PERSOALAN EKONOMI DALAM ISLAM ASURANSI Asuransi Konvensional Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie. Dalam hukum Belanda sering dipakai kata ini dengan kata verzekering yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “pertanggungan”. Dari kata assurantie ini muncul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde bagi tertanggung, atau dengan istilah lain disebut penjamin dan terjamin. Dari istilah verzekering itu juga timbullah istilah verzekeraar bagi penanggung dan verzekerde bagi tertanggung. Sedangkan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian bahwa asuransi (pertanggungan) adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberi pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Sedangkan ruang lingkup usaha asuransi yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyrakat melalui pengumpulan premi asuransi, memberi perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. Pihak penanggung atau penjamin adalah perusahaan asuransi, sedangkan tertanggung atau yang dijamin adalah peserta asuransi. Jadi dalam suatu asuransi, terdapat perjanjian antara kedua belah pihak dimana pihak yang dijamin diwajibkan membayar uang premi dalam jumlah tertentu dalam suatu masa tertentu pula, kemudian pihak yang menjamin akan mengganti kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si penjamin. Sementara itu Abdul Mannan seorang ahli ekonomi Islam mengatakan, hakikat asuransi terletak pada dihilangkannya resiko kerugian yang tak tentu bagi gabungan sejumlah orang yang menghadapi persoalan serupa dan membayar premi kepada suatu perusahaan. Dana ini cukup untuk mengganti semua kerugian yang disebabkan oleh semua anggota. Berdasarkan pengertian di atas suatu perjanjian asuransi minimal terdapat tiga unsur. Pertama, pihak yang sanggup menanggung atau menjamin bahwa pihak lain akan menadapat pergantian dari satu kerugian yang mungkin akan diderita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi. Kedua, pihak yang ditanggung diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang ditanggung, Ketiga, apabila peristiwa yang dimaksud telah terjadi. Asuransi Perspektif Islam : Pro Kontra Ulama Fiqh Indonesia merupakan masyarakat muslim mayoritas, oleh sebab itu perlu adalah sebuah alternatif sistem asuransi sesuai dengan syariat Islam mengingat banyak kalangan yang berpendapat bahwa asuransi tidak Islami karena mendahului takdir Allah yang dalam istilah jawa disebutkan ndisik’i kerso. Sebagaimana telah dijelaskan dalam pendahuluan diatas bahwa asuransi tidak dijelaskan dengan jelas dan tegas dalam nash Al-Qur`an maka masalah asuransi ini dipandang sebagai masalah ijtihadi yaitu perbedaan dikalangan ulama’ yang sulit dihindari dan perpedaan tersebut harus dihargai sebagai bentuk rahmat. Adapun pandangan para ulama’ iqh terhadap hukum asuransi sebagai berikut: Ulama’ yang melarang praktik asuransi diantaranya Sayyid Sabiq, ‘Abd Allâh al-Qalqi (mufti Yordania), Yusuf Qaradhâwi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir). Beliau mengatakan bahwa Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa. Pendapat Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah: 1. Asuransi sama dengan judi; 2. Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti; 3. Asuransi mengandung unsur riba/renten; 4. Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi; 5. Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktik-praktik riba; 6. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai. 7. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah. Sedangkan para ulama’ yang memperbolehkan praktik asuransi dengan alasan bahwa: 1. 2. 3. 4. Tidak ada nas (Al-Qur`an dan Sunnah) yang melarang asuransi; Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak; Saling menguntungkan kedua belah pihak; Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan; 5. Asuransi termasuk akad mudhârbah (bagi hasil); 6. Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’âwuniyah); 7. Asuransi dianalogikan (qiyas) dengan sistem pensiun seperti taspen. Adapun ulama’ yang memperbolehkan adanya praktik asuransi diantaranya Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syariah Universitas Syria), Muhammad Yûsuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan ‘Abd Rahman ‘Isa (pengarang kitab al-Muamalah alHaditsah wa Ahkâmuha). Sedangkan menurut Zuhdi pandangan ulama tentang hukum asuransi terbagi menjadi empat bagian. Pertama, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi termasuk segala macam bentuk dan operasionalnya hukumnya haram. Kedua, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam Islam. Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat diperbolehkan adalah asuransi yang bersifat sosial sedangkan asuransi yang bersifat komersial dilarang dalam Islam dan keempat, kelompok ulama yang berpendapat bahwa asuransi hukumnya termasuk syubhat, karena tidak ada dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi. VALAS Pandangan Hukum Islam Terhadap Mekanisme Transaksi Valuta Asing Sepintas, transaksi valuta asing sama dengan transaksi jualbeli seperti biasanya dalam Islam. Maksudnya, jika jual-beli harus memenuhi unsur-unsur penting (rukun), seperti: orang yang ber- akad, sighat (ijab dan kabul), barang yang diperjualbelikan, dan alat tukar (yang digunakan dewasa ini adalah uang), maka transaksi valuta asing juga memenuhi unsur tersebut. Akan tetapi, jika dicermati lebih jauh, maka akan terlihat perbedaan pada barang yang diperjualbelikan. Dalam transaksi valuta asing, yang diperjualbelikan adalah uang itu sendiri sehingga uang menempati dua posisi, yaitu sebagai alat tukar, sekaligus sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Dalam bahasa lain, transaksi valuta asing identik dengan jual-beli mata uang. Dalam literatur fikih, ternyata jenis jual-beli seperti ini dikenal dengan sharf. Sharf dimaksudkan sebagai jual-beli mata uang, baik sejenis maupun tidak. Lebih lanjut disebutkan bahwa sharf adalah jual-beli emas dengan emas, perak dengan perak, atau emas dengan perak dalam kapasitasnya sebagai mata uang. Agar jual-beli menjadi sah, sharf ini harus memenuhi empat syarat, yaitu: (1) Saling serah-terima sebelum keduanya berpisah; (2) Memiliki kualitas yang sama; (3) Tidak boleh ada khiyar syarat; (4) Tidak boleh ada batasan waktu tertentu (al-ajl) Empat syarat di atas bisa diringkas menjadi dua saja, yaitu: (1) serah-terima sebelum keduanya berpisah dan (2) memiliki kualitas yang sama. Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa transaksi valuta asing dapat dibenarkan secara hukum jika syarat-syarat yang dikemukakan tersebut terpenuhi. Maksudnya, kedudukan hukum transaksi valuta asing dalam pandangan hukum Islam diperbolehkan sepanjang tidak keluar dari syarat-syarat yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, transaksi valuta asing itu memiliki tiga jenis spot, forward dan swap. Ketiga jenis tersebut memiliki spesifikasi yang signifikan jika ditinjau dari sisi hukum. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan secara singkat aplikatif ketiga jenis tersebut guna menemukan spesifikasi masingmasingnya sehingga dapat dideteksi kedudukan hukumnya secara lebih tegas. Pertama, secara aplikatif, transaksi spot dapat digambarkan seperti berikut. Seseorang yang membutuhkan sejumlah dolar untuk membayar barang impor dari Amerika. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka seseorang tersebut harus membeli dolar di pasar valuta asing sejumlah yang diperlukan itu dengan kurs spot saat itu (si pembeli di satu pihak, pasar valuta asing di pihak lain). Dalam transaksi spot ini, serah terima mata uang yang diperjualbelikan tersebut berlansung pada saat transaksi, atau setidaknya satu atau dua hari berikutnya. Perbedaan hari yang relatif sedikit ini tidak ada konsekuensinya terhadap kurs. Dari gambaran di atas, nampaknya tidak ada perbenturan dengan syarat-syarat sharf. Hal ini berarti, sekaligus merupakan pendapat penulis, bahwa transaksi valuta asing jenis spot transaction dibolehkan oleh hukum Islam. Di samping tidak bertentangan dengan syaratsyarat sharf itu, realitas menunjukkan bahwa transaksi valuta asing tersebut sangat urgen Kedua, forward transaction (transaksi berjangka) biasanya dilakukan untuk menghindari resiko fluktuasi kurs, khususnya pada waktu yang akan datang. Misalkan pengusaha Indonesia membutuhkan sejumlah dolar untuk membayar barang impor tiga bulan mendatang (sesuai dengan waktu kontrak dengan pihak pengimpor), sementara dia tidak bisa memperkirakan berapa besar kurs spot untuk tiga bu - lan mendatang itu. Agar terhindar dari fluktuasi kurs tersebut, dia melakukan transaksi forward untuk tiga bulan mendatang. Caranya, transaksi dilakukan hari ini, tetapi penyerahannya di - lakukan pada tiga bulan mendatang. Kurs dalam transaksi ini tidak sama dengan kurs spot saat itu, tetapi lebih tinggi. Jika kurs spot rupiah terhadap dolar Rp 12.000/US $ 1, mungkin dalam kurs forward Rp 12.500/US $ 1. Di samping itu, pengusaha tersebut membayar uang muka maksimal sepuluh persen (10 %) dari jumlah yang ditransaksikan. Jika ditinjau dari dimensi hukum, maka pelaksanaan transaksi forward memiliki dua kelemahan. Pertama, adanya perbedaan harga antara spot dengan forward. Kedua, uang muka yang diberikan bisa hilang jika transaksi dibatalkan. Bentuk yang pertama termasuk dalam kategori riba dan jual beli bersyarat, sedangkan bentuk kedua dapat dikategorikan ke dalam bentuk jual beli urban . Baik bentuk pertama maupun bentuk kedua, semuanya sama-sama dilarang dalam Islam. Ketiga, jenis transaksi terakhir adalah transaksi barter (swap transaction). Berikut, akan digambarkan secara sederhana. Seorang pengusaha memiliki dolar dalam jumlah tertentu, sementara dia sangat membutuhkan rupiah. Satu tahun ke depan, dia membutuhkan dolar itu kembali. Oleh karena itu, dia menukarkan dolar dengan rupiah kepada salah satu bank sesuai dengan kurs spot waktu itu, dengan syarat bahwa satu tahun ke depan (pada tanggal yang ditetapkan) dolar tersebut harus dikembalikan oleh bank dengan kurs yang sama dengan kurs spot saat transaksi. Pihak bank menyetujui syarat tersebut dengan ketentuan bahwa pengusaha itu harus membayar premi dalam prosentase tertentu dari rupiah yang diterimanya, misalnya 8% dari jumlah rupiah yang diterimanya. Justru itu, untuk mendapatkan dolar dalam jumlah yang sama pada satu tahun mendatang, pengusaha tersebut harus menyediakan uang rupiah sebanyak yang diterima sebelumnya, ditambah dengan persentase yang ditentukan itu. Jika dicermati dari dimensi hukum, transaksi ini termasuk kepada jualbeli al-ajl di samping mengandung riba. Dengan mengacu kepada syarat-syarat sharf di atas, maka transaksi swap ini tidak bisa dibenarkan. Dengan demikian, transaksi ini mengandung kelemahan secara hukum, yaitu mengandung unsur riba dan melanggar salah satu syarat sharf, yaitu al-ajl. DAPUS Qusthoniah. (2014). Transaksi Valuta Asing Menurut Hukum Islam. Jurnal Syariah. Ridlwan, A. A. (2016). Asuransi Perspektif Hukum Islam. Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah.