Uploaded by User64360

Hubungan Timbal Balik Hukum Pidana terhadap Tradisi Berladang Tradisional

advertisement
HUBUNGAN TIMBAL BALIK HUKUM PIDANA TERHADAP
TRADISI BERLADANG TRADISIONAL
OLEH :
WENI SENTIA MARSALENA
A2021191114
MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebakaran hutan/lahan berulang hampir setiap tahun di Indonesia. Ketika memasuki
musim kering apalagi musim kering ekstrim (El Nino) seperti saat ini kebakaran hutan/lahan
dan perkebunan terjadi di banyak tempat. Kebakaran hutan lindung sampai kebakaran
perkebunan meskipun sudah diantisipasi dan diingatkan jauh-jauh hari, kebakaran juga tetap
terjadi. Ketika kebakaran hutan dan perkebunan terjadi seperti saat ini, semua pihak cenderung
gamang, saling menyalahkan dan dan tak jarang logika yang dipakai jungkir balik.
Banyak pihak tidak menempatkan diri sebagai solusi melainkan justru menjadi bagian
dari masalah sehingga makin memperumit masalah yang dihadapi. Pihak yang menjadi korban
kebakaran sering malah dijadikan “kambing hitam” penyebab kebakaran tanpa didasari pada
analisis rasional dan bukti empiris. Kesimpulan penyebab kebakaran sudah dibangun diatas
meja, sehingga dilapangan hanya menghimpun data dan informasi yang membenarkan
kesimpulan yang telah ditentukan sebelumnya. Ladang masyarakat yang ditemukan telah atau
sedang terbakar, langsung disimpulkan sebagai penyebab kebakaran. Tidak dianalisis lebih
lanjut apakah itu benar-benar faktor kebakaran atau justru menjadi korban.
Hutan merupakan sumber daya alam yang menempati posisi yang sangat strategis
dalam kehidupan bangsa dan bernegara. Nilai penting yang dimiliki hutan semakin bertambah
dikarenakan hutan merupakan hajat hidup orang banyak dan dijadikan sebagai modal dasar
dalam melaksanakan pembangunan nasional, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya
maupun ekologi guna meningkatkan kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI 1945,“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Sejalan dengan pertambahan penduduk, tuntutan pertumbuhan ekonomi, dan lemahnya
sistem pengelolaan hutan di Indonesia, mengakibatkan tekanan terhadap hutan terus meningkat
dan hampir tidak terkendali.
Indonesia merupakan salah satu Negara tropis yang memiliki wilayah hutan terluas di
dunia setelah Brazil dan Zaire. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia,
karena dilihat dari manfaatnya sebagai paru-paru dunia, pengatur aliran air, pencegah erosi dan
banjir serta dapat menjaga kesuburan tanah. Selain itu, hutan dapat memberikan manfaat
ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. Karena
itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990,
UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan
Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.
Hutan yang seharusnya dijaga dan dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan
aspek kelestarian kini telah mengalami degradasi dan deforestasi yang cukup mencenangkan
bagi dunia Internasional, faktanya Indonesia mendapatkan rekor dunia guiness yang dirilis oleh
Greenpeace sebagai negara yang mempunyai tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia,
Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta hektar hutan
dirusakan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005, sebuah tingkat kerusakan hutan sebesar
2% setiap tahunnya.
Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama ini tidak
memperhatikan manfaat yang akan diperoleh dari keberadaan hutan tersebut, sehingga
kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Penyebab utama kerusakan hutan adalah
kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi karena manusia yang menggunakan api dalam
upaya pembukaan hutan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan pertanian.
selain itu, kebakaran didukung oleh pemanasan global, kemarau ekstrim yang seringkali
dikaitkan dengan pengaruh iklim memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutan.
Perladangan di Kalimantan telah ada mungkin ribuan tahun lalu dan tidak ada persoalan
selama “budaya padi” ini berlangsung. Namun ketika investasi besar-besaran masuk ke
wilayah-wilayah dan ruang-ruang hidup peladang, ketika itu pula bentuk-bentuk kearifan lokal
perladangan tersebut lantas dipersoalkan. Kepentingan akan tanah, hutan dan lahan dari para
pemodal tak dipungkiri selalu hadir di belakang jargon-jargon pembangunan, kesejahteraan
masyarakat, keadilan dan kemakmuran, dan seterusnya. Di penghujung Orba, tahun 1997,
peladang dianggap sebagai penyebab asap. Tuduhan tersebut itu segera menimbulkan banyak
respon dari berbagai daerah, termasuk para temenggung. Bahkan hingga saat ini tuduhan lain
yg mengatakan bahwa peladang adalah penyebab kebakaran hutan yang marak terjadi
belakangan ini.
B. INDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
“Bagaimana Hubungan Timbal Balik Hukum Pidana terhadap Tradisi Berladang
Tradisional ?”
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian dan manfaat hutan di Indonesia dan kerusakan hutan yang
terjadi di Indonesia
2. Mengetahui penyebab dan dampak kebakaran hutan
3. Mengetahui Dasar Hukum Pembakaran Hutan Di Indonesia
4. Mengetahui cara pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan
II. PEMBAHASAN
2.1 HUTAN DI INDONESIA
Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan). Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia, hutan adalah suatu areal yang
dikelola untuk produksi kayu dan hasil hutan lainnya dipelihara bagi keuntungan tidak
langsung atau dapat pula bahwa hutan sekumpulan tumbuhan yang tumbuh bersama.
Luas hutan di Indonesia berkisar 122 juta hektar, yang persebarannya di Pulau Jawa hanya
sekitar 3 juta Ha, terdiri atas 55% hutan produksi dan 45% hutan lindung. Persebaran hutan di
Indonesia kebanyakan berjenis hutan hujan tropis yang luasnnya mencapai 89 juta hektar.
Daerah-daerah hutan hujan tropis antara lain terdapat di pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa
Barat, Sulawesi Utara, dan Irian. Hutan hujan tropis anggotanya tidak pernah menggugurkan
daun, liananya berkayu, pohon-pohonnya lurus dapat mencapai rata-rata 30 meter.
Pemanfaatan sekaligus perlindungan hutan di Indonesia diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun
1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa
keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan
Hutan. Menurut beberapa peraturan tersebut,hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak
ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah,
sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta
kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
rekreasi, pariwisata dan sebagainya.
2.1.1 Manfaat Hutan di Indonesia
a. Kekayaan Keanekaragaman Hayati yang Tinggi
Sebagai Paru-paru Dunia Jamur dan bakteri tersebut dapat membantu proses
pembusukan pada hewan dan tumbuhan secara cepat. Dengan demikian hutan hujan
tropika tidak saja ditandai dengan pertumbuhan yang baik tetapi juga tempat
pembusukan yang baik. Keanekaragaman hayati ditandai dengan kekayaan spesies
yang dapat mencapai sampai hampir 1.400 spesies, Brasil tercatat mempunyai 1.383
spesies. Di daerah tropika tumbuhan berkayu mempunyai dominasi yang lebih besar
daripada daerah lainnya.
b. Hutan Sebagai Pengatur Aliran Air
Penguapan air ke udara hingga terjadi kondensasi di atas tanah yang berhutan
antara lain disebabkan oleh adanya air hujan, dengan ditahannya (intersepsi) air hujan
tersbut oleh tajuk pohon yang terdiri dari lapisan daun, dan diuapkan kembali ke udara.
Sebagian lagi menembus lapisan tajuk dan menetes serta mengalir melalui batang ke
atas permukaan serasah di hutan.
c. Pencegah Erosi dan Banjir
Erosi dan banjir adalah akibat langsung dari pembukaan dan pengolahan tanah
terutama di daerah yang mempunyai kemiringan permukaan bumi atau disebut juga
kontur yang curam. Keduanya dapat bersumber dari kawasan hutan maupun dari luar
kawasan hutan, misalnya perkebunan, tegalan, dan kebun milik rakyat.
d. Menjaga Kesuburan Tanah
Kesuburan tanah sebagian besar dalam bentuk mineral, seperti unsur-unsur Ca,
K, N, P, dan lainnya, disimpan pada bagian dari vegetasi yang ada di atas tanah,
misalnya pada batang, dahan, ranting, daun, bunga, buah, dan lain-lain. Dengan
demikian dengan adanya kerapatan hutan pada hutan tropika dapat menjaga kesuburan
tanah.
2.1.2. Kerusakan Hutan di Indonesia
Kerusakan hutan (deforestasi) masih tetap menjadi ancaman di Indonesia.
Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 yang dikeluarkan
oleh Departemen Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar
pertahun.Bahkan jika melihat data yang dikeluarkan oleh State of the World’s Forests
2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka
deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi
hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record memberikan ‘gelar
kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia.
Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, menurut
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan sebelumnya menyebutkan
angka 135 juta hektar) sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah
dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan
di Indonesia telah musnah. Selain itu, 25 persen lainnya atau setara dengan 48 juta
hektar juga mengalami deforestasi dan dalam kondisi rusak akibat bekas area HPH
(Hak Penguasaan Hutan). Dari total luas hutan di Indonesia hanya sekitar 23 persen
atau setara dengan 43 juta hektar saja yang masih terbebas dari deforestasi (kerusakan
hutan) sehingga masih terjaga dan berupa hutan primer.
Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan
industri, terutama industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang diberikan
sehingga mengarah pada pembalakan liar. Penebangan hutan di Indonesia mencapai 40
juta meter kubik per tahun, sedangkan laju penebangan yang sustainable (lestari
berkelanjutan) sebagaimana direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan menurut
World Bank adalah 22 juta meter kubik meter per tahun. Penyebab deforestasi terbesar
kedua di Indonesia, disumbang oleh pengalihan fungsi hutan (konversi hutan) menjadi
perkebunan. Konversi hutan menjadi area perkebunan (seperti kelapa sawit), telah
merusak lebih dari 7 juta ha hutan sampai akhir 1997.
Deforestasi (kerusakan hutan) memberikan dampak yang signifikan bagi
masyarakat dan lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan penebangan yang
mengesampingkan konversi hutan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang
pada akhirnya meningkatkan peristiwa bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir.
Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian
satwa dan flora di Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa endemik
yang semakin terancam kepunahan akibat deforestasi hutan misalnya lutung jawa
(Trachypithecus auratus), dan merak (Pavo muticus), owa jawa (Hylobates moloch),
macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), merpati hutan perak
(Columba argentina), dan gajah sumatera (Elephant maximus sumatranus).
2.2 KEBAKARAN DAN PEMBAKARAN
Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi
mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja
sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan
pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah
kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda.
Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap
dampak yang ditimbulkannya.
Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal
sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan
maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan
atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi).
Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan perladangan berpindah
dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah
manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada
saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan
lahan pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan
murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah
bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan
lingkungan yang luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka
penggunaan api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hatihati. Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran
harus
berdasarkan
hasil
penelitian
dan
tidak
lagi
hanya
mengandalkan
dari
terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan
lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).
2.2.1 Penyebab Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
2. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa
mematikan api di perkemahan.
3. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung
berapi.
4. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka
lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
5. Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat
menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
2.3 BERLADANG
Berladang di Kalimantan telah lama menjadi kajian antropolog. Sebagaimana Michael R.
Dove [1988] yang mengkaji berladangnya masyarakat Dayak Kantuk, Kabupaten Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat. Berladang dengan sistem tebas-tebang-bakar sebagai strategi adaptasi
orang Kantuk terhadap alamnya. Untuk mengurangi kadar asam tanah dan menambah hara atau
kesuburannya, maka sistem tebas-tebang-bakar cocok di tanah Kalimantan. Berladang bagi
masyarakat Dayak adalah praktik bercocok tanam dengan kearifan lokal, berdasarkan adat
istiadat dan hukumnya dengan aneka benih lokal. Berladang berdasarkan kearifan lokal
merupakan upaya melestarikan keanekaragaman hayati. Di ladang, masyarakat Dayak
menanam aneka benih lokal seperti jenis-jenis padi, mentimun, palawija, labu, dan sayuran
Uma’ adalah ladang di dataran rendah atau sedang, kemudia taya’ jenis ladang khusus untuk
lahan yang ditanami aneka sayuran. Padi biasa dan padi pulut ditanam di ladang, baik uma’
maupun uma’ mototn, di selanya ditanam jagung, labu, aneka timun, dan lainnya. Dayak Iban
Pareh di Semunying Jaya menanam benih padi “pon” di lading. Dayak Bakatik di Kampung
Baya, Desa Rodaya, menanam belasan jenis benih padi termasuk ketan, yaitu pade
panyanggong, nyawan, banuang, santang, sekayap, pade tabah, pelau, pade bauk, pade juan,
pade sarikat, pejaji, dan sengkabak. Bermacam benih lokal juga dibudidayakan komunitas Laut
dan Senganan, yaitu orang Dayak yang masuk Islam, yang berladang. Mereka berada di
Bengkayang, Sambas, Landak, Sekadau, Sintang, dan Kapuas Hulu. (Giring, 2019)
Sisem berladang biasanya dierapkan secara berpindah . Perladangan berpindah merupakan
sebuah sistem bercocok tanam yang dilakukan oleh petani secara berpindahpindah dari satu
tempat ke tempat lain dengan cara membuka lahan hutan primer maupun sekunder.
(Matinahoru,2013)
Masyarakat yang berladang pada umumnya tidak perah membuka ladang lebih dari 1 ha.
Bahkan rata- rata lebih kecil dari 0,5 ha. Dan pembakaran ladang biasanya diberi batas dan
dijaga di tiap titik batas agar tidak terjadi perembetan api pada saat pembukaan lahan.
Praktek perladangan berpindah suku Wemale secara umum mengikuti tahapan kegiatan
sebagai berikut :
1. Penentuan lahan
2. Pembersihan lahan
3. Persiapan bibit tanaman
4. Penanaman
5. Pembuatan pagar pelindung
6. Pemeliharaan
7. Panen
8. Penanaman kembali pada tanah.
2.4 DASAR-DASAR HUKUM PEMBAKARAN HUTAN
Berikut beberapa dasar hukum pembakaran hutan di Indonesia :
A. Tindak Pidana Pembakaran Hutan menurut KUHP Pengaturan mengenai tindak
pidana pembakaran hutan diatur secara umum di dalam KUHP. KUHP mengatur
tindak pidana pembakaran Hutan yang dilakukan secara sengaja maupun yang
dilakukan karena kealpaan. Ancaman sanksi tersebut terdapat dalam buku kedua
KUHP tentang kejahatan yaitu terdapat dalam Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP.
Pasal 187 KUHP berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja
menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir diancam”: Ke-1. Dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun, jika karenanya timbul bahaya umum bagi
barang; Ke-2. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karenanya
timbul bahaya bagi nyawa orang lain; Ke-3. Dengan pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karenanya timbul
bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang. Tidak Pidana
Pembakaran Hutan tidak hanya diatur dalam Pasal 187 KUHP, Tindak Pidana
Pembakaran Hutan juga diatur dalam Pasal 188, yang berbunyi : “Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang,
jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya
mengakibatkan matinya orang.”
B. Tindak Pidana Pembakaran Hutan menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengaturan mengenai
pembakaran hutan terdapat dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h yang berbunyi : Setiap
orang dilarang : melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, Sanksi
mengenai tindak pembakaran hutan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat dalam Pasal
108, yang berbunyi : “setiap orang yang melakukan 10.000.000.000 (sepuluh miliar
rupiah).
C. Tindak Pidana Pembakaran Hutan menurut Undang-undang No. 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi UndangUndang Jo. UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Tindak pidana pembakaran hutan diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, yang
berbunyi : Setiap orang dilarang : Membakar Hutan; Sanksi pidana mengenai
pembakaran hutan, dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 78 ayat (2) dan
ayat (3), yang berbunyi: Ayat (2) “Barangsiapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ayat (3) Barang siapa karena kelalaiannya
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d,
diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
D. Tindak Pidana Pembakaran Hutan menurut Unddang-undang No. 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan Pengaturan mengenai tindak pidana pembakaran hutan diatur
dalam Pasal 26, yang berbunyi : “Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang
membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat
terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.” Pengaturan mengenai
sanksi pidana terhadap Pasal 26 terdapat dalam Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2), yang
berbunyi : Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah
lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan
kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Ayat (2) Jika tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat,
pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (1ima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) .
E. Tindak Pidana Pembakaran Hutan dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan
Pelanggaran terhadap pembakaran hutan diatur dalam Pasal 19 yang menyatakan
bahwa : Ayat (1) Setiap Orang dilarang membakar hutan Ayat (2) Pengecualian dari
larangan membakar hutan sebagimana dimaksud pada ayat (1) diperbolehkan
dilakukan secara terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat
dielakan, meliputi :
a. Pengendalian kebakaran hutan
b. Pembasmian hama dan penyakit
c. Pembinaan habitat tumbuhan dan satwa.
F. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10/2010 dan Peraturan
Pemerintah No. 71 tahun 2014) mengatur maksimal luas lahan yang boleh dibakar,
izin yang harus diperoleh dan pengakuan atas kearifan lokal dalam praktik
pembakaran untuk pembukaan lahan.
2.4 UPAYA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA
Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang
bersifat represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan yang
bersifat represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran
hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman,
proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara
sengaja), dan lain-lain.
Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan
yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya
kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum
kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran
hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan
yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak
efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.
Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai contoh :
pada bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah dijalankan,
namun karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti
: kabut asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai
pelaku telah diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera.
Ketidakefektifan penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan
Indonesia, bahkan pada tahun 2008 ini.
Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa menghasilkan upaya
pengendalian kebakaran hutan yang efektif.
Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu
dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan
bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap
tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini :
1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing.
Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3
cara berikut:
• Pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.
• Pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa (partisipatory
rural appraisal)
• Pemetaan daerah rawan dengan menggunakan global positioning system atau citra
satelit
2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.
Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system)
di setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
•
analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah
•
pengolahan data hasil pengintaian petugas
3. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.
Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap
wilayah
mengenai
bahaya
dan
dampak,
serta
peran
aktivitas
manusia
yang
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa
menginformasikan kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap
kebakaran dan upaya pencegahannya.
Pembinaan
merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat
meminimalkan intensitas terjadinya kebakaran hutan. Sementara, pelatihan bertujuan untuk
mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar wilayah rawan kebakaran
hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon kebakaran hutan.
4. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan
maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku
dalam berbagai hal berikut :
•
Metode pelaporan
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk,
khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem
pelaporan yang sederhana dan mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang masuk
sudah lancar, diperlukan analisis yang tepat sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk
kebijakan yang tepat.
•
Peralatan
Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa
diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan
dengan potensi terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan sumber daya
manusia yang tersedia di daerah.
•
Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan
Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan
kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan
yang terjadi. Adanya standardisasi ini akan memudahkan petugas penanganan kebakaran
untuk segera mengambil inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran
hutan
5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung
dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis
pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan data,kemudian
pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut
kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :
•
Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang
diamati. Contoh : patroli hutan
•
Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara
penyelidikan yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.
•
Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan
keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.
•
Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun
data di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah
rawan kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan,
yaitu :
a. Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya
perusakan lingkungan (pembakaran hutan). Contohnya : pengawasan untuk
menentukan status ketika akan terjadi kebakaran hutan
b. Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi
perusakan yang sedang terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah
terjadinya kerusakan lingkungan.
Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas,
diperlukan berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :
1. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan
Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada
berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi
yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.
2. Pengembangan
organisasi
penyelenggara
Pencegahan
Kebakaran
Hutan
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan
daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini.
Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu
menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya
Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.
3. Pengembangan sistem komunikasi
Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar
tingkatan (daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal ini akan
mendukung kelancaran early warning system, transfer data, dan sosialisasi kebijakan.
Penanggulangan hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Adapun
upaya penanggulangan yang dimaktub tersebut antara lain:
1. Memberdayakan sejumlah posko yang bertugas menanggulangi kebakaran hutan di
semua tingkatan. Pemberdayaan ini juga harus disertai dengan langkah pembinaan
terkait tindakan apa saja yang harus dilakukan jika kawasan hutan telah memasuki status
Siaga I dan juga Siaga II.
2. Memindahkan segala macam sumber daya baik itu manusia, perlengkapan serta dana
pada semua tingkatan mulai dari jajaran Kementrian Kehutanan hingga instansi lain
bahkan juga pihak swasta.
3. Memantapkan koordinasi antara sesame instansi yang saling terkait melalui dengan
PUSDALKARHUTNAS dan juga di lever daerah dengan PUSDALKARHUTDA
tingkat I dan SATLAK kebakaran lahan dan juga hutan.
4. Bekerjasama dengan pihak luar seperti Negara lainnya dalam hal menanggulangi
kebakaran hutan. Negara yang potensial adalah Negara yang berbatasan dengan kita
misalnya dengan Malaysia berama pasukan BOMBA-nya. Atau juga dengan Australia
bahkan Amerika Serikat.
Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan upaya
pencegahan. Sebab walau bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari memanggulangi.
Ada beragam cara yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah kebakaran hutan khususnya
yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti membuang punting rokok di wilayah yang
kering, kegiatan pembukaan lahan dan juga api unggun yang lupa dimatikan. Upaya
pencegahannya adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya mereka yang
berhubungan langsung dengan hutan. Masyarakat ini biasanya tinggal di wilayah hutan dan
memperluas area pertaniannya dengan membakar. Pemerintah harus serius mengadakan
sosialisi agar hal ini bisa dicegah.
Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga bisa disempurnakan jika
pemerintah mau memanfaatkan teknologi semacam bom air. Atau bisa juga lebih lanjut
ditemukan metode yang lebih efisien dan ampuh menaklukkan kobaran api di hutan. Langkah
yang paling baik adalah dengan mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang
teknologi maupun metode yang membantu pemerintah di level praktis. Sokongan dana dari
pemerintah akan membuat program tersebut lebih baik dan terarah.
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan adalah karena aktivitas
manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses
kebakaran alami bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan.
2. Sisem berladang biasanya dierapkan secara berpindah . Perladangan berpindah
merupakan sebuah sistem bercocok tanam yang dilakukan oleh petani secara
berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cara membuka lahan hutan
primer maupun sekunder. (Matinahoru,2013). Masyarakat yang berladang pada
umumnya tidak perah membuka ladang lebih dari 1 ha. Bahkan rata- rata lebih kecil
dari 0,5 ha. Dan pembakaran ladang biasanya diberi batas dan dijaga di tiap titik
batas agar tidak terjadi perembetan api pada saat pembukaan lahan.
3. Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan
secara terpadu dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan
hutan. Ada kesamaan bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu,
yaitu penanggungjawab di setiap tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsifungsi berikut ini :
a. Mapping
b. Informasi
c. Standardisasi
d. Supervisi
4. Penanggulangan hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran
Hutan.
5. Tindak Pidana Pembakaran Hutan dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan
Pelanggaran terhadap pembakaran hutan diatur dalam Pasal 19 yang menyatakan
bahwa : Ayat (1) Setiap Orang dilarang membakar hutan Ayat (2) Pengecualian dari
larangan membakar hutan sebagimana dimaksud pada ayat (1) diperbolehkan
dilakukan secara terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat
dielakan, meliputi :
d. Pengendalian kebakaran hutan
e. Pembasmian hama dan penyakit
f. Pembinaan habitat tumbuhan dan satwa.
Hal ini jelas bahwa jika kondisi petani yang berladang untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka iu tidak melanggar hukum. Karna berladang dapat dikatakan sebagai
salah satu jenis pembinaan habitat tumbuhan. Berladang harus mencarai lokasi yang
cocok untuk bercocok tanam untuk jenis padi maupun tumbuhan lainnya yang tidak
bisa hidup disembarang lokasi.
6. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10/2010 dan Peraturan
Pemerintah No. 71 tahun 2014) mengatur maksimal luas lahan yang boleh dibakar,
izin yang harus diperoleh dan pengakuan atas kearifan lokal dalam praktik
pembakaran untuk pembukaan lahan.
B. SARAN
Demikianlah makalah yang saya buat, sebagai manusia biasa saya menyadari dalam
pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu,
kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Https://gapki.id/news/1813/memahami-dan-mencari-penyebab-kebakaran-hutan-dan-lahan
Https://kanalispolban.wordpress.com/chemlib/makalah/makalah-kebakaran-hutan/
https://wri-indonesia.org/id/blog/tak-sekadar-ladang-berpindah-merumuskan-kembalipendekatan-dalam-praktik-pembakaran
J. M. Matinahoru .2013. Studi Perladangan Berpindah Dari Suku Wemale Di Kecamatan
Inamosol Kabupaten Seram Bagian Barat. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Pattimura Putuhena, Kampus Poka Ambon.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi UndangUndang Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan PP No. 45
Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Download