BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktik dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan tersering di dunia. Berdasarkan data National Health Interview Survey (2007), rinosinusitis menjadi salah satu dari sepuluh diagnosis penyakit terbanyak di Ameriksa Serikat. Dan untuk pertama kalinya diadakan studi epidemiologi populasi di Eropa (2011) menggunakan kuisioner, sekitar 10.9% orang memiliki Gejala rinosinusitis kronik. Survei dari beberapa daerah di Kanada melaporkan prevalensi rinosinusitis kronik mengenai rata-rata 5% dari populasi umum.1 Depkes RI (2003) menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan dirumah sakit. Di Indonesia, pada bulan Januari hingga Agustus 2005 tercatat data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut sebanyak 435 pasien dan 69% (300 pasien) menderita rinosinusitis. Pada penelitian di poliklinik THTKL RS. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 pasien (64,29%) dari seluruh pasien rinologi. Dari data survei pendahuluan didapati penderita rinosinusitis kronik yang datang ke RSUP H. Adam Malik tahun 2008 sebesar 296 penerita dari 783 pasien yang datang ke Devisi Rinologi Departemen THTKL RSUP H. Adam Malik Medan.1 1 Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rhinosinusitis ini.Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial, komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal diatas. Terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.2 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Rhinosinusitis adalah peradangan simtomatis pada sinus paranasales dan cavum nasi. Istilah rhinosinusitis lebih sering dipakai daripada sinusitis, oleh karena sinusitis selalu diikuti juga dengan adanya peradangan pada mukosa cavum nasi. Rhinosinusitis dibagi menjadi dua berdasarkan durasinya yaitu akut dan kronis. Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang ditandai dengan peradangan pada 3 mukosa hidung dan sinus paranasal dengan durasi minimal 12 minggu. Diagnosis rinosinusitis kronik dapat ditegakkan dari adanya dua atau lebih keluhan pada pasien dimana salah satu keluhannya berupa hidung tersumbat atau nasal discharge baik di anterior maupun posterior yang disertai rasa nyeri atau tertekan pada wajah dan penurunan kemampuan penciuman. Rinosinusitis dapat dikelompokkan berdasarkan anatomi sinus paranasal, yaitu rinosinusitis maksila, rinosinusitis etmoid, rinosinusitis frontal dan rinosinusitis sfenoid dan yang paling sering dijumpai ialah rinosinusitis maksila dan rinosinusitis etmoid. Dua atau lebih gejala dan keluhan berupa: 3 - Drainase yang mukopurulen (anterior, posterior, atau keduanya) - Kongesti pada hidung 3 - Nyeri pada wajah karena tekanan, atau - Menurunnya daya pembauan Dan adanya peradangan ditandai dengan ditemukannya satu atau lebih hal-hal berikut ini: - Mukus yang purulen atau edema di meatus nasi medius atau regio ethmoidalis anterior - Polip pada cavum nasi atau meatus nasi medius, dan atau - Pemeriksaan radiologis menunjukkan adanya peradangan pada sinus paranasales 2.2 Anatomi Cavum Nasi dan Sinus Paranasalis 2.2.1 Cavum Nasi Cavum nasi adalah celah irregular yang terdapat diantara palatum dari cavum oris dan basis cranii. Bagian bawah cavum nasi yang paling lebar dan dalam secara vertikal adalah regio sentralnya, dipisahkan oleh septum nasi menjadi cavum nasi dextra dan sinistra. Pintu masuk dari cavum nasi adalah nares, dan di posterior akan masuk ke nasopharynx melalui choana. Hampir seluruh bagian dari cavum nasi dilapisi oleh mukosa kecuali area vestibulum nasi yang dilapisi oleh kulit. Mukosa cavum nasi melekat pada periosteum dan perikondrium dari tulang yang membentuk cavum nasi dan tulang rawan dari hidung.4,5 Mukosa cavum nasi juga melapisi struktur-struktur yang berhubungan dengan cavum nasi seperti: nasopharynx di posteriornya, sinus paranasales di superior dan lateralnya, dan sacus lacrimalis dan konjungtiva di superiornya. 4 Bagian 2/3 inferior mukosa cavum nasi adalah area respirasi dan 1/3 superiornya adalah area olfaktori.4 Area respirasi dari cavum nasi mukosanya dilapisi oleh epitel berlapis semu bersilia dengan sel banyak sel goblet. Ada banyak kelenjar seromukus dalam lamina propria dari mukosa hidung. Sekresinya membuat permukaannya menjadi lengket sehingga bisa menjebak partikel-partikel yang terdapat di udara yang terinspirasi. Film mukosa terus-menerus digerakkan oleh aksi siliar (eskalator mukosiliar) ke arah posterior ke nasofaring dengan kecepatan 6 mm per menit.5 Gerakan palatal memindahkan mukus dan partikel yang terperangkap ke oropharyng selama menelan, namun beberapa juga memasuki vestibulum nasi di anterior. Sekresi mukosa hidung mengandung lisozim yang bersifat bakterisidal, βdefensin dan laktoferin, dan juga imunoglobulin sekretoris (IgA). Mukosa cavum nasi berlanjut ke mukosa nasofaring melalui choana, ke konjungtiva melalui ductus nasolacrimalis dan kanalikuli lakrimalis, dan mukosa dari sinus paranasales melalui muaranya pada meatus nasi.5 Mukosa cavum nasi ditemukan paling tebal dan vaskularisasinya paling banyak di atas conchae, terutama pada ekstremitasnya, dan juga pada bagian anterior dan posterior dari septum nasi, dan di antara conchae. Pada meati mukosa ditemukan sangat tipis di meati, di dasar hidung dan di sinus paranasales. Ketebalannya mengurangi volume rongga hidung dan lubangnya secara signifikan. Lamina propria mengandung jaringan vaskular kavernosa dengan sinusoid-sinusoid yang besar.5 5 Dinding lateral dari cavum nasi tidak rata karena adanya tiga conchae yaitu: concha nasi superior, medius, dan inferior. Conchae nasi ini berjalan dengan arah inferimedial. Tiga conchae nasalis ini membentuk 4 celah untuk jalannya udara yaitu:4,5 Recessus sphenoethmoidalis yang terdapat di atas concha nasi superior menerima muara dari sinus sphenoidalis. Meatus nasi superior yang terletak diantara concha nasi superior dan medius menerima muara dari sinus ethomidalis posterior. Meatus nasi medius yang terletak diantara concha nasi medius dan inferior lebih panjang dan lebar dibandingkan dengan meatus nasi superior. Bagian anterosupereriornya menuju ke infundibulum ethmoidalis, lubang yang berhubungan sinus frontalis lewat ductus frontonasalis. Ductus frontonasalis kemudian bermuara pada suatu celah semisirkular yaitu hiatus semilunaris. Bulla ethmoidalis, elevasi bulat yang terletak lebih tinggi dari hiatus semilunar (terlihat saat concha nasi medius diangkat). Bulla dibentuk oleh cellulae etmoidalis medius, yang membentuk sinus ethmoidal. Sinus maxillaris menuangkan isinya juga kebagian posterior hiatus semilunar. Meatus nasi inferior yang terletak di bawah concha nasi inferior merupakan saluran berbentuk horizontal. Ductus nasolacrimalis dari sacus lacrimalis bermuara pada bagian anterior dari meatus ini. 6 Gambar 1. Dinding Lateral dari Cavum Nasi Dextra. 2.2.2 Sinus Paranasalis 1) Sinus Maksilaris Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore yang telah ada saat lahir. Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga terbalik. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.4 Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus paranasalis yang terbesar. Letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia. 7 Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1, P2, M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. Ostium sinus maksila terletak di meatus medius disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.4 Gambar 2. Anatomi hidung dan sinus 2) Sinus Etmoidalis Sinus etmoidalis berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid dan terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sama halnya dengan sinus maksilaris bahwa sinus etmoidalis ini telah ada saat lahir. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 8 cm di bagian anterior dan 1,5 ml cm dibagian posterior. Berdasarkan letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media.6 Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.6 Gambar 3. Lokasi sinus 9 3) Sinus Frontalis Sinus frontalis terdiri dari 2 sinus yang terdapat di setiap sisi pada daerah dahi di os frontal. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada pada usia 8 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun. Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain.4,6 Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang disebut dengan tulang kompakta dan fosa serebri anterior sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.6 4) Sinus Sfenoidalis Sinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoidalis dibelakang sinus etmoid posterior. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Pneumatisasi sinus spenoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun. Biasanya berbentuk tidak teratur dan sering terletak di garis tengah. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Saat sinus berkembang pembuluh 10 darah dan nervus dibagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.6 Batas-batasnya adalah sebelah anterior dibentuk oleh resesus sfenoetmoidalis di medial dan oleh sel-sel etmoid posterior di lateral. Dinding posterior dibentuk oleh os sfenoidales. Sebelah lateral berkontak dengan sinus kavernosus, arteri karotis interna, nervus optikus dan foramen optikus. Penyakit-penyakit pada sinus sfenoidalis dapat mengganggu struktur-struktur penting ini dan pasien dapat mengalami gejala-gejala oftalmologi akibat penyakit sinus primer. Dinding medial dibentuk oleh septum sinus tulang intersfenoid yang memisahkan sinus kiri dari yang kanan. Superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa serta sebelah inferiornya atap nasofaring (Hilger, 1997). 6 11 2.3 Patofisiologi Terjadinya stasis dari sekresi mukus cavum nasi dipicu oleh adanya obstruksi mekanis pada komplek ostiomeatal (KOM) yang berhubungan dengan kelainan anatomi dan edema pada mukosa cavum nasi yang disebabkan oleh berbagai etiologi (misalnya rinitis virus akut atau alergi).7 Gambar 4. Muara dari masing-masing Sinus Paranasales Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks 8 ostiomeatal untuk mempertahankan drainase dan aerasi. Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi 12 transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada mukosa sinus dan juga mukosa nasal, seperti yang tergambar pada gambar 5 dibawah ini.7,8 Gambar 5. Siklus Patologi Rhinosinusitis Kronis Stagnasi mukosa pada sinus membentuk media yang kaya untuk pertumbuhan berbagai patogen. Tahap awal sinusitis sering merupakan infeksi virus yang umumnya berlangsung hingga 10 hari dan itu benar-benar sembuh dalam 99% kasus. Namun, sejumlah kecil pasien dapat berkembang menjadi infeksi bakteri akut sekunder yang umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik (yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis).8 Awalnya, sinusitis akut yang dihasilkan hanya melibatkan satu jenis bakteri 13 aerobik. Dengan adanya infeksi yang persistensi, flora campuran dari organisme dan kadang kala jamur berkontribusi terhadap patogenesis rhinosinusitis kronis. Sebagian besar kasus sinusitis kronis disebabkan oleh sinusitis akut yang tidak diobati atau tidak merespons pengobatan. Pemikiran saat ini mendukung konsep bahwa rhinosinusitis kronis (RSK) sebagian besar merupakan penyakit radang multifaktor. Faktor pengganggu yang dapat menyebabkan peradangan adalah sebagai berikut:8 − Infeksi yang persisten − Alergi dan penyakit imunologis − Faktor-faktor intrinsik saluran nafas atas − Pengobatan infeksi jamur yang menginduksi peradangan eosinofilik − Kelainan metabolik seperti peka sensitif terhadap aspirin Semua faktor ini dapat berperan dalam terganggunya sistem transportasi mukosiliar intrinsik. Hal ini karena adanya perubahan pada patensi ostia sinus, fungsi siliaris, atau kualitas sekresi menyebabkan stagnasi sekresi, penurunan kadar pH, dan menurunkan ketegangan oksigen di dalam sinus. Perubahan ini menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri yang selanjutnya berkontribusi terhadap peningkatan peradangan mukosa.7,8 2.4 Etiologi Infeksi Jamur Jamur mengandung protease intrinsik yang dapat menginduksi sitokin via aktivasi reseptor PAR pada berbagai jenis sel, mungkin melalui respon T Helper ( Th) tipe 2. Ekstrak jamur dapat menghambat sinyal JAK- 14 STAT1 pada epitel, efek yang dapat menghambat Th1 dan meningkatkan respons Th2. Jamur juga kemungkinan memainkan peran kunci dalam sinusitis jamur alergi klasik. Terakhir, dinding sel jamur mengandung chitin, yang telah terbukti menginduksi respons Th2 pada beberapa model manusia dan hewan, namun peran rhinosinusitis kronis yang masih belum jelas. Saat ini, sebagian besar peneliti menduga bahwa jamur kemungkinan berperan penting dalam etiologi rhinosinusitis.9 Infeksi Bakteri Berdasarkan teknik kultur, telah lama menemukan peranan penting dari bakteri Staphylococcus aureus pada rhinosinusitis kronis. Selain kolonisasi permukaan, Staphylococcus juga mampu berada di dalam sel epitel dan makrofag pasien rhinosinusitis. Dalam keadaan normal, bakteri termasuk Staphylococcus menerima respons pertahanan inang inflamasi Th17. Salah satu kesulitan untuk mendukung hipotesis bakteri sebagai salah etiologi terjadinya rhinosinusitis kronis adalah kesulitan dalam menjelaskan respons Th2 yang terlihat pada jaringan pasien yang refrakter.9 Rinosinusitis kronis dapat disebabkan oleh bakteri yang sama seperti yang menyebabkan rinosinusitis akut. Namun karena rinosinusitis kronik biasanya berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik. Bakteri penyebab rinosinusitis kronis banyak macamnya baik anaerob maupun yang aerob, proporsi terbesar penyebabnya adalah bakteri anaerob dan bakteri gram negarif11. Bakteri 15 aerob yang sering ditemukan antara lain staphylococcus aureus, streptococcus viridians, haemophilus influenzae, neisseria flavus, staphylococcus epidermidis, streptococcus pneumonia dan escherichia coli. Sedangkan bakteri anaerob antara lain peptostreptococcus, corynebacterium, bacteroide, dan veillonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali juga terjadi. Pada kasus Rinosinusitis kronik akut eksaserbasi bakteri penyebab yang terbanyak adalah bakteri anaerob. Bakteri gram negatif dan bakteri aerob termasuk Pseudomonas Aeruginosa sering diisolasi pada pasien yang sudah pernah melakukan operasi sinus.9 Virus Virus rinosinusitis biasanya menyerang hidung, nasofaring dan juga meluas ke sinus termasuk didalamnya adalah rinovirus, influenza virus dan parainfluenza virus. Infeksi virus berulang merupakan faktor resiko yang menyebabkan terjadinya rinosinusitis kronik.9 Faktor Struktural Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter mukus per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus KOM akan mengakibatkan akumulasi dan stagnasi cairan, membentuk lingkungan yang lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi pertumbuhan kuman patogen. Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai kelainan anatomis seperti deviasi septum, konka bulosa, sel Haier 16 (ethmoidal infraorbital), prosesus unsinatus horizontal, skar akibat bekas operasi dan anomali kraniofasial.9 2.5 Diagnosis Anamnesis Diagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Yang merupakan kriteria mayor dari rinosinusitis kronis antara lain berupa:3,10 a. Nyeri atau rasa tekan pada bagian wajah di daerah yang terkena merupakan ciri khas atau refered pain. Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau dibelakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Sedangkan pada sinusitis sfenoid nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.13 b. Gejala hidung dan nasofaring berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip). c. Gejala faring yaitu rasa sakit tidak nyaman dan gatal di tenggorok. d. Terdapat purulen pada pemeriksaan. Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior sedangkan pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok. e. Hyposmia atau anosmia. 17 f. Gejala mata oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis. g. Gejala di saluran cerna oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (sering terjadi pada anak). Sedangkan kriteria minornya dapat berupa:3,10 a. Nyeri atau sakit kepala. b. Demam. c. Halitosis. d. Kelelahan (fatigue). e. Sakit gigi (dental pain). f. Gejala saluran nafas berupa batuk yang kadang-kadang dapat menyebabkan komplikasi di paru berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial sehingga terjadi penyakit sinobronkial. g. Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba eustachius. Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:10 18 1. Obstruksi Nasal Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya. 2. Sekret / discharge nasal Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip 3. Abnormalitas penciuman Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius . 4. Nyeri / tekanan fasial Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif. Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:3,10 1) Buntu hidung, kongesti atau sesak 2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen 3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan 4) Penurunan / hilangnya penciuman 19 Gambar 6. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.3,10 Rhinosinusitis kronik dengan polip nasi 1. Gejala selama lebih dari 12 minggu 20 2. Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior): 3. nyeri wajah / rasa tertekan di wajah 4. penurunan/ hilangnya penghidu Gambar 7. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Hidung Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, 21 transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.3,10 Pemeriksaan Fisik10 Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya). Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip. Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung. Pemeriksaan Penunjang 3,10 Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri. Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %. Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum 22 dilakukan, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:3,10 Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi Tes alergi Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar mikroskop elektron dan nitrit oksida Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri Tes fungsi olfaktori: threshold testing Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein) 2.6 Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang 23 berlainan juga. Terapi Medikamentosa Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.3,10,11 Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:10,11 1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain: − Amoksisilin + asam klavulanat − Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime − Florokuinolon : ciprofloksasin − Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin − Klindamisin − Metronidazole 2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik. − Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason − Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi. 24 3. Terapi penunjang lainnya meliputi:10,11 − Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik − Antihistamin − Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil − Mukolitik − Antagonis leukotrien − Imunoterapi − Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan nutrisi yang cukup Terapi Pembedahan Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik ialah:10 1. Sinus maksila: Irigasi sinus (antrum lavage) Nasal antrostomi Operasi Caldwell-Luc 2. Sinus etmoid: Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral 25 2.7 Komplikasi Terdapat beberapa komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis kronik, antara lain kelainan orbita, kelainan intrakranial, osteomielitis dan kelainan paru. Rinosinusitis etmoid dan rinosinusitis maksila merupakan penyebab terbanyak dari abses periorbita. Komplikasi orbita umumnya terjadi akibat perluasan infeksi rinosinusitis akut pada anak sedangkan pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik. Penyebaran infeksi rinosinusitis ke orbita dapat melalui penyebaran langsung melalui defek kelainan bawaan, foramen atau garis sutura yang terbuka, erosi tulang terutama pada lamina papirasea dan tromboflebitis retrograd langsung melalui pembuluh darah vena yang tidak berkatup yang menghubungkan orbita dengan wajah, kavum nasi, dan sinus paranasal.2 2.8 Pencegahan2 1. Pasien dengan rhinitis alergi harus segera diobati karena edema mukosa dapat menyebabkan obstruksi sinus. 2. Bila adenoid mengalami infeksi, mengilangkan itu berarti mengeliminasi sarang infeksi dan dapat mengurangi infeksi pada sinus. 3. Menjaga kebersihan gigi dan mulut. 2.9 Prognosis Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan. Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika 26 serta obat-obat simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan prognosis yang baik.11 Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) akan mengembalikan fungsi sinus dan gejala akan semubuh secara komplit atau moderat sekita 80-90% pada pasien dengan sinusitis kronis rekuren atau sinusitis kronis yang tidak responsive terhadap medikamentosa.11 27 BAB III KESIMPULAN Rhinosinusitis adalah peradangan simtomatis pada sinus paranasales dan cavum nasi. Rhinosinusitis dibagi menjadi dua berdasarkan durasinya yaitu akut dan kronis. Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang ditandai dengan peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal dengan durasi minimal 12 minggu. Terdapat 4 sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis.Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Gejala umum rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat diserai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorol (post nasal drip). Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial. Tatalaksana berupa terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi. Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan dini mengenai rhinosinusitis dapat memberikan prognosis yang baik. 28 DAFTAR PUSTAKA 1. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. 2007. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI: Jakarta. Hal 150-3 2. Amelia, Lintang, dkk. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di RSUP Dr. Mohammad Hosein Palembang. Jurnal No.2 Kedokteraran Universitas Sriwijaya. Bagian THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin: Palembang April 2017. 3. Rosenfeld, RM, Piccirilo, JF, Chandrasekhar, SS, et al. Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2015. Vol. 152 (25) S1-S39. 4. Moore, Keith L., Arthur F Dalley, and A. M. R Agur. Essential Clinically Oriented Anatomy. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2015. 5. Susan S, Neil RB, Patricia C, et al. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. Churchill Livingstone: Elsevier. 2008. P549- 559. 6. Hansen, JT. Netter’s Clinical Anatomy. 2nd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2010. 7. Brook, I. Chronic Sinusitis. 2017. Medscape. https://emedicine.medscape.com/article/232791-overview . Jan 28. 2020. Accessed Jan. 16, 2018. 29 8. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006;109-129. 9. Kent L, Robert S, and Robert C.K. The Etiology and Pathogenesis of Chronic Rhinosinusitis: a Review of Current Hypotheses. Curr Allergy Asthma Rep. 2015 July ; 15(7): 41. 10. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J. et al., European Position Paper on Nasal Polyps 2007. Rhinology. 2007. 45; suppl. 20: 1-139. 11. Bradley FM, Stankiewicz JA, Baroody FM, et al. Diagnosis and management of chronic rhinosinusitis in adults. Journal Postgraduate Medicine.2012. 121 (6) 121:139. 30