MAKALAH HIERARKI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL diajukan Guna Memenuhi Tugas Individu dalam Mata Hukum Internasional Dosen Pengampu, Basri, SH., M.Hum Disusun oleh, Nur Anwar NIM: 13340029 JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA Tahun Akademik 2014/2015 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr. wb., Alhamdulillahirobbil’alamiin, berkat pertolongan Allah penulis dapat menyelesaikan makalah Hukum Internasional dengan judul, “Hierarki Sumber Hukum Internasional”. Di dalam makalah ini akan disajikan dengan susunan pendahuluan, hierarki sumber hukum Internasional, dan simpulan serta akan diberikan pula contoh dari pelaksanaan hierarki sumber hukum Internasional oleh lembaga yudisial Internasional. Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum. Kita mengetahui bahwa tidak ada badan legislatif internasional untuk membuat ketentuanketentuan yang mengatur secara langsung kehidupan masyarakat Internasional. Tetapi dewasa ini, hukum Internasional bukan saja mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perdamaian dan keamanan, tetapi juga menyangkut masalah politik, ekonomi, teknologi, sosial, di samping masalah-masalah hak asasi, lingkungan, terorisme dan lain-lain demmi tercapainyakesejahteraan dan keserasian dalam kehidupan antar bangsa. Satu-satunya organisasi internasional yang kira-kira melakukan fungsi legislatif hanyalah Majelis Umum PBB, tetapi resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB tidak mengikat, kecuali yang menyangkut masalah organisasi internasional itu sendiri. Masalah terakhir adalah bagaimana tata urutan atau hierarki dari sumber hukum tersebut. Untuk itu, dalam mengambil suatu keputusan lembaga yudisial internasional dalam statuta Mahkamah Internasional dimasukkan sumber hukum internasional yang dapat digunakan oleh Mahkamah untuk mengadili perkara-perkara yang diadilinya. Hal inilah yang nanti akan kita bahas, terutama pada aspek tata urutan sumber hukum yang dapat dipakai oleh Mahkamah. Pengakuan keberadaan prinsip hierarki dalam Hukum Internasional adalah sangat penting untuk proses penyelesaian sengketa khususnya penyelesaian melalui jalur hukum. ii Makalah ini juga disusun untuk melengkapi tugas pada program studi Ilmu Hukum dalam mata kuliah Hukum Internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, disamping itu juga sebagai pembelajaran bagi penulis untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Sumber Hukum Internasional dan hiearkinya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu, saran dan nasihat dari pembaca dan Dosen Pengampu senantiasa penulis harapkan, demi kesempurnaan makalah penulis ini. Akhirnya, segala kesalahan dan kekurangan adalah tanggungjawab penulis. Namun, apabia terdapat kebenaran dalam makalah ini semata karena hanya ridho, tuntunan dan petunjuk dari Allah. Wassalamu’alaikum wr. wb., Yogyakarta, September 2014 Penulis iii DAFTAR ISI Halaman Judul .................................................................................................................... i Kata Pengantar .................................................................................................................... ii Daftar Isi ............................................................................................................................. iv BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 BAB II : PEMBAHASAN ........................................................................................... 3 1. Pengertian ................................................................................................ 3 2. Hierarki Sumber Hukum Internasional ................................................... 3 3. Penerapan Hierarki Sumber Hukum Internasional .................................. 8 4. Just Cogens .............................................................................................. 8 5. Obligation Erga Omnes ........................................................................... 9 BAB III : PENUTUP ...................................................................................................... 11 BAB IV : DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 12 iv BAB I PENDAHULUAN Keberadaan hukum internasional dalam tata pergaulan internasional merupakan konsekuensi dari adanya hubungan internasional yang telah dipraktikkan oleh negaranegara selama ini. Hubungan internasional yang merupakan hubungan antarnegara pada dasarnya adalah “hubungan hukum”. Ini berarti hubungan internasional telah melahirkan hak dan kewajiban antarsubjek hukum (negara) yang slaing berhubungan baik dalam bentuk hubungan bilateral, regional maupun multilateral. Hukum internasional mutlak diperlukan dalam rangka menjamin kelancaran pergaulan internasional. Hukum ineternasional menjadi pedoman dalam menciptakan kerukunan dan kerjasama yang saling menguntungkan. Karenanya dibutuhkan aturan yang jelas dan tegas. Sumber hukum internasional yang berupa perjanjian internasional, kebiasan internasional, dan sebagainya mempunyai peranan penting dalam mengatur masalah-masalah bersama yang dihadapi subjek-subjek hukum internasional. Hukum internasional modern didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perilaku yang harus di taati dalam hubungan-hubungan antar mereka satu dengan yang lainnya, serta yang juga mencakup: Organisasi Internasional, hubungan antar Organisasi Internasional satu dengan lainnya, Hubungan peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara, atau negaranegara, dan hubungan antar organisasi internasional dengan individu atau individuindividu. Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu dan subyeksubyek hukum bukan negara (non-state entities) sepan- jang hak-hak dan kewajiban– kewajiban individu dan subyek bukan negara tersebut bersangkut-paut dengan masalah internasional. Untuk mengatur hal-hal tersebut, maka dicarilah sumber hukum. Sumber hukum merupakan bahan-bahan aktual yang dapat digunakan oleh para ahli untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi situasi tertentu.1 Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa dalam masyarakat internasional. Untuk menemukan sumber hukum internasional ini tidaklah 1 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1, (Jakarta: Sinar Grafika:2006), hlm. 42 1 mudah, karena hukum internasional tidak mempunyai organ-organ yang pada umumnya terdapat pada tingkat nasional. Satu-satunya organisasi internasional yang kira-kira melakukan fungsi legislatif hanyalah Majelis Umum PBB, tetapi resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB tidak mengikat, kecuali yang menyangkut masalah organisasi internasional itu sendiri. Meskipun ada konferensi-konferensi internasional yang diselenggarakan dalam kerangka PBB untuk membahas masalah-masalah tertentu, tetapi tidak selalu merumuskan law-making treaties.2 Pada umumnya para penulis hukum internasional sudah baku untuk membedakan antara sumber hukum formal dan sumber hukum material. Sumber formal adalah prosedur hukum dan metode bagi pembentuk hukum kepada pihak-pihak yang dituju. Sedang sumber hukum dalam arti material adalah sumber hukum dalam pengertian asal mula atau asal-usul hukum itu sebenarnya, yaitu materi-materi atau bahan-bahan yang membentuk atau melahirkan kaidah atau/dan norma tersebut, sampai dengan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sumber-sumber material secara sederhana merupakan aturanaturan dari hukum internasional, misalnya: traktat, resolusi Majelis Umum, putusan hukum, proposal dari the International Law Commission, sebuah “restatemen” yang dinyatakan oleh sekelompok orang terpelajar, dan lain-lain. Sedangkan sumber formal adalah sumber yang menentukan sebuah aturan sebagai rule of law, mengikat terhadap negara-negara, yang ditentukan oleh sumber-sumber formal yang telah diidentifikasi oleh Pasal 38 Statuta International Court of Justice (ICJ). Masalah terakhir adalah bagaimana tata urutan (order) sumber-sumber material, yaitu, kebiasaan, traktat-traktat, keputusan-keputusan yudisial berkenaan dengan permasalahanpermasalahan hukum, atau ketetapan-ketetapan organ-organ lembaga internasional – digunakan untuk menentukan hukum mengenai suatu permasalahan yang dihadapi.3 2 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global (Bandung: Alumni: 2011), hlm. 8 3 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1, (Jakarta: Sinar Grafika:2006), hlm. 65 2 BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa hieraki adalah urutan tingkatan atau jenjang. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjengjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.4 Sementara hukum Internasional diartikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perilaku yang harus di taati dalam hubungan-hubungan antar mereka satu dengan yang lainnya, serta yang juga mencakup: Organisasi Internasional, hubungan antar Organisasi Internasional satu dengan lainnya, Hubungan peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara, atau negara-negara, dan hubungan antar organisasi internasional dengan individu atau individu-individu. Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban–kewajiban individu dan subyek bukan negara tersebut bersangkut-paut dengan masalah internasional.5 Jadi, yang dimaksud dengan hierarki sumber hukum internasional adalah urutan tingkatan atau jenjang hukum internasional. 2. Hierarki Sumber Hukum Internasional a. Pentingnya keberadaan Hierarki dalam Hukum Internasional Suatu sistem hukum biasanya membangun atau menetapkan suatu norma hukum berdasarkan suatu sumber hukum tertentu dari mana norma itu berasal. Dalam sistem hukum nasional misalnya adalah hal yang umum menempatkan nilai- nilai fundamental dalam status konstitusi dan diutamakan dari aturan lain 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundangundangan, hlm. 60 5 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 1 seperti undang- undang dan aturan administrasi apabila terjadi konflik. Ketentuan konstitusi diutamakan atas undang-undang. Pada dasaarnya hukum internasional hierarki aturan dan kelembagaanya juga sangat vital system. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tidak ada lembaga internasional yang bertindak sebagai badan legislatif yang bertugas untuk membuat ketentuan-ketuan yang mengatur secara langsung kehidupan masyarakat internasional. Disamping itu, jika kita melihat bahwa dalam Hukum Internasional berlandaskan pada prinsip persamaan kedudukan negara-negara berdaulat maka tidak ditemukan adanya hierarki. Artinya, semua aturan dalam Hukum Internasional adalah sederajat, sumber-sumber hukumnya juga sederajat, berlandaskan kehendak negara. Tetapi, pengakuan akan keberadaan prinsip hierarki dalam hukum internasional adalah sangat penting untuk proses penyelesaian sengketa, khususnya penyelesaian melalui jalur hukum (Mahkamah Internasional), juga untuk menentukan apakah suatu aturan hukum tertentu harus diprioritaskan atas yang lain, serta apakah interpretasi tertentu dapat diterapkan pada masalah hukum tersebut. b. Tata urutan (hierarki) Hukum Internasional a. Tata urutan (hierarki) Hukum Internasional berdasarkan International Court Justice (ICJ) Tata urutan (order) sumber-sumber material, yaitu, kebiasaan, traktat-traktat, keputusan-keputusan yudisial berkenaan dengan permasalahan-permasalahan hukum, atau ketetapan-ketetapan organ-organ lembaga internasional – digunakan untuk menentukan hukum mengenai suatu permasalahan yang dihadapi. Dalam statuta Mahkamah Internasional, tata urutan sumber-sumber hukum material yang dinyatakan dalam Pasal 38 Ayat (1) Statuta Internasional Court of Justice6 adalah: Pertama, traktat (Treaty) dan konvensi internasional (piagam PBB, resolusi Majelis Umum PBB, Resolusi Dewan Keamanan PBB, Peraturan Organisasiorganisasi PBB, Perjajian antar negara) baik umum maupun khusus membentuk atura-aturan yang secara nyata diakui oleh negara-negara. Kedua, kebiasaan internasional (Customary International Law), sebagai bukti dari praktik umum yang diterima sebagai hukum. Ketiga, (General Principles of Law Recognized by 6 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 65 4 Civilized Nations) prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab dan keempat, keputusan-keputusan yudisial dan opini-opini hukum yang berkualifikasi tinggi dari berbagai bangsa, sebagai alat tambahan bagi penetapan kaidah hukum.7 Diluar Pasal 38 (1) MI tersebut ada sumber hukum internasional lain yang diakui dalam perkembangannya, yaitu Keputusan Organisasi Internasional (Resolusi). Tata urutan tersebut dalam praktik umumnya diikuti. Bahwa urutan-urutan sumber hukum tersebut tiga dari sumber hukum yaitu pertama, kedua dan ketiga merupakan sumber hukum utama sedangkan sumber hukum keempat merupakan sumber hukum tambahan.8 Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, sebagai mana dikutip oleh Huala Addolf, menyatakan bahwa penyebutan sumber-sumber hukum tersebut tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum. Klasifikasi yang dapat digunakan adalah bahwa dua urutan pertama tergolong ke dalam sumber hukum utama atau primer. Dua lainnya adalah sumber hukum tambahan atau subsider.9 Adanya dua penggolongan tersebut, secara teori menunjukkan bahwa Mahkamah akan memprioritaskan sumber hukum utama terlebih dahulu, yaitu traktat dan konvensi yang secara tegas diakui oleh negara-negara yang terkait dengan catatan traktat dan konvensi tersebut tidak bertentangan dengan jus cogens, yaitu norma-norma hukum internasional yang berlakunya tidak dapat diubah. Apabila tidak ada traktat atau konvensi yang berlaku, maka pilihan jatuh pada kaidah kebiasaan yang berlaku, hukum kebiasaan internasional yang ditetapkan oleh Mahkamah dapat berupa dua macam, yaitu pertama, prinsip-prinsip yang telah mapan sebagai suatu hasil penerimaan dan penerapan oleh negara-negara (multilateral treaty dalam kategori law making treaty) yang kemudian dianggap sebagai kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional: dan kedua, kaidah-kaidah serupa yang juga berkembang dan diterapkan di dalam suatu region tertentu (hukum internasional regional), sedangkan apabila tidak ada kaidah-kaidah demikian, jalan lainnya adalah melihat pada prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Menurut piagam PBB, prinsip-prinsip atau 7 Statuta Mahkamah Internasional J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 66 9 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.87 8 5 asas-asas umum hukum umum tidak mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam lingkup internasional. Tetapi ia mengacu pada prinsip-prinsip hukum umum yang terdapat dalam hukum nasional atau yang terefleksikan dalam konsep-konsep dasar dari tertib hukum negara-negara yang sistem hukumnya dianggap berasal dari negara-negara beradab.10 Diantara berbagai interpretasi yang diberikan terhadap kata “prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsabangsa beradab”, terdapat sebagai berikut: (a) prinsip-prinsip umum keadilan, (b) hukum alam, (c) analogi-analogi yang berasal dari hukum alam, (d) prinsip-prinsip umum perbandingan hukum hukum, (e) prinsip-prinsip umum hukum internasional, (f) teori umum dari hukum, (g) konsep-konsep umum hukum.11 Mochtar Kusuma Atmadja mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum adalah prinsip-prinsip hukum yang mendasari sistem hukum modern. Yang dimaksud dengan sistem hukum modern adalah sistem hukum positif yang didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum negara barat yang sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi. Mahkamah akan menggunakan norma-norma hukum ini untuk mengisi kekosongan hukum dalam hukum perjanjian internaional dan hukum kebiasaan internasional. Apabila tidak satupun petunjuk kaidah yang secara jelas dapat diberlakukan terhadap permasalahan itu, maka keputusan-keputusan yudisial dan arbitrasi serta opini hukum dapat dipakai, biasanya dengan lebih menitikberatkan pada keputusan-keputusan pengadilan daripada pernyataan-pernyataan opini para yuris dan pengarang-pengarang buku. Titikberat yang diberikan bergantung pada sifat hakikat dan muatan keputusan tersebut serta pada ketentuan-ketentuan instrumen konstitusi organisasi tersebut disinilah hukum subsider digunakan.12 Mahkamah akan menerapkan petusan-putusan pengadilan dan tulisan-tulisan para sarjana terkemuka untuk: Pertama, menafsirkan sumber hukum internasional primer, yaitu perjanjian internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Kedua, memperjelas ketidak jelasan dari maksud sumber-sumber hukum primer tersebut. Putusan pengadilan disini tidak saja mencakup putusan-putusan Mahkamah 10 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.88 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 69-70 12 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 66 11 6 Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional (PICJ), tetapi putusan pengadilan internasional lainnya, termasuk badan Arbitrase Internasional. Putusan pengadilan sebelumnya (preseden) juga digunakan untuk memperjelas ketidakjelasan hukum (internasional) yang akan diterapkan Mahkamah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 59 Statuta Mahkamah, putusan Mahkamah hanya mengikat negara-negara yang bersengketa dan berlaku untuk sengketa-sengketa yang bersangkutan saja.13 Mengapa perlu dibagi primer dan sekunder? hal tersebut dikarenakan setiap perbuatan hukum dan dasar penyelesaiannya harus berdasarkan perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, asas-asas HI bila tidak ada baru menggunakan yang Sekunder. b. Tata urutan (hierarki) Hukum Internasional menurut International Criminal Court (ICC)14 Syarat utama bagi eksisnya yurisdiksi oleh Pasal 12 (2) Statuta Roma 1998 dinyatakan dalam hal: 1. Kejahatan yang dilakukan terjadi didalam wilayah negara peserta. 2. Kewarganegaraan dari si pelaku adalah negara yang menjadi negara peserta atas Statuta. Di samping itu, yurisdiksi ICC merupakan perluasan dari yurisdiksi pidana nasional dari negara-negara pesertanya. Atau dengan kata lain, ICC merupakan suplemen bagi peradilan nasional dalam hal yang terakhir gagal menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, ICC dalam menjalankan operasinya membutuhkan kerjasama dari pemerintah nasional. Statuta Roma 1998, melalui Pasal 21 telah menyusun hieraki sumber hukum yang dapat diterapkan oleh Pengadilan sebagai berikut: 1) Dalam kesempatan pertama, Statuta ini, Elemen-elemen Kejahatan dan Peraturan-peraturannya dari Prosedur dan Pembuktian. 2) Dalam kesempatan kedua, bilamana memungkinkan, fakta-fakta yang berlaku dan prinsip-prinsip serta aturan-aturan hukum internasional, termasuk prinsip-prinsip yang dibuat dari hukum internasional untuk pertikaian bersenjata; 13 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm.89 14 Statuta Roma Tentang Pengadilan Pidana Internasional 1998 7 3) Kegagalan itu, prinsip-prinsip umum dari hukum yang berasal dari Pengadilan dari hukum nasional atau sistem hukum dunia, termasuk, bilamana tepat, hukum nasional Negara-negara yang biasanya melaksanakan yurisdiksi atas kejahatan itu dengan ketentuan bahwa prinsip-prinsip itu tidak bertentangan dengan Statuta ini dan dengan hukum internasional dan normanorma serta standar-standar yang dikenal secara internasional. 4) Pengadilan dapat menerapkan prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum sebagaimana yang ditafsirkan pada keputusan sebelumnya. 5) Penerapan dan interpretasi hukum sesuai dengan pasal ini harus konsisten dengan hak-hak manusia yang dikenal secara internasional, dan tanpa ada perbedaan-perbedaan yang panting yang ditemukan pada dasar-dasar seperti gender sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 7 ayat 3, usia, ras, wama kulit, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat-pendapat lain, kebangsaan, etnis atau asal sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain. 3. Penerapan Hierarki dalam Hukum Internasional a. Dikemukakan keberadaan jus cogens atau peremptory norms yang diakui dan diterima oleh Negara-negara sebagai norma tertinggi. b. Keberadaan pasal 103 Piagam PBB yang mengaskan bahwa piagam PBB, konstitusi dalam hukum internasional memiliki kedudukan lebih tinggi dari perjanjian-perjanjian yang lain. c. Keberadaan Pasal 30 Konvensi Wina 1969 yang mengatakan “Aplication of successive treaties relating to the same subject-matter.” d. Adanya penerimaan oleh masyarakt internasional bahwa secara umum hukum kebiasaan internasional mengalahkan perjanjian bilateral. 4. Prinsip-prinsip atau Norma-norma Hukum Internasional yang Tidak dapat Diubah; Just Cogens Yang terakhir perlu diperhatikan adalah konsep ”Jus Cogens”, yaitu normanorma hukum internasional tidak dapat diubah (peremptory),yang tidak boleh diabaikan, dan yang karenanya dapat berlaku untuk membatalkan suatu traktat atau perjanjian antara negara-negara dalam hal traktat itu tidak sesuai dengan normanorma tersebut. Menurut Pasal 53 Konvensi Roma 1969 : norma jus cogens hanya 8 dapat dirubah oleh norma hukum internasional yang timbul kemudian yang juga memiliki karakter yang sama.15 Jus cogens adalah non derogable, peremptory law. Hakim terkenal rozakis menggambarkan bahwa the concept of jus cogens as a theoretical inference whose function is actualy discernible throught the legal norms bearing its peculiar traits.meskipun konsep modern jus cogens dikemukakan oleh hukum perjanjian. Secara umum dapat dikatakan jus cogens diterapkan untuk membatasi perjanjian. Karakteristik utama dari jus cogens adalah sifat nonderogable rights dalam norma tersebut. Untuk menetapkan apakah ketentuan- ketentuan yang ada dalam suatu perjanjian merefleksikan jus cogens atau tidak bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat perjanjian lebih dikenal sebagai contract of private law dari pada suatu genuine normative instruments ( C.L. Rozakis,1976:70) perjanjian tidak menciptakan hak dan kewajiban pada pihak ketiga tanpa persetujuan. Namun,konsep ini sudah mengalami pengikisan dengan munculnya perjanjianperjanjian humaniter dan HAM, yang tidak mengizinkan suspension or denunciation (L. Hannikainen, 1988:225) dalam hukum internasional kontemporer proses pembuatan perjanjian multlateral dan legislative in objective hanya cara atau metodenya saja yang bersifat kontraktual. Jus Cogens adalah non-derogable, peremptory law. Ulrich mengusulkan keberadaan tiga kelompok yang berbeda dalam jus cogens yaitu : a) Atas dasar pertimbangan adanya kepentingan maksimum Negara untuk melindungi fondasi hukum, perdamaian dan kemanusiaan sebagai standart minimum hukum internasional. b) Terdiri dari prinsip dan aturan-aturan hukum yang penting untuk memelihara kerjasama perdamaian yang dalam hukum internasional bertujuan melindungi kepentingan umum. c) Diakui sebagai inalienable law, faktor yang membedakan jus cogens dengan yang lain adalah universalitasnya.16 5. Obligation Erga Omnes Meskipun sering dipandang sama dengan jus cogens, namun sesungguhnya, kewajiban erga omnes berbeda dengan norma jus cogens dimana kewajiban erga omnes dapat dicabut (derogable) dalam beberapa situasi.dalam kasus barcelona 15 16 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 66 Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, cet. 4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 67-68 9 traction light case mahkamah internasional mengemukakan bahwa seluruh norma jus cogens menimbulkan kewajiban erga omnes. Namun demikian tidak semua kewajiban erga omnes dapat memperoleh status sebagai jus cogens. Kewajiban erga omnes berbeda dengan norma jus cogens dimana kewajiban erga omnes dapat dicabut dalam beberapa situasi. Satu-satunya pengecualian adalah jika negara membuat reservasi atau particular derogable provision dalam perjanjian multitateral atau juka negara mengekspersikan keberatannya saat membuat perjanjian.17 17 Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, cet. 4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 82-83 10 BAB III Penutup Dalam masyarakat Internasional tidak dikenal adanya lembaga legislatif dan hukum internasional menganggap semua peraturan itu sama kedudukannya. Tetapi pengakuan akan keberadaan prinsip hierarki dalam hukum internasional adalah sangat penting untuk proses penyelesaian sengketa, khususnya penyelesaian melalui jalur hukum (Mahkamah Internasional), juga untuk menentukan apakah suatu aturan hukum tertentu harus diprioritaskan atas yang lain, serta apakah interpretasi tertentu dapat diterapkan pada masalah hukum tersebut. Tata urutan sumber-sumber hukum material yang dinyatakan dalam Pasal 38 Ayat (1) Statuta Internasional Court of Justice18 adalah: Pertama, traktat (Treaty) dan konvensi internasional (piagam PBB, resolusi Majelis Umum PBB, Resolusi Dewan Keamanan PBB, Peraturan Organisasi-organisasi PBB, Perjajian antar negara) baik umum maupun khusus membentuk atura-aturan yang secara nyata diakui oleh negara-negara. Kedua, kebiasaan internasional (Customary International Law), sebagai bukti dari praktik umum yang diterima sebagai hukum. Ketiga, (General Principles of Law Recognized by Civilized Nations) prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab dan keempat, keputusan-keputusan yudisial dan opini-opini hukum yang berkualifikasi tinggi dari berbagai bangsa, sebagai alat tambahan bagi penetapan kaidah hukum.19 Diluar Pasal 38 (1) MI tersebut ada sumber hukum internasional lain yang diakui dalam perkembangannya, yaitu Keputusan Organisasi Internasional (Resolusi). Praktik masyarakat internasional juga mengenal apa yang dinamkan sub-hierarki. Misalnya, negara mana saja yang memberikan persetujuan terhadap suatu norma dapat menunjukkan tinggi rendahnya derajat norma itu. Contohnya adalah aturan hukum yang dikeluarkan oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB, lebih kuat kedudukannya dibandingkan aturan yang dikeluarkan oleh negara-negara yang tidak mempunyai pengaruh.20 18 J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 65 Statuta Mahkamah Internasional 20 Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, cet. 4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 66 19 11 BAB IV Daftar Pustaka Adolf, Huala, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Mauna, Boer , Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2011. Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, cet. 4 Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014. Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1, Jakarta: Sinar Grafika: 2006. Statuta Mahkamah Internasional. Statuta Roma Tentang Pengadilan Pidana Internasional 1998 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 12