YAYASAN TERUMBU KARANG INDONESIA (TERANGI) 2017 LAPORAN Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Pulau Sangiang Analisa Data dan Penulisan Laporan (sesuai abjad) : Hedra Akhrari, Idris, Mikael Prastowo SW dan Safran Yusri Sitasi Yusri, S., M. Prastowo S.W., Idris, dan H.Akhrari. 2017. Kondisi Ekosistem terumbu Karang Pulau Sangiang. Yayasan TERANGI. Jawa Barat: iii+33 hlm. ii | P a g e Daftar isi A. Halaman Cover.............................................................................................(i) B. Daftar Isi ......................................................................................................(ii) BAB.I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ..........................................................................................1 1.2. Program Kerjasama ..................................................................................2 1.3. Pulau Sangiang .........................................................................................2 BAB. II Tujuan Base Line Survey – Terumbu Karang P. Sangiang 2.1. Tujuan Khusus ..........................................................................................4 2.2. Tujuan Umum............................................................................................4 2.3. Capaian Kerjasama Program....................................................................4 BAB. III. Metodologi 3.1. Waktu dan Lokasi Pengamatan ................................................................5 3.2. Pengambilan Data.....................................................................................6 BAB. IV. Hasil dan Pembahasan Survey 4.1. Kualitas Air ................................................................................................7 4.2. Presentasi Tutupan Bentik ........................................................................7 4.3. Keanekaragaman Hayati ........................................................................10 4.3.1. Struktur Komunitas Karang Keras ..................................................10 4.3.2. Ikan Karang ....................................................................................13 4.3.3. Avertebrata Bentik ..........................................................................17 4.3.4. Kesimpulan dan Saran ...................................................................21 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................24 LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Marga Karang Keras Yang Ditemukan di Setiap Lokasi Pengamatan ...............................................................................27 Lampiran 2. Daftar Jenis Ikan Karang Yang Ditemukan di Setiap Lokasi Pengamatan ..............................................................................28 Lampiran 3. Daftar Jenis Avertebrata Bentik Non Karang Yang Ditemukan di Setiap Lokasi Pengamatan ....................................................29 Lampiran 4. Foto Satelit Pulau Sangiang Kabupaten Serang, Banten .........30 Lampiran 5. Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) ...................31 Lampiran 6. Foto-foto .....................................................................................32 iii | P a g e BAB.I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Indonesia berada pada 60 LU - 110 LS dan 950 BT - 1410 BT, terletak didaerah iklim tropis (daerah tropis berada diantara 23 1/20 LU dan 23 1/20 LS). Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 18 ribuan pulau, merupakan tempat tinggal bagi flora dan fauna dari dua tipe yang berbeda asal-usulnya yaitu bagian barat (IndoMalayan) dan bagian timur termasuk kawasan Pasifik dan Australia. Walaupun luas daratan hanya 1,3 % dari seluruh daratan bumi, tetapi Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna endemik. Sekitar 10% spesies berbunga, 12% spesies mamalia, 16% spesies reptil dan amphibia, 17% spesies burung serta 25% spesies ikan dunia terdistribusi di perairan Indonesia Negara kita memiliki jenis terumbu karang yang terbanyak di dunia, dan juga menjadi sumber makanan bagi sejumlah besar mamalia laut, reptil, dan ikan. Keberadaan terumbu karang tidak kalah pentingnya, selain sumber makanan bagi berbagai jenis fauna laut, dia juga menjadi tempat penangkapan ikan bagi nelayan. Sisi lainnya, keberadaan terumbu karang yang indah membawa dampak positif bagi dunia pariwisata bahari. Keberadaan terumbu karang yang tersebar di seluruh pelosok tanah air terutama di pesisir dan pulau kecil Indonesia merupakan harta tak ternilai yang harus dijaga dan di manfaatkan secara bijak. Perkembangan pembangunan khususnya dikawasan pesisir saat ini cenderung mengabaikan dampak pada terumbu karang. Keuntungan jangka pendek dan skala prioritas pelestarian lingkungan khususnya ekosistem terumbu karang yang diabaikan mengakibatkan dampak yang terjadi sangat besar. Terumbu karang yang sangat rentan terhadap perubahan lingkungan tidak dapat beradaptasi terhadap lingkungan yang tercemar dan rusak seperti adanya limbah, sampah serta sedimentasi akibat industrialiasasi dan pembangunan infrastruktur. Perlu dilakukan upaya penyadaran kepada semua pihak khususnya pelaku industri untuk terlibat aktif dalam upaya perbaikan lingkungan. Dorongan pemerintah dalam memberikan pengetahuan dan penyadaran telah dilakukan lewat berbagai program. Inisiatif aktif dari pelaku industri diharapkan akan memberikan sumbangan pada penyadaran dilingkungan internal maupun linkungan sekitar termasuk masyarakat. Pada akhirnya kegiatan perbaikan lingkungan akan menjadi program bersama yang saling sinergi dan berdampak luas tidak hanya kepada policy perusahaan tetapi berdampak pada masyarakat sekitar dan stakeholder lainnya serta mendukung kesejahteraan kehidupan sekitar. 1|Page 1.2. Program Kerjasama. Beranjak dari latar belakang tersebut diatas, Yayasan KEHATI menawarkan kerjasama kepada PT. Asahimas Chemical sebagai salah satu Perusahaan Industri Kimia kelas dunia untuk mendukung upaya awal kegiatan pelestarian lingkungan khususnya melestarikan pulau kecil. Lingkup kerjasama pada tahap awal adalah menyediakan data terkini tentang kondisi terumbu karang di Taman Wisata Alam Pulau Sangiang. Data tersebut sangat penting karena bisa menjadi pertimbangan pengelolaan dan pemanfaatan pulau kecil di kawasan tersebut. Pengambilan data tutupan karang dilaksanakan untuk melaksanakan strategi awal kegiatan perbaikan lingkungan. Kondisi terkini kawasan pesisir di Serang khususnya Pulau Sangiang telah terjadi penurunan kualitas perairan karena kegiatan reklamasi, sedimentasi dari pengambilan galian C dan pengerukan bukit untuk kebutuhan lahan industri serta pengurukan, adanya proyek reklamasi di Jakarta dimana bahan pengurukan pulau hasil reklamasi diambil dan di tabang di kawasan perairan Kabupaten Serang dan di sekeliling TWA Pulau Sangiang. Dampak langsung terhadap kondisi perairan akibat kegiatan ini adalah kerusakan pada kawasan terumbu karang di Pulau Sangiang, sedimen akan membunuh spesies karang karena tertutup sedimen dan mati. Program kerjasama ini akan menyediakan data terkini yang falid dan berdasarkan metode yang disepakati para ahli dilakukan oleh lembaga yang kredibel. Hasil penelitian akan di abndingkan dengan data terdahulu dan akan dilakukan analisa untuk melaksanakan program berikutnya. Tahapan berikut dari survey adalah upaya interfensi program untuk merehabilitasi kerusakan terumbu karang dengan melakukan penanaman karang dan membuat manipulasi memasang modul membangun kawasan terumbu karang baru. Program ini dalam kerangka uji coba dan akan di amati secara intensif perkembangannya. Apabila metode ini berhasil akan diupayakan satu program untegrasi dengan stakeholder lain untuk melaksanakan program rehabilitasi karang di Pulau Sangiang. 1.3. Pulau Sangiang Pulau kecil yang terletak di Selat Sunda, yakni antara Jawa dan Sumatra. Secara administratif, pulau ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Serang, Banten. Terletak di titik kordinat antara 105′49′30″ - 105′52′ Bujur Timur 5′56′ - 5′58′50″ Lintang Selatan. Jarak tempuhnya hanya membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit dari Anyer, dengan menggunakan kapal atau perahu bermotor. Potensi keanekaragaman hayatinya terdapat di kawasan daratan, pantai dan laut. Pulau Sangiang yang sekarang dijadikan Taman Wisata Alam pada awalnya merupakan Cagar Alam seluas 700,35 Ha Kemudian pada tahun 1991 perairan di 2|Page sekitar kawasan diubah menjadi Taman Wisata Alam Laut seluas 720 ha. Pada tanggal 8 Februari 1993 melalui SK Menteri Kehutanan No. 55/Kpts-II/1993 kawasan Cagar Alam diubah fungsinya menjadi Taman Wisata Alam dengan luas 528,15 ha. Taman Wisata Alam Pulau Sangiang terletak di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, Indonesia. Dari Kota Serang, Ibu Kota Provinsi Banten, Pulau dengan luas kurang lebih 700 ha. Di kawasan ini, terdapat berbagai flora langka, seperti cemara laut (Casuarina equisetifolia), dadap laut (Erithrina variegata), bayur (Pterospermum javanicum), ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Callopphyllum inoplhylum), api-api (Avicenia sp), waru laut (Hibiscus tiliaceus), walikukun (Actinophora fragrans), dan lain sebagainya. Berbagai fauna langkanya, seperti lutung (Trachypithecus auratus), kera (Macaca fascicularis), kucing hutan (Felis bengalensis), landak (Hystrix bachura), burung walet (Collocalia vulvanorum), burung bluwok (Ibis cinereus), kuntul berang (Egretta sacra), kuntul kerbau (Ardeola speciosa), kuntul besi (Threskiornis aethopica), alap-alap (Elanus hypoleucus), dan ular sanca (Phyton reticularis), juga mudah dijumpai di kawasan ini. Pada sisi barat laut dan selatan Pulau Sangiang, serta di sepanjang Pantai Batu Mandi dan Gunung Gede, merupakan kawasan wisata alam yang menantang dan sekaligus mengasyikkan. Kawasannya yang luas dan didukung oleh kontur medan yang beragam, memberi cukup ruang kepada pengunjung untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti olahraga lintas alam, mendaki gunung, menyusuri lembah, berkemah, memotret, serta menikmati panorama pantai yang landai dan curam. Kegiatan scuba diving, snorkling, free diving, berjemur, memancing, berperahu, serta melihat keindahan terumbu karang dan taman laut bisa dilakukan di kawasan Batu Raden, Legon Waru, Rawa Kedondong dan perairan laut selatan yang terdapat di dalam Pulau Sangiang. Kekayaan ekosistemnya, seperti terumbu karang, hutan bakau (mangrove), dan hutan pantai, merupakan lahan yang tepat bagi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan alam, serta tempat wisata ilmiah. (Sumber Planet Diving). 3|Page BAB.II. TUJUAN BASE LINE SURVEY- TERUMBU KARANG P. SANGIANG 2.1. Tujuan Khusus: 1. Mengetahui kondisi terkini tutupan terumbu karang Pulaua Sangiang, kesehatan karang, kondisi peraiuran serta kemelimpahan ikan karang. 2. Menyediakan data dan analisa serta saran untuk pelaksanaan program rehabilitasi terumbu karang di TWA Pulau Sangiang. 2.2. Tujuan Umum 1. Membantu Mitra Donor PT Asahimas Chemical untuk program lingkungan monitoring biodiversity ekosistem terumbu karang Pulau Sangiang. 2. Mendukung perbaikan dan pelestarian keanekargaman hayati Indonesia, khususnya terumbu karang. 3. Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Ekosistem Pulau Kecil dan Terumbu karang kepada masyarakat. 4. Membuka peluang usaha dan lapangan kerja bagi kelompok masyarakat di pulau kecil melalui penyewaan perahu dan staff pendamping lapangan dalam survey 5. Memberdayakan karyawan PT Asahimas Chemical dalam program riset lapangan. 2.3. Capaian Kerjasama Program: 1. Adanya Data Keragaman jenis dan kemelimpahan serta tutupan terumbu karang serta ikan karang. 2. Laporan dalam bentuk tulisan dan grafis dianalisa dan dijadikan dasar pelaksanaan program rehbilitasi terumbu karang di TWA. Pulau Sangiang. Usulan 2 kawasan rehabilitasi terumbu karang seluas masing-masing 50 m2 di Pulau Sangiang sebagai kawasan pelestarian keanekaragaman hayati terumbu karang. 4|Page BAB.III. METODOLOGI Dalam pelaksanaan program Yayasan KEHATI menerapkan tahapan metode kegiatan sebagai berikut: 3.1. Waktu dan Lokasi pengamatan Pengamatan dilakukan pada terumbu di sebelah timur dari Pulau Sangiang disesuaikan dengan kondisi perairan. Terdapat 3 (tiga) lokasi pengamatan yang mewakili lokasi penurunan terumbu buatan. Pengamatan dilakukan dari tanggal 22-23 Agustus 2016. Informasi lokasi pengamatan dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Daftar lokasi pengamatan Koordinat No Lokasi 1 Legon Bajo 2 Legon Waru 3 Tembuyung Gambar 1. Peta lokasi pengamatan 5|Page Lat -5.94672 -5.95458 -5.96404 Lon 105.8618 105.8624 105.8658 3.2. Pengambilan Data Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan karakterisasi lokasi. Karakteristik lokasi diamati melalui pengamatan visual. Informasi yang dicatat meliputi nomor lokasi identifikasi; Nama lokasi; posisi GPS (lintang, bujur); tanggal; kedalaman. Kecerahan dalam air diukur menggunakan cakram secchi. Kekuatan arus diukur menggunakan pelampung dan stopwatch. Penelitian dilakukan pada siang hari, sehingga target pengamatan hanya terbatas pada hewan-hewan diurnal – hewan yang mencari makan pada siang hari. Identifikasi dilakukan hingga tingkat taksonomi terendah yang memungkinkan. Informasi yang dicatat berupa jenis dan jumlah ikan dan avertebrata bentik yang ditemukan. Panduan identifikasi yang digunakan meliputi Kuiter & Tonozuka (2003), Kuiter & Debelius (1997), Randall dkk., (1997), Lieske & Myers (1994), Veron (2000), de Voogd (2005), Sprung (2001), Allen & Steene (1998), Carpenter & Niem (1998), Debelius (1996), Collin & Arnesson (1995), Dharma (1992), Dharma (1988), dan Clark & Rowe (1971). Kegiatan utama pengamatan adalah mencatat tutupan komunitas terumbu karang, menghitung kelimpahan masing-masing karang keras, makrobentos non-karang, dan ikan karang. Transek garis sepanjang 4 x 20 meter menjadi patokan atau tanda di dalam air. Transek ini juga digunakan untuk mencatat tutupan komunitas terumbu karang berdasarkan metode Transek Garis Menyinggung/Line Intercept Transect (English dkk., 1997). Selain itu, garis maya yang ditarik paralel dengan transek garis membentuk luasan persegi panjang, dikenal dengan transek sabuk (Hill & Wilkinson, 2004), digunakan untuk menghitung populasi karang keras, makrobentos non-karang, dan ikan karang. Panjang transek sama dengan TGM, tapi lebar transek antarkomunitas terpilih berbeda-beda, yaitu 2 meter untuk karang keras, 2 meter untuk makrobentos non-karang, dan 5 meter untuk ikan karang. Pada masing-masing lokasi, transek dibentangkan pada satu kedalaman berkisar 5-7 meter. Gambaran visual metode-metode pengamatan dapat dilihat di gambar 2. Gambar 2. Metode pengamatan yang digunakan Keanekaragaman diketahui dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener, yang memperhitungkan kekayaan jenis dan kemerataan (Magurran, 1988). Keanekaragaman dihitung dengan Hi’ = ∑ Pi Ln Pi. Pi adalah proporsi kelimpahan jenis i. Kemerataan dihitung dengan Ei’ = Hi’/H’ max, H’ adalah indeks keanekaragaman, dan H’max = H’/Ln S, dan S adalah kekayaan jenis. 6|Page BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN SURVEY. 4.1. Kualitas air. Kecepatan arus di Timur Pulau Sangiang berkisar antara 10 hingga 30cm/s, dengan rata-rata sebesar 20cm/s. Kecepatan arus tertinggi terdapat di Legon Bajo (30cm/s) dan terendah di Legon Waru (10cm/s). Nilai salinitas pada ketiga lokasi memiliki nilai yang sama yaitu 30‰. Kecerahan perairan pada lokasi pengamatan berkisar antara 5 hingga 7 meter. Rata-rata kecerahan perairan mencapai 6 meter. Saat pengamatan, kondisi arus dan gelombang cenderung tenang, hal tersebut dapat dilihat dari kecepatan arus. Akan tetapi, terdapat bekas-bekas kekuatan arus dan gelombang berupa patahan karang dan karang yang terbalik. Oleh sebab itu, pembuatan terumbu buatan pada kawasan tersebut harus menggunakan bahan yang berat dan konstruksi yang kuat. Selain itu, kecerahan yang berkisar dari 5 hingga 7 cenderung rendah walaupun masih sesuai dengan standar baku mutu air laut. Akan tetapi, variable yang tidak diukur adalah padatan terlarut untuk mengetahui tingkat sedimentasi. Perairan terlihat sangat keruh dan banyak sedimen terlarut dan mengendap. Nilai salinitas sebesar 30‰ juga menunjukkan adanya pengaruh daratan Cilegon. Baik sedimentasi maupun salinitas menunjukkan tingginya limpasan dari daratan dan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan karang. 4.2. Persentasi Tutupan Bentik Gambar 3. Partikel terlarut di kolom air dan sedimen yang mengendap menutupi karang, patahan karang, dan karang mati. 7|Page 4.2. Presentasi tutupan bentik Rata-rata tutupan karang hidup di Timur Pulau Sangiang adalah 18,33 %, dan termasuk ke dalam kategori Buruk menurut kriteria Gomez dan Yap, 1988. Persen penutupan karang keras bervariasi antar lokasi berkisar 2,50 % -37,50%. Sedangkan penutupan karang mati berkisar antara 0.63%- 43,13 %, dengan nilai rata-rata sebesar 26,46%. Tabel 2. Persentase Tutupan Kategori Subtrat Dasar (%) Tipe Tutupan Substrat Dasar Lokasi Karang Karang Karang Biotik keras lunak mati lain Legon Bajo 37,50 10,00 35,63 6,88 Legon Waru 15,00 21,25 43,13 4,38 Tembuyung 2,50 30,63 0,63 3,13 Abiotik lain 10,00 16,25 63,13 Gambar 4. Perbandingan komposisi rerata penutupan kategori substrat. Persentase tutupan karang terendah ditemukan pada Tembuyung, sebesar 2,50% (kategori buruk). Sebaliknya, nilai tertinggi sebesar 37,50 (kategori sedang) ditemukan di Legon Bajo. Terumbu karang Pula Sangiang sebagian besar terdiri dari tipe pertumbuhan karang bercabang dengan nilai sebesar 44,83%, dibandingkan dengan tipe massive (36,78%), lembaran (12,64%), Soliter (3,45%) dan merayap (2,30%). 8|Page Gambar 5. Perbandingan komposisi rerata penutupan substrat kategori pertumbuhan karang. Berdasarkan hasil pengamatan terlibat bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di bagian Timur Sangiang dalam kondisi tertekan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukan banyak karang mati pada lokasi Legon Waru dan Legon Bajo. Karang mati ini sangat berkaitan dengan banyaknya kegiatan wisata yang dilakukan dengan kurang ramah seperti membuang sampah di laut dan masih ditemukannya kegiatan membuang jangkar ke terumbu karang. Gambar 6. Kondisi substrat dasar di Legon Waru, Legon Bajo dan Tembuyun (kiri ke kanan) yang didominasi oleh karang mati dan abiotik lain. Pada daerah pengamatan, tempat-tempat yang didominasi karang mati seringkali ditemukan dalam bentuk patahan karang yang terbentang hingga beberapa meter. Daerah yang dipenuhi dengan patahan karang tersebut sering disebut sebagai Rubble killing field, dimana karang tidak dapat tumbuh. Patahan karang akan selalu bergerak akibat pengaruh dinamika air, sehingga juwana karang yang menempel akan mati karena terbalik atau terkubur ketika menempel pada patahan karang. Patahan karang yang terlempar juga akan merusak karang di sekitarnya. Pada daerah tersebut, perlu 9|Page disediakan substrat keras tempat menempel karang agar ekosistem terumbu karang dapat diperbaiki. Gambar 7. Daerah yang dipenuhi oleh patahan karang seperti ini, banyak ditemukan di Pulau Sangiang bagian timur. Kawasan seperti ini akan sulit pulih seandainya tidak diberikan substrat keras. Tipe pertumbuhan karang di bagian Timur Pulau Sangiang didominasi oleh bentuk bercabang dan lembaran. Hal tersebut disebabkan oleh bentuk pertumbuhan bercabang dan lembaran yang memiliki kecepatan tumbuh tertinggi dibandingkan bentuk lainnya. Selain tipe pertumbuhan bercabang, tipe pertumbuhan karang yang cukup banyak dijumpai adalah bentuk submassive. Bentuk submassive ini sesuai dengan kondisi perairan yang agak bergelombang. Berasarkan kondisi geografisnya Pulau Sangiang memdapatkan dua musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur, dimana pada saat Musim Timur kondisi perairan bagian Timur Pulau Sangiang cukup bergelombang mencapai 2m dan berarus cukup besar. 10 | P a g e Gambar 8. Bentuk pertumbuhan karang bercabang, submassive dan lembaran yang dominan ditemukan di bagian timur pulau sangiang (dari kiri ke kanan) 4.3. Keanekaragaman hayati. 4.3.1. Struktur komunitas karang keras Jumlah marga karang keras yang ditemukan yaitu sebanyak 28 marga. Semua marga yang ditemukan termasuk dalam kelas Anthozoa kecuali Millepora, Heliopora, dan Tubipora yang masuk ke dalam kelas Hydrozoa. Marga yang paling banyak ditemukan adalah di lokasi Legon Waru sebanyak 23 marga, kemudian Legon Bajo 19 marga dan paling sedikit di Tembuyung sebanyak 8 marga. Tabel 3. Nilai kekayaan marga(S), indeks keanekaragaman (H'), index kemerataan (E) dan dominansi (D) di setiap lokasi Lokasi S H' E D Legon Bajo 19 2,07 0,70 0,17 Legon Waru 23 2,61 0,83 0,1 Tembuyung 8 0,65 0,31 0,3 Rerata 17 1,78 0,62 0,19 Indeks Keanekaragaman menggambarkan keragaman komunitas dilihat dari jumlah jenis dan kelimpahan individu dalam jenis. Dari hasil pengamatan indeks keanekaragaman yang paling rendah yaitu (0,65) terdapat di Tembuyun. Legon Waru mempunyai indeks keanekaragaman yang paling tinggi (2,62). Jika melihat secara keseluruhan di 3 lokasi pengamatan, indeks keanekaragaman karang keras yaitu 1,78. Angka ini, menurut Ludwig & Reynolds (1988), termasuk dalam kategori keanekaragaman rendah (Kurang dari 2). Marga yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah Seriatopora,Fungia,Galaxea, Goniopora, Pachyseris,Echinopora, Merullina,Montipora,Hydnopora, dan Sandalolitha. Hasil pengamatan yang didapatkan di lokasi penelitian bahwa kelimpahan marga karang keras yang ditemukan bervariasi, kelimpahan tertinggi dari marga Seriatopora sebesar 4833 ind/ha dan terendah adalah marga Montastrea sebesar 42 ind/ha. Hasil lengkap dari kelimpahan marga karang keras bisa di lihat pada Gambar 9. 11 | P a g e Gambar 9. Grafik sepuluh marga karang keras dengan kelimpahan tertinggi Dari seluruh marga yang ditemukan, jika dikelompokkan berdasarkan suku, maka suku yang paling melimpah adalah Fungiidae dan Faviidae masing-masing sebesar 21,43%. Selanjutnya suku Pocilloporidae sebesar 10,71%. Sedangkan suku Acroporidae, Agariciidae, Merullinidae, Poritidae dan Caryophyllidae masingmasing sebesar 7,14%, dan suku Pectinidae, Oculinidae serta Mussidae masingmasing sebesar 3,75%. Gambar 10. Genus Galaxea, Seriatopora dan Fungia (kiri ke kanan) 12 | P a g e Gambar 11. Proporsi suku marga karang keras. Jika dilihat berdasarkan lokasi maka kelimpahan karang keras cukup bervariasi, dimana kelimpahan tertinggi terdapat di Legon Bajo sebesar 14.875 ind/ha, selanjutnya Legon Waru sebesar 11.917 ind/ha dan yang paling kecil adalah Tembuyung dengan kelimpahan sebesar 2.500 ind/ha. Gambar 12. Proporsi marga karang keras berdasarkan ukuran (S: < 5cm; M: 525cm; L: >25cm) 13 | P a g e Substrat karang di Pulau Sangiang didominasi oleh karang keras berukuran lebih dari 25cm (47,79%) dan antara 5 sampai 25cm (38,55%) yang terkadang membentuk hamparan yang tidak bisa dipisahkan antar koloni (biasanya hamparan dari marga Seriatopora, Pachyseris, Echynopora,) dan bongkahan submasif besar (biasanya dari genus Galaxea atau Goniopora). karang dengan 5cm ditemukan hanya berkisar 13,66% saja. Karang ukuran ini sering juga dikategorikan sebagai juwana/anak karang. Karang-karang yang berukuran < 5cm kebanyakan dari marga Fungia, Seriatopora, Galaxea. Ketiga jenis ini memang merupakan marga yang paling mendominasi di perairan Pulau Sangiang. Proporsi angka juwana karang yang rendah mengindikasikan bahwa komunitas memiliki potensi untuk pulih. Rendahnya nilai karang dengan jumlah berukuran kecil menunjukkan terbatasnya substrat untuk menempel bagi juwana karang. Oleh sebab itu, dengan menyediakan substrat keras untuk penempelan juwana karang dan mengurangi tekanan (terutama jangkar kapal) maka ekosistem terumbu karang di Pulau Sangiang dapat dipulihkan. Kegiatan rehabilitasi karang dengan menggunakan metode transplantasi perlu memperhatikan beberapa hal kunci sehingga bisa berhasil dan tidak menimbulkan kerusakan di tempat yang bagus. Rehabilitasi dengan metode transplantasi sebaiknya memperhatikan sumber bibit karang, ukuran koloni karang yang diambil, dan lokasi pengambilan bibit. Terkait dengan sumber bibit sebaiknya sumber bibit karang diambil dari sekitar lokasi yang akan dilakukan rehablitasi. Ukuran koloni karang yang menjadi bibit harus berukuran diameter minimal 30 cm, dengan jumlah maksimum yang bisa dimanfaatkan untuk tipe bercabang maksimal 50% dari ukuran koloni dan tipe pertumbuhan yang lain maksimal 30%. Sedangkan untuk lokasi pengambilan bibit sebaiknya di areal tutupan karang yang minimal persentase tutupannya masuk kategori baik yaitu 50-74,9 %. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa bibit karang yang bisa diambil dari alam yang berukuran diatas 25 cm adalah marga Pachyseris, Seriatpora, Echinopora, Goniopora, Galaxea, Merullina, Montipora, Acropora dan Hydnopora. Pengamatan juga menunjukkan ditemukannya pemutihan karang baik pada karang keras maupun karang lunak. Pemutihan bahkan juga ditemukan pada karang lunak hingga kedalaman 20 m. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang Pulau Sangiang berada dalam tekanan yang cukup tinggi. Selain itu, pengamat juga menduga ada kemungkinan munculnya penyakit karang, terutama White Syndromes yang sering muncul bersama dengan pemutihan karang. Informasi tentang gangguan kesehatan karang (pemutihan dan penyakit) sepertinya perlu digali lebih lanjut. 14 | P a g e Gambar 13. Pemutihan karang banyak ditemukan baik pada karang keras maupun karang lunak (kiri). Pemutihan bahkan ditemukan pada karang lunak di kedalaman 20m (kanan). 4.3.2. Struktur komunitas ikan karang. Hasil pengamatan selama penelitian ditemukan ikan karang sebanyak 69 jenis tergolong dalam 18 suku, dengan kisaran jenis di setiap lokasi adalah 27 hingga 42 jenis ikan karang (Tabel 1). Kekayaan jenis pada setiap lokasi pengamatan menunjukkan nilai tertinggi ditemukan di Legon Waru dengan 42 jenis dan untuk jumlah jenis terendah ditemukan di Tembuyung dengan 27 jenis ikan karang. Nilai indeks keanekaragaman selama pengamatan di seluruh lokasi menunjukkan kisaran nilai antara 1.77 sampai 2.54. (Tabel). Lokasi dengan nilai keanekargaman ikan karang tertinggi terdapat di Legon Waru dan yang terendah di site Tembuyung. Hasil analisis terhadap indek kemerataan untuk seluruh lokasi menunjukkan kisaran antara 0.54 sampai 0.68 dengan nilai tertinggi di Legon Waru dan terendah di Tembuyung. Sedangkan untuk nilai indeks dominansi selama pengamatan di setiap lokasi menunjukkan kisaran 0.06 sampai 0.18 dengan nilai tertinggi Legon Bajo dan terendah Tembuyung. Tabel 4. Nilai kelimpahan (N), kekayaan marga (S), indeks keanekaragaman (H'), indek kemerataan (E) dan dominansi (D) ikan karang di timur Pulau Sangiang Lokasi N S H' E D Legon Bajo 13.625 38 2,32 0,64 0,18 Legon Waru 14.425 42 2,54 0,68 0,08 Tembuyung 7.925 27 1,77 0,54 0,06 Rerata 11.325 36 2,21 0,62 0,32 15 | P a g e Total kelimpahan untuk 3 lokasi pengamatan sebesar 33.975 ind/ha dengan kelimpahan terbesar pada lokasi Legon Bajo dan terendah lokasi Tembuyung (Gambar 10). Sedangkan untuk pada kelompok tropic, kelompok planktivor memiliki kelimpahan tertinggi sebesar 18.325 ind/ha, kemudian di ikuti kelompok omnivora dan yang paling terendah kelompok koralivor sebesar 600 ind/ha (Gambar 18). Gambar 14. Kelimpahan di setiap lokasi pengamatan (ind/ha). Gambar 15. Kelimpahan pada kelompok tropik pada semua lokasi pengamatan (ind/ha). 16 | P a g e Di tingkat jenis, kelimpahan 4 jenis ikan karang mencapai 18.350 ind/ha atau lebih dari 54% total ikan yang diamati. Empat jenis ikan yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu: Cirrhilabrus cyanopleura, Pomacentrus alexanderae, Caesio cunning, dan Amblyglyphidodon curacou. Dari empat ikan kaang tersebut, dengan kelimpahan paling tinggi adalah Cirrhilabrus cyanopleura. Cirrhilabrus cyanopleura merupakan jenis ikan dari suku Labridae dengan kelimpahan sebesar 7.850 ind/ha seluruh lokasi pengamatan. Ikan jenis ini memiliki kelimpahan yang besar di setiap lokasi dan biasanya di temukan dalam bentuk bergerombol dalam jumlah yang besar di ekosistem terumbu karang. Jenis ikan ini sangat jarang di manfaatkan baik sebagai ikan hias maupun ikan konsumsi, sehingga tidak mengalami tekanan yang signifikan terhadap populasinya. Gambar 16. Proporsi tujuh jenis ikan karang dengan kelimpahan tertinggi di seluruh lokasi (Ind/Ha) Gambar 17. Ikan-ikan dengan kelimpahan tertinggi. Dari kiri ke kanan: Cirrhilabrus cyanopleura, Pomacentrus alexanderae, dan Caesio cunning. 17 | P a g e Total biomassa ikan karang selama pengamatan adalah sebesar 3.549 kg/ha. Pengamatan terhadap seluruh lokasi menunjukkan bahwa biomassa ikan karang tertinngi terdapat pada lokasi Tembuyung dan terendah pada lokasi Legon Waru. Pada tingak kelompok tropik, kelompok karnivora memiliki biomassa tertinggi sebesar 1,494 kg/ha dan terendah pada kelompok coralivor sebesar 27 kg/ha. Gambar 18. Biomassa pada setiap lokasi pengamatan (kg/ha) Rendahnya biomassa ikan koralivor menunjukkan bahwa sedikitnya karang yang menjadi pakan berhubungan langsung dengan biomassa ikan tersebut. Hal yang cukup mengkhawatirkan adalah tingginya karnivora menunjukkan bahwa keseimbangan tingkat trofi di kawasan tersebut tidak baik. Rendahnya herbivora dapat menyebabkan tingginya pertumbuhan alga yang akan berkompetisi dengan larva karang. Hal tersebut dapat dilihat pada banyaknya karang yang ditutupi alga. Tingginya alga juga menjadi kekhawatiran tersendiri dalam melakukan transplantasi karang. Oleh sebab itu, transplan yang ditanam perlu dibersihkan secara berkala. Gambar 19. Alga menutupi karang, karang mati, spons, dan substrat lainnya. 18 | P a g e 1.600 1.494 Bio 1.400 mas sa 1.200 (Kg /ha) 1.000 1.227 800 588 600 400 164 200 48 27 Benthic invertivore Coralivor Carnivor Herbivor Planktivor Omnivor Kelompok trofi Gambar 20. Biomassa tinggkat trofi pada seluruh lokasi pengamatan (kg/ha) Pengamatan ikan di timur Pulau Sangiang belum lengkap, karena pada transek terakhir masih ditemukan jenis-jenis ikan baru. Hal yang cukup mengagetkan adalah ternyata Pulau Sangiang memiliki keanekaragaman ikan yang jauh lebih baik dibandingkan karang dana vertebrata bentik. Pada Legon Waru misalnya, indeks keanekaragaman telah mencapai 2.54. Oleh sebab itu, ikan karang perlu diamati lebih mendalam pada kawasan timur Pulau Sangiang. 4.3.3. Stuktur komunitas avertebrata bentik non karang Survei berhasil menemukan sebanyak 31 spesies avertebrata bentik non karang, yang terdiri atas Annelida, Cnidaria, Echinodermata, Mollusca, Porifera, dan Chordata subfilum Tunicata. Kelimpahan avertebrata bentik sebanyak 330.125 individu/ha. Gambar 21. Proporsi kekayaan jenis avertebrata bentik dibandingkan dengan proporsi kelimpahan. 19 | P a g e Filum dengan jumlah spesies terbanyak adalah Porifera dengan 11 spesies, sedangkan jumlah spesies terendah adalah Annelida (2 spesies). Akan tetapi, berdasarkan kelimpahan, Filum dengan kelimpahan tertinggi adalah Cnidaria, dengan kelimpahan sebesar 313.958 individu/ha, sedangkan Porifera kelimpahannya sebesar 7.604 individu/ha. Kelimpahan terendah yang ditemukan adalah pada Filum Annelida, dengan kelimpahan sebesar 125 individu/ha. Spesies dengan kelimpahan tertinggi adalah Palythoa sp. (310.833 individu/ha), diikuti oleh Didemnum molle (5.875 individu/ha), Haliclona koremella (3.333 individu/ha), Aglaophenia cupressina. (2.563 individu/ha), Capillaster sentosus (1.625 individu/ha), dan Pseudoceratina sp. (1.354 individu/ha). Gambar 23. Grafik Spesies-spesies avertebrata bentik dengan kelimpahan tertinggi di Pulau Sangiang. 20 | P a g e Dari ketiga lokasi tersebut, Legon Waru memiliki kelimpahan avertebrata bentik tertinggi, dengan nilai sebesar 940.375 individu/ha, nilai yang sangat jauh berbeda dengan Legon Bajo (35.688 individu/ha) ataupun Tembuyung (14.313 individu/ha). Legon Bajo memiliki kekayaan jenis, indeks keanekaragaman, dan kemerataan tertinggi (20, 1,95, dan 0,65) dibandingkan lokasi lainnya. Di satu sisi, Lokasi dengan nilai terendah ditemukan di Tembuyung. Informasi keanekaragaman dari setiap lokasi dapat dilihat di tabel 4. Tabel 5. Nilai kelimpahan (N), kekayaan marga (S), indeks keanekaragaman (H'), indek kemerataan (E) dan dominansi (D) karang keras avertebrata bentik di timur Pulau Sangiang Lokasi N S H' E D Legon Bajo 35.688 20 1,95 0,65 0,24 Legon Waru 940.375 17 1,71 0,60 0,98 Tembuyung 14.313 5 0,39 0,24 0,52 Rerata 330.125 14 1,35 0,49 0,58 Kawasan timur Pulau Sangiang ternyata sepertinya mengalami tekanan yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari keanekaragaman avertebrata bentik yang sangat rendah. Tingginya sedimen juga menyebabkan mayoritas avertebrata bentik yang hidup pada kawasan tersebut didominasi oleh organisme penyaring makanan (filter feeder) seperti spons, Tunicata, dan sebagainya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tingginya kelimpahan Palythoa sp. walaupun hanya ditemukan di satu lokasi, yaitu Legon Waru. Cnidaria tersebut masuk ke dalam kelompok Zoantharia yang dikenal memiliki sifat invasif. Palythoa sp. yang ditemukan telah menutupi dasar laut hingga membentuk karpet. 21 | P a g e Gambar 24. Palythoa sp. yang membentuk karpet hingga beberapa meter persegi. Dari segi lokasi, Legon Bajo menjadi yang terbaik dibandingkan kedua lokasi lainnya baik dari segi keanekaragaman, walaupun sebenarnya kekayaan jenis maupun indeks keanekaragamannya tergolong rendah. Tembuyung merupakan kawasan yang paling miskin keanekaragaman hayati terumbu karang. Bahkan pada transek terakhir di Tembuyung, lokasi merupakan campuran padang yang berisi patahan karang, karang mati, dan pasir. Hampir tidak ada bentuk kehidupan yang ditemukan. 22 | P a g e 4.3.4. Kesimpulan dan saran Kualitas air di kawasan Timur Pulau Sangiang masih sesuai dengan baku mutu air laut. Rendahnya salinitas dan pengamatan sedimentasi menunjukkan tingginya limpasan dari daratan yang akan mempengaruhi pertumbuhan karang. Tutupan karang hidup termasuk ke dalam kategori buruk. Lokasi dengan tutupan terendah adalah Tembuyung, sedangkan yang tertinggi di Legon Bajo. Ekosistem terumu karang di kawasan Timur Pulau Sangiang dalam kondisi tertekan, yang dapat dilihat dengan tingginya karang mati dan patahan karang. Kerusakan yang banyak ditemukan adalah bekas jangkar kapal. Terdapat daerah dengan patahan karang yang tinggi, yang sulit ditumbuhi karang jika tidak disediakan substrat keras. Keanekaragaman biota cenderung rendah. Marga karang yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah Seriatopora, Fungia, Galaxea, Goniopora, Pachyseris, Echinopora, Merullina, Montipora, Hydnopora, dan Sandalolitha. Bibit karang yang bisa diambil dari alam yang berukuran diatas 25 cm adalah marga Pachyseris, Seriatopora, Echinopora, Goniopora, Galaxea, Merullina, Montipora, Acropora dan Hydnopora Tingginya sedimen juga menyebabkan mayoritas avertebrata bentik yang hidup pada kawasan tersebut didominasi oleh organisme penyaring makanan (filter feeder) seperti spons, Tunicata, dan sebagainya. Ekosistem terumbu karang di kawasan timur Pulau Sangiang termasuk tertekan, oleh sebab itu pemulihan ekosistem terumbu karang dapat dilakukan dengan penyediaan substrat keras untuk penempelan karang dan pengurangan frekuensi penggunaan jangkar kapal di terumbu karang. 23 | P a g e DAFTAR PUSTAKA Aktani, U. 2003. Fish Communities as related to substrate characteristics in the coral reefs in Kepulauan Seribu Marine National Park, Indonesia, five years after stopping blast fishing practices. Disertasi. University of Bremen. Germany. Allen, G. R. & R. Steene. 1998. Indo-Pacific coral reef field guide. Sea Challengers, Danville: 378 hlm. Birkeland, C. (ed). 1997. Life and death of coral reefs. Chapman & Hall, New York. Brock, K.E. & J.H. Brock. 1977. A method for quantitatively assessing the infaunal community in coral rock. Limnol Oceanogr 22:948–951 hlm. Burke, L., E. Selig dan M. Spalding. 2002. Reefs at risk in Southeast Asia. World Resources Institute, United Nations Environment Program-World Conservation Monitoring Center, World Fish Center, dan International Coral Reef Action Network, USA: 40 hlm. Carpenter, K.E. & V. Niem (eds.). 1998. The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. FAO, Rome: xiii + 686 hlm. Clark A.M. & F.W.E. Rowe. 1971. Monograph of shallow-water Indo-West Pacific echinoderms. British Museum (Natural History), London: ix + 269 hlm. Collin, P.L. & C. Arnesson. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. Coral Reef Press, California: 290 hlm. Cornell, H. V. & R. H. Karlson. 2000. Coral species richness: ecological versus biogeographical influences. Coral reefs (2000) 19: 37 – 49. De Voogd, N.J. 2005. Indonesian Sponges. Biodiversity and mariculture potential. Phd thesis, University of Amsterdam, Amsterdam: 21-37. Debelius, H. 1996. Nudibranchs and sea snails Indo-Pacific field guide. IKAN – Unterwasserarchiv, Frankfurt: 321 hlm. Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I. PT. Sarana Graha, Jakarta: xvi + 111 hlm. Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia II. Verlag Christa Hemmen, Wiesbaden: 135 hlm. Edwards, A.J. & E.D Gomez. 2008. Konsep dan panduan restorasi terumbu: Membuat pilihan bijak di antara ketidakpastian. Terj. dari: Reef restoration concepts and guidelines: making sensible management choices in the face of uncertainty. Oleh: Yusri, S., Estradivari, N.S. Wijoyo, dan Idris. Yayasan TERANGI, Jakarta: iv + 38 hlm. English, S., C. Wilkinson & V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources (2nd edition). Australian Institute for Marine Science, Townsville Estradivari & S. Yusri. 2006. Coral reefs of Seribu Islands, Western Indonesia. Makalah pada 1st Asia Pacific Coral Reefs Symposium, Hongkong: 11 hlm. Estradivari, E. Setyawan, & S. Yusri (eds). 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan TERANGI. Jakarta. viii+102 hlm. Estradivari, S.Yusri, M.Syahrir, S.Timotius, (eds). 2006. Ekosistem Pesisir di Petondan Timur dan Sekitarnya. Yayasan TERANGI, Jakarta : 69 hal Froese, R. & D. Pauly. (eds). 2010. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (07/2010). 24 | P a g e Gomez E, Alcala A, Yap H, Alcala L and Alino P. 1985. Growth studies of commercially important scleractinians. Proceedings of the 5th International Coral Reef Congress 6:199-204 Gosliner, T., D.W. Behrens., & G.C. Williams. 1996. Coral reefs animal of the Indo-Pacific. Sea Challengers, Monterey: vi + 314 hlm. Hill, J. & C. Wilkinson. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs: A resource for managers. Australian Institute of Marine Science and Reef Check, Australia. Kuiter, R. H. & H. Debelius. 1997. Southeast Asia Tropical Fish Guide. IKANUnterwasserarchiv. Frankfurt. Kuiter, R. H. & T. Tonozuka. 2003. Pictorial guide to: Indonesian reef fishes. Part 2. PT. Dive & Dive’s. Denpasar, Bali. Lieske, E. & R. Myers. 1994. Reef fishes of the world. Reprinted 1997. Periplus Editions Ltd. Hongkong. Loeb, S.L. & A. Spacie (eds.). 1974. Biological monitoring of aquatic systems. Lewis Publisher. London. Ludwig, J. A. & J. F. Reynolds. 1998. Statistical ecology: a primer methods and computing. John Wiley & Sons, New York: xviii + 337 hlm. Magurran, A.E. 1988. Ecological diversity and its measurements. Princeton University Press, Princeton: x + 179 hlm. Marshall, P & H. Schuttenberg. 2006. A Reef Manager’s guide to coral bleaching. Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville: x+163 hlm Marshall, PA and AH Baird. 2000. Bleaching of corals on the Great Barrier Reef: differential susceptibilities among taxa. Coral reefs 19, 155 163. Michael, P. 1995. Metode ekologi untuk penyelidikan lapang dan Laboratorium. Terj. dari. Ecological Methods for Field and Laboratorium Investigations. oleh: Koestoer , Y.R. UI-Press, Jakarta: xv + 617 hlm Nakamura T., H. Yamasaki, R. Van Woesik. 2003. Water flow facilitates recovery from bleaching in the coral Stylophora pistillata. Mar. Ecol. Prog. Ser. 256:287–291 hlm. Nanami, A., M. Nishihira, T. Suzuki, & H. Yokochi. 2005. Species-specific habitat distribution of coral reef fish assemblages in relation to habitat characteristics in an Okinawan coral reef. Environmental Biology of Fishes 72: 55–65 Obura, D.O. & G. Grimsdith. 2009. Resilience Assessment of coral reefs – Assessment protocol for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress. IUCN working group on Climate Change and Coral Reefs. IUCN, Gland, Switzerland. 70 pp. Odum, E.P. 1985. Trends expected in stressed ecosystems. Bioscience 35: 419-422 hlm. Poutiers, J.M. 1998. Bivalves (Acephala, Lamellibranchia, Pelecypoda). dalam. Carpenter, K.E. & V. Niem (eds.). 1998. The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. FAO, Rome: xiii + 686 hlm. Poutiers, J.M. 1998. Gastropods. dalam. Carpenter, K.E. & V. Niem (eds.). 1998. The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. FAO, Rome: xiii + 686 hlm. Rinehart, K.L. 2000. Anti tumor compounds from tunicates. Med. Res. Rev. 20: 1-27 hlm. Setyawan, E., Estradivari, & S. Yusri.(eds). 2009. Mengenal Alam Pesisir Kepulauan Seribu. PT. Penerbit IPB Press. Jakarta. x+106 hlm. 25 | P a g e Spalding, M. D., C. Ravilious & E. P. Green. 2001. World atlas of coral reefs. Disiapkan di UNEP-WCMC. University of California Press, USA: 424 hlm. Sprung, J. 2001. Invertebrates: A Quick Reference Guide. Ricordea Publishing. Miami: 240 hlm. Suchanek, T.H. & D. Green. 1982. Interspecific competition between Palythoa caribaerum and other sessile inbertebrates on St. Corix Reefs, US Virgin Island. Dalam: Proceeding of The Fourth International Coral Reef Symposium Vol 2: 679-684. Suharsono, Giyanto, Yahmantoro, & A. J. Munkajee. 1998. Change of distribution and abundance of reef fish in Jakarta Bay and Seribu Islands. Dalam. Proceeding of the Coral Reef Evaluation Workshop. Kepulauan Seribu. Jakarta. 11-20 September 1995. 37-54 hlm. Sukarno, M., M. Hutomo, K. Moosa dan P. Darsono.1981. Terumbu Karang di Indonesia: Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. LON – LIPI. Jakarta Tomascik T., Mah A. J., Nontji A, Moosa M. K., 1997. The Ecology Of Indonesian Seas. Perplus Editions, 1387 p. Van Soest, RWM. 1990. Shallow-water reef sponges of eastern Indonesia. Dalam: Rutzler, K. (ed.).1990. New perspectives in sponge biology. Smithsonian Inst. Press, Washington: 302-308 hlm. Veron, J. E. N. 2000. Corals of Australia and Indo-Pacific. Angus & Robertson Publishers, Australia. Westmacott S, Teleki K, Wells S, and West JM. 2000. Pengelolaan terumbu karang yang telah memutih dan rusak kritis. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Yusri, S. & Estradivari. 2007. Distribusi infeksi penyakit White Syndromes dan karang memutih (coral bleaching) pada komunitas karang keras di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu. Berita Biologi 8(4): 223 – 229. Yusri, S. & S. Timotius. 2007. Struktur komunitas makrobentos non-karang di Kepulauan Seribu. dalamEstradivari, S. Yusri, M. Syahrir, & S. Timotius (eds.). 2007. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Yayasan TERANGI, Jakarta: ix + 87 hlm. 26 | P a g e LAMPIRAN Lampiran 1.Daftar marga karang keras yang ditemukan di setiap lokasi pengamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Marga Acropora Chypastrea Ctenactis Cyphastrea Echinopora Euphyllia Favia Favites Fungia Galaxea Goniopora Hydnopora Lithophyllon Lobophyllia Merullina Montastrea Montipora Pachyseris Pavona Pectinia Physogyra Pocillopora Podabacia Polyphyllia Porites Sandalolitha Seriatopora Stylopora 27 | P a g e Legon Bajo v v v v v v v v v v v v v v v v v v v Lokasi Legon Waru v v v v v v v v v v v v v Tembuyung v v v v v v v v v v v v v v v v v v Lampiran 2. Daftar jenis ikan karang yang ditemukan di setiap lokasi pengamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 28 | P a g e Spesies Ikan Abudefduf Sexfasciatus Abudefduf vaigensis Acanthurus nigrofuscus Acanthurus thompsoni Aeoliscus Strigatus Amblyglyphidodon Curacao Amblyglyphidodon Leucogaster Amphiprion clarkii Apogon Compressus Aulostomus chinensis Balistapus Undulatus Bodianus Mesothorax Caesio Cunning Centropyge Vrlorkii Chaetodon kleinii Chaetodon mitratus Chaetodon octofasciatus Chaetodon vagabundus Chaetodontoplus mesoleucus Cheilinus Fasciatus Cheilinus Oxycephalus Cheilodipterus Quinquelineatus Chlorurus bleekeri Choerodon Anchorago Chromis margaritifer Chromis Ternatensis Cirrhilabrus Cyanopleura Ctenochaetus binotatus Dascyllus Trimaculatus Diproctacanthus Xanthurus Dischistodus Prosopotaenia Halichoeres Hortulanus Legon Bajo v v Lokasi Legon Waru Tembuyung v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 29 | P a g e Halichoeres leucurus Halichoeres malanurus Halichoeres Marginatus Halichoeres melanurus Halichoeres Scapularis Hemiglyphidodon plagiometopon Hemigymnus melapterus Hemygimnus Melapterus Heniochus Varius Labroides Dimidiatus Macholor niger juv Neoglyphidodon melas Neoglyphidodon nigroris Neopomacentrus cyanomos Parupeneus Barberinus Pentapodus emeryii Pentapodus trivittatus Plectorhinchus chaetodonoides Pomacentrus Alexanderae Pomacentrus amboinensis Pomacentrus burroughi Pomacentrus Moluccensis Pomacentrus Smithi Pomacentrus trilineatus Pseudocoris aurantiofasciata Scarus niger Scarus Sordidus Scolopsis Bilineatus Scolopsis margaritifer Siganus doliatus Siganus Guttatus siganus Virgatus Sphaeramia nematoptera Sphyraena acutipinnis Stethojulis trilineata Thalassoma lunare thalassoma lutescens Thallasoma Lunare Zanclus Cornutus v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v Lampiran 3. Daftar jenis Avertebrata bentik non karang yang ditemukan di setiap lokasi pengamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 30 | P a g e Spesies Aaptos sp. Acanthaster plancii Aglaophenia cupressina Aplidium sp. Callyspongia aerizusa Capillaster sentosus Cinachyrella sp. Comanthina schlegelii Culcita novaeguineae Cypraea tigris Didemnum molle Drupella sp. Entacmaea quadricolor Haliclona koremella Haliclona sp. Ircinia ramosa Kallypilidion sp. Leptoclinides cf. reticulatus Modiolus phillippinarum Monanchora sp. Ophiothrix sp. Palythoa sp. Petrosia nigricans Petrosia sp. Pinctada margaritifera Pseudoceratina sp. Sabellestarte indica Sabellestarte sanctijosephi Synaptula sp. Unidentified Siphonophora Xestospongia sp. Legon Bajo v v v v v v Lokasi Legon Waru v v v v v Tembuyung v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v Lampiran 4. Foto Satelit Pulau Sangiang Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sumber Google Map) Peta dan lokasi survey base line tutupan terumbu karanga Pulau Sanghyang. (Sumber Planet Diving). 31 | P a g e Lampiran 5. Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi 32 | P a g e Lampiran 6. Foto-foto Foto 1. Pengurusan Perizinan SIMAKSI di kantor BBKSDA Jawa Barat, Bandung Foto 2. Peta Kerja Pulau Sangiang 33 | P a g e Foto 3. Pengambilan data karang Foto 7. Team Survey 33 | Page Yayasan Kenaekaragaman Hayati (KEHATI) Jl. Bangka VIII No.3B Pela Mampang, Jakarta Seelatan-12720 Telp. 021-7183185 Fax. 021-71916131 Email : [email protected] Website : www.kehati.or.id Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) Jl. Asyibaniah No 106. Kelurahan Pondok Jaya. Cipayung- Depok, Jawa Barat-16443 Telp/Faks : 02129504088 Email : [email protected] website : www.terangi.or.id 35 | P a g e