8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ventilasi Mekanik 2.1.1 Pengertian Ventilasi mekanik adalah alat bantu nafas yang memberikan bantuan nafas dengan cara membantu sebagian atau mengambil alih semua fungsi pernafasan guna untuk mampertahankan hidup (Manjoer, 2005). 2.1.2 Fisiologi pernafasan pada ventilasi mekanik Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot-otot interkostalis, rongga dada mengembang karena terjadi tekanan negatif sehingga aliran udara masuk ke paru-paru sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif, pada pernafasan ventilasi mekanik mengirimkan udara dengan memompa ke paruparu pasien sehingga tekanan selama inspirasi adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorak paling positif (Sheen, 2009). 2.1.3 Indikasi pemasangan ventilasi mekanik Indikasi pemasangan ventilasi mekanik adalah pada pasien yang mengalami gagal nafas, henti jantung paru, trauma (terutama kepala, leher, dan dada), gangguan kardiovaskular (stroke, tumor, infeksi, emboli, trauma), penyakit neuromuskuler (guillainebare syndrome, poliomylitis, myastenia), peningkatan tahanan jalan pernafasan (asma berat) (Mansjoer, 2005). 9 2.1.3 Tujuan ventilasi mekanik Manjoer (2005), mengatakan ventilasi mekanik bertujuan untuk: a. Mengatasi hipoksemia b. Mengatasi asidosis pernapasan akut c. Meringankan gangguan pernapasan d. Mencegah atelektasis e. Mengistirahatkan otot-otot pernafasan 2.1.4 Komplikasi ventilasi mekanik Ada beberapa komplikasi ventilasi mekanik, antara lain (Sheen, 2009). a. Risiko yang berhubungan dengan intubasi endotrakea, termasuk kesulitan intubasi, sumbatan pipa endotrakea oleh sekret. b. Intubasi endotrakea jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan laring terutama pita suara dan trakea. Umumnya setelah 14 hari dilakukan trakeostomi. c. Gas ventilasi dapat menyebabkan efek mengeringkan jalan napas dan retensi sekret dan mengganggu proses batuk sehingga dapat menimbulkan infeksi paru-paru. d. Masalah-masalah yang berhubungan dengan pemberian sedasi dan anestesi yang memiliki efek depresi jantung, gangguan pengosongan lambung, penurunan mobilitas dan memperlama proses pemulihan. e. Gangguan hemodinamik terutama pada penggunaan tekanan tinggi yang dapat mengurangi venous return, curah jantung dan tekanan darah sehingga mengurangi aliran darah ke saluran pencernaan dan ginjal. 10 f. Barotrauma dan volutrauma 2.2 Nyeri 2.2.1 Pengertian Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Potter & Perry, 2006). Menurut Engel (1970) dalam Potter & Perry (2006) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (asfek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Manjoer, 2005). 11 2.2.2 Klasifikasi nyeri Menurut Corwin (2009), nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu: a. Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi: 1) Nyeri somatik luar. Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi. 2) Nyeri somatik dalam. Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat. 3) Nyeri viseral. Nyeri karena perangsangan organ viseral atau organ yang menutupinya (pleura parietalis, pericardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal. b. Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Nyeri nosiseptif, karena kerusakan jaringan baik somatic maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik 2) Nyeri neurogenik. Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cidera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensi yang dirasakan adalah rasa panas dan 12 seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri nerogenik dapat menyebabkan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional. 3) Nyeri psikogenik. Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang. c. Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi: 1) Nyeri akut. Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti: takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah: menyeringai atau menangis. Bentuk nyeri akut dapat berupa nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa, nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat dan nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral 2) Nyeri kronik. Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tandatanda aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. 13 d. Berdasarkan derajat nyeri dikelompokkan menjadi: 1) Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur. 2) Nyeri sedang adalah nyeri terus-menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila penderita tidur. 3) Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri. 2.2.3 Anatomi dan fisiologi nyeri Salah satu sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen (Manjoer, 2005). a. Reseptor khusus yang disebut nociseptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious. b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS. c. Kornu dorsali medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara local eksitasi dan inhibitor interneuron dan tarktus desenden inhibitor dari otak. d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. 14 e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri, ingatan tentang nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris. g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level medulla spinalis. 2.2.4 Patofisiologi nyeri. Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. Akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zatzat algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik (Potter & Perry, 2006). Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada empat proses yang mengikuti sustu proses nosisepsis yaitu: a. Tranduksi/Tranduction Adalah perubahan rangsangan nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamine, asam laktat dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A-delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai di jaringan kulit, periosteum, di 15 dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A-delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempuyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri. Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang dapat diakses oleh otak. Proses transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan. b. Transmisi/Transmission Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar. Saraf aferen akan berakson pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral. c. Modulasi/Modulation Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur transmisi nociceptor tersebut. Proses modulasi melibatkan sistem neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari sistem saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor. 16 d. Persepsi/Perception Persepsi adalah proses yang subjektif. Proses persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan tetapi juga meliputi cognition (pengenalan) dan memory (mengingat). Oleh karena itu, faktor psikologis, emosional,dan berhavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional. 2.2.5 Respon tubuh terhadap nyeri Nyeri akaut akan menimbulkan perubahan-perubahan di dalam tubuh. Impuls nyeri oleh serat efferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu enterolateral dan kornu anterior medulla spinalis (Tamsuri, 2007). Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stress sistem neuroendokrin yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serat saraf efferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis dan juga diteruskan melalui sel-sel di kornu anterolateral dan kornu enterior medulla spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi) (Tamsuri, 2007). Nyeri juga mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolic dan imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terhadap psikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah 17 dan takut. Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral akan mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang disarafi oleh sistem simpatis akan aktif. Nyeri akut baik yang ringan sampai berat akan memberikan efek pada tubuh seperti (Tamsuri, 2007). a. Sistem respirasi Pengaruh dari peningkatan laju metabolism, pengaruh reflek segmental, dan hormone seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding torak menurunkan volume tidal kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, hipoksemia dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi. b. Sistem Kardiovaskuler Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningakatan produksi ketokelamin, angiostensin II, dan anti deuretik hormon sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantungakan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuahan oksigen myocard , sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya Iskemia Myocardial. Nyeri merupakan salah satu stressor bagi tubuh sehingga 18 menghasilkan sebuah stimulasi simpatis berupa peningkatan laju nadi, tekanan arteri rata-rata, jumlah keringat dan perubahan ukuran pupil sebagai bentuk kompensasi tubuh terhadap rangsangan nyeri tersebut. c. Sistem gastrointestinal Rangsangan terhadap saraf simpatis meningkatkan tahanan spingter dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah dan konstipasi sering terjadi. d. Sistem urogenital Rangsangan terhadap saraf simpatis meningkatkan tahanan spingter saluran kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin. e. Sistem metabolisme dan endokrin Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketokelamin. Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kubutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon metabolic seperti ketokelamin, kortisol dan glucagon sehingga menyebabkan penurunan hormon anabolic seperti insulin dan testosterone. Peningkatan kadar ketokelamin dalam darah mempunyai pengaruh terhadap kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan metabolism glukosa sehingga kadar gula dalam darah meningkat. Hal ini peningkatan proses mendorong pelepasan glukogenensis. Pasien glucagon, glucagon memicu yang mengalami nyeri akan 19 menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan peningkatan rennin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antideuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan ekstraseluler f. Sistem hematologi Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan hiperkoagulopati. g. Sistem imunitas Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi sistem retikuloendotelial. yang pada akhirnya akan menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi. h. Efek fisiologis Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan , ketakutan, agitasi, dan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. i. Homeostasis cairan dan eletrolit Efek yang ditimbulkan akaibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosteron berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan penurunan produksi urin. Hormon ketokelamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya. 20 2.2.6 Faktor yang mempengaruhi nyeri Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik (Tamsuri, 2007). a. Usia Batasan usia anak-anak mulai usia 0-2 tahun, remaja usia 13-18 tahun, dewasa usia 19-59 tahun, lansia usia lebih dari 60 tahun. Usia mempunyai peranan yang penting dalam mempersepsikan dan mengekspresikan rasa nyeri. Pasien dewasa memiliki respon yang berbeda terhadap nyeri dibandingkan pada lansia. Nyeri dianggap sebagai kondisi yang alami dari proses penuaan. Cara menafsirkan nyeri ada dua. Pertama, rasa sakit adalah normal dari proses penuaan. Kedua sebagai tanda penuaan. Usia sebagai faktor penting dalam pemberian obat. Perubahan Metabolik pada orang yang lebih tua mempengaruhi respon terhadap analgesik opioid. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh usia terhadap persepsi nyeri dan hasilnya sudah tidak konsisten. Telah ditemukan bahwa orang tua membutuhkan intensitas lebih tinggi dari rangsangan nyeri dibandingkan orang usia muda. b. Jenis kelamin Respon nyeri di pengaruhi oleh jenis kelamin. Telah dilakukan penelitian terhadap sampel 100 pasien untuk mengetahui perbedaan respon nyeri antara lakilaki dan perempuan. Hasilnya menunjukan bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam merespon nyeri yaitu perempuan mempunyai respon nyeri 21 lebih baik dari pada laki-laki. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Laura yang menunjukkan bahwa wanita lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri. Brattberg melaporkan bahwa perempuan mengungkapkan rasa nyeri yang lebih tinggi daripada laki-laki. Pada perempuan letak persepsi nyeri berada pada limbik yang berperan sebagai pusat utama emosi seseorang sedangkan pada lakilaki terletak pada korteks prefrontal yang berperan sebagai pusat analisa dan kognitif. Jadi secara emosional perempuan lebih sensitif dalam mempersepsikan nyeri c. Budaya Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. Telah ditemukan bahwa orang Jawa dan Batak mempunyai respon yang berbeda terhadap nyeri. Dia menemukan bahwa pasien Jawa mencoba untuk mengabaikan rasa sakit dan hanya diam, menunjukkan sikap tabah, dan mencoba mengalihkan rasa sakit melalui kegiatan keagamaan. Ini berarti bahwa pasien Jawa memiliki kemampuan untuk mengelola nya atau rasa sakitnya. Di sisi lain, pasien Batak merespon nyeri dengan berteriak, menangis, atau marah dalam rangka untuk mendapatkan perhatian dari orang lain, sehingga menunjukkan ekspresif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien dengan budaya yang berbeda dinyatakan dalam cara yang berbeda yang mempengaruhi persepsi nyeri. 22 d. Faktor fisik Faktor fisik yang mempengaruhi nyeri pada pasien yang terpasang ventilator di ruang ICU termasuk gejala penyakit kritis (misalnya, angina, infark miokard, dyspnea), luka (pasca-trauma, pasca operasi), gangguan tidur, keterbatasan gerak karna alat-alat invasif yang terpasang, faktor fisik lainnya adalah hipertermi karena proses penyakit yang dialami. Penyakit yang paling umum atau cedera dirawat di ICU: infark miokard, bedah torax, penyakit cardiovaskuler dan penyakit traumatik dan untuk beberapa pasien nyeri dianggap terus menerus dan durasi selama menjalani perawatan di ruang ICU. Hasil penelitian Zimmer menunjukkan bahwa kelompok diagnosa penyakit yang lebih berisiko mengalami nyeri yang lebih tinggi adalah pada pasien dengan sepsis. Pada penelitian yang dilakukan oleh gelinas kondisi fisik pasien juga sangat mempengaruhi yaitu tingkat kesadaran akan mempengaruhi pasien dalam mepersepsikan nyeri, skor rata-rata nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran lebih rendah dibandingkan pasien dengan kesdaran yang baik. e. Faktor psikososial Faktor psikososial mempunyai pengaruh terhadap nyeri pada pasien yang dirawat di ICU dengan ventilator mekanik faktor faktor itu antara lain cemas dan depresi, gangguan komunikasi, ketidakmampuan untuk melaporkan dan menggambarkan rasa sakit, takut sakit, cacat, tidak adanya keluarga yang menunggu disamping pasien sebagai support system, kejenuhan yang dialami oleh pasien yang terpasang ventilator mekanik. Cemas merupakan faktor yang mempengaruhi nyeri pada pasien yang terpasang ventilator mekanik di ruang ICU 23 seperti lingkungan yang asing tidak adanya keluarga yang menunggu, rasa aman dan nyaman didapat dari keluarga, teman, kenyakinan beragama. f. Faktor lingkungan Lingkungan perawatan ICU merupakan faktor yang menyebabkan nyeri pada pasien yang dirawat di ruang ICU. Banyak alat elektronik yang ada di ruang ICU seperti ventilator mekanik, bedside monitor, syiring pump, infus pump suara yang ditimbulkan alat-alat tersebut membuat kebisingan di ruang ICU. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Puntillo (2010), melaporkan bahwa selama pasien menjalani perawatan di ruang ICU, 15% dari mereka mengalami keadaan tidak nyaman, 50% dari mereka mempunyai pengalaman tidak nyaman, dan 35% dari mereka mengalami sangat tidak nyaman (nyeri). 2.2.7 Pengukuran intensitas nyeri Nyeri dinilai berdasarkan tingkah laku manusia, yang dapat mempengaruhi ekspresi dan pemahaman terhadap nyeri. Nyeri merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan juga mempengaruhi respon emosional dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri seseorang dimasa lalu dan persepsi terhadap nyeri. Definisi nyeri sendiri dalam asuhan keperawatan adalah ketika seseorang merasakan nyeri dan menyatakannya. Perhatian harus diberikan kepada pasien yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal. Persepsi dan interpretasi terhadap input nosiseptif, respon emosional terhadap persepsi (misal, depresi, takut, cemas, dan menderita), dan tingkah laku sebagai respon terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk yakin bahwa seseorang sedang merasakan nyeri (misal, mengeluhkan nyeri, meringis). Persepsi nyeri 24 kelihatannya sama pada berbagai suku akan tetapi batas ambang nyeri berbeda antara suku atau ras. Penilaian skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan ketidakmampuan verbal baik karena terganggu kognitifnya, dalam keadaan tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator. a. Pasien yang dapat berkomunikasi 1) Skala visual analog nyeri ( visual analog scale) Skala analog visual (Visual analog scale) adalah suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter & Perry, 2006). 2) Skala intensitas nyeri numerik (numeric pain rating scale) Skala penilaian NPRS (Numerical pain rating scales) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala ini paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan 25 skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (Smeltzer, 2002). b. Pasien tidak dapat berkomunikasi 1) Skala FLACC (Faces,Legs,Activity,Cry,dan Consolability) Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun. Setiap kategori (Faces,Legs,Activity,Cry,dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk mendapatkan total 0-10 2) Skala wajah (Wong Baker) Skala ini direkomendasikan untuk anak umur 3 tahun keatas.setiap gambar menggunakan kata- kata yang melukiskan intensitas nyeri yang dialami. Anjurkan kepada pasien untuk memilih gambar wajah yang menjelaskan rasa nyeri yang dialaminya. Wajah 0 menggambarkan tidak ada rasa nyeri yang dialaminya. Gambar 2 menggambarkan rasa nyeri sedikit. Gambar 4 menggambarkan nyeri sedang. Gambar 8 menggambarkan nyeri berat dan gambar 10 menggambarkan sangat nyeri. 26 3) Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) adalah sebuah skala sikap yang disarankan oleh para ahli untuk menilai nyeri pada pasien-pasien kritis yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal. Skala ini dikembangkan di Prancis, memiliki 4 bagian dengan setiap bagian memiliki kategori sikap yang berbeda, yaitu, ekspresi wajah, pergerakan badan, tegangan otot dan keteraturan dengan ventilator untuk pasien terintubasi atau vokalisasi untuk pasien yang tidak terintubasi. Setiap bagian memiliki skor 0 sampai 2, dan dapat digambarkan pada tabel sebagai berikut: 27 Tabel 1. Skala Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) Indicator Ekspresi wajah Skor 0 1 2 Gerakan tubuh 0 1 2 Kepatuhan dengan 0 ventilator (pasien 1 diintubasi 2 Atau 0 Vokalisasi (Pasien diekstubasi) 1 Ketegangan otot 2 0 1 2 Deskripsi Tidak ada ketegangan otot yang terlihat Merengut, alis menurun, orbit menegang dan terdapat kerutan levator atau perubahan lainnya (misalnya membuka mata atau menangis selama prosedur tindakan) Semua gerakan wajah sebelumnya ditambah kelopak mata tertutup rapat (pasien dapat mengalami mulut terbuka atau menggigit tabung endotrakeal Tidak bergerak sama sekali (tidak berarti tidak adanya rasa sakit) atau posisi normal (gerakan tidak dilakukan terhadap bagian yang terasa nyeri atau tidak dilakukan untuk tujuan perlindungan) Lambat, gerakan hati-hati, menyentuh atau menggosok bagian yang nyeri, mencari perhatian melalui gerakan Menarik tabung, mencoba untuk duduk, menggerakkan tungkai / meronta-ronta, tidak mengikuti perintah, menyerang staf, mencoba turun dari tempat tidur Alarm tidak dimatikan, ventilasi mudah Batuk, alarm dapat diaktifkan tapi berhenti secara spontan Tidak ada sinkronisasi : menghalangi ventilasi, alarm sering diaktifkan Berbicara dalam suara normal atau tidak ada suara sama sekali Menghela napas, merintih Menangis, terisak-isak tidak ada perlawanan pada gerakan pasif Perlawanan pada gerakan pasif Perlawanan kuat sampai gerakan pasif atau ketidakmampuan mereka untuk menyelesaikannya Sumber: Gelinas, C. (2008). Management of pain in cardiac surgery ICU patients 28 2.2.8 Nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik Nyeri merupakan salah satu stressor bagi pasien perawatan kritis. Beberapa sumber nyeri yang telah teridentifikasi, diantaranya adalah penyakit akut, pembedahan, trauma, peralatan invasif, intervensi keperawatan dan medis. Beberapa prosedur yang sering mengakibatkan nyeri akut adalah perubahan posisi pasien, penghisapan lendir dari trakea pada pasien dengan ventilasi mekanik, penggantian balutan luka dan pemasangan ataupun pelepasan kateter. Nyeri sedang hingga parah telah disampaikan oleh pasien selama dirawat di unit perawatan intensif. Rasa nyeri bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh banyak komponen yaitu komponen sensorik, afektif, kognitif, fisiologis dan perilaku (Sheen, 2009). Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pasien sakit kritis dengan ventilasi mekanik mengalami stres, perasaan yang tidak menyenangkan, dan berpotensi mengalami pengalaman yang buruk selama perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Ini terdiri dari rasa nyeri, takut, kurang tidur, mimpi buruk, ketidakmampuan untuk berbicara, dan perasaan terisolasi serta merasakan kesendirian. Hampir 50 % dari pasien telah diwawancarai, nilai intensitas nyeri mereka berada pada skala sedang sampai parah, baik saat istirahat maupun selama dilakukan prosedur. Masalah ini menjadi lebih kompleks bagi sebagian besar pasien ICU yang terpasang ventilasi mekanik yang tidak mampu untuk melaporkan rasa nyeri yang mereka rasakan dikarenakan penggunaan obat penenang (hipnotis) atau sebagai akibat adanya kerusakan otak parah (Puntillo, 2010). 29 Walaupun pasien dengan ventilasi mekanik di unit perawatan intensif tidak dapat berkomunikasi, banyak ekspresi wajah dan gerakan tangan yang bisa dijadikan sarana berkomunikasi untuk menyatakan nyeri kepada tenaga medis. Indikator yang bisa diobservasi termasuk indikator fisiologik dan indikator sikap. Indikator-indikator ini bisa digunakan untuk menilai nyeri. Indikator fisiologik bisa dengan mudah didokumentasi pada pasien-pasien di unit perawatan intensif. Peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju nadi adalah tanda umum yang dikorelasikan dengan nyeri akut. Indikator sikap seperti ekspresi wajah, pergerakan badan, postur rigid, keteraturan dengan ventilator juga dikorelasikan dengan nyeri akut. Hasil-hasil dari penilaian ini bisa digunakan untuk menilai nyeri pada pasien-pasien unit perawatan intensif (Iskandar, 2010). Manajemen nyeri memiliki peran penting dalam perawatan intensif di unit perawatan intensif. Penanganan nyeri pada pasien sakit kritis akan memperbaiki toleransi pemakaian pipa endotrakeal, ventilasi mekanik, penghisapan lendir dan tindakan lainnya. Selama penyapihan dari ventilator dan pasca ektubasi, penanganan nyeri yang baik akan membuat pasien bernafas dengan volume tidal yang lebih besar, pertukaran gas yang lebih baik, pengeluaran sputum yang lebih baik dan pasien dapat mengikuti tindakan fisioterapi lebih maksimal. Penanganan nyeri yang baik juga akan mengurangi respon stress dan mengurangi kecemasan selama berada di Unit perawatan intensif (Shean, 2009). 30 2.2.9 Strategi penatalaksanaan nyeri Menghilangkan nyeri merupakan tujuan dari penatalaksanaan nyeri yang dapat dicapai dengan dua pendekatan yaitu: pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara individu (Price & Wilson, 2005). a. Pendekatan farmakologis Pendekatan farmakologi merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan obat-obatan. Obat merupakan bentuk pengendalian nyeri yang paling sering diberikan yang diberikan oleh perawat dengan berkolaborasi dengan dokter. Terdapat 4 kelompok obat nyeri yaitu: 1). Analgetik Non-opioid (Obat Anti Inflamasi Non Steroid/ OAISN) Efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai dengan sedang terutama asetaminofen (Tylenol) dan OAISN dengan efek anti peritik, analgetik dan anti inflamasi. Asam asetilsalisilat (Aspirin) dan ibuprofin (Morfin, Advil) merupakan OIANS yang sering digunakan untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan. OAINS menghasilkan analgetik dengan bekerja ditempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekorsor asam arakidonat. Prostaglandin mensintesis nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan prodok inflamatorik lain ditempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin untuk menimbulkan hiperanalgetik. Dengan demikian OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintesis prostaglandin. 31 2). Analgetik Opioid Merupakan analgetik yang kuat yang tersedia dan digunakan dalam penatalaksanaan nyeri dengan skala sedang sampai dengan berat. Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri paska operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin merupakan salah satu jenis obat ini yang digunakan untuk mengobati nyeri berat. Berbeda dengan OAINS yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek analgetiknya di sentral. Morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid di nukleus modulasi nyeri di batang otak yang menghambat nyeri pada sistem asenden. 3). Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid Merupakan obat yang melawan obat opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalakson merupakan salah satu contoh obat jenis ini yang efektif jika diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan dibandingkan dengan opioid murni. 4). Adjuvan atau Koanalgetik Merupakan obat yang memiliki efek analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan nyeri yang semula dikembangkan untuk kepentingan lain. Contoh obat ini adalah Karbamazopin (Tegretol) atau Fenitoin (Dilantin) (Price & Wilson, 2005). b. Penatalaksanaan non farmakologis Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun begitu banyak aktifitas keperawatan non farmakologi yang dapat membantu dalam 32 menghilangkan nyeri. Menurut Smeltzer & Bare (2002), Bentuk-bentuk penatalaksanaan non farmakologi menurut meliputi: 1) Stimulasi dan cutaneus massage Masase kutaneus adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada pinggang dan bahu. Masase menstimulasi reseptor tidak nyeri. Masase juga membuat pasien lebih nyaman karena membuat pasien lebih nyaman karena membuat relaksasi otot. 2) Terapi es dan panas Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitifitas reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran darah yang dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan nyeri 3) Stimulasi syaraf elektris transkutan (TENS) TENS menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektrode yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan atau menggetar pada area nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori gate control dimana mekanisme ini akan menutup transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden sistem syaraf pusat untuk menurunkan intensitas nyeri. 4) Distraksi Dilakukan dengan memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden yang mengakibatkan lebih sedikit stimulus nyeri yang di transmisikan ke otak. Keefektifan transmisi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. 33 5) Teknik relaksasi Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress yang mampu memberikan individu kontrol ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri/stres fisik dan emosi pada nyeri. 6) Imajinasi terbimbing Dilakukan dengan menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Individu di instruksikan untuk membayangkan bahwa dengan setiap napas yang diekhalasikan (dihembuskan) secara lambat akan menurunkan ketegangan otot dan ketidak nyamanan dikeluarkan. 7) Hipnosis Efektif untuk menurunkan nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu pereda nyeri terutama dalam periode sulit. 2.3 Pengetahuan 2.3.1 Pengertian Pengetahuan adalah hasil tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmojo, 2007). Mubarak dkk (2006), memberikan defenisi tentang pengetahuan yaitu kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya yang berbeda sekali dengan kepercayaan atau beliefes, takhayul atau superstition dan penerangan-penerangan yang keliru atau misinformation. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang ada dikepala kita. Kita dapat mengetahui sesuatu berdasarkan pengalaman yang kita miliki. Selain pengalaman, 34 kita juga menjadi tahu karena kita diberitahu oleh orang lain. Pengetahuan juga didapatkan dari tradisi (Prasetyo, 2007). Pengetahuan (Knowledge) adalah suatu proses dengan menggunakan pancaindra yang dilakukan seseorang terhadap objek tertentu dapat menghasilkan pengetahuan dan keterampilan (Hidayat, 2007). Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber seperti, media poster, kerabat dekat, media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, dan sebagainya. Pengetahuan dapat membentuk keyakinan tertentu, sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinannya tersebut (Istiari, 2000) Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek sehingga dapat diketahui yang berbeda sekali dengan kepercayaan, takhayul, dan penerangan-penerangan yang keliru. 2.3.2 Tingkatan pengetahuan Menurut Mubarak,dkk, (2006) menyebutkan bahwa pengetahuan dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu; a. Tahu (know) artinya mengingat materi yang telah dipelajari sebelumnya. b. Memahami (comprehension) suatu kemampaun untuk menjelaskan secara benar objek yang diketahui dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (application) kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil/sebenarnya. 35 d. Analisis (analysis) suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis (synthesis) kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f. Evaluasi (evaluating) Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara, kuesioner atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat – tingkat pengetahuan seperti tingkat tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Pada tahap evaluasi kedalaman pengetahuan perawat tentang nyeri pada pasien tidak sadar akan diukur dengan menggunakan kuesioner (tes) sampai pada tingkat tahu, memahami dan aplikasi. Menurut Notoatmodjo (2007) tingkat pengetahuan dapat digolongkan menjadi : a. Baik : 76-100% b. Cukup : 56-75% c. Kurang : ≤ 55% 36 2.3.3 Faktor yang mempengaruhi pengetahuan a. Pendidikan Pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo, 2007). Pendidikan mempengaruhi proses belajar, menurut Mantra (2008), makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media masa, semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Mubarak dkk, 2006). b. Pekerjaan Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan (Erich dalam Mubarak dkk, 2006). Seseorang yang bekerja memiliki pengalaman, informasi dan kemampuan adaptasi yang lebih baik dibandingkan dengan orang tidak bekerja. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang keperawatan (Purwanto, 2008). 37 c. Umur Umur adalah usia seseorang yang terhitung mulai dari lahir sampai meninggal. Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua karena mengalami kemunduran baik fisik dan mental. Dapat diperkiran bahwa IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya pada beberapa kemampuan yang lain seperti misalnya kosa kata dan pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat sejalan dengan bertambahnya usia (Purwanto, 2008). d. Jenis kelamin Menurut Ahmadi (2005), perempuan menunjukkan perkembangan lebih cepat daripada laki-laki dari segi perkembangan intelegent dan bahasa. Ini dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern dari masyarakat itu sendiri. Perempuan memiliki motivasi yang lebih serta emosi yang berbeda dengan laki-laki untuk memperoleh informasi tertentu seperti tentang diet. Perempuan memiliki perkembangan bahasa yang lebih cepat dari laki-laki sehingga lebih mudah berkomunikasi pengetahuan. serta mengakses informasi-informasi untuk menambah 38 e. Minat Minat merupakan suatu kecendrungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. f. Pengalaman Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecendrungan pengalaman yang kurang baik seseorang akan berusaha melupakan, namun jika pengalaman terhadap obyek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang sangat mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaannya dan akhirnya dapat membentuk sikap positif dalam kehidupannya. g. Kebudayaan lingkungan sekitar Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitar mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan, karena lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap atau pribadi seseorang. h. Informasi Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat mempercepat seseorang untuk memperoleh informasi yang baru. membantu 39 2.3.4 Cara memperoleh pengetahuan Seseorang mendapat pengetahuan dimulai sejak lahir dan selama proses kehidupannya. Selain melalui pendidikan formal dan informal, seseorang memperoleh pengetahuan melalui informasi dari media masa, elektronik dan penyuluhan dari tenaga kesehatan (Notoatmojo, 2007). Menurut Notoatmojo (2007) menyebutkan ada 2 cara memperoleh pengetahuan yaitu: a. Cara tradisional atau non ilmiah 1) Cara coba-coba atau Trial and Error Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan tersebut tidak berhasil dicoba kemungkinan yang lainnya. Apabila kemungkinan kedua ini gagal dicoba kemungkinan ketiga dan seterusnya sampai masalah tersebut dapat dipecahkan. Itulah sebabnya cara ini disebut metoda trial atau coba and error atau gagal/salah. 2) Cara kebetulan Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang bersangkutan 3) Cara kekuasaan atau otoritas Pada cara ini prinsipnya adalah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan orang yang mempunyai otoritas tanpa terlebih dahulu menguji atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan empiris atau penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena orang yang menerima pendapat tersebut menganggap bahwa apa yang dikemukakannya adalah sudah benar. 40 4) Pengalaman pribadi Pengalaman adalah guru yang terbaik demikianlah bunyi pepatah, ini mengandung maksud bahwa pengalaman ini seperti cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengetahuan pribadinya dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. 5) Melalui jalan pikiran Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dalam memperoleh pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya. b. Cara Modern Cara baru atau modern dalam memproleh pengetahuan pada dewasa ini lebih estimatis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut penelitian ilmiah atau popular disebut metode penelitian. 2.3.5 Pengetahuan perawat tentang nyeri Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya), pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan perawat tentang nyeri merupakan sekumpulan informasi yang dimiliki atau segala sesuatu yang diketahui, dipahami oleh perawat tetang nyeri yang meliputi pengertian, patofisiologi nyeri, nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik dan 41 menilai skala nyeri pada pasien tidak sadar atau terpasang ventilasi mekanik serta penatalaksanaan nyeri. Menilai nyeri serta mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pasien merupakan intervensi keperawatan utama yang memerlukan keterampilan seni dan pengetahuan keperawatan. Pengetahuan perawat tentang nyeri merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan perawat (overt behavior) dalam penatalaksanaan nyeri. Terlebih lagi pada pasien yang tidak sadar yang dirawat diruang intensif, perawat memerlukan konsep dan pengetahuan yang berhubungan dengan nyeri, penilaian nyeri, pengumpulan data terapi, terapi yang bermanfaat dan juga memerlukan kepekaan dan empati dari seorang perawat. 2.4 Kemampuan 2.4.1 Pengertian Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa,sanggup) melakukan sesuatu, sedangkan kemampuan berarti kesanggupan, kecakapan, kekuatan (Yudianto, 2009). Kemampuan (ability) berarti kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan (Robbins & Timonthy, 2009). Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah kesanggupan atau kecakapan seorang individu dalam menguasai suatu keahlian dan digunakan untuk mengerjakan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Lebih lanjut Robbins & Timonthy (2009), menyatakan bahwa kemampuan keseluruhan seorang individu pada dasarnya terdiri atas dua kelompok faktor, 42 yaitu kemampuan Intelektual (Intelectual Ability), merupakan kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktifitas mental (berfikir, menalar dan memecahkan masalah) dan kemampuan Fisik (Physical Ability), merupakan kemampuan melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, ketrampilan, kekuatan, dan karakteristik serupa. Tingkatan-tingkatan kemampuan itu terdiri dari: 1) Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. 2) Respon terpimpin (guided response) adalah bila seseorang dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar. 3) Mekanisme (mechanism) adalah apabila seseorang melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan. 4) Adaptasi (adaptation) adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Kemampuan dapat dinilai dengan lembar observasi atau kuesioner tentang kesanggupan atau kecakapan seorang perawat dalam melakukan pengkajian atau penilaian nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik berdasarkan pedoman dari skala nyeri Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT). Nursalam (2008), menyatakan bahwa “Skor yang sering dipergunakan untuk mempermudah dalam mengkategorikan jenjang atau peringkat dalam penelitian biasanya dituliskan dalam persentase, misalnya: tidak mampu = 76%-100%; Kurang mampu = 56%75%; dan Mampu = ≤55%”. 43 2.4.2 Faktor yang mempengaruhi kemampuan Terbentuknya kemampuan agar menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain didalam tindakan atau praktik (Notoatmodjo, 2007). Dari penjelasan di atas dapat disebutkan bahwa kemampuan itu terbentuk di dalam diri seseorang dan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu : 1) Faktor eksternal, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri seseorang. Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi maupun politik serta pengalaman dan informasi. 2) Faktor internal, yaitu respon yang merupakan faktor dari dalam diri seseorang. Faktor internal yang menentukan seseorang merespon stimulus dari luar dapat berupa perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya. 2.4.3 Kemampuan perawat menilai nyeri Menilai nyeri serta mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pasien merupakan intervensi keperawatan utama yang memerlukan kemampuan, keterampilan dan pengetahuan keperawatan. Kemampuan perawat menilai nyeri merupakan kesanggupan atau kecakapan seorang perawat dalam melakukan pengkajian atau penilaian nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik berdasarkan pedoman dari skala nyeri Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT). 44 2.5 Hubungan pengetahuan perawat tentang nyeri dengan kemampuan menilai nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik Pengetahuan, sikap dan praktik perawat tentang nyeri pada pasien khususnya pasien tidak sadar merupakan modal utama untuk terbentuknya kebiasaan yang baik demi pemenuhan kebutuhan rasa nyaman pasien diruang intensif. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2007). Didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan berlangsung lama dan bersifat permanen, perawat yang memiliki pengetahuan yang baik tentang nyeri pada pasien tidak sadar diharapkan akan membawa dampak positif bagi kesehatan dan pemulihan pasien yang lebih cepat. Adanya alat ukur yang valid tentang penilaian skala nyeri pada pasien tidak sadar, akan sangat membantu dan mendukung pengetahuan serta kemampuan perawat dalam melakukan penilaian skala nyeri dan memberikan terapi yang tepat baik secara mandiri maupun secara kolaboratif dengan tim lain.