakan
lembaga pemerintah, swasta, LSM, Dunia Usaha, untuk membahas dan
memberi masukan dalam penanggulangan BDB
2. Tindakan Preventif DBD
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan
oleh vektor dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan
kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia
serta memutus rantai penularan penyakit
a. Kimiawi
Pengendalian vektor
cara kimiawi dengan menggunakan insektisida
merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat
dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium
dewasa
dan
pra-dewasa.
Karena
insektisida
adalah
racun,
maka
penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan
organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis
insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk
dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang
berulang di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga
sasaran. Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD adalah:

Sasaran
dewasa
methylpirimiphos),
(nyamuk)
adalah
Pyrethroid
:
Organophospat
(Cypermethrine,
(Malathion,
lamda-cyhalotrine,
cyflutrine, Permethrine & S-Bioalethrine). Yang ditujukan untuk stadium
dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging dan
pengabutan dingin/ULV

Sasaran pra dewasa (jentik) : Organophospat (Temephos).
b. Biologi
Pengendalian
vektor
biologi
menggunakan
agent
biologi
seperti
predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa
vektor DBD. Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik
26
(cupang,
tampalo,
gabus,
guppy,
dll),
sedangkan
larva
Capung,
Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator walau
bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor DBD. Golongan
insektisida biologi untuk pengendalian DBD (Insect Growth Regulator/IGR
dan Bacillus Thuringiensis Israelensis/BTi), ditujukan untuk stadium pra
dewasa yang diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.
c. Manajemen Lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air,
vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat
perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti
sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan
yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya
pengelolaan
lingkungan
sehingga
tidak
kondusif
sebagai
habitat
perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus
(menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas, dan plus: menyemprot,
memelihara ikan predator, menabur larvasida dll); dan menghambat
pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi
tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah dll)
d. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Pengendalian Vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan
memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di
masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus.

Sasaran, Semua tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD :
 Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari
 Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (nonTPA)
 Tempat penampungan air alamiah

Ukuran keberhasilan
Keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur dengan Angka
Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
27

Cara PSN DBD, PSN DBD dilakukan dengan cara ‘3M-Plus’, 3M yang
dimaksud yaitu:
 Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak
mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)
 Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2)
 Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3).
Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:
 Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat
lainnya yang sejenis seminggu sekali.
 Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
 Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain
(dengan tanah, dan lain-lain)
 Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit
dikuras atau di daerah yang sulit air
 Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
 Memasang kawat kasa
 Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
 Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
 Menggunakan kelambu
 Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.
Menurut Kementrian Kesehatan RI. Dalam penanganan DBD, peran
serta masyarakat untuk menekan kasus ini sangat menentukan. Oleh karenanya
program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus perlu
terus dilakukan secara berkelanjutan sepanjang tahun khususnya pada musim
penghujan. Program PSN , yaitu: 1) Menguras, adalah membersihkan tempat
yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air,
tempat penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain 2)
Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti
drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan 3) Memanfaatkan kembali
28
atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat
perkembangbiakan nyamuk penular Demam Berdarah.
Gerakkan implementasi PSN 3M-PLUS berupa :
-
29
c. Bagaimana cara untuk mengetahui sebaran DBD (epidemiologi) di wilayah kerja
Puskesmas “Manggis”?
Penyelidikan epidemiologi DBD memantau kasus penyakit DBD, hasil lab,
vektor dan lingkungan dengan faktor risiko epidemi DBD.
KLB DBD dapat dihindari bila Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan
pengendalian vektor dilakukan dengan baik, terpadu dan berkesinambungan.
Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes No.581
tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan
secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk
PSN dengan pesan inti 3M plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat
diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan
95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
30
1.
Descriptive
1) Populations{Correlational studies}
2) Individual: Case report, Case series, Cross sectional studies
Epidemiologi deskriptif akan menjawab 4 pertanyaan berikut:
a) What, yaitu apa masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat dan
berapa besarnya masalah kesehatan masyarakat, maka jawabannya akan
mengukur masalah kesehatan.
b) Who, yaitu siapa yang terkena masalah kesehatan masyarakat adalah
masyarakat. Tentunya yang terkena masalah kesehatan masyarakat
adalah masyarakat atau sekelompok manusia (man) yang menjadi host
penyakit. Man yang akan dibahas adalah karakteristiknya, meliputi jenis
kelamin, usia, paritas, agama, ras, genetika, tingkat pendidikan,
penghasilan, jenis pekerjaan, jumlah keluarga,dll.
c) Where, yaitu dimana masyarakat yang terkena masalah kesehatan.
Jawabannya adalah menjelaskan tempat (place) dengan karakteristik
tempat tinggal, batas geografis, desa-kota, batas administrative, dll.
d) When, yaitu kapan masyarakat terkena masalah kesehatan. Jawabannya
adalah menjelaskan waktu (time) dengan karakteristik periode penyakit
atau gangguan kesehatan jangka penmdek (ukurannya detik, menit, jam,
hari, minggu) jangka panjang (bulan, tahun) periode musiman, dll.
2.
Analytic studies
1) Observational
a.
Case control
b.
Cohort: Retrospective, Prospective
2) Interventional/Experimental: Randomized controlled trial, Field trial,
Clinical trial
Epidemiologi analitik bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor, baik
fisik, biologis, sosial, kultural, dan perilaku, yang dapat mempengaruhi
terjadinya penyakit, disebut determinan penyakit. Determinan penyakit
meliputi faktor risiko dan kausa (etiologi) penyakit. Hasil studi
epidemiologi analitik memberikan basis rasional untuk melakukan
program pencegahan. Jika faktor etiologi (kausa) penyakit dan cara
31
mengurangi atau mengeliminasi faktor-faktor itu diketahui, maka dapat
dibuat program pencegahan dan pengendalian penyakit dan kematian
karena penyakit tersebut.
Desain Penelitian
1. Cross sectional  penelitian yang bertujuan untuk mengetahui korelasi
antara faktor risiko dan efek (penyakit) yang dilakukan hanya di 1 titik waktu
tetertentu (peneliti hanya melakukan 1 kali observasi/pengumpulan data)
2. Case control  penelitian yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara
faktor risiko dan efek (penyakit) yang dilakukan dengan pendekatan
retrospektif. Efek (penyakit) yang akan diteliti saat ini dicari hubungannya
dengan adanya riwayat faktor risiko pada orang yang sama.
3. Cohort study  mengobservasi variabel dalam suatu periode waktu tertentu
atau disebut juga secara longitudinal. Pada penelitian ini, sampel akan selalu
di follow up sampai waktu tertentu sehingga dapat mengetahui dinamika
perjalanan penyakit.
d. Apa hubungan perilaku hidup masyarakat di Kecamatan Mangga dengan kejadian
DBD?
Perilaku hidup masyarakat di kecamatan mangga berupa memakai sungai
yang merupakan sumber air sebagai tempat MCK. Membuang sampah
sembarangan, terutama ke selokan sehingga menghambat saluran air. Keadaan ini
akan menyebabkan tercemarnya air dan menjadi tempat perkembang biakan
vektor DBD berupa nyamuk aedes aegypti. Nyamuk aedes aegypti cenderung
berkembang biak di tempat yang gelap, kotor dan lembab, salah satunya di
tumpukan sampah yang terisi genangan air. Sampah yang dibuang disembarang
tempat akan mudah terisi genangan air hujan dan dijadikan tempat bagi nyamuk
untuk bertelur. Perilaku masyarakat juga dipengaruhi oleh nilai, norma,
pengetahuan dan sikap. Perilaku juga menyangkut dimensi ekonomi, termasuk
tersedianya sarana prasarana. Oleh sebab itu, kejadian DBD pada kecamatan
Mangga juga dipengaruhi oleh tidak terlaksananya kegiatan promosi kesehatan
yang berhubungan dengan kesehatan lingkungan oleh sasaran sekunder sehingga
berdampak pada perilaku masyarakat.
32
4. Melihat permasalahan yang ada, dr. Desi berkoordinasi dengan Pak Camat, segera
mengadakan pertemuan dengan Kepala Desa, Pak RT, kepala Sekolah, Tokoh agama,
kader kesehatan, mengadakan Survei Mawas Diri dan dilanjutkan dengan
Musyawarah Masyarakat Desa serta diharapkan akan menurun penyakit Demam
Berdarah Dengue di Kecamatan “Mangga”.
a. Apa itu Survei Mawas Diri? Jelaskan!
Definisi Survei Mawas Diri atau disingkat SMD adalah kegiatan
pengenalan, pengumpulan dan pengkajian masalah kesehatan yang dilakukan oleh
kader dan tokoh masyarakat setempat dibawah bimbingan petugas kesehatan atau
perawat di desa.
Tujuan Survey Mawas Diri adalah :
1. Pengumpulan data, masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku;
2. Mengkaji dan menganalisis masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku
yang paling menonjol di masyarakat;
3. Mengiventarisasi sumber daya masyarakat yang dapat mendukung upaya
mengatasi masalah kesehatan;
4. Diperoleh dukungan dari kepala desa/kelurahan dan pemuka masyarakat
dalam pelaksanaan penggerakan dan pemberdayaan masyarakat di Desa
Siaga.
Survei Mawas Diri (SMD) sangat penting untuk dilaksanakan agar masyarakat
menjadi sadar akan adanya masalah kesehatan yang sedang dihadapi, masyarakat
mampu mengenal, mengumpulkan data dan mengkaji masalah yang ada dalam
lingkungannya sendiri, timbulnya minat dan kesadaran untuk mengetahui
masalah-masalah kesehatan dan pentingnya masalah tersebut segera diatasi, serta
mampu untuk menggali sumber daya yang ada atau dimiliki. Hasil SMD
Puskesmas kemudian akan menjadi dasar untuk menyusun pemecahan masalah
yang dihadapi.
Langkah-langkah Survey Mawas Diri (SMD)

Persiapan SMD
Menyusun daftar pertanyaan, Menyusun lembar observasi untuk meng-observasi
rumah, halaman dan lingkungan, Menentukan kriteria responden, termasuk
cakupan wilayah dan jumlah Kepala Keluarga (KK).
33

Pelaksanaan SMD
Melakukan interview atau wawancara terhadap responden, dan melakukan
pengamatan terhadap rumah dan lingkungan.

Tindak Lanjut SMD
Meninjau kembali Pelaksanaan Survei Mawas Diri; merangkum, mengolah dan
menganalisa data yang telah dikumpulkan; dan menyusun laporan SMD sebagai
bahan untuk pelaksanaan Musyawarah Masyarakat Desa (MMD).

Pengolahan Data SMD
Setelah melakukan pengolahan data, selanjutnya dibuat kesepakatan tentang :
1. Masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat;
2. Menentukan Prioritas Masalah; dan
3. Kesediaan masyarakat untuk ikut serta dalam menentukan pemecahan
masalah.
4. Penyajian data SMD
Adapun metode penyajian data SMD dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara yaitu :

Tekstular, yaitu dengan menggunakan kalimat;

Tabular, yaitu dengan menggunakan tabel;

Grafikal, yaitu dengan menggunakan grafik.
b. Apa itu MMD? Jelaskan!
Musyawarah masyarakat desa (MMD) adalah pertemuan seluruh warga desa
untuk membahas hasil Survei Mawas Diri dan merencanakan penanggulangan
masalah kesehatan yang diperoleh dari Survei Mawas Diri.
Musyawarah Masyarakat Desa Musyawarah masyarakat desa dilaksanakan
setelah survey mawas diri. Di forum ini di bahas masalah yang ditemukan pada
survey mawas diri, kemudian dilakukan pemecahan masalah bersama antara
masyarakat dan puskesmas. Di dalam musyawarah masyarakat desa di tentukan
langkah-langkah yang ditempuh untuk mengatasi masalah kesehatan yang
ditemukan. Musyawarah masyarakat desa diadakan di rumah kepala desa.
Musyawah masyarakat desa ini melibatkan bidan desa, petugas promkes
puskesmas, kader, kepala desa, pkk desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan
lain-lain.
34
Tujuan dari MMD adalah sebagai berikut:

Masyarakat mengenal masalah kesehatan di wilayahnya.

Masyarakat sepakat untuk menanggulangi masalah kesehatan.

Masyarakat menyusun rencana kerja untuk menanggulangi masalah
kesehatan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan MMD adalah sebagai
berikut:

Musyawarah Masyarakat Desa harus dihadiri oleh pemuka masyarakat
desa,
petugas
puskesmas,
dan
sektor
terkait
kecamatan
(seksi
pemerintahan dan pembangunan, BKKBN, pertanian, agama, dll).

Musyawarah Masyarakat Desa dilaksanakan di balai desa atau tempat
pertemuan lain yang ada di desa.

Musyawarah Masyarakat Desa dilaksanakan segera setelah SMD
dilaksanakan.
Cara pelaksanaan Musyawarah Masyarakat Desa adalah sebagai berikut:

Pembukaan dengan menguraikan maksud dan tujuan MMD dipimpin oleh
kepala desa.

Pengenalan masalah kesehatan oleh masyarakat sendiri melalui curah
pendapat dengan mempergunakan alat peraga, poster, dll dengan dipimpin
oleh ibu desa.

Penyajian hasil SMD.

Perumusan dan penentuan prioritas masalah kesehatan atas dasar
pengenalan masalah dan hasil SMD, dilanjutkan dengan rekomendasi
teknis dari petugas kesehatan di desa atau perawat komunitas.

Penyusunan rencana penanggulangan masalah kesehatan dengan dipimpin
oleh kepala desa.

Penutup.
35
c. Bagaimana pengaruh SMD dan MMD terhadap penurunan kasus DBD?
Dengan adanya SMD dan MMD diharapkan masyarakat menjadi sadar
tentang masalah kasus DBD karena masyarakat sendiri yang melakukan
pengumpulan fakta dan data sehingga masyarakat lebih tahu tentang besarnya
masalah DBD apabila tidak dilakukan tindakan preventif dengan segera. SMD dan
MMD juga bertujuan memberdayakan sumber daya yang dimiliki desa agar dapat
melaksanakan program pencegahan DBD secara cepat dan efisien karena
langsung dilakukan oleh masyarakat sendiri sehingga
akan lebih mudah
mengomunikasikan kepada masyarakat melalui tokoh masyarakat dan orangorang yang berperan dalam masyarakat tersebut dimana mereka sudah mengetahui
kultur dan kebiasaan masyarakat yang menjadi sasaran program penurunan kasus
DBD misalnya dengan 3M, fogging, dan beberapa hal lainnya yang merupakan
tindakan preventif terhadap penyakit DBD.
d. Apa peran tokoh-tokoh masyarakat terhadap penurunan DBD?
Masyarakat sebagai tokoh dapat berperan menyebarluaskan informasi dalam
pengendalian demam berdarah. Selain itu seorang tokoh mempunyai pengaruh
yang besar dalam menggerakkan masyarakat luas, karena masyarakat umum lebih
mudah menerima apa yang dijelaskan oleh tokoh panutannya.
Peran tokoh masyarakat seperti Ketua RT atau RW lebih banyak pada
kebersihan lingkungan secara umum seperti kebersihan taman, pinggir jalan dan
selokan, jadi tidak fokus pada masalah kesehatan.
5. Minggu yang lalu, Puskesmas “Manggis” dikunjungi oleh staff Dinas Kesehatan
Kabupaten karena kegiatan surveilans DBD tidak jalan.
a. Bagaimana kegiatan surveilans DBD?
o Tahap Persiapan
Tahap persiapan dalam surveilens epidemiologi penyakit demam berdarah
merupakan identifikasi faktor risiko DBD untuk menggambarkan tingkat risiko
suatu wilayah, yang telah diambil sebelum musim penularan DBD hingga mulai
terjadinya kasus melalui kegiatan survey cepat. Materi faktor risiko dibatasi pada
faktor perilaku dan lingkungan, sedangkan faktor vector (nyamuk) misalnya jarak
terbang nyamuk, jenis nyamuk dan kepadatan nyamuk tidak dimasukkan sebagai
36
variable mengingat tingginya tingkat mobilitas penduduk memungkinkan
seseorang menderita DBD dari penularan nyamuk di daerah lain. Pada tahap
pertama dihasilkan peta stratifikasi faktor risiko DBD untuk masing-masing desa.
Hasil dari tahap ini digunakan untuk intervensi guna pengendalian faktor risiko
sesuai hasil survey cepat. Materi penelitian dianalisis berdasarkan unsur–unsure
epidemiologi yaitu orang, tempat dan waktu, yang ditampilkan dalam bentuk peta
faktor risiko.
Implementasi
Dilakukan pendataan faktor risiko DBD melalui Rapid Survey pada saat
menjelang musim penularan untuk mendapatkan data terbaru untuk menentukan
jenis intervensi sehingga dapat dihasilkan peta faktor risiko, peta kasus dan peta
kegiatan lain, dan dengan teknik over layer dapat dilakukan perencanaan maupun
evaluasi program pemberantasan.
o Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan dan pencatatan data dapat dilakukan yaitu:
1. Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka
DBD dan penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan penderita DD,
DBD, SSD yang diterima puskesmas dapat berasal dari rumah sakit atau dinas
kesehatan kabupaten/kota, puskesmas sendiri atau puskesmas lain (cross
notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan kesehatan lain (balai
pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain – lain), dan hasil
penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari
rumah sakit/unit pelayanan kesehatan lainnya).
2. Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD
menggunakan ‘Buku catatan harian penderita DBD’ yang memuat catatan
(kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD ditambah catatan
(kolom) tersangka DBD.
Menurut Sitepu dkk (2010), pengumpulan data yang dilakukan dalam
pelaksanaan sistem surveilans DBD, yaitu Petugas di DKK Singkawang
mengumpulkan. Data kasus DBD dari rumah sakit (RS) dengan cara dijemput
langsung. Laporan dari RS akan ditabulasi untuk diteruskan kepada masingmasing petugas di tingkat Puskesmas agar segera dilakukan Penyelidikan
Epidemiologi (PE).
37
Petugas surveilans lebih aktif dalam mengumpulkan data kasus DBD dan
menginformasikan kepada petugas Puskesmas. Petugas Puskesmas melaksanakan
active case finding di masyarakat di sekitar tempat tinggal kasus.
o Tahap Analisis dan Interpretasi
1. Analisis Data
Data yang terkumpul dari kegiatan surveilans epidemiologi diolah dan disajikan
dalam bentuk tabel situasi demam berdarah tiap puskesmas, RS maupun daerah.
serta tabel endemisitas dan grafik kasus DBD per minggu/bulan/tahun. Analisis
dilakukan dengan melihat pola maksimal-minimal kasus DBD, dimana jumlah
penderita tiap tahun ditampilkan dalam bentuk grafik sehingga tampak tahun
dimana terjadi terdapat jumlah kasus tertinggi (maksimal) dan tahun dengan
jumlah kasus terendah (minimal). Kasus tertinggi biasanya akan berulang setiap
kurun waktu 3–5 tahun, sehingga kapan akan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB)
dapat diperkirakan. Analisis juga dilakukan dengan membuat rata–rata jumlah
penderita tiap bulan selama 5 tahun, dimana bulan dengan rata–rata jumlah
kasus terendah merupakan bulan yang tepat untuk intervensi karena bulan
berikutnya merupakan awal musim penularan.
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan
dipergunakan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi serta tindakan
pencegahan dan penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuranukuran epidemiologi seperti rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui
situasi, estimasi dan prediksi penyakit.
Dalam program pemberantasan DBD dikenal beberapa indikator yang diperoleh
dari hasil analisis data yaitu:

Angka kesakitan/CFR (Case Fatality Rate) merupakan jumlah kasus
DBD di suatu wilayah tertentu selama 1 tahun tiap 100.000 penduduk.

Angka kematian/IR (Incidence Rate) adalah banyaknya penderita DBD
yang meninggal dari seluruh penderita DBD di suatu wilayah.

ABJ (Angka Bebas Jentik)/Case fatality rate didefinisikan sebagai
persentase rumah yang bebas dari jentik dari seluruh rumah yang
diperiksa.
38
Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
Dinas kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes berperan dalam
penyelenggaraan Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Puskesmas (STP
Puskesmas), Rumah Sakit (STP Rumah Sakit) dan Laboratorium (STP
Laboratorium).

Unit surveilans Puskesmas

Unit surveilans Rumah Sakit

Unit surveilans Laboratorium

Unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Unit surveilans Dinas Kesehatan Provinsi

Unit surveilans Ditjen PPM&PL Depkes
2. Interpretasi
Di samping menghasilkan informasi untuk pihak puskesmas dan DKK,
informasi juga harus disebarluaskan kepada stakeholder yang lain seperti Camat
dan lurah, lembaga swadaya masyarakat, Pokja/Pokjanal DBD dan lain-lain.
Penyebarluasan informasi dapat berbentuk laporan rutin mingguan wabah dan
laporan insidentil bila terjadi KLB.
o Tahap Diseminasi dan Advokasi

Tahap Diseminasi
Tahap diseminasi yakni melakukan penyiapan bahan perencanaan, monitoring &
evaluasi, koordinasi kajian, pengembangan dan diseminasi, serta pendidikan dan
pelatihan bidang surveilans epidemiologi. Yang mana hasil analisis dan
interpretasi didiseminasikan kepada orang-orang yang berkepentingan dan
sebagai umpan balik (feedback) agar pengumpulan data di masa yang akan
datang menjadi lebih baik. Diseminasi berguna kepada orang-orang yang
mengumpulkan data, decision maker, orang-orang tertentu (pakar) dan
masyarakat. Pelaksanaan diseminasi dapat berupa buletin dan laporan, seminar,
simposium serta laporan.

Tahap Advokasi
Tahap advokasi yakni melakukan penyiapan bahan perencanaan, monitoring &
evaluasi, koordinasi pelaksanaan advokasi dan fasilitasi kejadian luar biasa, serta
wabah dan bencana. Advokasi dilakukan kepada Bupati/Walikota dan DPRD.
39
o Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi sistem surveilans merupakan suatu tahapan dalam surveilans yang
dilakukan secara sistematis untuk menilai efektivitas program. Hasil evaluasi
terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk perencanaan,
penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak lanjut
(follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program dan
pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil
kegiatan.
Setiap program surveilans sebaiknya dinilai secara periodik untuk mengevaluasi
manfaatnya. Sistem atau program tersebut dikatakan dapat berguna apabila secara
memuaskan memenuhi paling tidak salah satu dari pernyataan berikut:

Apakah
kegiatan
surveilans
dapat
mendeteksi
kecenderungan
yang
mengidentifikasi perubahan dalam kejadian kasus penyakit,

Apakah program surveilans dapat mendeteksi epidemic kejadian penyakit di
wilayah tersebut,

Apakah kegiatan surveilans dapat memberikan informasi tentang besarnya
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan kejadian penyakit di
wilayah tersebut,

Apakah program surveilans dapat mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang
berhubungan dengan kejadian penyakit, dan

Apakah program surveilans tersebut dapat menilai efek tindakan pengendalian.
Seperti contoh kasus DBD, surveilans epidemiologi untuk kasus DBD ini juga
memiliki tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya. Hingga di akhir tahapan
dilakukannya evaluasi dari sistem surveilans epidemiologi DBD tersebut.
Program pengendalian vektor DBD dapat dilakukan dengan beberapa metode yakni:

Pengendalian Biologis (pengendalian jumlah predator vector untuk
mengendalikan jumlah vektor DBD)

Pengendalian kimiawi (melalui penggunaan insektisida)

Perlindungan individu (penggunaan repellent, penggunaan pakaian yang
menguran gigigitan nyamuk)

Partisipasi masyarakat
40

Peraturan Perundangan (bahwa pengendalian DBD juga memerlukan peran
serta masyarakat bukan hanya dari sektor kesehatan).
Dengan adanya evaluasi program-program kesehatan yang telah dilakukan diharapkan
dapat lebih mengefektifkan serta mengefisienkan program pengendalian kasus DBD.
Sehingga, program pengendalian yang dilakukan tidak hanya sia-sia dan dapat
bermanfaat khususnya dalam menurunkan jumlah kejadian kasus DBD di daerah
setempat.
Pelaksanaan surveilans penyakit DBD dibantu oleh kader jumantik yang
mengumpulkan data terkait faktor risiko penyakit DBD pada setiap rumah di wilayah
kerja Puskesmas Kader jumantik selanjutnya mengumpulkan data tersebut ke
puskesmas. Petugas surveilans di puskesmas merekap data- data yang telah terkumpul
dan dilaporkan kepada Dinas Kesehatan.
41
6. Dokter Desi ingin menurunkan kejadian DBD di wilayah Puskesmas Manggis dengan
membuat program-program kegiatan prevensi terhadap penyakit DBD.
a. Apa saja program kegiatan prevensi terhadap penyakit DBD berdasarkan langkahlangkah yang telah dijelaskan di atas?
1. Health Promotion, dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
a) Pendidikan dan Penyuluhan tentang kesehatan pada masyarakat.
Hal ini dimaksudkan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang kesehatan. Selain itu juga dilakukan untuk membina peran serta
masyarakat melalui berbagai jalur komunikasi dan informasi kepada masyarakat,
seperti melalui televisi, radio dan media massa lainnya, kerja bakti dan lombalomba yang berkaitan dengan kesehatan di kelurahan atau desa, sekolah atau
tempat-tempat umum lainnya.
b) Memberdayakan kearifan lokal yang ada.
Misalnya kearifan lokal masyarakat di pedesaan yaitu gotong royong. Hal
ini jika dilakukan secara rutin tiap minggunya dalam bentuk bersama-sama
membersihkan lingkungan sekitar akan sangat berguna untuk meningkatkan status
kesehatan.
c) Perbaikan suplai dan penyimpanan air.
Air sebagai sumber kehidupan memegang peranan yang sangat penting
dalam kelanjutan dan kesejahteraan hidup manusia. Permasalahan sanitasi air bersih
menjadi salah satu permasalahan kesehatan lingkungan di Indonesia. Oleh karena
itu, perbaikan suplai dan penyimpanan air sangat penting untuk dilakukan
mengingat permasalahan atau penyakit berupa water borne disease sangat beraneka
ragam. Bahkan air juga bisa menjadi tempat hidup dan perkembangbiakan vektor
penyakit lain seperti demam berdarah dengue (DBD).
d) Menekan angka pertumbuhan penduduk.
Daerah yang terjangkit DBD pada umumnya adalah kota atau wilayah yang
padat penduduk. Rumah-rumah yang saling berdekatan memudahkan penularan
penyakit ini, mengingat nyamuk Aedes aegypti jarak terbangnya maksimal 200
meter. Hubungan yang baik antar daerah memudahkan penyebaran penyakit ke
daerah lain. Selain itu, hal ini juga berkaitan erat dengan mobilitas penduduk yang
memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lainnya dan biasanya penyakit
42
menjalar dimulai dari satu sumber penularan kemudian mengikuti lalu lintas
penduduk.
e) Perbaikan sanitasi lingkungan, tata ruang kota dan kebijakan pemerintah.
Hal ini erat kaitannya dengan pemukiman penduduk, tempat-tempat umum,
sarana dan prasarana kota, dan lain-lain. Penataan ruang kota yang baik akan
meningkatkan status kesehatan masyarakat setempat. Selain itu sanitasi lingkungan
juga harus diperbaiki karena beberapa hal berikut ini:
-
Keberadaan Densitas Aedes aegypti pada Daerah Endemis Demam Berdarah di
beberapa daerah menunjukkan bahwa tempat perindukkan nyamuk Aedes
aegypti yang paling banyak berupa bak mandi, kemudian diikuti gentong, bak
WC, tempayan, ember dan tempat wudhu .
-
Keberadaan pot tanaman hias. Keberadaan pot tanaman hias di rumah
khususnya tanaman hias yang menggunakan media air sebagai pertumbuhan
pada kenyataannya terdapat genangan air. Genangan air ini dijadikan sebagai
breeding place nyamuk Aedes aegypti.
-
Keberadaan saluran air hujan. menunjukkan adanya hubungan antara
keberadaan saluran air hujan dengan endemisitas demam berdarah dengue.
Perubahan musim dari kemarau ke penghujan menjadi titik rawan ledakan kasus
demam berdarah, apalagi didukung oleh keberadaan saluran air hujan yang
dapat menampung genangan air.
-
Keberadaan kontainer. Genangan yang disukai sebagai tempat perindukkan
nyamuk ini berupa genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasa
disebut kontainer atau tempat penampungan air bukan genangan air di tanah.
2. Specific protection
a. Abatisasi
Program ini secara massal memberikan bubuk abate secara cuma-cuma
kepada seluruh rumah, terutama di wilayah yang endemis DBD semasa musim
penghujan. Tujuannya agar kalau sampai menetas, jentik nyamuknya mati dan tidak
sampai terlanjur menjadi nyamuk dewasa yang akan menambah besar populasinya.
Abitasasi selektif atau larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan atau
menaburkan larvasida ke dalam penampungan air yang positif terdapat jentik aedes
Fogging focus adalah kegiatan menyemprot dengan insektisida (malation,
losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per 1
43
dukuh. Penyemprotan bisa membahayakan kesehatan jika dilakukan tidak dengan
hati-hati. Oleh karena itu, takaran insektisida yang dipakai harus diukur dengan
cermat, dan tidak sampai berlebihan.
b. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
Pemeriksaan Jentik Berkala adalah kegiatan reguler tiga bulan sekali,
dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampel
dapat dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan rumah di tengah
sebagai pusatnya) atau metode zig-zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka
kepadatan jentik atau House Index (HI). Pembersihan jentik bisa dilakukan dengan
pogram Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), menggunakan ikan, dan larvasidasi.
Tidak semua jenis ikan memangsa jentik nyamuk Aedes, hanya ikan jenis
gambusia, seperti ikan kepala timah. Selain itu ada beberapa pemangsa jentik
nyamuk Aedes yang ada di alam, yaitu burung air, serangga, dan ikan. Namun
pemangsa itu sudah semakin langka, sehingga campur tangan manusia memang
diperlukan.
c. Penggerakan PSN
Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak mandi atau
WC, drum seminggu sekali, menutup rapat-rapat TPA seperti gentong air atau
tempayan, mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan serta mengganti air vas bunga, tempat minum burung
seminggu sekali merupakan upaya untuk melakukan PSN DBD. Masyarakat
diharapkan rutin melakukan kegiatan tersebut dan pihak pemerintah melakukan
pemeriksaan jentik berkala, sehingga pencegahan dan pemberantasan penyakit
DBD dapat berjalan dengan baik.
44
d. Pencegahan gigitan nyamuk.
Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan pemakaian kawat kasa,
menggunakan kelambu, menggunakan obat nyamuk (bakar, oles), dan tidak
melakukan kebiasaan beresiko seperti tidur siang, dan menggantung baju.
Pemakaian kasa pada ventilasi yang dilakukan merupakan pencegahan secara fisik
terhadap nyamuk yang bertujuan agar nyamuk tidak sampai masuk rumah ataupun
kamar tidur.
e. Pengendalian vektor.
Pengendalian vektor melalui surveilans vektor diatur dalam Kepmenkes
No.581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam
bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain
dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama
dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Sejak tahun
2004 telah diperkenalkan suatu metode komunikasi atau penyampaian informasi
atau pesan yang berdampak pada perubahan perilaku dalam pelaksanaan PSN
melalui pendekatan sosial budaya setempat yaitu Metode Communication for
Behavioral Impact (COMBI) (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes
RI, 2010).
Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit DBD
belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga pengendaliannya terutama
ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian vektornya.
Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh
program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu: 1. Manajemen
lingkungan, 2. Pengendalian Biologis, 3. Pengendalian Kimiawi, 4. Partisipasi
masyarakat, 5. Perlindungan Individu dan 6. Peraturan perundangan
3. Early Diagnosis dan Prompt Treatment
Pengendalian penyakit menular akan berjalan efektif kalau penyakit menular
yang bersangkutan memiliki metode deteksi dini untuk diagnostik. Menurut Kemenkes
RI, 2010, Alat deteksi dini akan sangat efektif pula apabila diikuti dengan pengobatan
(prompt treatment) secara dini. Gabungan keduanya yakni –early diagnostic dan
45
prompt treatment, merupakan pendekatan yang amat ampuh untuk mengendalikan
penyakit menular.
Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus (antigen) secara dini
dengan metode antigen capture (NS1 atau non-structural protein 1) untuk mendeteksi
adanya virus dalam tubuh. Deteksi virus bisa dilakukan sehari sebelum penderita
menderita demam, hingga virus hilang pada hari ke sembilan. Setelah diketahui ada nya
virus, penderita diberi antiviral yang efektif membunuh virus DBD (Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010).
Deteksi dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader dengan mencari kasus
DBD secara pro aktif disekitar penderita pertama yang diketahui alamatnya, atau
menggunakan petugas yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD disetiap RW, atau
Kelurahan.
Beberapa metode lain untuk melakukan pencegahan pada tahap Early Diagnosis
dan Prompt Treatment antara lain sebagai berikut:
a. Pelacakan penderita. Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis) yaitu
kegiatan mendatangi rumah-rumah dari kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk
mencari penderita lain dan memeriksa angka jentik dalam radius ±100 m dari rumah
indeks.
b. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain. Jika
terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan kasus
termasuk merujuk ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terdekat .
c. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium penting dan bermanfaat untuk
mengetahui beberapa hal. Pertama, dapat lebih dini mengetahui benar ada infeksi
virus dengue. Kedua, sudah seberapa parah penyakitnya berlangsung, apa sedang
terancam syok, dan tindakan medis apa yang perlu segera dilakukan. Ketiga, untuk
memonitor apakah penyakitnya sudah dalam proses menyembuh. Selain itu dengan
melakukan pemeriksaan darah berkala, sekurang-kurangnya setiap 4-6 jam dapat
diketahui pasien DBD masih dalam stadium yang ringan atau sudah stadium berat.
Pemeriksaan juga dilakukan pada bagian hati penderita. Hati yang lunak menjadi
tanda penderita demam berdarah mendekati fase kritis. Selain itu, pemeriksaan
laboratorium
akan dilakukan pada hari ketiga, kelima, dan selanjutnya untuk
mengetahui keadaan penderita secara lebih pasti. Berikut ini beberapa pemeriksaan
darah yang mungkin dilakukan pada penderita DBD:
46
- Pemeriksaan darah tepi untuk mengetahui jumlah leukosit. Pemeriksaan ini
digunakan untuk mengantisipasi terjadinya leukopenia.
- Pemeriksaan limfosit atipikal (sel darah putih yang muncul pada infeksi virus).
Jika terjadi peningatan, mengindikasikan dalam waktu kurang lebih 24 jam
penderita akan bebas demam dan memasuki fase kritis.
- Pemeriksaan trombositopenia dan trombosit. Jika terjadi penurunan jumlah
keduanya, mengindikasikan penderita DBD
memasuki fase kritis dan
memerlukan perawatan ketat di rumah sakit .
d. Pengobatan penderita demam berdarah dapat dilakukan dengan cara:
- Pemberian cairan yang cukup untuk mengurangi rasa haus dan dehidrasi akibat
dari demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Penderita diberi minum sebanyak 1, 52 liter dalam 24 jam.
- Antipiretik, seperti golongan Acetaminofen (parasetamol) dan jangan diberikan
golongan salisilat karena dapat menyebabkan bertambahnya perdarahan.
- Surface cooling
- Antikonvulsan.
- Pada penderita kejang dapat diberikan diazepam (valium) dan fenobarbital
(luminal)
Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan
penyakit demam dengue maupun demam dengue berdarah ini (Pusat Data dan
Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI, 2010). Riset masih dalam progress untuk
mengembangkan vaksin dengue tetravalent yang efektif dan aman. Dalam keadaan
tidak adanya vaksin dengue untuk kesehatan masyarakat pada saat sekarang,
pencegahan dan pertahanan outbreak dengue akan menjadi pengendalian vektor
jangka panjang yang efektif dengan partisipasi komunitas dan surveilans
epidemiologi yang agresif.
4. Disability Limitation
Pembatasan kecacatan yang dilakukan adalah untuk menghilangkan gangguan
kemampuan bekerja yang diakibatkan suatu penyakit. Dampak dari penyakit DBD yang
tidak segera diatasi, antara lain:
- Paru-paru basah. Hal ini bisa terjadi karena cairan plasma merembes keluar dari
pembuluh, ruang-ruang tubuh, seperti di antara selaput paru (pleura) juga terjadi
47
penumpukan. Pada anak-anak sering terjadi bendungan cairan pada selubung paruparunya (pleural effusion).
- Komplikasi pada mata, otak, dan buah zakar. Pada mata dapat terjadi kelumpuhan
saraf bola mata, sehingga mungkin nantinya akan terjadi kejulingan atau bisa juga
terjadi peradangan pada tirai mata (iris) kalau bukan pada kornea yang berakhir
dengan gangguan penglihatan. Peradangan pada otak bisa menyisakan kelumpuhan
atau gangguan saraf lainnya.
Umumnya penyakit DBD berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Oleh karena
itu, sebagian besar penderita DBD tidak menunjukkan gejala sisa. Komplikasi pada
penderita DBD misalnya perdarahan paru dan sepsis. Jika virus dengue menyerang
otak, dan tergolong ganas serta daya tahan tubuh penderita rendah, kerusakan daerah
otak cukup luas. Oleh karena itu, mungkin dapat meninggalkan gejala sisa. Namun,
keadaan ini jarang terjadi. Selain itu, jika keadaan penderita bertambah parah atau
akibat jumlah cairan yang masuk tidak memadai maka penderita akan memasuki fase
syok. Perdarahan yang tak terkontrol dari berbgaai organ tubuh yang sulit dihentikan
juga dapat terjadi sebagai akibat terjadinya gangguan pembekuan darah secara
menyeluruh. Ketika sudah mengalami perdarahan menunjukkan bahwa kegawatan
penyakitnya sudah masuk dalam derajat II yang merupakan satu tingkat di bawah fase
DDS (Dengue Shock Syndrome). Fase DDS merupakan kondisi paling parah atau
stadium akhir dari infeksi virus dengue ini. Jika seorang penderita DBD sudah masuk
dalam fase ini, maka risiko kematian yang mengancamnya menjadi cukup besar.
Bahkan, kalaupun penderita berhasil lolos dari fase ini, besar kemungkinan pula ia akan
mengalami kecacatan akibat kegagalan salah satu atau beberapa fungsi organnya, mulai
dari otak, ginjal, hingga hati.
Pembatasan kecacatan dapat dilakukan dengan pengobatan dan perawatan.
Obat-obatan yang diberikan kepada pasien DBD hanya bersifat meringankan keluhan
dan gejalanya semata. Obat demam, obat mual, dan vitamin tak begitu besar
peranannya untuk meredakan penyakitnya. Jauh lebih penting upaya pemberian cairan
atau tranfusi darah, tranfusi sel trombosit, atau pemberian cairan plasma. Pada tubuh
pasien DBD yang terjadi adalah darah mengalami kehilangan plasma. Plasma
merembes keluar pembuluh darah. Pada tingkat kekentalan tertentu, sirkulasi
terganggu. Infus cairan mencegah terjadinya kegagalan sirkulasi, sehingga syok yang
timbul dapat dicegah .
48
5. Rehabilitation
Setelah sembuh dari penyakit demam berdarah dengue, kadang-kadang orang
menjadi cacat, untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan
tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak akan
segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu oorang yang cacat
setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke masyarakat.
Sering terjadi pula masyarakat tidak mau menerima mereka sebagai anggoota
masyarakat yang normal. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan diperlukan bukan saja
untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga perlu pendidikan kesehatan
pada masyarakat. Rehabilitasi pada penderita DBD yang mengalami kelumpuhan saraf
mata yang menyebabkan kejulingan terdiri atas:
1. Rehabilitasi fisik, yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan fisik
semaksimal-maksimalnya. Misalnya dengan donor mata agar saraf mata dapat
berfungsi dengan normal kembali.
2. Rehabilitasi mental, yaitu agar bekas penderita dapat menyesuaikan diri dalam
hubungan perorangan dan sosial secara memuaskan. Seringkali bersamaan dengan
terjadinya cacat badaniah muncul pula kelainan-kelainan atau gangguan mental.
Untuk hal ini bekas penderita perlu mendapatkan bimbingan kejiwaan sebelum
kembali ke dalam masyarakat.
3. Rehabilitasi sosial vokasional, yaitu agar bekas penderita menempati suatu pekerjaan
atau jabatan dalam masyarakat dengan kapasitas kerja yang semaksimalmaksimalnya sesuai dengan kemampuan dan ketidak mampuannya.
Rehabilitasi aesthesis, perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa keindahan,
walaupun kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri tidak dapat
dikembalikan misalnya dengan menggunakan mata palsu.
49
E. LEARNING ISSUE
1. PWS
1.1 Definisi
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) adalah alat
manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terus
menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA yang
dimaksud meliput pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi
kebidanan, keluarga berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, dan
balita. Kegiatan PWS KIA terdiri dari pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi
data serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak/instansi terkait
untuk tindak lanjut.
1.2 Tujuan
2. Tujuan umum :
Terpantaunya cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus-menerus di setiap wilayah
kerja.
3. Tujuan Khusus :
a. Memantau pelayanan KIA secara Individu melalui Kohort
b. Memantau kemajuan pelayanan KIA dan cakupan indikator KIA secara teratur
(bulanan) dan terus menerus.
c. Menilai kesenjangan pelayanan KIA terhadap standar pelayanan KIA.
d. Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator KIA terhadap target yang
ditetapkan.
e. Menentukan sasaran individu dan wilayah prioritas yang akan ditangani secara
intensif berdasarkan besarnya kesenjangan.
f. Merencanakan tindak lanjut dengan menggunakan sumber daya yang tersedia dan
yang potensial untuk digunakan.
g. Meningkatkan peran aparat setempat dalam penggerakan sasaran dan mobilisasi
sumber daya.
h. Meningkatkan peran serta dan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan
KIA.
50
1.3 Prinsip Pengelolaan Program KIA
Pengelolaan program KIA bertujuan memantapkan dan meningkatkan jangkauan serta
mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Pemantapan pelayanan KIA dewasa ini
diutamakan pada kegiatan pokok sebagai berikut :
1. Peningkatan pelayanan antenatal sesuai standar bagi seluruh ibu hamil di semua fasilitas
kesehatan.
2. Peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan kompeten diarahkan ke
fasilitas kesehatan.
3. Peningkatan pelayanan bagi seluruh ibu nifas sesuai standar di semua fasilitas kesehatan.
4. Peningkatan pelayanan bagi seluruh neonatus sesuai standar di semua fasilitas kesehatan.
5. Peningkatan deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga
kesehatan maupun masyarakat.
6. Peningkatan penanganan komplikasi kebidanan dan neonatus secara adekuat dan
pengamatan secara terus-menerus oleh tenaga kesehatan.
7. Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh bayi sesuai standar di semua fasilitas
kesehatan.
8. Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh anak balita sesuai standar di semua
fasilitas kesehatan.
9. Peningkatan pelayanan KB sesuai standar
1.4 Indikator Pemantauan
1. Akses Pelayanan Antenatal (cakupan K1)
dalah cakupan ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan antenatal oleh tenaga
kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Indikator akses ini digunakan
untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta kemampuan program dalam
menggerakkan masyarakat.
2. Cakupan pelayanan ibu hamil (cakupan K4)
Adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan
standar, paling sedikit empat kali dengan distribusi waktu 1 kali pada trimester ke-1, 1
kali pada trimester ke-2 dan 2 kali pada trimester ke-3 disuatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu.
51
3. Cakupan Persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn)
Adalah cakupan ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan, di suatu wilayah kerja dalam kurun
waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang
ditangani oleh tenaga kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan manajemen
program KIA dalam pertolongan persalinan sesuai standar.
4. Cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan (KF3)
Adalah cakupan pelayanan kepada ibu pada masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca
bersalin sesuai standar paling sedikit 3 kali dengan distribusi waktu 6 jam s/d hari ke-3
(KF1), hari ke-4 s/d hari ke-28 (KF2) dan hari ke-29 s/d hari ke-42 (KF3) setelah bersalin
di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
5. Cakupan Pelayanan Neonatus Pertama (KN 1)
Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar pada 6 - 48 jam
setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Dengan indikator ini dapat
diketahui akses/jangkauan pelayanan kesehatan neonatal
6. Cakupan Pelayanan Kesehatan Neonatus 0-28 hari (KN Lengkap).
Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar paling sedikit tiga
kali dengan distribusi waktu 1 kali pada 6-48 jam, 1 kali pada hari ke 3 hari ke 7 dan 1
kali pada hari ke 8 hari, ke 28 setelah lahir disuatu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu. Dengan indikator ini dapat diketahui efektifitas dan kualitas pelayanan kesehatan
neonatal
7. Deteksi faktor risiko dan komplikasi oleh Masyarakat
Adalah cakupan ibu hamil dengan faktor risiko atau komplikasi yang ditemukan oleh
kader atau dukun bayi atau masyarakat serta dirujuk ke tenaga kesehatan di suatu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu. Masyarakat disini, bisa keluarga ataupun ibu hamil,
bersalin, nifas itu sendiri.
8. Cakupan Penanganan Komplikasi Obstetri (PK)
Adalah cakupan Ibu dengan komplikasi kebidanan di suatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu yang ditangani secara definitif sesuai dengan standar oleh tenaga
kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan. Penanganan definitif
adalah penanganan/pemberian tindakan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan
setiap kasus komplikasi kebidanan.
52
9. Cakupan Penanganan Komplikasi Neonatus
Adalah cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani secara definitif oleh tenaga
kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan di suatu wilayah kerja
pada kurun waktu tertentu. Penanganan definitif adalah pemberian tindakan akhir pada
setiap kasus komplikasi neonatus yang pelaporannya dihitung 1 kali pada masa neonatal.
Kasus komplikasi yang ditangani adalah seluruh kasus yang ditangani tanpa melihat
hasilnya hidup atau mati. Indikator ini menunjukkan kemampuan sarana pelayanan
kesehatan dalam menangani kasus kasus kegawatdaruratan neonatal, yang kemudian
ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya, atau dapat dirujuk ke tingkat pelayanan
yang lebih tinggi.
10. Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi 29 hari 12 bulan (Kunjungan Bayi)
Adalah cakupan bayi yang mendapatkan pelayanan paripurna minimal 4 kali yaitu 1 kali
pada umur 29 hari 2 bulan, 1 kali pada umur 3-5 bulan, dan satu kali pada umur 6-8 bulan
dan 1 kali pada umur 9-11 bulan sesuai standar di suatu wilayah kerja pada kurun waktu
tertentu. Dengan indikator ini dapat diketahui efektifitas, continuum of care dan kualitas
pelayanan kesehatan bayi
11. Cakupan Pelayanan Anak Balita (12 59 bulan).
Adalah cakupan anak balita (12 59 bulan) yang memperoleh pelayanan sesuai standar,
meliputi pemantauan pertumbuhan minimal 8x setahun, pemantauan perkembangan
minimal 2 x setahun, pemberian vitamin A 2 x setahun
12. Cakupan Pelayanan Kesehatan Anak Balita Sakit yang dilayani dengan MTBS
Adalah cakupan anak balita (umur 12 59 bulan) yang berobat ke Puskesmas dan
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar (MTBS) di suatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu.
13. Cakupan Peserta KB aktif (Contraceptive Prevalence Rate)
Adalah cakupan dari peserta KB yang baru dan lama yang masih aktif menggunakan alat
dan obat kontrasepsi (alokon) dibandingkan dengan jumlah pasangan usia subur di suatu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Indikator ini menunjukkan jumlah peserta KB
baru dan lama yang masih aktif memakai alokon terus-menerus hingga saat ini untuk
menunda, menjarangkan kehamilan atau yang mengakhiri kesuburan.
53
1.5 Pengumpulan, Pencatatan dan Pengolahan Data Kia
1. Pengumpulan Data
a. Jenis Data

Data Sasaran: Jumlah seluruh ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, seluruh bayi,
seluruh anak balita, seluruh PUS

Data pelayanan : Jumlah K1, K4, persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan,
ibu nifas yang dilayani 3 kali (KF 3) oleh tenaga kesehatan, neonatus yang
mendapatkan pelayanan kesehatan pada umur 6 48 jam, neonatus yang
mendapatkan pelayanan kesehatan lengkap (KN lengkap), ibu hamil, bersalin dan
nifas dengan faktor risiko/komplikasi yang dideteksi oleh masyarakat, kasus
komplikasi obstetri yang ditangani, neonatus dengan komplikasi yang ditangani,
bayi 29 hari 12 bulan yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya 4 kali,
anak balita (12 59 bulan) yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya 8
kali, anak balita sakit yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar,
peserta KB aktf.
b. Sumber Data
Pendataan dan pencatatan sasaran di wilayah kerja berasal dari register kohort ibu,
bayi, anak, peserta KB
2. Pencatatan
a. Data Sasaran
Data sasaran diperoleh bidan di desa/kelurahan dari para kader dan dukun bayi yang
melakukan pendataan ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir, bayi dan anak balita
dimana sasaran tersebut diberikan buku KIA dan bagi ibu hamil dipasang stiker P4K
di depan rumahnya. Selain itu data sasaran juga dapat diperoleh dengan
mengumpulkan data sasaran yang berasal dari lintas program dan fasilitas pelayanan
lain yang ada di wilayah kerjanya.
b. Data Pelayanan
Bidan di desa/kelurahan mencatat semua detail pelayanan KIA di dalam kartu ibu,
kohort Ibu, kartu bayi, kohort bayi, kohort anak, balita, kohort KB, dan buku KIA.
3. Pengolahan Data
Setiap bulan Bidan di desa mengolah data yang tercantum dalam buku kohort dan
dijadikan sebagai bahan laporan bulanan KIA. Bidan Koordinator di Puskesmas
menerima laporan bulanan tersebut dari semua BdD dan mengolahnya menjadi laporan
54
dan informasi kemajuan pelayanan KIA bulanan yang disebut PWS KIA. Langkah
pengolahan data adalah

Pembersihan data: melihat kelengkapan dan kebenaran pengisian formulir yang
tersedia.

Validasi: melihat kebenaran dan ketepatan data.

Pengelompokan: sesuai dengan kebutuhan data yang harus dilaporkan.
Hasil pengolahan data dapat disajikan dalam bentuk:

Narasi: dipergunakan untuk menyusun laporan atau profil suatu wilayah kerja,
misalnya dalam Laporan PWS KIA yang diserahkan kepada instansi terkait.

Tabulasi: dipergunakan untuk menjelaskan narasi dalam bentuk lampiran.

Grafik: dipergunakan untuk presentasi dalam membandingkan keadaan antar waktu,
antar tempat dan pelayanan. Sebagian besar hasil PWS disajikan dalam bentuk grafik.

Peta: dipergunakan untuk menggambarkan kejadian berdasarkan gambaran geografis.
4. Pembuatan Grafik PWS KIA
PWS KIA disajikan dalam bentuk grafik dari tiap indikator yang dipakai, yang juga
menggambarkan pencapaian tiap desa/kelurahan dalam tiap bulan. Langkah-langkah
pokok dalam pembuatan grafik PWS KIA:
a. Penyiapan Data
Data yang diperlukan untuk membuat grafik dari tiap indikator diperoleh dari catatan
kartu ibu, buku KIA, register kohort ibu, kartu bayi, kohort bayi serta kohort anak
balita per desa/kelurahan, catatan posyandu, laporan dari perawat/bidan/dokter praktik
swasta, rumah sakit bersalin dan sebagainya.

Untuk grafik antar wilayah, data yang diperlukan adalah data cakupan per
desa/kelurahan dalam kurun waktu yang sama

Untuk grafik antar waktu, data yang perlu disiapkan adalah data cakupan per
bulan

Untuk grafik antar variabel diperlukan data variabel yang mempunyai korelasi
misalnya : K1, K4 dan Pn
b. Penggambaran Grafik

Menentukan target rata rata per bulan untuk menggambarkan skala pada garis
vertikal (sumbu Y).

Hasil perhitungan pencapaian kumulatif cakupan per desa/kelurahan sampai
dengan bulan ini dimasukkan ke dalam jalur % kumulatif secara berurutan sesuai
55
peringkat. Pencapaian tertinggi di sebelah kiri dan terendah di sebelah kanan,
sedangkan pencapaian untuk puskesmas dimasukkan ke dalam kolom terakhir

Nama desa/kelurahan bersangkutan dituliskan pada lajur desa/kelurahan (sumbu
X), sesuai dengan cakupan kumulatif masing-masing desa/kelurahan yang
dituliskan pada butir b diatas.

Hasil perhitungan pencapaian pada bulan ini dan bulan lalu untuk tiap
desa/kelurahan dimasukkan ke dalam lajur masing-masing.

Gambar anak panah dipergunakan untuk mengisi lajur tren. Bila pencapaian
cakupan bulan ini lebih besar dari bulan lalu, maka digambar anak panah yang
menunjuk ke atas. Sebaliknya, untuk cakupan bulan ini yang lebih rendah dari
cakupan bulan lalu, digambarkan anak panah yang menunjukkan kebawah,
sedangkan untuk cakupan yang tetap / sama gambarkan dengan tanda (-).
1.6 Analisis, Penelusuran Data Kohort dan Rencana Tindak Lanjut
a. Analisis
a. Analisis Sederhana
Analisis ini membandingkan cakupan hasil kegiatan antar wilayah terhadap target dan
kecenderungan dari waktu ke waktu. Analisis sederhana ini bermanfaat untuk
mengetahui desa/kelurahan mana yang paling memerlukan perhatian dan tindak lanjut
yang harus dilakukan
Dari matriks diatas dapat disimpulkan adanya 4 macam status cakupan
desa/kelurahan, yaitu :

Status baik
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan diatas target yang ditetapkan untuk bulan
ini, dan mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang meningkat atau tetap
jika dibandingkan dengan cakupan bulan lalu.
56

Status kurang
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan diatas target bulan ini, namun mempunyai
kecenderungan cakupan bulanan yang menurun jika dibandingkan dengan
cakupan bulan lalu.

Status cukup
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan dibawah target bulan ini, namun
mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang meningkat jika dibandingkan
dengan cakupan bulan lalu.

Status jelek
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan dibawah target bulan ini, dan mempunyai
kecenderungan cakupan bulanan yang menurun dibandingkan dengan bulan lalu.
b. Analisis Lanjut
Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan variabel tertentu dengan variabel
terkait lainnya untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel yang
dimaksud.
3. Penelusuran Data Kohort

Mengidentifikasi kasus/masalah secara individu selama masa hamil, bersalin, masa
nifas, neonatus, bayi dan balita

Membangun perencanaan berdasarkan masalah yang spesifik
4. Rencana Tindak Lanjut
Bagi kepentingan program, analisis PWS KIA ditujukan untuk menghasilkan suatu
keputusan tindak lanjut teknis dan non-teknis bagi puskesmas. Keputusan tersebut harus
dijabarkan dalam bentuk rencana operasional jangka pendek untuk dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapi sesuai dengan spesifikasi daerah
57
Rencana operasional tersebut perlu dibicarakan dengan semua pihak yang terkait :

Bagi desa/kelurahan yang berstatus baik atau cukup, pola penyelenggaraan pelayanan
KIA perlu dilanjutkan, dengan beberapa penyesuaian tertentu sesuai kebutuhan antara
lain perbaikan mutu pelayanan.

Bagi desa/kelurahan berstatus kurang dan terutama yang berstatus jelek, perlu
prioritas intervensi sesuai dengan permasalahan.

Intervensi yang bersifat teknis (termasuk segi penyediaan logistik) harus dibicarakan
dalam pertemuan minilokakarya puskesmas dan/atau rapat dinas kesehatan
kabupaten/kota (untuk mendapat bantuan dari kabupaten/kota).

Intervensi yang bersifat non-teknis (untuk motivasi, penggerakan sasaran, dan
mobilisasi sumber daya di masyarakat) harus dibicarakan pada rapat koordinasi
kecamatan dan/atau rapat dinas kesehatan kabupaten/kota (untuk mendapat bantuan
dari kabupaten/kota).
58
Alur pengolahan data, analisis dan pemanfaatan data PWS KIA di tingkat Puskesmas
Umpan Balik :

Umpan Balik dari Puskesmas
: 1 bulan sekali

Umpan Balik dari Kabupaten/Kota
: 1 bulan sekali

Umpan Balik dari Propinsi
: 3 - 6 bulan sekali

Umpan Balik dari Pusat
: 6 - 12 bulan sekali
2. PHBS
1. Definisi
PHBS merupakan kependekan dari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. PHBS
adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan karena kesadaran pribadi sehingga
keluarga dan seluruh anggotanya mampu menolong diri sendiri pada bidang kesehatan
serta memiliki peran aktif dalam aktivitas masyarakat. Perilaku hidup bersih
sehat pada dasarnya merupakan sebuah upaya untuk menularkan pengalaman
mengenai pola hidup sehat melalui individu, kelompok ataupun masyarakat luas
dengan jalur–jalur komunikasi sebagai media berbagi informasi. Ada berbagai
informasi yang dapat dibagikan seperti materi edukasi guna menambah pengetahuan
serta meningkatkan sikap dan perilaku terkait cara hidup yang bersih dan sehat.
59
2. Tujuan PHBS
Tujuan utama dari gerakan PHBS adalah meningkatkan kualitas kesehatan melalui
proses penyadartahuan yang menjadi awal dari kontribusi individu–individu dalam
menjalani perilaku kehidupan sehari – hari yang bersih dan sehat.
3. Manfaat PHBS
Manfaat PHBS yang paling utama adalah terciptanya masyarakat yang sadar
kesehatan dan memiliki bekal pengetahuan dan kesadaran untuk menjalani perilaku
hidup yang menjaga kebersihan dan memenuhi standar kesehatan.
4. Hakikat Perilaku
Perilaku individu berkaitan dengan faktor-faktor pengetahuan dan sikap individu.
Perilaku juga menyangkut dimensi kultural berupa system nilai dan norma. Sistem
nilai adalah acuan tentang hal-hal yang dianggap baik dan hal-hal yang dianggap
buruk. Sedangkan norma adalah aturan tertulis yang disebut norma hukum. Selain itu,
perilaku juga berkaitan dengan dimensi ekonomi dan hal-hal lain yang merupakan
pendukung perilaku, yang disebut dengan faktor-faktor predisposisi (predisposing
factors).
5. Tatanan PHBS
PHBS mencakup semua perilaku yang harus dipraktikkan di bidang pencegahan dan
penanggulangan penyakit, penyehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, keluarga
berencana, gizi, farmasi dan pemeliharaan kesehatan. Perilaku-perilaku tersebut harus
dipraktikkan dimanapun seseorang berada baik dirumah tangga, di institusi
pendidikan, di tempat keja, di tempat umum dan di fasilitas pelayanan kesehatan
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dijumpai. Tatanan PHBS melibatkan beberapa
elemen yang merupakan bagian dari tempat beraktivitas dalam kehidupan sehari–hari.
Berikut ini 5 tatanan PBHS yang dapat menjadi simpul–simpul untuk memulai proses
penyadartahuan tentang perilaku hidup bersih sehat:

PHBS di Rumah tangga

PHBS di Institusi Pendidikan

PHBS di Tempat kerja

PHBS di Sarana kesehatan

PHBS di Tempat umum
60
5.1. Tatanan PHBS di Rumah Tangga
Salah satu tatanan PHBS yang utama adalah PHBS rumah tangga yang
bertujuan memberdayakan anggota sebuah rumah tangga untuk tahu, mau dan
mampu menjalankan perilaku kehidupan yang bersih dan sehat serta memiliki
peran yang aktif pada gerakan di tingkat masyarakat. Tujuan utama dari
tatanan PHBS di tingkat rumah tangga adalah tercapainya rumah tangga yang
sehat.
Terdapat beberapa indikator PHBS pada tingkatan rumah tangga yang dapat
dijadikan acuan untuk mengenali keberhasilan dari praktek perilaku hidup bersih
dan sehat pada tingkatan rumah tangga. Berikut ini 10 indikator PHBS pada
tingkatan rumah tangga :
1. Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan.
Persalinan yang mendapat pertolongan dari pihak tenaga kesehatan baik itu
dokter, bidan ataupun paramedis memiliki standar dalam penggunaan
peralatan yang bersih, steril dan juga aman. Langkah tersebut dapat
mencegah infeksi dan bahaya lain yang beresiko bagi keselamatan ibu dan
bayi yang dilahirkan.
2. Pemberian ASI eksklusif
Kesadaran mengenai pentingnya ASI bagi anak di usia 0 hingga 6 bulan
menjadi bagian penting dari indikator keberhasilan praktek perilaku hidup
bersih dan sehat pada tingkat rumah tangga.
3. Menimbang bayi dan balita secara berkala
Praktek tersebut dapat memudahkan pemantauan pertumbuhan bayi.
Penimbangan dapat dilakukan di Posyandu sejak bayi berusia 1 bulan hingga
5 tahun. Posyandu dapat menjadi tempat memantau pertumbuhan anak dan
menyediakan kelengkapan imunisasi. Penimbangan secara teratur juga dapat
memudahkan deteksi dini kasus gizi buruk.
4. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih
Praktek ini merupakan langkah yang berkaitan dengan kebersihan diri
sekaligus langkah pencegahan penularan berbagai jenis penyakit berkat
tangan yang bersih dan bebas dari kuman.
5. Menggunakan air bersih
Air bersih merupakan kebutuhan dasar untuk menjalani hidup sehat.
61
6. Menggunakan jamban sehat
Jamban merupakan infrastruktur sanitasi penting yang berkaitan dengan unit
pembuangan kotoran dan air untuk keperluan pembersihan.
7. Memberantas jentik nyamuk
Nyamuk merupakan vektor berbagai jenis penyakit dan memutus siklus
hidup makhluk tersebut menjadi bagian penting dalam pencegahan berbagai
penyakit.
8. Konsumsi buah dan sayur
Buah dan sayur dapat memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral serta serat
yang dibutuhkan tubuh untuk tumbuh optimal dan sehat.
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
Aktivitas fisik dapat berupa kegiatan olahraga ataupun aktivitas bekerja yang
melibatkan gerakan dan keluarnya tenaga.
10. Tidak merokok di dalam rumah
Perokok aktif dapat menjadi sumber berbagai penyakit dan masalah
kesehatan bagi perokok pasif. Berhenti merokok atau setidaknya tidak
merokok di dalam rumah dapat menghindarkan keluarga dari berbagai
masalah kesehatan.
5.2. Tatanan PHBS di Institusi Pendidikan
Di institusi pendidikan (kampus, sekolah, pesantren dan lain-lain), sasaran
primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan institusi
pendidikan ber-PHBS yang mencakup antara lain mencuci tangan menggunakan
sabun megonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat,
membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengonsumsi
Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), tidak
meludah sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain.
5.3. Tatanan PHBS di Tempat Kerja
Di tempat kerja (kantor, pabrik dan lain-lain), sasaran primer harus
mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan tempat kerja ber-PHBS, yang
mencakup mencuci tangan dengan sabun, mengonsumsi makanan dan minuman
sehat, menggunakan jamban sehat, membuang sampah ditempat sampah, tidak
merokok, tidak mengonsumsi NAPZA, tidak meludah sembarang tempat,
memberantas jentik nyamuk dan lain-lain.
62
5.4. Tatanan PHBS di Tempat Umum
Di tempat umum (tempat ibadah, pasar, pertokoan, terminal, dermaga dan lainlain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan
tempat umum ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun,
menggunakan jamban sehat, membuang sampah ditempat sampah, tidak
merokok, tidak mengonsumsi NAPZA, tidak meludah disembarang tempat,
memberantas jentik nyamuk dan lain-lain.
5.5. Tatanan PHBS di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Di fasilitas pelayanan kesehatan (klinik, Puskesmas, rumah sakit dan lain-lain),
sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan fasilitas
pelayanan kesehatan ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun,
menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak
merokok, tidak mengonsumsi NAPZA, tidak meludah di semabrang tempat,
memberantas jentik nyamuk dan lain-lain.
6. Sasaran PHBS
Karena di masing-masing tatanan dijumpai masyarakat (yaitu masyarakan
tatanan yang bersangkutan), maka di masing-masing tatanan juga terdapat berbagai
peran. Dengan demikian, di masing-masing tatanan dapat dijumati tiga kelompok
besar sasaran pembinaan PHBS, yaitu sasaran primer, sasaran sekunder, dan sasaran
tersier. Sasaran primer berupa sasaran langsung, yaitu individu anggota masyarakat,
kelompok-kelompok dalam masyarakat dan masyarakan secara keseluruhan, yang
diharapkan untuk mempraktikkan PHBS.
Sasaran sekunder adalah mereka yang memiliki pengaruh terhadap sasaran
primer dalam pengambilan keputusannya untuk mempraktikkan PHBS. Termasuk
disini adalah para pemuka masyarakat atau tokoh masyarakat yang umumnya menjadi
panutan sasaran primer. Terdapat berbagai jenis tokoh masyarakat seperti misalnya
tokoh atau pemuka adat, pemuka agama, tokoh politik, tokoh pertanian, tokoh
pendidikan, tokoh bisnis, tokoh pemuda, remaja, wanita, tokoh kesehatan dan lainlain. Pemuka atau tokoh adalah seseorang yang memiliki kelebihan di antara orang
lain dalam suatu kelompok atau masyarakat.
Sasaran tersier adalah mereka yang berada dalam posisi pengambilan keputusan
formal, sehingga dapat memberikan dukungan, baik berupa kebijakan/pengaturan dan
atau sumber daya dalam proses pembinaan PHBS terhadap sasaran primer. Mereka
63
juga sering disebut sebagai tokoh masyarakat formal, yakni orang yang memiliki
posisi menentukan dalam struktur formal di masyarakatnya (penentu kebijakan)
7. Strategi Pembinaan PHBS
Menyadari rumitnya hakikat dari perilaku, maka perlu dilaksanakan strategi Promosi
Kesehatan untuk pembinaan PHBS yang bersifat menyeluruh. Mengacu pada Piagam
Ottawa (Ottawa Charter) yang merupakan hasil dari Konferensi Internasional Promosi
Kesehatan Pertama di Ottawa (Kanada), tiga strategi pokok yang harus dilaksanakan
dalam promosi kesehatan adalah (1) advokasi, (2) bina suasana, dan (3)
pemberdayaan. Di Indonesia, strategi pokok tersebut kemudian diformulasikan
kembali ke dalam kalimat (1) Gerakan pemberdayaan (G), yang didukung oleh (2)
bina suasana (B), dan (3) advokasi (A), serta dilandasi oleh semangat (4) kemitraan.
Dengan
demikian,
pemberdayaan
adalah
strategi
pokok
dalam
rangka
mengembangkan kemampuan individu dan memperkuat gerakan masyarakat. Bina
suasana adalah strategi pokok dalam rangka menciptakan lingkungan (khususnya
nonfisik) yang mendukung. Sedangkan advokasi adalah strategi pokok dalam rangka
mengembangkan kebijakan berwawasan kesehatan, menciptakan lingkungan fisik
yang mendukung dan menata kembali arah pelayanan kesehatan. Kesemuanya itu
dilaksanakan melalui pengembangan kemitraan. Dengan melaksanakan strategi pokok
tersebut secara benar dan terkoordinasi diharapkan akan tercipta PHBS yang berupa
kemampuan masyarakat berperilaku mencegah dan menanggulangi masalah
kesehatan.
64
1. Pemberdayaan
Dalam upaya promosi kesehatan, pemberdayaan merupakan bagian yang sangat
penting, dan bahkan dapat dikatakan sebagai ujung tombak. Pemberdayaan
merupakan proses memosisikan masyarakat agar memiliki peran yang besar
(kedaulatan) dalam pengambilan keputusan dan penetapan tindakan yang
berkaitan dengan kesehatannya. Pemberdayaan adalah proses pemberian
informasi kepada individu, keluarga atau kelompok (sasaran) secara terusmenerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses
membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu
atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek atittude), dan dari
mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek
practice). Oleh sebab itu, sesuai dengan sasarannya dapat dibedakan adanya (a)
pemberdayaan individu, (b) pemberdayaan keluarga, dan (c) pemberdayaan
kelompok/ masyarakat. Dalam mengupayakan agar sasaran tahu dan sadar,
kuncinya terletak pada keberhasilan membuat sasaran tersebut memahami bahwa
sesuatu (misalnya diare) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya.
Sepanjang sasaran yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa
sesuatu itu merupakan masalah, maka sasaran tersebut tidak akan bersedia
menerima informasi apa pun lebih lanjut. Saat sasaran telah menyadari masalah
yang dihadapinya, maka kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut
tentang masalah yang bersangkutan. Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya
dicapai dengan menyajikan fakta-fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi
selain itu juga dengan mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah
dan atau diatasi. Di sini dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para
tokoh masyarakat sebagai panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama yang
dia sendiri dan keluarganya tak pernah terserang. Diare karena perilaku yang
dipraktikkannya. Bilamana seorang individu atau sebuah keluarga sudah akan
berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh
dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan
bantuan langsung. Tetapi yang seringkali dipraktekkan adalah dengan
mengajaknya ke dalam proses pemberdayaan kelompok/ masyarakat melalui
pengorganisasian masyarakat (community organization) atau pembangunan
masyarakat (community development). Untuk itu, sejumlah individu dan keluarga
65
yang telah mau, dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerjasama
memecahkan kesulitan yang dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih juga
memerlukan bantuan dari luar (misalnya dari pemerintah atau dari dermawan). Di
sinilah letak pentingya sinkronisasi promosi kesehatan dengan program kesehatan
yang didukungnya dan program-program sektor lain yang berkaitan. Hal-hal yang
akan diberikan kepada masyarakat oleh program kesehatan dan program lain
sebagai bantuan, hendaknya disampaikan pada fase ini, bukan sebelumnya.
Bantuan itu hendaknya juga sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta
menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai
lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan
atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya, baik di
antara mereka maupun antara mereka dengan pemerintah, agar upaya
pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan berhasil guna. Setelah itu,
sesuai ciri-ciri sasaran, situasi dan kondisi, lalu ditetapkan, diadakan dan
digunakan metode dan media komunikasi yang tepat.
2. Bina Suasana
Bina Suasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang mendorong
individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan.
Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan
sosial dimana pun ia berada (keluarga di rumah, organisasi siswa/mahasiswa,
serikat pekerja/karyawan, orang-orang yang menjadi panutan/idola, kelompok
arisan, majelis agama dan bahkan masyarakat umum) menyetujui atau
mendukung perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk memperkuat proses
pemberdayaan, khususnya dalam upaya meningkatkan para individu dari fase
tahu ke fase mau, perlu dilakukan bina suasana.
Terdapat tiga kategori proses bina suasana, yaitu (a) bina suasana individu, (b)
bina suasana kelompok, dan (c) bina suasana publik.
a. Bina Suasana Individu
Bina suasana individu dilakukan oleh individu tokoh masyarakat. Dalam
kategori ini, tokoh-tokoh masyarakat menjadi individu panutan dalam hal
perilaku yang sedang diperkenalkan yaitu dengan mempraktikkan perilaku
66
yang sedang diperkenalkan tersebut (misalnya seorang kepala sekolah atau
pemuka agama yang tidak merokok)
b. Bina Suasana Kelompok
Bina suasana kelompok dilakukan oleh kelompok dalam masyarakat, seperti
pengurus Rukum Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga (RW), majelis
pengajuan,
perkumpulan
seni,
organisasi
profesi,
PKK,
organisasi
siswa/mahasiswa, pramuka, dll. Dalam kategori ini kelompok tersebut
menjadi kelompok yang peduli terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan
dan menyetujui atau mendukungnya. Bentuk dukungan dapat berupa
kelompok tersebut bersedia juga mempraktikkan perilaku yang sedang
diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak terkait dan atau melakukan kontrol
social terhadap anggotanya.
c. Bina Suasana Publik
Bina
suasana
publik
dilakukan
oleh
masyarakat
umum
melalui
pengembangan kemitraan dan pemanfaatan media komunikasi, seperti radio,
televisi, koran, dan lain-lain sehingga dapat tercipta pendapat umum. Dengan
demikian, maka media massa tersebut lalu menjadi mitra dalam rangka
menyebarluaskan informasi tentang perilaku yang sedang diperkenalkan dan
menciptakan pendapat umum atau opini publik yang positif tentang perilaku
tersebut. Suasana atau pendapat umum yang positif ini akan dirasakan pula
sebagai pendukung atau penekan (social pressure) oleh individu anggota
masyarakat sehingga akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang
sedang diperkenalkan.
3. Advokasi
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan
komitmen
dan
dukungan
dari
pihak-pihak
yang
terkait
(stakeholders). Pihak-pihak yanŐ terkait ini berupa tokoh-tokoh masyarakat
(formal dan informal) yang umumnya berperan sebagai narasumber (opinion
leader), atau penentu kebijakan (norma) atau penyandang dana (termasuk swasta
dan dunia usaha). Juga berupa kelompok-kelompok dalam masyarakat dan media
massa yang dapat berperan dalam menciptakan suasana kondusif, opini publik
dan doronŐan (pressure) bagi terciptanya PHBS masyarakat. Advokasi
merupakan upaya untuk menyukseskan bina suasana dan pemberdayaan atau
67
proses pembinaan PHBS secara umum. Perlu disadari bahwa komitmen dan
dukungan yang diupayakan melalui advokasi jarang diperoleh dalam waktu
singkat. Pada diri sasaran advokasi umumnya berlangsung tahapan-tahapan, yaitu
(1) mengetahui atau menyadari adanya masalah, (2) tertarik untuk ikut mengatasi
masalah, (3) peduli terhadap pemecahan masalah dengan mempertimbangkan
berbagai alternatif pemecahan masalah, (4) sepakat untuk memecahkan masalah
denŐan memilih salah satu alternatif pemecahan masalah, dan (5) memutuskan
tindak lanjut kesepakatan. Dengan demikian, maka advokasi harus dilakukan
secara terencana, cermat dan tepat. Bahan-bahan advokasi harus disiapkan
dengan matang, yaitu:
a. Sesuai minat dan perhatian sasaran advokasi.
b. Memuat rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah.
c. Memuat peran si sasaran dalam pemecahan masalah.
d. Berdasarkan kepada fakta atau evidence-based.
e. Dikemas secara menarik dan jelas.
f. Sesuai dengan waktu yang tersedia.
Sebagaimana pemberdayaan dan bina suasana, advokasi juga akan
lebih efektif bila dilaksanakan dengan prinsip kemitraan, yaitu dengan
membentuk jejaring advokasi atau forum kerjasama, dengan
melibatkan kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti pengurus
Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga (RW), majelis
pengajian, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi wanita
(misalnya PKK), organisasi siswa/ mahasiswa, Pramuka, organisasi
pemuda, serikat pekerja dan lain-lain. Dengan kerjasama, melalui
pembagian tugas dan saling-dukung, maka sasaran advokasi akan
dapat diarahkan untuk sampai kepada tujuan yang diharapkan.
Sebagai konsekuensinya, metode dan media advokasi pun harus
ditentukan secara cermat, sehingga kerjasama dapat berjalan baik.
4. Kemitraan
Kemitraan harus digalang baik dalam rangka pemberdayaan maupun bina
suasana dan advokasi guna membangun kerjasama dan mendapatkan
dukungan. Dengan demikian kemitraan perlu digalang antara individu,
keluarga, pejabat atau instansi pemerintah yang terkait dengan urusan
68
kesehatan (lintas sector), pemuka atau tokoh masyarakat, media massa dan
lain-lain. Kemitraan yang digalang harus berlandaskan pada tiga prinsip dasar,
yaitu (a)kesetaraan, (b) keterbukaan dan (c) saling menguntungkan.
a. Kesetaraan
Kesetaraan berarti tidak diciptakan hubungan yang bersifat hirarkis.
Semua harus diawali dengan kesediaan menerima bahwa masing-masing
berada dalam kedudukan yang sama (berdiri sama tinggi, duduk sama
rendah). Keadaan ini dapat dicapai apabila semua pihak bersedia
mengembangkan hubungan kekeluargaan, yaitu hubungan yang dilandasi
kebersamaan atau kepentingan bersama. Bila kemudian dibentuk struktur
hirarkis (misalnya sebuah tim), adalah karena kesepakatan.
b. Keterbukaan
Di dalam setiap langkah diperlukan adanya kejujuran dari masing-masing
pihak. Setiap usul/saran/komentar harus disertai dengan alasan yang jujur,
sesuai fakta, tidak menutup-tutupi sesuatu. Pada awalnya hal ini mungkin
akan menimbulkan diskusi yang seru layaknya “pertengkaran”. Akan
tetapi kesadaran akan kekeluargaan dan kebersamaan, akan mendorong
timbulnya solusi yang adil dari “pertengkaran” tersebut.
c. Saling menguntungkan
Solusi yang adil ini terutama dikaitkan dengan adanya keuntunan yang
didapat oleh semua pihak yang terlibat. Dengan demikian PHBS dan
kegiatan-kegiatan kesehatan harus dapat dirumuskan keuntungankeuntungannya (baik langsung maupun tidak langsung) bagi semua pihak
yang terkait. Termasuk keuntungan ekonomis, bila mungkin.
3. SMD
Pengertian Survei Mawas Diri (SMD)
Survei Mawas Diri adalah kegiatan pengenalan, pengumpulan dan pengkajian
masyarakat kesehatan yang dilakukan oleh kader dan tokok masyarakat setempat dibawah
bimbingan kepala Desa/Kelurahan dan petugas kesehatan (petugas Puskesmas, Bidan di
Desa).
69
Survei Mawas Diri adalah pengenalan, pengumpulan, pengkajian masalah
kesehatan pekerja untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat pekerja mengenai kesehatan
kerja.
Tujuan Survei Mawas Diri (SMD)
a) Dilaksanakannya pengumpulan data, masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku.
b) Mengkaji dan menganalisis masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku yang paling
menonjol di masyarakat.
c) Mengiventarisasi sumber daya masyarakat yang dapat mendukung upaya mengatasi
masalah kesehatan.
d) Diperolehnya dukungan kepala desa/kelurahan dan pemuka masyarakat dalam
pelaksanaan penggerakan dan pemberdayaan masyarakat di Desa Siaga.
Pentingnya pelaksanaan Survei Mawas Diri (SMD)
a) Agar masyarakat menjadi sadar akan adanya masalah, karena mereka sendiri
yang melakukan pengumpulan fakta & data,
b) Untuk mengetahui besarnya masalah yang ada dilingkungannya sendiri,
c) Untuk menggali sumber daya yang ada / dimiliki desa
d) Hasil SMD dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun pemecahan masalah
yang dihadapi
Sasaran Survei Mawas Diri (SMD)
Sasaran SMD adalah semua rumah yang ada di desa/kelurahan atau menetapkan
sampel rumah dilokasi tertentu (± 450 rumah) yang dapat menggambarkan kondisi masalah
kesehatan, lingkungan dan perilaku pada umumnya di desa/kelurahan.
Pelaksana Survei Mawas Diri (SMD)
a) Kader yang telah dilatih tentang apa SMD, cara pengumpulan data (menyusun
daftar pertanyaan sederhana), cara pengamatan, cara pengolahan/analisa data
sederhana & cara penyajian
b) Tokoh masyarakat di desa
Cara Pelaksanaan Survei Mawas Diri (SMD)
a) Petugas Puskesmas, Bidan di desa dan kader/kelompok warga yang ditugaskan untuk
melaksanakan SMD dengan kegiatan meliputi :
a. Pengenalan instrumen (daftar pertanyaan) yang akan dipergunakan dalam
pengumpulan data dan informasi masalah kesehatan.
b. Penentuan sasaran baik jumlah KK ataupun lokasinya
70
c. Penentuan cara memperoleh informasi masalah kesehatan dengan cara
wawancara yang menggunakan daftar pertanyaan.
b) Pelaksana SMD
Kader, tokoh masyarakat dan kelompok warga yang telah ditunjuk melaksanakan
SMD dengan bimbingan petugas Puskesmas dan bidan di desa mengumpulkan
informasi masalah kesehatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
c) Pengolahan Data
Kader, tokoh masyarakat dan kelompok warga yang telah ditunjuk mengolah data
SMD dengan bimbingan petugas Puskesmas dan bidan di desa, sehingga dapat
diperoleh perumusan masalah kesehatan untuk selanjutnya merumuskan prioritas
masalah kesehatan, lingkungan dan perilaku di desa/kelurahan yang bersangkutan.
Cara melaksanakan Survei Mawas Diri (SMD)
Pengamatan langsung dengan cara :
a) Observasi partisipatif : Melakukan koordinasi dengan pengurus RW siaga tentang
rencana survei mawas diri terkait dengan tujuan, metode dan strategi pelaksanaannya.
b) Berjalan bersama masyarakat mengkaji lapangan ( Transection walk) :
c) Wawancara dengan kunjungan rumah , Bersama kader dasar wisma melakukan
pendataan dari rumah ke rumah dengan metode tanya jawab, pengisian formulir,
observasi dan pemeriksaan fisik rumah dan anggotanya.
d) Wawancara mendalam ( DKT/FGD) secara kelompok
Langkah – langkah Survei Mawas Diri (SMD)
a)
Persiapan

Menyusun daftar pertanyaan :
a. Berdasarkan prioritas masalah yang ditemui di Puskesmas & Desa (data
sekunder)
b. Dipergunakan untuk memandu pengumpulan data
c. Pertanyaan harus jelas, singkat, padat & tidak bersifat mempengaruhi
responden
d. Kombinasi pertanyaan terbuka, tertutup dan menjaring
e. Menampung juga harapan masyarakat

Menyusun lembar observasi (pengamatan)
Untuk mengobservasi rumah, halaman rumah, lingkungan sekitarnya.

Menentukan Kriteria responden, termasuk cakupan wilayah & jumlah KK
71
b)
c)
d)
Pelaksanaan:

Pelaksanaan interview/wawancara terhadap Responden

Pengamatan terhadap rumah-tangga & lingkungan
Tindak lanjut

Meninjau kembali pelaksanaan SMD,

Merangkum, mengolah & menganalisis data yang telah dikumpulkan

Menyusun laporan SMD, sebagai bahan untuk MMD
Pengolahan data
Setelah data diolah, sebaiknya disepakati:
a. Masalah yang dirasakan oleh masyarakat.
b. Prioritas masalah
c. Kesediaan masyarakat untuk ikut berperan serta aktif dalam pemecahan
masalah
Cara penyajian data Survei Mawas Diri (SMD)
Ada 3 cara penyajian data yaitu :
a) Secara Tekstular (mempergunakan kalimat)
Adalah Penyajian data hasil penelitian menggunakan kalimat.
b) Secara Tabular (menggunakan tabel)
Merupakan Penyajian data dalam bentuk kumpulan angka yang disusun menurut
kategori-kategori tertentu, dalam suatu daftar. Dalam tabel, disusun dengan cara
alfabetis, geografis, menurut besarnya angka, historis, atau menurut kelas-kelas yang
lazim.
c) Secara Grafikal ( menggunakan grafik)
Adalah gambar – gambar yang menunjukkan secara visual data berupa angka atau
simbol – simbol yang biasanya dibuat berdasarkan dari data tabel yang telah dibuat.
72
4. MMD
Musyawarah
masyarakat
desa
(MMD)
merupakan
pertemuan
perwakilan
warga
desa/kelurahan, Tim Desa dan Kelurahan Siaga Aktif dan Pokjanal Kecamatan membahas
hasil SMD, prioritas masalah yang akan diatasi, menggali potensi sumber daya yang dimiliki
dan penyusunan rencana intervensi. Frekuensi pertemuan MMD minimal dilakukan 3 kali per
tahun. Tujuan dari MMD ini adalah sebagai berikut:
a. Masyarakat mengenal masalah kesehatan di wilayahnya.
b. Masyarakat sepakat untuk menanggulangi masalah kesehatan.
c. Masyarakat menyusun rencana rencana kerja untuk menanggulangi masalah kesehatan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan MMD adalah sebagai berikut :
a. Musyawarah Masyarakat desa harus dihadiri oleh pemuka masyarakat desa, petugas
puskesmas, dan sektor terkait di kecamatan, (seksi pemerintahan dan pembangunan,
BKKBN, pertanian, agama, dan lain-lain).
b. Musyawarah Masyarakat desa dilaksanakan di balai desa atau tempat pertemuan lainnya
yang ada di desa.
c. Musyawarah Masyarakat desa dilaksanakan segera setelah SMD dilakukan.
Cara melakukan Musyawarah Masyarakat desa adalah sebagai berikut :
a. Pembukaan dengan menguraikan maksud dan tujuan MMD dipimpin oleh kepala Desa.
b. Pengenalan masalah kesehatan oleh masyarakat sendiri melalui curah pendapat dengan
mempergunakan alat peraga, poster, dan lain-lain dengan dipimpin oleh ibu desa.
c. Penyajian hasil SMD oleh kelompok SMD
d. Perumusan dan penentuan prioritas masalah kesehatan atas dasar pengenalan masalah dan
hasil SMD, dilanjutkan dengan rekomendasi teknis dari petugas kesehatan di desa atau
perawat komunitas.
e. Penyusunan rencana penanggulangan masalah kesehatan dengan dipimpin oleh kepala
desa.
f. Penutup.
73
5. Surveilans
A. Latar Belakang.
Dalam rangka mepercepat pemerataan hasil pembangunan serta memperkuat
integritas wilayah dan persatuan nasional maka, pada tahun 2001 telah diberlakukan
secara penuh pelaksanaan Undang Undang RI No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang Undang RI No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerapan undang-undang tersebut memberikan
otonomi luas pada Kabupaten/Kota dan otonomi terbatas pada Propinsi, sehingga
pemerintah daerah akan semakin leluasa menentukan prioritas pembangunan
daerahnya, oleh karena itu daerah harus memiliki kemampuan memilih prioritas
penanggulangan masalah kesehatan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
daerah, serta mencari sumber-sumber dana yang dapat digunakan mendukung
penyelesaian masalah.
Sebelum berlakunya undang-undang tersebut diatas telah diselenggarakan
kegiatan surveilans dalam rangka mendukung penyediaan informasi epidemiologi
untuk pengambilan keputusan yang meliputi Sistem Surveilans Terpadu (SST),
Surveilans Sentinel Puskesmas, Surveilans Acute Flaccid Paralysis, Surveilans
Tetanus Neonatorum, Surveilans Campak, Surveilans Infeksi Nosokomial, Surveilans
HIV/AID, Surveilans Dampak Krisis, Surveilans Kejadian Luar Biasa (KLB)
Penyakit dan Bencana, Surveilans Penyakit Tidak Menular serta Surveilans Kesehatan
Lingkungan
untuk
mendukung
penyelenggaraan
program
pencegahan
dan
pemberantasan penyakit, Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB)
dan penelitian.
Pada Peraturan Pemerintah RI. No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, BAB II Pasal 2 ayat
3.10.j menyatakan bahwa salah satu kewenangan Pemerintah di Bidang Kesehatan
adalah surveilans epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan
wabah penyakit menular dan kejadian luar biasa, sementara pada BAB II Pasal 3 ayat
5.9.d menyatakan bahwa salah satu kewenangan Propinsi di Bidang Kesehatan adalah
surveilans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan kejadian luar
biasa. Oleh karena itu, untuk mewujudkan visi Indonesia sehat dan tercapainya tujuan
nasional pembangunan kesehatan serta terwujudnya tujuan pembangunan kesehatan
daerah yang spesifik dan lokal yang memerlukan penerapan konsep pengambilan
74
keputusan berdasarkan fakta, maka diselenggarakan sistem surveilans epidemiologi
kesehatan yang handal, sehingga para manajer kesehatan dapat mengambil keputusan
program yang berhasil guna (efektif) serta berdaya guna (efisien) sesuai dengan
masalah yang dihadapi.
B. Pengertian
Selama ini pengertian konsep surveilans epidemiologi sering dipahami hanya
sebagai kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan KLB, pengertian seperti itu
menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasi epidemiologi sebagi
bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilans epidemeiologi. Menurut
WHO, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi
data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang
membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan
suatu definisi surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian
epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya
kegiatan pengumpulan dan pengolahan data.
Dalam sistem ini yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah
kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau
masalahmasalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan
dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat
melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan.
Sistem surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedur penyelenggaraan
surveilans epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans
dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan
penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans epidemiologi
antar wilayah Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat
C. Ruang Lingkup Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu secara
operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan
sendiri, diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan kerjasama yang
harmonis antar sektor dan antar program, sehingga perlu dikembangkan subsistem
survailans epidemiologi kesehatan yang terdiri dari Surveilans Epidemiologi Penyakit
75
Menular, Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Surveilans Epidemiologi
Kesehatan Lingkungan Dan Perilaku, Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan,
dan Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra
1. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit menular dan
faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular.
2. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak menular
dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak menular.
3. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor
risiko untuk mendukung program penyehatan lingkungnan.
4. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan
faktor risiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu.
5. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan
faktor risiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra.
II. VISI, MISI, TUJUAN DA N STRATEGI
A. VISI : Manajemen kesehatan berbasis fakta yang cepat, tepat, dan akurat.
B. MISI
1. Memperkuat sistem surveilans disetiap unit pelaksana program kesehatan.
2. Meningkatkan kemampuan analisis dan rekomendasi epidemiologi yang berkualitas
dan bermanfaat.
3. Menggalang dan meningkatkan kerjasama dan kemitraan unit surveilans dalam
pertukaran serta penyebaran informasi.
4. Memperkuat sumber daya manusia di bidang epidemiologi untuk manajer dan
fungsional
C. TUJUAN
Tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar manajemen kesehatan
untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi
program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa
76
yang cepat dan tepat secara nasional, propinsi dan kabupaten/kota menuju Indonesia
sehat 2010.
D. STRATEGI
1. Advokasi dan dukungan perundang-undangan
2. Pengembangan sistem surveilans sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
program secara nasional, propinsi dan kabupaten/kota, termasuk penyelenggaraan
sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa penyakit dan bencana
3. Peningkatan mutu data dan informasi epidemiologi
4. Peningkatan profesionalisme tenaga epidemiologi.
5. Pengembangan tim epidemiologi yang handal.
6. Penguatan jejaring survailans epidemiologi.
7. Peningkatan surveilans epidemiologi setiap tenaga kesehatan.
8. Peningkatan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi elektromedia yang
terintegrasi dan interaktif.
III.
PENYELENGGARAAN
SISTEM
SURVEILANS
EPIDEMIOLOGI
KESEHATAN
A. Pengorganisasian
Setiap instansi kesehatan pemerintah, instansi kesehatan propinsi, instansi
kesehatan kabupaten/kota dan lembaga kesehatan masyarakat dan swasta wajib
menyelenggarakan surveilans epidemiologi, baik secara fungsional atau struktural.
B. Mekanisme Kerja
Kegiatan
surveilans
epidemiologi
kesehatan
merupakan
kegiatan
yang
dilaksanakan secara terus menerus dan sistematis dengan mekanisme kerja
sebagai berikut :
1. Identifikasi kasus dan masalah kesehatan serta informasi terkait lainnya
2. Perekaman, pelaporan, dan pengolahan data
3. Analisis dan interpretasi data
4. Studi epidemiologi
5. Penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkannya
6. Membuat rekomendasi dan alternatif tindaklanjut
7. Umpan balik.
77
C. Jenis Penyelenggaraan
Pelaksanaan surveilans epidemiologi kesehatan dapat menggunakan satu cara atau
kombinasi dari beberapa cara penyelenggaraan surveilans epidemiologi. Caracara
penyelenggaraan surveilans epidemiologi dibagi berdasarkan atas metode
pelaksanaan, aktifitas pengumpulan data dan pola pelaksanaannya.
1. Penyelenggaraan Berdasarkan Metode Pelaksanaan
a. Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu, adalah penyelenggaraan surveilans
epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan, dan atau faktor risiko
kesehatan
b. Surveilans
Epidemiologi
Khusus, adalah
penyelenggaraan surveilans
epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan, faktor risiko atau situasi
khusus kesehatan
c. Surveilans Sentinel, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada
populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya masalah
kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas.
d. Studi Epidemiologi, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi pada
periode tertentu serta populasi dan atau wilayah tertentu untuk mengetahui lebih
mendalam gambaran epidemiologi penyakit, permasalahan dan atau faktor risiko
kesehatan
2. Penyelenggaraan Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data
a. Surveilans Aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana unit
surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan,
masyarakat atau sumber data lainnya.
b. Surveilans Pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi, dimana unit
surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit
pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
3. Penyelenggaraan Berdasarkan Pola Pelaksanaan
a. Pola Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan
yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan atau bencana
b. Pola Selain Kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada
ketentuan yang berlaku untuk keadaan diluar KLB dan atau wabah dan atau
bencana
4. Penyelenggaraan Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan
78
a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan surveilans
dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau tidak menggunakan
peralatan pendukung pemeriksaan.
b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan surveilans
dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan laboratorium atau peralatan
pendukung pemeriksaan lainnya
D. Sasaran Penyelenggaraan
Sasaran penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan meliputi masalahmasalah yang berkaitan dengan program kesehatan yang ditetapkan berdasarkan prioritas
nasional, bilateral, regional dan global, penyakit potensial wabah, bencana dan komitmen
lintas sektor serta sasaran spesifik lokal atau daerah. Secara rinci sasaran penyelenggaran
sistem surveilans epidemiologi kesehatan adalah sebagai berikut :
1. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular
Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi penyakit menular adalah :
a. Surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
b. Surveilans AFP
c. Surveilans penyakit potensial wabah atau kejadian luar biasa penyakit menular dan
keracunan
d. Surveilans penyakit demam berdarah dan demam berdarah dengue
e. Surveilans malaria
f. Surveilans penyakit-penyakit zoonosis, antraks, rabies, leptospirosis dan sebagainya
g. Surveilans penyakit filariasis
h. Surveilans penyakit tuberkulosis
i. Surveilans penyakit diare, tipus perut, kecacingan dan penyakit perut lainnya
j. Surveilans penyakit kusta
k. Surveilans penyakit frambosia
l. Surveilans penyakit HIV/AIDS
m. Surveilans penyakit menular seksual
n. Surveilans penyakit pnemonia, termasuk penyakit pneumonia akut berat (severe
acute respiratory syndrome)
2. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
79
Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi penyakit tidak menular
adalah :
a. Surveilans hipertensi, stroke dan penyakit jantung koroner
b. Surveilans diabetes mellitus
c. Surveilans neoplasma
d. Surveilans penyakit paru obstuksi kronis
e. Surveilans gangguan mental
f. Surveilans kesehatan akibat kecelakaan
3. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Prioritas sasaran
penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan lingkungan dan perilaku adalah :
a. Surveilans sarana air bersih
b. Surveilans tempat-tempat umum
c. Surveilans pemukiman dan lingkungan perumahan
d. Surveilans limbah industri, rumah sakit dan kegiatan lainnya
e. Surveilans vektor penyakit
f. Surveilans kesehatan dan keselamatan kerja
g. Surveilans rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, termasuk infeksi
nosokomial
4. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan Prioritas sasaran penyelenggaraan
surveilans epidemiologi masalah kesehatan adalah :
a. Surveilans gizi dan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG)
b. Surveilans gizi mikro kurang yodium, anemia gizi besi, kekurangan vitamin A
c. Surveilans gizi lebih
d. Surveilans kesehatan ibu dan anak termasuk reproduksi.
e. Surveilans kesehatan lanjut usia.
f. Surveilans penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif dan bahan
berbahaya
g. Surveilans penggunaan sediaan farmasi, obat, obat tradisionil, bahan kosmetika,
serta peralatan
h. Surveilans kualitas makanan dan bahan tambahan makanan
5. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra Prioritas sasaran penyelenggaraan
surveilans epidemiologi kesehatan matra adalah :
a. surveilans kesehatan haji
80
b. Surveilans kesehatan pelabuhan dan lintas batas perbatasan
c. Surveilans bencana dan masalah sosial
d. Surveilans kesehatan matra laut dan udara
e. Surveilans pada kejadian luar biasa penyakit dan keracunan
Setiap penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan sebagaimana tersebut
diatas disusun dalam suatu pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Sesuai
kebutuhan nasional dapat dikembangkan penyelenggaraan surveilans epidemiologi
kesehatan lainnya dengan keputusan Menteri Kesehatan, dan sesuai kebutuhan di
daerah Propinsi dengan keputusan Gubernur Propinsi bersangkutan.
E. Komponen Sistem
Setiap penyelenggaraan surveilans epidemiologi penyakit dan masalah kesehatan lainnya
sebagaimana tersebut diatas terdiri dari beberapa komponen yang menyusun bangunan
sistem surveilans yang terdiri atas komponen sebagai berikut:
1. Tujuan yang jelas dan dapat diukur
2. Unit surveilans epidemiologi yang terdiri dari kelompok kerja surveilans epidemiologi
dengan dukungan tenaga profesional
3. Konsep surveilans epidemiologi sehingga terdapat kejelasan sumber dan caracara
memperoleh data, cara-cara mengolah data, cara-cara melakukan analisis, sasaran
penyebaran atau pemanfaatan data dan informasi epidemiologi, serta mekanisme kerja
surveilans epidemiologi
4. Dukungan advokasi, peraturan perundang-undangan, sarana dan anggaran
5. Pelaksanaan mekanisme kerja surveilans epidemiologi
6. Jejaring surveilans epidemiologi yang dapat membangun kerjasama dalam pertukaran
data dan informasi epidemiologi, analisis, dan peningkatan kemampuan surveilans
epidemiologi.
7. Indikator kinerja
Penyelenggaraan surveilans epidemiologi dilaksanakan melalui jejaring surveilans
epidemiologi antara unit-unit surveilans dengan sumber data, antara unit-unit surveilans
epidemiologi dengan pusat-pusat penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan
unit-unit surveilans lainnya. Secara skematis dapat digambarkan jejaring sistem
surveilans epidemiologi kesehatan diantara unit-unit utama di Departemen Kesehatan
(DepKes) dan Unit Pelaksana Teknis Pusat (UPT DepKes), pusat-pusat penelitian dan
81
pengembangan (Puslitbang) dan pusat-pusat data dan informasi, diantara unit-unit kerja
Dinas Kesehatan Propinsi (lembaga pemerintah di Propinsi yang bertanggungjawab
dalam bidang kesehatan) dan UPT Dinas Kesehatan Propinsi, dan diantara unit-unit kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (lembaga pemerintah di Kabupaten/Kota yang
bertanggungjawab dalam bidang kesehatan) dan UPT Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Jejaring surveilans epidemiologi juga terdapat antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota
serta mitra nasional dan internasional.
F. Sumber Data, Pelaporan, dan Penyebaran Data – Informasi
1. Sumber Data Sumber data surveilans epidemiologi meliputi :
a. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
b. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan kantor
pemirintah dan masyarakat.
c. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan dan masyarakat
d. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan geofisika
e. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
f. Data kondisi lingkungan.
g. Laporan wabah
h. Laporan penyelidikan wabah/KLB i. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
j. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya
82
k. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat.
l. Laporan kondisi pangan.
m. Data dan informasi penting lainnya.
2. Pelaporan
Unit sumber data menyediakan data yang diperlukan dalam penyelenggaraan
surveilans epidemiologi termasuk rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit
penelitian, unit program - sektor dan unit statistik lainnya.
3. Penyebaran Data dan Informasi
Data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi
disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan
penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusatpusat penelitian dan pusatpusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi
G. Peran Unit Surveilans Epidemiologi Kesehatan
Untuk menjamin berlangsungnya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi
kesehatan maka dijabarkan peran setiap unit penyelenggaraan surveilans epidemiologi
1. Unit Surveilans Epidemiologi Pusat
a. Pengaturan penyelenggaraan surveilans epidemiologi nasional.
b. Menyusun pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi nasional
c. Menyelenggarakan manajemen surveilans epidemiologi nasional
d. Melakukan kegiatan surveilans epidemiologi nasional, termasuk SKD-KLB.
e. Pembinaan dan asistensi teknis
f. Monitoring dan evaluasi
g. Melakukan penyelidikan KLB sesuai kebutuhan nasional
h. Pengembangan pemanfaatan teknologi surveilans epidemiologi
i. Pengembangan metodologi surveilans epidemiologi
j. Pengembangan kompetensi sumber daya manusia surveilans epidemiologi nasional
k. Menjalin kerjasama nasional dan internasional secara teknis dan sumber-sumber
dana.
83
2. Unit Pelaksana Teknis Pusat
a. Menjadi pusat rujukan surveilans epidemiologi regional dan nasional
b. Pengembangan dan pelaksanaan surveilans epidemiologi regional dan nasional
c. Kerjasama surveilans epidemiologi dengan propinsi, nasional dan internasional
3. Pusat Data dan Informasi.
a. Koordinasi pengelolaan sumber data dan informasi kesehatan nasional.
b. Koordinasi kajian strategis dan penyajian informasi kesehatan.
c. Asistensi teknologi informasi
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
a. Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi dan metode surveilans
epidemiologi
b. Melakukan penelitian lebih lanjut terhadap temuan dan atau rekomendasi
surveilans epidemiologi
5. Unit Surveilans Epidemiologi Propinsi
a. Melaksanakan surveilans epidemiologi nasional di wilayah propinsi, termasuk
SKD-KLB
b. Menyelenggarakan manajemen surveilans epidemiologi propinsi
c. Melakukan penyelidikan KLB sesuai kebutuhan propinsi
d. Membuat pedoman teknis operasional surveilans epidemiologi sesuai dengan
pedoman yang berlaku .
e. Menyelenggarakan pelatihan surveilans epidemiologi
f. Pembinaan dan asistensi teknis ke kabupaten / kota.
g. Monitoring dan evaluasi.
h. Mengembangkan dan melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit dan masalah
kesehatan spesifik lokal.
6. Unit Pelaksana Teknis Propinsi
a. Pusat rujukan surveilans epidemiologi propinsi
b. Pengembangan dan pelaksanaan surveilans epidemiologi propinsi
c. Kerjasama surveilans epidemiologi dengan pusat dan kabupaten/kota
84
7. Rumah Sakit Propinsi
a. Melaksanakan surveilans epidemiologi rumah sakit dan infeksi nosokomial di
rumah sakit
b. Identifikasi dan rujukan kasus sebagai sumber data surveilans epidemiologi
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat
c. Melakukan kajian epidemiologi penyakit menular dan tidak menular serta masalah
kesehatan lainnya di rumah sakit
8. Laboratorium Kesehatan Propinsi
a. Melaksanakan surveilans epidemiologi
b. Melakukan identifikasi dan rujukan spesimen pemeriksaan laboratorium
9. Unit Surveilans Kabupaten/Kota
a. Pelaksana surveilans epidemiologi nasional diwilayah kabupaten/kota.
b. Menyelenggarakan manajemen surveilans epidemiologi
c. Melakukan penyelidikan dan penanggulangan KLB diwilayah kabupaten / kota
yang bersangkutan
d. Supervisi dan asistensi teknis ke puskesmas dan rumah sakit dan komponen
surveilans diwilayahnya.
e. Melaksanakan pelatihan surveilans epidemiologi
f. Monitoring dan evaluasi.
g. Melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit spesifik lokal.
10. Rumah Sakit Kabupaten/Kota
a. Melaksanakan surveilans epidemiologi rumah sakit dan infeksi nosokomial di
rumah sakit
b. Identifikasi dan rujukan kasus sebagai sumber data surveilans epidemiologi
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat
c. Melakukan kajian epidemiologi penyakit menular dan tidak menular serta masalah
kesehatan lainnya di rumah sakit
85
11. Puskesmas.
a. Pelaksana surveilans epidemiologi nasional diwilayah puskesmas
b. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan penyakit dan masalah kesehatan
c. Melakukan koordinasi surveilans epidemiologi dengan praktek dokter, bidan swasta
dan unit pelayanan kesehatan yang berada diwilayah kerjanya.
d. Melakukan kordinasi surveilans epidemiologi antar puskesmas yang berbatasan
e. Melakukan SKD-KLB dan penyelidikan KLB di wilayah puskesmas f.
Melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit dan masalah kesehatan spesifik lokal.
12. Laboratorium Kesehatan Kabupaten/Kota
a. Melaksanakan surveilans epidemiologi
b. Melakukan identifikasi dan rujukan spesimen pemeriksaan laboratorium
13. Mitra
a. Sebagai sumber data dan informasi serta referensi yang berkaitan dengan faktor
risiko penyakit dan masalah kesehatan lainnya.
b. Kerjasama dalam kajian epidemiologi penyakit dan masalah kesehatan c.
Kerjasama dalam pengembangan teknologi dan metode surveilans epidemiologi
d. Kemitraan dalam mengupayakan dana dan sarana penyelenggaraan surveilans
epidemiologi
H. SUMBER DAYA
Sumber daya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan meliputi :
1. Sumber Daya Manusia
a. Tenaga ahli epidemiologi (S1,S2,S3).
b. Tenaga pelaksana surveilans epidemiologi terlatih asisten epidemiologi lapangan,
dan petugas puskesmas terlatih surveilans epidemiologi.
c. Manajer unit kesehatan yang mendapat orientasi epidemiologi
d. Jabatan fungsional epidemiologi.
e. Jabatan fungsional entomologi
f. Jabatan fungsional sanitarian
g. Jabatan fungsional statistisi
h. Sumber daya manusia laboratorium
86
i. Sumber daya manusia lainnya yang terkait
2. Sarana yang diperlukan untuk terlaksananya penyelenggaraan sistem surveilans
epidemiologi kesehatan
87
3.Pembiayaan Sumber biaya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi
kesehatan terdiri sumber dana APBN, APBD Kabupaten/Kota, APBD Propinsi,
Bantuan Luar Negeri, Bantuan Nasional dan Daerah, dan swadaya masyarakat
I. Indikator Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
Kinerja penyelengaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan diukur
dengan indikator masukan, proses dan keluaran. Ketiga indikator tersebut
merupakan satu kesatuan, dimana kelemahan salah satu indikator tersebut
menunjukkan kinerja sistem surveilans yang belum memadai. Indikatorindikator tesebut adalah sebagai berikut :
88
89
F. KERANGKA KONSEP
Surveilans
Epidemiologi tidak
optimal
Perilaku Hidup yang
Tidak Bersih dan
Sehat
Demam Berdarah
Dengue ↑
SDM Puskesmas tidak
memadai
Pertemuan Pemangku
Kepentingan dan Petugas
Kesehatan
Survei Mawas Diri
Musyawarah Masyarakat
Desa
Rencana untuk
menanggulangi
DBD
5 Level of
Prevention
Health
Promotion
Optimalisasi
Surveilans
Pemenuhan SDM
Puskesmas
PHBS (Gerakan
pemberdayaan, Bina
Suasana, Advokasi,
serta Kemitraan)
Spesific
Protection
Early Diagnosis
and Prompt
Treatment
Disability and
Limitation
Rehabilitation
90
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dokter Desi sebagai Kepala Puskesmas Manggis perlu melakukan upaya untuk
menurunkan kejadian DBD melalui program-program atau kegiatan prevensi terhadap
penyakit DBD di wilayah Puskesmas Manggis berdasarkan hasil Survei Mawas Diri dan
Musyawarah Masyarakat Desa serta mengoptimalkan kembali kegiatan Surveilans.
91
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu
dan Anak (PWS-KIA)
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Sehat (PHBS).
Jakarta: Kemenkes RI.
Kepmenkes RI. 1992. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 581 Tahun 1992
Tentang Pemberantasan Penyakit DBD. Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 46 Tahun
2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri
Dokter, dan Tempat Praktir Mandiri Dokter Gigi.
Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2015 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lingkungan di Puskesmas
Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun
2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi:
Topik Utama ‘Demam Berdarah Dengue’. Volume 2, Agustus 2010. ISSN-20871546.
Zubir, F. A. (2011) Prevalensi Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Pasien Anak di RSUP
H Adam Malik Medan dari Januari hingga Desember 2009. Universitas Sumatera
Utara.
92
Download