See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/335826845 Christian Religious Education in Digital Age Research Proposal · September 2019 CITATIONS READS 0 715 1 author: Wijaya Taslim Bu'ulolo STT Banua Niha Keriso Protestan Sundermann Nias 1 PUBLICATION 0 CITATIONS SEE PROFILE Some of the authors of this publication are also working on these related projects: Christian Education ini Digital Era View project All content following this page was uploaded by Wijaya Taslim Bu'ulolo on 15 September 2019. The user has requested enhancement of the downloaded file. PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DI ERA DIGITAL (Proposal Penelitian) Wijaya Taslim Bu’ulolo STT Banua Niha Keriso Protestan Sundermann Nias [email protected] 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era digital, kemajuan teknologi menjadi hal yang cukup menarik perhatian. Perkembangan teknologi yang terjadi semakin pesat dan canggih. Penciptaan teknologi canggih membuat perubahan yang begitu besar di berbagai bidang dalam kehidupan manusia. Pengaruh yang ditimbulkan juga menjadi hal yang tidak boleh diabaikan. Dalam bidang pendidikan, implikasi dari kemajuan teknologi ini perlu respons yang terukur agar upaya pendidikan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang memuat UndangUndang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 1 disebutkan perihal pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu, dalam undangundang tersebut dijelaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Hal ini sejalan dengan tujuan yang akan dicapai, sebagaimana tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Terkait pendidikan keagamaan dalam undang-undang ini juga dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan fungsi mempersiapkan peserta didik 1 Suprijanto Rijadi, “UU No 20 2003 Sistem Pendidikan Nasional,” Dec 30, 2009. menjadi anggota masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di lain pihak, dalam pasal 36 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional2 yang memuat tentang kurikulum dikatakan bahwa pendidikan agama wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Kurikulum tersebut adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Selain itu, disebutkan pula bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan (a) peningkatan iman dan takwa, (b) peningkatan akhlak mulia (c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, (d) keragaman potensi daerah dan lingkungan, (e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional, (f) tuntutan dunia kerja, (g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (h) agama, (i) dinamika perkembangan global, dan (j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.3 Berdasarkan uraian tentang pengertian kurikulum tersebut, ada dua dimensi kurikulum yang dapat kita pahami, yang pertama adalah rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, sedangkan yang kedua adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Kedua dimensi ini telah dipenuhi dalam kurikulum 2013. Dari penjelasan tentang pendidikan di atas, dapat diterima suatu gagasan bahwa Pendidikan Agama Kristen juga harus menjawab tuntutan perubahan zaman, khususnya dalam era digital. Sehubungan dengan gagasan tersebut, penulis mengamati bahwa teori tentang Pendidikan Agama Kristen di era digital masih belum memadai saat ini. Namun, penulis meyakini bahwa pemikiran Hartono (2018)4 dapat memberi sedikit gambaran tentang Pendidikan Agama Kristen di era digital. Dalam artikelnya, dia menyimpulkan bahwa pada masa era digital seperti ini, maka mengimplementasikan amanat agung adalah dengan menggunakan teknologi tersebut sebagai hamba untuk menyampaikan tema-tema pemuridan dan pengajaran sehingga setiap orang dapat mengenal Kristus melalui kemajuan digital yang ada. 2 Ibid. Ibid. 4 Handreas Hartono, “Mengaktualisasikan Amanat Agung Matius 28 : 19-20 Dalam Konteks Era Digital,” KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 4, no. 2 (2018): 19–20, www.sttpb.ac.id/e-journal/index.php/kurios. 3 Dalam bukunya, Kristianto (2008)5 menjelaskan bahwa istilah Pendidikan Agama Kristen (PAK) dibedakan dengan istilah Pendidikan Kristen (PK) karena Pendidikan Kristen dalam bahasa Indonesia menunjuk pada pengajaran biasa yang diberikan dalam suasana kristiani, sedangkan Pendidikan Agama Kristen (PAK) merupakan pendidikan yang berporos pada pribadi Tuhan Yesus Kristus dan Alkitab (firman Allah) sebagai dasar atau sumber acuannya. Dari penjelasan ini, penulis berpendapat bahwa dalam era digital, penggunaan teknologi juga perlu didasarkan pada Alkitab dan pribadi Tuhan Yesus Kristus harus tetap menjadi poros pemanfaatan teknologi tersebut. Terkait kemajuan teknologi, Lase (2019), menjelaskan bahwa untuk menghadapi era revolusi industry 4.0, diperlukan pendidikan yang dapat membentuk generasi kreatif, inovatif, serta kompetitif. Hal tersebut salah satunya dapat dicapai dengan cara mengoptimalisasi penggunaan teknologi sebagai alat bantu pendidikan yang diharapkan mampu menghasilkan output yang dapat mengikuti atau mengubah zaman menjadi lebih baik.6 Tanpa terkecuali, Indonesia pun meningkatkan kualitas lulusan sesuai dunia kerja dan tuntutan teknologi digital. Ia menambahkan bahwa pendidikan 4.0 adalah respons terhadap kebutuhan Revolusi Industri 4.0 di mana manusia dan teknologi diselaraskan untuk menciptakan peluang-peluang baru dengan kreatif dan inovatif. Perihal pendidikan 4.0, Fisk dalam Lase (2019) berpendapat bahwa ada sembilan tren atau kecenderungan terkait dengan pendidikan 4.0, yakni sebagai berikut:7 Pertama, belajar pada waktu dan tempat yang berbeda. Siswa akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk belajar pada waktu dan tempat yang berbeda. ELearning memfasilitasi kesempatan untuk pembelajaran jarak jauh dan mandiri. Di sini pembelajaran di kelas tidak menjadi satu-satunya pilihan tempat menyelenggarakan pembelajaran, namun juga di luar kelas. Materi ajar yang sifatnya teoretis, konseptual dan prinsip-prinsip dipelajari di luar kelas oleh siswa, sedangkan bagian materi yang bersifat praktis dan prosedural dilangsungkan di kelas, secara interaktif di bawah bimbingan guru. Kedua, pembelajaran individual. Siswa akan belajar dengan peralatan belajar yang adaptif dengan kemampuannya. Ini menunjukkan bahwa siswa pada level yang lebih tinggi ditantang dengan tugas dan pertanyaan yang lebih sulit ketika setelah melewati derajat kompetensi tertentu. Siswa yang mengalami kesulitan dengan mata pelajaran akan mendapatkan kesempatan untuk berlatih lebih 5 Paulus Lilik Kristianto, Prinsip Dan Praktik Pendidikan Agama Kristen, 3rd ed. (Yogyakarta: ANDI, 2006). 6 Delipiter Lase, “Education and Industrial Revolution 4.0,” Handayani Journal PGSD FIP Unimed 10, no. 1 (2019): 48–62, https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/handayani/issue/view/1649. 7 Ibid. banyak sampai mereka mencapai tingkat yang diperlukan. Siswa akan diperkuat secara positif selama proses belajar individu mereka. Ini dapat menghasilkan pengalaman belajar yang positif dan akan mengurangi jumlah siswa yang kehilangan kepercayaan tentang kemampuan akademik mereka. Di sini, guru akan dapat melihat dengan jelas siswa mana yang membutuhkan bantuan di bidang mana. Ketiga, siswa memiliki pilihan dalam menentukan bagaimana mereka belajar. Meskipun setiap mata pelajaran yang diajarkan bertujuan untuk tujuan yang sama, cara menuju tujuan itu dapat bervariasi bagi setiap siswa. Demikian pula dengan pengalaman belajar yang berorientasi individual, siswa akan dapat memodifikasi proses belajar mereka dengan alat yang mereka rasa perlu bagi mereka. Siswa akan belajar dengan perangkat, program dan teknik yang berbeda berdasarkan preferensi mereka sendiri. Pada tataran ini, kombinasi pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh (blended learning), membalikkan ruang kelas dan membawa alat belajar sendiri (bring your own device) membentuk terminologi penting dalam perubahan ini (Graham, 2004), (Graham & Dziuban, 2008). Empat. Pembelajaran berbasis proyek. Siswa saat ini harus sudah dapat beradaptasi dengan pembelajaran berbasis proyek, demikian juga dalam hal bekerja. Ini menunjukkan bahwa mereka harus belajar bagaimana menerapkan keterampilan mereka dalam jangka pendek ke berbagai situasi. Siswa sudah harus berkenalan dengan pembelajaran berbasis proyek di sekolah menengah. Inilah saatnya keterampilan mengorganisasi, kolaborasi, dan manajemen waktu diajarkan kepada peserta didik untuk kemudian dapat digunakan setiap siswa dalam karir akademik mereka selanjutnya. Lima, pengalaman lapangan. Kemajuan teknologi memungkinkan pembelajaran domain tertentu secara efektif, sehingga memberi lebih banyak ruang untuk memperoleh keterampilan yang melibatkan pengetahuan siswa dan interaksi tatap muka. Dengan demikian, pengalaman lapangan akan diperdalam melalui kursus atau latihan-latihan. Sekolah akan memberikan lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk memperoleh keterampilan dunia nyata yang mewakili pekerjaan mereka. Ini menunjukkan disain kurikulum perlu memberi lebih banyak ruang bagi siswa untuk lebih banyak belajar secara langsung melalui pengalaman lapangan seperti magang, proyek dengan bimbingan dan proyek kolaborasi. Enam, interpretasi data. Perkembangan teknologi komputer pada akhirnya mengambil alih tugas-tugas analisis yang dilakukan secara manual (matematik), dan segera menangani setiap analisis statistik, mendeskripsikan dan menganalisis data serta memprediksi tren masa depan. Oleh karena itu, interpretasi siswa terhadap data ini akan menjadi bagian yang jauh lebih penting dari kurikulum masa depan. Siswa dituntut memiliki kecakapan untuk menerapkan pengetahuan teoretis ke angka-angka, dan menggunakan keterampilan mereka untuk membuat kesimpulan berdasarkan logika dan tren data. Tujuh, penilaian beragam. Mengukur kemampuan siswa melalui teknik penilaian konvensional seperti tanya jawab akan menjadi tidak relevan lagi atau tidak cukup. Penilaian harus berubah, pengetahuan faktual siswa dapat dinilai selama proses pembelajaran, dan penerapan pengetahuan dapat diuji saat siswa mengerjakan proyek mereka di lapangan. Delapan, keterlibatan siswa. Keterlibatan siswa dalam menentukan materi pembelajaran atau kurikulum menjadi sangat penting. Pendapat siswa dipertimbangkan dalam mendesain dan memperbarui kurikulum. Masukan mereka membantu perancang kurikulum menghasilkan kurikulum kontemporer, mutakhir dan bernilai guna tinggi. Terakhir, mentoring. Pendampingan atau pemberian bimbingan kepada peserta didik menjadi sangat penting untuk membangun kemandirian belajar siswa. Pendampingan menjadi dasar bagi keberhasilan siswa, sehingga menuntut guru untuk menjadi fasilitator yang akan membimbing siswa menjalani proses belajar mereka. Lase (2019)8 menjelaskan bahwa sembilan pergeseran tren Pendidikan 4.0 di atas menjadi tanggung jawab utama guru kepada peserta didik. Pendidik harus memainkan peran untuk mendukung transisi dan tidak menganggapnya sebagai ancaman bagi pengajaran konvensional. Ini merupakan tantangan yang menggairahkan, merangsang untuk bertindak, dan masif. Adaptasi terhadap tren pendidikan ini memberi garansi bagi individu dan masyarakat untuk mengembangkan serangkaian kompetensi, keterampilan, dan pengetahuan yang lebih lengkap dan mengeluarkan seluruh potensi kreatif mereka. Penjabaran di atas memuat istilah pendidikan 4.0 yang merupakan istilah umum yang digunakan oleh para ahli teori pendidikan untuk menggambarkan berbagai cara untuk mengintegrasikan teknologi cyber baik secara fisik maupun tidak ke dalam pembelajaran. Pendidikan 4.0 bukanlah hal yang akan difokuskan pada penelitan ini, melainkan penulis akan memusatkan penelitian pada karakteristik pendidikan sebelumnya yakni pendidikan 3.0. Pendidikan 3.0 yang dimaksud penulis disini mencakup pertemuan ilmu saraf, psikologi kognitif, dan teknologi pendidikan, menggunakan digital dan mobile berbasis web, termasuk aplikasi, perangkat keras dan lunak (Hussain, 2013).9 Berbicara tentang karakteristik di atas, penulis menganggap perlu untuk menjelaskan tentang istilah pendidikan sebelumnya, yakni pendidikan 1.0 dan Delipiter Lase, “Pendidikan Di Era Revolusi Industri 4.0” (2019), https://www.researchgate.net/publication/335463788_PENDIDIKAN_DI_ERA_REVOLUSI_IND USTRI_40. 9 Ibid. 8 pendidikan 2.0. Berdasarkan informasi yang didapat penulis, dalam pendidikan 1.0 siswa menyerap pengetahuan dari guru. Sedangkan dalam pendidikan 2.0 siswa saling membagikan pengetahuannya. Dengan ketersediaan jaringan internet, pendidikan 2.0 sangat cepat menjamur dan mewabah ke seluruh penjuru dunia. Dalam era pendidikan 2.0, guru dan peserta didik saling mengembangkan ilmu pengetahuan.10 Sekarang ini dalam kaitan dengan pendidikan 3.0, gadget di Indonesia sebagai produk dari era digital yang berlangsung memberikan pengaruh dari segi pendidikan kepada perkembangan anak. Menurut Sunita & Mayasari (2017),11 pengaruh ini dapat dibagi dua yaitu, dampak positif dan dampak negatif. Berberapa dampak positifnya, antara lain: menambah pengetahuan, memperluas jaringan persahabatan, mempermudah komunikasi, melatih kreatifitas anak, dan beradaptasi dengan zaman. Sedangkan dampak negatifnya, antara lain: mengganggu kesehatan, dapat mengganggu perkembangan anak, rawan terhadap tindak kejahatan, dan dapat mempengaruhi perilaku anak. Tentu saja dampak di atas adalah hal yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Baik terhadap dampak positif dan negatif yang timbul dari perkembangan teknologi yang terjadi di era digital. Semua dampak ini perlu disikapi secara matang dalam dunia pendidikan. Hal ini perlu dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional dan terkhusus dalam bidang PAK yang tujuan utamanya ialah membawa peserta didik untuk mengalami perjumpaan dengan Kristus, mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh, hidup dalam ketaatan, serta mampu mempraktekkan imannya dalam kehidupan sehari-hari.12 Apa yang terjadi dalam realitas kehidupan insan pendidikan saat ini, menurut pengamatan penulis sangat mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan teknologi digital tidak dilakukan secara proporsional. Fenomena ini juga diperparah oleh tren kepemilikan gadget bagi peserta didik sudah mulai lepas kendali. Terbukti dari banyaknya pelajar yang berupaya memiliki perangkat digital, kebanyakan memperolehnya dengan upaya memaksa kepada orangtua mereka. Bahkan ada yang sampai melakukan tindak kejahatan dengan mencuri milik orang lain hanya untuk memuaskan keinginan memiliki gadget. Tentu dampak seperti ini berpengaruh pada perubahan perilaku serta perubahan karakter ke arah yang tidak dikehendaki. Rusaknya karakter dan memburuknya perilaku generasi penerus bangsa maupun gereja dapat dipastikan akan terus terjadi apabila fenomena ini tidak Firdaus Azwar Ersyad, “Seni Mengajar Di Pendidikan 2.0,” Kompasiana, last modified 2015, accessed August 23, 2019, https://www.kompasiana.com/firdausazwarersyad/552b2823f17e611f77d62419/seni-mengajar-dipendidikan-20. 11 Sunita Indiana dan Eva Mayasari, Yes Or Not Gadget Buah Si Buah Hati (Yogyakarta: Deepublish, 2017), 50-60. 12 M. Nanggolan, Sterategi Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Generasi Info Media, 2008), 1. 10 ditindaklanjuti. Demikian pula dengan dampak negatif gadget yang telah dibahas sebelumnya juga semakin diperparah oleh perkembangan aplikasi game saat ini, baik online maupun offline. Pada era digital ini, dari pengamatan penulis selama 5 (lima) tahun terakhir, game online sangat diminati oleh anak-anak, remaja, pemuda, dan bahkan orang dewasa. Walau penulis tidak dapat memastikan jumlahnya, akan tetapi dari banyaknya tawaran terkait aplikasi game di aplikasi android play store menjadi bukti bahwa jumlah pengguna game online dan game offline cukup menjanjikan. Fenomena yang terjadi di era digital ini dipastikan menjadi tantangan dalam upaya pelaksanaan pendidikan utamanya pada bidang Pendidikan Agama Kristen. Melihat luasnya dampak perubahan zaman yang terjadi, maka perlu ada upaya yang dilakukan untuk menjawab persoalan yang muncul akibat penyalahgunaan teknologi digital yang pada akhirnya dapat merusak karakter peserta didik dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, era digital saat ini seharusnya disikapi dengan senantiasa mengedepankan ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan Yesus Kristus. Hal inilah yang mendorong penulis saat ini melaksanakan penelitian agar dalam penerapan Pendidikan Agama Kristen benar-benar terintegrasikan upaya dalam menghadapi tantangan di era digital. Penulis berharap bahwa dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan dalam kurikulum Pendidikan Agama Kristen maka segala persoalan yang telah diurai di atas dapat ditemukan solusinya. Kristianto mengemukakan bahwa definisi pendek PAK dapat disingkat dengan suatu kata, yaitu memuridkan.13 Ia membuktikan pemikiran tersebut dengan merujuk pada Rasul Paulus yang menekankan pentingnya pemuridan dalam pesannya kepada Timotius. “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain” (2 Timotius 2:2). Ayat tersebut menekankan bahwa tujuan mengajar adalah agar dapat mengajar kepada orang lain. Inilah yang dimaksud dengan permuridan. Selanjutnya Kristianto juga mengungkapkan bahwa yang menjadi subjek dalam PAK adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab mengajar yakni gereja, keluarga dan sekolah. 14 Terkhusus untuk sekolah, ia menjelaskan bahwa UndangUndang Pendidikan di Indonesia mewajibkan pendidikan agama di sekolah. Dalam pendidikan agama di sekolah, guru agama bertanggung jawab mengajar PAK di sekolah melalui pelajaran agama, acara-acara perayaan hari besar Kristen dan retreat sekolah. Guru agama harus dapat mengembangkan kurikulum yang sudah ditetapkan sekolah atau Bimas Kristen dengan isi pelajaran yang bersumber dari Alkitab dan berpusat pada Tuhan Yesus Kristus 13 14 Kristianto, Prinsip Dan Praktik Pendidikan Agama Kristen, 6. Ibid, 7. Menanggapi hal ini, penulis mencoba memperhadapkan masalah yang muncul dalam penyalahgunaan teknologi digital dengan kurikulum yang digunakan dalam pendidikan di Indonesia. Menurut penulis, kurikulum yang ada sebelum kurikulum 2013 saat ini, cukup relevan dengan gaya belajar peserta didik di sekolah pada masa lalu. Tetapi, jika kurikulum lama tersebut tetap digunakan sekarang, maka dengan gaya belajar peserta didik yang dipengaruhi perkembangan zaman saat ini, kurikulum tersebut tidak akan mampu menjawab persoalan yang ada akibat perkembangan pada era teknologi digital. Menurut penulis, apabila tetap menggunakan kurikulum yang lama maka tujuan pendidikan akan sulit dicapai karena telah terjadi pergeseran pada gaya belajar peserta didik saat ini yang penuh dengan egoisme, kemalasan, dan lain-lain sebagai akibat dari pengaruh era digital yang berlangsung. Dalam penelitian ini, penulis ingin melihat kontribusi dari penerapan Pendidikan Agama Kristen dalam hal mengatasi dampak negatif perkembangan teknologi di era digital. Untuk itu, penulis ingin melihat hal ini pada realita yang terjadi khususnya di SMP Negeri 1 Gunungsitoli. Alasannya adalah bahwa dari pengamatan awal yang dilakukan penulis selama lebih dari 2 (dua) minggu di lokasi ini, teknologi digital cenderung tidak dimanfaatkan selama proses pembelajaran Pendidikan Agama Kristen yang berlangsung. Hal ini memunculkan pertanyaan besar pada diri penulis yaitu, apakah penerapan Pendidikan Agama Kristen saat ini ideal untuk mengatasi pengaruh negatif perkembangan yang terjadi di era digital? Bagaimanakah seharusnya penerapan Pendidikan Agama Kristen di era digital? Berangkat dari uraian yang telah disampaikan di atas, penulis melihat bahwa era digital merupakan sebuah tantangan bagi orang percaya untuk terus mengutamakan Tuhan di dalam hidup. Oleh sebab itu, untuk menghadapi tantangan perkembangan teknologi di era digital ini diperlukan upaya khususnya melalui penerapan Pendidikan Agama Kristen yang memaksimalkan pemanfaatan teknologi sesuai dengan kebutuhan demi menunjang keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian maka penerapan Pendidikan Agama Kristen yang melibatkan teknologi digital saat ini perlu ditinjau, khususnya terkait Kurikulum 2013 yang sedang digunakan. Karena jika tidak dilakukan peninjauan terhadap hal ini, maka penyalahgunaan teknologi digital serta kelemahan dalam memanfaatkan teknologi dapat terus terjadi. Penulis yakin bahwa dengan melakukan penelitian ini, kontribusi Pendidikan Agama Kristen di era digital akan terungkap sehingga dapat membantu penggiat dalam Pendidikan Agama Kristen untuk mengambil langkah yang diperlukan. Semua ini demi mengurangi dampak negatif penyalahgunaan teknologi di era digital seperti mengganggu kesehatan, dapat mengganggu perkembangan anak, rawan terhadap tindak kejahatan, dan juga dapat mempengaruhi perilaku anak. Seluruh gambaran keadaan ini telah secara signifikan mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Pendidikan Agama Kristen di Era Digital.” 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, pokok persoalan atau masalah diidentifikasi sebagai berikut. a. Banyak pelajar cenderung menggunakan produk era digital secara tidak terkontrol. b. Dalam dunia pendidikan pemanfaatan produk digital adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi demi menyiapkan output pendidikan mengikuti perkembangan zaman. c. Kurikulum pendidikan perlu disesuaikan dengan perubahan yang terjadi agar perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dapat tetap mencapai hasil yang maksimal. Demikian halnya dengan Pendidikan Agama Kristen. d. Pendidikan Agama Kristen terus mengalami perkembangan sebelumnya, demikian pula di era digital. e. Perubahan perilaku dan karakter manusia ke arah yang tidak diharapkan sering kali terjadi akibat tidak mampu merespons perkembangan zaman secara baik. Jadi, dalam penerapan Pendidikan Agama Kristen perlu memberikan teladan pemanfaatan teknologi yang terus berkembang secara benar. f. Banyak keprihatinan muncul akibat penyalahgunaan teknologi digital yang melibatkan baik anak-anak, remaja, pemuda dan orang dewasa. g. Pemerintah tidak mampu mengurangi dampak negatif perkembangan di era digital secara maksimal tanpa bantuan semua pihak. h. Pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen di era digital masih dianggap belum memadai oleh beberapa pihak karena tidak cukup merasakan adanya upaya pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. i. Dampak perubahan khususnya era digital telah merambah bukan saja hanya di dalam keluarga dan sekolah, akan tetapi sudah berdampak di dalam lingkungan gereja. Hal ini memerlukan sikap dan tindakan yang terukur agar perkembangan yang terjadi tidak merusak orang-orang percaya. j. Relevansi kurikulum Pendidikan Agama Kristen saat ini perlu dikaji untuk memberikan gambaran sejauh mana Pendidikan Agama Kristen dapat menjawab dampak negatif perkembangan teknologi di era digital. k. Pelibatan teknologi di era digital ke dalam dunia pendidikan saat ini seharusnya menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan kurikulum Pendidikan Agama Kristen tahun 2013, akan tetapi hal ini perlu dikaji lebih mendalam khususnya ketika diperhadapkan pada penerapan Pendidikan Agama Kristen yang berlangsung di lingkungan SMP Negeri 1 Gunungsitoli. l. Penerapan Pendidikan Agama Kristen yang sudah berlangsung perlu diungkap untuk memberikan gambaran sejauh mana kontribusi penerapan Pendidikan Agama Kristen mampu mengatasi dampak negatif perkembangan teknologi di era digital. 1.3 Batasan Masalah Menyadari luasnya cakupan masalah yang telah dipaparkan pada identifikasi masalah dan banyaknya keterbatasan peneliti baik dari segi kemampuan, waktu, dan dana yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian, maka penulis membatasi pokok masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut. a. Relevansi kurikulum Pendidikan Agama Kristen tahun 2013 di era digital. b. Faktor pendukung keberhasilan kurikulum Pendidikan Agama Kristen tahun 2013 di SMPN 1 Gunungsitoli dilihat dari pelibatan teknologi pembelajaran. c. Penerapan Pendidikan Agama Kristen yang sudah berlangsung. 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut. a. Bagaimana relevansi kurikulum Pendidikan Agama Kristen tahun 2013 di era digital? b. Bagaimana pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen di SMP Negeri 1 Gunungsitoli saat ini? c. Bagaimana penerapan Pendidikan Agama Kristen di era digital? 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengungkap tujuan penelitian sebagai berikut. a. Menguraikan relevansi kurikulum Pendidikan Agama Kristen tahun 2013 di era digital. b. Mengetahui bagaimana pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen di SMP Negeri 1 Gunungsitoli saat ini. c. Memahami bagaimana penerapan Pendidikan Agama Kristen di era digital. 1.6 Manfaat Peneitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara konseptual maupun praktis, yakni: a. Manfaat konseptual (teoretis) Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman terhadap konsep Pendidikan Agama Kristen di era digital serta memberikan gambaran tentang kontribusi PAK terhadap persoalan yang muncul akibat perkembangan di era digital. b. Manfaat praktis Penulis dan pihak-pihak yang tertarik dengan perkembangan Pendidikan Agama Kristen lebih memahami pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen di era digital. Sehingga, dengan penerapan Pendidikan Agama Kristen di era digital yang dilakukan secara tepat maka dampak negatif dari perkembangan teknologi digital dapat dicegah. Sebagai referensi bagi peneliti berikutnya yang memiliki ketertarikan untuk membahas Pendidikan Agama Kristen yang diperhadapkan dengan perubahan zaman. Sebagai upaya memenuhi salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan pendidikan Stratum Satu (S1) Program Studi S1 Pendidikan Agama Kristen di Sekolah Tinggi Teologi Banua Niha Keriso Protestan Sundermann (disingkat STT BNKP Sundermann). 1.7 Metologi Penelitian a. Prosedur penelitian Untuk menyelidiki masalah yang dibahas dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan dan metode penelitian kualitatif dengan sifat deskriptif analitis yang mengkaji perspektif partisipan dengan strategistrategi yang bersifat interaktif dan fleksibel. Dengan pemahaman bahwa penelitian kualitatif ialah penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah di mana peneliti merupakan instrumen kunci.15 b. Tempat dan waktu penelitian Perihal tempat penelitian, peneliti mendeskripsikan kecocokan tempat penelitian dengan tujuan penelitian, menggambarkan fenomena sosial dan proses yang terdapat dalam rumusan masalah. Deskripsi tentang lokasi lebih menjelaskan tentang karakteristik khusus lokasi dibandingkan dengan lokasi lainnya.16 Oleh sebab itu yang menjadi tempat penelitian dalam penelitian ini yaitu lingkungan sekolah khususnya SMP Negeri 1 Gunungsitoli disebabkan penulis telah tinggal di lingkungan sekolah ini lebih dari 15 tahun. Untuk sumber data atau subjek (pelaku) dalam penelitian ini adalah mereka yang menjadi objek pengamatan dalam suatu setting alamiah pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen di sekolah, yakni guru dan siswa. Dalam hal ini subjek penelitian sekaligus bertindak sebagai informan yakni seseorang atau lebih yang dianggap kompeten memberikan keterangan atau data berkaitan dengan topik yang sedang diteliti. Trianto, “Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan Dan Tenaga Kependidikan,” in Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan Dan Tenaga Kependidikan, ed. Titik Triwulan Tutik (Jakarta: Kencana, 2011), 61. 16 Ibid, 242. 15 Teknik penentuan informan menggunakan teknik purpose sampling,17 maksudnya pemilihan informan didasarkan atas kompetensi mereka dan bukan atas representativeness (keterwakilan).18 Sedangkan waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan sesuai dengan arahan dari pihak STT Banua Niha Kersio Protestan Sundermann Nias tahun 2019. c. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dalam bentuk gabungan observasi partisipan, wawancara secara mendalam dan dokumentasi atau dapat disebut sebagai teknik triagulasi.19 Observasi dilakukan kepada subjek penelitian (sumber data), sedangkan interviu dilakukan kepada para informan ditambah dengan dokumentasi yang dibutuhkan untuk mendukung kualitas penelitian. d. Teknik analisis data Analisa data adalah tehnik yang dapat digunakan untuk memaknai dan mendapatkan pemahaman dari ratusan atau bahkan ribuan halaman kalimat atau gambaran perilaku yang terdapat dalam catatan lapangan.20 Siklus analisa data meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian dan penarikan kesimpulan.21 e. Pengujian keabsahan data Dalam penelitian kualitatif temuan atau data dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti . Khusus dalam penelitian ini, pengujian kredibilitas data ditunjukkan dalam bentuk teknik triangulasi yang diartikan sebagai pengujian keabsahan data yang diperoleh dari berbagai sumber, metode, dan waktu.22 17 Earl R. Babbie, “The Practice of Social Research - Earl R. Babbie - Google Kitaplar,” Cengage Learning. 18 H Russell Bernard, Reserach Methods in Anthropology - Qualitative and Quantitative Approaches, AltaMira Press, 2006. 19 Trianto, “Pengantar Penelit. Pendidik. Bagi Pengemb. Profesi Pendidik. Dan Tenaga Kependidikan.” 20 Bodgan, Robert, and Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to Social Sciences (New York: John Willey & Sons, 1975), 41-47. 21 A.M Miles, M.B; Huberman, Qualitative Data Analysis: A Source Book for New Methods (Beverly Hills CA: Sage Publication Inc, 1984). 22 Trianto, “Pengantar Penelit. Pendidik. Bagi Pengemb. Profesi Pendidik. Dan Tenaga Kependidikan.” Daftar Pustaka Babbie, Earl R. “The Practice of Social Research - Earl R. Babbie - Google Kitaplar.” Cengage Learning. Bernard, H Russell. Reserach Methods in Anthropology - Qualitative and Quantitative Approaches. AltaMira Press, 2006. Bodgan, Robert, and Steven J. Taylor. Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to Social Sciences. New York: John Willey & Sons, 1975. Ersyad, Firdaus Azwar. “Seni Mengajar Di Pendidikan 2.0.” Kompasiana. Last modified 2015. Accessed August 23, 2019. https://www.kompasiana.com/firdausazwarersyad/552b2823f17e611f77d624 19/seni-mengajar-di-pendidikan-20. Hartono, Handreas. “Mengaktualisasikan Amanat Agung Matius 28 : 19-20 Dalam Konteks Era Digital.” KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) 4, no. 2 (2018): 19–20. www.sttpb.ac.id/ejournal/index.php/kurios. Kristianto, Paulus Lilik. Prinsip Dan Praktik Pendidikan Agama Kristen. 3rd ed. Yogyakarta: ANDI, 2006. Lase, Delipiter. “Education and Industrial Revolution 4.0.” Handayani Journal PGSD FIP Unimed 10, no. 1 (2019): 48–62. https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/handayani/issue/view/1649. ———. “Pendidikan Di Era Revolusi Industri 4.0” (2019). https://www.researchgate.net/publication/335463788_PENDIDIKAN_DI_E RA_REVOLUSI_INDUSTRI_40. Miles, M.B; Huberman, A.M. Qualitative Data Analysis: A Source Book for New Methods. Beverly Hills CA: Sage Publication Inc, 1984. Nanggolan, M. Sterategi Pendidikan Agama Kristen. Bandung: Generasi Info Media, 2008. Rijadi, Suprijanto. “UU No 20 2003 Sistem Pendidikan Nasional.” Dec 30, 2009. Sunita Indiana dan Eva Mayasari. Yes Or Not Gadget Buah Si Buah Hati. Yogyakarta: Deepublish, 2017. Trianto. “Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan Dan Tenaga Kependidikan.” In Pengantar Penelitian Pendidikan Bagi Pengembangan Profesi Pendidikan Dan Tenaga Kependidikan, edited by Titik Triwulan Tutik, 61. Jakarta: Kencana, 2011. View publication stats