Uploaded by avvadagea40

Menyoal Perubahan Iklim dan Dampak yang Diterima Manusia

advertisement
Menyoal Perubahan Iklim dan Dampak yang Diterima Manusia
Menyinggung tenatang perubahan iklim seperti halnya membicarakan masalah yang
belum menemui ujung. Perubahan ini -entah sejak kapan dimulainya- terjadi pada tiap waktu
yang terlewati tanpa disadari. Ketika kita sedang melakukan kuliah daring menggunakan energi
listrik, di belahan bumi lain sedang terjadi pencairan glester. Ketika kita sedang tidur siang di
dalam kamar dengan AC yang menyala, ada bagian bumi yang terdampak banjir. Bumi menua,
sementara perilaku manusia semakin gila.
Sebenarnya, apa yang dimaksud perubahan iklim? Apakah dari iklim tropis berubah
menjadi iklim sub-tropis? Bukan, definisi perubahan iklim menurut Kementrian Lingkungan
Hidup tahun 2001 adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan
distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan
manusia. Akar dari perubahan iklim adalah meningkatnya suhu bumi. Peningkatan suhu bumi
disebabkan oleh pemanasan global yang berasal dari efek rumah kaca, polusi, udara, bahkan
dari industry peternakan.
Fenomena meningkatnya suhu bumi disebabkan oleh efek rumah kaca. Dilansir oleh
NASA, efek rumah kaca merupakan proses alami yang terjadi sata gas di atmosfer Bumi
menyerap panas sinar matahari yang dipantulkan dari bumi. Pantulan ini disebabkan oleh gasgas rumah kaca, yaitu gas-gas dalam atmosfer yang menyerap gelombang panas. Gas rumah
kaca yang terpenting adalah karbon dioksida. Asal panas ini berasal dari sinar matahari yang
berupa gelombang elektromagnetik yang menyimpan energi. Ketika energi ini sampai di
permukaan bumi, sebagaian dipantulkan kembali ke atmosfer sebagai gelombang paans berupa
sinar inframerah. Sinar ini di dalam diserap oleh berbagai molekul gas sehingga menyebabkan
suhu naik. Kenaikan suhu atmosfer ini disebut efek rumah kaca. Efek rumah kaca dalam
kondisi normal memberikan manfaat berupa menghangatnya suhu bumi dari kisaran -18 derajat
celcius menjadi sekitar 33 derajat celcius yang optimal untuk kehidupan manusia dan makhluk
hidup lain.
Perubahan iklim yang terjadi tentu menimbulkan dampak di berbagai sector seperti
ketahanan air, pangan, energi, hingga pengaruh terhadap potensi kerusakan keanekaragaman
hayati dan ancaman pada bidang-bidang pembangunan lainnya. Peningkatan suhu udara dan
permukaan air laut memiliki pengaruh negative terhadap sektor pertanian. Di Indonesia, suhu
udara mengalami peningkatan rata-rata mencapai 0,3o celcius setiap tahunnya seperti yang
disampaikan oleh Runtuwunu dan Kondoh pada tahun 2006. Suhu udara yang meningkat
menyebabkan laju transpirasi yang terjadi pada tanaman meningkat sehingga konsumsi air
bertambah. Perubahan temperatur dan presipitasi mengakibatkan terjadinya perubahan rejim
tanah dan air yang pada akhirnya akan memengaruhi produktivitas pertanian Terjadinya
percepatan pematangan buah yang akan menurunkan mutu hasil dan perkembangan organisme
pengganggu tanaman yang cepat. Selain itu, permukaan air laut yang dapat menimbulkan
berkurangnya lahan pertanian di pesisir pantai pada daerah Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat,
dan Kalimantan. Kerusakan infrastruktur dan peningkatan salinitas yang merusak tanaman juga
menjadi dampak yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim.
Dalam bidang kesehatan, perubahan iklim juga memberikan dampak. Dampak yang
dirasakan secara langsung berupa penyakit atau kematian yang berhubungan dengan suhu
ekstrem dan efek pencemaarn udara oleh spora jamur (Keman, 2007). Sisanya berupa dampak
yang tidak langsung dan mengakibatkan penyakit yang menular melalui air atau makanan.
Terganggunya pola iklim menyebabkan efek terhadap pola hujan yang meningkatkan bencana
banjir dan menyebabkan peningkatan kejadian penyakit perut karena efeknya pada sumber air
dan penyediaan air bersih. Selain itu, penyakit berupa malaria, DBD, chikungunya, dan
penyakit lain yang ditularkan melalui rodent seperti leptospirosis juga mengancan kesehatan
manusia. WHO pada tahun 2004 telah mengidentifikadsi beberapa penyakit yang memiliki
kemungkinan sangat besar menjadi wabah karena perubahan iklim.
Sebuah jurnal yang berjudul Dampak Perubahan Iklim terhadap Petani Tambak Garam
di Kabupaten Sampang dan Sumenep pada tahun 2012 mengkaji tentang dampak perubahan
iklim terhadap petani tambak garam yang berlokasi di Sampang dan Sumenep. Proses produksi
garam yang dilakukan oleh masyarakat umumnya masih bersifat tradisional sehingga sangat
bergantung pada iklim atau cuaca. Kodisi cuaca yang optimal diperlukan untuk menghasilkan
garam. Dengan metode tradisional, petani membutuhkan waktu kurang lebih 7 – 10 hari untuk
mendapatkan hasil berupa garam. Faktor yang berpengaruh pada proses produksi garam salah
satunya adalah hujan karena berpengaruh terhadap proses kristalisasi. Ketika cuaca tidak
menentu, petani garam dapat menunda produksi atau bahkan menghenikan sementara
produksinya. Jika hal ini terjadi, petani garam tidak dapat berproduksi dan kebutuhan garam
akan lebih bayak mengandalkan sector impor.
Perubahan iklim dalam kaitannya dengan sector kehutanan mempengaruhi peningkatan
dan penurunan intensitas curah hujan sehingga mempengaruhi kondisi lingkungan di
Indonesia. Hal ini dikarenakan rendahnya intensitas hujan dapat memicu tingginya kejadian
kebakaran hutan. Dalam kurun wakyu tahun 1997-1998, Indonesia mengalami kebakaran hutan
yang sangat parah akibat berubahnya karakter gejala alam El Nino dan La Nina. Hutan menjadi
sumberdaya alam yang tak ternilai harganya. Di dalamnya terkandung keanekaragaman hayati
yang merupakan sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu maupun non kayu, dan yang
tidak kalah penting adalah penyedia jasa lingkungan sebagai manfaat tidak langsung yang
diberikan oleh hutan. Manfaat tersebut berupa pengatur tata kelola air, pencegah banjir dan
erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Oleh karena manfaat hutan tersebut, perlu
dilakukan upaya untuk pencegahan dan perlindungan hutan.
Keberlanjutan sebuah kawasan hutan menjadi penting bagi kehidupan manusia. Hutan
perlu dikelola dengan baik agar lestari agar manusia dapat merasakan manfaatnya. Dampak
erubahan iklim yang terjadi di sector kehutanan dapat diminimalisisr dengan melakukan upaya
mitigasi. Mitigasi merupakan serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko yang
akan terjadi. Upaya ini memerlukan dukungan dan pendanaan yang kuat. Target utama
penurunam emisi di sector kehutanan adalah mengurangi laju deforestasi , menerapkan
suistainable forest management, rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi serta restorasi
gambut.
Strategi pengurangan deforestasi khususnya yang terencana seperti izin pemanfaatan
kayu (IPK) dan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman atau perkebunan dapat berdampak
terhadap berkurangnya penerimaan negara dari sektor kehutanan yang selama ini didominasi
dari hasil eksploitasi kayu. Hal tersebut juga berdampak pada pembatasan penggunaan
kawasan hutan untuk sektor lain, khususnya perkebunan dan pertambangan. Dengan kata lain,
penurunan emisi sektor kehutanan memberikan konsekuensi terhadap pengurangan laju
pertumbuhan ekonomi tidak hanya pada sektor kehutanan tetapi juga pada sektor lain yang
terkait. Sebagai kompensasi hilangnya nilai ekonomi hutan, jasa lingkungan hutan sebagai
salah satu hasil dari upaya penurunan emisi di sektor kehutanan harus dapat dinilai secara
komersial dan diintegrasikan dalam mekanisme pasar. Rasionalitas nilai ekonomi dan jasa
ekologi untuk menilai jasa lingkungan secara optimal bukan hanya penting tetapi juga mungkin
untuk dilakukan. Kegiatan penurunan emisi seperti upaya restorasi lahan gambut, pencegahan
dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan akan menghasilkan jasa lingkungan hutan berupa
fungsi serapan karbon, fungsi hidrologi hutan dan pengatur iklim mikro. Dengan menjaga
kelestarian hutan, kita dapat berkontribusi dlam mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
perubahan iklim.
Referensi
Keman, S. 2007. Perubahan iklim global, kesehatan manusia dan pembangunan
berkelanjutan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Unair, 3(2), 3934.
Runtunuwu, E., and Kondoh. 2006. Assessing global climate variability and change
under coldest and warmest periods at different Latitude Regions. Submitted to IJAS
Download