PENTINGNYA PEMBEKALAN PENDIDIKAN KEMARITIMAN YANG SESUAI UNTUK MASYARAKAT PESISIR KHUSUSNYA DI PULAU TUNDA SERANG, BANTEN Muhammad Arfani Asra[1] D121191071 Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin, Kota Makassar, 90245 Telp: 082187804774. Email: [email protected] ABSTRAK Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Tentunya ini disebabkan oleh latar belakang Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan memiliki sejarah kejayaan kerajaan maritimnya. Namun, seiring berjalannya waktu jiwa kemaritiman ini mulai memudar. Banyak faktor yang mempengaruhi, tetapi menurut kami faktor yang paling berpengaruh adalah paradigma masyarakat yang cenderung meninggalkan nilai-nilai jati diri bangsanya. Paradigma ini tentunya tidak terlepas dari bagaimana edukasi yang diterima masyarakat dalam hal ini masyarakat pesisir untuk menyadari eksistensi dan potensinya dalam membangun bangsa ini. Kenyataannya, pendidikan bagi masyarakat pesisir dianggap tidak penting dan secara langsung belum berkontribusi besar dalam kehidupan mereka. Oleh karena ini, tujuan penulisan artikel ini ialah memaparkan bagaimana pentingnya memberi pembekalan pendidikan yang sesuai dengan kondisi masyarakat pesisir sehingga mampu mengarahkan mereka untuk berinovasi dan memperkuat eksistensi masyarakat Indonesia sebagai masyarakat maritim. Menurut penulis, meskipun pendidikan tidak berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat pesisir, setidaknya pendidikan mampu membuka wawasan anak-anak pesisir dan membentuk pola pikir baru yang lebih kreatif dan mampu berinovasi. Ada pun metode yang digunakan dalam pembuatan artikel ini ialah studi literatur dari berbagai jurnal dan referensi lainnya terkait pengaruh pendidikan dan kondisi pendidikan masyarakat pesisir. Secara keseluruhan, artikel ini membahas latar belakang mengapa indonesia perlu mulai membangkitkan kembali jiwa-jiwa kemaritiman melalui dunia pendidikan, kemudian di pembahasan membahas bagaimana kondisi pendidikan masyarakat pesisir saat ini, mengapa pendidikan yang sesuai begitu penting bagi masyarakat pesisir, dan terakhir salah satu upaya penyesuaian dari kurikulum pendidikan untuk menumbuhkan jiwa maritim bangsa Indonesia. Tak lupa pula penulis mengambil salah satu wilayah sebagai contoh yaitu Pulau Tunda, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Kesimpulan dari artikel ini akan menjelaskan bagaimana dampak yang secara tidak langsung akan ditimbulkan dengan memberi penyesuaian pendidikan bagi masyarakat pesisir. Kata Kunci: Pendidikan, Maritim, Pulau Tunda I. LATAR BELAKANG Negara Indonesia dikenal sebagai negara maritim terbesar dengan menyimpan berjuta sumber daya alam dan keanekaragaman hayati serta masyarakat yang majemuk dan heterogen sehingga menjadi sebuah anugerah yang besar bagi siapa saja yang tinggal dan menetap disana. Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak maritim juga tidak terlepas dari sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih menggantungkan hidupnya pada perairan laut sebagai salah satu sumber perekonomian masyarakat, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah pinggaran pantai (selanjutnya disebut masyarakat pesisir). Umumnya mereka masih menggantungkan hidup pada hasil laut sebagai mata pencarian utama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik bekerja sebagai nelayan, petani tambak, pedagang ikan, maupun masyarakat yang mengelola daerah pesisir sebagai tempat pariwisata. Pesisir pantai merupakan salah satu lingkungan hidup yang memiliki sumber daya alam yang besar dan penting bagi kehidupan masyarakat, dimana di daerah pesisir pantai inilah masyarakat melakukan aktivitas hidup yang berhubungan dengan produksi, pengolahan, penjualan, dan konsumsi. Berbagai hasil laut menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat baik masyarakat yang hidup di sekitar pesisir maupun masyarakat yang hidup jauh dari pesisir. Pendidikan menjadi salah satu aspek penting sebagai proses pembentukan sumber daya alam yang berkualitas. Sudah seharusnya bagi anak-anak usia sekolah mendapatkan pendidikan yang berkualitas, seperti program yang dicanangkan oleh pemerintah mengenai wajib sekolah dua belas tahun yang didukung oleh anggaran 20% dari APBN yang diperuntukkan bagi sektor pendidikan. Maka seharusnya seluruh penduduk warga negara Indonesia, siapapun itu, wajib mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan di sekolah dengan sebaikbaiknya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat khususnya di daerah terpencil dan pelosok pedalaman yang masih sulit mendapatkan akses pendidikan karena berbagai macam permasalahan yang terjadi. Andai kata pun mereka mendapat pendidikan, pendidikan yang didapat pun masih sangat kurang, baik secara kualitas maupun kuantitas. Masalah yang timbul seperti jumlah tenaga pengajar yang sangat minim, kualitas sarana-prasarana pendidikan yang bisa dikatakan sangat kurang layak, dan masalah lainnya yang menjadi tantangan dan hambatan yang bukan saja hanya menjadi masalah bagi masyarakat, namun juga tanggung jawab seluruh pemegang kekuasaan yaitu pemerintah. Sejalan dengan visi dan misi pemerintah dibawah kepemimpinan presiden Joko Widodo yang ingin membangkitkan kembali wilayah laut Indonesia sebagai salah satu kekayaan alam, menjadi negara yang merupakan poros maritim dunia, negara yang maju dibidang kemaritiman yang menyentuh seluruh sektor terkait kelautan, mampu membangkitkan lagi kejayaan maritim Indonesia dan yang paling tidak terpisahkan ialah bagaimana membangun sumber daya manusia di daerah pesisir sebagai pendukung utama penyelenggara pembangunan kelautan. Melalui kegiatankegiatan kelautan yang sudah menjadi keseharian masyarakat pesisir, hal lain yang paling utama adalah melalui program pendidikan formal yang dilakukan di sekolah sebagai proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan kompetensi yang mampu mendukung mereka dalam pengelolaan laut yang lebih baik lagi. Dalam pembukaan UUD 1945 memiliki makna bahwa menjadi tugas seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah untuk dapat mewujudkan cita-cita bangsa, salah satunya ialah mencerdaskan kehidupan bangsa guna memajukan kesejahteraan umum dan terciptanya ketertiban dunia. Untuk mewujudkan semua itu, pendidikan formal memberi berbagai macam pengetahuan dan keterampilan baik ekonomi, teknologi, bahasa, bahkan kesenian, dan bidang lainnya yang menjadi kompetensi bagi terciptanya sumber daya manusia yang diharapkan mampu mencapai cita-cita negara, dan juga mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks. Masyarakat pesisir harus mampu membangkitkan semangat bangsa yang tak kenal pantang menyerah, sebagai jati diri bangsa yaitu bangsa maritim yang hidup dan tumbuh dalam dekapan lautan samudra yang membentang dari ujung barat sampai ujung timur. Namun, dari cara pandang dan anggapan masyarakat pesisir pantai terhadap dunia pendidikan, pendidikan dipandang tidaklah begitu penting bagi kehidupan. Sebagai contoh, Pulau Tunda merupakan salaah satu gugusan pulau dari 17 pulau yang berada di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Sebagian besar penduduk Pulau Tunda memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Sarana pendidikan di Pulau Tunda bisa dikatakan masih sangat kurang. Sangat disayangkan bahwa pendidikan masih dianggap hal sepele ditandai dengan sedikitnya jumlah sekolah di pulau ini. Padahal ditinjau dari lokasi, pulau ini terletak tidak begitu jauh dari ibukota seperti DKI Jakarta dan Kota Serang yang mampu memberi fasilitas. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepedulian pemerintah terhadap pendidikan untuk anak-anak pesisir pun masih kurang diperhatikan. Melalui pendidikan formal yang didapatkan di sekolah dengan pemberian pembelajaran yang terintegrasi untuk masyarakat pesisir akan mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdaya saing seperti yang diharapkan. Dengan terciptanya kualitas manusia yang unggul dibidang kelautan akan juga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir baik kesejahteraan dibidang ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, dan peningkatan status sosial. II. RUMUSAN MASALAH Dari pembahasan mengenai latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas mengenai kehidupan masyarakat pesisir Pantai Utara Jawa khususnya pada masyarakat Pulau Tunda, maka dapat dikemukakan rumusan masalah mengenai “Seberapa penting pembekalan pendidikan yang layak bagi anak-anak pesisir yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu umum namun mampu menumbuhkan kemampuan untuk berinovasi dan bersaing dengan memiliki jiwa maritim sebagai jati diri bangsa Indonesia” dimana penulis ingin memahami dan menyampaikan pentingnya peran pendidikan formal bagi anak pesisir yang jauh mampu mengarahkan mereka memahami hal-hal mengenai laut dan menumbuhkan jiwa kemaritiman. Dengan demikian, akan membuka berbagai perspektif dan sudut pandang baru bagi setiap individu untuk terus berkarya dan berinovasi mensejahterakan masyarakat Indonesia dibidang maritim. III. PEMBAHASAN a) Realita Pendidikan Masyarakat Pesisir Saat Ini. “Nenek moyangku seorang pelaut…”, penggalan dari salah satu lagu anakanak yang sering dinyanyikan, bila ditinjau lebih dalam memiliki makna bahwa masyarakat Indonesia sejak dulu merupakan masyarakat maritim yang tidak bisa dilepaskan dari laut yang menjadi jiwa dan identitas bangsa Indonesia. Ditinjau dari segi histrorikal, Nusantara (saat ini Indonesia) pernah dikenal sebagai negeri bahari yang berjaya dengan masyarakat pesisir yang kaya raya juga handal dalam kemampuan melaut dengan mengarungi dan menaklukkan samudra. Dimasa lalu masyarakat pesisir adalah masyarakat maritim yang kuat dan maju pada masanya dan mampu bersaing dengan para pelaut dari bangsa lainnya. Daerah pesisir menjadi salah satu tempat terjadinya pusat perdagangan dan pusat pertukaran kebudayaan. Masyarakat pesisir yang memiliki sifat egaliter dan keterbukaan terhadap berbagai macam bidang pengetahuan baik teknologi, politik, kesehatan, bahasa, dan agama, bahkan di daerah-daerah pesisirlah tumbuh peradaban maju dan lahirnya kerajaan-kerajaan yang menjadi pusat peradaban dan kebudayaan salah satu yang terkenal di Nusantara yang pernah dikenal dengan kerajaan maritim terkaya dengan kejayaan yang gilang-gemilang, yaitu pada masa kerajaan Sriwijaya, dimana kerajaan Sriwijaya pernah masyhur ke segala penjuru dunia sebagai pusat kebudayaan dan pusat pendidikan ajaran agama Hindu-Buddha. Selain sebagai pusat kebudayaan dan pendidikan, di Nusantara pula banyak pelabuhan-pelabuhan besar di sekitar pantai utara Jawa yang dibangun oleh masyarakat pesisir, seperti pelabuhan Galuh, Banten, Sunda Kelapa, Semarang, Tuban, Cirebon yang menjadi pusat perekonomian masyarakat pada masa itu, dan masuknya ajaran agama Islam karena diketahui dari berbagai sumber sejarah bahwa Islam pertama kali masuk di daerah pesisir dan warga masyarakat pesisirlah yang pertama kali memeluk ajaran agama Islam di Nusantara. Dari paparan sejarah di atas, kita dapat memetik pelajaran bahwa seharusnya masyarakat pesisir Nusantara adalah masyarakat yang memiliki sumber daya manusia yang baik dan dapat menjadi masyarakat yang mandiri, maju, dan mampu bersaing guna mencapai kesejahteraan, kemajuan bangsa, dan negara. Bukan seperti saat ini, masyarakat pesisir menjadi masyarakat yang tertinggal dan terbelakang baik dari segi ekonomi, pendidikan, bahkan agama. Indonesia memiliki daerah pesisir yang sangat luas dan diperkirakan 60% dari penduduknya hidup dan tinggal di daerah pesisir. Sekitar 10.664 desa dari 75.410 desa yang ada di Indonesia dapat dikategorikan sebagai desa pesisir. Mereka kebanyakan merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi sosial ekonomi dan latar pendidikan masyarakat yang masih relatif sangat rendah. Umumnya mereka hanya berpendidikan sampai sekolah dasar bahkan ada yang tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali karena akses terhadap pendidikan yang masih sulit dan kesadaran masyarakat pesisir terhadap pentingnya pendidikan yang masih amat rendah. Kondisi seperti ini memungkinkan sulitnya mereka mengikuti perkembangan di daerahnya dan menyebabkan masyarakat pesisir menjadi masyarakat tertinggal dan terbelakang dari kelompok masyarakat lainnya. Sebagai contoh pada Pulau Tunda, menurut data dari Direktori Pulau-pulau Kecil Indonesia, sarana pendidikan di Pulau Tunda hanya meliputi 1 buah Taman Kanak-Kanak (TK), 3 buah Sekolah Dasar (SD), 1 buah Madrasah (MTs), dan 1 buah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Penduduk Pulau Tunda memiliki mata pancaharian dengan persentase: nelayan 80%, buruh tani 10%, dan yang lainnya sekitar 10% (pedagang, wiraswasta, tukang, dan PNS). Tentu ini menunjukkan kurangnya kepedulian baik dari masyarakat maupun pemerintah akan pendidikan yang layak bagi masyarakat Pulau Tunda. Padahal bila ditinjau dari ekosistem dan sumber daya hayatinya, Pulau Tunda memiliki keanekaragaman terumbu karang, padang lamun, laguna, keberadaan underwater great walls yaitu temboktembok karang yang berbidang vertikal dari atas sampai bawah, serta jenis ikan karang yang beragam. Melihat potensi sumber daya alam pulau ini, sangat disayangkan apabila tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang salah satunya dapat diperoleh dari pendidikan formal yang layak. Meskipun keahlian dalam melaut sudah dimiliki, pendidikan formal juga mampu membentuk pola pikir inovatif dan punya daya saing bagi masyarakat pesisir. b) Dampak Langsung Pendidikan Bagi Masyarakat Pesisir. Apabila kita melihat cara pandang dan anggapan masyarakat pesisir yang masih rendah terhadap pentingnya pendidikan formal bagi masa depan mereka, pertanyaan yang menjadi masalah utama ialah mengapa ketidaksadaran akan pentingnya pendidikan formal tidak tertanam didalam diri masyarakat pesisir. Jawaban dari pertanyaan ini ialah adanya anggapan yang telah tertanam kuat di pikiran masyarakat pesisir bahwa keahlian untuk mengelola laut dan kegiatankegiatan lain yang berhubungan dengan laut tidaklah didapatkan dari pendidikan formal, melainkan dari pengalaman langsung terjun ke lapangan. Dengan adanya anggapan seperti itu, kemudian diperparah lagi dengan banyaknya orang tua dengan berbagai macam alasan baik karena masalah ketidakmampuan dibidang ekonomi maupun alasan lainnya yang enggan menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Inilah yang menjadi salah satu penyebab rendahnya sumber daya manusia di daerah pesisir dan menimbulkan permasalahan sosial masyarakat yang terjadi akibat rendahnya kesadaran warga masyarakat pesisir terhadap pentingnya pendidikan formal. Berdasarkan pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Tiap–tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” (UUD 45 Hasil Amandemen, 2002: 20), jelas dikatakan bahwa kehidupan yang layak pada dasarnya hak semua warga Negara, dan kehidupan yang layak tersebut dapat diperoleh dengan sungguh–sungguh dalam mencari nafkah, baik itu dengan menggunakan motorisasi sebagai hasil pembangunan nasional, aktif mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh pemerintahsebagai modal untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dalam era kemajuan seperti sekarang ini, sumber daya manusia sebagai salah satu modal dasar pembangunan sangat mutlak untuk terus ditingkatkan. Dalam meningkatkan sumber daya manusia tersebut, usaha yang utama adalah melalui pendidikan, yaitu pendidikan formal, non formal, serta pendidikan informal. Pendidikan merupakan faktor dasar kemajuan suatu bangsa. Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pemanusiaan, para orang tua adalah tokoh utama dan pertama dalam pembentukan manusia. Tetapi hidup sekarang dikelilingi oleh banyak alat, sarana hidup dan prasarana serta tatanan buatan manusia. Untuk mengenal dan mandalami semua itu orang memerlukan bantuan dari luar keluarga yaitu dari masyarakat. Masyarakat akan memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam diri si anak, apalagi diwujudkan dalam proses dan pola yang tepat. Tidak semua ilmu pengetahuan, sikap, keterampilan dapat dikembangkkan oleh sekolah ataupun keluarga. Namun kecanggihan hidup modern dan kemajemukanya sering meyebabkan usaha-usaha masyarakat perlu membantu proses pendidikan dalam aneka usaha rakyat, baik perorangan, keluarga maupun kelompok. c) Pentingnya pendidikan yang sesuai bagi masyarakat pesisir. Dari ketiga istilah Kemaritiman, Kelautan, dan Bahari, bila mengacu pada maknanya, maka artinya mengarah pada hal yang sama, yaitu: Laut. Namun bila mengacu pada sebuah dialektika makna, ketiga kata itu ternyata berbeda. Berdasar data literatur, kata Maritim paralel pengertiannya dengan aktivitasnya, yaitu urusan perdagangan (pelayaran) dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan di atas laut. Laut adalah sebagai sarananya, atau obyek dan tempat kegiatannya. Sedangkan Bahari lebih kepada manusia atau orang-orang yang melakukan kegiatan kemaritiman di atas laut dan sekitarnya. Umumnya bahari lebih terkait dengan kebudayaan masa lalu yang mengarah kepada orangnya/manusianya/pelakunya, yang dalam istilah Kamus Umum disebut sebagai yang lampau, dahulu kala. Hal ini bisa dimaklumi mengingat kejayaan bahari Indonesia merupakan kisah masa lalu, masa kerajaan. Saat ini budaya bahari telah memudar. Sehingga sebelumnya Bahari diartikan sebagai dahulu kala, kuno, tua sekali, (contoh: zaman bahari = zaman dahulu), indah, elok sekali, mengenai laut, bahari, atau yang dilindungi, misalnya raja bahari berarti raja yang dilindungi (oleh dewa - dewa). Jadi Bahari lebih kepada budayanya, pelakunya, orang-orang yang melakukan atau menjalankan aktifitas kemaritiman dan kelautan di laut. Dari penjelasan tersebut maka akan terlihat bahwa ketiga kata tersebut saling terkait, dimana Laut sebagai lokasi atau tempat, kemaritiman sebagai sarana dan prasarananya sedangkan bahari adalah pelakunya/ manusianya/ budayanya/ kebiasaan dalam melakukan akitifitas di laut. Untuk itu jika Indonesia ingin menjadi negara maritim maka yang harus dilakukan adalah bagaimana membangkitkan budaya bahari masa lalu dan membangunnya menjadi budaya bahari masa kini atau budaya modern yang sarat dengan teknologi. Baik teknologi mekanik, teknologi hidrolik, dan teknologi digital. Melihat bahwa terdapat banyak keragaman dan permasalahan dalam kehidupan masyarakat pesisir, tentunya perlu pembekalan pendidikan yang sesuai sehingga masyarakat mampu menghadapi dinamika kehidupan masyarakat maritim dan memiliki daya saing serta jiwa inovatif, yaitu pendidikan berbasis kemaritiman. Pentingnya pendidikan maritim dalam pembangunan nasional Indonesia dalam rangka mencapai kemakmuran dan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim. Apa yang disebut sebagai pendidikan maritim di sini adalah pola pikir (pattern of thought), cara pandang terhadap diri dan lingkungannya sebagai bangsa dan negara maritim yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif) (Sulistiyono, 2016). Pendidikan budaya maritim yang dimaksud yakni perilaku hidup dan tata cara manusia sebagai masyarakat suatu bangsa terhadap laut dan pemanfaatan seluruh potensi kekayaan maritim yang ada di dalam, di atas, dan di sekitar laut guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan perekonomian suatu negara saat ini dan masa yang akan datang dengan menggali dan mengembangkan gagasan/ide berupa pengetahuan, sistem norma sosial, dan teknologi yang mendukungnya (Siswanto, 2018). Salah satu prosiding oleh Nurisshobakh dkk. (2018:110-112) mengemukakan berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka penanaman budaya kemaritiman pada pendidikan non formal (PAUD-TK) sebagai berikut: - Pengenalan Membaca, Menulis dan Berhitung Pengenalan membaca, menulis dan berhitung (calistung) dilakukan melalui pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Pada umumnya sudah dikenalkan calistung pada tingkat pendidikan TK. - Pengenalan Bahasa Asing Secara sederhana, pada pendidikan dini tingakat PAUD dan TK telah dikenalkan bahasa asing sederhana seperti kata-kata yang mudah ditemui, semisal: ibu, ayah, kakak, adik, dll. - Desain Pembelajaran yang Baru untuk Pendidikan Non-Formal 1. Pembuatan Poster Poster yang dibuat merupakan poster yang berisikan tentang kebudayaan maritim. Mulai dari berita-berita terbaru tentang maritim, manfaat olahraga renang, kekayaan alam Indonesia, dan tentang lainnya yang berisikan informasi yang menarik minat anak untuk mengenal kemaritiman Indonesia. 2. Mengenalkan Kemaritiman Melalui Lagu Anak-anak Lagu anak-anak merupakan alat bantu ajar yang sering digunakan pada pendidikan tingkat dini. Dengan mudah siswa akan mengingat dan menyanyikannya. Pendidik diharapkan dapat menyampaikan isi pesan lagu kepada siswa agar siswa tidak sekedar menyanyikan, namun juga mengetahui maksudnya. 3. Mengadakan Pariwisata Ke Laut Siswa dapat dikenalkan kepada bangunan lepas pantai (Offshore), dikenalkan dengan biota laut, dan membantu wisatawan melakukan penaman terumbu karang. Tentunya diperlukan pengawasan yang ekstra kepada siswa mengingat kegiatan ini dilakukan di luar ruangan dan berada di tengah-tengah laut. Dengan Mengajak siswa untuk pariwisata ke laut, maka siswa akan lebih mengenal bagaimana laut Indonesia di luar sana. Diharapkan siswa akan berpikir lebih terbuka akan potensi-potensi kekayaan laut Indonesia. 4. Kurikulum Berbasis Kemaritiman untuk Menanamkan Budaya Kemaritiman Dengan menerapkan kurikulum yang berbasis kemaritiman, maka semakin menjunjang kegiatan pembelajaran yang berbasi maritim. Kurikulum berbasis maritim ini digunakan untuk semakin memperkenalkan maritim kepada siswa dengan lebih sering mengadakan kegiatan yang berbau kemaritiman. Pendidik dapat memberikan mainan yang bisa digunakan untuk metode mengenalkan kemaritiman Indonesia seperti puzzle keindahan bawah laut, lego berbentuk kapal, menampilkan video-video tentang wilayah laut Indonesia, dan sebagainya. 5. Memberikan Pendidikan Renang Kepada Siswa Untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang berada di laut, siswa perlu dibekali keterampilan berenang. Selain itu, renang juga berguna untuk kesahatan dan tumbuh kembang anak. Dengan olahraga renang, siswa akan terbiasa berada di air dan diharapkan nantinya siswa akan menyukai kegitan-kegiatan yang berada di lautan dan mempelajari apa yang ada di dalamnya. 6. Mengajarkan Siswa untuk Membuat Kerajinan Tangan Berbasis Maritim Pada daerah Kenjeran, Surabaya banyak kerajinan tangan yang dibuat oleh masyarakat untuk dijual. Kerajinan tangan ini berbahan dari kerang dan cangkang hewan-hewan laut. Siswa bisa diajarkan dan diberi penugasan untuk membuat kerajinan tangan ini. Siswa akan lebih mengenal keanekaragaman bentuk cangkang kerang sehingga mereka akan mengetahui keanekaragaman biota laut. 7. Pendidikan Tingkat Selanjutnya Apa yang sudah diajarkan dan diterapkan pada pendidikan tingkat dini (TK) selanjutnya bisa terus dikembangkan pada pendidikan tingkat selanjutnya agar lebih membentuk pola pikir dan karakter siswa seperti yang diharapkan. Pada pendidikan tingkat sekolah dasar, hal yang serupa tetap bisa diterapkan, namun berdasarkan porsi masing-masing. Tingkat sekolah dasar dapat diberikan pengertian yang lebih detail dan pemahaman yang lebih luas. Selain itu, siswa diajak untuk observasi lapangan untuk mengetahui kegiatan diluar sana sesuai yang keadaan yang sebenarnya. IV. KESIMPULAN Pendidikan merupakan salah satu indikator yang cukup menentukan kualitas suatu masyarakat. Dengan adanya pendidikan terutama pendidikan kemaritiman, tentu akan memperkuat eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berjiwa maritim. Namun, anggapan dari masyarakat pesisir sendiri dan kurang pedulinya pihak yang terlibat baik itu dari masyarakat maupun pemerintah kemudian berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir sehingga statusnya tergolong menengah kebawah. Oleh karena itu, perlu pembekalan pendidikan yang sesuai dengan kondisi masyarakat pesisir upaya untuk membangkitkan budaya bahari masa lalu dan membangunnya menjadi budaya bahari masa kini atau budaya modern yang sarat dengan teknologi. Baik teknologi mekanik, teknologi hidrolik, dan teknologi digital. Dibarengi dengan kerja keras dan semangat berinovasi, juga kreativitas yang tinggi, secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir pantai, sehingga terjadi peningkatan status sosial yang bersifat positif dan memberikan peranan pada masyarakat pesisir pantai untuk terus berusaha membangun kawasan wilayah laut menjadi kawasan pembangunan yang maju dan terdepan. Dengan demikian, paradigma saat ini mengenai masyarakat pesisir pantai sebagai masyarakat yang miskin dan tertinggal akan tergantikan dengan paradigma baru bahwa masyarakat pesisir merupakan penggerak utama kemajuan suatu bangsa dan negara. DAFTAR PUSTAKA Misbahudin. (2017). "Persepsi Masyarakat Pesisir Pantai Utara Jawa Terhadap Pentingnya Pendidikan Formal Sebagai Salah Satu Cara meningkatkan Status Sosial Di Masyarakat". Dipetik Mei 20, 2020, dari http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/holistik/article/view/436 Nadia Asrini, T. (2019). Pendidikan Maritim Membangun Jati Diri Indonesia Sebagai Negara Maritim. Jurnal Wawasan Sosial Budaya Maritim, 4. Nurisshobakh, S., & dkk. (2018). Penanaman Budaya Kemaritiman pada Pendidikan Non Formal (Paud-TK) sebagai Upaya Peningkatan Kesadaran Indonesia sebagai Bangsa Maritim untuk Perkembangan Sektor Maritim Berkelanjutan Kedepannya. Seminar Nasional FKIP UMSIDA. 1, hal. 110-112. Sidoarjo: ICECRS. Diambil kembali dari http://ojs.umsida.ac.id/index.php/icecrs Prameswara, B., & Bagus Suryawan, I. (2019). Strategi Pengembangan Potensi Wisata Bahari Pulau Tunda, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Jurnal Destinasi Wisata, 7, 182-183. Diambil kembali dari https://ojs.unud.ac.id/index.php/destinasipar/article/view/53558 Pulau Tunda. Dipetik Mei 20, 2020, dari Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia: http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/374 Siti Salmaniah Siregar, N. (2016). Kesadaran Masyarakat Nelayan terhadap Pendidikan Anak. Jurnal Ilmu Pemerintah dan Sosial Politik UMA, 6. Diambil kembali dari https://ojs.uma.ac.id/index.php/jppuma/article/view/298 Waluyo Siswanto, H. (2018). Pendidikan Budaya Bahari Memperkuat Jati Diri Bangsa. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial.