Uploaded by User62593

modul parasit feses

advertisement
MODUL
IDENTIFIKASI PARASIT CACING
Oleh :
Dr. drh. I Made Dwinata, M.kes
Dr. Drh. Ida Ayu Pasti Apsari, MP
Dr. N. Adi Suratma, MP
Drh. Ida Bagus Made Oka, M.kes
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
1
MODUL
IDENTIFIKASI PARASIT CACING
I. IDENTIFIKASI PARASIT CACING
1. Cara Identifikasi Parasit Cacing Melalui Pemeriksaan Feses
2. Cara Identifikasi Cacing Melalui Preparat Permanen.
3. Penyakit parasit Cacing Pada Sapi, Babi dan ayam
Tujuan : Peserta pelatihan mampu untuk Mendiagnosa Penyakit Parasit Cacing
PENDAHULUAN
Parasit merupakan organisme yang hidup pada atau dalam organisme lain dan atas
beban organisme yang ditumpangi. Parasit dapat dibedakan, menjadi : Endo-parasit
(Helminth (cacing),
yang terdiri dari cacing : Nematoda (cacing gilik), Cestoda
(cacing pita) dan Trematoda (cacing daun). Selain cacing juga terinfeksi oleh
Protozoa darah dan protozoa saluran cerna, serta Ekto-parasit artropoda kelas Insekta,
(kutu, pinjal, lalat dan nyamuk), dan kelas araknida (caplak dan tungau).
Parasit akan merugikan hospes definitive,karena : berkompetisi memperebutkan
makanan dengan hospes definitive, Menghisap darah, cairan getah bening atau eksudat,
Merusak jaringan tubuh, Menimbulkan radang, Memudahkan masuknya pathogen lain,
Menghasilkan berbagai substansi toksik seperti (hemolysin, histilysine, antikoagulan
dan produksi toksik dari metabolismenya), Menimbulkan reaksi alergi, dapat menstimulir
terjadinya kanker, Membawa beberapa penyakit (Vektor), Menimbulkan penyumbatan
secara mekanis, Contoh : cacing Ascaris suum jika jumlahnya banyak dapat menyumbat
saluran pencernaan babi, Dapat menghncurkan sel, karena mengadakan pertumbuhan
didalamnya, Contoh : protozoa (Eimeria sp, menghancurkan sel epitel saluran cerna,
Plasmodium sp, Leucocytozoon dan Haemoproteus, menghancurkan sel darah merah
unggas), Menurunkan resistensi tubuh hospes terhadap penyakit lainnya.
Sebagian besar infeksi dengan parasit cacing berlangsung tanpa gejala atau
menimbulkan gejala ringan oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat
dibutuhkan karena diagnosis yang berdasarkan gejala klinis kurang akurat.
Misalnya infeksi cacing pada babi yang disebabkan oleh cacing Ascaris suum
2
perlu dilakukan pemeriksaan feses untuk menemukan telur cacing. Pemeriksaan
feses diperlukan untuk menemukan adanya telur, larva, ookista , tropozoit dan
kista dari parasit. Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam
membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan
pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu
parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk
pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang
akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka
bahan yang akan di periksa adalah feses, Agar parasit dalam cairan tubuh tadi dapat
diidentifikasi dengan mudah, maka mereka tidak boleh berubah bentuk atau rusak. Di
sinilah letak pentingnya pembicaraan tentang pengumpulan spesimen dan penyimpanannya.
Contoh stadium parasit yang ditemukan pada feses :
ookista
Larva cacing
Telur Ascaris suum
Telur Haemonchus sp
Pemeriksaan feses adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang telah lama
dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit. Meskipun saat ini
telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern , dalam beberapa kasus
pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain.
3
Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses, cara
pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan
menentukan ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi. Berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan umum maupun khusus, dilakukan juga pemeriksaan feses dan pemeriksaan
darah untuk mendukung hasil diagnosis. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode
natif, metode sentrifuse, metode Parfitt and Banks, atau metode McMaster
I. Teknik Diagnosis Melalui Pemeriksaan Feses
Parasit cacing bisa ditemukan dalam hamper semua bagian dari tubuh induk semangnya,
oleh karena itu pemeriksaan umum pada hewan hidup harus dilaksanakan seteliti
mungkin.baik bagian dalam maupun bagian luar. Pengetahuan tentang habitat parasit
pada/dalam tubuh hospes serta derah penyebarannya akan sangat membantu diagnosis.
Sebagian besar dari jenis jenis cacing tinggal dalam saluran pencernaan atau dalam alat
tubuh yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Selama hidupnya parasit
menghasilkan produk biologis, misalnya telur, yang keluar bersama feses hospes.
Makin banyak cacing maka banyak pula telur yang dihasilkan tiap hari, yang
tercampur merata dengan tinja. Hospes mengeluarkan tinja dalam jumlah yang kurang lebih
tetap tiap hari, karena itu pemeriksaan tinja bukan hanya untuk melihat ada tidaknya telur
cacing, tetapi yang lebih penting lagi ialah untuk menghitung berapa telur yang
terkandung dalam tiap gram feses hewan yang diperiksa (TTGT). Banyaknya telur tiap
gram feses berkorelasi positip dengan banyaknya cacing, sehingga ttgt menunjukkan
derajat infeksi.
Pengambilan feses untuk keperluan
diagnosis pada hewan besar seperti sapi
dilakukan secara rektal atau mengambil feses yang baru keluar. Diusahakan feses tidak
tercemar oleh urine dan bahan-bahan kimia yang dapat merusak dari telur cacing, ookista,
kista dan tropozoit. feses yang baru diambil ditempatkan pada pot penampung feses atau
kantong plastik dan dilengkapi dengan identitas sampel (jenis hewan, umur, jenis kelamin )
4
Cara mendapatkan feses, sebaiknya feses diambil secara langsung (secara rektal),
boleh menggunakan feses yang keluar setelah defikasi tetapi harus dipilih bagian yang tidak
terkontaminasi (terutama oleh minyak). Jumlah feses yang diperlukan untuk pemeriksaan
feses lengkap kira-kira 10 gram. Feses yang akan diperiksa kemudian dimasukkan kedalam
wadah yang bersih dan diusahakan bermulut lebar dan memiliki tutup rapat. Feses yang
telah terkumpul seharusnya dilakukan pemeriksaan sesegera mugkin, tetapi jika
pemeriksaan tidak bisa dilakukan, maka feses yang berkonsistensi padat dapat disimpan
dalam lemari pendingin suhu 40C selama semalam tanpa mengurangi nilai diagnostiknya.
Tetapi jika pemeriksaannya lebih lama lagi atau jika konsistensi feses encer bercampur
lendir dan darah harus diawetkan.
Untuk keperluan diagnosis dan identifikasi cacing feses harus dikirim ke laboratorium.
Apabila pemeriksaan feses tidak bisa dilakukan segera setelah pengambilan sampel maka
sampel feses perlu diawetkan. Feses yang dikirimkan perlu diawetkan agar telur cacing
tidak menetas dalam perjalanan. Bahan pengawet atau pencegah penetasan adalah formalin
10 % atau fenol-glyserin 5% yaitu campuran antara fenol, glyserin dan akuades dalam
perbandingan 1 : 5 : 94. Sedangkan pengawetan parasitnya (cacing) dapat digunakan
alkohol 70 % untuk keperluan identifikasi..
Pemeriksaan telur cacing (kualitatif) dapat menggunakan metoda natif, sedimen dan
pengapungan. Zat pengapung dapat digunakan antara lain : gula jenuh dan garam jenuh.
Fungsi zat pengapung untuk mengapungkan telur cacing, karena berat jenis (BJ) cairan
lebih tinggi dari BJ telur cacing.
5
Pemeriksaan telur cacing (metoda kuantitatif) untuk menghitung telur cacing per
gram feses (ttgt) dilakukan dengan metoda Stoll dan Metoda Mc. Master atau modifikasi
Mc Master.
Faktor yang Mempengaruhi perhitungan telur (ttgt)
1. kepadatan atau konsistensi feses (tinja kering, lembek,encer)
2. banyaknya tinja yang dikeluarkan tiap hari oleh hewan sering kali berbeda.
3. Produksi telur harian tiap jenis cacing berbeda
4. Distribusi telur dalam tinja tidak selalu merata
5. Produksi telur cacing tua dan cacing muda berbeda.
6. Perbandingan antara cacing jantan dan betina
7. Reaksi immunologic dari cacing terhadap hospes .
Deteksi infeksi cacing melalui pemeriksaan feses tergantung produksi telur yang
dikeluarkan cacing. Kesalahan dalam diagnosa melalui pemeriksaan feses dengan
menemukan telur cacing dapat terjadi ( False negatif dan False positif).
Penomena False negatif : pada pemeriksaan feses tidak ditemukan telur cacing, tetapi
hewan tersebut sudah terinfeksi cacing. Hal ini dapat terjadi bila hewan hanya mengandung
cacing muda yang belum memproduksi telur. Dapat juga terjadi bila sedikit cacing dewasa
yang menginfeksi ( hanya jantan atau betina ).
Penomena False positif : pada pemeriksaan feses ditemukan telur cacing tetapi hewan
tersebut tidak terinfeksi cacing. Hal ini terjadi bila memakan telur cacing yang belum
infektif (unembryonated) contoh : Ascaris suum dan Trichuris sp.
Pemeriksaan feses secara kualitatif, dilakukan dengan 2 cara, antara lain : (1) Natif
(langsung) dan (2) Konsentrasi. Pemeriksaan feses secara konsentrasi dapat dibedakan lagi
menjadi dua , antara lain : (a) Pengapungan dan (b) Pengendapan (Sedimentasi). Masingmasing cara pemeriksaan feses tersebut diatas memeliki kelebihan dan kekurangan,
sehingga pada penggunaannya disesuaikan dengan tujuannya. Cara kerja masing-masing
pemeriksaan feses selengkapnya seperti berikut :
6
PEMERIKSAAN FESES KUALITATIF
1. Pemeriksaan Natif (Langsung)
Metode natif dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat,
tetapi untuk infeksi ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini
menggunakan larutan lugol atau eosin 2%. Penggunaan eosin dimaksudkan untuk lebih jelas
membedakan telur-telur cacing dengan kotoran di sekitarnya.Kelebihan metode ini adalah
mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang diperlukan
sedikit, serta peralatan yang digunakan juga sedikit. Sedangkan kekurangan metode ini
adalah dilakukannya hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit dideteksi. Metode natif
dilakukan dengan cara mencampur feses dengan sedikit air dan meletakkannya di atas gelas
obyek yang ditutup dengan deckglass dan memeriksa di bawah mikroskop
2. Pemeriksaan Konsentrasi Pengendapan (Sedimentasi)
Prinsip pengendapan, menggunakan cairan yang memiliki berat jenis (BJ) yang
lebih rendah dibandingkan dengan BJ telur cacing, sehingga telur cacing akan mengendap.
Metode sentrifus dilakukan dengan cara 2 gram feses yang akan diperiksa ditaruh
dalam mortir, dan ditambahkan sedikit air ke dalamnya kemudian diaduk sampai larut.
Larutan ini dituangkan ke dalam tabung sampai ¾ tabung dan disentrifuse selama 5 menit.
Hasil dari proses sentrifuse adalah cairan jernih dan endapan. Cairan jernih diatas endapan
tersebut dibuang dan endapan diambil , kemudian meletakkannya di atas gelas obyek yang
ditutup dengan deckglass dan memeriksa di bawah mikroskop
3.Pemeriksaan Konsentrasi Pengapungan dengan Garam jenuh
Metode sentrifus dilakukan dengan cara 2 gram feses yang akan diperiksa ditaruh
dalam mortir, dan ditambahkan sedikit air ke dalamnya kemudian diaduk sampai larut.
Larutan ini dituangkan ke dalam tabung sampai ¾ tabung dan disentrifuse selama 5 menit.
Hasil dari proses sentrifuse adalah cairan jernih dan endapan. Cairan jernih diatas endapan
tersebut dibuang dan sebagai gantinya dituangkan NaCl jenuh di atas endapan sampai ¾
tabung. Larutan ini diaduk sampai merata dan disentrifuse lagi selama 5 menit. Setelah
disentrifuse tabung tersebut diletakkan diatas rak dengan posisi tegak dan ditambahkan lagi
NaCl jenuh sampai permukaan cairan menjadi cembung, diamkan selama 3 menit. Untuk
7
mendapatkan telur cacing, obyek gelas diletakkan pada permukaan yang cembung dan
dibalik dengan hati-hati, kemudian ditutup dengan deckglass dan periksa dibawah
mikroskop dengan perbesaran 10×10.
Macam Larutan Pengapung.
• Larutan (Garam (NaCl) Jenuh, Magnesium sulfat (MgSO4) dan Gula Jenuh), dapat
mengapungkan telur cacing kelas Nematoda (kecuali Metastrongylus sp), Kestoda serta
Ookista dan Kista dari Protozoa.
• Larutan (Potassium Mercuri Iodide, Seng Chlorida , dapat mengapungkan telur cacing
kelas Nematoda, Kestoda dan Trematoda.
1. Larutan NaCl jenuh BJ 1,20
2. Larutan gula jenuh BJ 1,12-1,30
3. Larutan ZnSo4 33% BJ 1.18
4. Larutan MgSO4 35% BJ 1,28.
4.
Metode Parfitt and Banks
Metode ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing pada feses (tinja) dengan
menggunakan uji endap (sedimentasi), dengan prosedur mengambil 3 gram feses (tinja) dan
digerus dengan morir. Lalu campuran tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi sampai
setinggi 1 cm dari mulut tabung dan didiamkan selama 10 menit sampai terlihat endapan.
Cairan diambil dengan pipt tetes sehingga tinggal endapan saja. Kemudian ditambahkan air
pada endapan tadi setinggi 1 cm dari mulut tabung dan dikocok. Lalu didiamkan lagi selama
10 menit sampai terlihat endapan. Cairan jernih dibuang, lalu diteteskan NaOH 10%
sebanyak 3 tetes dan ditambah aquadest setinggi 1 cm dari mulut tabung, dikocok dan
didiamkan selama 10 menit sampai terlihat endapan. Cairan jernih dibuang lagi. Kemudian
diteteskan methylen blue sebanyak 3 tetes dan diaduk. Lalu diambil endapan yang paling
bawah dan diletakkan di atas gelas objek dan kemudian diperiksa di bawah mikroskop (10 x
10).
Pada pemeriksaan tinja dengan metode ini untuk membedakan telur cacing Fasciola
sp dengan telur Paramphistomum sp. . Perbedaan dari telur Paramphistomum sp. jelas
karena telur Paramphistomum menyerap warna biru sedang telur Fasciola tetap berwarna
kuning.
8
II. Pemeriksaan dan Identifikasi Cacing
Cacing yang diperoleh dari hewan yang dilakukan bedah bangkai untuk keperluan
diagnostic diperlukan penanganan yang khusus. Cacing hendaknya dibunuh dengan
menggunakan larutan yang mengawetkan dan mengfiksir tenunan sedemikian rupa sehingga
jaringan tubuhnya tidak berubah atau mendekati keadaan normal. Larutan pengawet yang
digunakan alcohol 70 %, alkjohol glyserin atau formalin 5-10%. ( larutan pembunuh dapat
digunakan Formol Acetic alcohol =F.A.A). infeksi cacing diketahui dengan ditemukan
cacing pada tempat predileksinya, sedangkan intensitas infeksi didapat dengan cara
menghitung jumlah cacing yang ditemukan.
Identifikasi cacing berdasarkan : hewan
terinfeksi, predileksi dan ciri-ciri morfologinya. Untuk dapat mengamati cici-ciri morfologi
cacing secara lebih jelas terlebih dulu harus dibuat sediaan.
Cacing ada yang berukuran hanya beberapa mili dan ada juga yang berukuran
sampai beberapa meter. Untuk mengidentifikasi cacing yang berukuran kecil atau yang
salah satu bagiannya bisa mewakili cacing secara keseluruhan (seperti proglotid cacing pita)
dibuat sediaan
permanen dengan pewarnaan, sedangkan cacing yang ukurannya besar
dibuat sediaan permanen tetapi tidak dengan pewarnaan.
a. Cara Membunuh cacing trematoda
Membunuh cacing trematoda dengan cara menjepit tiap cacing diantara dua kaca sediaan
(slide) dan diikat dengan karet. Lekatkanlah trematode diatas slide, buang cairan yang
berlebihan, teteskan larutan pembunuh (F.A.A) cepat tindih dengan slide yang lain dan
tekan sedikit dengan pinset. Kemudian cacing dipindahkan larutan pengawet.
b. Cara membunuh Cestoda
Cacing pita dapat dibunuh dengan merendam dalam air hangat kuku sampai mati, kemudian
difiksir dengan larutan pengawet.
c. Cara membunuh Nematoda
Nematoda dibunuh dengan alcohol 70% yang mendidih atau dengan formalin 5-10 % panas.
Kemudian diawetkan dalam bahan yang sama.
9
Membuat Preparat Permanen sedian Cacing
Untuk membuat preparat permanen, sesudah specimen dibunuh dan difiksir, langkahlangkah berikutnya harus dilakukan 1) Pewarnaan, 2) Pencucian, (untuk menghilangkan
warna yang berlebihan), 3) Destaining (defrensiasi jaringan), 4) dehidrasi ( menghilangkan
sisa sisa air, 5) clearing dan 6) mounting.
Pewarnaan cacing dapat digunakan : Aceto – Carmin dan Trichome Picrocarmine, Cacing
nematoda sukar diwarnai karena kutikulanya tebal dn tidak menyerap warna dan
menghalangi zat warna untuk masuk kebagian dalam. Untuk nematode besar dapat dipakai
larutan lactopenol dan diperiksa sebagai sediaan sementara untuk tujuan diagnosis.
Larutan Lactofenol : R/ Glyserin
2
Phenol Kristal
1
Asam laktat
1
Aquades
1
Dasar identifikasi untuk cacing nematoda dengan memperhatikan ukuran cacing,
morphologi kepala untuk bagian anteriornya dan bagian posterior dengan mengidentifikasi
bentuk ekor cacing. Identifikasi cacing pita dengan melihat skolek dan segmen yang
dewasa. Sedangkan identifikasi cacing trematoda selain melihat ukuran cacing , letak dari
alat penghisap oral dan ventral sacker, letak testes, ovarium, dan glandula vitelaria.
Cacing yang berukuran panjang (melewati gelas obyek) dan besar biasanya tidak
dibuat sediaan permanen dengan pewarnaan, cacing diperiksa langsung menggunakan
mikroskop sterio, tetapi sebelumnya ditetesi Laktofenol (karena dapat menjernihkan cacing
sehingga nampak organ-organ dalamnya secara lebih jelas). Cacing yang ukurannya lebih
kecil biasanya dibuat sediaan permanen dengan pewarnaan
Setelah difiksasi, kemudian dilanjutkan pembuatan sediaan permanen dengan
pewarnaan, warna yang tersedia di laboratorium antara lain : (1) Aceto – Carmin dan (2)
Trichome, dengan tahapan kerja sebagai berikut :
1. Pewarnaan dengan Aceto – Carmin.
Bahan dan alat, selain cacing bahan yang dipergunakan adalah : asam cuka glasial,
zat warna aceto-carmin, larutan asam-alkohol, alkohol (70%, 80% dan 95%), larutan litium
10
carbonat jenuh, minyak kayu putih, entelan dan tisu sedangkan alat yang dipergunakan
antara lain : gelas obyek, gelas penutup, dan mikroskop.
1. Fiksasi dilakukan dengan cara menjepit cacing menggunakan 2 gelas obyek,
kemudian diikat dengan gelang karet yang bertujuan agar morfologi cacing tetap
2. Rendam dalam larutan asam cuka glasial untuk membuat cacing menjadi transparan
3. Pewarnaan cacing menggunakan Aceto-Carmin, untuk mendapatkan hasil yang baik
umumnya pewarnaan dilakukan berlebihan (overstaining) biasanya direndam selama
24 jam dan jika terjadi kelebihan pewarnaan untuk menguranginya dilakukan
destaining dengan larutan Asam – Alkohol sampai terlihat permukaan cacing bersih
tetapi organ dalam tetap terwarnai
4. Bilas dengan alkohol 70%
5. Netralkan sisa asam dengan cara merendam didalam larutan Litium Carbonat jenuh
selama 30 - 60 menit
6. Sediaan didehidrasi secara bertingkat dengan alkohol (70%, 80% dan 95%) masingmasing selama 15 – 30 menit
7. Jernihkan sediaan dengan menetaskan minyak kayu putih secukupnya , ditunggu
selama 30 menit
8. Keringkan dengan tisu, kemudian tetesi entelan dan akhirnya tutup dengan gelas
penutup
9. Setelah kering, periksa dengan mikroskop untuk identifikasi.
2. Pewarnaan dengan Trichrome
Bahan dan alat, selain cacing bahan yang dipergunakan antara lain : alkohol-gliserin
5% atau asam cuka glasial, akuades, iodium tingtur, alkohol (70%, 95%), zat warna
trichrome, alkohol-asam, minyak kayu putih, entelan dan tisu, sedangkan alat yang
dipergunakan : gelas obyek, gelas penutup, dan mikroskop.
1. Cacing yang telah difiksasi dengan larutan fiksatif (Alkohol – Glyserin 5% atau Asam
Cuka Glasial), cuci dengan akuades
2. Rendam dengan larutan Iodium tingtur selama 1 menit.
3. Cuci 2 kali dengan alkohol 70% masing-masing selama 1 menit
11
4. Warnai dengan zat warna Trichrome paling cepat selama 10 menit (tergantung besar
cacing)
5. Destaining (celup) dalam larutan alkohol – asam selama 5 – 10 detik
6. Rendam dengan larutan alkohol 95% 2 kali, masing-masing selama 5 menit
7. Jernihkan dengan minyak kayu putih, dengan cara ditetesi secukupnya dan diamkan
selama 15 – 30 menit
8. Keringkan dengan tisu, tetesi entelan dan akhirnya tutup dengan gelas penutup.
9. Setelah kering diperiksa dengan mikroskop untuk identifikasi.
Diagnosa infeksi cacing, selain dengan pemeriksaan tinja dan cacing, juga ada
beberapa spesies parasit cacing (seperti larva cacing Trichinella spiralis) predileksinya
didalam jaringan (organ), sehingga untuk mendiagnosanya dilakukan dengan metode
digesti.
Contoh cacing yang telah dibuat preparat permanen :
Toxocara canis dan Toxocara cati
Fasciolopsis buski
12caninum
Ancylostoma
Fasciola hepatika
PENYAKIT PARASIT PADA RUMINANSIA
1. Fasciolosis
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica dan
Fasciola hepatica. Pada umumnya yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Fasciola
gigantica. Fasciolosis pada kerbau dan sapi biasanya bersifat kronik, sedangkan pada
domba dan kambing dapat bersifat akut. Kerugian akibat fasciolosis ditaksir 20 Milyard
rupiah / tahun yang berupa : penurunan berat badan serta tertahannya pertumbuhan badan,
hati yang terbuang dan kematian. Disamping itu kerugian berupa penurunan tenaga kerja
dan daya tahan tubuh ternak terhadap penyakit lain yang tidak terhitung.
Predeleksi
Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan
jaringan hati dan darah.
Siklus Hidup
Telur fasciola masuk ke dalam duodenum bersama empedu dan keluar bersama tinja
hospes definitif. Di luar tubuh ternak telur berkembang menjadi mirasidium. Mirasidium
kemudian masuk ke tubuh siput muda, yang biasanya genus Lymnaea rubiginosa. Di
dalam tubuh siput mirasidium berkembang menjadi sporokista, rediadan serkaria.
Serkaria akan keluar dari tubuh siput dan bisa berenang. Pada tempat yang
cocok,
serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Ternak akan
terinfeksi apabila minum air atau makan tanaman yang mengandung kista
13
.
Gambar 1. Siklus Hidup Fasciola sp.
Ternak Rentan
Ternak yang rentan terhadap Fasciolosis adalah sapi, kerbau, kambing dan
ruminansia lain. Ternak berumur muda lebih rentan daripada ternak dewasa.
Manifesasi penyakit bisa dibagi menjadi bentuk akut dan kronis.
Fascioliasis akut, bisa terjadi pada domba apabila domba menelan dalam jumlah banyak
metaserkaria dalam waktu singkat. Jumlah fasciola muda menyerbu hati dan menyebabkan
kapsul hati pecah, maka terjadilah perdarahan ke dalam peritonium. Domba bisa mati dalam
beberapa hari. Dalam otopsi akan ditemukan hati yang membesar, pucat, rapuh dan terlihat
jalur-jalur perdarahan pada permukaan hati.
Fascioliasis khronis adalah bentuk umum yang terjadi pada hospes. Hal ini mungkin
karena ternak terinfeksi secara bertahap, sehingga kerusakan hatipun terjadi secara bertahap.
Fascioliasis khronis terjadi dua bentuk, yaitu fibrosis hati dan kholangitis. Waktu Fasciola
muda migrasi dalam hati, maka terjadi kerusakan parenkhim, perdarahan dan nekrosa.
14
Perjalan cacing juga menimbulkan trombus vena hepatica dan sinusoid hati, dan gangguan
aliran darah oleh tombus ini menimbulkan nekrosis dan iskhaemia dalam parenkhima hati.
Dalam proses penyembuhan jaringan parenkhim diganti dengan serabut kolagen, maka
terjadilan fibrosis. Apabila terjadi banyak lobus hati maka hati menjadi bentuk tidak teratur
dan mengeras (sirosis hati/sirosis hepatis).
Kehadiran cacing hati pada saluran empedu menyebabkan kholangitis. Epitel saluran
empedu mengalami hiperplasia. Sisik cacing dan batil isapnya merusak epitel saluran
empedu, maka reaksi radang menyebabkan terjadi fibrosis pada lamina propria dan jaringan
sekitarnya. Gerakan atau migrasi cacing dalam saluran empedu makin memperluas
kerusakan . telur cacing dalam saluran empedu juga mengundang reaksi radang. Cacing
juga menghisap darah yaitu sekitar 0,2 ml tiap hari tiap cacing, sehingga terjadi
hypoalbuminaemia dan hypoproteinaemia selama infeksi berlangsung.
Gejala klinis : pada kasus akut terjadi kematian mendadak pada domba, dengan darah
keluar dari hidung dan anus. Pada kasus khronis pada sapi terjadi gangguan pencernaan
berupa konstipasi dengan tinja yang kering. Dalam keadaan berat sering terjadi mencret.
Gejala lain kepucatan, lemah dan kurus. Gejala anemia dan hypoproteinemia disertai
kondisi hewan menurun serta terjadi oedema subkutaneus khususnya pada intermandibula.
Pada
Domba
dan
kambing,
infeksi
bersifat
akut,
menyebabkan
kematian
mendadak dengan darah keluar dari hidung dan anus seperti pada penyakit anthrax. Pada
infeksi yang bersifat kronis, gejala yang terlihat antara lain ternak malas, tidak gesit,
napsu makan menurun, selaput lendir pucat, terjadi busung (edema) di antara rahang
bawah yang disebut “bottle jaw”, bulu kering dan rontok, perut membesar dan terasa
sakit serta ternak kurus dan lemah.
Kelainan Pasca Mati
Pada kasus akut akan ditemukan pembendungan dan pembengkakan pada hati,
terdapat ptechie pada permukaan maupun sayatan hati, kantong empedu dan usus
mengandung darah. Pada kasus kronis, terlihat saluran empedu menebal dindingnya,
mengandung parasit dan seringkali batu, disamping itu ditemukan pula anemia, kekurusan
dan hati mengeras (sirosis hati).
15
Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, identifikasi telur cacing di bawah
mikroskopdan pemeriksaan pasca mati dari ternak yang mati.
Pencegahan
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan, antara lain memberantas siput secara
biologik, misalnya dengan pemeliharaan itik/bebek, ternak jangan digembalakan di dekat
selokan (genangan air) dan rumput jangan diambil dari daerah sekitar selokan.
Pengobatan
Pengobatan secara efektif dapat dilakukan dengan pemberian per oral Valbazen
yang mengandung albendazole, dosis pemberian sebesar 10 - 20 mg/kg berat badan,
namun perlu perhatian bahwa obat ini dilarang digunakan pada 1/3 pertama kebuntingan,
karena menyebabkan abortus. Fenbendazole 10 mg/kg berat badanatau lebih aman pada
ternak bunting. Pengobatan dengan Dovenix yang berisi zat aktif Nitroxinil dirasakan
cukup efektif juga untuk trematoda. Dosis pemberian Dovenix adalah 0,4 ml/kg berat
badan dan diberikan secara subkutan.Pengobatan dilakukan tiga kali setahun.
2. Paramphistomiasis
Paramphistomiasis merupakan penyakit trematoda yang dapat menyerang sapi, kambing,
domba dan ruminansia lain. Prevalensi yang tinggi dijumpai pada daerah yang irigasinya
baik. Epidemiologi dari parasit cacing ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan
terutama kelembaban yang cukup dan suhu yang memadai (26- 270C), keadaan tersebut
diperlukan untuk perkembangan fase mirasidium sampai metaserkaria dan juga kehidupan
siput sebagai hospes intermidier.
Etiologi : Paramphistomum cervi
Habitat : cacing dewasa predeleksinya pada rumen dan retikulum sapi, kambing,domba
dan ruminansia lain. Sedangkan cacing muda predeleksinya pada usus halus.
16
SIKLUS HIDUP
Telur cacing keluar saat defikasi yang telah mengalami perkembangan awal dan pada
kondisi yang menunjang (air tergenang dan suhu 270 C) setelah lebih kurang 12 hari melalui
operculum akan keluar larva yang disebut mirasidium. Mirasidium selanjutnya akan
berenang di air dan secara aktif akan mencari hospes intermidier berupa siput dari genus
( Planorbis, Bulinus, Fossaria sp., Gliptanisus dan Fysmanisus ) setelah masuk dalam
tubuh siput mirasidium akan berubah menjadi sporokista. Dalam waktu 11 hari sporokista
akan berkembang dan didalamnya mengandung maksimal 8-9 redia. Pada hari ke- 21
sporokista akan pecah dan menghasilkan redia dengan ukuran panjang 0,5 – 1 mm. Di
dalam tubuh redia ditemukan 15-30 cercaria. Serkaria akan keluar dari dalam tubuh siput
terutama pada saat kena sinar matahari. Serkaria yang bebas memiliki ekor sederhana dan
sepasang titik mata, berenang dalam air beberapa jam, kemudian akhirnya akan mengkista
disebut metaserkaria didalam tumbuhan air yang dapat tahan pengaruh luar sampai 3 bulan.
Infeksi terjadi karena tertelannya rumput yang mengandung metaserkaria, setelah sampai
didalam usus kista akan pecah dan terbebaslah cacing muda. Cacing muda akan menembus
masuk kedalam mukosa usus halus, kemudian setelah 6-8 minggu cacing muda akan
bermigrasi keatas menuju rumen dan retikulum dan akhirnya berkembang menjadi cacing
dewasa.
Pathogenesa : infeksi pada induk semang terjadi akibat memakan tanaman atau rumput
yang tercemar metacercaria. Setelah tertelan didalam usus halus menjadi cacing muda.
Cacing muda ini akan menembus masuk ke dalam mukosa usus halus , kemudia keluar
kepermukaan dan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum kira-kira satu bulan setelah
infeksi.
Cacing muda yang menembus masuk kedalam sub mukosa akan menyebabkan keradangan
usus, nekrose dari sel, dan erosi vili-vili dari mukosa. Sedangkan cacing dewasa dalam
rumen dan retikulum menghisap bagian permukan mukosa menyebabkan kepucatan pada
mukosa, serta papilla rumen banyak mengalami degenerasi. Adanya cacing muda dalam
jumlah banyak dalam usus halus dapat menyebabkan kematian pada sapi. Mukosa rumen
yang terinfeksi parasit ini terlihat anemi dan nekrose, sehingga perubahan tersebut akan
17
mengakibatkan gangguan kerja rumen, sehingga makanan tidak dapat dicerna dengan
sempurna.
Gejala klinis : gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi cacing muda dalam jumlah
besar pada usus halus adalah diarhe profus, kekurusan dan anemi. Gejala klini baru timbul
bila jumlah cacing muda diatas 30 000 ekor. Gejala lain berupa kekurusan, kondisi tubuh
menurun , hypoproteinaemia dan odema.
Adanya cacing dewasa dalam rumen dan retikulum akan menyebabkan terganggunya sistem
pencernaan.
Diagnose : diagnose dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis seperti diarhe profus dan
klinis lain. Secara mikroskopis dengan menemukan telur cacing pada pemeriksaan feses.
Secara post mortem dengan menemukan cacing pada rumen dan retikulum.
Pengobatan : niclosamide : 90 mg/kg bb; Bithionol : 40 mg/kg bb
Pencegahan : pengendalian siput pada habitatnya dan menghindarkan mengembalakan
ternak pada daerah tergenang air.
3. Haemonchosis
Haemonchosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing
haemonchus yang paling sering menyerang ruminansia, terutama sapi, domba dan
kambing. Kepalanya berdiameter kurang dari 50 mikron, dengan kapsula bukal yang kecil
berisi gigi yang ramping atau lanset di dasarnya, dan tiga bibir yang tidak menarik
perhatian. Terdapat papilla servikal yang jelas menyerupai bentuk duri. Spikulum relatif
pendek dan terdapat sebuah gubernakulum. Vulva terdapat di bagian posterior tubuh dan
sering ditutupi oleh cuping. Ada beberapa species haemonchus yang bisa menyerang sapi
yaitu Haemonchus placei, Haemonchus similis, Haemoncus contortus. Penyakit yang
disebabkan oleh cacing Haemonchus contortus disebut Haemonchosis. Panjang cacing
Haemonchus contortus betina antara 18 – 30 mm dan jantan sekitar 10 – 20 mm. Pada
cacing betina secara makroskopis usus yang berwarna merah berisi darah saling melilit
dengan uterus yang berwarna putih.
Cacing dewasa berlokasi di abomasum domba dan
kambing.
18
Siklus Hidup
Siklus hidup Haemonchus contortus dan Nematoda lain pada ruminansia bersifat
langsung, tidak membutuhkan hospes intermediet. Cacing dewasa hidup di abomasum,
memproduksi telur. Telur dikeluarkan oleh ternak bersama-sama pengeluaran feses. Di
luar tubuh hospes, pada kondisi yang sesuai, telur menetas dan menjadi larva. Larva
stadium L1 berkembang menjadi L2 dan selanjutnya
menjadi L3 , yang merupakan
stadium infektif. Larva infektif menempel pada rumput-rumputan dan teringesti oleh
domba. Selanjutnya larva akan dewasa di abomasum.
Gambar. Siklus hidup Haemonchus spp.
Patogenesa
Haemonchus adalah cacing penghisap darah yang rakus, setiap ekor per hari
menghabiskan 0,049 ml darah, sehingga menyebabkan anemia. Anemia berlangsung
melalui 3 tahap, yaitu tahap I, 3 minggu setelah infeksi ternak akan kehilangan darah
dalam jumlah besar, hal ini merupakan tahap akut, tahap II, antara 3 – 8 minggu setelah
infeksi, kehilangan darah dan zat besi ternak berlangsung terus tetapi masih diimbangi
19
oleh kegiatan eritropoetik, dan tahap III, terjadi kelelahan sitem eritropoetik yang
disebabkan oleh kekurangan besi dan protein, dan hal ini merupakan tahap kronis.
Gejala Klinis
Anemia merupakan gejala utama dari infeksi Haemonchus bersamaan dengan
kehilangan darah dan kerusakan usus. Terlihat busung di bawah rahang , diare, tapi
kadang-kadang kambing sudah mati sebelum diare muncul. Gejala lain yang menonjol,
yaitu : penurunan berat badan, pertumbuhan yang jelek dan penurunan produksi susu.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, identifikasi telur-telur cacing di bawah
mikroskop, serta bedah bangkai pada ternak yang mati juga akan membantu penetapan
diagnosis.
Pencegahan
Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah jangan menggembalakan ternak
terlalu pagi, pemotongan rumput sebaiknya dilakukan siang hari, pengobatan secara
teratur dan mengurangi pencemaran tinja terhadap pakan dan air minum.
Pengobatan
Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole, antara lain
albendazole dengan dosis 5 – 10 mg/kg berat badan, mebendazole dengan dosis 13,5
mg/kg berat badan
dan thiabendazole dengan dosis 44 – 46 mg/kg berat badan.
Albendazole dilarang dipakai pada 1/3 kebuntingan awal. Mebendazole dan
thiabendazole aman untuk ternak bunting, tetapi thiabendazole sering menyebabkan
resistensi.
4. Toxocara vitulorum (Neoascaris vitulorum)
Cacing Toxocara vitulorum termasuk klas Nematoda yang memiliki kemampuan
lintas hati, paru-paru dan plasenta. Ukuran panjang cacing betina adalah sebesar 30 cm
dan lebar 25 cm, warna kekuning-kuningan dengan telur agak bulat dab memiliki dinding
yang tebal. Habitat cacing adalah pada sapi dan kerbau serta berlokasi di usus kecil.
Siklus Hidup
Telur dalam tinja tertelan oleh sapi atau kerbau dan menetas di usus halus menjadi
20
laeva. Larva kemudian bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung, ginjal dan bisa ke
plasentadan masuk ke cairan amnion serta masuk ke dalam kelenjar mammae dan keluar
bersama kolustrum.
Cara Penularan
Terdapat tiga cara penularan cacing Toxocara vitulorum, antara lain makan telur,
tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta pada saat fetus dan lewat kolustrum pada waktu
menyusu induknya.
Gejala Klinis
Pada anak sapi atau kerbau terjadi diare dan ternak menjadi kurus. Pernah
dilaporkan juga bisa menyebabkan kematian. Anak sapi yang tetap hidup akan
mengalami gangguan pertumbuhan.
Diagnosis
Pemeriksaan telur cacing dalam tinja merupakan cara diagnosis adanya cacing ini.
Pengobatan dan pencegahan
Upata pengobatan cacing ini adalah dengan pemberian piperazin. Pengobatan
secara teratur pada anak sapi dan menjaga kebersihan kandang merupakan tindakan
pencegahan yang diharuskan.
5. Oesophagostomum sp.(cacing bungkul)
Cacing bungkul dewasa hidup di dalam usus besar. Disebut cacing bungkul
karena bentuk larva cacing ini dapat menyebabkan bungkul-bungkul di sepanjang usus
besar.
Ukuran rata-rata cacing bungkul dewasa betina antara 13,8 – 19,8 mm dan Jantan
antara 11,2 – 14 5 mm.
Gejala klinis yang ditemukan antara lain kambing kurus, napsu makan hilang,
pucat, anemia dan kembung. Tinja berwarna hitam, lunak bercampur lendir atau darah
segar.
6. Bunostomum sp (cacing kait)
Lokasi hidup cacing kait adalah di dalam usus halus kambing dan domba. Panjang
21
caing jantan kira-kira 12 – 17 mm dan betina kira-kira 19 – 26 mm. Dikenal dengan
cacing kait karena pada bagian ujung depan (kepala) cacing membengkok ke atas
sehingga berbentuk seperti kait.
Gejala klinis yang bisa diamati antara lain ternak mengalami anemia, terlihat
kurus, kulit kasar, bulu kusam, napsu makan turun, tubuh lemah. Tinja lunak dengan
warna coklat tua. Perlu diketahui bahwa cacing Bunostomum sp
menempel kuat pada
dinding usus. Cacing memakan jaringan tubuh dan darah, sehingga walaupun jumlah
cacing hanya sedikit, namun ternak cepat menunjukkan gejala klinis yang nyata.
7. Trichostrongylus sp (cacing rambut)
Cacing kelompok ini ukurannya sangat kecil dan hidup di dalam usus halur
kambing dan domba. Dinamakan caing rambut karena tebalnya kurang lebih sama
dengan rambut, sedangkan panjangnya kurang dari 10 mm.
Telur cacing yang keluar bersama tinja akan berkembang menjadi larva apabila
susana di luar, seperti kelembaban, suhu, oksigen cukup menguntungkan bagi
kehidupannya, misalnya adanya tumpukan feses. Pada keadaan tersebut larva akan
berkembang menjadi larva infektif. Di tempat penggembalaan larva dapat hidup sampai
6 bulan.
Kepekaan ternak terhadap serangan cacing ini tergantung beberapa faktor, antara
lain umur, kualitas pakan, genetik dan pengaruh luar, misalnya pemberian obat-obatan.
Kambing muda dan kualitas pakan yang jelek akan lebih peka terhadap serangan cacing.
Gejala klinis yang bisa diamati adalah
ternak muda terlihat pertumbuhan
terhambat, mencret dengan warna tinja hijau kehitaman, kurus dan diakhiri kematian.
Ternak bisa tertular cacing ini dengan cara menelan telur berembrio yang terdapat
di rumput-rumputan atau dengan cara menelan larva infektif atau larva menembus kulit.
Pencegahan
Tindakan pencegahan terhadap penyakit nematodosis, antara lain
berupa
pemberian pakan kualitas tinggi dengan kuantitas yang cukup, menghindarkan
berjubelnya ternak dalam satu petak penggembalaan, memisahkan ternak berdasarkan
umur, menghindarkan ternak dari tempat-tempat becek, selalu memelihara kebersihan
kandang dan lingkungan peternakan dan melakukan pemeriksaan feses dan pengobatan
22
terhadap cacing secara teratur.
8. THELAZIASIS
Thelaziasis merupakan Suatu Penyakit cacing mata yang disebabkan oleh Thelazia
sp. dan dapat menyerang berbagai jenis ternak. Thelazia sp. yang banyak menyerang ternak
sapi adalah Thelazia rhodisii, T. glukosa dan T. Skrijabini (Soulsby, 1982).
Thelazia merupakan cacing berwarna yang berwarna putih yang jantan memiliki 14 pasang
papillae prekloaka dan 3 pasang papillae kloaka. Panjang tubuh yang jantan 7-13 mm, yang
betina adalah 12-18 mm.
Sikus hidup
Siklus hidup Thelazia sp. adalah tidak langsung yaitu memerlukan induk semang
antara lalat Musca larvipara dan Musca confexifronts. Lalat ini tercemar oleh larva saat
menghisap air mata sapi penderita. Larva ini kemudian masuk ke dalam perut lalat, disini
larva berkembang menjadi larva II dengan [anjang badan 3,6-4 mm. Selanjutnya
berkembang menjadi larva III yang merupakan larva infektif dengan panjang badan 5,06 –
7,9 mm. Perkembangan dalam tubuh lalat memerlukan waktu 15 – 20 hari. Larva III
selanjutnya meninggalkan folikel ovarium menuju bagian mulut lalat dan akhirnya pindah
kepada induk semang definitif ( sapi ) dan cacing dewasa akan timbul dalam waktu 20-25
hari.
Cacing Thelazia sp
23
Phatogenesa
Terjadi infeksi cacing mata Thelazia sp. dapat terjadi pada salah satu mata atau kedua mata.
Pada hari ke-3 atau ke-4 setelah infeksi oleh larva cacing dapat terjadi konjungtivitis ringan
disertai lacrimasi. Pada perkembangan selanjutnya dapat mengakibatkan kongesti
konjungtiva dan photobia. Bila keadaan ini dibiarkan dapat kekeruhan kornea, konjungtiva
membengkak karena adanya penyumbatan duktus lakrimalis oleh nanah.
Pathologi Anatomi
Apabila serangan cacing mata tidak segera mendapatkan pengobatan maka akan
terjadi peradangan yang meluas pada konjungtiva dan menyebabkan keratitis, ulserasi
kornea yang dapat melanjut mewnjadi kerusakan lensa dan iris mata. Pada serangan yang
cukup parah kornea akan mengalami fibrosis yang bersifat permanan.
Epidemiologi
Kejadian thealaziasis di indonesia pada ternak sapi sudah banyak dilaporkan, bahkan
masalah yang timbul akibat infeksi parasit ini pernah dilaporkan di kupang NTT, Bali dan
Timor Timur. Penularan penyakit ini tergantung oleh induk semang antara dari lalat yaitu
Musca larvipara dan Musca convexifronts. Pada saat terjadi peningkatan kasus Thealaziasis
pada ternak.
Gejala Klinis dan Diagnosa
Gejala Klinis terlihat adanya lakrimasi, kemerahan dan pembengkakan konjungtiva,
photophobia dan beberapa kasus terjadi keratitis dan keadaan melanjut dapat terjadi
kebutaan.
Diagnosa didasarkan atas ditemukan cacing Thelazia sp. pada kantung konjungtiva
dengan jalan membuka kedua kelopak mata.
Pengobatan dan pengendalian
Pengobatan serangan cacing mata Thelazia sp. pada sapi, ada beberapa obat yang
disarankan, antara lain :
(1) Piperazin 3% diteteskan pada mata yang terinfeksi.
24
(2) Larutan Boric acid 3% diteteskan pada mata.
(3) Tetramizole 15 mg/kg bb.
Pencegahan dilakukan penyemprotan secara teratur untuk membasmi vektor penyebab
penyakit ini.
9. Cestodosis
Cacing Moniezea merupakan cacing Cestoda yang sering menyerang kambing.
Cacing ini memiliki panjang tubuh bisa mencapai 600 cm dan lebar 1 – 6 cm. Bentuk
cacing pipih, bersegmen dan berwarna putih kekuningan. Cacing ini jarang menimbulkan
masalah, kecuali jika menyerang anak kambing yang sangat muda dan dalam jumlah
yang besar. Tungau digunakan sebagai inang antara bagi cacing.
Skolec
Proglotida
Siklus Hidup
Cacing pita dewasa hidup dalam usus kambing dan domba akan melepaskan
segmen yang masak bersama tinja, segmen tersebut pecah dan melepaskan telur . Telurtelur cacing dimakan oleh tungau tanah yang hidup pada akar tumbuhan. Telur-telur
dalam tubuh tungau menetas menjadi larva. Kambing/domba memakan tungau bersamasama akar tanaman, seingga larva akan tertelan dan tumbuh menjadi dewasa di usus.
Gejala Klinis
Gejala yang terlihat pada kambing penderita, antara lain
badan kurus, bulu
kusam, selaput mata terlihat pucat, anemis, terdapat gejala edema dan mencret. Biasanya
potongan segmen yang matang keluar bersama tinja atau kadang menggantung di anus.
25
Diagnosis
Terlihatnya segmen yang menggantung di anus atau adanya potongan segmen
cacing bersama tinja dan disertai dengan gejala klinis cukup memberikan petunjuk
adanya infeksi cacaing Moniezea pada kambing. Apabila potongan cacing tidak
ditemukan, maka diagnosis didasarkan dengan pemeriksaan telur cacing di bawah
mikroskop.
Pencegahan
Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap cacing Moniezea, selain
tindakan pengobatan pada ternak yang sakit, juga harus dilaksanakan pemberantasan
terhadap insekta (serangga) yang dapat digunakan sebagai inang antara.
Pengobatan
Bisa diberikan preparat obat, antara lain : albendazole, oxfendazole 5 mg/kg berat
badan, cambendazole 20 – 25 mg/kg berat badan, fenbendazole 5 – 10 mg/kg berat badan
atau mebendazole 13,5 mg/kg berat badan
PENYAKIT CACING PADA BABI
1. Ascariasis
Ascariasis pada babi disebakan oleh Ascaris suum. Parasit tersebut
mempunyai 3 buah bibir dilengkapi dengan papilla sederetan gigi tetapi tidak
memiliki alae vertical. Ascaris suum berhabitat pada usus halus babi. Panjang
cacing jantan 15-25 cm dan cacing betina 41 cm.
Gambar 1. Ascaris suum
26
• Cara Penularan dan siklus hidup
Penyakit ascariasis pada babi dapat ditularkan secara :
a) Per oral
Penularan dapat terjadi secara peroral akibat makanan atau minuman yang tercemar telur
infektif. Telur infektif yang mengandung larva stadium 2 dapat menginfeksi secara
langsung dan di dalam usus hewan dan segera menetas, kelurlah larva stadium ke -2 yang
selanjutnya bermigrasi ke dalam hati dalam waktu 2 hari. Setelah bertumbuh sebagai larva
stadium ke-3 (infektif) larva tersebut akan bermigrasi ke paru-paru. Seluruh perjalanan
migrasi tersebut memerlukan waktu 3 – 6 hari pasca infeksi. Di paru-paru larva menuju ke
alveoli, bronchioli dan bronchi, selanjutnya ke batang tenggorok (trachea). Sesampai di
dalam pangkal tenggorok, larva akan pindah ke pangkal tekak (pharing), yamg selanjutnya
menuju ke ke kerongkongan, lambung dan akhirnya sampai di usus. Sesampai di usus larva
berubah menjadi cacing dewasa.
b) Pre natal
Penularan melalui plasenta. Larva infektif akan menembus plasenta dan selanjutnya
mencapai janin. Pada saat dilahirkan anak babi telah terinfeksi oleh larva stadium ke-3 di
dalam paru-parunya. Dalam waktu 1 minggu larva berkembang menjadi stadium ke 4.
Dalam waktu 2-3 minggu larva stadium ke-4 berkembang menjadi stadium ke-5 atau cacing
muda dan bermukim di usus halus.
c) Puting susu yg terkontaminasi telur infektif
Didalam kelenjar susu, larva cacing akan bersifat dorman (tidak berkembang lebih lanjut
atau mengalami fase istirahat ) dan baru akan berkembang didalam tubuh keturunannya
(anak) bila mana sudah lahir dan penularannya melalui air susu.
27
Gejala Klinis.
Gejala klinis yang muncul tergantung dari beberapa faktor :
1. jumlah telur infektif yang menginfeksi.
2. Durasi/lamanya infeksi.
3. Kerusakan /gangguan yang ditimbulkan larva/cacing pada organ tertentu.
4. Respon imun dari host.
Gejala klinis yang timbul dapat berupa kekurusan, anemi, diarhe, pertumbuhan terhambat,
ikterus, kolik, dehidrasi dan nafsu makan menurun. Larva stadium 2 didalam paru-paru
menimbulkan fibrosis, bronchitis dan pneumonia yang dapat menimbulkan gejala batuk dan
dispnu. Anemia terjadi disebabkan adanya enteritis yang menyebabkan terjadinya diarhe
sehingga penyerapan zat-zat makanan menjadi kurang efesien. Luka-luka pada hati dan
pembuluh alveoli dan bronchioli serta kompitisi zat-zat makanan dengan cacing Ascaris sp.
dapat memperbesar dampak yang timbul.
Patologi Anatomi
Pada hati :
Pada hati terlihat bercak-bercak putih yang sering disebut Milk Spot Liver.
Pada paru-paru
Terjadi perdarahan kecil di alveoli dan bronkhioli dan pada infeksi berat
menimbulkan penyumbatan bronchioli
28
Pada usus halus
Di usus halus cacing dewasa memakan isi usus dan merusak mukosa usus.
Infeksi yang berat menimbulkan obstruksi lumen usus dan dindingnya tebal.
Gambar 2. Milk Spot Liver
Diagnosa
Diagnosa
ditegakkan
berdasarkan
gejala
klinis
dan
pemeriksaan
mikroskopis melalui pemeriksaan feses untuk menemukan telur cacing ini dalam tinja
penderita. Selain itu dilakukan bedah pasca mati dimana dilakukan pemeriksaan isi usus
halus untuk menemukan cacing ascaris suum dan adanya perubahan patologis pada organorgan predeleksi.
Penanganan penyakit
a) Pencegahan
Tindakan pencegahan penyakit ascariasis pada babi dapat dilakukan dengan :
1) Menjaga kebersihan kandang induk menyusui , bersihkan kandang dengan
desinfektif, feses harus segera dibersihkan sehingga telur tidak berkembang atau
mencemari kandang.
2) Memandikan induk babi sebelum partus
29
3) Pemberian anthelmintik pada hewan sakit, terutama sebelum dikawinkan dan
pertengahan kebuntingan untuk menghindari infeksi secara prenatal dan laktogenik
. dilakukan pengobatan 3 minggu sebelum melahirkan.
4) Perbaikan manajemen peternakan
b) Pengobatan
Pengobatan hewan yang sakit dengan pemberian anthelmintik yaitu :
1. Piperazin : 120 mg/kg BB po ⇨ drug of choice
2. Phenotiazin : 400 mg/kg BB po
3. Thiabendazole : 0.1 – 0,4 % jumlah pakan
4. Avermectin : 1 ml/50 kg BB, im / sc
2. METASTRONGYLOSIS
Merupakan penyakit perasit pada ternak babi, disebabkan oleh cacing Metatrongylus sp.
berpredeleksi di dalam alveoli paru-paru. Babi dapat tertular oleh larva infektif, ditandai
oleh gejala bronchitis dan pneumonia. Metastrongylus disebabkan oleh cacing
Metastrongylus (apri, salmi dan pudendotectus), di Indonesia disebabkan oleh M. apri.
Cacing Metastrongylus sp. umumnya menyerang babi, juga pernah dilaporkan menyerang
rusa, domba, ternak lain dan manusia
Cara Penularan
Cacing Metastrongylus sp.dewasa akan bertelur, telurnya berada di dalam sputum dan
karena proses batuk maka telur akan tertelan dan keluar bersama tinja. Pada lingkungan
yang mendukung telur akan berkembang menjadi larva stad.3 yang bersifat infektif, atau
setelah keluar bersama tinja telur cacing akan termakan oleh cacing tanah yang selanjutnya
berkembang menjadi larva infektif. Penularan terjadi apabila babi memakan cacing tanah
yang mengandung larva std. 3, atau apabila cacing tanah mati maka larva stadium 3
terbebas dan mencemari makanan atau minuman dan merupakan sumber pencemaran.
30
Patogenesa dan Gejala klinis
Cacing dewasa yang hidup pada paru-paru akan menimbulkan kerusakan alveoli sehingga
dapat terjadi bronchitis dan pnemonia sehingga gajal klinis yang tampak berupa batuk
batuk, sesak nafas dan pertumbuhan terhambat terutama pada babi muda. Kematian
biasanya terjadi akibat infeksi sekender atau tersumbatnya alveoli dan saluran saluran udara
oleh cacing dewasa.
Diagnosa dan Pengobatan
Berdasarkan gejala klinis dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium yaitu menemukan
telur cacing. Pengobatan dengan methyridine SC dengan dosis 44 mg/kg bb.
3. STRONGYLOIDIASIS
Penyakit cacing ini dapat menyerang ternak sapi, kuda, babi dan anjing. Parasit ini pada
ternak babi yang disebabkan oleh Strongyloides ransomi dengan predeleksinya pada usus
halus. Penyebaran penyakit ini hampir diseluruh dunia terutama pada daerah beriklim tropis
penyakit ini lebih sering terjadi.
Strongyloides yang hidup sebagai parasit dimana pada cacing betina terdapat di dalam
mukosa duodenum dan bagian proksimal jejunum. Jarang ditemukan pada bagian distal
pylorus, ductus biliaris communis, kandung empadu dan paru-paru. Sedangkan pada cacing
jantan tidak pernah ditemukan, hal ini disebabkan setelah masa perkawinan cacing jantan
menetap pada dinding trachea. Sedangkan untuk yang hidup di tanah, cacing jantan masih
31
bisa ditemukan. Pembuahan cacing betina oleh cacing jantan terjadi di dalam bronchus atau
trachea, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa strongyloides betina bersifat
parthenogenesis, yaitu reproduksi dengan cara perkembangan telur yang tidak dibuahi.
Cacing betina yang telah dibuahi menembus mukosa usus, menempati kelenjar lieberkuhn.
Di dalam kelenjar, cacing bertelur diikuti menetasnya telur dan keluarnya larva rhabditiform
yang akan mengadakan penetrasi dan masuk kedalam lumen usus untuk keluar bersama tinja
Penularan
Penularan penyakit ini pada ternak dapat melalui beberapa cara :
1. larva infektif menembus kulit
2. colustrum / air susu
3. larva infektif mencemari makanan (oral)
4. autoinfeksi (pada anjing dan manusia)
Patogenesa dan gejala klinis
Infeksi Strongyloides umumnya moderat sampai asymtomatik . cacing dewasa hidup dan
menancap dalam pada membran
mukosa usus halus sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada usus halus .
Tempat predeksi cacing ini adalah pada usus halus, cacing tersebut terutama cacing
betina akan menyebabkan iritasi serta peradangan pada mukosa usus halus. Sel-sel epithel
banyak yang pecah, kerusakan epithel tersebut akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas mukosa usus halus sehingga menyebabkan keluarnya protein plasma dari
sistem sirkulasi ke lumen usus.
Penularan transmammary paling umum terjadi sehingga pada anak babi yang
terinfeksi 2-4 hari setelah lahir. Penularan S. ransomi terjadi melalui larva infektif
menembus kulit atau tertelan, tetapi penularan terpenting adalah penularan dari induk ke
anak melalui colostrum yang mengandung larva infektif. Gejala klinis yang tampak diare
berdarah (disentri), anemia, kekurusan, gangguan respirasi dan pertumbuhan berhenti.
Pada babi dewasa betina bila terinfeksi larva infektif melalui kulit/oral maka larva cacing
mengalami migrasi trachea dan dewasa setelah 6 hari atau migrasi somatik dan larva
terakumulasi/berkumpul pada jaringan lemak didaerah mammae. Apabila terjadi
32
rangsangan pada daerah ambing, maka Larva cacing pada jaringan lemak ini akan
dikeluarkan melalui colustrum dan susu dan menularkan pada anak babi. Strongyloidosis
pada anak babi dapat bersifat akut terjadi enteritis dengan diarhe berdarah sehingga dapat
terjadi kematian anak babi sebelum sapih. Selama masa migrasi gejala klinis yang nampak
pada anak babi biasanya batuk-batuk, sakit pada bagian perut dan kematian secara tiba-tiba.
Pada anak babi yang menderita penyakit ini secara tajam terjadi penurunan berat badan
secara tajam.
Diagnosa : untuk mendiagnosa penyakit ini dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis yang
nampak dan untuk menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan feses secara
mikroskopis untuk menentukan adanya telur cacing yang khas dari Strongyloides sp. telur
cacing yang khas ditandai dengan adanya embrio (larva) di dalam telur, namun pada babi
perlu dibedakan dengan telur metastrongylus sp. (cacing paru pada babi ).
Pengobatan :
ivermectine 0,2 mg/kg bb, Thia bendazole 100-150 mg/kgbb selama 3
hari.. dan obat Benzimidazole, febanthel dan levamisol sangat efektif. Program pengobatan
pada induk sebelum melahirkan merupakan langkah efektif untuk menekan terjadinya
penularan dari induk ke anak. Ivermectine dan doramectine terbukti efektif pada babi
diberikan 16 hari sebelum induk melahirkan.
4. TRICHURIASIS
Trichuriaris adalah penyakit parasit babi yang disebabkan oleh cacing Trichuris suis dengan
predeleksi cacing pada caecum babi.
Cara penularan : penularan dari penyakit ini adalah secara langsung yaitu melalui makanan
yang tercemar telur infektif.
Siklus hidup
Cacing Trichuris sp hidup pada caecum, kemudian telur keluar dari tubuh bersama tinja dan
berkembang menjadi telur infektif dalam waktu beberapa minggu. menghasilkan telur serta
memiliki dinding yang tebal dan sangat resisten terhadap perubahan lingkungan Telur yang
sudah berembrio dapat tahan beberapa bulan apabila berada di tempat yang lembab. Infeksi
biasanya terjadi secara peroral (tertelan lewat pakan dan atau air minum). Apabila tertelan,
33
telur-telur tersebut pada sekum akan menetas dan dalam waktu sekitar empat minggu telah
menjadi cacing dewasa.
Gambar. Sikulus hidup Trichuris suis
Pethogenesis
Kerusakan yang ditimbulkan dari penyakti ini tergantung dari spesies yang diserang. Pada
babi
dapat menyebabkan peradangan pada caecum. Cacing menempel pada mukosa
caecum dengan alat penghisap yang menembus mukosa sampai pembuluh darah kapiler dan
cacing ini menghisap makanan darah. Kadang-kadang ditemukan perdarahan dan odema
pad mukosa caecum. Bila terjadi infeksi akut terjadi diarhe profus. Pada babi dilaporkan
bahwa infeksi cacing ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan oedema pada sekum babi
(terutama babi berumur 8-14 minggu).
Gejala Klinis
Pada infeksi berat terjadi gejala anemia, nafsu makan menurun, dehidrasi, diarhe, lemah dan
penurunan berat badan
Diagnosa
Melakukan pemeriksaan feses untuk menemukan telur cacing yang bentuk khas dimana
pada kedua ujungnya terdapat tonjolan (sumbat).
Pengobatan
34
-
Levamisole 7,5 mg/kg bb
-
Tetramisole : 15 mg/kg bb secara oral.
Pencegahan
Babi dipelihara dalam kandang dengan lantai terbuat dari beton. Bila digunakan halaman
bertanah maka pembuangan tinja harus secara teratur dan tempat pembuangan tinja harus
terbuat dari sumur beton yang tertutup agar tidak menarik kumbang. Telur cacing ini sangat
resisten terhadap kondisi lingkungan dan telur infektif mampu bertahan pada lingkungan
yang sesuai sampai beberapa tahun.
5. Oesophagostomiasis (Cacing bungkul pada babi)
Oesophagostomiasis pada babi adalah penyakit yang disebabkan oleh Oesophagostomum
dentatum . cacing ini predeleksinya pada bagian caecum dari ternak tersebut.
Cara penularan : Ternak babi dapat terinfeksi cacing ini melalui makanan/minuman yang
tercemar larva infektif (larva stdium 3)
Pathogenesis :
Setelah larva infektif dimakan akan menembus dinding usus dari phylorus ke rectum
dan mengambil untuk perkembangan dari larva, sehingga adanya larva pada mukosa usus
akan menimbulkan rangsangan yang akan menimbulkan reaksi pada tubuh host ( reaksi
imunologis) sehingga membentuk nodule pada jaringan sub mukosa, dimana larva
mengalami ecdisis di dalam nodule. Pembentukan nodule pada usus halus akan dapat
mengganggu peristatik usus. Nodule dapat ditemukan pada dinding usus halus dan usus
besar sedangkan cacing dewasa terdapat pada colon sehingga dapat menimbulkan iritasi
pada dinding colon dan terjadi diarhe.
Beberapa nodul pecah dan berdarah, yang menunjukkan larva kembali ke lumen
usus untuk menjadi dewasa. Larva didalam nodul menghasilkan abses kecil yang berisi
leukosit dan usus akan mengalami peradangan dan oedema. Pada hewan muda ditemukan
sedikit nodul dan pada hewan tua ditemukan banyak nodul yang menunjukkan adanya
kekebalan. Nodul pada usus halus dan besar akan mengganggu penyerapan dan peristaltik
35
usus. Cacing dewasa akan mengakibatkan penebalan mukosa dan menghasilkan lendir yang
banyak.
Gejala klinis
Pada babi dapat terjadi kondisi tubuh menurun, diarhe terjadi ketika cacing muda keluar
dari nodule pada dinding usus, kekurusan, faeses lunak yang kadang-kadang berdarah
bercampur mukus dan anemia.
Perubahan anatomis
-
kekururan, enteritis, nodule pada dinding ussu dengan ukuran bervariasi.
-
Larva cacing dapat ditemukan di dalam nodule
-
Cacing dewasa dapat ditemukan pada bagian anterior dari colon sehingga mukosa
menebal.
Diagnosis
Diagnosa penyakit ini melalui pemneriksaan feses dengan ditemukannnya telur cacing
Pengobatan
-
Phenothiazine 600-700 mg/kg bb
-
Albendazole 5 mg/kg bb
-
Piperazine 125 mg/kg bb
PENYAKIT CACING PADA AYAM
1. ASCARIDIASIS PADA UNGGAS
Ascaridiasis pada unggas adalah penyakit disebabkan oleh Ascaridia galli. Dimana penyakit
ini dapat menyerang ternak ayam, mentog, angsa, itik dan berbagai burung liar di seluruh
dunia. Cacing ini berperasit pada usus halus dari unggas.
Cara penularan
Infeksi cacing Ascaridia galli melalui makanan/minuman yang terkontaminasi oleh telur
yang infektif (L2). Telur yang dihasilkan oleh cacing dewasa berbentuk ellips berdinding
tebal, tidak bersegmen dan tidak berembrio pada saat dikeluarkan dari tubuh induk
36
semangnya, didalam telur embrio yang dihasilkan mengalami dua kali ecdisis sebelum
menjadi telur infektif. Cacing tanah dapat juga membantu penyebaran cacing Ascaridia galli
dan unggas terinfeksi bila memakan cacing tanah yang mengandung larva stadium 2 cacing
Ascaridia galli.
Gejala klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan tergantung dari tingkat infeksi apabila tingkat infeksi
tinggi maka gejala klinis yang terlihat adalah nafsu makan menurun, bulu kasar, mencret,
anemi, gangguan pertumbuhan, produksi telur menurun dan penyumbatan usus secara
mekanis. Gangguan pertumbuhan ayam terutama disebabkan kurang efesiensinya
penggunaan makanan dan akibat penyerapan makanan dalam usus oleh adanya kerusakan
mukosa usus, terutama disebabkan pada saat larva cacing A. galli menembus mukosa
dinding usus. Ayam muda lebih sensitif terhadap kerusakan yang ditimbulkan Ascaridia
galli. Sejumlah kecil cacing Ascaridia galli yang berparasit pada ayam dewasa biasanya
dapat ditolerir tanpa adnya kerusakan tertentu pada usus. Ayam yang terinfeksi Ascaridia
galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan kadar gula darah,
peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan pertumbuhan, dan peningkatan mortalitas.
Patogenesa
Intensitas infeksi Ascariasis tergantung dari beberapa faktor :
37
Makanan, mikroflora usus, infeksi coccidia, sex/jenis kelamin dan umur
Kerentanan meningkat bila dalam ransum kekurangan vit A, B dan B12 serta mineral dan
protein. Lewat umur tiga bulan ayam lebih tahan, hal ini berkaitan dengan meningkatnya
sel-sel goblet dalam usus.
Patogenitas yang ditimbulkan dari serangan cacing ini dapat meliputi 2 stadium :
a. pada saat larva cacing A. galli menembus mukosa usus sehingga akan mengakibatkan
kerusakan pada dinding usus dan pada usus dapat terjadi perdarahan sehinngga
menimbulkan enteritis, yang mengakibatkan penyerapan zat-zat makanan terganggu.
b. Pada saat cacing dewasa pada lumen usus. Cacing dewasa hidup bebas dalam lumen
usus halus dan bila jumlah cacing dalam jumlah yang banyak akan dapat menyumbat
dari usus halus. Cacing dewasa akan aktif memakan makanan yang dimakan unggas
(kompetitif dengan hospes) sehingga efisiensi penyerapan makanan terganggu dan
akibatnya pertumbuhan ayam juga terganggu.
Akumulasi infeksi cacing A. galli terjadi pada unggas yang dipelihara dalam kandang liter
(sekam) yang tebal terutama karena terjadi peningkatan kelembaban. Infeksi berat A. galli
menyebabkan penurunan produksi telur pada kandang litter di breeder dan layer komersial.
Ayam yang diberi pakan dengan kandungan protein 10% dan diinfeksi dengan 10, 100 dan
1000 telur A. galli per hari selam enam minggu tanpa diberi suplemen vitamin
menunjukkan berat badan yang lebih rendah dibanding yang diberi suplemen vitamin
Perubahan Anatomis
Pada mukosa usus akan terlihat enteritis haemorrhagis dan dalam selaput lendir usus
ditemukan telur cacing. Karkas akan terlihat kurus, pucat dan cacing dewasa ditemukan
dalam usus. Kadang-kadang parasit cacing ditemukan dalam albumin telur cacing., diduga
dari kloaka kesasar ke uterus dan terperangkap dalam putih telur
Diagnosa : berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan tinja
Pengobatan :
-
Penothiazine 220 mg/kg
-
Piperazine citrat 300 –400 mg/kg bb.
38
Pencegahan :
Ayam yamg muda hendaknya dipisahkan dari yang dewasa. Kandang harus kering dan
sering dibersihkan. Pemberian obat cacing secara teratur setiap 2 bulan sekali.
2. HETERAKIASIS
Kecacingan pada unggas yang disebabkan oleh cacing H. gallinarrum . cacing ini habitnya
pada sekum ayam, itik, unggas dan kalkun.
Siklus Hidup
Di alam bebas telur berkembang dan mencapai tahap infektif (L2) dalam waktu 14
hari. Penularan terjadi bila telur infektif termakan oleh unggas, maka dalan usus ayam
menetas dalam waktu 1-2 jam. Sampai hari keempat cacing muda sangat erat dengan
mukosa sekum dan menimbulkan kerusakan pada kelenjar epitel. Selanjut menjadi L3 ( 6
hari) dan L4 (Hari ke 10) dan dewasa.
Patogenesis
Pengaruh langsung dari H. gallinarum tidak begitu berarti kecuali dalam jumlah yang
banyak. Terjadi penebalan mukosa sekum serta perdarahan. Yang lebih berbahaya karena
cacing ini merupakan vektor protozoa
Histomonas Meleagridis yang menyebabkan
Blachead atau enterohepatitis pada kalkun . protozoa ini hidup lama dalam telur H.
gallinarum.
Diagnosa : menemukan telur cacing dalam feses
3. TETRAMERIOSIS
ETIOLOGI
Morfologi
: Tetrameres americana
makroskopis
:
cacing
dewasa hidup pada proventrikulus, mudah
dibedakan antara yang jantan dan yang betina. Cacing jantan berwarna putih, gilik
seperti benang dengan ukuran panjang hanya sekitar 5-6 mm, sebagian besar hidup bebas
39
di dalam lumen proventrikulus, tetapi sewaktu-waktu dapat mengunjungi cacing
betina masuk ke dalam kelenjar untuk kawin dan setelah itu mati, berukuran panjang 5-5,5
mm (1,3,6). Cacing betina dewasa berbentuk hampir bulat, sedangkan bagian anterior dan
posterior berbentuk kerucut, berwarna merah darah dengan ukuran panjang 3,5-4,5 X 3
mm, berpredileksi tertanam di dalam kelenjar proventriculus.
Morfologi mikroskopis: cacing jantan memiliki kutikula yang dipersenjatai dengan empat
baris duri
dan tidak ada cordon , sedangkan cacing betinanya memiliki empat alur
longitudinal pada permukaannya . Telurnya berdinding tebal, berukuran 42-50 × 24
μm dan telah embrio (larva) saat keluar bersama tinja .
Spesies Tetrameres sp lainnya : T. mohtedai menginfeksi ayam di India dan Asia timur.
Hospes intermediernya adalah kecoa dan Belalang seperti Spathosternum prasiniferum,
Oxya nitidula dan ngengat Setamorpha nutella (1). T. Fissispina menginfeksi : Itik,
angsa, ayam.kalkun, merpati dan burung air liar lainnya, Hospes intermedier Krustacea
air (Daphnia dan Gamarus), Belalang dan cacing tanah.
Siklus Hidup, telur akan keluar bersama tinja, memerlukan hospes antara serangga
orthoptera yang cocok, seperti Melanoplus femurrubrum, M. differentialis dan Blatella
germanica). Infeksi terjadi secara tidak langsung, karena memakan serangga terinfeksi .
Patogenesa dan Gejala Klinis, cacing betina mengisap darah, tetapi kerusakan terparah
terjadi
ketika
menyebabkan
cacing
muda
bermigrasi
iritasi dan peradangan,
yang
menembus dinding proventrikulus,
dapat membunuh anak ayam. Unggas
terinfeksi mengalami anemia (balung dan pial pucat) dan kurus. Pada autopsi cacing
betina dewasa dapat dilihat dari bagian luar proventrikulus berwarna gelap di dalam
jaringannya .
Diagnosa,
pemeriksaan
tinja
untuk
menemukan
cacing pada saat bedah bangkai
40
telur
cacing
dan menemukan
4. CESTODIOSIS
Etiologi, Cestodiosis pada ayam disebabkan oleh genus (Davainea, Raillietina dan
Amoebotaenia), hidup di dalam usus halus
Siklus hidup,
secara umum dimulai dari hospes definitif terinfeksi akan mengeluarkan proglotid
gravid dalam rangkaian strobila atau
tersendiri bersama tinja, kadang-kadang juga proglotid akan pecah di dalam usus
sehingga telur keluar bersama tinja.
Proglotid
kemudian
mengalami
apolysis
(hancur), sehingga telur berserakan mencemari lingkungan
.
Telur apabila termakan oleh hospes intermedier yang sesuai, karena pengaruh sekeresi
(lambung, usus, hati dan pancreas) di dalam saluran pencernan,
onkosfer akan
tercerna, sehingga menyebabkan aktifnya embriofor. Ombriofor menggunakan kaitnya
akan menembus dinding usus dan akhirnya bersama aliran darah atau linfe beredar
keseluruh tubuh menuju tempat predileksinya dan berkembang lebih lanjut menjadi bentuk
peralihan (“metakestoda).
41
Cara penularan karena termakannya Hospes Intermedier infektif
Patogenesa, Davainea proglottina merupakan cacing pita yang paling pathogen, karena
rostelumnya dipersenjatai kait dan dapat masuk ke dalam villi duodenum, sehingga
menyebabkan nekrosis dan enteritis hemoragika, sehingga menyebabkan penyerapan sari
makanan tidak sempurna.. Raillietina echinobothrida, berukuran panjang bisa mencapai
lebih dari 25 cm, juga pada rostelum dan acetabulanya dipersenjatai dengan kait yang bisa
melukai permukaan usus, sehingga dapat menimbulkan nodul-nodul dan kadang-kadang
dapat
melubangi
usus
halus
sehingga
menyebabkan peritonitis. Jenis cacing pita
yang lain umumnya tidak menimbulkan kerusakan yang nyata, hanya bersaing
mendapatkan makanan dengan hospes definitif. Jika jumlahnya terlalu banyak dapat
menyumbat usus halus .
Gejala klinis, sangat tergantung dari intensitas infeksi dan jenis cacing pita yang
menginfeksi.
Pada
infeksi
berat,
ayam
dewasa
tampak
:
produksi menurun,
pertumbuhan terhambat, gerakan lambat, mencret, bulu mudah lepas dan kering, selaput lendir
pucat dan kurus. Pada anak ayam , nampak : pertumbuhan terhambat, berjalan tidak tegap, berdiri
dengan tumit terangkat, keadaan lebih lanjut diikuti kekejangan pada kaki dan akhirnya lumpuh
Diagnosa, yang paling awal berdasarkan gejala klinis, kemudian mengamati proglotid
dalam rangkaian segmen
yang
keluar
dari anus
atau
dan pengamatan bedah bangkai untuk
menemukan cacing pita di dalam usus halus
Pengobatan, Butyronate 75-150 mg/kg, Niclosamide, Hexachlorophene, memberikan hasil baik.
Praziquantel, Benzimidazole, Albendazole dan Oxfendazole barangkali efektif (5,7). Dibutyltin
dilaurate 250
mg/50 kg ransum diberikan selama 48 jam efektif terhadap Raillietina cesticellus
dan dengan dosis 500 mg/kg ransum efektif untuk Davainea
(3). Catatan : Niclosamide yang
efektif digunakan untuk mengobati cacing pita pada mamalia, ternyata setelah dicbakan pada ayam
di Bogor, tidak memberikan hasil yang diharapkan bahkan menimbulkan kematian karena toksik.
Fraziquantel dalam pakan 10 mg/kg efektif mengobati cacing pita pada ayam buras dengan
efektivitas 98,16%
Kontrol, ditujukan untuk menghindarkan termakannya hospes intermedier yang infektif atau
membunuh hospes intermedier dengan menggunakan obat yang ada.
42
43
Download