Uploaded by User65369

Isi (Cekungan Indonesia)

advertisement
Hidrokarbon adalah sumber daya energi yang penting peranannya dalam
mendukung perekonomian negara. Di Indonesia terdapat lebih dari enam puluh
cekungan sedimen, baik yang ada di lepas pantai maupun di darat. Enam belas di
antaranya telah berproduksi.
Gambar 1. Peta Cekungan di Indonesia
Persebaran cekungan sedimen tersier di wilayah barat terdapat di wilayah-wilayah
sebagai berikut.
A. Wilayah Sumatra merupakan cekungan minyak terbesar di Indonesia karena
78% produksi minyak mentah di Indonesia berasal dari wilayah Sumatra.
1. Cekungan sedimen tersier Sumatra bagian utara meliputi Nanggroe
Aceh Darussalam (Lhok Sukon dan Peureulak) dan Sumatra Utara
(Telaga Said, Tangai, Tanjung Miring Barat, Sukaraja, Mambang
Sebasa, Securai, Seruwai, Pakam, Rantau, dan Siantar). Hasil minyak
mentah dari lokasi ini diolah lebih lanjut di Unit Pengolahan Minyak
(UP)–I Kilang Minyak Pangkalan Brandan (Sumatra Utara).
2. Cekungan sedimen tersier Sumatra bagian tengah meliputi Riau
Daratan (Minas, Duri, Lirik, Rengat, Ungus, dan Kuantan), dan Riau
Kepulauan (Bunguran, Anambas, Tarempa, Udang, dan Laut Natuna).
1
Hasil minyak mentah dari lokasi ini diolah di Unit Pengolahan Minyak
(UP)–II Kilang Minyak Dumai (Riau).
3. Cekungan sedimen tersier Sumatra bagian selatan meliputi Jambi
(Meraup, Betung, Bangko, serta pantai dan lepas pantai Tanjung
Jabung), Sumatra Selatan (Talang Akar, Pendopo, Limau Tengah,
Berau-Berau Barat, Suban Jerigi, Babat, Kukui, Mangun Jaya, Benakat,
Bentayan, Beringin-Kuang, Kayu Agung, Plaju-Sungai Gerong, timur
laut Betara, lepas pantai Sungai Gelam, dan lepas pantai RamokSenabing), dan Lampung (Menggala dan lepas pantai Lampung di Laut
Jawa). Hasil minyak mentah dari lokasi ini diolah di Unit Pengolahan
Minyak (UP)–III Kilang Minyak Plaju (Sumatra Selatan).
4. Cekungan sedimen tersier intermountana meliputi wilayah yang
memanjang di sebelah barat Pegunungan Bukit Barisan, yang meliputi
ladang minyak di lepas pantai Meulaboh dan lepas pantai Tapaktuan
(NAD), cekungan Mentawai terdapat di lepas pantai Sibolga, yaitu
antara pantai barat Sumatra dan pulau Simeuleu, serta cekungan
Ombilin terdapat di Sumatra Barat antara lain terdapat di blok Sinamar.
Hasil minyak mentah dari lokasi ini diolah bersamaan dengan minyak
mentah yang dihasilkan dari Sumatra bagian selatan, yaitu di Unit
Pengolahan Minyak (UP)–III Kilang Minyak Plaju (Sumatra Selatan).
B. Wilayah Jawa
1. Jawa Barat, mencakup lepas pantai barat laut Jawa dan cekungan Sunda
(Mundu, Indramayu, Rangkas, Jatibarang, Jatinangor).
2. Jawa Tengah, meliputi cekungan Cepu (Blora), lepas pantai Pekalongan,
lepas pantai Rembang, dan pantai selatan Banyumas.
3. Jawa Timur, meliputi delta sungai Brantas, lepas pantai Bawean, lepas
pantai Madura, Sampang, serta di lepas pantai utara Bali. Hasil minyak
mentah dari lokasi ini diolah di Unit Pengolahan Minyak (UP)–IV Kilang
Minyak Balongan (Jawa Barat) dan Cilacap (Jawa Tengah).
C. Wilayah Kalimantan
2
1. Cekungan sedimen tersier Ketungau dan Melawi terdapat di daerah
perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
2. Cekungan sedimen tersier Kalimantan Timur terdapat di Attaka, Serang,
Melahin, Kerindingan, Sepinggan, Kutai, Samboja, Sangatta, SangaSanga, Nilam, Pulau Tarakan, Pulau Bunyu, Karang Besar, Tanjung, Delta
Mahakam, dan Balikpapan.
3. Cekungan sedimen tersier Barito (Kalimantan Selatan). Hasil minyak
mentah dari lokasi ini diolah di Unit Pengolahan Minyak (UP)–V Kilang
Minyak Balikpapan (Kalimantan Timur).
D. Wilayah Sulawesi
1. Cekungan sedimen tersier Sulawesi Selatan, terdapat di Subaru (lepas
pantai tenggara Sulawesi Selatan).
2. Cekungan sedimen tersier Sulawesi Tenggara terdapat di Wowoni dan
Buton (lepas pantai timur Sulawesi Tenggara).
3. Cekungan sedimen tersier Selat Makassar terdapat di Masalima, Popodi,
Papalang, Donggala, Taritip, Jangeru, dan Tanjung Aru.
E. Wilayah Maluku dan Nusa Tenggara
1. Cekungan sedimen tersier Nusa Tenggara terdapat di Laut Sawu (Nusa
Tenggara Timur).
2. Cekungan sedimen tersier Maluku terdapat di Pulau Seram dengan
pusatnya di Bula, Bangai-Sula, Pulau Buru, lepas pantai utara Pulau
Seram, lepas pantai Barakan di Laut Arafuru, dan lepas pantai Pulau Leti.
F. Wilayah Papua
1. Salawati (Sorong, Babo, Klamono, Kasim, Tamulaai, Sabaku, dan Berau).
2. Bintuni (Kaimana, Kilimana, Arguni, Babo, Roabiba, Mogoi, Wiriagar,
Vorwata, Amborip, Wasan, dan Ubadari).
3. Misool (Femin, Sabuda, dan Samai).
4. Lepas pantai Jayapura dan Vlakke (lepas pantai barat daya Papua).
Contoh Cekungan di pulau Jawa serta Formasi
3
1. Cekungan Sunda dan Asri (Sunda and Asri Basins)
Cekungan sunda adalah perpanjangan dari cekungan jawa bagian utara atau
disebut dengan asri subbasin. Cekungan sunda merupakan cekungan yang
terbentuk relatif kecil pada masa kenozoikum. Cekungan sunda merupakan
berasal dari back-arc deposentrum atau disebut dengan bagian belakang busur
deposentrum pulau Jawa. Dari persepektif hasil eksplorasi, cekungan sunda
yang matang merupakan cekungan yang teristimewa. Dari hasil eksplorasi di
daerah Widuri dan lapangan lain yang serupa di bagian utara sub cekungan
asri (1980-an hingga 1990-an) menunjukkan bahwa dalam reservoar
didalam sub Asri bagian utara (reservoir Talang Akar) akan lebih bisa
kembali ditemukan akan potensi keberadaan minyak bumi. Bagian timur sub
cekungan Asri jarang untuk dilakukan ekplorasi pengebaoran secara luas.
Karena semenjak awal adanya syn-rift di daerah tersebut. Dan untuk
mengetahui adanya potensi yang ada didaerah tersebut maka membutuhkan
evaluasi lebih lanjut dalam bidang eksplorasi.
2. Cekungan Jawa Barat Laut (Northwest Java Basin)
Cekungan ini merupakan cekungan belakang busur yang sangat luas dan
rumit, yang dimana bagian utara hingga selatannya terdiri dari orientasi
sejumlah bentukan struktur halfgraben. Sub-cekungan ini terletak di tepi
selatan dari platform Sunda (Reksalegora et al., 1996). Cekungan Jawa Barat
Utara memiliki akumulasi Hidrokarbon berlimpah, dan minyak dan gas bumi
yang dimana reservoarnya bertumpukan dengan volkanik klastik, karbonatan,
dan lapisan coarsesiliciclastic (Noble et al., 1997).
Cekungan Jawa Barat Utara sekarang telah dianggap mature, dengan
pembagian untuk bagian atasnya yaitu berupa pasir dari formasi Talang Akar
dan diatasnya ditambah dengan karbonat pada jaman Miosen sepenuhnya.
Pertimbangan mengenai potensi yang ada didaerah tersebut cukup kecil
hingga menengah dan dapat tetap berada dalam pembentukan Jatibarang synrift posisinya lebih rendah dari formasi Talang Akar, dan terletak didalam
karbonat formasi Batu raja.
4
Gambar 2. NW Java Basin dan Sunda asri basin (Suryono et all,2005)
Gambar 3. North West Java Stratigrafi (Noble et all,1997)
3. Cekungan Jawa Timur (East Java Basin)
Cekungan Jawa Timur adalah merupakan cekungan yang paling struktural
dan memiliki stratigrafi yang kompleks dari cekungan belakang busur
Indonesia. Dalam hal fasies reservoar, yang berkisar dari Eosen yang berupa
bentukan non-pasir laut hingga Volkaniklastik jaman Pleistosen. Cekungan
Jawa Timur dalam hal sistem minyak bumi, adalah salah satu cekungan yang
5
paling beragam. Hal ini dilihat dari gambar yang dihasilkan oleh skema
lithostratigrafi sangat beragam pada cekungan yang ada di Jawa Timur.
Meskipun cekungan Jawa Timur telah banyak dieksplorasi, potensi minyak
masih tetap signifikan dan gas ditemukan di daerah syn-rift klastik Eosen,
facies laut dalam Ngrayong pasir, Kujung Rancak reefs, Pliosen Mundu
globigerinid batugamping, dan Pleistosen vulkanokalstik.
Dalam mengembangkan infrastruktur dengan mendekati pasar industri
perminyakan di Jawa Timur maka akan menyerap setiap penemuan baru.
Cekungan Jawa Timur adalah daerah yang paling dicari di Indonesia untuk
penawaran areal lahan perminyakan dalam lima tahun terakhir ini, sehingga
menjadikan daerah tersebut menjadi tempat "panas" dalam eksplorasi.
Gambar 4. Posisi East Java Basin (Kusumastuti et all,2000)
Gambar 5. Stratigrafi east java basin (courtesy of Santos Sampang)
6
4. Cekungan Jawa Barat Daya (Southwest Java Basin)
Cekungan ini telah dibor pada sumur Ujung Kulon-1 (Amoco, 1970) dan
Malingping -1 (British Gas, 1999). Dan hasilnya kedua lubang sumur yang
dihasilkan kering. Cekungan ini memiliki sejarah yang rumit pascakeretakan tektonik pada masa jaman Neogen. Adanya Formasi Eosen
Bayah dan Formasi Eosen Ciletuh arenites pada formasi jaman Eosen
menunjukkan adanya reservoir yang baik (Keetley di al., 1997; Schiller et
al, 1991.). Meskipun tidak terdapat pada endapan danau (lacustrine affinity),
formasi Bayah terdapat pada endapan delta di daerah Barat daya (SW) dari
cekungan Jawa yang memberikan bukti untuk cekungan tersebut, dalam
pengembangan reservoir dan source fasies di tahap syn-rift masih termasuk
dari pegembangan bagian depan busur. Adanya pasir fan turbidit di
Cekungan barat daya Jawa juga menunjukkan cekungan ini memiliki
potensi reservoir yang baik.
Gambar 6. Stratigrafi jawa barat daya( Keetly et all, 1997)
7
Gambar 7. Letak cekungan selatan jawa ( Keetly et all, 1997)
5. Cekungan banyumas dan selatan jawa (Banyumas-South Central Java
Basin)
Sejumlah rembesan minyak (oil seeps) dijumpai di daerah onshore Bayah.
Sebuah peningkatan pesat yang dijumpai dalam gradien geothermal di masa
Piocene hingga Pleistosen (Soenandar, 1997). Hal tersebut juga sama seperti
yang dijumpai di Cekungan Sunda, SubAsri, cekungan Jawa barat laut (NW
java basins). Daerah Banyumas, cekungan Jawa Tengah bagian selatan
dijumpai rembesan minyak. Rembesan minyak tersebut banyak yang
muncul di daerah tersebut. Cekungan Banyumas telah di bor pada sumur
Cipari-1 oleh BPM dan Karang Nangka-1, Gunung Wetan-1, Karang
Gedang-1 oleh Pertamina.
Beberapa sumur dijumpai adanya keberadaan minyak dan gas. Sumur
tersebut tidak bisa menembus lebih dalam dari horison Miosen akhir akibat
adanya gangguan mekanis yang dihasilkan akibat adanya tekanan yang
berlebih yang dihasilkan oleh serpih (overpressured shale).n Pada
sumur Jati-1 (Lundin) yang sedang melakukan drilling didaerah tersebut
dapat mengatasi kesulitan operasional ini, hal terebut dilakukan dengan
mencoba untuk mengevaluasi bagian lebih dalam sampai Oligosen / Eosen
8
dari dasar Gabon. Potensi reservoir akhir Miosen Halang-Rambatan
dijumpai sand volkaniklastik, awal miosen dijumpai Kalipucang reefs,
Oligo-Miosen Gabon dijumpai sand volkaniklastik, dan menengah Eosen
pada endapan delta Nanggulan dijumpai quartzitic sand, mengalami fold
dan fault dalam waktu Miosen akhir. Potensi dari source pada akhir-tengah
Eosen tengah daerah Nanggulan / Karangsambung shales (TOC sampai
dengan 7,5%) dan awal Miosen bituminous shale Kalipucang / formasi
Pemali (TOC sampai dengan 15,6%), hal tersebut bertahan hingga pada saat
ini dalam mature window awal pertengahan (Muchsin et al., 2002).
Lepas pantai cekungan Selatan Jawa Tengah telah dibor oleh Alveolina-1
dan Borelis-1 (Jawa Shell, awal tahun 1970-an) daerah tersebut terletak di
lepas pantai selatan Yogyakarta. Pada sumur Alveolina-1 dijumpai reservoir
yang sangat baik dari Wonosari karbonat berumur tengah-akhir Miosen.
Pada sumur Borelis-1 kehilangan reservoir akibat dari adanya perubahan
fasies menjadi serpih. Akibatnya kedua sumur kering karena tidak adanya
pengisian Hidro karbon (Bolliger dan Ruiter, 1975).
Gambar 8. Daerah cekungan selatan jawa (after Bolliger dan Ruiter, 1975 )
9
Gambar 9. Hasil coring yang menunjukkan lithologi cekungan selatan jawa
6. Cekungan Sumatra Selatan
Tersusun atas Formasi
1) Formasi Talang Akar terdapat di Cekungan Sumatra Selatan, formasi
ini terletak di atas Formasi Lemat dan di bawah Formasi Telisa atau
Anggota Basal Batugamping Telisa. Formasi Talang Akar terdiri dari
batupasir yang berasal dari delta plain, serpih, lanau, batupasir kuarsa,
dengan sisipan batulempung karbonan, batubara dan di beberapa
tempat konglomerat.
2) Formasi Baturaja adalah Anggota ini dikenal dengan Formasi
Baturaja. Diendapkan pada bagian intermediate-shelfal dari Cekungan
Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform dan tinggian.Kontak
pada bagian bawah dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan
Pra Tersier. Komposisi dari Formasi Baturaja ini terdiri dari
Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan reefal.
3)
Formasi Telisa (Gumai), Formasi Gumai tersebar secara luas dan
terjadi pada zaman Tersier, formasi ini terendapkan selama fase
transgresif laut maksimum, (maximum marine transgressive) ke dalam
2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari napal yang
mempunyai karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram
plankton. Sisipan batugamping dijumpai pada bagian bawah.
10
4) Formasi Lower Palembang (Air Benakat) Formasi Lower Palembang
diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi dari formasi ini
terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung, batulanau, dan
batupasir yang mengandung unsur karbonatan.
5) Formasi Middle Palembang (Muara Enim) Batuan penyusun yang ada
pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan lapisan batubara.
Batas bawah dari Formasi Middle Palembnag di bagian selatan
cekungan berupa lapisan batubara yang biasanya digunakan sebgai
marker.
6) Formasi Upper Palembang (Kasai) Formasi ini merupakan formasi
yang paling muda di Cekungan Sumatra Selatan. Formasi ini
diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistosen dan dihasilkan dari
proses erosi Pegunungan Barisan dan Tigapuluh. Komposisi dari
formasi ini terdiri dari batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan
lapisan tipis batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat dipastikan,
tetapi diduga Plio-Pleistosen. Lingkungan pengendapannya darat.
7. Cekungan Timor, Nusa Tenggara Timur 247
Tataan tektonik
Busur Banda terdiri atas sepasang busur kepulauan, yaitu busur-luar (nongunungapi) dan busur-dalam (gunungapi). Busur luar {Timor, Tanimbar,
Seram dan pulau-pulau lainnya) saat ini merupakan batas utara lempeng
benua Australia yang menunjam di bawah busur-luarBanda.
Gambar 10. Peta tektonik Busur Banda dan lokasi Cekungan Timor
11
Konfigurasi litosfer yang menunjam tersebut tercerrninkan oleh pola garis
kontur kedalaman zona seisrnik (zona Benioff), yang dalam hal ini ada
perbedaan pendapat antara Hamilton (1979) dan Cardwell & Isacks (1978).
Pendapat pertama (Hamilton, 1979) menganggap konfigurasi litosfer yang
menunjam di Busur Banda berbentuk cekung seperti senduk, karena zona
Benioff dari arah Timor menyambung dengan yang dari arah Seram.
Sedangkan pendapat kedua ( Cardwell & Isack, 1978) menganggap litosfer
yang menunjam di bawah Timor tidak berhubungan dengan litosfer yang
menunjam di bawah Seram.
Pulau Timor dan Seram, yang merupakan bagian dari Busur luar Banda,
merupakan zona tumbukan antara lempeng benua Australia, atau tepian pasif
baratdaya Australia, di bagian selatan, dan sistem subduksi yang berhubungan
dengan Busur Banda di bagian utara (Gambar 1). Busur Banda melengkung
setengah lingkaran yang mana Pulau Timor terletak di bagian barat daya,
sementara Pulau Seram terletak di bagian timur laut. Disebelah selatan Timor
dijumpai bagian luar tepi dari Paparan baratdaya Australia, suatu tepian pasif
benua yang dihasilkan dari pecahnya Gondwana pada Jura (Powel, 1976;
Veevers, 1982).
Tumbukan yang terjadi pada Neogen antara Busur Banda
dan Australia merupakan tumbukan antara busur dengan benua yang
menghasilkan deformasi disertai proses pemalihan dan pensesar-naikan
batuan busur-luar Banda pratumbukan ke atas batuan dari benua Australia.
Timor dan Seram merupakan pulau-pulau di busur-luar Banda yang
dihasilkan oleh tumbukan antara busur dengan benua tersebut.
Stratigrafi Timor Bagian Barat
Tektonostratigrafi Timor bagian barat serupa dengan Timor Leste, yaitu
terdiri atas satuan atau runtunan paraautokton, alokton dan autokton. Di Pulau
Timor bagian barat satuan paraautokton terdiri atas runtunan Kekneno yang
berumur dari pra-Perem sampai Jura, sementara satuan alokton terdiri atas
dua runtunan, yaitu runtunan Kolbanodan Kelompok Palelo, yang keduanya
12
memiliki kontak tektonik (sesar naik) (Sawyer drr.,1993). Sementara itu
satuan autokton terdiri atas runtunan Viqueque yang berumur Miosen Akhir
sampai Plistosen (Sawyer drr.,1993), serta Kompleks Bobonaro, khususnya
yang bergenetik sebagai endapan olistostrom yang berumur Miosen Akhir
sampai Plio-Plistosen.
Satuan Paraautokton
Satuan paraautokton di Timor merupakan endapan Paparan Barat daya
Australia yang terbawa ke Asia bersama atau menumpang di atas batuan
alasnya. Di bagian barat Timor, satuan ini terdiri atas batuan alas malihan
berumur Perem yang ditutupi oleh runtunan Kekneno yang disetarakan
dengan Tethys margin nappe (Sawyer drr.,1993). Batuan alas malihan tidak
tersingkap di Cekungan Timor, namun tersingkap di daerah Timor Leste, dan
dikenal sebagai Kompleks Lolotoi. Nama-nama formasi dalam runtunan
Kekneno sebagian besar mengikuti Audley-Charles (1968). Runtunan ini
berumur dari Perem Awal sampai Jura Tengah, semetara Jura Akhir terdapat
ketidakselarasan (hiatus) (Gambar 2). Bagian bawah runtunan Kekneno
terdiri atas batuan berumur Perem, yaitu Formasi Atahoc dan Formasi Cribas,
keduanya menjemari dengan Formasi Maubisse. Formasi Atahoc berumur
bagian bawah Perem Awal, sementara Formasi Cribas berumur bagian atas
Perem Awal, dan Formasi Maubisse berumur dari Perem Awal sampai Perem
Akhir. Di atas Formasi Maubisse dijumpai hiatus hingga akhir Trias Awal.
Mulai akhir Trias Awal hingga Trias Tengah diendapkan Formasi Niof. Di
atas Formasi Niof diendapkan Formasi Aitutu yang berumur bagian atas Trias
Tengah hingga Trias Akhir, dan Formasi Babulu yang berumur yang berumur
Trias Akhir. Di atasnya lagi diendapkan Formasi Wailuli yang berumur Jura
Awal hinga Jura Tengah, dan diakhiri oleh ketidak selarasan di bagian
atasnya.
13
Gambar 11. Stratigrafi runtunan Para-autokton di Timor Barat (modifikasi
dari Sawyerdrr., 1993).
1) Formasi Maubisse
Formasi ini berumur Perm Awal-Jura Akhir dengan litologi penyusunnya
adalah biokalkarenit merahungu, packstones, dan boundstones yang kaya
akan rombakan cangkang koral, crinoids, byrozoids, brachipods, cephalopods
dan fusilinids serta batuan beku ekstrusif yang merupakan batuan tertua di
Timor (Sawyerdrr., 1993).
2) Formasi Atahoc
Formasi ini berumur Perm Awal berdasarkan umur dari fosil ammonoid.
Litologi dominan yang menyusun formasi ini adalah batupasir halus arkose
dengan ciri terpilah sedang, mineralogy terdiri atas kuarsa monokristalin,
feldspar, plagioklas, serta terdapat fragmen filit yang berasosiasi dengan
batuan dari Kompleks Mutis/Lotoloi.
3) Formasi Cribas
Formasi ini diperkirakan berumur Perm Awal dan dapat dibagi menjadi
beberapa fasies batuan yang kontinu secara lateral yaitu lapisan batupasir
multiwarna, batulanau, batuiempung hitam, dan batugamping bioklastik.
14
Struktur sedimen seperti ripple dan sole marks menunjukkan bahwa arus
turbidit berperan dalam proses pengendapan formasi ini.
4) Formasi Niof
Formasi ini berumur Trias Awal-Trias Tengah yang dicirikan oleh kontak
lapisan yang tajam serta menunjukkan banyak struktur sedimen. Litologi
yang menyusun formasi ini adalah batu lempung berlapis tipis, batu serpih
warna merah-hitam-coklat, batupasirgreywac/re, napal, dan batugamping
masif. Proses pengendapan formasi ini melalui mekanisme arus turbidit.
Lingkungan pengendapan dari formasi ini diperkirakan terdapat pada
lingkungan laut dangkal hingga laut dalam.
5) Formasi Aitutu
Formasi ini berumur Trias Awal-Trias Akhir. Litologi penyusun dari formasi
ini adalah batu gamping putih merah muda dengan perselingan batu lempung
karbonatan berwarna abu-abu hitam. Tebal lapisan konsisten yaitu 45-60 cm
dan pada bidang perlapisan dapat ditemukan makrofauna seperti Halobia,
Daonella, Monotis, Ammonit, dan fragmen fosil lainnya, Lingkungan
pengendapan dari formasi ini adalah laut terbuka yaitu sekitar paparan luar.
6) Formasi Babulu
Formasi ini disusun oleh litologi perselingan batu lempung-batu lanau dan
batu pasir masif. Pada permukaan bidang perlapisan banyak ditemukan
brachiopod, ammonit, fragmen tumbuhan, sole marks, dan fosil jejak.
Lingkungan pengendapan dari formasi ini berada pada area tepi paparan.
7) Formasi Wailuli
Litologi yang menyusun formasi ini adalah batu lempung gelap dengan
perselingan batu gamping organik, kalsilutit, batu lanau, dan batu pasir. Umur
dari formasi ini adalah Jura Awal-Jura Tengah. Lingkungan pengendapan dari
formasi ini berkisar dari paparan dalam-paparan tengah.
Satuan Alokton
Satuan alokton di Timor bagian barat terdiri atas Runtunan Kolbano dan
Runtunan Busur Banda pratumbukan yang keduanya mempunyai kontak tektonik
15
di daerah Kolbano, Timor barat bagian selatan. Runtunan Kolbano berumur dari
Jura Akhir sampai Pliosen Awal, dengan satuan dari bawah mulai dari Formasi
Oebaat (bagian bawah Kapur Awal), Formasi Nakfunu (Kapur Awal-Kapur
Akhir), Formasi Menu (Kapur), dan Formasi Ofu (Tersier). Pada runtunan ini
dijumpai beberapa ketidakselarasan, yaitu pada Kapur Tengah, Paleosen Awal,
serta Oligosen yang setempat sampai Miosen Awal. Adapun Runtunan Busur
Banda pra-tumbukan terdiri atas batuan alas Kompleks Mutis berumur tidak lebih
tua dari Jura Akhir , yang secara tidak selaras ditutupi oleh Kelompok Palelo yang
berumur Kapur Akhir hingga Miosen Awal, yang secara tak selaras pula ditutupi
oleh Formasi Manamas dan batuan campur-aduk Bobonaro yang keduanya
berumur akhir Miosen Akhir sampai Plio-Plistosen.
Cekungan Timor, Nusa Tenggara Timur 249
Runtunan Kolbano:
1) Formasi Oebaat
Formasi ini berumur Jura Akhir sampai Pliosen Awal dan dibagi menjadi dua
anggota formasi yaitu:
1) Batupasir masif dengan ciri jarang memiliki kedudukan perlapisan, tapi
saat diamati terdiri atas perlapisan batu lanau dan batu pasir. Bagian
bawah dari unit ini terdiri dari batulanau coklathitam dan batu lempung
bernodul
limonit-lanau.
Lingkungan
pengendapan
dari
unit
ini
diperkirakan adalah laut.
2) Batupasir glaukonit berlapis dengan ciri ketebalan lapisan sekitar 40-50
cm. Fosi! ammonit dan belemnit banyak ditemukan pada unit ini.
Lingkungan pengendapan dari unit ini adalah paparan dangkal.
2) Formasi Nakfunu
Litologi yang menyusun formasi ini adalah radiolarite, batu lempung,
kalsilutit, batu lanau, perlapisan batu lempung, kalkarenit, wackestones, dan
packstones. Ciri khusus dari Formasi Nakfunu adalah tebal lapisan batuan
yang konsisten sekitar 330 cm. Kehadiran fosil radiolaria sangat melimpah,
sedangkan fosilforaminifera jarang ditemukan. Umur formasi ini diperkirakan
16
berumur Kapur Awal-Kapur Akhir. Lingkungan pengendapan dari formasi ini
adalah laut dalam.
3) Formasi Menu
Formasi ini berumur Kapur dan memiliki litologi yang mirip dengan Formasi
Ofu yang berumur Tersier. Formasi ini tersusun atas batu gamping dimana
terdapat lapisan tipis atau nodul rijang merah, serta menunjukkan adanya
belahan yang intensif. Kemiripan litologi yang dimiliki oleh Formasi Menu
dan Formasi Ofu mengindikasikan adanya kontak stratigrafi. Formasi ini
diendapkan dengan mekanismeturbidit pada lingkungan lautdalam.
4) Formasi Ofu
Formasi ini diendapkan setelah terjadinya hiatus pada Paleosen Awal sampai
Miosen Akhir. Litologi penyusun dari formasi ini adalah batu gamping masif
berwarna putih-merah muda dengan kenampakan rekahan konkoidal-sub
konkoidal. Pada singkapan umumnya banyak dijumpai laminasi tipis, urat
kalsit, stilolit, kekar, dan rekahan. Formasi ini diendapkan pada lingkungan
lautdalam dengan mekanisme turbidit.
Runtunan Busur Banda Pra-tumbukan
Kelompok satuan alokton ini terdiri atas batuan yang berasal dari busur muka dan
busurgunungapi Banda pra-tumbukan Neogen antara Busur Banda dengan
paparan baratlaut Australia. Paparan baratlaut Australia sendiri terdiri atas batuan
alas kerak benua dan sedimen yang menutupinya. Runtunan Busur Banda pratumbukan ini terdiri atas batuan alas malihan Kompleks Mutis dan batuan yang
menutupinya, yaitu: Kompleks Palelo (Formasi Noni, Formasi Haaulasi, Formasi
Metan), Batugamping Cablaci,dan Kompleks Bobonaro.
A. Kompleks Mutis
Kompleks Mutis dijumpai di bagian tengah - utara Timor bagian barat,
terdiri atas batuan malihan yang berumur tidak lebih tua dari Jura Akhir
(Brown dan Earle,1983; Sopaheluwakan, 1991, sementara Sawyer drr.
(1993) memberikan umur Kapur Awal. Sebelumnya, Kompleks Mutis
dinyatakan berumur pra-Perem ( Rosidi drr., 1996). Satuan ini disusun oleh
17
batusabak, filit, sekis, amfibolit, sekis amfibolit, kuarsit, genes amfibolit dan
granulit. Kompleks Mutis ditutupi oleh runtunan yang mendangkal ke atas,
dari dasar samudera sampai sampai paparan benua hingga terumbu. Tidak
selaras di atas Komples* .Mutis diendapkan Kompleks Palelo yang berumur
dari Kapur Akhir sampai Miosen Awal, dan di atasnya lagi secara tidak
selaras diendapkan Formasi Manamas yang berumur Miosen Akhir sampai
Pliosen Awal (Sawyerdrr.,1993).
B. Kelompok Palelo
Kompleks Palelo terdiri atas Formasi Noni, Formasi Haulasi, Formasi
Metan dan Batugamping Cablaci.
1) Formasi Noni
Formasi Noni berumur Kapur Akhir (Sawyer drr.,1993), terdiri atas
batu rijang radiolaria, batu gamping rijangan dan rijang lempungan.
2) Formasi Haulasi
Formasi ini berumur Paleosen Akhir -;Eosen Tengah. Terdiri atas
grewake konglomeratan, batu pasir, serpih tufan dan napal.
3) Formasi Metan
Formasi ini berumur Eosen Tengah sampai Oligosen Akhir, terdiri atas
aglomerat dengan komponen menyudut dan menyudut tanggung dalam
masadasartuf.
C. Batugamping Cablaci
Lokasi tipe satuan ini beradadi Gunung Cablaci, Timor Leste. Di lokasi
tipenya satuan ini tersusun oleh batu gamping masif kristalin, sementara di
tempat lain (Timor bagian barat) juga tersusun oleh batu gamping koral,
batu gamping kalkarenit dan kalsirudit. Satuan ini merupakan bagian dari
Kelompok Palelo, secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Manamas.
1) Formasi Manamas
Formasi ini berumur Miosen Akhir, terdiri dari breksi vulkanikyang
pejal dengan sisipan lava dan tuf hablur.
18
Satuan Autokton
Satuan initerutama tersusun oleh endapan-endapan pasca orogenik, sebagian
terbentuk sejak orogenesis atau sin-orogenik, yaitu bersamaan dengan tunbukan
antara benua Australia dengan Busur Banda pratumbukan.
A. Runtunan Viqueque
Runtunan Viqueque terdiri atas Anggota Batuputih dan Anggota Viqueque (
Noele), keduanya berumur Miosen Akhir sampai PIistosen AwaI. Anggota
Viqueque terdiri atas batu pasir gampingan, batu pasir konglomeratan
gampingan dan konglomerat, sementara anggota anggota Batuputih tersusun
oleh batu gamping kalsilutit dan napal.
B. Kompleks Bobonaro
Kompleks
Bobonaro
(Rosidi
drr.,
1996;
Suwitodirjo
dan
Tjokrosapoetro,1996) atau Bobonaro Scaly Clay (Audley-Charles, 1968)
merupakan batuan campuraduk {chaotic rock) yang tersusun oleh matriks
lempung bersisik yang mengandung bongkahan batuan yang berumur lebih
tua, yaitu berkisar dari Perem sampai Miosen Awal (Audley-Charles, 1968).
Nama Kompleks Bobonaro saat ini dipakai untuk seluruh batuan campuraduk yang dijumpai di Pulau Timor, menempati sekitar 40% dari luas pulau
tersebut. Sampai sekarang terdapat beberapa tafsiran mengenai genesis
Kompleks Bobonaro, yaitu (1) sebagai olistotrom (Audley-Charies, 1968), (2)
merupakan bancuh tektonik atau melange (Hamilton, 1979), dan (3)
merupakan hasil dari terobosan diapir serpih (Barber drr., 1986). Namun,
menurut Bachri ( 2004), sebagian besar batuan campur-aduk di Timor diduga
merupakan hasil longsoran bawah laut, atau olistotrom, yang mungkin
berkaitan dengan proses tumbukan busur dan benua pada Neogen. Pada
waktu terjadinya tumbukan tersebut diduga terbentuk pula bancuh tektonik
yang hanya membentuk sebagian kecil dari Kompleks Bobonaro. Di beberapa
barat, terutama di Timor barat, juga terjadi pembentukan batuan campur-aduk
yang disebabkan oleh diapirisme serpih atau kegiatan poton. Poton-poton
19
tersebut membawa berbagai fragmen batuan yang diterobosnya, dan masih
aktif sampai sekarang.
Klasifikasi Cekungan di Indonesia menurut Prof.Dr.Harry Doust :
No
Nama
Jenis Cekungan
No
Cekungan
Nama
Jenis Cekungan
Cekungan
1
Meulaboh
Forearc
21
Barito
Forearc
2
Nias
Forearc
22
Makassar S
Intra-kraton
3
Bengkulu
Forearc
23
Kutai
Intra-kraton
4
Sumatra Utara
Backarc
24
Tarakan
Intra-kraton
5
Sumatra
Backarc
25
Celebes
Forearc
Backarc
26
Gorontalo
Backarc
Tengah
6
Sumatra
Selatan
7
Sunda
Forearc
27
Taliabu
Synrift
8
Jawa Selatan
Forearc
28
Tomori
Foreland
9
Jawa Baratlaut
Backarc
29
Bone Gulf
Intra-kraton
10
Biliton
Forearc
30
Laut Banda
Backarc
11
Bawean
Forearc
31
Savu
Forearc
12
Jawa
Backarc
32
Laut Timor
Zona tumbukan
Timurlaut
13
Bali Utara
Backarc
33
Arafura
Zona tumbukan
14
Flores
Backarc
34
New Guinea
Zona tumbukan
15
Natuna Barat
Intra-
35
Meervlakte
Zona tumbukan
36
Bintuni
Zona tumbukan
37
Seram
Zona tumbukan
38
Salawati
Zona tumbukan
continental rift
16
Anambas
Intracontinental rift
17
Sokang
Intracontinental rift
18
Natuna Timur
Intracontinental rift
20
19
Kapuas
Backarc
39
Halmahera
Zona tumbukan
20
Melawi
Backarc
40
Morotai
Zona tumbukan
Cekungan – cekungan di atas merupakan cekungan-cekungan yang
berpotensi akan hidrokarbon yang dibuat oleh Prof.Dr.Harry Doust. Selain
daripada cekungan-cekungan di atas masih banyak terdapat cekungan sedimen
lainnya. Berdasarkan hasil riset terbarukan total dari jumlah cekungan yang ada
di Indonesia berjumlah 128 buah yang terdiri atas cekungan-cekungan tersier
dan pra tersier.
Keterangan pada kolom terdapat klasifikasi cekungan, berikut penjelasan
tentang klasifikasi cekungan :
TATANAN
TIPE CEKUNGAN
TEKTONIK
Divergen
Antar-lempeng
Rift : terrestrial rift valleys; proto-oceanic rift valleys
-
(intraplate)
Cekungan beralaskan kerak benua/peralihan :
cekungan intrakraton, paparan benua,
continental rises dan pematang benua.
-
Cekungan beralaskan kerak samudra :
cekungan samudra aktif, kepulauan samudra,
asesimic ridge and plateau.
Konvergen
-
Cekungan akibat subduksi : Trenches, Trenchslope basins, fore-arc basins, intra-arc basins,
back-arc basins.
-
Cekungan akibat tabrakan (colliding) : Retroarc foreland basins,Remnant ocean basins,
Peripheral foreland basins, Piggyback basins,
Foreland intermontane basins (broken
foreland).
Transform
Cekungan akibat sesar strike-slip : cekungan
transtensional, cekungan transpressional, dan
cekungan transrotational.
21
Hybrid
Cekungan akibat berbagai sebab : cekungan
intracontinental wrench, aulacogens, impactogens,
successor.
Karena tatanan tektonik Indonesia di dominasi oleh pergerakan Konvergen
(Zona Subduksi), maka tipe cekungan indonesia secara umum merupakan :
a. Fore-arc basins, merupakan cekungan yang berposisi di depan jalur
volkanik atau merupakan depresi dasar laut yang terletak antara zona
subduksi dan terkait dengan busur vulkanik.
b. Back-arc basins, merupakan cekungan yang berposisi di belakang jalur
volkanik atau merupakan gerakan mundur dari zona subduksi terhadap
gerakan lempeng yang sedang menumbuk.
c. Intra-arc basins, merupakan cekungan yang berposisi di sepanjang
jalur volkanik, dan mencakupi superposed and overlapping volcanoes.
d. Zona tumbukan (collision zone), merupakan tempat endapan –
endapan kontinen yang bertumbuk dengan kompleks subduksi.
Untuk formasi cekungan sedimen di Indonesia hanya beberapa yang dapat
dipaparkan yaitu sebagai berikut :
a. Cekungan Barito
Gambar 12.Cekungan Barito
22
Urutan stratigrafi Cekungan Barito dari tua ke muda adalah :
1. Formasi Tanjung (Eosen – Oligosen Awal)
Formasi ini disusun oleh batu pasir, konglomerat, batu lempung, batubara,
dan basalt. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral neritik.
2. Formasi Berai (Oligosen Akhir – Miosen Awal)
Formasi Berai disusun oleh batugamping berselingan dengan batu
lempung / serpih di bagian bawah, di bagian tengah terdiri dari batu
gamping masif dan pada bagian atas kembali berulang menjadi perselingan
batu gamping, serpih, dan batupasir. Formasi ini diendapkan dalam
lingkungan lagoon-neritik tengah dan menutupi secara selaras Formasi
Tanjung yang terletak di bagian bawahnya. Kedua Formasi Berai, dan
Tanjung memiliki ketebalan 1100 m pada dekat Tanjung.
3. Formasi Warukin (Miosen Bawah – Miosen Tengah)
Formasi Warukin diendapkan di atas Formasi Berai dan ditutupi secara
tidak selaras oleh Formasi Dahor. Sebagian besar sudah tersingkap,
terutama sepanjang bagian barat Tinggian Meratus, malahan di daerah
Tanjung dan Kambitin telah tererosi. Hanya di sebelah selatan Tanjung
yang masih dibawah permukaan. Formasi ini terbagi atas dua anggota,
yaitu Warukin bagian bawah (anggota klastik), dan Warukin bagian atas
(anggota batubara). Kedua anggota tersebut dibedakan berdasarkan
susunan litologinya. Warukin bagian bawah (anggota klastik) berupa
perselingan antara napal atau lempung gampingan dengan sisipan tipis
batu pasir, dan batu gamping tipis di bagian bawah, sedangkan dibagian
atas merupakan selang-seling batu pasir, lempung, dan batubara.
Batubaranya mempunyai ketebalan tidak lebih dari 5 m., sedangkan
batupasir bias mencapai ketebalan lebih dari 30 m. Warukin bagian atas
(anggota batubara) dengan ketebalan maksimum ± 500 meter, berupa
perselingan batupasir, dan batulempung dengan sisipan batubara. Tebal
lapisan batubara mencapai lebih dari 40 m, sedangkan batupasir tidak
begitu tebal, biasanya mengandung air tawar. Formasi Warukin
23
diendapkan pada lingkungan neritik dalam (innerneritik) – deltaik dan
menunjukkan fasa regresi.
4. Formasi Dahor (Miosen Atas – Pliosen)
Formasi
ini
terdiri
atas
perselingan
antara
batupasir,
batubara,
konglomerat, dan serpih yang diendapkan dalam lingkungan litoral – supra
litoral.
b. Cekungan Kutai
e
Gambar 13.Cekungan Kutai
Penamaan
“Cekungan”
atau
“Basin”
berdasarkan
aspek
geomorfologi,
cekungan(basin) didefinisikan sebagai : "suatu wilayah dengan suatu bentuk
bentang alam (relief) rendah atau negatif=cekung(lawannya positif=cembung)
dikelilingi oleh suatu bentuk tinggian". Dan juga berdasarkan wilayah dan juga
umur.
Dasar Penamaan Cekungan Hidrokarbon
Penamaan cekungan hidrokarbon yang ada saat ini secara umum didasarkan atas
tempat atau lokasi ditemukannya hidrokarbon tersebut. Hal ini bertujuan untuk
mempermudah dalam mengetahui dan juga mengingat tempat penemuan
24
cekungan tersebut. Seperti contohnya Cekungan Kutai, Cekungan Barito,
Cekungan Jawa Barat Laut dan lain sebagainya.
Enhanced Oil Recovery (EOR)
Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah teknik yang berkaitan dengan
upaya meningkatkan perolehan minyak (oil recovery) dari suatu reservoar,
dengan cara menginjeksikan fluida, atau fluida + bahan kimia, atau panas kedalam
reservoir melalui sumur injeksi dan memproduksikan minyaknya melalui sumur
produksi. Jadi, Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah suatu metode yang
digunakan untuk meningkatkan cadangan minyak pada suatu sumur dengan cara
mengangkat volume minyak yang sebelumnya tidak dapat diproduksi atau bisa
dikatakan EOR ini adalah optimisasi pada suatu sumur minyak agar minyakminyak yang kental, berat, poor permeability dan irregular faultlines bisa diangkat
ke permukaan. Tujuan dilakukannya peningkatan perolehan minyak ini adalah
untuk terus meningkatkan produksi minyak pada suatu sumur produksi. Dimana
pada tahap awal minyak tersebut agar mengalir dengan sendirinya atau sering
disebut dengan natural flow, namun setelah beberapa tahap ini akan mengalami
penruran produksi maka dibutuhkan metode secondary recovery untuk kembali
menigkatkan produksi minyak pada sumur produksi tersebut.
Dasar-Dasar Enhanced Oil Recovery (Eor)
Lapangan hidrokarbon setelah sekian lama diproduksikan akan mengalami
penurunan produksi karena force/tenaga untuk mengeluarkan fluida ke dalam
sumur sudah semakin berkurang. Berkurangnya tenaga pendorong bisa terlihat
dengan dipasangnya pompa atau gas lift pada sumur sembur alam (natural flow)
yang tidak dapat mengalir dengan sendirinya. Begitupun sumur pompa atau gas
lift yang lambat laun akan menjadi kering. Untuk menambah pengurasan lapangan
dan drive force, dikembangkan teknik-teknik yang kemudian disebut dengan
Enhanced Oil Recovery (EOR) atau Improved Oil Recovery (IOR). Selanjutnya
akan dibahas jenis-jenis teknik EOR.
A. Injeksi Air (Water Flood)
25
Injeksi air merupakan salah satu metoda EOR yang paling banyak dilakukan
sampai saat ini. Biasanya injeksi air digolongkan ke dalam injeksi tak
tercampur.
Alasan-alasan sering digunakannya injeksi air ialah:
1. Mobilitas yang cukup rendah
2. Air cukup mudah diperoleh
3. Pengadaan air cukup murah
4. Berat kolom air dalam sumur injeksi turut menekan, sehingga cukup
banyak mengurangi besarnya tekanan injeksi yang perlu diberikan di
permukaan; jika dibandingkan dengan injeksi gas, dari segi ini berat air
sangat menolong.
5. Air biasanya mudah tersebar ke seantero reservoir, sehingga menghasilkan
efisiensi penyapuan yang cukup tinggi.
6. Effisiensi pendesakan air juga cukup baik. sehingga harga Sor sesudah
injeksi air = 30% cukup mudah didapat.
Gambar 14. Pattren Water Flooding
Pemakaian injeksi air sebagai meloda untuk menaikan peralehan minyak dimulai
pada tahun 1880 setelah John F. Carll menyimpulkan bahwa air tanah dari lapisan
yang lebih dangkal dapat membantu produksi minyak. Secara tidak sengaja, hal
26
telah terjadi sebelum di Pennsylvania pada tahun 1865. Tujuan Injeksi air adalah
mengimbangi penurunan tekanan reservoir dengan menginjeksikan air ke dalam
reservoir.
B. Injeksi Air Ditambah Zat-Zat Kimia Tertentu
Setelah injeksi air telah maksimum diaplikasikan, terdapat beberapa cara
untuk menambah efisiensi injeksi dengan cara menambahkan zat-zat kimia
tertentu kedalam air injeksi yang akan diinjeksikan.
1. Surfactant
Surfactant berfungsi untuk menurunkan tegangan pcrmukaan, tekanan
kapiler campuran polimer, alkohol, sulfonate), menaikkan efesiensi
pendesakan dalam skala pori, mikropis.
2. Polymer
Polymer berfungsi untuk memperbaiki perbandingan mobilitas minyak-air.
Untuk menaikkan efesiensi pengurasan secara luas, makrokopis. Sering
dipakai berselang-seling dengan surfactant. Injeksi Polymer efektif untuk
reservoir dengan viskositas minyak tinggi (sampai 200 cp).
Jenis-jenis polimer yang paling sering dipakai:
a. Polycrylamide
b. Polysaccharide
Gambar 15. Sumur Injeksi Surfactant
C. Injeksi Termal
27
Injeksi termal dilakukan dengan menginjeksikan fluida panas yang
temperatur jauh lebih besar jika dibandingkan temperatur fluida reservoir.
Injeksi Termal berfungsi menurunkan viskositas minyak atau membuat
minyak berubah ke fasa uap, juga mendorong minyak ke sumur-sumur
produksi. Jenis-jenis Injeksi termal antara lain:
a. Stimulasi uap (steam soak, huff and puff)
Yang diinjeksikan biasanya campuran uap dan air panas dengan komposisi
yang berbcda-beda.
Gambar 16. Thermal Oil Recovery
b. Pembakaran di tempat (In-situ Combustion)
Menginjeksikan udara dan membakar sebagaian minyak ini akan
menurunkan viskositas, mengubah sebagian minyak menjadi uap dan
mendorong dengan pendesakan gabungan uap, air panas dan gas.
c. Injeksi air panas.
D. INJEKSI GAS CO2
CO2 mudah larut dalam minyak bumi namun sulit larut pada air. Karena itu
beberapa hal yang penting dan berguna dalam proses EOR ketika minyak
bumi terjenuhi oleh CO2 adalah :
1. Menurunkan viskositas minyak dan menaikkan viskositas air.
28
2. Menaikkan volume minyak (swelling) dan menurunkan densitas
minyak.
3. Memberikan efek pengasaman pada reservoir karbonat.
4. Membentuk fluida bercampur dengan minyak karena ekstraksi,
penguapan, dan pemindahan kromatografi, sehingga dapat bertindak
sebagai solution gas drive.
Mekanisme dasar injeksi CO2 adalah bercampurnya CO2 dengan minyak
dan membentuk fluida baru yang lebih mudah didesak daripada minyak
pada kondisi awal di reservoir. Ada 4 jenis mekanisme pendesakan injeksi
CO2 :
1. Injeksi CO2 secara kontinyu selama proses EOR.
2. Injeksi slug CO2, diikuti air.
3. Injeksi slug CO2 dan air secara bergantian.
4. Injeksi CO2 dan air secara simultan.
Gambar 17. Injeksi CO2
Injeksi CO2 dan air secara simultan terbukti merupakan mekanisme pendesakan
yang terbaik di antara keempat metode tersebut (oil recovery-nya sekitar 50%).
Disusul kemudian injeksi slug CO2 dan air secara bergantian. Injeksi langsung
CO2 dan injeksi slug CO2 diikuti sama buruknya dalam kemampuan mengambil
minyak sekitar 25%). Agar tercapai pencampuran antara CO2 dengan minyak,
29
maka tekanan di reservoir harus melebihi MMP (Minimum Miscibility Pressure),
harga MMP dapat diperoleh dari hasil percobaan di laboratorium atau korelasi.
Sumber CO2 alami adalah yang terbaik, baik dari sumur yang memproduksi gas
CO2 yang relatif murni atau dari pabrik yang mengolah gas hidrokarbon yang
mengandung banyak CO2 sebagai kontaminan. Sumber yang lain adalah
kumpulan gas (stack gas) dari pembakaran batubara (coal-fired). Alternatif lain
adalah gas yang dilepaskan dari pabrik amoniak. Desain yang dilakukan dalam
injeksi CO2 ke reservoir minyak adalah menentukan banyaknya air yang
digunakan untuk menaikkan tekanan reservoir sehingga proses pencampuran CO2
dengan minyak dapat berlangsung, menentukan kebutuhan CO2 yang akan
diinjeksikan ke reservoir yang didorong oleh gas N2, menentukan tekanan injeksi
(dipermukaan) CO2 ke reservoir yang tidak melebihi tekanan formasi.
J
Pemilihan Metode Enhanced Oil Recovery (EOR)
Besaran-bcsaran berikut yang harus diperhatikan dalam pemilihan metoda
Enhanced Oil Recovery (EOR):
a. Kebasahan (Wettability) batuan
b. Sifat-sifat batuan reservoir (petrofisik), seperti permeabilitas, porositas
c. Jenis batuan (satu pasir, carbonatc dan lain-lain).
d. Jenis minyak (viskositas).
e. Tekanan temperatur reservoir, surfactant & polimer: T < 250°F
f. Kegaraman air formasi.
g. Saturasi minyak yang tersisa yang dapat bergerak
h. Cadangan
i. Kemiringan reservoir
j. Ekonomi
30
Download