Tujuan Pembelajaran Modul 1 Mahasiswa dapat menjelaskan Konsep-Konsep Dasar Hubungan Industrial dan Public Relations dan Ruang Lingkup Hubungan Industrial Pembelajaran 1 Konsep Dasar Hubungan Industrial dan Public Relations Istilah Hubungan Industrial menurut Paul Edwards (2003, 1-2) “secara umum berkembang di Inggris dan Amerika Utara pada tahun1920. Pada tahun 1980, kajian Hubungan Industrial selalu berkaitan dengan kajian tentang Manajemen Personalia dan Manajemen Sumber Daya Manusia, dan merupakan kajian praktis pengelolaan manusia dan kajian akademis. Posisi manusia dalam konteks perusahaan dan atau industri merupakan aset berharga yang semestinya dikelola secara profesional. Hubungan Industrial, bukan hanya mengkaji persoalan teknis pelayanan karyawan dalam suatu industri secara ekonomis, namun lebih luas dalam pengelolaan hubungan antara manajer dengan karyawan (workers/labours) dalam ruang lingkup aktivitas ekonomi (bisnis). Fokus utama hubungan industrial adalah para karyawan/buruh yang bekerja di bawah kewenangan pengusaha dan memperoleh upah atas pekerjaannya. Beberapa peneliti menjelaskan hubungan industrial sebagai kajian tentang segala bentuk hubungan kerja. Bagi para buruh atau karyawan, hubungan industrial dipahami bagimana pembayaran atau upah menjadi sesuatu yang sangat penting dan jelas, karena menyangkut sumber kehidupan yang mendasar, di samping masalah kondisi kerja, otonomi pegawai, keamanan dalam lingkungan kerja dan kesempatan pengembangan diri dan lain sebagainya. Bagi para pengusaha atau majikan, dengan pandangan buruh atau karyawan,bahwa hubungan kerja merupakan suatu hubungan yang krusial. Perkembangan yang cepat antara modal dan teknologi, sehingga memposisikan perusahaan semakin kompetitif dan tergantung keterampilan dan pengetahuan para pekerja atau buruh. Situasi ini juga merupakan dasar pengembangan sumber daya dalam konteks menajemen strategis. “The employment relationship has two parts, market relations and managerial relations” (Flanders, 1974). Pada tahun 1954, 700.000 penambang batubara Inggris melakukan aksi mogok. Pada tahun 1974 terjadi pemogokan nasional yang melibatkan 300.000 penambang batu bara dan mendorong jatuhnya pemerintah. Dan menurut para komentator, pada abad 20, tenaga kerja mengalami transformasi dramatis, dari kelas pekerja industri tradisional (manual) ke kepentingan individualisme dalam hal keterampilan, mobilitas dan karier para pekerja “kerah putih” (Bassett and Cave 1993; Brown 1990, dalam Kelly, 1988). John Dunlop (1958) dalam K & K ( 2002: 484-486) “ suatu sistem hubungan industri harus dipandang sebagai subsistem analitis dari suatu masyarakat industri yang didasarkan pada logika rencana yang sama dengan suatu sistem ekonomi. Segenap pembuatan aturan yang mengatur tempat kerja, aturan kerja, para aktor (majikan, pekerja, dan organisasi mereka serta pemerintah) diperlukan dalam perumusan, administrasinya, termasuk memperhitungkan pengaruh-pengaruh kontekstual (teknologi, ekonomi dan politik). Schumpeter; Dahl dan Dahrendorf (1960-1970: 485) menyatakan bahwa kepentingankepentingan ekonomi bersifat kompleks dan saling berpotongan, sehingga menciptakan ruang untuk menegosiasikan akomodasi melalui kelembagaan yang tepat. Tawar menawar kolektif merupakan resep yang efektif, bukan untuk melenyapkan konflik industri melainkan untuk mengaturnya sedemikian rupa agar lebih mungkin dikelola. Sikap konservatif dalam ilmu-ilmu sosial akhir tahun 1960-an, tampak dalam tiga aspek: pertama, penegasan kembali pentingnya kelas dalam analisis masalah-masalah pekerja; kedua, setiap kajian dalam dunia kerja harus menghadapi dinamika-dinamika proses tenaga kerja, tidak sekedar agenda perundingan kolektif yang menitikberatkan pada masalah upah; ketiga, argumen bahwa proses regulasi pekerja harus dianalisis sebagai bagian dari politik ekonomi kapitalis yang lebih luas. Hal inilah yang menjadi dasar kajian lebih lanjut hubungan industri. Perselisihan industrial yang sering terjadi di negara-negara maju tahun 1950-an dan 1960-an meningkat secara substansial, sehingga argumen pelembagaan konflik kehilangan alasannya. Perubahan struktur ekonomi dan pekerja juga mengikis relevansi keberadaan bidang studi hubungan industrial yang ditemukan pada situasi di mana para pekerja manual laki-laki memenuhi sektor industri manufaktur. Di AS (1970-an) banyak para pemilik perusahaan menekuk serikat pekerja dengan memilih pekerja yang bebas dari serikat pekerja, dan mengganti perundingan kolektif dengan mekanisme-mekanisme komunikasi internal perusahaan dan keterlibatan pegawai. Semakin banyak perusahaan yang memberi nama baru bagi departemen hubungan industri mereka dengan istilah manajemen sumber daya manusia. Di Inggris tahun 1979-an, keanggotaan serikat pekerja menurun drastis setelah kemenangan Partai Konservatif, banyak imuwan hubungan industrial berganti topik kajian dengan berpaling ke masalah-masalah manajerial yang lebih populer.Menjelang akhir abad 20, di Inggris dan AS, para akademisi terpaksa memilih studi manajerial yang terang-terangan berfokus pada kebijakan pekerja atau pendekatan-pendekatan ilmu sosial yang lebih kritis dalam menganalisis dunia kerja. Minat terhadap analisis multidispliner dalam memahami regulasi pekerja telah meluas ke berbagai negara Eropa daratan, baik timur maupun barat dan juga banyak negara berkembang. (dalam Kuper & Kuper, 2002:486). Badan Pusat Statistik (BPS, 2007), mengungkapkan sekitar 75 % tenaga kerja di Indonesia adalah pekerja “kerah biru” yakni pekerja yang melakukan pekerjaan dengan tangannya atau mencari nafkah dengan tenaga fisik. Dari sekira 95 juta tenaga kerja yang bekerja tahun 2005, sebesar 70,22 juta orang masuk kategori pekerja kerah biru, sementara 24,73 juta orang pekerja kerah putih (mengandalkan kemampuan intelektual untuk mencari nafkah). Para pekerja kerah biru (pekerja kasar) yang relatif lebih tidak terdidik, posisi tawar buruh kelompok ini terhadap perusahaan biasanya lebih lemah, bukan hanya menyangkut upah, tetapi juga hak-hak normative buruh lainnya, seperti jaminan sosial, asuransi kesehatan dan jaminan hari tua, serta hak-hak lainnya. Seoramg pengamat hubungan industrial, Paul Krugman mengatakan bahwa seorang pedagang bisa menjual banyak barang, tetapi seorang pekerja biasanya hanya memiliki satu pekerjaan, yang tidak saja menopang kebutuhan hidupnya, etapi juga kebutuhan identitas dirinya. Barang yang tidak terjual hanya mengganggu, tetapi seorang pekerja yang menganggur adalah sebuah tragedi. Pada tanggal 23 Maret 2006, sekitar 10 ribu massa buruh menggelar aksinya di depan Gedung DPRD Jawa Barat dan Gedung Sate yang datang secara bergelombang dari berbagai kawasan Industri di Bandung Raya. Akibat unjuk rasa menentang revisi UU No. 13 tahun 2003, sejumlah industri penghasil tekstil mengalami kerugian bahan baku, mesin dan peralatan pendukung lainnya. Sekjen API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) Jawa Barat, Ade Sudrajat menyebutkan nilai kerugian akibat unjuk rasa seluruhnya mencapai Rp 24 milyar.1 Akibat demonstrasi buruh sejak peringaran Hari Buruh Internasional 1 Mei telah menimbulkan kerugian bagi sebagian industri, kerugian terbesar diderita industri tekstil dan produk tekstil serta plastik. Sekretaris Jenderal Djimanto menyebutkan bahwa kerugian pabrik mencapai Rp 840 milyar. Pengusaha akan menggugat perdata kepada serikat pekerja (SP) atau serikat buruh yang memaksa dan melakukan intimidasi pekerja agar ikut berdemo dan menimbulkan kerugian bagi perusahaan.2 Dari berbagai kasus di atas, menunjukkan bahwa hubungan antara pengusaha dan buruh masih menghadapi berbagai persoalan hubungan kerja serius. Hubungan antara para pelaku proses produksi (buruh- pengusaha dan pemerintah) masih menghadapi berbagai persoalan. Hubungan kerja antara buruh dengan pengusaha (bipartit) sering terganggu dengan munculnya berbagai aksi unjuk rasa dalam jumlah dan intensitas yang tinggi. Demikian juga pemerintah dan anggota legislatif sebagai fasilitator dan mediator dalam perselisihan hubungan industrial belum optimal menjalankan fungsinya. Keberadaan pekerja dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia masih diliputi berbagai persoalan, khususnya yang berhubungan dengan hak-hak 1 2 Sinar Indonesia Baru,” Buruh Mogok Siapa Yang Rugi ?”. Selasa, 23 Maret 2006 Kompas,” Demo Buruh, Pengusaha Akan Gugat SP yang Intimidasi Pekerja”. 04 Mei 2006. mendasar para buruh, antara lain: masalah upah, kesehatan, keselamatan, penghargaan dan kesejahteraan. Konflik kepentingan dalam hubungan industrial, menjadi indikasi betapa persoalan unjuk rasa buruh tidak hanya persoalan ekonomi, hukum, politik, sosiologi, budaya, juga menjadi persoalan komunikasi, khususnya kajian public relations, terutama bidang industrial relations. Hubungan ini merujuk pada bentuk interaksi yang terjadi di antara manusia yang terikat pada proses perilaku menuju suatu kepuasan kerja secara bersama. Hubungan ketenagakerjaan sekarang lebih dikenal dengan hubungan industrial, yang berarti suatu hubungan antara para pelaku proses produksi barang dan jasa, yaitu buruh, pengusaha dan pemerintah sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum. Kekeliruan dan rendahnya pemahaman akan peran dan fungsi dari pihakpihak yang berkaitan dengan proses produksi menggambarkan betapa kompleksnya hubungan industrial, sehingga dapat menimbulkan berbagai bentuk perselisihan, terutama perselisihan yang pada awalnya terjadi di dalam organisasi tersebut, kemudian meluas menjadi aksi unjuk rasa buruh yang di bawa ke luar perusahaan, sehingga menjadi fenomena sosial. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak dalam perselisihan internal perusahaan. Perselisihan yang berkembang di dalam perusahaan bisa bermacam sebab, mulai dari ketidakpuasan karyawan terhadap perlakuan perusahaan, miscommunication, mismanagement, ataupun rendahnya penghargaan perusahaan terhadap hasil kerja karyawan. Hubungan industrial dalam perspektif Public Relations (PR), erat kaitannya dengan hakekat PR itu sendiri, yaitu untuk menciptakan komunikasi timbal balik guna memecahkan konflik kepentingan (conflict of interest). Karena kegiatan utama PR dalam sebuah perusahaan adalah menjalankan kegiatan two ways communication, baik sebagai sumber informasi maupun sebagai media informasi antara perusahaan dan karyawan/buruh serta dengan berbagai stakeholders lainnya. Dalam public relations, hubungan industrial (indusrial relations) merupakan pengembangan dari kajian tentang labor relations (hubungan perburuhan) dan employee relations (hubungan karyawan). Dalam ranah kehumasan, kajian tentang hubungan industrial merupakan bagian dari internal relations (hubungan internal) atau management relationship. Menurut Moster & Franklin (1997: 119). “Effective labor communications is based on solid, continuous employee communications. The basic tenets of honest, two-way communications apply, yet, because of many complex legal and political considerations surrounding management’s interaction with organized labor, the process of labor communications has taken on an aura of mystery”. Komunikasi yang efektif dengan buruh atau pekerja berdasarkan keeratan, komunikasi dengan karyawan secara terus menerus. Dengan landasan kejujuran, komunikasi dua arah menjadi penting karena begitu banyak pertimbangan hukum dan politik yang kompleks dalam interaksi manajemen dengan organisasi buruh/pekerja, proses komunikasinya masih misterius. Demikian juga dalam kajian public relations sebagai bagian dari Ilmu Komunikasi, keberadaan buruh (karyawan) sebagai bagian dari publik internal perusahaan atau organisasi memerlukan satu pengelolaan yang profesional dan optimal dalam upaya membangun hubungan harmonis dan dialogis. Jika hubungan dengan para buruh dengan manajemen tidak berlandaskan komunikasi dua arah, seimbang, terbuka dan demokratis, berdampak pada munculnya berbagai persoalan, antara lain perselisihan kepentingan antara buruh dengan pengusaha. idak hanya menggambarkan adanya konflik keorganisasi, juga menjadi fenomena sosial dan komunikasi. Melalui strategi public relations yang professional, berbagai masalah di dalam dan luar perusahaan dapat diantisipasi dan dikelola secara proaktif dengan baik dan optimal. Unjuk rasa buruh tidak akan muncul jika hubungan bipartit telah menjalankan fungsi-fungsi komunikasi dalam public relations suatu organisasi atau perusahaan. Unjuk rasa buruh tentunya akan membentuk opini, citra dan reputasi negatif terhadap organisasi atau perusahaan di mata publik atau masyarakat luas, termasuk pencitraan dan reputasi buruh itu sendiri. Dalam perspektif Public Relations (PR), hubungan industrial erat kaitannya dengan hakikat PR itu sendiri, yaitu untuk menciptakan komunikasi timbal balik guna memecahkan konflik kepentingan (conflict of interest). Karena kegiatan utama PR dalam sebuah perusahaan adalah menjalankan kegiatan two ways communication, baik sebagai sumber informasi maupun sebagai media informasi antara perusahaan dan karyawan atau buruh serta dengan berbagai stakeholders lainnya. Dalam public relations, kajian tentang hubungan industrial (indusrial relations) merupakan pengembangan dari kajian tentang labor relations (hubungan perburuhan) dan employee relations (hubungan karyawan), namun karena setiap perselisihan dalam hubungan industrial yang berupa unjuk rasa buruh tidak hanya terjadi di dalam perusahaan saja, dan sering di bawa ke luar perusahaan dan diliput media massa, maka perselisihan tersebut menjadi fenomena masyarakat luas, dan termasuk unjuk rasa para buruh. Secara konseptual public relations didefinisikan: “Public relations is the management functions that establishes and maintains mutually beneficial relationship between an organization and the publics on whom its success or failure depends”. (Cutlip, 2007:6). Fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hubungan yang baik dan bermanfaat antara organisasi dengan publik yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi tersebut. “Public relations is the management function which evaluates public attitides, identifies the policies and procedures of an individual or an organization with the public interest, and executes a program of action to earn public understanding and acceptance”. (Betrand R. Canfield, 1964:4). Fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap publik, mengidentifikasi kebijakan dan aturan seseorang atau organisasi demi kepentingan publik dan melaksanakan suatu program kegiatan untuk memperoleh pengertian dan penerimaan publik. “Public relations is the continuing process by which management endeavors to obtains goodwill and understanding of its customers, its employees and the public at large, inwardly through self analysis and corrections, outwardly through all means of expressions.” (Seidel dalam Soemirat dan Ardianto,2002; Oemi Abdurachman, 2001). PR adalah proses yang kontinyu dari usaha manajemen untik memperoleh itikad baik dan pengerrrtian dari langganannya, pegawainya dan publik umumnya; ke dalam dengan mengadakan analisis dan perbaikan terhadap diri sendiri, ke luar dengan mengadakan pernyataan-pernyataan. Public relations is the continued process of keying policies, services and actions to be the best of interest of those individual and groups whose confidence and goodwill an individual or institutions covets and secondly, it’s the interpretation of these policies, services and actions to assure complete understanding and appreciation (W. Emerson Reck, 2002). PR adalah kelanjutan dari proses penetapan kebijaksanaan, penentuan pelayanan dan sikap yang disesuaikan dengan kepentingan orang-orang atau golongan agar orang atau lembaga itu memperoleh kepercayaan dan goodwill dari mereka. Pelaksanaan kebijaksanaaan, pelayanan dan sikap untuk menjamin adanya pengertian dan penghargaan yang sebaik-baiknya. “ Public relations is the art of bringing about better public understanding which breeds greater public confidence for any individual or organization” (Howard Bonham,2002). PR adalah suatu seni untuk menciptakan pengertian public yang lebih baik, yang dapat memperdalam kepercayaan public terhadap seseorang atau sesuatu organisasi. World Assembly of Public Relations Association in Mexico mendefiniskan: “PR is the art and social science of analyzing trends, predicting their consequences, councelling organization leaders and implementing planned programmes of action which will serve both the organization and the public interest.” (Wilcox, at al,2003:6). Public Relations adalah seni dan ilmu sosial dalam menganalisis kecenderungan, memprediksi konsekuensi, konsultasi pimpinan dan implementasi program yang direncanakan dalam melayani publik organisasinya. Institute of Public Relations (1987 dalam Alison Theaker, 2004:4) mendefinisikan: “ PR is the planned and sustained effort to establish and maintain goodwill and understanding between an organization and its publics”. PR practice is the discipline concerned with the reputation of organizations (products, services or individuals) with the aim of earning understanding and support.”. PR merupakan upaya terencana dan berkelanjutan dalam menciptakan dan memelihara itikad baik (goodwill) dan pengertian antara organisasi dan public. PR merupakan perhatian khusus terhadap reputasi organisasi (produk, pelayanan atau individu) untuk memperoleh pengertian dan dukungan. Philip Kitchen (1997 dalam Theaker, 2004: 27) meringkas definisi PR : 1. Is a management function…. (merupakan fungsi manajemen) 2. Covers abroad range of activities and purposes in practice…(meliputi ruang lingkup yang luas dalam aktivitas dan tujuan secara praktis) . 3. Is regarded as two- way or interactive….( menunjukan komunikasi dua arah atau interakatif) 4. Suggest that publics facing companies are not singular, but plural…( menunjukkan sosok perusahaan public yang kolektif, bukan tunggal) 5. Suggest that relationship are long term rather than short term.( menunjukkan hubungan hubumgan jangka panjang) Wilcox et al (2003: 5) menambahkan elemen dalam definisi PR: 1. Deliberate. Public relations is intentional, not haphazard ( Disengaja. PR memilki tujuan, bukan suatu kebetulan) 2. Planned. It is organized, not short term (Terencana dan diorganisasikan dalam waktu yang panjang) 3. Performance. Public relations cannot be effective unless it is based on the actual performance of organization (Kinerja. PR tak bisa efektif, jika tak berdasarkan kinerja katual organisasi) 4. Public interest. This reinforces the idea that public relations should be beneficial to the organization and the the general public.(Kepentingan publik.Penguatan gagasan bahwa PR harus menguntungkan organisasi dan public pada umumnya) Melalui pengertian PR di atas, tampak bahwa kiprah buruh dalam relasi produksi tidak dapat dilepaskan dari persoalan komunikasi dan public relations dalam arti luas, bukan hanya dalam internal organisasi. Hubungan industrial merupakan proses dinamik komunikasi yang berawal dari konflik keorganisasian yang tidak diantisipasi dan dikelola dengan profesional, dan berkaitan dengan lemahnya pelaksanaan konsep komunikasi dalam PR pada perusahaan. Kiprah buruh dalam konteks relasi kerja dan konflik hubungan industrial, peran komunikasi dalam perusahaan menjadi sangat penting, menurut James Carey (1992) secara filosofis mengungkapkan bahwa: “ Our basic orientation to communication remains grounded, at the deepest roots of our thinking, in the idea of transmission: communication is a process whereby messages are transmitted and distributed in space for the control of distance and people” (Radford, 2005:3) Secara umum, Radford mengatakan bahwa pemahaman mendasar`tentang komunikasi berada dalam pikiran kita yang paling dalam, pada ide yang ditransmisikan: komunikasi adalah satu proses di mana pesan-pesan disampaikan dan didistribusikan dalam ruang untuk mencermati jarak dan manusia. Bahkan Descartes, Locke dan Hume (dalam Radford, 2005:4) mengungkapkan bahwa “ sebuah ide menjadi rawa yang mutlak”- ide eksis dalam otak, diolah ke dalam simbol-simbol, kemudian disampaikan kepada orang lain, yang menerima mengolah simbol-simbol tersebut dan menginterpretasi ide-ide tersebut untuk dikirimkan kembali pada pengirim. Komunikasi diawali dengan ide-ide atau pikiran untuk dikomunikasikan pada orang lain. Nolan (1999, dalam Radford ,2005:6) mengungkapkan bahwa “ I have to believe in the world outside my own mind. I have to believe that my actions still have meaning, even if I can’t remember them. I have to believe that when my eyes are closed, the world”s still there”. Nolan intinya, ingin menegaskan bahwa saya harus percaya, adanya dunia yang berada di luar pikiran kita; tindakanku masih memiliki makna, sekalipun jika kita tidak mampu mengingat mereka; Juga harus percaya ketika mata kita terpejampun, dunia tetap ada. Thomas M. Scheidel (Mulyana (2001:4) mengatakan bahwa kita berkomunikasi terutama untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial dengan orang di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis kita. Davis dan Wasserman (dalam Rakhmat, 2000: 2) mengatakan: “ komunikasi amat esensial buat pertumbuhan kepribadian manusia, kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian”. Ashley Montagu (1967) mengatakan ”perantara yang sangat penting dalam pertumbuhan belajar anak adalah komunikasi, baik verbal maupun nonverbal.” Komunikasi erat sekali kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran manusia. Gordon I. Zimmerman, dkk. (Mulyana, 2001:4) mengungkapkan lebih jauh bahwa Tujuan komunikasi meliputi dua aspek, (1) kita berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kebutuhan kita, untuk memberi makan dan pakaian kepada diri sendiri, memuaskan kepenasaran kita akan lingkungan, dan menikmati hidup. (2) Kita berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Judi C. Pearson dan Paul E. Nelson (Mulyana, 2001 :5) mengemukakan bahwa: Komunikasi mempunyai dua fungsi. (1) Untuk kelangsungan hidup diri sendiri yang meliputi: keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. (2) Untuk kelangsungan hidup masyarakat, atau memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat. Semakin jelas bahwa komunikasi memiliki fungsi dan peran yang sangat tinggi untuk kelangsungan interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam konteks pribadi maupun sosial, baik dalam bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal. Komunikasi dengan interaksi mempunyai hubungan erat di masyarakat karena seperti dikatakan Garna (1996:76), bahwa para indvidu yang sedang melakukan interaksi dalam mengambil peranan komunikasi, dan melakukan interpretasi yang sama-sama menyesuaikan tindakan, mengarahkan, dan kontrol diri serta perspektif tindakan bersama individu dalam melangsungkan itu untuk memperoleh kepuasan bersama, biasanya tidak perlu setiap itu memiliki motif dan tujuan yang sama. Interaksi antar individu dalam masyarakat itu, yang menggunakan: lambang; tingkah laku dan makna tertentu, yang membentuk rangkaian peranan. Segala peranan tersebut akan menjadi institusi sosial, dan melalui institusi sosial bentukan peranan, maka warga masyarakat melakukan relasi, aktivitas dan tindakan. James Grunig and Todd Hunt (1984:33) membagi empat era karakteristik dalam public relations kontemporer: (1) Publicity Era (1800s) fokus: Dissemination and attention-getting; Nature of Communication: One-way; Research: Little; Current Use: Entertainment, Sports, Marketing. Penyebaran dan memperoleh perhatian; Komunikasi satu arah; Sedikit penelitian; Kegiatan hiburan dan olah raga; Pemasaran. (2) Information Era (early 1900s) fokus: Honest & accurate dissemination of information; Nature of Communication: Oneway; Research: Readability, Comprehension; Current Use: Government, Nonprofit organizations, Business organizations. Penyebaran informasi yang akurat dan jujur; komunikasi satu arah; Penelitian lengkap dan dapat diperoleh; Dilaksanakan dalam pemerintahan, organisasi nonprofit dan organisasi bisnis. (3) Advocacy Era (mid 1900s) fokus: Modify attitudes & influence behavior; Nature of Communication: Two-way; Research: Attitude & opinion; Current Use: Competitive business organizations, causes & movements. Mengubah sikap dan perilaku; Komunikasi dua arah; Penelitian opini dan sikap; Kegiatan dalam organisasi bisnis yang kompetitif, sebab-sebab dan pergerakan. (4) Relationship Era (late 1900s and beyond) fokus: Focus: Mutual understanding & conflict resolution; Nature of Communication: Two-way; Research: Perception, values; Current Use: Regulated business, government, nonprofit organizations, social movements. Saling pengertian dan resolusi konflik; Komunikasi dua arah; Penelitian persepsi dan nilai; Kegiatan bisnis yang teratur, pemerintahan, organisasi nonprofit dan gerakan sosial. Pada abad 20 dan awal 21, tiga pendekatan PR yang komplementer yakni publisitas, informasi publik dan advokasi yang dibangun berdasarkan “ the principles of communication as listening and on conflict resolution and the search for mutual benefits for both organizations and their publics. Prinsip komunikasi seperti mendengar, resolusi konflik dan penelitian yang saling menguntungkan antara organisasi dan publiknya. Para Akademisi public relations, antara lain : Cutlip, dkk., (2000); Grunig dan Hunt (1984) merujuk teori sistem dalam upaya menjelaskan struktur dan implementasi organisasi yang berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam teori sistem dijelaskan bahwa suatu organisasi merupakan kesatuan dari berbagai sub sistem yang saling mempengaruhi dengan lingkungan organisasi. (Cutlip, et al, 2000:229) Hubungan dengan berbagai publik dalam suatu organisasi menurut Grunig and Hunt (dalam Alison Theaker, 2004:54) : Pemegang saham Kongres Legislator Pemerintah Dewan direksi Pemimpin komunitas Hubungan Potensial Input Asosiasi Kelompok Politik Masyarakat Profesional Hubungan Normatif Organisasi Hubungan Fungsional Hubungan Menyebar Output Pengamat lingkungan Masyarakat sekitar Pelajar/mahasiswa Minoritas Media. Dll. Karyawan Serikat Buruh Suplier Konsumen Pelanggan Pengguna jasa Kelompok Pengusaha Gambar 1 : Hubungan Organisasional Dalam PR (Grunig and Hunt, 1984) Dalam konteks konflik hubungan industrial, komunikasi memegang peranan penting dalam proses negosiasi antara pengusaha yang diwakili oleh manajemen dan karyawan yang diwakili oleh serikat buruh. Dalam proses penyelesaian perselisihan dikenal istilah lembaga kerjasama bipartit, yaitu forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah dalam memecahkan permasalahanpermasalahan ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja. “Ideally, communication makes it possible to conduct the entire conflict at the simbolic level, with each player stating how he would respond to the stated, ratherA than the actual, moves of the other…Besides avoiding the hostility, disruption, and subsequent losses resulting from actual moves, negotiations allow the parties to move away from a winner-take-all position toward a solutions that provides some rewards for everyone” (Miller dalam Littlejohn, 1996:274). Idealnya, komunikasi dapat mengelola seluruh konflik dalam tataran simbolik, bagaimana para pemain akan bereaksi terhadap pernyataannya, dibandingkan melakukan gerakan.… di samping menghindari permusuhan, gangguan, kerugian beruntun sebagai akibat adanya gerakan, negosiasi dilakukan anggota untuk menjauhkan dari pengambilalihan posisi ke arah pemecahan dan penghargaan yang lebih baik bagi tiap orang. Kenyataannya, di dalam konflik kepentingan, masing-masing pihak akan menginterpretasikan konflik tersebut melalui pandangan mereka. Masing-masing pihak akan memposisikan konflik tersebut menurut pandangan mereka. Kedua pihak akan mempertahankan tujuan dan motivasi tertentu untuk memenuhi kepentingannya masing-masing. Pembentukan lambang komunikasi dalam proses negosiasi akan mewakili motivasi dan tujuan tersebut. Pihak-pihak yang berselisih kemudian akan memperjuangkan klaim kebenaran mereka. Mereka benar dan yang lain salah. Yang terjadi pada akhirnya adalah pertarungan kekuatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dengan mengindahkan kebenaran itu sendiri. Ada beberapa hal yang merupakan hambatan komunikasi yang harus menjadi perhatian bagi para pelaku komunikasi, di antaranya: 1. Gangguan, ada dua jenis gangguan yang dapat diklasifikasikan menjadi gangguan mekanik dan gangguan semantik. 2. Kepentingan, atau interest akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau menghayati suatu pesan. 3. Motivasi terpendam, akan mendorong seseorang berbuat sesuatu yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan kekurangannya. 4. Prasangka, merupakan salah satu rintangan berat bagi suatu kegiatan komunikasi karena erat kaitannya dengan penarikan kesimpulan yang irrasional. (Effendy, 1993:45). Komunikasi yang efektif menurut Tubbs dan Moss paling tidak menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. (Rakhmat, 1999:13) Munculnya teori konflik dalam ranah komunikasi, lebih menonjol terjadi pada proses transformasi pesan antara para pelaku komunikasi. Salah satu tokohnya, Karl Marx menggambarkan masalah kepentingan-kepentingan manusia. Konflik timbul sebagai akibat terjadinya perbedaan-perbedaan kepentingan dalam kehidupan individu, kelompok dan masyarakat. Selanjutnya, Newcomb (1985:528) mengatakan bahwa harapan-harapan peran yang saling bertentangan biasanya merupakan konsekuensi dari keanggotaan dalam kelompok-kelompok yang berbeda-beda. Dalam kehidupan masyarakat, hal ini sering terjadi, karena pertentangan kehidupan masyarakat akan menimbulkan konflik sosial dalam berbagai keadaan. Dalam konteks ini, proses komunikasi dapat menjadi salah satu sumber konflik, Simon (Liliweri, 1994: 210) menunjukkan bahwa: Sejumlah cara yang menunjukkan kekuatan persuasi dalam interaksi antar pribadi. Di mana setiap orang dengan caranya sendiri, misalnya, dengan cara menekan sehingga dapat membangun kredibilitas dirinya. Dengan bersikap keras seorang komunikator ingin menunjukkan kepada para anggotanya bahwa ia mempunyai kekuatan dan mampu menyelamatkan anggotanya dari ancaman dan menjadi mereka lebih tenang dan bahagia, cara penghindaran konflik yang demikian termasuk dalam persuasi komunikasi. Adler & Elmhorst (Mulyana, 2001: 313) menyatakan: Suatu perbedaan lain yang menonjol antara pesan verbal dan pesan nonverbal adalah bahwa pesan verbal terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal sinambung. Artinya, orang dapat mengawali dan mengakhiri pesan verbal kapan pun ia menghendakinya, sedangkan pesan nonverbalnya tetap “mengalir”, sepanjang ada orang yang hadir di dekatnya. Ini mengingatkan pada salah satu prinsip komunikasi bahwa kita tidak dapat tidak berkomunikasi; setiap perilaku punya pontensi untuk ditafsirkan. Jadi meskipun anda dapat menutup saluran linguistik anda untuk berkomunikasi dengan menolak berbicara atau menulis, anda tidak mungkin menolak berperilaku nonverbal. Seorang penulis mempelajari fakta ini dari produser film Sam Goldwyn ketika ia menyajikan proposalnya untuk sebuah film baru. “Mr. Goldwyn”, penulis itu memohon, “Saya akan menceritakan sebuah kisah yang sensasional. Saya hanya meminta pendapat anda, dan anda tertidur”. Goldwyn menjawab, “Bukankah tertidur juga suatu pendapat?” (Mulyana, 2001:313) Konflik dalam hubungan industrial, posisi buruh selalu berada pada pihak yang lemah untuk melakukan upaya negosiasi dan perubahan. Eksploitasi buruh merupakan ciri semua organisasi birokrasi dan merupakan proses yang tidak dapat dielakkan. Keterasingan buruh (kehilangan tanpa kontrol terhadap alat dan proses kerja) di sini merupakan bagian dari sentralisasi administrasi. Pada tingkat yang lebih rendah, individu di dalam organisasi birokrasi tanpa terelakkan kehilangan kontrol terhadap pekerjaan yang mereka lakukan, kontrol mana ditentukan oleh mereka yang berada di eselon yang lebih tinggi. Birokrasi menciptakan “kerangkeng baja”, di mana sebagian besar penduduk ditakdirkan harus hidup. Inilah harga yang harus dibayar untuk hidup yang sangat tinggi peradaban teknisnya. (Giddens & Held, 1987: 35) Namun baik Weber maupun Marx memiliki gagasan awal yang sama, yaitu eksploitasi buruh bersamaan dengan kemunculan kapitalisme. Di sini ditekankan bahwa pembentukan suatu angkatan kerja tanpa milik merupakan ciri yang menandai kapitalisme. Keragaman konteks di atas menuntut sebuah pemahaman. Pemahaman akan kompleksnya konteks ini mengajak untuk lebih bijak sekaligus kritis melihat dinamisasi industri. Semua usaha ini pada dasarnya adalah upaya kita untuk memanusiakan buruh itu sendiri. Hubungan industrial selama ini memang dikenal sebagai ranah Public Relations (PR), karena erat kaitannya dengan hakikat PR, yaitu untuk menciptakan komunikasi timbal balik guna memecahkan konflik kepentingan (conflict of interest). Karena kegiatan utama PR dalam sebuah perusahaan adalah menjalankan kegiatan two ways communication, baik sebagai sumber informasi maupun sebagai media informasi antara perusahaan dan karyawan. Pentingnya komunikasi dua arah tersebut menjadi tugas utama dalam kegiatan PR. PR dituntut untuk menciptakan internal relations maupun eksternal relations yang ideal. Hal ini mudah dipahami karena praktisi PR bertugas untuk mengembangkan dan mendorong sikap dan tingkah laku yang akan menghasilkan saling pengertian. Pada perkembangannya, fungsi PR jadinya lebih cenderung terfokus pada publik eksternal. Pada praktiknya, tidak sedikit perusahaan yang akhirnya “menganaktirikan” publik internalnya akibat tidak tercapai kegiatan two ways communications yang menghasilkan kesepakatan bersama yang memuaskan. Pembejalaran 2 Ruang Lingkup Hubungan Industrial Masalah hubungan industrial di Indonesia masih berkutat pada persoalan mendasar (normatif), khususnya yang menyangkut dengan hak-hak buruh dan rendahnya pemahaman peran masing-masing para pelaku hubungan industrial ( pengusaha-buruh dan pemerintah). Persoalan kesejahteraan buruh, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan kepentingan lainnya di berbagai sektor masih menjadi masalah serius. Beberapa pelanggaran hak-hak normatif yang memicu kasus-kasus tuntutan buruh masih belum beranjak dari soal upah, outsourcing atau buruh sewa, pemutusan hubungan kerja, dan komponen jaminan kesejahteraan lainnya, hingga kriminalisasi buruh.3 Perkembangan industrialisasi perubahan hubungan industrial. telah membawa dampak terjadinya Industri tidak hanya dapat dipahami sebagai fenomena di mana mesin-mesin muncul, melainkan juga difahami sebagai fenomena perubahan hubungan kerja, makna kerja, ekonomi politik, sosial budaya, dan lain sebagainya antara para pelaku proses produksi. Dinamika, gejolak dan perselisihan hubungan industrial yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pembangunan ketenagakerjaan dan industri. Tatanan ekonomi internasional yang telah menciptakan struktur modal internasional berkonsekuensi pada pentingnya pemahaman terhadap gerakan buruh secara luas. Faktor lain yang mendorong terjadinya konflik hubungan industrial adalah sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan sumberdaya manusia, rendahnya ruang penggajian, hingga jaminan sosial. Perbedaan interpretasi tentang kepentingan antara buruh, pengusaha dan pemerintah, serta kurangnya hubungan harmonis di antara para pelaku proses produksi. Fungsi buruh dalam hubungan industrial memiliki peran penting, seperti halnya dengan peran pengusaha dan pemerintah. Namun sering munculnya perbedaan-perbedaan interpretasi di internal perusahaan, para buruh sering mewujudkannya dalam 3 Jenal Abidin, Revitalisasi Gerakan Buruh untuk Kesejahteraan, Kompas, 1 Mei 2006). bentuk unjuk rasa buruh, sehingga menggambarkan terdapatnya perbedaan makna di antara mereka seakan terus menyelimuti dan menganggu hubungan kerja tersebut. Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku proses produksi barang atau jasa yang terdiri dari pengusaha, buruh atau pekerja dan pemerintah yang didasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dasar filosofis hubungan kerja antara pengusaha dan buruh yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila mengisyarakatkan adanya hubungan bersifat partner in production dan partner in profit, sungguh sulit diwujudkan, hal ini tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor nyata internal perusahaan dan eksternal sosial ekonomi, politik, sosilogis, budaya, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah masih adanya pandangan yang keliru terhadap eksistensi buruh dalam konteks hubungan kerja, antara lain adanya anggapan para pekerja sebagai kaum-kaum yang uneducated, kasar, sehingga berdampak tidak hanya terpinggirkan oleh sistem, juga dipinggirkan oleh cara berpikir yang keliru. Tujuan pengembangan hubungan industrial adalah untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara pihak-pihak terkait (buruh-pengusaha) yang dapat meningkatkan produktivitas usaha. Salah satu wujud manajemen hubungan industrial di setiap perusahaan adalah merumuskan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang memuat hak dan kewajiban pekerja serta kewenangan dan kewajiban pengusaha. Hak pekerja merupakan pemenuhan kewajiban pengusaha. Kewajiban pekerja didasarkan pada kewenangan pengusaha untuk mengaturnya. Kewajiban pekerja adalah melakukan pekerjaan sesuai dengan penugasan pimpinan menurut disiplin kerja dan dalam waktu kerja yang diaturkan. Dalam konteks hubungan industrial, Sudono (1997:3-4) membagi sistem hubungan industrial ke dalam 4 jenis, yaitu : a. hubungan industrial atas dasar kegunaan (utility system), adalah suatu sistem hubungan industrial yang diatur sedemikian rupa sehingga utility dari kaum buruh bisa digunakan sepenuhnya. Sistem ini tidak terlampau melihat faktor- faktor lain, yang pasti asal tenaga buruh dapat diperas sebesar-besarnya, pengusaha bersedia membayar upah yang besar dan memberikan jaminan lainnya. Jadi di sini dilaksanakan kebijakan “full employment of manpower”, yaitu kepada buruh diberikan gaji dan jaminan yang tinggi asal tenaga mereka dapat diperas untuk mencapai produksi yang sebesar-besarnya. b. Hubungan industrial atas dasar demokrasi (democratic system) adalah suatu sistem hubungan industrial yang mengutamakan adanya konsultasi dan musyawarah antara pengusaha dan buruh. Tujuan pengusaha tidak berubah, yaitu untuk mempertinggi produksi sebesar mungkin. Namun perlu diwujudkan usaha kerja sama yang baik antara pengusaha dan buruh, dengan jalan antara lain mengadakan perjanjian kerja sama (Collective Labour Agreement), mendirikan dewan perusahaan, memberikan jaminan hari tua untuk buruh, rumah pengobatan, dll. c. Hubungan industrial atas dasar kemanusiaan (human system), adalah suatu sistem hubungan industrial antara pengusaha dan buruh yang hanya berdasarkan atas “manusia dengan manusia lain.” Tidak begitu diperhitungkan masalah produktivitas, efesiensi, dll. Hubungan tersebut semata-mata hanya berdasarkan perikemanusiaan saja, yaitu suatu hubungan antar sesama manusia. d. Hubungan industrial atas dasar komitmen seumur hidup (life long commitment/life time commitment), adalah suatu sistem hubungan industrial yang menekankan bahwa di satu pihak kaum buruh mempunyai kecenderungan untuk tetap setia bekerja pada suatu perusahaan sampai akhir hidupnya, baik pada waktu perusahaan untung maupun rugi, punya disiplin tinggi, dan bekerja keras dengan penuh dedikasi; sedangkan di pihak lain pimpinan perusahaan akan memperlakukan buruhnya seperti orangtua memperlakukan anak-anaknya, yaitu mereka (kaum buruh) dianggap sebagai keluarganya sendiri yang selalu mendapatkan perlindungan dan perlakuan adil dari pimpinan perusahaan. Perusahaan memberikan berbagai fasilitas, seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dll. Hubungan industrial yang berlaku di Jepang, menurut ahli ekonomi barat, dianggap merupakan salah satu kunci rahasia suksesnya perkembangan ekonomi di Jepang. Bahkan ada yang menyatakan sebagai “a key factor in the country’s unique economy.” e. Hubungan industrial atas dasar perjuangan kelas (class struggle), adalah suatu sistem hubungan industrial atas dasar teori perjuangan kelas ala Karl Marx. Teori serta analisis Marx mengenai perkembangan masyarakat, karena pengaruh industri, bagaimanapun, telah mendatangkan bencana dunia dengan pertentangan kelas dalam masyarakat. Antara kelas yang memiliki industri besar, yakni kapitalistis dengan kelas kaum buruh yang miskin, kelas proletar yang tidak mempunyai apa-apa selain menjual tenaganya dengan mengharapkan belas kasihan dari pemilik industri. Tetapi menurut Karl Marx, makin tajam pertentangan kelas itu, makin cepat mendatangkan penyelesaian. Yang dibinasakan adalah kelas kaum modal (kapitalis) oleh kaum lapar yang menuntut keadilan. Dan berbahagialah dunia apabila yang tinggal hanya satu kelas saja, yaitu kelas proletar, yang menuntut keadilan. Dunia telah dibebaskan dari penghisapan dan keserakahan. Howard (1978: 25) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam implementasi hubungan industrial di lapangan masih diliputi berbagai doktrin dan perselisihan. Hubungan industrial merupakan satu subjek kajian yang luas, dengan para pengamat yang keliru dan “menyakitkan” dengan dukungan buktibukti yang bias dan penuh prasangka, yang memerlukan pemikiran kritis dari masyarakat kami. Hubungan industrial menurut Marsh dan Evans (1973:155) adalah suatu istilah inklusif yang mencakup seluruh aspek hubungan ketenagakerjaan dan institusi yang berkaitan dengannya, serta lingkungan sosio-ekonomi termasuk lingkungan alam. Menurut Marsh dan Evans (dalam Susetiawan, 2000:20) kebanyakan penulis menerima definisi di atas, meskipun dengan perbedaan penekanan. Penulis-penulis lain lebih suka mempergunakan istilah ” hubungan perburuhan” (Labour Relations). Konsep yang disebutkan menurutnya, kadang kala dipahami sebagai istilah yang hanya mengacu kepada suatu aspek tertentu saja di dalam hubungan industrial, yaitu hubungan terinstusionalisasi di tempat kerja. Dalam publikasi lain, dipakai secara bergantian dengan istilah hubungan industrial. Keseluruhan ruang lingkup hubungan industrial menurut Salamon (1987:1-2) dapat dibagi menjadi tiga elemen utama. Pertama, bagian dari hubungan industrial yang mengacu kepada peran, hubungan, institusi, proses, dan aktivitas di dalam sebelum industri dan jasa. Hal ini mencakup studi terhadap organisasi dan suborganisasi, kelompok kerja, seksi, serta departemen. Aspek kedua, hubungan industrial mengacu kepada aktivitas sosial di dalam pabrik yang mempengaruhi dan dipengaruhi aktivitas sosial serta ekonomi di masyarakat yang mengitarinya. Aspek yang ketiga, mengacu kepada studi mengenai waktu dalam hubungan industrial, yaitu: ”a) pada tingkat mikro, problem dewasa ini berasal dari keputusan-keputusan masa sebelumnya serta solusinya dalam mengantisipasi problem di masa mendatang; b) pada tingkat makro, hubungan industrial secara keseluruhan dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat yang diekspresikan melalui perubahan-perubahan di lingkungan ekonomi, sosial, dan politik” Hubungan industrial menurut Susetiawan (2000:21) harus dipahami dalam arti yang lebih luas. Studi mereka harus mencakup suatu pertimbangan umum mengenai perubahan sosial. Dewasa ini, batas antara berbagai disiplin ilmu sosial yang berbeda sulit dipertahankan. Hyman (1980:38) menanggapi bahwa Hubungan Industrial membentuk satu ranah kajian yang belum memliki teori atau disiplin yang terpadu yang rasional, tetapi diperoleh langsung dari pengalaman praktis dari masalah di lapangan yakni pertentangan antara majikan, pemerintah dan para penasihat akademisi untuk memperoleh stabilitas buruh. Fenomena hubungan industrial banyak dipelajari oleh banyak disiplin ilmu, adalah perlu untuk menunjukkan pendekatan khas sosiologi, komunikasi, public relations, dan lain sebagainya, terutama dalam fenomena unjuk rasa buruh sebagai simbol komunikasi yang erat kaitannya dengan sosiologi kerja dan industri; konflik keorganisasian dan konflik sosial. Istilah ”Industrial Relations” menurut Barbash (dalam Kartasapoetra,1992:197) memiliki arti ganda, yaitu pertama, mengacu pada hubungan di antara manajer dengan pekerja bawahannya baik dalam ruang lingkup perusahaan maupun dalam lingkungan masyarakat luas; Kedua, menunjuk pada suatu hubungan kolektif antara serikat pekerja dengan pihak perusahaan. Flanders (1965:10) menyatakan, industrial relations system adalah suatu norma yang dapat muncul dalam berbagai bentuk baik berupa aturan-aturan dalam trade unions, persetujuan, maupun berupa perjanjian bersama, konvensi masyarakat, keputusan manajer dan berbagai tindakan kebiasaan yang dianggap sudah umum. Margarish (dalam Hyman, 1975:111) menambahkan bahwa industrial relations adalah suatu medan studi yang cukup kompleks yang memerlukan dasar-dasar pengetahuan mengenai perilaku industri berikut unsur-unsurnya. Teori yang diajukan oleh Flanders, cenderung lebih menekankan terhadap berbagai akibat yang ditimbulkan oleh konflik dalam industri daripada mencari sebab-sebab yang ditimbulkan konflik tersebut. Dengan demikian diperlukan, suatu model perilaku untuk menganalisis sebab-sebab munculnya konflik dalam sistem sosial industri. Pengertian sistem industrial adalah nilai analisis jika sistem tersebut membentuk suatu eksistensi proses dan kekuatan yang saling bertentangan dan mempertahankan keseimbangan. John Dunlop (1958: 5) mengatakan bahwa "suatu sistem hubungan harus dipandang sebagai sub sistem analisis dari suatu masyarakat industri yang didasarkan pada logika rencana yang sama sebagai suatu sistem ekonomi". Unsur-unsur utama dalam sistem hubungan industrial menurut Dunlop (1958:7): "For a certain time such industrial relationship system will be regarded as an ideology representing the system of certain practitioner, and for a certain context the same way happened to the regulations controlling the workers in the workplace and in the working community". Pada suatu waktu, sistem hubungan industrial akan dipandang sebagai representasi ideologi dari sistem praktisi dan konteks tertentu seperti halnya peraturan pengawasan pekerja di tempat kerja dan komunitasnya. Kemudian Dunlop (1958:8) mengemukakan, para pelaku atau aktor dalam hubungan industrial meliputi:(1) hierarki para manajer dan para wakil mereka untuk pengawasan; (2) hierarki para pekeja (non-managerial) dan juru bicaranya, dan (3) instansi-instansi pemerintah tertentu dan instansi swasta tertentu yang didirikan oleh dua para pelaku tersebut yang memperhatikan para pekerja, perus aan, dan hubungan-hubungan mereka. (Tripartite Pluralism)" Lebih lanjut, Dunlop (1958:15) menyatakan "salah satu masalah besar dalam hierarki para pelaku dalam hubungan industral ini adalah kesulitan komunikasi dan pengertian sejati antara para ahli tersebut dengan sisa hierarki lainnya". Parsons mengemukakan konsep "kesesuaian paham", atau konsensus yang menjiwai dan mendasari masyarakat, sedangkan konflik atau perselisihan dicela sebagai ”penyakit masyarakat" (Parsons dalam Vegeer,1993:210). Dunlop (1958:6-7) yang sangat dipengaruhi Parsons dan Smeiser mengembangkan teori sistem model dalam industrial relations, yang dapat dianggap sebagai sub sistem industri sebagai analog dengan sub-sub sistem ekonomi. Dengan teori sistem modelnya, Dunlop mengatakan bahwa suatu sistem hubungan industrial pada suatu waktu dalam perkembangannya yang terdiri dari para pelaku tertentu, konteks tertentu, sebuah ideologi yang menyatukan sistem hubungan industrial itu, dan sekelompok peraturan yang diciptakan untuk mengatur para pelaku di tempat kerja. Seperti dapat dilihat dalam gambar berikut: Para Pelaku: - pengusaha - Pekerja - Pemerintah Konteks Tertentu Sistem Hubungan Industrial Ideologi Peraturan Gambar 3 : Sistem Hubungan Industrial Sumber : Dunlop (1958:17) Para pelaku ini merupakan sistem ”tripartite pluralism” sebagai konsekuensi dari industrialisasi. Para pelaku dibatasi oleh konteks tindakan dan interaksi mereka. Dapat diidentifikasi tiga konteks, yakni (1) ciri-ciri teknologi dari tempat kerja dan masyarakat kerja; (2) hambatan pasar dan hambatan anggaran terhadap para pelaku; dan (3) lokasi dan distribusi kekuasaan dalam masyarakat yang lebih luas (Dunlop, 1958:9). Tiga konteks itu membentuk suatu jaringan kerja atau jaringan peraturan. Unsur ideologi dalam sistem hubungan industrial sebagai seperangkat ide dan kepercayaan yang dianut bersama oleh para pelaku, dan yang membantu mengikat serta mengintegrasikan sistem ini sebagai suatu kesatuan. (Dunlop, 1958:16). Setiap pelaku itu mempunyai ideologi khas mereka sendiri, yang menekankan agar " ideologi" cukup cocok dan konsisten, sehingga memungkinkan adanya seperangkat ide bersama yang mengakui peranan yang dapat diterima oleh masing-masing pelaku. Dalam konteks ini, hubungan industrial mencakup berbagai persepsi para pelaku produksi, terutama persepsi buruh, pengusaha, pemerintah dan anggota DPRD sebagai wakil kepentingan masyarakat. Pada gilirannya akan muncul persepsi yang berbeda terhadap nilai, peran sosial dan kepentingan masing-masing pelaku, yang sering terwujud dalam bentuk konflik keorganisasian dan konflik sosial, sehingga dapat mengganggu hubungan harmonis di antara mereka dalam proses produksi. Taylor dan Bry (1986:1) menyampaikan satu uraian kritis, bahwa penelitian Hubungan Industrial selalu memiliki pengalaman sulit, yang perlu dipertimbangkan di ruang-ruang akademik. Blain dan Plowman (1987:313) menyimpulkan bahwa satu kelemahan dari seluruh kajian pustaka dan perhatian yang tidak proporsional dalam memberikan penjelasan. Cenderung untuk memusatkan pada pengumpulan fakta-fakta dan sangat sedikit memberikan analisis dan penjelasan teoritis Pendekatan sistem hubungan industrial Dunlop (1958) mendapat kritikan dari Shalev (1980:26) yang mempersoalkan faktor internal dan eksternal. Bahwa faktor sosial, ekonomi, politik sebagai satu kesatuan analisis yang tak dapat dipisahkan dari masalah hubungan buruh semata. Kelemahan lainnya model tiga aktor Dunlop yakni terbatasnya cara berinteraksi, yang satu bisa mendominasi dua aktor lainnya, sehingga diperlukan pilihan strategi kombinasi atau “pilihan strategis” .(Kochan, Mckersie dan Cappelli (1984) dan Kochan, Katz Dan Mckersie ( 1986) mengikuti Dunlop dalam mengidentifikasi perbedaan lokasi atau wilayah di mana keputusan dibuat. Para akademisi melihat arah kajian hubungan industrial yang aplikatif dari teori ilmu sosial, muncul dari kajian yang unik dan kajian lmu yang multi disiplin. Latihan: 1. Mengapa Seorang PRO penting memahami Hubungan Industrial? 2. Mengapa perkembangan Indutri 4.0 relevan untuk dikaji dalam perspektif PR dan Hubungan Industrial 3. Uraikan Pengertian PR dan Hubungan industrial yang anda pahami? 4. Berikan dua contoh kasus hubungan industrial yang sedang dihadapi Indonesia, dan solusi apa yang bisa ditawarkan oleh seorang PRO perusahaan? Jawaban: Ditulis tangan dalam kerta folio bergaris dan lengkapi dengan referensinya. Dan diserahkan minggu depan tanggal 14 November 2018 di roster.