Uploaded by amelia.sitanggang

CA COLORECTAL amelia

advertisement
BED SITE TEACHING (BST)
* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A219113 / 2020
** Pembimbing / dr. H. Mohammad Rizal Syafiie, Sp. B – KBD
KEGANASAN KOLOREKTAL
Amelia Rachel Zaebrina, S.Ked*
dr. H. Mohammad Rizal Syafiie, Sp. B - KBD**
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ILMU BEDAH
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
BED SITE TEACHING (BST)
* Kepaniteraan Klinik Senior / G1A219113
** Pembimbing / dr. H. Mohammad Rizal Syafiie, Sp. B - KBD
KEGANASAN KOLOREKTAL
Amelia Rachel Zaebrina, S.Ked*
dr. H. Mohammad Rizal Syafiie, Sp. B - KBD **
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ILMU BEDAH
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
ii
HALAMAN PENGESAHAN
BED SITE TEACHING (BST)
KEGANASAN KOLOREKTAL
Disusun Oleh :
Amelia Rachel Zaebrina, S.Ked
G1A219113
Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian Ilmu Bedah RSUD Raden Mattaher Prov. Jambi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan
Pada Juni 2020
Pembimbing
dr. H. Mohammad Rizal Syafiie, Sp. B - KBD
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Bed Site Teaching (BST) yang berjudul
“KEGANASAN KOLOREKTAL” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. H. Mohammad Rizal Syafiie, Sp. B – KBD
yang telah bersedia meluangkan waktudan pikirannya untuk membimbing penulis selama
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan kasus ini, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Penulis
mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Jambi, Juni 2020
Penulis
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma kolorektal adalah keganasan pada kolon dan rektum. Keganasan ini merupakan
keganasan saluran pencernaan terbanyak. Kanker kolorektal berada pada urutan ketiga sebagai
kanker paling banyak dan urutan ketiga sebagai penyebab kematian terkait kanker di Amerika
Serikat. The American Cancer Society memperkirakan bahwa 96.830 orang didiagnosis dengan
kanker usus besar di Amerika Serikat pada tahun 2014. Di seluruh dunia, kanker kolorektal berada
pada urutan kedua penyebab kanker paling umum pada wanita (614.000 kasus, 9,2% dari semua
kanker) dan nomor tiga penyebab kanker paling umum pada pria (746.000 kasus, 10,0% dari
total).1,2
Di Indonesia jumlah penderita kanker kolorektal menempati urutan ke- 10 (2,75%) setelah
kanker lain (leher rahim, payudara, kelenjar getah bening, kulit, nasofaring, ovarium, jaringan
lunak, dan tiroid). Dibandingkan penyakit jantung koroner, penyakit keganasan pada kolon dan
rektum kurang menjadi perhatian masyarakat awam, padahal angka kejadianya cukup tinggi.
Semakin bertambahnya usia harapan hidup, penyakit-penyakit degeneratif seperti kanker juga
akan semakin meningkat.3 Risiko terjadinya karsinoma kolorektal (KKR) mulai meningkat setelah
umur 40 tahun dan meningkat tajam pada umur 50 sampai 55 tahun, risiko meningkat dua kali
lipat setiap dekade berikutnya. Saat ini mulai terjadi pergeseran usia, banyak KKR ditemukan pada
usia yang lebih muda. Indonesia memiliki perbedaan persentase pasien KKR usia muda yang lebih
besar dibanding negara lainnya.
Kunci utama keberhasilan penanganan karsinoma ini adalah ditemukannya kanker dalam
stadium dini, sehingga terapi kuratif dapat dilakukan. Namun sebagian besar penderita di
Indonesia berobat dalam stadium lanjut sehingga angka survival rendah. Penderita sering datang
ke rumah sakit sudah dalam stadium lanjut karena tidak jelasnya gejala awal dan tidak
menganggap penting gejala dini yang terjadi, oleh karena itu sudah menjadi tugas dokter untuk
mendeteksi karsinoma kolorektal dalam stadium dini, sehingga prognosis penyakit ini menjadi
lebih baik.4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Histologi
Colon merupakan salah satu bagian dari sistem digestif. Makanan akan masuk
melalui mulut, esofagus, kemudian ke lambung. Setelah melewati lambung, makanan akan
menjaid cairan yang kemuidan akan berlanjut melalui usus halus untuk dilakukan absorbs
nutrisi dan didistribusikan melalui pembuluh darah. Setelah itu, akan masuk ke area usus
besar/colon dan akan terjadi absorbsi cairan sehingga terbetuklah feses dengan konsistensi
yang padat.
Kolon mempunyai panjang ± 1,5 meter dan terbentang dari sekum sampai dengan
rektum. Diameter terbesarnya ± 8,5 cm dalam sekum, berkurang menjadi ± 2,5 cm dalam
kolon sigmoideum dan menjadi sedikit lebih berdilatasi dalam rektum. Bagian asendens
dan desendens terutama retroperitoneum, sedangkan kolon sigmoideum dan transversum
mempunyai mesenterium, sehingga terletak di intraperitoneum. Lapisan otot longitudinal
kolon membentuk tiga buah pita yang disebut taenia koli. Panjang taenia lebih pendek
daripada kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti kantong
yang dinamakan haustra.
Secara embriologik kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri
sampai rektum berasal dari usus belakang. Kolon dibagi menjadi kolon asendens,
transversum, desenden dan sigmoid. Tempat di mana kolon membentuk kelokan tajam
yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan
fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan
berbentuk S. Dinding kolon terdiri dari empat lapisan histologi yang jelas, yaitu tunika
serosa, tunika muskularis, tunika submukosa dan tunika mukosa. Tunika serosa
membentuk apendises epiploika, sedangkan tunika mukosa terdiri dari epitel selapis toraks
dan tidak mempunyai vili serta banyak kriptus tubular, dalam sepertiga bawahnya
mempunyai sel goblet pensekresi mukus yang ada di keseluruhan kolon. Pada tunika
muskularis terdapat sel ganglion pleksus mienterikus (Auerbach) terutama terletak
sepanjang permukaan luar stratum sirkulasi.5
2
Gambar 2.1 Anatomi dan Histologi Colon
Sekum, kolon asendens dan bagian kanan kolon transversum diperdarahi oleh
cabang arteri mesenterika superior, yaitu a. ileokolika, a. kolika dekstra dan a. kolika media.
Kolon transversum sebelah kiri, kolon desendens, kolon sigmoid dan sebagian besar
rektum diperdarahi oleh arteri mesenterika inferior melalui a. kolika sinistra, a. sigmoid
dan a. hemoroidalis superior. Pembuluh vena kolon berjalan paralel dengan arterinya.
Aliran darah vena disalurkan melalui vena mesenterika superior untuk kolon
asendens dan kolon transversum dan melalui vena mesenterika inferior untuk kolon
desendens, sigmoid dan rektum. Keduanya bermuara ke dalam vena porta, tetapi v.
mesenterika inferior melalui v. lienalis. Aliran vena dari kanalis analis menuju ke v. kava
inferior. Pada batas rektum dan anus terdapat banyak kolateral arteri dan vena melalui
peredaran hemoroidal antara sistem pembuluh saluran cerna dan sistem arteri dan vena
iliaka.5,6
3
Gambar 2.2 Vaskularisasi Colon
Aliran limfe kolon sejalan dengan aliran darahnya, mengikuti arteria regional ke
nodi limfatisi preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Hal ini
penting diketahui sehubungan dengan penyebaran keganasan dan kepentingannya dalam
reseksi keganasan kolon. Sumber aliran limfe terdapat pada muskularis mukosa.
Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus splanknikus dan
pleksus presakralis serta serabut parasimpatis yang berasal dari nervus vagus. Karena
distribusi persarafan usus tengah dan usus belakang, nyeri alih pada kedua bagian kolon
kiri dan kanan berbeda. Lesi pada kolon bagian kanan yang berasal dari usus tengah terasa
mula-mula pada epigastrium atau di atas pusat. Nyeri dari lesi pada kolon desendens atau
sigmoid yang berasal dari usus belakang terasa mula-mula di hipogastrium atau di bawah
pusat.5,6
Colon sendiri terbagi dalam 4 bagian diantaranya colon ascenden, colon
transversum, colon descenden dan sigmoid. Dinding colon terdiri dari 4 lapisan, lapisan
yang paling dalam merupakan lapisan yang berhubungan langsung dengan feses, yaitu
mukosa. Mukosa sendiri terdiri dari 3 lapisan yaitu, epitel, lamina propria dan muskularis
mukosa. Lapisan epitel memgabsorbsi air dari feses serta memproduksi mukus yang
bersifat kental dan pekat untuk melindungi colon. Selain itu, mukus juga memudahkan
pergerakan feses melalui colon. Lamina propria merupakan lapisan tipis yang terdiri dari
jaringan jaringan penghubung (connective tissues). Sedangkan muskularis mukosa
4
merupakan lapisan yang terdiri dari serabut serabut muskular. Lapisan kedua dari colon
adalah submukosa yang terdiri dari jaringan jaringan penghubung, pembuluh darah,
serabut saraf dan pembuluh limfe. Pembuluh darah dan pembuluh limfe mendrainase
cairan dari colon menuju pembuluh darah submukosa dan mengalirkannya ke bagian lain.
Lapisan ketiga yaitu muscularis propia yang terdiri dari serabut otot berfungsi untuk
memperlancar pergerakan feses melalui colon. Pada lapisan terluar terdapat adventitia dan
serosa. Adventitia merupakan jaringan penghubung colon dengan jaringan sekitarnya,
sedangkan serosa merupakan membran peritoneum viseral.5,6
Gambar 2.3 Histologi Colon
2.2 Fisiologi
Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi mukus, serta
menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-1000 ml cairan usus
halus yang diterima oleh kolon, 150-200 ml sehari dikeluarkan sebagai feses setiap harinya.
Absorbsi terutama terjadi di kolon asendens dan kolon transversum. Bakteri dalam kolon
mensintesis vitamin K dan beberapa vitamin B. Pembusukan oleh bakteri dari sisa-sisa
protein menjadi asam amino dan zat-zat yang lebih sederhana seperti peptida, indol, skatol,
fenol dan asam lemak. Pembentukan berbagai gas seperti NH3, CO2, H2, H2S dan CH4
membantu pembentukan flatus di kolon. Beberapa substansi ini dikeluarkan dalam feses,
sedangkan zat lainnya diabsorbsi dan diangkut ke hati di mana zat-zat ini akan diubah
menjadi senyawa yang kurang toksik dan diekskresikan melalui urin. 5,6
Udara ditelan sewaktu makan, minum atau menelan ludah. Oksigen dan CO2 di
dalamnya diserap di usus sedangkan sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil
5
pencernaan dan peragian dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai
500 ml sehari. Pada infeksi usus produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus
gas tertimbun di jalan cerna yang menimbulkan flatulensi.
Kolon hanya memproduksi mukus dan sekresinya tidak mengandung enzim atau
hormon pencernaan. Kolon mengekskresi zat sisa dalam bentuk feses. Fungsi utama dari
rectum dan kanalis analis ialah untuk mengeluarkan massa feses yang terbentuk dan
melakukan hal tersebut dengan cara yang terkontrol. Apabila feses masuk ke dalam rektum,
terjadi peregangan rektum sehingga menimbulkan gelombang peristaltik pada kolon
desendens dan kolon sigmoid mendorong feses ke arah anus. 5,6
2.3 Definisi Keganasan Kolorektal
Kanker kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma yang ganas yang berasal atau
tumbuh di dalam struktur saluran usus besar (kolon) dan atau rektum. Karsinoma ini
merupakan keganasan saluran pencernaan terbanyak. Jenis keganasan yang terbanyak
adalah adenokarsinoma. Lokasi tersering di rektum, sigmoid, kolon asenden, dan kolon
desenden. Metastasis dapat terjadi secara limfogen, hematogen, dan per kontinuitatum.5
2.4 Epidemiologi
Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal adalah kanker ketiga
terbanyak dan merupakan kanker penyebab kematian ketiga terbanyak pada pria dan
wanita di Amerika Serikat. Berdasarkan survei GLOBOCAN 2012, insidens kanker
kolorektal di sleuruh dunia menempati urutan ketiga (1360 dari 100.000 penduduk (8,5%),
keseluruhan laki-laki dan perempuan). Di Amerika Serikat sendiri pada tahun 2016,
diprediksi akan terdapat 95.270 kasus kanker kolorektal baru dan 49.190 kematian yang
terjadi akibat kanker kolorektal.2
Secara keseluruhan risiko untuk mendapat kanker kolorektal adalah 1 dari 20 orang
(5%). Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita dibandingkan pada pria. Banyak
factor lain yang dapat menigkatkan risiko individual untuk terkena kanker kolorektal.
Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20 tahun terakhir. Ini
berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada penanganan kanker
kolorektal.1,3
6
Di Indonesia, kanker kolorektal merupakan jenis kanker ketiga terbanyak. Pada
tahun 2008, Indonesia menempati urutan keempat di ASEAN dengan incidence rate 17,2
per 100.000 penduduk dan angka ini diprediksi akan terus meningkat dari taun ke thun.
Studi epidemiologi sebelumnya enunjukkan bahwa usia pasien kanker kolorektal di
Indonesia lebih muda daripada pasien kanker kolorektal di negara maju. Lebih dari 30%
kasus didapatkan pada pasien yang berumur 40 tahun atau lebih muda, sedangkan di negara
maju, pasien yang umurnya kurang dari 50 tahun hanya 2-8% saja.1,3
2.5 Etiologi dan Faktor Risiko
Secara umum dinyatakan bahwa untuk perkembangan KKR merupakan interaksi
antara faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan multipel beraksi terhadap
predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi KKR.5
Terdapat 3 kelompok KKR berdasarkan perkembangannya yaitu:
1. kelompok yang diturunkan (inherited) yang mencakup kurang dari 10% dari kasus KKR;
2. kelompok sporadik, yang mencakup sekitar 70%;
3. kelompok familial, mencakup 20%. 6
Kelompok diturunkan adalah mereka yang dilahirkan sudah dengan mutasi germline
(germline mutation) pada salah satu allele dan terjadi mutasi somatik pada allele yang lain.
Contohnya adalah FAP (Familial Adenomatous Polyposis) dan HNPCC (Hereditary NonPolyposis Colorectal Cancer). HNPCC terdapat pada sekitar 5% dari KKR. Kelompok
sporadik membutuhkan dua mutasi somatik, satu pada masing masing allele-nya.
Kelompok familial tidak sesuai kedalam salah satu dari dominantly inherited syndromes
diatas (FAP & HNPCC) dan lebih dari 35% terjadi pada umur muda. Meskipun kelompok
familial dari KKR dapat terjadi karena kebetulan saja, akan tetapi faktor lingkungan,
penetrant mutations yang lemah atau currently germline mutations dapat berperan.6
Terdapat 2 model perjalanan perkembangan KKR (karsinogenesis) yaitu LOH (Loss
of Heterozygocity) dan RER (Replication Error). Model LOH mencakup mutasi tumor
gen supresor meliputi gen APC, DCC dan p-53 serta aktifasi onkogen yaitu K-ras. Model
ini contohnya adalah perkembangan polip adenoma menjadi karsinoma. Sementara model
7
RER karena adanya mutasi gen hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2. Model terakhir ini
contohnya adalah perkembangan HNPCC. Pada bentuk sporadik, 80% berkembang lewat
model LOH dan 20% berkembang lewat model RER.7
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian karsinoma kolon, yaitu:
a. Umur
Kanker kolon sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit ini menimpa
penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi puncak pada usia 60-70 tahun. Kanker
kolon ditemukan di bawah usia 40 tahun yaitu pada orang yang memiliki riwayat kolitis
ulseratif atau poliposis familial.7
b. Faktor Genetik
Meskipun sebagian besar kanker kolon kemungkinan disebabkan oleh faktor
lingkungan, namun faktor genetik juga berperan penting. Ada beberapa indikasi bahwa ada
kecenderungan faktor keluarga pada terjadinya kanker kolon. Risiko terjadinya kanker
kolon pada keluarga pasien kanker kolon adalah sekitar 3 kali dibandingkan pada populasi
umum. Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan kanker kolon
diantaranya sindrom poliposis. Namun demikian sindrom poliposis hanya terhitung 1%
dari semua kanker kolon. Selain itu terdapat Hereditary Non-Polyposis Colorectal Cancer
(HNPCC) atau Syndroma Lynch terhitung 2-3% dari kanker kolon.7
c. Faktor Lingkungan dan Makanan
Risiko kanker kolon meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari wilayah
dengan insiden kanker kolon yang rendah ke wilayah dengan risiko kanker kolon yang
tinggi. Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat menurunkan risiko
timbulnya kanker kolon sebesar 40% dibandingkan orang yang hanya mengkonsumsi serat
12 gr/hari. Orang yang banyak mengkonsumsi daging merah atau daging olahan lebih dari
160 gr/hari akan mengalami peningkatan risiko kanker kolon sebesar 35% dibandingkan
orang yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per minggu. Menurut beberapa penelitian,
feces yang mengandung serat akan lebih mudah dieliminir atau dengan kata lain transit
time yaitu waktu antara masuknya makanan dan dikeluarkannya sebagai sisa makanan yang
tidak dibutuhkan tubuh menjadi lebih singkat. Kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa
kolon dan rektum menjadi singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kolon
dan rektum.7
8
d. Polip Adenoma
Polip adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak pada umur
sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada semua umur dan laki-laki lebih
banyak dibanding dengan perempuan. Polip adenomatosum lebih banyak pada kolon
sigmoid (60%), ukuran bervariasi antara 1-3 cm, namun terbanyak berukuran 1 cm. Polip
terdiri dari 3 bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Semakin besar diameter polip
semakin besar kecurigaan keganasan. Perubahan dimulai dibagian puncak polip, baik pada
epitel pelapis mukosa maupun pada epitel kelenjar, meluas ke bagian badan dan tangkai
serta basis polip. Risiko terjadinya kanker meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran
dan jumlah polip. Beberapa individu memiliki kecenderungan genetik untuk
mengembangkan polip. Kondisi seperti adenomatosa poliposis familial atau sindrom
Gardner dapat menyebabkan ratusan polip terbentuk dalam usus besar atau rektum.7
e. Kolitis Ulserosa
Perkiraan kejadian kumulatif dari kanker kolon yang berhubungan dengan kolitis
ulserosa adalah 2,5% pada 10 tahun, 7,6% pada 30 tahun dan 10,8% pada 50 tahun. Kolitis
ulserosa dimulai dengan mikroabses pada kripta mukosa kolon dan beberapa abses bersatu
membentuk ulkus. Pada stadium lanjut timbul pseudopolip yaitu penonjolan mukosa kolon
yang ada diantara ulkus. Perjalanan penyakit yang sudah lama, berulang-ulang dan lesi luas
disertai adanya pseudopolip merupakan desain tinggi terhadap karsinoma. Pada kasus
demikian harus dipertimbangkan tindakan kolektomi. Tujuannya adalah mencegah
terjadinya karsinoma dan menghindari penyakit yang sering berulang-ulang. Karsinoma
yang timbul sebagai komplikasi kolitis ulserosa sifatnya lebih ganas, cepat tumbuh dan
metastasis.7
f. Merokok
Perokok jangka lama mempunyai risiko relatif berkisar 1,5-3 kali. Diestimasikan
bahwa satu dari lima KKR di Amerika bisa diatributkan kepada merokok. Penelitian kohort
dan kasus-kontrol dengan desain yang baik menunjukkan bahwa merokok berhubungan
dengan kenaikan
risiko terbentuknya adenoma dan juga kenaikan risiko perubahan
adenoma menjadi KKR.7
9
2.6 Patofisiologi
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah melewati rentang masa
yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan berbagai
perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua jenis kanker kolorektal
(herediter dan sporadik) tidak muncul secara mendadak melainkan melalui proses yang
diidentifikasikan pada mukosa kolon (seperti pada displasia adenoma). Kanker kolon
terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus yang mengontrol pertumbuhan sel.
Perubahan dari kolonosit normal menjadi jaringan adenomatosa dan akhirnya karsinoma
kolon menimbulkan sejumlah mutasi yang mempercepat pertumbuhan sel.
Terdapat 2 mekanisme yang menimbulkan instabilitas genom dan berujung pada
kanker kolorektal yaitu : instabilitas kromosom (Cromosomal Insyability atau CIN) dan
instabilitas mikrosatelit (Microsatellite Instability atau MIN). Umumnya asl kenker kolon
melalui mekanisme CIN yang melibatkan penyebaran materi genetik yang tak berimbang
kepada sel anak sehingga timbulnya aneuploidi. Instabilitas mikrosatelit (MIN) disebabkan
oleh hilangnya perbaikan ketidakcocokan atau missmatch repair (MMR) dan merupakan
terbentuknya kanker pada sindrom Lynch. Awal dari proses terjadinya kanker kolon yang
melibatkan mutasi somatik terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC
mengatur kematian sel dan mutasi pada gen ini menyebabkan pengobatan proliferasi yeng
selanjutnya berkembang menjadi adenoma. Mutasi pada onkogen K-RAS yang biasnya
terjadi pada adenoma kolon yang berukuran besar akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan sel yang tidak normal.8,9
Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen
supresor tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan menghambat
proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan
kerusakan DNA tetap dapat melakukan replikasi yang menghasilken sel-sel dengan
kerusakan DNA yang lebih parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan sejumlah segmen
pada kromosom yang berisi beberapa alele (misal loss of heterizygosity), hal ini dapat
menyebabkan kehilangan gen supresor tumor yang lain seperti DCC (Deleted in Colon
Cancer) yang merupakan transformasi akhir menuju keganasan.
10
Gambar 2.4 Perkembangan menuju karsinoma
Penyebaran kanker kolon dapat melalui 3 cara, yaitu penyebaran secara langsung
ke organ terdekat, melalui sistem limpatikus dan hematogen, serta melalui implantasi sel
ke daerah peritoneal. Karsinoma kolon dan rektum mulai berkembang pada mukosa dan
bertumbuh sambil menembus dinding dan meluas secara sirkuler ke arah oral dan aboral.
Penyebaran perkontinuitatum menembus jaringan sekitar atau organ sekitarnya misalnya
ureter, buli-buli, uterus, vagina atau prostat. Penyebaran limfogen terjadi ke kelenjar
parailiaka, mesenterium dan paraaorta. Penyebaran hematogen terutama ke hati.
Penyebaran peritoneal mengakibatkan peritonitis karsinomatosa dengan atau tanpa
asites.8,9
2.7 Klasifikasi
Derajat keganasan karsinoma kolon dan rektum dibagi berdasarkan gambaran
histologik menurut klasifikasi Dukes. Dukes membagi karsinoma berdasarkan dalamnya
infiltrasi karsinoma di dinding usus.
Klasifikasi karsinoma rektum menurut Dukes: 1,5

Tahap A: Infiltrasi karsinoma terbatas pada dinding usus

Tahap B: Infiltrasi karsinoma sudah menembus lapisan muskularis mukosa

Tahap C: Terdapat metastasis ke dalam kelenjar limfe
-
C1: Beberapa kelenjar limfe dekat tumor primer
-
C2: Dalam kelenjar limfe jauh
11

Tahap D: Metastasis jauh
Gambar 2.5 Klasifikasi Dukes
Klasifikasi TNM berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) 201710
T – Tumor primer

Tx - Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 - Tidak ada tumor primer

Tis – Karsinoma in situ: karsinoma intramucosal (keterlibatan lamina propria
namun tidak sampai mukosa muskularis)

T1 - Invasi tumor di lapisan sub mukosa

T2 - Invasi tumor di lapisan otot propria

T3 - Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik yang
tidak dilapisi peritoneum atau perirektal
12

T4 - Invasi tumor terhadap organ atau struktur sekitarnya atau peritoneum viseral
-
T4a – invasi tumor hingga peritoneum visceral
-
T4b – invasi tumor langsung ke organ atau struktur lain
N – Kelenjar limfe regional

Nx - Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai

N0 – tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional

N1 - Metastasis di 1-3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal
-
N1a – positif pada satu kelenjar limfe regional
-
N1b – positif pada 2 atau 3 kelenjar limfe regional
-
N1c – tidak ada kelenjar limfe yang positif, namun terdapat deposit tumor
pada subserosa, mesenterika, atau jaringan peri/mesorektal

N2 - Metastasis di ≥ 4 kelenjar limfe perikolik atau perirektal
-
N2a – positif pada 4 samapi 6 kelenjar limfe regional
-
N2b – positif pada 7 atau lebih kelenjar limfe regional
M – Metastasis jauh

Mx - Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 - tidak ada metastasis jauh

M1 - terdapat metastasis jauh
-
M1a – metastasis ke satu bagian organ teridentifikasi tanpa metastasis
peritonium
-
M1b – metastasis ke dua atau lebih bagian organ teridentifikasi tanpa
metastasis peritoneum
-
M1c – metastasis ke permukaan peritoneum teridentifikasi tanpa ataupun
dengan metastasis ke organ lain.
13
Gambar 2.6 Klasifikasi TNM
Gambar 2.7 Staging CRC
14
2.8 Patologi
Pada umumnya dalam perjalanan penyakit pertumbuhan adenokarsinoma usus besar
sebelah kanan dan kiri berbeda. Adenokarsinoma usus besar kanan, yaitu sekum, kolon
asenden, kolon transversum sampai batas fleksura hepatika, tumor cenderung tumbuh eksofitik
atau polipoid.
Karsinoma usus besar kiri, yaitu kolon transversum batas fleksura lienalis, kolon
desenden, sigmoid dan rektum tumbuh berbentuk cincin menimbulkan napkin-ring.
Secara makroskopik karsinoma kolon dapat dibagi atas 3 tipe, yaitu:
1.
Tipe nodular
Bentuk nodular berupa suatu massa yang keras dan menonjol ke dalam lumen,
dengan permukaan noduler. Biasanya tidak bertangkai dan meluas ke dinding kolon.
Sering juga terjadi ulserasi, dengan dasar ulkus yang nekrotik dengan tepi yang meninggi,
mengalami indurasi dan noduler. Di daerah sekum, bentuk tumor ini kemungkinan
tumbuh menjadi suatu massa yang besar, tumbuh menjadi fungoid atau tipe ensefaloid.
Permukaan ulkus akan mengeluarkan pus dan darah.
2.
Skirous (Schirrous)
Pada tipe ini reaksi fibrous sangat banyak sehingga terjadi pertumbuhan yang keras
serta melingkari dinding kolon sehingga terjadi konstriksi kolon untuk membentuk napkin
ring. Mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi, terutama
ditemukan di kolon ascenden, sigmoid dan rektum.
3.
Papilary atau polipoid
Tipe ini merupakan pertumbuhan yang sering berasal dari papiloma simple atau
adenoma. Tumbuh menonjol ke dalam lumen usus dan berbentuk bunga kol ditemukan
terutama di sekum dan kolon ascenden.
Secara histologis, hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma yang
berasal dari epitel kolon. Bentuk dan diferensiasinya sempurna mempunyai struktur glandula
dan kelenjar-kelenjarnya sendiri membesar, terjadi pembengkakan sel kolumna dengan nuklei
hipokromasi dengan sel yang mengalami mitosis. Pada bentuk yang kurang berdifirensiasi sel15
sel epitel terlihat didalam kolumna atau massa. Desar sel barvariasi dan mungkin terdapat
invasi dari pembuluh darah dan pembuluh limfe. Pada pertumbuhan anplastik kadang terlihat
signet ring cell (inti mendesak ke arah sel).9
2.9 Manifestasi Klinis
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai
darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan
(caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri
mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum,
kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker
kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal
berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.
Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta isi fecal ialah
air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh besar sebelum
terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah makroskopis sering tidak
tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah samar. Pasien dapat mengeluh
ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah makan dan sering salah diagnosa dengan
penyakit gastrointestinal dan kandung empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan
berkemih.
Kolon kanan :
-
Kelemahan yang tidak dapat dijelaskan / anemia
-
Tes darah samar pada feses
-
Gejala dispepsia
-
Ketidaknyamanan abdomen kanan persisten
-
Teraba massa abdominal
Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi feses ialah
semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen yang menyebabkan
gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan frekuensi BAB. Pendarahan dari
16
anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau tercampur dengan darah merah
atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan darah atau feses.
Kolon kiri :
-
Gangguan pola buang air besar
-
Darah makro pada feses
-
Gejala obstruksi
Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada pasien
dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada hemoroid, kanker tetap
harus dipikirkan.
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya
adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini
adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan
penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau
buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat
terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan
menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini
dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria
atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke
hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya
merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.
Rektum :
-
Pendarahan per rektal
-
Gangguan pola buang air
-
Adanya sensasi tidak lampias
-
Teraba tumor intrarectal1,8
17
Tabel 1. Gambaran Klinis Karsinoma Kolorektal Lanjut
Kolon Kanan
Kolon Kiri
Rektum
Aspek klinis
Kolitis
Obstruksi
Proktitis
Nyeri
Karena penyusupan Karena Obstruksi
Tenesmi
Defekasi
Diare
Tenesmi terus menerus
Obstruksi
Darah pada feses
/
diare Konstipasi
berkala
progresif
Jarang
Hampir selalu
Samar
Samar
Tidak jarang
atau
Makroskopik
makroskopik
Normal
Normal / diare
Feses
Perubahan bentuk
Jarang
Sering
Dispepsia
Keadaan umum memburuk
Jarang
Lambat
Hampir selalu
Lambat
Lambat
Hampir selalu
Anemia
Lambat
2.10 Deteksi Dini
a. Tujuan
Tujuan skrining kanker kolorektal adalah deteksi dini, membuang lesi pre-kanker, dan
mendeteksi stadium penyakit sedini mungkin sehingga dapat dilakukan terapi kuratif.11
b. Indikasi
Indikasi skrining kanker kolorektal adalah individu dengan risiko sedang hingga tinggi.
Yang termasuk kedalam risiko sedang antara lain :11
-
Individu berusia 50 tahun atau lebih
-
Individu yang tidak mempunyai riwayat kanker kolorektal atau IBD (inflammatory
bowel disease)
-
Individu tanpa riwayat keluarga kanker kolorektal
-
Individu yang terdiagnosis adenoma atau kanker kolorektal setelah berusia 60
tahun
18
Yang termasuk risiko tinggi adalah :
-
Individu dengan riwayat polip adenomatosa
-
Individu dengan riwayat reseksi kuratif kanker kolorektal
-
Individu dengan riwayat keluarga tingkat pertama kanker kolorektal atau adenoma
kolorektal (rekomendasi berbeda berdasarkan usia keluarga saat terdiagnosis)
-
Individu dengan riwayat IBD (inflammatory bowel disease) yang lama
-
Individu dengan diagnosis atau kecurigaan sindrom hereditary nonpolyposis
colorectal cancer (HNPCC) atau sindrom Lynch atau familial adenomatous
polyposis (FAP).
19
Gambar 2.8 Tabel risiko karsinoma kolorektal
c. Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup berkaitan dengan penurunan risiko karsinoma kolorektal
dan dapat menjadi tambahan untuk skrining dan pencegahan kaker kolorektal.
Pemantauan berat badan ideal dan aktifitas fisik serta diet makanan sehat (produk susu,
kaya vitamin D, kaya serat) sangat berkaitan dengan penurunan risiko terserang
karsinoma kolorektal. Konsumsi alcohol dan merokok juga berkaitan dengan
peningkatan risiko terjadinya karsinoma kolorektal.10
2.11 Penegakan Diagnosis
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik termasuk colok dubur,
dan pemeriksaan penunjang lainnya:

Anamnesis
Anamnesis meliputi perubahan pola kebiasaan defekasi, baik berupa diare ataupun
konstipasi (change of bowel habit), perdarahan per anum (darah segar), penurunan berat
badan, faktor predisposisi, riwayat kanker dalam keluarga, riwayat polip usus, riwayat
colitis ulserosa, riwayat kanker payudara/ovarium, uretero sigmoidostomi, serta kebiasaan
makan (rendah serat, banyak lemak). Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah adanya
perubahan pola buang air besar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi.
20
Semakin distal letak tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan karena semakin
ke distal feses semakin keras dan sulit dikeluarkan akibat lumen yang menyempit, bahkan
bisa disertai nyeri dan perdarahan, bisa jelas atau samar. Warna perdarahan sangat
bervariasi, merah terang, mahogany, dan kadang merah kehitaman. Makin ke distal letak
tumor warna merah makin pudar. Perdarahan sering disertai dengan lendir, kombinasi
keduanya harus dicurigai adanya proses patologis pada colorektal. Selain itu, pemeriksaan
fisik lainnya yaitu adanya massa yang teraba pada fossa iliaca dextra dan secara perlahan
makin lama makin membesar. Penurunan berat badan sering terjadi pada fase lanjut, dan
5% kasus sudah metastasis jauh ke hepar.

Pemeriksaan Fisik
Karsinoma kolon disebelah kanan, kadang-kadang teraba suatu massa. Tumor
sigmoid sedikit dapat diraba diperut kiri bawah. Bila tumor sudah metastase ke hati, akan
teraba hati yang nodular dengan bagian yang keras dan yang kenyal. Dapat ditemukan
massa di abdomen, apabila ada gejala-gejala obstruksi dari inspeksi dapat ditemukan
dinding abdomen distensi, dumb countur, dumb steifung. Dari palpasi ditemukan massa
abdomen, dan hipertimpani pada perkusi abdomen, auskultasi usus bisa ditemukan
peningkatan peristaltik yang kemudian diikuti dengan metalik sound dan penurunan serta
menghilangnya peristaltik. Bisa juga ditemukan nyeri tekan pada seluruh dinding abdomen
apabila terjadi perforasi usus.
Pemeriksaan colok dubur atau rectal toucher dipakai untuk menilai tonus dari
muskulus sfingter ani, ampula rektum, mukosa dan massa. Tonus sfingter ani dinilai kuat
atau lemah, ampula rektumnya kolaps atau tidak dan isinya, mukosa dinilai permukaannya
apakah kasar, licin atau berbenjol – benjol, dan dinilai apakah teraba massa, lokasinya,
batasnya dan permukaannya. Kemudian dinilai juga apakah terdapat perdarahan.
Pada pemeriksaan colok dubur yang harus dinilai adalah pertama, keadaan tumor:
ekstensi lesi pada dinding rectum. Kedua, mobilitas tumor untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Ketiga, ekstensi penjalaran yang diukur dari ukuran tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer, mobilitas atau fiksasi lesi. Pemeriksaan Digital Rectal Examination
(DRE) bisa ditemukan massa maligna (massa berbenjol-benjol dengan striktura) di rektum
dan rektosigmoid teraba keras kenyal dan lendir darah yang terdapat pada sarung tangan.
21
Tabel 2. Ringkasan Diagnosis Karsinoma Kolorektal1,8
Kolon Kanan :
Kolon Kiri :
Anemia dan kelemahan
Darah okul di feses
Dispepsia
Perasaan kurang enak di perut kanan bawah
Massa di perut kanan bawah
Foto rontgen perut khas
Penemuan kolonoskopi
Rektum :
Perubahan pola defekasi
Darah di feses
Gejala dan tanda obstruksi
Foto rontgen khas
Penemuan kolonoskopi
-

Perdarahan rektum
Darah di feses
Perubahan pola defekasi
Pasca defekasi perasaan tidak puas atau rasa
penuh
Penemuan tumor pada colok dubur
Penemuan tumor rektosigmoid
Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan gejala-gejala yang dicurigai karsinoma kolon, diagnosis
definitif biasanya ditegakkan dengan endoskopi (fleksibel sigmoidoskopi dan colonoscopy)
atau barium enema. Pemeriksaan lain diperlukan untuk pemeriksaan derajat penyakit dan
mencari metastase. Ada berbagai pilihan penyaringan tersedia mencakup Fecal occult
bleeding (FOBT), fleksibel sigmoidoskopi (FS), sinar-x enema barium, dan kolonoskopi
dan fecal immunochemical test (FIT).1,8

Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan tinja apakah ada darah secara makroskopis/mikroskopis atau
ada darah samar (occult blood) serta pemeriksaan CEA (carcino embryonic antigen).
Kadar yang dianggap normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat meninggi pada tumor
epitelial dan mesenkimal, emfisema paru, sirhosis hepatis, hepatitis, perlemakan hati,
pankreatitis, colitis ulserosa, penyakit crohn, tukak peptik, serta pada orang sehat yang
22
merokok. Peranan penting dari CEA adalah bila diagnosis karsinoma kolorektal sudah
ditegakkan dan ternyata CEA meninggi yang kemudian menurun setelah operasi maka
CEA penting untuk tindak lanjut. Anemia dapat dibuktikan dengan pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit. Pemeriksaan bensidin untuk darah samar bukan pemeriksaan
yang khas, tetapi memberi petunjuk adanya perdarahan didalam saluran cerna. Fecal Occult
Bleeding Test (FOBT) menawarkan beberapa keuntungan sebagai alat screening yang telah
terbukti efektif dalam percobaan secara random, yang non-invasive, dan hemat biaya. Akan
tetapi, penurunan angka kematian termasuk rendah (15–33%).1,8 Pemeriksaan fungsi hati
sering memberi keterangan yang cukup berguna. Perlu disadari bahwa hasil laboratorium
tidak memberikan gambaran yang khas tentang kelainan tertentu di kolon atau rektum. 1,8

Flexible Sigmoidoscopy (FS)
Flexible Sigmoidoscopy (FS) dapat juga digunakan sebagai alat penyaringan.
Prosedur bisa dilakukan dalam kantor tanpa pemberian obat penenang, hemat biaya dan
murah, dapat untuk mengurangi angka kematian kanker colon sekitar 60–70%, dan
persiapan pasien lebih mudah dibandingkan dengan kolonoskopi. Akan tetapi, FS
mendeteksi hanya separuh adenomas dan 40% kanker dari proximal sampai splenic flexure.
Dapat mengedintifikasi sampai 75% lesi proximal dan tidak dapat mendeteksi lesi distal.
Pemeriksaannya sering dibatasi oleh ketidaknyamanan pasien dan kurang persiapan.
Dengan melakukan pemeriksaan FOBT setiap tahun dan FS setiap lima 5 tahun. Metode
ini memberikan gambaran pada kolon descenden dan memberikan sensitifitas yang baik
pada FOBT untuk proximal kanker yang tidak bisa dicapai oleh FS. 1,8

Barium enema
Pemeriksaan sinar-x enema barium (BE) mempunyai manfaat cost effective dan
memeriksa keseluruhan kolon. Barium enema sebaiknya menggunakan kontras ganda dan
usahakan melakukan pemotretan pada berbagai posisi bila ditemukan kelainan. Pada foto
kolnon dapat terlihat suatu filling defect pada suatu tempat atau suatu striktura. Selain itu
dapat ditemukan lokasi tempat kelainan tersebut.
23
Gambar 2.9 Pemeriksaan kontras barium enema – radiograf

Kolonoskopi
Kolonoskopi
merupakan
standar
baku
diagnosis
karsinoma
kolorektal.
Kolonoskopi memberikan gambaran keseluruhan colon yang dapat mengidentifikasi dari
lesi yang proximal dan lesi distal. Kolonoskopi mempunyai sensitifitas terbaik pada
metoda screening yang ada saat ini. Kerugian kolonoskopi adalah biaya, resiko yang
ditingkatkan seperti pendarahan dan perforasi, persiapan pasien yang sulit, dan
membutuhkan pemberian obat sedasi. Secara endoskopi, umumnya bentuk kanker
kolorektal ialah polipoid yang ireguler, anular seperti bunga kool yang ulseratif, striktura,
sirkular, dan dapat menemukan letak obstruksi. Apabila dibandingkan, kolonoskopi
menjadi suatu metoda surveilen yang lebih efektif dibanding dengan kontras barium enema
ganda. Setelah melakukan pemeriksaan kolonoskopi dengan disertai polypectomy, 580
pasien dilakukan surveilen dengan kolonoskopi dan kontrol barium enema ganda (DCBE).
Hasil kolonoskopi menemukan 392 polyp, DCBE menemukan polyp sebanyak 139 (35%)
pada kasus yang sama. 1,8

Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Biopsi
biasanya dilakukan dengan kolonoskopi.

Pemeriksaan penunjang lainnya
-
Radiografi thorak : digunakan untuk mendeteksi kanker yang telah metastase ke paruparu.
-
CT-Scan : digunakan untuk mendeteksi metastase ke nodus limfatikus, hati atau paruparu1,8
24
Gambar 2.10 CT Scan abdomen bagian atas menunjukkan multipel tumor dalam limpa dan hati
yang sudah menyebar (metastase) berasal dari kanker usus (karsinoma).
2.12 Tatalaksana
Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan operatif. Tujuan utama
tindakan operatif ialah memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif maupun non
kuratif. Kemoterapi dan radiasi bersifat paliatif dan tidak memberikan manfaat kuratif.
Sebelum melakukan tindakan operasi harus terlebih dahulu dinilai keadaan umum dan
toleransi operasi serta ekstensi dan penyebaran tumor. Terapi standar untuk kanker
kolorektal yang digunakan antara lain ialah :
a. Pembedahan
Bedah kuratif dilakukan bila tidak ditemukan gejala penyebaran lokal maupun jauh.
Penatalaksanaan objektif dari karsinoma kolon adalah dengan membuang tumor primer
bersama dengan suplai limfovaskularnya. Pada tumor sekum ataupun ascendens, dilakukan
hemikolektomi kanan, kemudian anastomosis ujung ke ujung. Pada tumor di fleksura
hepatica dilakukan juga hemikolektomi. Pada tumor kolon transversum dilakukan reseksi
kolon transversum, kemudian anastomosis ujung ke ujung sedangkan pada tumor kolon
descendens dilakukan hemikolektomi kiri. Pada tumor sigmoid dilakukan reseksi sigmoid
dan pada rectum sepertiga proksimal dilakukan reseksi anterior.
25
Untuk kanker rektum, jenis operasinya tergantung pada seberapa jauh jarak kanker
ini dari anus dan seberapa dalam tumbuh ke dalam dinding rektum. Pada tumor rektum
sepertiga tengah, dilakukan reseksi dengan mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada
tumor sepertiga distal dilakukan amputasi rektum melalui reseksi abdominoperineal
Quenu-Miles. Pada operasi ini, anus turut dikeluarkan. Pengangkatan seluruh rektum dan
anus mengharuskan penderita menjalani kolostomi menetap (pembuatan hubungan antara
dinding perut dengan kolon). Dengan kolostomi, isi usus besar dikosongkan melalui lubang
di dinding perut ke dalam suatu kantung, yang disebut kantong kolostomi. Bila
memungkinkan, rektum yang diangkat hanya sebagian, dan menyisakan ujung rektum dan
anus. Kemudian ujung rektum disambungkan ke bagian akhir dari kolon. 8,12
Hemikolektomi kanan
Hemikolektomi kanan extended
Hemikolektomi kiri
Reseksi kolon transversum
26
Reseksi kolon sigmoid
Kolostomi
b. Kemoterapi
Pasien dengan karsinoma rektum stadium II-III berisiko tinggi untuk mengalami
kekambuhan lokal dan sistemik. Terapi adjuvan harus bertujuan menanggulangi kedua
masalah tersebut. (NCI PDQ). Sebagian besar penelitian yang menggunakan radioterapi
pra- dan pasca bedah saja dapat menurunkan angka kekambuhan lokal tetapi tidak
bermakna dalam angka survival. Kemoterapi Intrahepatic untuk carcinoma colon dengan
metastase ke hepar adalah intraarterial floxuridine (FUDR).
Pilihan terapi adjuvant untuk pasien dengan karsinoma kolon nonmetastasis reseksi
adalah tergantung dengan staging penyakitnya. Pada pasien stadium I dengan MSI tinggi
dan pasien stadium II dengan risiko rendah tidak diperlukan terapi adjuvant. Pasien stadium
II dengan risiko rendah dapat diobservasi saja tanpa terapi adjuvant atau dapat
dipertimbangkan pemberian capecitabine atau 5-FU/leucovorin. Dalam sebuah penelitian,
27
FOLFOX tidak disarankan sebagai pilihan terapi adjuvant pada pasien stadium II tanpa
indikasi risiko tinggi.
Pasien stadium II dengan risiko tinggi, dimana prognosisnya buruk, termasuk T4
tumor;gambaran histologi poorly deferentiated; bowel obstruction; lesi dengan lokalisasi
perforasi, dapat diberikan terapi adjuvant kemoterapi menggunakan 5-FU/LV,
capecitabine, FOLFOX, atau CAPEOX. Observasi tanpa terapi adjuvant juga dapat
dilakukan pada pasien ini.
Pasien stadium III dengan risiko rendah disarankan menggunakan terapi adjuvant
jenis CAPEOX selama 3 bulan atau FOLFOX selama 3-6 bulan. Terapi lain yang dapat
dilakukan antara lain single-agent capecitabine atau 5-FU/LV pada pasien yang tidak rspon
dengan terapi oxaliplatin. Pada pasien stadium III dengan risiko tinggi, terapi adjuvant
yang disarankan aadalah FOLFOX selama 6 bulan atau CAPEOX selama 3-6 bulan. Terapi
lain yang mungkin dapat digunakan adalah single-agent capecitabine atau 5-FU/LV pada
pasien yang tidak respon terhadap terapi oxaliplatin.10
Protokol-protokol yang sering digunakan:

Mayo
1. 5-FU 425 mg/m2 dengan bolus IV setiap hari 5 hari berturut-turut satu jam sesudah LV
2. LV 20 mg/m2 IV setiap hari untuk 5 hari ber turut-turut
3. Frekuensi : ulang setiap 4 sampai 5 minggu.

de Gramont
1. LV 200 mg/m2 infus 2 jam, diikuti
2. 5-FU400 mg/m2 i.v. bolus diikuti
3. 5-FU 600 mg/m2 infus kontinu 22 jam
4. Frekuensi : hari 1+2, ulang setiap 21 hari

Dosis
1. capecitabine 1250 mg/m2 bid bila sebagai obat tunggal, capecitabine 1000 mg/m2 bila
dikombinasi dengan oxaliplatin/irinotecan
2. irinotecan 250 mg/m2 bila diberikan dengan kombinasi 5-FU/FA setiap 21 hari dan 130
mg/m2 bila dikombinasi dengan capecitabine
28
3. oxaliplatin 135 mg/m2 bila diberikan dengan kombinasi 5-FU/FA setiap 21 hari dan 85
mg/m2 bila dikombinasi dengan capecitabine6
Rekomendasi Tingkat A
1. Stadium I/Dukes A : tidak diberikan kemoterapi
2. Stadium III/Dukes C : kemoterapi 5-FU/FA atau capecitabine, hingga 6 bln
3. Stadium IV/metastasis : kemoterapi 5-FU/FA atau capecitabine, hingga 6 bln ditambah
oxaliplatin atau irinotecan, 6 bln
Tingkat Rekomendasi B
Stadium IIA/Dukes B1 : dipertimbangkan pemberian kemoterapi
Rekomendasi Tingkat D
Stadium IIB/Dukes B2 : kemoterapi 5-FU/FA atau capecitabine, hingga 6 bln
c. Radioterapi
Radiasi bertujuan untuk mengurangi resiko kekambuhan dari karsinoma rektal.
Radiasi bermanfaat juga sebagai terapi paliatif, yaitu mengurangi pertumbuhan tumor pada
lokasi spesifik yang merupakan hasil metastase dari karsinoma kolorektal. Terapi ini juga
bisa untuk meningkatkan kualitas hidup dan membantu mengontrol nyeri atau kompresi
medula spinalis atau sindrom vena cava.
Terapi radiasi setelah pengangkatan tumor, bisa membantu mengendalikan
pertumbuhan tumor yang tersisa, memperlambat kekambuhan dan meningkatkan harapan
hidup. Pengangkatan tumor dan terapi radiasi efektif untuk penderita kanker rektum yang
disertai 1-4 kanker kelenjar getah bening. Tetapi kurang efektif pada penderita kanker
rektum yang memiliki lebih dari 4 kanker kelenjar getah bening.4
2.13 Komplikasi
Komplikasi primer dihubungkan dengan kanker kolorektal, antara lain :
a. Obstruksi usus diikuti dengan penyempitan lumen akibat lesi
b. Perforasi dari dinding usus oleh tumor, diikuti kontaminasi organ peritoneal
c. Perluasan langsung ke organ-organ yang berdekatan
29
Komplikasi yang timbul setelah pembedahan (reseksi usus besar) dibagi menjadi
2 berdasarkan perkiraan waktu munculnya komplikasi, yaitu komplikasi segera dan
komplikasi lambat. Komplikasi segera meliputi :
a. Kardiorespirasi
b. Kebocoran anastomosis
c. Infeksi luka
d. Retensi urine
e. Impoten
Komplikasi lambat meliputi kekambuhan6
2.14 Prognosis
Lebih dari 90% pasien dengan keganasan kolorektal yang dilakukan operasi reseksi
secara kuratif atau paliatif, angka kematiannya sekitar 3-6%. Persentase jangka hidup 5
tahun sesudah reseksi tergantung dari stadium lesi.

Duke’s A (terbatas pada dinding usus) : 90-100 %

Duke’s B (melalui seluruh dinding) : 75-85 %

Duke’s C (kelenjar getah bening positif) : 30-40 %

Duke’s D (metastasis ke tempat yang jauh atau penyebaran lokal tidak dapat direseksi
lagi) : <5 %
Insiden atau kejadian kekambuhan lokal dapat dikurangi jika saat operasi dilakukan
tindakan pencegahan semaksimal mungkin untuk menghindari implantasi dari sel-sel
ganas. Sekitar 5 % pasien dengan kanker kolorektal penyakitnya akan berkembang ke arah
keganasan. Diperlukan tindakan lanjut (follow up) yang lama agar dapat mengetahui
apakah kanker itu rekuren dan metakromatik. Dilakukan sigmoidoskopi, pemeriksaan
feses untuk mengetahui adanya darah, barium enema, kolonoskopi fiiber optik dan
serangkaian nilai CEA sebagai marker untuk deteksi dari kekambuhan tumor. Bila kadar
CEA tetap normal sesudah dilakukan reseksi kuratif, maka peningkatan dikemudian hari
dengan sendirinya merupakan bukti kemungkinan adanya rekurensi.6,12
30
BAB III
PENUTUP
Karsinoma kolon adalah tumor ganas epitelial pada usus besar yang memanjang dari sekum
hingga rektum. Kanker kolorektal berada pada urutan ketiga sebagai kanker paling banyak dan
urutan ketiga sebagai penyebab kematian terkait kanker di Amerika Serikat. The American Cancer
Society memperkirakan bahwa 96.830 orang didiagnosis dengan kanker usus besar di Amerika
Serikat pada tahun 2014. Faktor resikonya meliputi umur, diet tinggi lemak dan kolesterol,
inflamatory bowel disease (terutama kolitis ulseratif) dan genetik. Tingginya konsumsi daging sapi
dan lemak hewani, meningkatnya kuman-kuman anaerobik pada kolon, tumor yang memproduksi
asam empedu sekunder, diet rendah serat, dan kemungkinan defisiensi bahan makanan protektif
(yang mencegah timbulnya kanker) dalam diet semakin meningkatkan risiko. Pertumbuhan sel
diluar kontrol dapat merupakan suatu keadaan prekanker, contohnya adalah polip di daerah usus
besar. Setelah melalui periode panjang dapat menjadi ganas. 1,2
Secara makroskopik karsinoma kolon dapat dibagi atas 4 tipe, yaitu: nodular, koloid,
skirous, papilar. Derajat keganasan karsinoma kolon berdasarkan gambaran histolik dibagi
menurut klasifikasi Dukes, berdasarkan infiltrasi karsinoma di dinding usus. Gejala umum yang
dikeluhkan pasien adalah: perdarahan segar peranal (hematokezia), buang air besar lendir darah
atau tidak teratur, obstruksi saluran cerna, anoreksia, berat badan menurun, rasa nyeri perut
ditempat kanker dan tenesmus. Terapi farmakologi yang dapat diberikan adalah kombinasi dari
5-fluorouracil (5-FU), leucovorin, dan irinotecan (CPT11). Kemoterapi Intrahepatic untuk
carcinoma colon dengan metastase ke hepar adalah intraarterial floxuridine (FUDR). Pengobatan
utama pada kanker kolorektal adalah pengangkatan bagian usus yang terkena dan sistem getah
beningnya (laparoscopic colon resection). Pengangkatan seluruh rektum dan anus mengharuskan
penderita menjalani kolostomi.
Lebih dari 90% pasien dengan keganasan kolorektal yang dilakukan operasi reseksi secara
kuratif atau paliatif, angka kematiannya sekitar 3-6%. Persentase jangka hidup 5 tahun sesudah
reseksi tergantung dari stadium lesi.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Wibisono E, Jeo WS. Karsinoma Kolorektal. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta
EA, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.p.222-5.
2. World Health Organization, International Agency for Research on Cancer. Colorectal Cancer:
Estimated Cancer Incidence, Mortality and Prevalence Worldwide in 2012. International
Agency
for
Research
on
Cancer.
Available
at
http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_cancer.aspx. Accessed April 25, 2015.
3. Sudoyo AW, Hernowo B, Krisnuhoni A, Reksodiputro AH, Hardjodisastro D, Sinuraya ES.
Colorectal Cancer Among Young Native Indonesians: A Clinicopathological And Molecular
Assessment on Microsatellite Instability. Med J Indonesia. 2010. 19(4):245-251
4. IKABDI. Pengelolaan Karsinoma Kolorektal, Suatu Panduan Klinis Nasional. 2004. Available
at http://download.ikabdi.org/Panduan_KKR_(radioterapi_updated).doc. Accessed April 25,
2015.
5. Riwanto I, Hamami AH, Peter J, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Usus Halus, Apendiks, Kolon,
dan Anorektum. Dalam: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R,
editor. Buku Ajar Ilmu Bedah - de Jong. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2010.p.762-81.
6. Henry MM. Large Bowel, Including Appendix. In: Henry MM, Thompson JN, editors. Clinical
Surgery. 3rd Edition. London: Saunders Elsevier; 2012.p.365-81.
7. Robbins. Pathologic Basis of Disease. 7th Edition. International Edition. Pennsylvania:
Elsevier. 2015
8. Abdullah M. Tumor Kolorektal. Dalam: Sudoyo AW, et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV jilid I. Jakarta: InternaPublishing; 2006.p.373-8
9. Price SA. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jilid II. Jakarta: EGC;2005.
10. Dwyer M, Ogba N, Keller J. Colorectal Cancer. NCNN Guideline; 2. 2020
11. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan Penatalaksanaan Kanker Kolorektal.
Available at : http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKKolorektal.pdf
12. Medscape.
Dragovich
T.
2014.
Colon
Cancer.
Available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/277496-overview#aw2aab6b2b2. Accessed April 25,
2015.
32
Download