Referat Lesi Medula Spinalis Pembimbing: dr. Dini Andriani, SpS Disusun Oleh: Nurul Akma binti Mohd Nazri 11-2012-241 Dipresentasikan tanggal : 23 Disember 2013 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF PERIODE 16 DISEMBER 2013 – 18 JANUARI 2014 RUMAH SAKIT UMUM BHAKTI YUDHA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA KATA PENGHANTAR Puji dan Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat – Nya, maka referat yang berjudul Lesi Medula Spinalis dapat diselesaikan dengan baik. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf, di Rumah Sakit ini. Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Dini Andriani, SpS yang telah memberikan bimbingan dan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tak langsung dalam menyelesaikan referat ini. Penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan referat ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Penulis, Jakarta, 20 Disember 2013 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Lesi medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan / atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Lesi medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total, dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunteer.1 Lesi medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan 10.000 trauma baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh trauma. Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk trauma medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%). 2 Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).3 1.2.Ruang Lingkup Pembahasan Pada kesempatan kali ini penulis berusaha mengulas mengenai trauma medulla spinalis dan penanganannya. Hal – hal yang akan dibahas dalam referat ini meliputi anatomi medulla spinalis, definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis serta penanganan trauma medulla spinalis. 1.3.Tujuan Penulisan Referat ini disusun untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Saraf di RS Bhakti Yudha. Dan diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan medis. 1.4.Teknik Pengumpulan Data Penulis menggunakan metode pengumpulan data secara tidak langsung, melalui studi kepustakaan, yaitu dari buku-buku referensi dan pustaka elektronik yang berkaitan dengan tema referat ini. 1.5 Sistematika Penulisan Bab I. Pendahuluan : membahas tentang latar belakang penulisan, ruang lingkup pembahasan, tujuan penulisan, teknik pengumpulan data, dan sistematika penulisan. Bab II. Anatomi Medulla Spinalis : Membahas tentang anatomi medulla spinalis. Bab III. Trauma Medulla Spinalis : Membahas tentang definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, serta penatalaksanaan dan komplikasi trauma medulla spinalis. Bab IV. Kesimpulan : Kesimpulan dari referat ini. BAB II ANATOMI 2.1 Anatomi 2.1.1 Anatomi columna vertebralis3,4 Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh discus intervertebralis. Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut : a. Vetebra Cervicalis (atlas) Vetebra cervicalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebra cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbra cervikalis ketujuh disebut dominankarena mempunyai prosesus spinasus paling panjang. b. VertebraThoracalis Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax. c. Vertebra Lumbalis Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi. d. Os. Sacrum Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi. e. Os. Coccygis Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter. Lengkung koluma vertebralis kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengan kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan perantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membongkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belakang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga. Gambar 1 : Anatomi Collumna Vertebralis5 2.1.2 Anatomi medulla spinalis3,4 Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atlas (C1) sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla spinalis akan berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang medulla spinalis setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medulla spinalis dibungkus oleh duramater, arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks. Gambar 2 : Medulla Spinalis6 Medulla spinalis terbagi ke dalam beberapa segmen, yaitu: cervikal (C1-C8), segmen torakal (T1-T12), segmen lumbal (L1-L5), segmen sakral (S1-S5) dan 1 segmen koksigeal yang vestigial. Serabut saraf yang kembali ke medula spinalis diberi nama sesuai lokasi masuk/keluarnya dari kanalis vertebralis pada korpus vertebrae yang bersangkutan. Saraf dari C1-C7 berjalan di sebelah atas korpus vertebrae yang bersangkutan, sedangkan dari saraf C8 ke bawah berjalan di sebelah bawah korpus vertebrae yang bersangkutan. Gambar 3 : Segmen-segmen medula spinalis Gambar 4 : Somatotopik Medula Spinalis. Gambar 5 : Anatomi Medulla Spinalis7 Pada penampang transversal medula spinalis, dapat dijumpai bagian sentral yang berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan gray matter. Gray matter adalah suatu area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau huruf H. Area ini mengandung badan sel neuron beserta percabangan dendritnya. Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area ini berwarna lebih gelap. Di bagian perifer medula spinalis, tampak suatu area yang mengelilingi grey matter yang tampak lebih cerah dan dikenal dengan white matter. White matter terdiri atas serat-serat saraf yang berselubung myelin dan berjalan dengan arah longitudinal. Pada penampang melintang, white matter dibagi ke dalam beberapa daerah topografik, antara lain: funikulus dorsalis, funikulus lateralis, funikulus ventralis dan komisura alba. Funikulus adalah suatu kumpulan berkas fungsional yang disebut traktus. Serat-serat yang membentuk traktus dalam white matter berasal dari sel-sel ganglion, sel saraf dalam gray matter dan sel saraf dalam korteks serebri atau pusat fungsional lainnya dalam batang otak atau cerebrum. Berdasarkan arah aliran impulsnya, traktus dalam medula spinalis antara lain: Traktus ascenden yang membawa impuls ke arah kranial atau ke pusat-pusat fungsional yang lebih tinggi Traktus descenden yang membawa impuls dari pusat-pusat fungsional yang lebih tinggi ke medula spinalis Traktus intersegmentalis, yang mengantarkan impuls dalam dua arah. Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut : 1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit 2. Serabut saraf sensorik : mengantarkan impuls - impuls tersebut menuju sel - sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior medula spinalis 3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut - serabut saraf penghubung menghantarkan impuls - impuls menuju kornu anterior medula spinalis 4. Sel saraf motorik ; dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik 5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik 6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rectum. BAB III LESI MEDULLA SPINALIS 3.1 DEFINISI Segala suatu yang mengganggu fungsi atau merusak kawasan susunan saraf disebut lesi. 3.2 ETIOLOGI Suatu lesi dapat berupa kerusakan pada jaringan fungsional karena: Perdarahan Trombosis Emboli Peradangan Degenerasi Proses desak ruang dan sebagainya 3.3 SINDROM MEDULLA SPINALIS Karena medulla spinalis terdiri dari serabut saraf motorik, sensorik, dan otonom, serta nuclei dengan hubungan spesial yang erat satu sama lain, lesi pada medulla spinalis dapat menimbulkan berbagai deficit neurologis, yang dapat dikombinasikan satu dengan yang lainnya dalam berbagai cara yang berbeda. Pemeriksaaan klinis yang cermat biasanya dapat menunjukkan lokasi lesi secara tepat. Lesi pada medulla spinalis jarang hanya mengenai substansia alba atau hanya substansia grisea tetapi lebih sering mengenai keduanya. Di sini akan dibahas manifestasi klinis sindrom medulla spinalis yang khas dan ditampilkan dari sudut pandang topikal.1 Sindrom kolumna posterior Kolumna posterior dapat terlihat secara sekunder oleh proses patologis yang mengenai sel-sel ganglion radiks dorsalis dan radiks posterior. Lesi pada kolumna posterior umumnya merusak sensasi posisi dan getar, diskriminasi dan streognosis. Lesi ini juga menimbulkan tanda Romberg yang positif, serta gait ataksia yang memberat secara bermakna ketika mata ditutup (tidak seperti ataksia serebelar yang mana tidak memberat saat mata ditutup). Lesi kolumna posterior juga seringkali menyebabkan hipersensitivitas terhadap nyeri. Kemungkinan penyebabnya antara lain adalah defisiensi vitamin B12 (misalnya pada mielosis funikularis), mielopati vakuolar terkait-AIDS, dan kompresi spinal (misalnya pada stenosis medulla spinalis servikalis).1,3,4 Gambar 8 : Sindrom kolumna posterior. Sindrom kornu posterius Sindrom ini dapat menjadi manifestasi klinis siringomielia, hematomielia dan beberapa tumor intra medular medulla spinalis, dan kondisi-kondisi lainnya. Seperti lesi pada radiks posterior, lesi kornu posterius menimbulkan deficit somatosensorik segmental namun tidak seperti lesi radiks posterior yang merusak semua modalitas sensorik, lesi kornu posterius menyisakan modalitas yang dipersarafi oleh kolumna posterior. Hanya sensasi nyeri dan suhu segmen ipsilateral yang sesuai yang hilang, karena modalitas ini dikonduksikan ke sentral melalui neuron kedua di kornu posterius (yang aksonnya berjalan naik di dalam traktus spinotalamikus lateralis). Hilangnya sensasi nyeri dan suhu dengan menyisakan sensasi bagian kolumna posterior disebut deficit somatosensorik terdisosiasi. Dapat terjadi nyeri spontan (nyeri deferentasi) di area yang analgesik. Sensasi nyeri dan suhu di bawah tingkat lesi tetap baik, karena traktus spinotalamikus lateralis, yang terletak di funikulus anterolateralis, tidak mengalami kerusakan dan tetap menghantar modalitas tersebut ke sental.1 Gambar 9 : Sindrom kornu posterius Sindrom substansia grisea Kerusakan pada substansia grisea sentral medulla spinalis akibat siringomielia, hematomielia, tumor medulla spinalis intramedular atau proses-proses lain mengganggu semua jaras serabut yang melewati substansia grisea. Serabut yang paling berpengaruh adalah serabut yang berasal dari sel-sel kornu posterius dan yang menghantarkan sensasi tekanan, raba kasar, nyeri dan suhu. Serabut-serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral dan kemudian berjalan naik di traktus spinotalamikus lateralis dan anterior. Suatu lesi yang mengenainya menimbulkan deficit sensorik terdisosiasi bilateral di area kulit yang dipersarafi oleh serabut yang rusak. Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga berisi cairan di medulla spinalis. Penyakit yang serupa di batang otak disebut siringobulbia. Rongga ini disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme yang berbeda dan terdistribusi dengan pola karekteristik yang berbeda, sesuai dengan mekanisme pembentukannya. Beberapa siring merupakan perluasan kanalis sentralis medulla spinalis yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan ventrikel keempat. Siringomielia paling sering mengenai medulla spinalis servikalis, umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu dan ekstremitas atas. Siring menyebabkan (para) paresis spastik dan gangguan proses berkemih, defekasi dan fungsi seksual. Siringobulbia sering menyebabkan atrofi unilateral pada lidah, hiperalgesia atau analgesia pada wajah dan berbagai jenis nistagmus sesuai dengan lokasi dan konfigurasi siring. Gambar 10 : Sindrom substansia grisea Sindrom lesi kombinasi pada kolumna posterior dan traktus kortikospinalis Sindrom ini paling sering terjadi disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 akibat karena kurangnya faktor instrinsik lambung dan pada kasus demikian disebut “degenerasi kombinasi subakut”. Fokus-fokus demielinasi ditemukan di regio servikal dan torakal di kolumna posterior (70-80%) dan lebih jarang di traktus piramidalis (40-50%), sedangkan substansia grisea biasanya tidak mengalami kerusakan. Kerusakan kolumna posterior menyebabkan hilangnya sensasi posisi dan getar di ekstremitas bawah, menimbulkann ataksia spinal dan tanda Romberg yang positif (ketidakseimbangan postur saat mata tertutup). Kerusakan traktus pirimidalis yang menyertainya menimbulkan paraparesi spastik dengan hiperrefleksia dan tanda Babinski bilateral.1 Gambar 11 : Sindrom lesi kombinasi pada kolumna posterior dan traktus kortikospinalis Sindrom kornu anterius Baik poliomyelitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara spesifik mempengaruhi sel-sel kornu anterius, terutama pada pembesaran servikal dan lumbalis medulla spinalis. Pada poliomyelitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterius hilang secara akut dan irreversible, terutama di region lumbalis, menyebabkan paresis flasid pada otot-otot di segmen yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh berbanding otot distal. Otot menjadi atrofi dan pada kasus berat dapat tergantikan seluruhnya oleh jaringan ikat dan lemak. Poliomyelitis jarang mengenai seluruh otot ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius di kolumna vertical yang panjang di dalam medulla spinalis.1,7 Gambar 12 : Sindrom kornu anterius Sindrom kombinasi kornu anterius dan traktus piramidalis Terlihat pada sklerosis amitrofi lateral (ALS) sebagai akibat degenerasi neuron motorik kortikal dan medulla spinalis. Gambaran klinisnya adalah kombinasi paresis flasid dan spastik. Atrofi otot yang timbul pada awal perjalanan penyakit, umumnya sangat berat sehingga reflek tendon dalam menghilang, jika hanya mengenai lower motor neuron. Namun karena kerusakan yang simultan pada upper motor neuron (dengan konsekuensi berupa degenerasi traktus pirimidalis dan spastisitas), refleks umumnya tetap dapat dicetuskan dan bahkan dapat meningkat. Degenerasi nuclei nervus kranialis motorik yang menyertainya dapat menyebabkan disartria dan disfagia (kelumpuhan bulbar progresif).1,3 Gambar 13 : Sindrom kombinasi kornu anterius dan traktus piramidalis Sindrom traktus kortikospinalis Hilangnya neuron motorik kortikal yang diikuti oleh degenerasi traktus kortikospinalis pada beberapa penyakit, termasuk sklerosis lateralis primer (varian sklerosis amiotrofik lateralis) dan bentuk yang lebih jarang paralisis spinal spastic herediter. Bentuk yang lebih sering pada penyakit ini terjadi akibat mutasi gen untuk ATPase dari family AAA pada kromosom 2. Penyakit ini muncul pada masa kanak-kanak dan memberat secara lambat setelahnya, awalnya pasien mengeluh rasa berat yang dilanjutkan dengan kelemahan pada ekstemitas bawah. Paraparesis spatik dengan gangguan cara berjalan pasti timbul dan memberat secara perlahan. Refleks lebih kuat daripada normal. Paresis spastik pada ekstremitas atas tidak timbul hingga lama setelahnya.1 Gambar 14 : Sindrom traktus kortikospinalis Sindrom kombinasi keterlibatan kolumna posterior, traktus spinoserebelaris dan (kemungkinan ) traktus piramidalis. Ketika proses patologis mengenai semua sistem tersebut, diagnosis banding harus menyertakan ataksia spinoserebelaris tipe Friedreich, bentuk aksonal neuropati herediter (HSMN II), dan ataksia lainnya. Karekteristik menifestasi klinis timbul oleh lesi pada masing-masing sistem yang terkena. Ataksia Friedreich dimulai sebelum usia 20 tahun dengan hilangnya sel-sel ganglion radiks dorsalis, yang menyebabkan degenerasi kolumna posterior. Akibat klinisnya adalah gangguan sensasi posisi, diskriminasi dua titik, dan stereognosis, dengan ataksia spinalis dan tanda Romberg yang positif. Sensasi nyeri dan suhu sebagian besar atau seluruhnya tidak terganggu. Ataksia berat, baik karena kolumna posterior ataupun traktus spinoserebelaris terkena. Hal ini terlihat jelas ketika pasien mencoba berjalan, berdiri dan duduk, serta pada saat pemeriksaan jari-hidung-jari dan uji heel-knee-shin. Cara berjalan pasien tidak terkoordinasi dengan festinasi, dan juga menjadi spastik seiring perjalanan waktu karena degenerasi progresif pada traktus piramidalis. Sekitar setengah jumlah pasien menunjukkan deformitas rangka seperti skoliosis atau pes kavus (yang disebut kaki Friedreich). Menurut Harding, ataksia Friedreich dapat didiagnosis jika ditemukan kriteria klinis berikut: Ataksia progresif tanpa diketahui penyebabnya, dimulai sebelum usia 25 tahun. Diturunkan secara autosomal resesif. Tidak adanya refleks tendon dalam di ekstremitas bawah Gangguan kolumna posterior Disartria dalam 5 tahun setelah onset. Diagnosis dapat ditegakkan secara definitif dengan pemeriksaan genetik molekuler untuk mengindentifikasi defek genetik yang mendasarinya.1 Gambar 14 : Sindrom kombinasi keterlibatan kolumna posterior, traktus spinoserebelaris dan (kemungkinan ) traktus piramidalis. Sindrom hemiseksi medulla spinalis/ sindrom Brown-Sequard Sindrom ini jarang dan biasanya tidak komplet. Penyebab tersering adalah karena trauma medula spinalis dan herniasi diskus servikalis. Interupsi jaras motorik desendens pada satu sisi medulla spinalis pada awalnya menyebabkan paresis flasid ipsilateral di bawah tingkat lesi (syok spinal), yang kemudian menjadi spastik dan disertai oleh hiperefleksia, tanda Babinsky dan gangguan vasomotor. Pada saat yang bersamaan gangguan kolumna posterior pada satu sisi medulla spinalis menimbulkan hilangnya sensasi posisi, getar, dan diskriminasi taktil ipsilateral di bawah tingkat lesi. Ataksia yang normalnya terlihat pada lesi kolumna posterior tidak terjadi kerena paresis ipsilateral yang bersamaan. Sensasi nyeri dan suhu sesisi lesi tidak terganggu, karena serabut yang mempersarafi modalitas ini telah menyilang ke sisi kontralateral dan berjalan naik ke dalam traktus spinotalamikus lateralis, tetapi sensasi nyeri dan suhu kontralateral hilang di bawah tingkat lesi karena traktus spinnotalamikus ipsilatral terganggu. Sensasi taktik sederhana tidak terganggu karena modalitas ini dipersarafi oleh dua jaras serabut yang berbeda. Kolumna posterior (tidak menyilang) dan traktus spinotalamikus anterior (menyilang). Hemiseksi medulla spinalis menyisakan satu dari kedua jaras tersebut untuk sensasi taktil pada kedua sisi tubuh tetap intak-kolumna posterior kontralateral untuk sisi kontralateral lesi dan traktus spinotalamikus anterior kontralateral untuk sisi ipsilateralis. Selain interupsi traktus yang panjang, sel-sel kornu anterius dapat mengalami kerusakan dengan luas yang bervariasi pada tingkat lesi, kemungkinan menyebabkan paresis flasid. Iritasi radiks posterior juga dapat menyebabkan parestesia atau nyeri radikular di dermatom yang sesuai dengan batas atas gangguan motorik.1,2,3,7 Gambar 15 : Sindrom hemiseksi medulla spinalis/ sindrom Brown-Sequard Sindrom transseksi medulla spinalis Sindrom transseksi medulla spinalis Akut Sindrom transseksi medulla spinalis total paling sering disebabkan oleh trauma , jarang disebabkan oleh inflamasi atau infeksi. Trauma medulla spinalis akut awalnya menimbulkan keadaan yang disebut syok spinal, gambaran klinis yang patofisiologinya belum difahami secara total. Di bawah tingkat lesi terdapat paralisis flasid komplet dan semua modalitas sensasi hilang. Fungsi berkemih, defekasi dan seksual juga hilang. Hanya refleks bulbokavernosus yang tetap ada. Juga terdapat perubahan tropik di bawah tingkat lesi khususnya hilangnya berkeringat dan gangguan termoregulasi. Terdapat kecenderungan bermakna untuk terbentuknya ulkus dekubitus. Batas ada deficit sensorik sering dibatasi oleh suatu zona hiperalgesia. Dalam beberapa hari dan minggu setelah kejadian, neuron spinalis perlahan-lahan kembali mendapatkan fungsinya, setidaknya sebagian, tetapi tetap terputus sebagian besar impuls neuron yang berasal dari sentral yang normalnya mengatur neuron tersebut. Kemudian neuro-neuron ini menjadi “otonom” dan timbul “otomatisme spinal”. Pada banyak kasus stimulus di bawah tingkat lesi mencetuskan fleksi tiba-tiba pada panggul, lutut, dan pergelangan kaki (refles fleksor). Jika sindrom transseksi medulla spinalis total, ekstremitas tetap berada pada posisi fleksi dalam jangka panjang setelah stimulus karena elevasi spastik pada tonus otot. (sebaliknya pada sindrom transseksi medulla spinalis inkomplet, tungkai pada awalnya mengalami fleksi saat distimulasi, tetapi kemudian kembali ke posisi semula). Defekasi dan miksi perlahan-lahan berfungsi kembali, tetapi tidak berada di bawah kendali volunteer bahkan kandung kemih dan rectum secara refleksif mengosongkan diri ketika terisi pada jumlah tertentu. Disnergia sfingter detrusor menyebabkan retensi urin dan miksi refleksif yang sering. Reflek tendon dalam dan tonus otot perlahan-lahan kembali dan dapat meningkat secara patologis, namun potensi seksual tidak kembali.7 Sindrom transseksi medulla spinalis progresif Ketika Sindrom transseksi medulla spinalis muncul perlahan-lahan dan bukan tiba-tiba, misalnya karena tumor yang tumbuh secara lambat, syok spinal tidak terjadi. Sindrom transseksi pada kasus seperti ini biasanya parsial bukan total. Paraparesis spastik yang berat dan progresif terjadi dibawah tingkat lesi, disertai oleh deficit sensorik, disfungsi miksi, defekasi dan seksual serta manifesatasi otonomik. Sindrom transseksi medulla spinalis servikalis Transseksi medulla spinalis di atas sevikal III fatal karena dapat menghentikan pernafasan (hilangnya fungsi nervus frenikus dan nervi interkostales secara total). Pasien tersebut hanya dapat bertahan jika diberikan ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah trauma penyebabnya, keadaan yang sangat jarang terjadi. Transeksi pada tingkat servikal bawah menyebabkan kuadriparesis dengan keterlibatan otot-otot interkostal, pernafasan dapat sangat terganggu. Ekstremitas atas terkena dengan luas yang bervariasi bergantung pada tingkat lesi. Tingkat lesi dapat ditentukan secara tepat dari deficit sensoris yang ditemukan pada pemeriksaan fisik.1 Sindrom transseksi medulla spinalis torasika Transseksi medulla spinalis torasika bagian atas tidak mengganggu ekstremitas atas, tetapi mengganggu pernafasan dan juga dapat menimbulkan ileus paralitis melalui keterlibatan nervus splanknikus. Transseksi medulla spinalis torasika bagian bawah tidak mengganggu otot-otot abdomen dan tidak mengganggu pernafasan.1 Sindrom transseksi medulla spinalis lumbalis Transseksi medulla spinalis lumbalis menyebabkan gangguan berat karena secara bersamaan terjadi kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis bagian bawah, arteri radikularis mayor. Hasilnya adalah infark pada seluruh medula spinalis lumbalis dan sakralis.1 Sindrom epikonus Sindrom epikonus disebabkan oleh lesi medulla spinalis setinggi L4 hingga S2, relatif jarang. Tidak seperti sindrom konus, sindrom epikonus berkaitan dengan paresis spastik dan flasid ekstremitas bawah, tergantung pada segmen lesi yang tepat. Terdapat kelemahan atau paralisis total pada rotasi ekterna panggul (L4-S1) dan ekstensi panggul (L4-L5) dan kemungkinan juga fleksi lutut (L4-S2) serta fleksi dan ekstensi pergelangan kaki dan jari-jari kaki (L4-S2). Reflek Achilles menghilang, sedangkan refleks lutut tetap ada. Deficit sensorik terbentang dari L4-S5. Pengosongan kandung kemih dan rectum hanya secara refleksif, potensi seksual hilang dan pasien laki-laki sering mengalami priapisme. Terdapat paralisis vasomotor sementara serta kehilangan kemampuan berkeringat sementara.1,3 Sindrom konus Sindrom ini diakibatkan oleh lesi setinggi atau di bawah S3. Juga jarang terjadi dan biasanya disebakan oleh tumor spinal, iskemia atau herniasi diskus lumbalis massif. Lesi konus medularis terisolasi menimbulkan berbagai defisit neurologi seperti: Arefleksia destrusor dengan retensi urin dan inkontinensia overflow. Inkontinensia Impotensia Saddle anestesia Hilang refleks ani Ekstremitas bawah tidak paresis dan refleks Achilles tetap ada (L5-S2). Jika sindrom konus disebabkan oleh tumor, radiks lumbalis dan radiks sakralis yang berjalan menurun di sepanjang konus medularis akan terkena, cepat atau lambat. Pada kasuskaus tersebut, manifestasi sindrom konus disertai oleh deficit akibat keterlibatan kauda ekuina :kelemahan ekstremitas bawah dan deficit sensori yang lebih luas dibandingkan dengan defisit pada sindrom konus murni.1,3,7 Sindrom kauda equina Sindrom ini melibatkan radiks nervi lumbalis dan radiks nervi sakralis yang berjalan ke bawah di sepnjang sisi dan bawah konus medularis dan menembus ruang subarachnoid lumbosakral dan keluar melalui foramennya. Tumor biasanya penyebab yang umum. Pasien awalnya mengeluhkan nyeri radikuler pada distribusi nervus ischiadiks dan nyeri pada kandung kemih yang hebat dan memberat saat batuk dan bersin. Kemudian, deficit sensorik radikuar dengan berat yang bervariasi, mengenai semua modalitas sensorik, timbul pada tingkat L4 atau di bawahnya. Lesi yang mengenai bagian atas kauda equina menimbulkan deficit sensorik pada tungkai dan area saddle. Dapat terjadi paresis flasid pada ekstremitas bawah dengan arrefleksia, juga terdapat inkontinensia urin dan alvi, bersamaan dengan disfungsi seksual. Pada lesi di bagian bawah kauda equina, deficit sensorik hanya terdapat pada daerah saddle (S3-S5) dan tidak terjadi kelemahan tungkai, tetapi fungsi miksi, defekasi dan seksual terganggu. Tumor yang mengenai kauda equina tidak seperti tumor konus, menimbulkan manifestasi klinis dengan progresivtas lambat dan ireguler karena masingmasing radiks saraf terkena dengan kecepatan yang berbeda dan beberapa di antaranya tidak mengalami kerusakan hingga akhir perjalanan klinis. 1,3 3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi di medulla spinalis akibat cedera/trauma Radiologik Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2. Pungsi Lumbal Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingattindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut. Mielografi Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis 3.5 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan yang diberikan ada dua yaitu non-medikamentosa, dimana pasien bed rest dan juga diberikan terapi berupa fisioterapi biasanya dalam bentuk diatermi. Fisioterapi agar dapat membantu mengontrol nyeri punggung bawah, menstabilkan dan melindungi dari kelemahan dan memberikan perlindungan jangka lama , mengontrol, atau mengoreksi deformitas tulang belakang. Sudah ada perbaikan yang bermakna ditunjukkan pada pasien. Macam-macam fisioterapi diantaranya, 1. Exercise Therapy atau Terapi Latihan Terapi ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi sekaligus penguatan dan pemeliharaan gerak agar bisa kembali normal atau setidaknya mendekati kondisi normal. 2. Heating Therapy atau Terapi Pemanasan Terapi ini memanfaatkan kekuatan panas yang biasanya digunakan pada kelainan kulit, otot, maupun jaringan tubuh bagian dalam lainnya. Terapi pemanasan biasanya diberikan bersamaan dengan jeni terapi lainnya. 3. Electrical Stimulations Therapy atau Terapi Stimulasi Listrik Terapi yang menggunakn aliran listrik bertenaga kecil ini cocok diterapkan pada yang menderita kelemahan otot akibat patah tulang ataupun kerusakan saraf otot. 4. Cold Therapy atau Terapi Dingin Terapi dingin biasanya diberikan bila cedera masih akut sehingga proses peradangan tidak menjadi kronis. Terapi ini umumnya hanya diperuntukkan bagi otot saja, biasanya akibat terjatuh dan mengalami memar. Penatalaksanaan yang kedua adalah medikamentosa. Pasien diberikan obat metilprednisolon pada pasien dengan trauma medulla spinalis: Bila diagnosis diegakkan <3 jam pasca trauma diberikan: Metilprednisolon 30mg/kgBB i.v bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 mneit (tidak diberikan metilprednisolon dalam kurun waktu ini), selanjutnya diberikan infus terus menerus metilprednisolon selama 23 jam dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam. Bila 3-8 jam, idem, hanya infus metilprednisolon dilanjutkan untuk 47 jam. Bila >8 jam, tidak dianjurkan pemberian metilprednisolon. 3.6 SISTEM SARAF Impuls motorik untuk gerakan volunteer terutama dicetuskan di girus presentralis lobus frontalis (korteks motorik primer, area 4 Brodman) dan area kortikal di sekitarnya (neuron motorik pertama). Impuls tersebut berjalan di dalam jaras serabut yang panjang (terutama traktur kortikonuklearis dan traktus kortikospinalis/jaras pyramidal), melewati batang otak dan turun ke medulla spinalis ke kornu anterius, tempat mereka membentuk kontak sinaptik dengan neuron motorik kedua- biasanya melewati satu atau beberapa interneuron perantara. Serabut saraf yang muncul dari area 4 dan area kortikal yang berdekatan bersamasama membentuk traktus piramidalis, yang merupakan hubungan yang paling langsung dan tercepat antara area motorik primer dan neuron motorik di kornu anterius. Selain itu, area kortikal lain (terutama korteks premotorik, area 6) dan nuclei subkotikalis (terutama ganglia basalia) berpartisipasi dalam control neuron gerakan. Area-area tersebut membentuk lengkung umpan balik yang kompleks satu dengan lainnya dan dengan korteks primer dan serebelum; struktur ini mempengaruhi sel-sel di kornu anterius medulla spinalis melalui beberapa jaras yang berbeda di medulla spinalis. Fungsinya terutama untuk memodulasi gerakan dan untuk mengatur tonus otot. Impuls yang terbentuk di neuron motorik kedua pada nuclei nervi kranialis dan kornu anterius medulla spinalis berjalan melewati radiks anterior, pleksus saraf (diregio servikal dan lumbosakral) serta saraf perifer dalam perjalanannya ke otot-otot rangka. Impuls dihantarkan ke sel-sel otot melalui motor end plate taut neuromuscular. Lesi pada neuron motorik pertama di otak dan medulla spinalis biasanya menimbulkan paresis spastic, sedangkan lesi neuron motorik orde kedua di kornu anterius, radiks anterior, saraf perifer, atau motor end plate biasanya menyebabkan paresis falsid. Deficit motorik akibat lesi pada system saraf jarang terlihat sendiri-sendiri; biasanya disertai oleh berbagai defisit sensorik , otonomik, kognitif, dan/atau defisit neuropsikologis dalam berbagai bentuk, tergantung pada lokasi dan sifat lesi penyebabnya. Gambar 1 : Hubungan dari korteks serebri hingga otot Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu : 1.Sistem saraf pusat (sentral), terbagi atas: Otak Sumsum tulang belakang(medula spinalis) 2.Sistem saraf perifer (tepi) terdiri atas: A. Divisi Aferen, membawa informasi ke SSP (memberitahu SSP mengenai lingkungan eksternal dan aktivitas-aktivitas internal yg diatur oleh SSP B. Divisi Eferen, informasi dari SSP disalurkan melalui divisi eferen ke organ efektor (otot atau kelenjar yg melaksanakan perintah untuk menimbulkan efek yg diinginkan), terbagi atas: -Sistem saraf somatik, yg terdiri dari serat-serat neuron motorik yg mempersarafi otot-otot rangka -Sistem saraf otonom, yg mempersarafi otot polos, otot jantung dan kelenjar, terbagi atas : 1. Sistem saraf simpatis 2. Sistem saraf Parasimpatis Sesuai dengan susunan anatomi, maka SSO dibagi menjadi dua bagian besar yaitu divisi simpatis (torakolumbal/SO) dan divisi parasimpatis (kraniosakral/SP). Kedua divisi ini diawali dari inti/pusat dalam SSP dan memunculkan serabut saraf eferen preganglionik yang keluar dari batang otak atau medulla spinalis dan berakhir pada ganglia motor. Serabut preganglionik simpatis keluar dari SSP melalui saraf spinal torakalis dan lumbalis, sehingga disebut “Sistem Torakolumbal”. Serabut preganglionik parasimpatis keluar dari SSP melalui saraf cranial (terutama III, VII, IX dan X) dan radiks spinal S-III – S-IV. Gambar 2 : Perjalanan Impuls Motorik PUSAT MOTORIS DAN SENSORIS Pada corteks cerebral terdapat beberapa daerah : Korteks serebral mengandung 3 jenis fungsional area yaitu motor area, sensori area, dan asosiasi area. Neuron motoris dan neuron sensoris terdapat pada motoris area dan sensoris area pada korteks serebri. Semua neuron pada korteks serebri merupakan inter neuron. Setiap hemisfer terdapat fungsi motoris dan sensoris yang berlawanan pada sisi tubuh (kontralateral). Sekalipun sebagian besar struktur pada 2 hemisfer kanan dan kiri simetris, tetapi tidak ada fungsi yang sama. Masing – masing memiliki spesialisasi fungsi kortikal. Yang sangat penting yang harus kita ingat tidak ada fungsi area pada korteks serebri yang bekerja sendirian. AREA MOTORIS Motoris area pada korteks serebri, dengan gerakan volunter yang terkontrol yang terdapat pada lobus frontalis terdiri dari motor korteks primer, premotor korteks, area broca, frontal eye field. AREA SENSORIS Terdapat pada korteks serebri yaitu pada lobus parietal, insular, temporal,dan occipital. Terdiri dari korteks primer somatosensoris, korteks asosiasi somatosensoris, area visual, area auditory, korteks olfaktori, korteks gustatory, area sensori visual, korteks vestibuler. 3.5 TUMOR MEDULLA SPINALIS Medula spinalis tersusun dalam kanalis spinalis dan diselubungi oleh sebuah lapisan jaringan konektif, dura mater. Tumor medula spinalis merupakan suatu kelainan yang tidak lazim, dan hanya sedikit ditemukan dalam populasi. Namun, jika lesi tumor tumbuh dan menekan medula spinalis, tumor ini dapat menyebabkan disfungsi anggota gerak, kelumpuhan dan hilangnya sensasi.1,2 Gambar 1. Diagram otak, tulang belakang dan medulla spinalis. Pembesaran gambar menunjukkan struktur dari medulla spinalis KLASIFIKASI Tumor pada medulla spinalis dapat dibagi menjadi tumor primer dan tumor metastasis. Kelompok yang dominan dari tumor medula spinalis adalah metastasis dari proses keganasan di tempat lain. Tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi tiga kelompok, berdasarkan letak anatomi dari massatumor. Pertama, kelompok ini dibagi dari hubungannya dengan selaput menings spinal, diklasifikasikan menjadi tumor intradural dan tumor ekstradural. Selanjutnya, tumor intradural sendiri dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu tumor yang tumbuh pada substansi dari medula spinalis itu sendiri –intramedullary tumours- serta tumor yang tumbuh pada ruang subarachnoid (extramedullary).3 Ekstra dural Intradural ekstramedular Intardural intramedular Chondroblastoma Ependymoma, Chondroma myxopapillary Ependymoma Hemangioma Epidermoid Ganglioglioma Lipoma Lipoma Hemangioblastoma Lymphoma Meningioma Hemangioma Meningioma Neurofibroma Lipoma Metastasis Paraganglioma Medulloblastoma Neuroblastoma Schwanoma Neuroblastoma tipe Astrocytoma Neurofibroma Neurofibroma Osteoblastoma Oligodendroglioma Osteochondroma Teratoma Osteosarcoma Sarcoma Vertebral hemangioma Table 1 distribusi anatomi dari tumor medulla spinalis berdasarkan gambaran histologisnya[*] Gambar 2, letak tumor medulla spinalis, ed = ekstradural; ie = intradural ekstramedular; ii = intradural intramedular* GAMBARAN KLINIS Gambaran klinik dari tumor pada aksis spinal tergantung dari fungsi pada daerah anatomis yang terkena. Tumor medulla spinalis dapat menyebabkan gejala lokal dan distal dari segmen spinal yang terkena ( melalui keterlibatan traktus sensorik dan motorik pada medula spinalis.) akibat organisasi anatomik dalam medula spinalis, maka kompresi lesi-lesi diluar medula spinalis biasanya menimbulkan gejala dibawah tingkat lesi. Tingkat gangguan sensorik naik secara berangsur-angsur bersama dengan meningkatnya kompresi, dan melibatkan daerah yang lebih dalam. Lesi yang terletak jauh didalam medula apinalis mungkin tidak menyerang serabut-serabut yang terletak sperfisial, dan hanya menimbulkan disosiaasi sensorik, yaitu sensasi nyeri dan suhu yang hilang, dan sensasi raba yang masih utuh. Kompresi medula spinalis akan mengakibatkan ataksia karena mengganggu sensasi posisi.4 Gambaran klinik pada tumor medulla spinalis sangat ditentukan oleh lokasi serta posisi pertumbuhan tumor dalam kanalis spinalis. KESIMPULAN Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat trauma. Penyebab paling sering untuk terjadinya trauma medulla spinalis adalah karena kecelakaan lalu lintas, dll. Trauma medulla spinalis sendiri diklasifikasikan menjadi trauma medulla spinalis komplit dan trauma medulla spinalis inkomplit. Sedangkan gejala yang paling sering pada trauma medulla spinalis adalah,nyeri akut pada belakang leher, paraplegia, paralisis sensorik motorik total,kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih) penurunan keringat dan tonus vasomotor, penurunan fungsi pernapasan, gagal nafas. Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Therapy operatif kurang dianjurkan kecuali jika pasien memiliki indikasi untuk dilakukannya operasi. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yanglebih baik daripada trauma medulla spinalis komplit. DAFTAR PUSTAKA 1. M. Baehr, M. Frotscher. Diagnosis Topic Neurologi Duus : Anatomi, isiologi, Tanda, Gejala. Jakarta : EGC, 2010. 2. Topographic and functional antomy of the spinal cord. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1148570-overview#a30 3. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981 4. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :EGC; 1997. 5. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of Neurology, 7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001. 6. Alpert MJ. Central Cord Syndrome. eMedicine Journal 2001; 2 7. Hurlbert RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An Inappropriate Standard of Care. J Neurosurg (Spine). 2000;93: 1-7 8. Braken MB. Steroid For Acute Spinal Cord Injury (Cochrane Review): Cochrane Library, Issue 3, 2002 9. Byrne TN, Waxman. Spinal Cord Compression : Diagnosis and Principles of Management, Philadelphia : FA Davis Company. 1990 10. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Spine and Spinal Cord. New York :2004 11. Lain. W, Graham L. Essential Neurology. Clinical skill, physical sign dan anatomy. Fourth edition. Blackwell Publishing, USA. 2005