Uploaded by m36_itk

Laporan Kondisi Ekosistem terumbu karang Pulau Sangiang, Banten

advertisement
YAYASAN TERUMBU KARANG INDONESIA
(TERANGI)
2017
LAPORAN
Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Pulau Sangiang
Analisa Data dan Penulisan Laporan (sesuai abjad) :
Hedra Akhrari, Idris, Mikael Prastowo SW dan Safran Yusri
Sitasi
Yusri, S., M. Prastowo S.W., Idris, dan H.Akhrari. 2017. Kondisi Ekosistem terumbu Karang
Pulau Sangiang. Yayasan TERANGI. Jawa Barat: iii+33 hlm.
ii | P a g e
Daftar isi
A. Halaman Cover.............................................................................................(i)
B. Daftar Isi ......................................................................................................(ii)
BAB.I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ..........................................................................................1
1.2. Program Kerjasama ..................................................................................2
1.3. Pulau Sangiang .........................................................................................2
BAB. II Tujuan Base Line Survey – Terumbu Karang P. Sangiang
2.1. Tujuan Khusus ..........................................................................................4
2.2. Tujuan Umum............................................................................................4
2.3. Capaian Kerjasama Program....................................................................4
BAB. III. Metodologi
3.1. Waktu dan Lokasi Pengamatan ................................................................5
3.2. Pengambilan Data.....................................................................................6
BAB. IV. Hasil dan Pembahasan Survey
4.1. Kualitas Air ................................................................................................7
4.2. Presentasi Tutupan Bentik ........................................................................7
4.3. Keanekaragaman Hayati ........................................................................10
4.3.1. Struktur Komunitas Karang Keras ..................................................10
4.3.2. Ikan Karang ....................................................................................13
4.3.3. Avertebrata Bentik ..........................................................................17
4.3.4. Kesimpulan dan Saran ...................................................................21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................24
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Marga Karang Keras Yang Ditemukan di Setiap Lokasi
Pengamatan ...............................................................................27
Lampiran 2. Daftar Jenis Ikan Karang Yang Ditemukan di Setiap Lokasi
Pengamatan ..............................................................................28
Lampiran 3. Daftar Jenis Avertebrata Bentik Non Karang Yang Ditemukan
di Setiap Lokasi Pengamatan ....................................................29
Lampiran 4. Foto Satelit Pulau Sangiang Kabupaten Serang, Banten .........30
Lampiran 5. Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) ...................31
Lampiran 6. Foto-foto .....................................................................................32
iii | P a g e
BAB.I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang.
Indonesia berada pada 60 LU - 110 LS dan 950 BT - 1410 BT, terletak didaerah iklim
tropis (daerah tropis berada diantara 23 1/20 LU dan 23 1/20 LS). Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan 18 ribuan pulau, merupakan tempat tinggal bagi
flora dan fauna dari dua tipe yang berbeda asal-usulnya yaitu bagian barat (IndoMalayan) dan bagian timur termasuk kawasan Pasifik dan Australia. Walaupun luas
daratan hanya 1,3 % dari seluruh daratan bumi, tetapi Indonesia memiliki
keanekaragaman flora dan fauna endemik. Sekitar 10% spesies berbunga, 12%
spesies mamalia, 16% spesies reptil dan amphibia, 17% spesies burung serta 25%
spesies ikan dunia terdistribusi di perairan Indonesia
Negara kita memiliki jenis terumbu karang yang terbanyak di dunia, dan juga menjadi
sumber makanan bagi sejumlah besar mamalia laut, reptil, dan ikan. Keberadaan
terumbu karang tidak kalah pentingnya, selain sumber makanan bagi berbagai jenis
fauna laut, dia juga menjadi tempat penangkapan ikan bagi nelayan. Sisi lainnya,
keberadaan terumbu karang yang indah membawa dampak positif bagi dunia
pariwisata bahari.
Keberadaan terumbu karang yang tersebar di seluruh pelosok tanah air terutama di
pesisir dan pulau kecil Indonesia merupakan harta tak ternilai yang harus dijaga dan di
manfaatkan secara bijak. Perkembangan pembangunan khususnya dikawasan pesisir
saat ini cenderung mengabaikan dampak pada terumbu karang. Keuntungan jangka
pendek dan skala prioritas pelestarian lingkungan khususnya ekosistem terumbu
karang yang diabaikan mengakibatkan dampak yang terjadi sangat besar. Terumbu
karang yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan tidak dapat beradaptasi
terhadap lingkungan yang tercemar dan rusak seperti adanya limbah, sampah serta
sedimentasi akibat industrialiasasi dan pembangunan infrastruktur.
Perlu dilakukan upaya penyadaran kepada semua pihak khususnya pelaku industri
untuk terlibat aktif dalam upaya perbaikan lingkungan. Dorongan pemerintah dalam
memberikan pengetahuan dan penyadaran telah dilakukan lewat berbagai program.
Inisiatif aktif dari pelaku industri diharapkan akan memberikan sumbangan pada
penyadaran dilingkungan internal maupun linkungan sekitar termasuk masyarakat.
Pada akhirnya kegiatan perbaikan lingkungan akan menjadi program bersama yang
saling sinergi dan berdampak luas tidak hanya kepada policy perusahaan tetapi
berdampak pada masyarakat sekitar dan stakeholder lainnya serta mendukung
kesejahteraan kehidupan sekitar.
1|Page
1.2. Program Kerjasama.
Beranjak dari latar belakang tersebut diatas, Yayasan KEHATI menawarkan kerjasama
kepada PT. Asahimas Chemical sebagai salah satu Perusahaan Industri Kimia kelas
dunia untuk mendukung upaya awal kegiatan pelestarian lingkungan khususnya
melestarikan pulau kecil. Lingkup kerjasama pada tahap awal adalah menyediakan
data terkini tentang kondisi terumbu karang di Taman Wisata Alam Pulau Sangiang.
Data tersebut sangat penting karena bisa menjadi pertimbangan pengelolaan dan
pemanfaatan pulau kecil di kawasan tersebut.
Pengambilan data tutupan karang dilaksanakan untuk melaksanakan strategi awal
kegiatan perbaikan lingkungan. Kondisi terkini kawasan pesisir di Serang khususnya
Pulau Sangiang telah terjadi penurunan kualitas perairan karena kegiatan reklamasi,
sedimentasi dari pengambilan galian C dan pengerukan bukit untuk kebutuhan lahan
industri serta pengurukan, adanya proyek reklamasi di Jakarta dimana bahan
pengurukan pulau hasil reklamasi diambil dan di tabang di kawasan perairan
Kabupaten Serang dan di sekeliling TWA Pulau Sangiang.
Dampak langsung terhadap kondisi perairan akibat kegiatan ini adalah kerusakan pada
kawasan terumbu karang di Pulau Sangiang, sedimen akan membunuh spesies
karang karena tertutup sedimen dan mati.
Program kerjasama ini akan menyediakan data terkini yang falid dan berdasarkan
metode yang disepakati para ahli dilakukan oleh lembaga yang kredibel. Hasil
penelitian akan di abndingkan dengan data terdahulu dan akan dilakukan analisa untuk
melaksanakan program berikutnya.
Tahapan berikut dari survey adalah upaya interfensi program untuk merehabilitasi
kerusakan terumbu karang dengan melakukan penanaman karang dan membuat
manipulasi memasang modul membangun kawasan terumbu karang baru. Program ini
dalam kerangka uji coba dan akan di amati secara intensif perkembangannya. Apabila
metode ini berhasil akan diupayakan satu program untegrasi dengan stakeholder lain
untuk melaksanakan program rehabilitasi karang di Pulau Sangiang.
1.3. Pulau Sangiang
Pulau kecil yang terletak di Selat Sunda, yakni antara Jawa dan Sumatra. Secara
administratif, pulau ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Serang, Banten. Terletak di
titik kordinat antara 105′49′30″ - 105′52′ Bujur Timur 5′56′ - 5′58′50″ Lintang Selatan.
Jarak tempuhnya hanya membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit dari Anyer,
dengan menggunakan kapal atau perahu bermotor. Potensi keanekaragaman
hayatinya terdapat di kawasan daratan, pantai dan laut.
Pulau Sangiang yang sekarang dijadikan Taman Wisata Alam pada awalnya
merupakan Cagar Alam seluas 700,35 Ha Kemudian pada tahun 1991 perairan di
2|Page
sekitar kawasan diubah menjadi Taman Wisata Alam Laut seluas 720 ha. Pada
tanggal 8 Februari 1993 melalui SK Menteri Kehutanan No. 55/Kpts-II/1993 kawasan
Cagar Alam diubah fungsinya menjadi Taman Wisata Alam dengan luas 528,15 ha.
Taman Wisata Alam Pulau Sangiang terletak di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer,
Kabupaten Serang, Provinsi Banten, Indonesia. Dari Kota Serang, Ibu Kota Provinsi
Banten, Pulau dengan luas kurang lebih 700 ha. Di kawasan ini, terdapat berbagai
flora langka, seperti cemara laut (Casuarina equisetifolia), dadap laut (Erithrina
variegata), bayur (Pterospermum javanicum), ketapang (Terminalia catappa),
nyamplung (Callopphyllum inoplhylum), api-api (Avicenia sp), waru laut (Hibiscus
tiliaceus), walikukun (Actinophora fragrans), dan lain sebagainya.
Berbagai fauna langkanya, seperti lutung (Trachypithecus auratus), kera (Macaca
fascicularis), kucing hutan (Felis bengalensis), landak (Hystrix bachura), burung walet
(Collocalia vulvanorum), burung bluwok (Ibis cinereus), kuntul berang (Egretta sacra),
kuntul kerbau (Ardeola speciosa), kuntul besi (Threskiornis aethopica), alap-alap
(Elanus hypoleucus), dan ular sanca (Phyton reticularis), juga mudah dijumpai di
kawasan ini.
Pada sisi barat laut dan selatan Pulau Sangiang, serta di sepanjang Pantai Batu Mandi
dan Gunung Gede, merupakan kawasan wisata alam yang menantang dan sekaligus
mengasyikkan. Kawasannya yang luas dan didukung oleh kontur medan yang
beragam, memberi cukup ruang kepada pengunjung untuk melakukan berbagai
kegiatan, seperti olahraga lintas alam, mendaki gunung, menyusuri lembah, berkemah,
memotret, serta menikmati panorama pantai yang landai dan curam.
Kegiatan scuba diving, snorkling, free diving, berjemur, memancing, berperahu, serta
melihat keindahan terumbu karang dan taman laut bisa dilakukan di kawasan Batu
Raden, Legon Waru, Rawa Kedondong dan perairan laut selatan yang terdapat di
dalam Pulau Sangiang. Kekayaan ekosistemnya, seperti terumbu karang, hutan bakau
(mangrove), dan hutan pantai, merupakan lahan yang tepat bagi penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan alam, serta tempat wisata ilmiah. (Sumber Planet
Diving).
3|Page
BAB.II. TUJUAN BASE LINE SURVEY- TERUMBU KARANG P. SANGIANG
2.1. Tujuan Khusus:
1. Mengetahui kondisi terkini tutupan terumbu karang Pulaua Sangiang, kesehatan
karang, kondisi peraiuran serta kemelimpahan ikan karang.
2. Menyediakan data dan analisa serta saran untuk pelaksanaan program
rehabilitasi terumbu karang di TWA Pulau Sangiang.
2.2.
Tujuan Umum
1. Membantu Mitra Donor PT Asahimas Chemical untuk program lingkungan
monitoring biodiversity ekosistem terumbu karang Pulau Sangiang.
2. Mendukung perbaikan dan pelestarian keanekargaman hayati Indonesia,
khususnya terumbu karang.
3. Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Ekosistem Pulau Kecil dan Terumbu
karang kepada masyarakat.
4. Membuka peluang usaha dan lapangan kerja bagi kelompok masyarakat di
pulau kecil melalui penyewaan perahu dan staff pendamping lapangan dalam
survey
5. Memberdayakan karyawan PT Asahimas Chemical dalam program riset
lapangan.
2.3.
Capaian Kerjasama Program:
1. Adanya Data Keragaman jenis dan kemelimpahan serta tutupan terumbu
karang serta ikan karang.
2. Laporan dalam bentuk tulisan dan grafis dianalisa dan dijadikan dasar
pelaksanaan program rehbilitasi terumbu karang di TWA. Pulau Sangiang.
Usulan 2 kawasan rehabilitasi terumbu karang seluas masing-masing 50 m2 di
Pulau Sangiang sebagai kawasan pelestarian keanekaragaman hayati terumbu
karang.
4|Page
BAB.III. METODOLOGI
Dalam pelaksanaan program Yayasan KEHATI menerapkan tahapan metode kegiatan
sebagai berikut:
3.1. Waktu dan Lokasi pengamatan
Pengamatan dilakukan pada terumbu di sebelah timur dari Pulau Sangiang
disesuaikan dengan kondisi perairan. Terdapat 3 (tiga) lokasi pengamatan yang
mewakili lokasi penurunan terumbu buatan. Pengamatan dilakukan dari tanggal 22-23
Agustus 2016. Informasi lokasi pengamatan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Daftar lokasi pengamatan
Koordinat
No
Lokasi
1 Legon Bajo
2 Legon Waru
3 Tembuyung
Gambar 1. Peta lokasi pengamatan
5|Page
Lat
-5.94672
-5.95458
-5.96404
Lon
105.8618
105.8624
105.8658
3.2. Pengambilan Data
Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan karakterisasi lokasi. Karakteristik
lokasi diamati melalui pengamatan visual. Informasi yang dicatat meliputi nomor lokasi
identifikasi; Nama lokasi; posisi GPS (lintang, bujur); tanggal; kedalaman. Kecerahan
dalam air diukur menggunakan cakram secchi. Kekuatan arus diukur menggunakan
pelampung dan stopwatch.
Penelitian dilakukan pada siang hari, sehingga target pengamatan hanya terbatas
pada hewan-hewan diurnal – hewan yang mencari makan pada siang hari. Identifikasi
dilakukan hingga tingkat taksonomi terendah yang memungkinkan. Informasi yang
dicatat berupa jenis dan jumlah ikan dan avertebrata bentik yang ditemukan. Panduan
identifikasi yang digunakan meliputi Kuiter & Tonozuka (2003), Kuiter & Debelius
(1997), Randall dkk., (1997), Lieske & Myers (1994), Veron (2000), de Voogd (2005),
Sprung (2001), Allen & Steene (1998), Carpenter & Niem (1998), Debelius (1996),
Collin & Arnesson (1995), Dharma (1992), Dharma (1988), dan Clark & Rowe (1971).
Kegiatan utama pengamatan adalah mencatat tutupan komunitas terumbu karang,
menghitung kelimpahan masing-masing karang keras, makrobentos non-karang, dan
ikan karang. Transek garis sepanjang 4 x 20 meter menjadi patokan atau tanda di
dalam air. Transek ini juga digunakan untuk mencatat tutupan komunitas terumbu
karang berdasarkan metode Transek Garis Menyinggung/Line Intercept Transect
(English dkk., 1997). Selain itu, garis maya yang ditarik paralel dengan transek garis
membentuk luasan persegi panjang, dikenal dengan transek sabuk (Hill & Wilkinson,
2004), digunakan untuk menghitung populasi karang keras, makrobentos non-karang,
dan ikan karang. Panjang transek sama dengan TGM, tapi lebar transek
antarkomunitas terpilih berbeda-beda, yaitu 2 meter untuk karang keras, 2 meter untuk
makrobentos non-karang, dan 5 meter untuk ikan karang. Pada masing-masing lokasi,
transek dibentangkan pada satu kedalaman berkisar 5-7 meter. Gambaran visual
metode-metode pengamatan dapat dilihat di gambar 2.
Gambar 2. Metode pengamatan yang digunakan
Keanekaragaman diketahui dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener, yang
memperhitungkan kekayaan jenis dan kemerataan (Magurran, 1988).
Keanekaragaman dihitung dengan Hi’ = ∑ Pi Ln Pi. Pi adalah proporsi kelimpahan
jenis i. Kemerataan dihitung dengan Ei’ = Hi’/H’ max, H’ adalah indeks
keanekaragaman, dan H’max = H’/Ln S, dan S adalah kekayaan jenis.
6|Page
BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN SURVEY.
4.1. Kualitas air.
Kecepatan arus di Timur Pulau Sangiang berkisar antara 10 hingga 30cm/s, dengan
rata-rata sebesar 20cm/s. Kecepatan arus tertinggi terdapat di Legon Bajo (30cm/s)
dan terendah di Legon Waru (10cm/s). Nilai salinitas pada ketiga lokasi memiliki nilai
yang sama yaitu 30‰. Kecerahan perairan pada lokasi pengamatan berkisar antara 5
hingga 7 meter. Rata-rata kecerahan perairan mencapai 6 meter.
Saat pengamatan, kondisi arus dan gelombang cenderung tenang, hal tersebut dapat
dilihat dari kecepatan arus. Akan tetapi, terdapat bekas-bekas kekuatan arus dan
gelombang berupa patahan karang dan karang yang terbalik. Oleh sebab itu,
pembuatan terumbu buatan pada kawasan tersebut harus menggunakan bahan yang
berat dan konstruksi yang kuat. Selain itu, kecerahan yang berkisar dari 5 hingga 7
cenderung rendah walaupun masih sesuai dengan standar baku mutu air laut. Akan
tetapi, variable yang tidak diukur adalah padatan terlarut untuk mengetahui tingkat
sedimentasi. Perairan terlihat sangat keruh dan banyak sedimen terlarut dan
mengendap. Nilai salinitas sebesar 30‰ juga menunjukkan adanya pengaruh daratan
Cilegon. Baik sedimentasi maupun salinitas menunjukkan tingginya limpasan dari
daratan dan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan karang.
4.2. Persentasi Tutupan Bentik
Gambar 3. Partikel terlarut di kolom air dan sedimen yang mengendap menutupi
karang, patahan karang, dan karang mati.
7|Page
4.2. Presentasi tutupan bentik
Rata-rata tutupan karang hidup di Timur Pulau Sangiang adalah 18,33 %, dan
termasuk ke dalam kategori Buruk menurut kriteria Gomez dan Yap, 1988. Persen
penutupan karang keras bervariasi antar lokasi berkisar 2,50 % -37,50%. Sedangkan
penutupan karang mati berkisar antara 0.63%- 43,13 %, dengan nilai rata-rata sebesar
26,46%.
Tabel 2. Persentase Tutupan Kategori Subtrat Dasar (%)
Tipe Tutupan Substrat Dasar
Lokasi
Karang
Karang
Karang
Biotik
keras
lunak
mati
lain
Legon Bajo
37,50
10,00
35,63
6,88
Legon Waru
15,00
21,25
43,13
4,38
Tembuyung
2,50
30,63
0,63
3,13
Abiotik
lain
10,00
16,25
63,13
Gambar 4. Perbandingan komposisi rerata penutupan kategori substrat.
Persentase tutupan karang terendah ditemukan pada Tembuyung, sebesar 2,50%
(kategori buruk). Sebaliknya, nilai tertinggi sebesar 37,50 (kategori sedang) ditemukan
di Legon Bajo. Terumbu karang Pula Sangiang sebagian besar terdiri dari tipe
pertumbuhan karang bercabang dengan nilai sebesar 44,83%, dibandingkan dengan
tipe massive (36,78%), lembaran (12,64%), Soliter (3,45%) dan merayap (2,30%).
8|Page
Gambar 5. Perbandingan komposisi rerata penutupan substrat kategori
pertumbuhan karang.
Berdasarkan hasil pengamatan terlibat bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di
bagian Timur Sangiang dalam kondisi tertekan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukan
banyak karang mati pada lokasi Legon Waru dan Legon Bajo. Karang mati ini sangat
berkaitan dengan banyaknya kegiatan wisata yang dilakukan dengan kurang ramah
seperti membuang sampah di laut dan masih ditemukannya kegiatan membuang
jangkar ke terumbu karang.
Gambar 6. Kondisi substrat dasar di Legon Waru, Legon Bajo dan Tembuyun
(kiri ke kanan) yang didominasi oleh karang mati dan abiotik lain.
Pada daerah pengamatan, tempat-tempat yang didominasi karang mati seringkali
ditemukan dalam bentuk patahan karang yang terbentang hingga beberapa meter.
Daerah yang dipenuhi dengan patahan karang tersebut sering disebut sebagai Rubble
killing field, dimana karang tidak dapat tumbuh. Patahan karang akan selalu bergerak
akibat pengaruh dinamika air, sehingga juwana karang yang menempel akan mati
karena terbalik atau terkubur ketika menempel pada patahan karang. Patahan karang
yang terlempar juga akan merusak karang di sekitarnya. Pada daerah tersebut, perlu
9|Page
disediakan substrat keras tempat menempel karang agar ekosistem terumbu karang
dapat diperbaiki.
Gambar 7. Daerah yang dipenuhi oleh patahan karang seperti ini, banyak
ditemukan di Pulau Sangiang bagian timur. Kawasan seperti ini akan sulit pulih
seandainya tidak diberikan substrat keras.
Tipe pertumbuhan karang di bagian Timur Pulau Sangiang didominasi oleh bentuk
bercabang dan lembaran. Hal tersebut disebabkan oleh bentuk pertumbuhan
bercabang dan lembaran yang memiliki kecepatan tumbuh tertinggi dibandingkan
bentuk lainnya. Selain tipe pertumbuhan bercabang, tipe pertumbuhan karang yang
cukup banyak dijumpai adalah bentuk submassive. Bentuk submassive ini sesuai
dengan kondisi perairan yang agak bergelombang. Berasarkan kondisi geografisnya
Pulau Sangiang memdapatkan dua musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur,
dimana pada saat Musim Timur kondisi perairan bagian Timur Pulau Sangiang cukup
bergelombang mencapai 2m dan berarus cukup besar.
10 | P a g e
Gambar 8. Bentuk pertumbuhan karang bercabang, submassive dan lembaran
yang dominan ditemukan di bagian timur pulau sangiang (dari kiri ke kanan)
4.3. Keanekaragaman hayati.
4.3.1. Struktur komunitas karang keras
Jumlah marga karang keras yang ditemukan yaitu sebanyak 28 marga. Semua marga
yang ditemukan termasuk dalam kelas Anthozoa kecuali Millepora, Heliopora, dan
Tubipora yang masuk ke dalam kelas Hydrozoa. Marga yang paling banyak ditemukan
adalah di lokasi Legon Waru sebanyak 23 marga, kemudian Legon Bajo 19 marga dan
paling sedikit di Tembuyung sebanyak 8 marga.
Tabel 3. Nilai kekayaan marga(S), indeks keanekaragaman (H'), index kemerataan
(E) dan dominansi (D) di setiap lokasi
Lokasi
S
H'
E
D
Legon Bajo
19
2,07
0,70
0,17
Legon Waru
23
2,61
0,83
0,1
Tembuyung
8
0,65
0,31
0,3
Rerata
17
1,78
0,62
0,19
Indeks Keanekaragaman menggambarkan keragaman komunitas dilihat dari jumlah
jenis dan kelimpahan individu dalam jenis. Dari hasil pengamatan indeks
keanekaragaman yang paling rendah yaitu (0,65) terdapat di Tembuyun. Legon Waru
mempunyai indeks keanekaragaman yang paling tinggi (2,62). Jika melihat secara
keseluruhan di 3 lokasi pengamatan, indeks keanekaragaman karang keras yaitu 1,78.
Angka ini, menurut Ludwig & Reynolds (1988), termasuk dalam kategori
keanekaragaman rendah (Kurang dari 2).
Marga yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah Seriatopora,Fungia,Galaxea,
Goniopora,
Pachyseris,Echinopora,
Merullina,Montipora,Hydnopora,
dan
Sandalolitha. Hasil pengamatan yang didapatkan di lokasi penelitian bahwa
kelimpahan marga karang keras yang ditemukan bervariasi, kelimpahan tertinggi dari
marga Seriatopora sebesar 4833 ind/ha dan terendah adalah marga Montastrea
sebesar 42 ind/ha. Hasil lengkap dari kelimpahan marga karang keras bisa di lihat
pada Gambar 9.
11 | P a g e
Gambar 9. Grafik sepuluh marga karang keras dengan kelimpahan tertinggi
Dari seluruh marga yang ditemukan, jika dikelompokkan berdasarkan suku, maka suku
yang paling melimpah adalah Fungiidae dan Faviidae masing-masing sebesar
21,43%. Selanjutnya suku Pocilloporidae sebesar 10,71%. Sedangkan suku
Acroporidae, Agariciidae, Merullinidae, Poritidae dan Caryophyllidae masingmasing sebesar 7,14%, dan suku Pectinidae, Oculinidae serta Mussidae masingmasing sebesar 3,75%.
Gambar 10. Genus Galaxea, Seriatopora dan Fungia (kiri ke kanan)
12 | P a g e
Gambar 11. Proporsi suku marga karang keras.
Jika dilihat berdasarkan lokasi maka kelimpahan karang keras cukup bervariasi,
dimana kelimpahan tertinggi terdapat di Legon Bajo sebesar 14.875 ind/ha,
selanjutnya Legon Waru sebesar 11.917 ind/ha dan yang paling kecil adalah
Tembuyung dengan kelimpahan sebesar 2.500 ind/ha.
Gambar 12. Proporsi marga karang keras berdasarkan ukuran (S: < 5cm; M: 525cm; L: >25cm)
13 | P a g e
Substrat karang di Pulau Sangiang didominasi oleh karang keras berukuran lebih dari
25cm (47,79%) dan antara 5 sampai 25cm (38,55%) yang terkadang membentuk
hamparan yang tidak bisa dipisahkan antar koloni (biasanya hamparan dari marga
Seriatopora, Pachyseris, Echynopora,) dan bongkahan submasif besar (biasanya dari
genus Galaxea atau Goniopora). karang dengan 5cm ditemukan hanya berkisar
13,66% saja. Karang ukuran ini sering juga dikategorikan sebagai juwana/anak karang.
Karang-karang yang berukuran < 5cm kebanyakan dari marga Fungia, Seriatopora,
Galaxea. Ketiga jenis ini memang merupakan marga yang paling mendominasi di
perairan Pulau Sangiang.
Proporsi angka juwana karang yang rendah mengindikasikan bahwa komunitas
memiliki potensi untuk pulih. Rendahnya nilai karang dengan jumlah berukuran kecil
menunjukkan terbatasnya substrat untuk menempel bagi juwana karang. Oleh sebab
itu, dengan menyediakan substrat keras untuk penempelan juwana karang dan
mengurangi tekanan (terutama jangkar kapal) maka ekosistem terumbu karang di
Pulau Sangiang dapat dipulihkan.
Kegiatan rehabilitasi karang dengan menggunakan metode transplantasi perlu
memperhatikan beberapa hal kunci sehingga bisa berhasil dan tidak menimbulkan
kerusakan di tempat yang bagus. Rehabilitasi dengan metode transplantasi sebaiknya
memperhatikan sumber bibit karang, ukuran koloni karang yang diambil, dan lokasi
pengambilan bibit. Terkait dengan sumber bibit sebaiknya sumber bibit karang diambil
dari sekitar lokasi yang akan dilakukan rehablitasi. Ukuran koloni karang yang menjadi
bibit harus berukuran diameter minimal 30 cm, dengan jumlah maksimum yang bisa
dimanfaatkan untuk tipe bercabang maksimal 50% dari ukuran koloni dan tipe
pertumbuhan yang lain maksimal 30%. Sedangkan untuk lokasi pengambilan bibit
sebaiknya di areal tutupan karang yang minimal persentase tutupannya masuk
kategori baik yaitu 50-74,9 %. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa bibit
karang yang bisa diambil dari alam yang berukuran diatas 25 cm adalah marga
Pachyseris, Seriatpora, Echinopora, Goniopora, Galaxea, Merullina, Montipora,
Acropora dan Hydnopora.
Pengamatan juga menunjukkan ditemukannya pemutihan karang baik pada karang
keras maupun karang lunak. Pemutihan bahkan juga ditemukan pada karang lunak
hingga kedalaman 20 m. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang
Pulau Sangiang berada dalam tekanan yang cukup tinggi. Selain itu, pengamat juga
menduga ada kemungkinan munculnya penyakit karang, terutama White Syndromes
yang sering muncul bersama dengan pemutihan karang. Informasi tentang gangguan
kesehatan karang (pemutihan dan penyakit) sepertinya perlu digali lebih lanjut.
14 | P a g e
Gambar 13. Pemutihan karang banyak ditemukan baik pada karang keras maupun
karang lunak (kiri). Pemutihan bahkan ditemukan pada karang lunak di kedalaman
20m (kanan).
4.3.2. Struktur komunitas ikan karang.
Hasil pengamatan selama penelitian ditemukan ikan karang sebanyak 69 jenis
tergolong dalam 18 suku, dengan kisaran jenis di setiap lokasi adalah 27 hingga 42
jenis ikan karang (Tabel 1). Kekayaan jenis pada setiap lokasi pengamatan
menunjukkan nilai tertinggi ditemukan di Legon Waru dengan 42 jenis dan untuk
jumlah jenis terendah ditemukan di Tembuyung dengan 27 jenis ikan karang.
Nilai indeks keanekaragaman selama pengamatan di seluruh lokasi menunjukkan
kisaran nilai antara 1.77 sampai 2.54. (Tabel). Lokasi dengan nilai keanekargaman
ikan karang tertinggi terdapat di Legon Waru dan yang terendah di site Tembuyung.
Hasil analisis terhadap indek kemerataan untuk seluruh lokasi menunjukkan kisaran
antara 0.54 sampai 0.68 dengan nilai tertinggi di Legon Waru dan terendah di
Tembuyung. Sedangkan untuk nilai indeks dominansi selama pengamatan di setiap
lokasi menunjukkan kisaran 0.06 sampai 0.18 dengan nilai tertinggi Legon Bajo dan
terendah Tembuyung.
Tabel 4. Nilai kelimpahan (N), kekayaan marga (S), indeks keanekaragaman (H'),
indek kemerataan (E) dan dominansi (D) ikan karang di timur Pulau Sangiang
Lokasi
N
S
H'
E
D
Legon Bajo
13.625
38
2,32
0,64
0,18
Legon Waru
14.425
42
2,54
0,68
0,08
Tembuyung
7.925
27
1,77
0,54
0,06
Rerata
11.325
36
2,21
0,62
0,32
15 | P a g e
Total kelimpahan untuk 3 lokasi pengamatan sebesar 33.975 ind/ha dengan
kelimpahan terbesar pada lokasi Legon Bajo dan terendah lokasi Tembuyung (Gambar
10). Sedangkan untuk pada kelompok tropic, kelompok planktivor memiliki kelimpahan
tertinggi sebesar 18.325 ind/ha, kemudian di ikuti kelompok omnivora dan yang paling
terendah kelompok koralivor sebesar 600 ind/ha (Gambar 18).
Gambar 14. Kelimpahan di setiap lokasi pengamatan (ind/ha).
Gambar 15. Kelimpahan pada kelompok tropik pada semua lokasi pengamatan
(ind/ha).
16 | P a g e
Di tingkat jenis, kelimpahan 4 jenis ikan karang mencapai 18.350 ind/ha atau lebih dari
54% total ikan yang diamati. Empat jenis ikan yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu:
Cirrhilabrus cyanopleura, Pomacentrus alexanderae, Caesio cunning, dan
Amblyglyphidodon curacou. Dari empat ikan kaang tersebut, dengan kelimpahan
paling tinggi adalah Cirrhilabrus cyanopleura. Cirrhilabrus cyanopleura merupakan
jenis ikan dari suku Labridae dengan kelimpahan sebesar 7.850 ind/ha seluruh lokasi
pengamatan. Ikan jenis ini memiliki kelimpahan yang besar di setiap lokasi dan
biasanya di temukan dalam bentuk bergerombol dalam jumlah yang besar di
ekosistem terumbu karang. Jenis ikan ini sangat jarang di manfaatkan baik sebagai
ikan hias maupun ikan konsumsi, sehingga tidak mengalami tekanan yang signifikan
terhadap populasinya.
Gambar 16. Proporsi tujuh jenis ikan karang dengan kelimpahan tertinggi di
seluruh lokasi (Ind/Ha)
Gambar 17. Ikan-ikan dengan kelimpahan tertinggi. Dari kiri ke kanan:
Cirrhilabrus cyanopleura, Pomacentrus alexanderae, dan Caesio cunning.
17 | P a g e
Total biomassa ikan karang selama pengamatan adalah sebesar 3.549 kg/ha.
Pengamatan terhadap seluruh lokasi menunjukkan bahwa biomassa ikan karang
tertinngi terdapat pada lokasi Tembuyung dan terendah pada lokasi Legon Waru. Pada
tingak kelompok tropik, kelompok karnivora memiliki biomassa tertinggi sebesar 1,494
kg/ha dan terendah pada kelompok coralivor sebesar 27 kg/ha.
Gambar 18. Biomassa pada setiap lokasi pengamatan (kg/ha)
Rendahnya biomassa ikan koralivor menunjukkan bahwa sedikitnya karang yang
menjadi pakan berhubungan langsung dengan biomassa ikan tersebut. Hal yang
cukup mengkhawatirkan adalah tingginya karnivora menunjukkan bahwa
keseimbangan tingkat trofi di kawasan tersebut tidak baik. Rendahnya herbivora dapat
menyebabkan tingginya pertumbuhan alga yang akan berkompetisi dengan larva
karang. Hal tersebut dapat dilihat pada banyaknya karang yang ditutupi alga.
Tingginya alga juga menjadi kekhawatiran tersendiri dalam melakukan transplantasi
karang. Oleh sebab itu, transplan yang ditanam perlu dibersihkan secara berkala.
Gambar 19. Alga menutupi karang, karang mati, spons, dan substrat lainnya.
18 | P a g e
1.600
1.494
Bio 1.400
mas
sa 1.200
(Kg
/ha) 1.000
1.227
800
588
600
400
164
200
48
27
Benthic
invertivore
Coralivor
Carnivor
Herbivor
Planktivor
Omnivor
Kelompok trofi
Gambar 20. Biomassa tinggkat trofi pada seluruh lokasi pengamatan (kg/ha)
Pengamatan ikan di timur Pulau Sangiang belum lengkap, karena pada transek
terakhir masih ditemukan jenis-jenis ikan baru. Hal yang cukup mengagetkan adalah
ternyata Pulau Sangiang memiliki keanekaragaman ikan yang jauh lebih baik
dibandingkan karang dana vertebrata bentik. Pada Legon Waru misalnya, indeks
keanekaragaman telah mencapai 2.54. Oleh sebab itu, ikan karang perlu diamati lebih
mendalam pada kawasan timur Pulau Sangiang.
4.3.3. Stuktur komunitas avertebrata bentik non karang
Survei berhasil menemukan sebanyak 31 spesies avertebrata bentik non karang, yang
terdiri atas Annelida, Cnidaria, Echinodermata, Mollusca, Porifera, dan Chordata
subfilum Tunicata. Kelimpahan avertebrata bentik sebanyak 330.125 individu/ha.
Gambar 21. Proporsi kekayaan jenis avertebrata bentik dibandingkan dengan
proporsi kelimpahan.
19 | P a g e
Filum dengan jumlah spesies terbanyak adalah Porifera dengan 11 spesies,
sedangkan jumlah spesies terendah adalah Annelida (2 spesies). Akan tetapi,
berdasarkan kelimpahan, Filum dengan kelimpahan tertinggi adalah Cnidaria, dengan
kelimpahan sebesar 313.958 individu/ha, sedangkan Porifera kelimpahannya sebesar
7.604 individu/ha. Kelimpahan terendah yang ditemukan adalah pada Filum Annelida,
dengan kelimpahan sebesar 125 individu/ha. Spesies dengan kelimpahan tertinggi
adalah Palythoa sp. (310.833 individu/ha), diikuti oleh Didemnum molle (5.875
individu/ha), Haliclona koremella (3.333 individu/ha), Aglaophenia cupressina. (2.563
individu/ha), Capillaster sentosus (1.625 individu/ha), dan Pseudoceratina sp. (1.354
individu/ha).
Gambar 23. Grafik Spesies-spesies avertebrata bentik dengan kelimpahan
tertinggi di Pulau Sangiang.
20 | P a g e
Dari ketiga lokasi tersebut, Legon Waru memiliki kelimpahan avertebrata bentik
tertinggi, dengan nilai sebesar 940.375 individu/ha, nilai yang sangat jauh berbeda
dengan Legon Bajo (35.688 individu/ha) ataupun Tembuyung (14.313 individu/ha).
Legon Bajo memiliki kekayaan jenis, indeks keanekaragaman, dan kemerataan
tertinggi (20, 1,95, dan 0,65) dibandingkan lokasi lainnya. Di satu sisi, Lokasi dengan
nilai terendah ditemukan di Tembuyung. Informasi keanekaragaman dari setiap lokasi
dapat dilihat di tabel 4.
Tabel 5. Nilai kelimpahan (N), kekayaan marga (S), indeks keanekaragaman (H'),
indek kemerataan (E) dan dominansi (D) karang keras avertebrata bentik di timur
Pulau Sangiang
Lokasi
N
S
H'
E
D
Legon Bajo
35.688
20
1,95
0,65
0,24
Legon Waru
940.375
17
1,71
0,60
0,98
Tembuyung
14.313
5
0,39
0,24
0,52
Rerata
330.125
14
1,35
0,49
0,58
Kawasan timur Pulau Sangiang ternyata sepertinya mengalami tekanan yang cukup
tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari keanekaragaman avertebrata bentik yang sangat
rendah. Tingginya sedimen juga menyebabkan mayoritas avertebrata bentik yang
hidup pada kawasan tersebut didominasi oleh organisme penyaring makanan (filter
feeder) seperti spons, Tunicata, dan sebagainya. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah tingginya kelimpahan Palythoa sp. walaupun hanya ditemukan di satu lokasi,
yaitu Legon Waru. Cnidaria tersebut masuk ke dalam kelompok Zoantharia yang
dikenal memiliki sifat invasif. Palythoa sp. yang ditemukan telah menutupi dasar laut
hingga membentuk karpet.
21 | P a g e
Gambar 24. Palythoa sp. yang membentuk karpet hingga beberapa meter
persegi.
Dari segi lokasi, Legon Bajo menjadi yang terbaik dibandingkan kedua lokasi lainnya
baik dari segi keanekaragaman, walaupun sebenarnya kekayaan jenis maupun indeks
keanekaragamannya tergolong rendah. Tembuyung merupakan kawasan yang paling
miskin keanekaragaman hayati terumbu karang. Bahkan pada transek terakhir di
Tembuyung, lokasi merupakan campuran padang yang berisi patahan karang, karang
mati, dan pasir. Hampir tidak ada bentuk kehidupan yang ditemukan.
22 | P a g e
4.3.4. Kesimpulan dan saran
 Kualitas air di kawasan Timur Pulau Sangiang masih sesuai dengan baku mutu
air laut.
 Rendahnya salinitas dan pengamatan sedimentasi menunjukkan tingginya
limpasan dari daratan yang akan mempengaruhi pertumbuhan karang.
 Tutupan karang hidup termasuk ke dalam kategori buruk.
 Lokasi dengan tutupan terendah adalah Tembuyung, sedangkan yang tertinggi
di Legon Bajo.
 Ekosistem terumu karang di kawasan Timur Pulau Sangiang dalam kondisi
tertekan, yang dapat dilihat dengan tingginya karang mati dan patahan karang.
 Kerusakan yang banyak ditemukan adalah bekas jangkar kapal.
 Terdapat daerah dengan patahan karang yang tinggi, yang sulit ditumbuhi
karang jika tidak disediakan substrat keras.
 Keanekaragaman biota cenderung rendah.
 Marga karang yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah Seriatopora, Fungia,
Galaxea, Goniopora, Pachyseris, Echinopora, Merullina, Montipora, Hydnopora,
dan Sandalolitha.
 Bibit karang yang bisa diambil dari alam yang berukuran diatas 25 cm adalah
marga Pachyseris, Seriatopora, Echinopora, Goniopora, Galaxea, Merullina,
Montipora, Acropora dan Hydnopora
 Tingginya sedimen juga menyebabkan mayoritas avertebrata bentik yang hidup
pada kawasan tersebut didominasi oleh organisme penyaring makanan (filter
feeder) seperti spons, Tunicata, dan sebagainya.
 Ekosistem terumbu karang di kawasan timur Pulau Sangiang termasuk tertekan,
oleh sebab itu pemulihan ekosistem terumbu karang dapat dilakukan dengan
penyediaan substrat keras untuk penempelan karang dan pengurangan
frekuensi penggunaan jangkar kapal di terumbu karang.
23 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Aktani, U. 2003. Fish Communities as related to substrate characteristics in the coral reefs in
Kepulauan Seribu Marine National Park, Indonesia, five years after stopping blast
fishing practices. Disertasi. University of Bremen. Germany.
Allen, G. R. & R. Steene. 1998. Indo-Pacific coral reef field guide. Sea Challengers, Danville:
378 hlm.
Birkeland, C. (ed). 1997. Life and death of coral reefs. Chapman & Hall, New York.
Brock, K.E. & J.H. Brock. 1977. A method for quantitatively assessing the infaunal community
in coral rock. Limnol Oceanogr 22:948–951 hlm.
Burke, L., E. Selig dan M. Spalding. 2002. Reefs at risk in Southeast Asia. World Resources
Institute, United Nations Environment Program-World Conservation Monitoring Center,
World Fish Center, dan International Coral Reef Action Network, USA: 40 hlm.
Carpenter, K.E. & V. Niem (eds.). 1998. The living marine resources of the Western Central
Pacific Volume 1: Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. FAO, Rome: xiii + 686
hlm.
Clark A.M. & F.W.E. Rowe. 1971. Monograph of shallow-water Indo-West Pacific
echinoderms. British Museum (Natural History), London: ix + 269 hlm.
Collin, P.L. & C. Arnesson. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. Coral Reef Press, California:
290 hlm.
Cornell, H. V. & R. H. Karlson. 2000. Coral species richness: ecological versus
biogeographical influences. Coral reefs (2000) 19: 37 – 49.
De Voogd, N.J. 2005. Indonesian Sponges. Biodiversity and mariculture potential. Phd thesis,
University of Amsterdam, Amsterdam: 21-37.
Debelius, H. 1996. Nudibranchs and sea snails Indo-Pacific field guide. IKAN –
Unterwasserarchiv, Frankfurt: 321 hlm.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I. PT. Sarana Graha, Jakarta: xvi + 111 hlm.
Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia II. Verlag Christa Hemmen, Wiesbaden: 135
hlm.
Edwards, A.J. & E.D Gomez. 2008. Konsep dan panduan restorasi terumbu: Membuat pilihan
bijak di antara ketidakpastian. Terj. dari: Reef restoration concepts and guidelines:
making sensible management choices in the face of uncertainty. Oleh: Yusri, S.,
Estradivari, N.S. Wijoyo, dan Idris. Yayasan TERANGI, Jakarta: iv + 38 hlm.
English, S., C. Wilkinson & V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources
(2nd edition). Australian Institute for Marine Science, Townsville
Estradivari & S. Yusri. 2006. Coral reefs of Seribu Islands, Western Indonesia. Makalah pada
1st Asia Pacific Coral Reefs Symposium, Hongkong: 11 hlm.
Estradivari, E. Setyawan, & S. Yusri (eds). 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan
jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan TERANGI.
Jakarta. viii+102 hlm.
Estradivari, S.Yusri, M.Syahrir, S.Timotius, (eds). 2006. Ekosistem Pesisir di Petondan Timur
dan Sekitarnya. Yayasan TERANGI, Jakarta : 69 hal
Froese, R. & D. Pauly. (eds). 2010. FishBase. World Wide Web electronic publication.
www.fishbase.org, version (07/2010).
24 | P a g e
Gomez E, Alcala A, Yap H, Alcala L and Alino P. 1985. Growth studies of commercially
important scleractinians. Proceedings of the 5th International Coral Reef Congress
6:199-204
Gosliner, T., D.W. Behrens., & G.C. Williams. 1996. Coral reefs animal of the Indo-Pacific.
Sea Challengers, Monterey: vi + 314 hlm.
Hill, J. & C. Wilkinson. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs: A resource for
managers. Australian Institute of Marine Science and Reef Check, Australia.
Kuiter, R. H. & H. Debelius. 1997. Southeast Asia Tropical Fish Guide. IKANUnterwasserarchiv. Frankfurt.
Kuiter, R. H. & T. Tonozuka. 2003. Pictorial guide to: Indonesian reef fishes. Part 2. PT. Dive
& Dive’s. Denpasar, Bali.
Lieske, E. & R. Myers. 1994. Reef fishes of the world. Reprinted 1997. Periplus Editions Ltd.
Hongkong.
Loeb, S.L. & A. Spacie (eds.). 1974. Biological monitoring of aquatic systems. Lewis
Publisher. London.
Ludwig, J. A. & J. F. Reynolds. 1998. Statistical ecology: a primer methods and computing.
John Wiley & Sons, New York: xviii + 337 hlm.
Magurran, A.E. 1988. Ecological diversity and its measurements. Princeton University Press,
Princeton: x + 179 hlm.
Marshall, P & H. Schuttenberg. 2006. A Reef Manager’s guide to coral bleaching. Great
Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville: x+163 hlm
Marshall, PA and AH Baird. 2000. Bleaching of corals on the Great Barrier Reef: differential
susceptibilities among taxa. Coral reefs 19, 155 163.
Michael, P. 1995. Metode ekologi untuk penyelidikan lapang dan Laboratorium. Terj. dari.
Ecological Methods for Field and Laboratorium Investigations. oleh: Koestoer , Y.R.
UI-Press, Jakarta: xv + 617 hlm
Nakamura T., H. Yamasaki, R. Van Woesik. 2003. Water flow facilitates recovery from
bleaching in the coral Stylophora pistillata. Mar. Ecol. Prog. Ser. 256:287–291 hlm.
Nanami, A., M. Nishihira, T. Suzuki, & H. Yokochi. 2005. Species-specific habitat distribution
of coral reef fish assemblages in relation to habitat characteristics in an Okinawan
coral reef. Environmental Biology of Fishes 72: 55–65
Obura, D.O. & G. Grimsdith. 2009. Resilience Assessment of coral reefs – Assessment protocol
for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress. IUCN working group on
Climate Change and Coral Reefs. IUCN, Gland, Switzerland. 70 pp.
Odum, E.P. 1985. Trends expected in stressed ecosystems. Bioscience 35: 419-422 hlm.
Poutiers, J.M. 1998. Bivalves (Acephala, Lamellibranchia, Pelecypoda). dalam. Carpenter, K.E.
& V. Niem (eds.). 1998. The living marine resources of the Western Central Pacific
Volume 1: Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. FAO, Rome: xiii + 686 hlm.
Poutiers, J.M. 1998. Gastropods. dalam. Carpenter, K.E. & V. Niem (eds.). 1998. The living
marine resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, corals, bivalves
and gastropods. FAO, Rome: xiii + 686 hlm.
Rinehart, K.L. 2000. Anti tumor compounds from tunicates. Med. Res. Rev. 20: 1-27 hlm.
Setyawan, E., Estradivari, & S. Yusri.(eds). 2009. Mengenal Alam Pesisir Kepulauan Seribu.
PT. Penerbit IPB Press. Jakarta. x+106 hlm.
25 | P a g e
Spalding, M. D., C. Ravilious & E. P. Green. 2001. World atlas of coral reefs. Disiapkan di
UNEP-WCMC. University of California Press, USA: 424 hlm.
Sprung, J. 2001. Invertebrates: A Quick Reference Guide. Ricordea Publishing. Miami: 240
hlm.
Suchanek, T.H. & D. Green. 1982. Interspecific competition between Palythoa caribaerum and
other sessile inbertebrates on St. Corix Reefs, US Virgin Island. Dalam: Proceeding of
The Fourth International Coral Reef Symposium Vol 2: 679-684.
Suharsono, Giyanto, Yahmantoro, & A. J. Munkajee. 1998. Change of distribution and
abundance of reef fish in Jakarta Bay and Seribu Islands. Dalam. Proceeding of the
Coral Reef Evaluation Workshop. Kepulauan Seribu. Jakarta. 11-20 September 1995.
37-54 hlm.
Sukarno, M., M. Hutomo, K. Moosa dan P. Darsono.1981. Terumbu Karang di Indonesia:
Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya
Alam Indonesia. LON – LIPI. Jakarta
Tomascik T., Mah A. J., Nontji A, Moosa M. K., 1997. The Ecology Of Indonesian Seas.
Perplus Editions, 1387 p.
Van Soest, RWM. 1990. Shallow-water reef sponges of eastern Indonesia. Dalam: Rutzler, K.
(ed.).1990. New perspectives in sponge biology. Smithsonian Inst. Press, Washington:
302-308 hlm.
Veron, J. E. N. 2000. Corals of Australia and Indo-Pacific. Angus & Robertson Publishers,
Australia.
Westmacott S, Teleki K, Wells S, and West JM. 2000. Pengelolaan terumbu karang yang telah
memutih dan rusak kritis. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Yusri, S. & Estradivari. 2007. Distribusi infeksi penyakit White Syndromes dan karang memutih
(coral bleaching) pada komunitas karang keras di Pulau Petondan Timur, Kepulauan
Seribu. Berita Biologi 8(4): 223 – 229.
Yusri, S. & S. Timotius. 2007. Struktur komunitas makrobentos non-karang di Kepulauan
Seribu. dalamEstradivari, S. Yusri, M. Syahrir, & S. Timotius (eds.). 2007. Terumbu
Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu
(2004-2005). Yayasan TERANGI, Jakarta: ix + 87 hlm.
26 | P a g e
LAMPIRAN
Lampiran 1.Daftar marga karang keras yang ditemukan di setiap lokasi pengamatan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Marga
Acropora
Chypastrea
Ctenactis
Cyphastrea
Echinopora
Euphyllia
Favia
Favites
Fungia
Galaxea
Goniopora
Hydnopora
Lithophyllon
Lobophyllia
Merullina
Montastrea
Montipora
Pachyseris
Pavona
Pectinia
Physogyra
Pocillopora
Podabacia
Polyphyllia
Porites
Sandalolitha
Seriatopora
Stylopora
27 | P a g e
Legon
Bajo
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Lokasi
Legon
Waru
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Tembuyung
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Lampiran 2. Daftar jenis ikan karang yang ditemukan di setiap lokasi pengamatan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
28 | P a g e
Spesies Ikan
Abudefduf Sexfasciatus
Abudefduf vaigensis
Acanthurus nigrofuscus
Acanthurus thompsoni
Aeoliscus Strigatus
Amblyglyphidodon
Curacao
Amblyglyphidodon
Leucogaster
Amphiprion clarkii
Apogon Compressus
Aulostomus chinensis
Balistapus Undulatus
Bodianus Mesothorax
Caesio Cunning
Centropyge Vrlorkii
Chaetodon kleinii
Chaetodon mitratus
Chaetodon octofasciatus
Chaetodon vagabundus
Chaetodontoplus
mesoleucus
Cheilinus Fasciatus
Cheilinus Oxycephalus
Cheilodipterus
Quinquelineatus
Chlorurus bleekeri
Choerodon Anchorago
Chromis margaritifer
Chromis Ternatensis
Cirrhilabrus Cyanopleura
Ctenochaetus binotatus
Dascyllus Trimaculatus
Diproctacanthus
Xanthurus
Dischistodus
Prosopotaenia
Halichoeres Hortulanus
Legon
Bajo
v
v
Lokasi
Legon
Waru
Tembuyung
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
29 | P a g e
Halichoeres leucurus
Halichoeres malanurus
Halichoeres Marginatus
Halichoeres melanurus
Halichoeres Scapularis
Hemiglyphidodon
plagiometopon
Hemigymnus melapterus
Hemygimnus Melapterus
Heniochus Varius
Labroides Dimidiatus
Macholor niger juv
Neoglyphidodon melas
Neoglyphidodon nigroris
Neopomacentrus
cyanomos
Parupeneus Barberinus
Pentapodus emeryii
Pentapodus trivittatus
Plectorhinchus
chaetodonoides
Pomacentrus Alexanderae
Pomacentrus amboinensis
Pomacentrus burroughi
Pomacentrus Moluccensis
Pomacentrus Smithi
Pomacentrus trilineatus
Pseudocoris
aurantiofasciata
Scarus niger
Scarus Sordidus
Scolopsis Bilineatus
Scolopsis margaritifer
Siganus doliatus
Siganus Guttatus
siganus Virgatus
Sphaeramia nematoptera
Sphyraena acutipinnis
Stethojulis trilineata
Thalassoma lunare
thalassoma lutescens
Thallasoma Lunare
Zanclus Cornutus
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Lampiran 3. Daftar jenis Avertebrata bentik non karang yang ditemukan di setiap lokasi
pengamatan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
30 | P a g e
Spesies
Aaptos sp.
Acanthaster plancii
Aglaophenia cupressina
Aplidium sp.
Callyspongia aerizusa
Capillaster sentosus
Cinachyrella sp.
Comanthina schlegelii
Culcita novaeguineae
Cypraea tigris
Didemnum molle
Drupella sp.
Entacmaea quadricolor
Haliclona koremella
Haliclona sp.
Ircinia ramosa
Kallypilidion sp.
Leptoclinides cf.
reticulatus
Modiolus phillippinarum
Monanchora sp.
Ophiothrix sp.
Palythoa sp.
Petrosia nigricans
Petrosia sp.
Pinctada margaritifera
Pseudoceratina sp.
Sabellestarte indica
Sabellestarte
sanctijosephi
Synaptula sp.
Unidentified
Siphonophora
Xestospongia sp.
Legon
Bajo
v
v
v
v
v
v
Lokasi
Legon
Waru
v
v
v
v
v
Tembuyung
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Lampiran 4. Foto Satelit Pulau Sangiang Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sumber
Google Map)
Peta dan lokasi survey base line tutupan terumbu karanga Pulau Sanghyang. (Sumber Planet Diving).
31 | P a g e
Lampiran 5. Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi
32 | P a g e
Lampiran 6. Foto-foto
Foto 1. Pengurusan Perizinan SIMAKSI di kantor BBKSDA Jawa Barat, Bandung
Foto 2. Peta Kerja Pulau Sangiang
33 | P a g e
Foto 3. Pengambilan data karang
Foto 7. Team Survey
33 | Page
Yayasan Kenaekaragaman Hayati (KEHATI)
Jl. Bangka VIII No.3B Pela Mampang, Jakarta Seelatan-12720
Telp. 021-7183185 Fax. 021-71916131
Email : [email protected]
Website : www.kehati.or.id
Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI)
Jl. Asyibaniah No 106. Kelurahan Pondok Jaya. Cipayung- Depok, Jawa Barat-16443
Telp/Faks : 02129504088
Email : [email protected]
website : www.terangi.or.id
35 | P a g e
Download