Uploaded by User64295

TRANSFER EMBRIO

advertisement
2.4 TAHAPAN TRANSFER EMBRIO
1. Pemilihan Donor Dan Resipien
Seleksi sapi betina donor untuk transfer embrio harus mempertimbangkan faktorfaktor ekonomis dan genetic yaitu mempunyai produktivitas yang tinggi, sehat, mempunyai
siklus birahi yang regular mulai pubertas. Mempunyai kinerja yang baik, dan tidak pernah
mengalami kesulitan melahirkan maupun gangguan reproduksi lainnya. Sedangkan syarat
hewan resepien adalah sapi muda yang bebas penyakit, kinerja yang bagus, dan proses
kelahiran sebelumnya mudah. Kandidat resepien perlu diperiksa dengan cermat kondisi
kesehatan tubuh maupun status reproduksinya.
2. Superovulasi Dan Induksi Estrus Pada Donor
Superovulasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ova lebih banyak
dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormone dari
luar. Superovulasi memerlukan sediaan gonadotropin yang kaya akan atau meniru efek FSH
(follicle stimulating hormone). Disamping itu FSH harus ada dalam periode yang cukup
untuk memacu pertumbuhan dan pematangan akhir folikel. Sediaan FSH, PMSG (Pregnant
mare’s serum gonadotropin) dan HCG (human chorionic gonadotropin) merupakan agen
gonadotropin yang lazim digunakan untuk superovulasi. Hasil superovulasi meliputi jumlah
embrio dan kualitas embrio sangat bervariasi dan sulit diramalkan. Respon hewan terhadap
preparat gonadotropin tergantung dari musim, bangsa, makanan, macam preparat yang
dipakai, berat hidup, umur, fase dari siklus birahi, dan frekuensi pemberian dan dosis
gonadotropin yang digunakan. Preparat gonadotropin dapat diberikan pada fase luteal yaitu
hari ke-8 sampai 12 siklus birahi yang diikuti dengan pemberian preparat prostaglandin F2alfa (PGF2-alfa) untuk melisiskan corpus luteumnya; pada fase proestrus yaitu hari ke-16
sampai 20 siklus birahi tanpa diikuti dengan pemberian PGF2-alfa. Jika superovulasi
menggunakan PMSG maka PGF2-Alfa diberikan 48 jam setelah menyuntikkan PMSG,
namun jika menggunakan FSH, maka PGF2-Alfa diberikan pada hari ke-3 atau bersamaan
dengan pemberian FSH yang ke-5. Dosis FSH yang telah digunakan pada sapi Bali adalah 24
mg untuk setiap ekor sapi, yang dibagi menjadi 8 dosis dan diberikan 2 kali sehari selama 4
hari berturut-turut.
Salah satu masalah utama dalam program transfer embrio adalah tingginya variabilitas
respon terhadap superovulasi pada induk donor. Padahal kuantitas dan kualitas embrio donor
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transfer embrio. Superovulasi merupakan kunci
keberhasilan transfer embrio dan tidak hanya ditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan
jumlah embrio yang diperoleh, tetapi superovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai faktor
seperti faktor-faktor yang mempengaruhi respon superovulasi pada induk donor, faktor yang
mempengaruhi fertilisasi dan viabilitas embrio serta faktor yang berhubungan dengan
manajemen induk donor.
Hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah
Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormon
glikoprotein yang mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian
secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Berbagai penelitian
pengaruh pemberian hormon terhadap respon superovulasi pada induk donor telah dilakukan
yaitu dengan menggunakan PMSG, FSH Ovagen, FSH-PTM (FSH from pituitary) baik pada
sapi potong maupun sapi perah (Tappa et al., 1994a; 1997).
Di Indonesia PMSG lebih banyak digunakan karena dapat diperoleh dengan mudah
dan lebih murah dibandingkan dengan FSH-P. Pregnant mare’s serum gonadotropin
merupakan glikoprotein komplek yang mempunyai aktivitas biologi seperti FSH dan LH;
dimana aktivitas FSHnya lebih besar. PMSG mengandung asam sialat 10,8% yang berfungsi
mencegah degradasi glikoprotein hormone oleh hati (Bindon and Piper, 1986).
Pada spi PMSG mempunyai daya kerja yang cukup panjang waktu paruhnya, yakni
antara 2-5 hari, sedangkan residunya tetap ada dalam sirkulasi darah sampai 10 hari. PMSG
bekerja dengan kemampuannya mencegah atau menghambat proses atresia dari folikel
ovaria.
Sediaan PMSG di Indonesia dapat diperoleh dengan mudah, dengan merk dagang
Folligon. Dosis PMSG yang dianjurkan pada sapi adalah 1:500-3.000 IU yang disuntikkan
secara intramuskuler tiap donor sapi. Untuk membantu proses ovulasi dan mencegah
terjadinya folikel anovulasi kadang-kadang perlu diberikan HCG awal birahi dengan dosis
1.500-3.000 IU per ekor.
Waktu paruh PMSG yang panjang menimbulkan problema overstimulasi ovaria.
Problem ini dapat diatasi dengan injeksi intravena antibody monoclonal terhadap PMSG
(anti-PMSG) pada saat inseminasi. Anti-PMSG akan menetralisir PMSG yang ada dengan
menurunkan 85% konsentrasi PMSG di darah dalam waktu 1 jam dan sampai konsentrasi
yang tidak dapat dideteksi lagi dalam waktu 2 jam. Salah satu anti-PMSG yang dapat
diperoleh di pasaran adalah Neutra-PMSG.
3. Sinkronisasi estrus
Sinkronisasi birahi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengendalikan siklus
birahi sekelompok hewan betina sehingga birahi terjadi dalam waktu yang bersamaan atau
paling tidak dalam waktu 2 atau 3 hari. Dalam program TE teknik sinkronisasi birahi dapat
dipakai untuk menyeragamkan stadium siklus birahi antara hewan donor dan hewan resipien.
Pemindahan embrio dapat dilaksanakan dengan berhasil ke dalam uterus hewan resipien jika
stadium siklus birahinya bersamaan dengan keadaan uterus hewan donor (Toilihere, 1987).
Sinkronisasi perlu dilakukan setelah perlakuan superovulasi agar waktu ovulasi terjadi
dalam waktu bersamaan. Untuk keperluan ini perlu adanya induksi luteolisis dengan agen
luteolitik. Agen luteolitik yang sudah teruji manfaatnya adalah PGF2-Alfa. Birahi pada sapi
yang sudah di superovulasi akan timbul dalam waktu 36-48 jam setelah pemberian PGF2Alfa. Untuk perlakuan sinkronisasi birahi betina resipien perlu diketahui terlebih dahulu
siklus birahinya, karena corpus luteum sapi peka terhadap PGF2-Alfa hari ke-5 sampai 14
siklus birahi. Jika pada waktu korpus luteum peka diberi perlakuan maka birahi akan timbul
1-4 hari atau rata-rata 2 hari setelah penyuntikan PGF2-Alfa. Jika kita belum mengetahui
siklus birahi sapi tersebut maka dilakukan penyuntikan PGF2-Alfa 2 kali dengan interval 10
hari.
Prosedur yang digunakan adalah:
a. Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan penyuntikanPGF2α satu
kali. Birahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan.
b. Apabila tanpa memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2α dilakukandua kali
selang waktu 11-12 hari. Penyuntikan PGF2α pada ternak resipien harusdilakukan satu hari
lebih awal daripada donor. Keadaan ini disebabkan karenapada ternak donor yang telah diberi
hormon gonadotropin, birahi biasanya lebihcepat yaitu 36-60 jam setelah penyuntikan PGF2a
sedangkan pada resipien berahibiasanya timbul 48-96 jam setelah penyuntikan PGF2α.
4. Perkawinan Pada Hewan Donor
Perkawinan hewan donor dapat dilakukan kawin alami atau inseminasi buatan (IB).
Apabila dikawinkan secara IB maka diperlukan dosis ganda yang aplikasinya satu dosis
diberikan 6 jam setelah menunjukkan gejala birahi dan satu dosis lagi diberikan 6 jam
kemudian.
5. Koleksi Embryo Dari Donor
Koleksi embrio hewan donor dapat dilakukan pada hari ke-6 sampai 8 setelah
perkawinan, pada waktu embrio sudah berada pada kornua uteri. Pemanenan embrio yang
sudah pernah dilakukan pada sapi Bali yaitu pada hari ke-7 setelah perkawinan.
Perlengkapan yang diperlukan untuk pemanenan embrio adalah:
1. Sterio mikroskop
2. Foley cateter
3. Larutan PBS
4. Pipa kaca berbentuk Y
5. Cawan petri
6. Selang dan jarum suntik
Hewan donor dipersiapkan terlebih dahulu dengan jalan disuntik acethyl promazin
dosis 6 mg per ekor.Selanjutnya sapi dimasukkan ke kandang jepit, daerah sekitar vulva
dibersihkan dan diberi desinfektan dan alcohol 70%. Anastesi epidural dilakukan segera
sebelum katerisasi, dengan Lignocaine 2% dosis 4-6 ml. Manfaat anastesi yang diberikan
adalah untuk mengurangi rasa sakit, mencegah pengejanan maupun pengeluaran kotoran
yang mengganggu pelaksanaan pembilasan.
Cara Pemanenan:
1. Stilette Cassou Insemination Gun dimasukkan ke dalam kateter supaya menjadi kaku,
selanjutnya kateter diberi pelumas.
2. Dengan palpasi rectal, kateter dimasukkan perlahan-lahan melewati vagina, cerviks, terus ke
kornua uteri sampai 2/3 panjang kornua.
3. Selanjutnya balon kateter diisi udara atau air sebanyak 5 ml, kemudian stiletto gun ditarik.
Pipa kaca berbentuk hurup Y dipasang, dimana ujung-ujungnya telah terpasang selang
penghubung.
4. Larutan PBS dimasukkan tiap-tiap 30-60 ml tergantung besar hewan sampai menghabiskan
500 ml setiap kornua.
5. Hasil bilasan uterus ditampung dalam beker gelas dan dibiarkan mengendap selama 30 menit,
selanjutnya supernatannya dibuang dan sisanya dievaluasi di bawah sterio mikroskop.
Gambar : Circular method of uterin horn flushing (non surgical)
6. Evaluasi embryo
Evaluasi embrio dilakukan di bawah sterio mikroskop dengan pembesaran lebih dari
40 kali. Embrio yang didapat harus mempunyai stadia yang relative sama; yaitu stadium
morula (32 sel), morula kompak (blastomer memadat menjadi masa yang lebih kompak), dan
blastosis awal (mempunyai blastosel). Adanya embrio yang stadium pertumbuhannya kurang
dari 32 sel menunjukkan adanya kelambatan pertumbuhan. Embrio yang didapat dari media
pembilas diambil menggunakan mikropipet, selanjutnya dimasukkan ke dalam straw mini
atau medium bening yang transparan.
Klasifikasi embrio yang didapat pada pembilasan didasarkan pada penampilan umum
morphologis dengan kriteria:
a. Kualitas embrio A (sangat baik)
Stadium embrio sesuai dengan yang diantisipasi (morula, blastosis dini ataublastosis) tidak
cacat, bentuk bundar spherical, ikatan blastomer erat dan kompak,bentuk simetris dan warna
agak gelap.
b. Kualitas embrio B (baik)
Stadium perkembangan 16-32 sel, tampak sedikit cacat seperti keluarnya salahsatu blastomer
dari ikatan dan bentuk asimetris.
c.
Kualitas embrio C (cukup)
Stadium perkembangan agak retarded satu sampai dua hari dari stadium yangdiantisipasi (816 sel), cacat, beberapa blastomer keluar, ukuran blastomer tidak sama besar atau asimetris.
d. Kualitas embrio D (jelek) dan tidak layak ditransfer.
Embrio yang mengalami hambatan perkembangan parah (2-8 sel), embriomengalami
degenerasi seluler, ikatan-ikatan blastomer longgar sampai lepas atauovum yang tidak
terbuah (Infertlized Ova).
Gambar: kualitas embrio
7. Transfer Embrio (TE)
Transfer embrio segar maupun beku ke resipien dilakukan pada hari siklus birahi yang
sama dengan umur embrio (karena embrio dipanen pada umur 7 hari) maka siklus birahi
resipien yang dapat dipakai adalah 7 ± 1 hari setelah birahi atau birahi hewan donor dan
resipien minimal dalam 24 jam.
Pada umumnya terdapat dua metode TE yang digunakan yaitu metode
pembedahandan metode tanpa pembedahan. Metode pembedahan dilakukan dengan
jalanmembuatan sayatan di daerah perut (Laparotomi) baik sayatan sisi (Flank Incici)
atausayatan pada garis tengah perut (Midle Incici). Metode tanpa pembedahan dilakukan
dengan memasukkan embrio kedalam straw kemudian ditransfer kedalam uterus resipien
dengan menggunakan Cassoue Gun Insemination.
Transfer dilakukan langsusng ke kornua uteri kurang lebih 5-10 cm dari bifurkasio
uteri. Resipien yang tidak menunjukkan gejala birahi setelah 3 siklus birahi yang diharapkan
dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan per rectal untuk menentukan berhasil tidaknya
program transfer. Pemeliharaan resipien yang telah bunting sama seperti pemeliharaanpemeliharaan pada hewan bunting pada umumnya.
Gambar: Ilustrasi proses transfer embiro pada
sapi
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Transfer embrio adalah suatu proses dimana embrio dipindahkan dari seekor hewan
betina yang bertindak sebagai donor pada waktu embrio tersebut belum mengalami
implantasi, kepada seekor betina yang bertindak sebagai ppenerima sehingga resepien
tersebut menjadi bunting. Beberapa manfaat dari teknologi transfer embrio adalah untuk
meningkatkan populasi ternak unggul, lebih ekonomis, dan untuk memperoleh keturunan dari
induk yang kurang fertile.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
TAHAPAN TRANSFER EMBRIO:
Pemilihan Donor dan Resipien
Superovulasi dan Induksi Estrus Pada Donor
Sinkronisasi estrus
Perkawinan pada Hewan Donor
Koleksi Embryo dari Donor
Evaluasi embryo
Transfer Embrio (TE)
3.2 SARAN
Dalam setiap pelaksanaan transfer embrio hendaknya memperhatikan dan mengikuti
setiap tahapan yang ada, supaya keberhasilan dalam transfer embrio bisa dijamin dan
dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bindon, B.M. and L.R . Piper. 1980. Assessment of new and traditional techniques ofselection for
lambing rate. In: G.J. Togs, D.E. ROBERTSON and R. J . LIGHTFOOT (Ed) Sheep
Breeding (2nd Ed.). p. 387- 401 .
Lubis., A, M. 2000. Pemberdayaan bioteknologi reproduksi Untuk peningkatan mutu genetik ternak.
WARTAZOA Vol. 10 No. 1. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Martojo, H. 1987. Pengaruh Faktor-faktor Pendukung Terhadap Keberhasilan Transfer Embrio dan
Rekayasa Genetik dalam Peningkatan Mutu dan Produksi Ternak. Interuniversity Center for
Live Sciences. Bogor Agricultural University.6
Rutledge, J.J. 2004. Technology innovations to enchance livestock agribusiness. Seninar nasional
teknologi peternakan dan veteriner. Hal 6.
Saputra, Junaidi 2012. Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi dengan Teknologi Transfer
Embrio. https://www.scribd.com/doc/120394645/ Makalah-Bioteknologi-Peternakan-Junaidip-Saputra. Diakses pada tanggal 12 April 2015.
Tappa, B., E.M. Kaiin, S. Said & M. Suwecha. 1994b. Response of dairy cows treated with repeated
superovulation and embryo recovery. Proceeding of 7th AAAP Animal Science Congress.
Bali. P. 19-20.
Tappa, B., M. Soewecha, S. Said, E.M. Kaiin, & F. Afiati. 1997. Over 5 years study in superovulation
of dairy and beef cows using FSH-Ovagen and FSH-P during embryo transfer. 4th
International Meeting on Biotechnology in Animal Reproduction, Bogor.
Toelihere, M.R. 1987. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas Indonesia. P. 40 –
44.
Download