Uploaded by User59415

35504-44330-1-SM

advertisement
ANALISIS YURIDIS TERKAIT PENGATURAN BATAS USIA PENSIUN PEKERJA
SWASTA SEBAGAI PENERIMA MANFAAT PROGRAM JAMINAN PENSIUN BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN
Dimas Putra Sugiantoro
(S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya)
[email protected]
Arinto Nugroho
(S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri
Surabaya) [email protected]
Abstrak
Lahirnya BPJS Ketenagakerjaan memberikan program baru berupa program jaminan pensiun.
Program jaminan pensiun memberikan manfaat berupa uang tunai kepada pekerja swasta ketika
mencapai usia pensiun sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun. Usia untuk menerima manfaat pensiun menurut PP
tersebut meningkat satu tahun dalam setiap tiga tahun. Sedangkan dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, usia pensiun bagi pekerja swasta tidak diatur
secara jelas dan tegas. Kondisi tersebut menjadikan pekerja swasta dirugikan akibat usia pensiun
dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Pensiun yang berjenjang, sementara dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tidak diatur mengenai batas usia pensiun. Tujuan penelitian
untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pekerja yang telah pensiun namun tidak dapat
mencairkan manfaat jaminan pensiun dan untuk mengetahui kesesuaian dalam menentukan
kapan seharusnya batas usia pensiun bagi pekerja swasta. Penelitian ini merupakan penelitian
yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan
konseptual, dan pendekatan kasus. Jenis bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut kemudian di analisa
menggunakan teknik preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum
dapat dilakukan dengan memberikan kompensasi kepada pekerja swasta yang pembayaran
manfaatnya tertunda akibat tidak sesuai usia dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun. Usia pensiun dalam PP tersebut
hanya menjelaskan usia ketika pekerja swasta dapat mencairkan manfaat jaminan pensiun,
sedangkan usia pensiun bagi pekerja swasta untuk berhenti bekerja diatur dalam perjanjian kerja
bersama atau dalam peraturan perusahaan karena ketentuan peraturan perundang-undangan tidak
mengaturnya.
Kata kunci: batas usia, pensiun, BPJS ketenagakerjaan
Abstract
A The birth of BPJS Ketenagakerjaan provides a new program i.e the pension security program.
The pension security program is given to workers when they reach retirement age in
Government Regulation Number 45 of 2015 concerning the Implementation of Pension security
Programs. The age to receive pension benefits under the PP continues to increase by 1 (one)
year in each 3 (three) year. While in Law Number 13 of 2003 concerning Manpower, in that
Jurnal Novum, Volume 05, Nomor 01, Januari Tahun 2018, Hal 170-179
provision there is not clearly and explicitly stipulated how many retirement age limits apply to
private workers. These conditions make private workers be a disadvantage due to retirement age
in the provisions of the Government Regulation Number 45 of 2015 concerning the
Implementation of Pension security Programs that is tiered, while in the Law Number 13 of 2003
concerning Manpower is not regulated regarding the retirement age limit. Based on explanation,
this study has the objective to determine the legal protection for workers who have retired but
cannot receive pension benefits and to determine the suitability of retirement age for private
workers registered in the pension security program. This essay uses normative juridical research
method by using the approach used is the statute approach, conceptual approach, and case
approach. Types of legal materials are primary legal materials and secondary legal materials.
The legal material is then analyzed using prescriptive analysis techniques. The results of the
research show that the Legal protection can be done by providing compensation to private
workers whose payment of benefits is delayed due to not in accordance age of the Government
Regulation Number 45 of 2015 concerning the Implementation of Pension security Programs.
Retirement age in the PP is only the age when participants of the pension security program can
get retirement benefits. While the retirement age when stopping work according to only
determined based on collective labor agreements or company regulations, while in the
provisions of legislation do not regulate the retirement age limit.
Keywords: age limit, retirement, BPJS ketenagakerjaan
PENDAHULUAN
Jaminan sosial merupakan hak dari
setiap orang untuk mendapatkan perlindungan
sosial yang diselenggarakan oleh negara
dengan tujuan agar tercapainya taraf
kesejahteraan yang baik. Hal tersebut
tercantum dalam Pasal 34 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945),
menjelaskan bahwa negara memiliki kewajiban
untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemudian
pada ayat (3) menjelaskan bahwa negara
bertanggung jawab untuk menyediakan
fasilitas kesehatan yang layak. Berdasarkan
amanat dari UUD 1945 maka Pemerintah
Indonesia kemudian mengeluarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut
UU SJSN).
Sistem jaminan sosial nasional (SJSN)
adalah salah satu program negara yang
bertujuan untuk memberikan perlindungan
mendasar dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia (Asih Eka Putri, 2014: 7).
Melalui program ini, setiap rakyat diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang
layak apabila terjadi hal-hal yang dapat
mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya
pendapatan, menderita sakit, mengalami
kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki
usia lanjut, ataupun pensiun. Berselang 7
(tujuh) tahun semenjak disahkannya UU SSJN,
Pemerintah Indonesia mengeluarkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya
disebut UU BPJS).
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) adalah suatu badan hukum yang
dibentuk berdasarkan Undang- Undang yang
diberikan
kewenangan
dalam
urusan
penyelenggaran
jaminan
sosial.
BPJS
171
merupakan bentuk representasi negara dalam
mewujudkan hak konstitusional bagi warga
negara atas jaminan sosial. BPJS terbagi
menjadi 2 (dua), yaitu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)
dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan).
Menurut ketentuan dalam UU BPJS,
perubahan-perubahan yang terkait setelah
keberadaan BPJS adalah beralihnya Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)
ke BPJS Ketenagakerjaan dan Program
Asuransi Kesehatan (ASKES) ke BPJS
Kesehatan terhitung sejak tanggal 1 Januari
2014.
Dengan
beralihnya
kewenangan
terkait penyelenggaraan jaminan sosial tenaga
kerja (Jamsostek) ke BPJS Ketenagakerjaan
tersebut, maka terdapat program baru yang
dulunya tidak terdapat dalam Jamsostek yakni
program jaminan pensiun. Dalam pelaksanaan
program
jaminan
pensiun,
Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Pensiun (selanjutnya disebut PP
Jaminan Pensiun). Program jaminan pensiun
adalah program yang diberikan kepada pekerja
yang telah memasuki usia pensiun atau
mengalami cacat total tetap yang ditentukan
berdasarkan penetapan dari dokter agar peserta
mendapat kehidupan yang layak pada saat
tidak bekerja lagi.
Penerimaan manfaat dari program
jaminan pensiun adalah ketika pekerja
memasuki usia pensiun yang berupa uang tunai
setiap bulannya sampai meninggal dunia. Hal
tersebut ditegaskan kembali dalam PP Jaminan
pensiun bahwa usia pensiun adalah usia saat
peserta mulai dapat menerima manfaat
pensiun. Mengenai usia pensiun dijelaskan
dalam bunyi Pasal 15 PP Jaminan pensiun
yaitu:
1) Untuk pertama kali usia Pensiun ditetapkan 56
Analisis Yuridis Terkait Pengaturan Batas Usia..........
(lima puluh enam) tahun
2) Mulai 1 Januari 2019, Usia Pensiun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
57 (lima puluh tujuh) tahun
3) Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) selanjutnya bertambah 1 (satu) tahun
untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya sampai
mencapai Usia Pensiun 65 (enam puluh lima)
tahun
4) Dalam hal Peserta telah memasuki Usia
Pensiun tetapi yang bersangkutan tetap
dipekerjakan, Peserta dapat memilih untuk
menerima Manfaat Pensiun pada saat
mencapai Usia Pensiun atau pada saat berhenti
bekerja dengan ketentuan paling lama 3 (tiga)
tahun setelah usia pensiun.
Persoalannya adalah pengaturan
terkait usia pensiun pada pekerja swasta.
Ketentuan peraturan perundang- undangan di
Indonesia yang mengatur batas usia pensiun
hanya terdapat dalam beberapa sektor saja
yaitu Tentara/Polisi, Pegawai Negeri Sipil,
dan Hakim yang temuat dalam aturan profesi
yang bersangkutan. Sedangkan peraturan yang
berkenaan dengan pekerja swasta di atur
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Selanjutnya
disebut UU Ketenagakerjaan). Dikatakan
dalam bunyi Pasal 154 huruf (c) UU
Ketenagakerjaan bahwa pemutusan hubungan
kerja (Selanjutnya disebut PHK) dapat
dilaksanakan tanpa memperoleh penetapan
dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial apabila pekerja mencapai
usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam
perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama,
peraturan
perusahaan,
atau
peraturan
perundang-undangan
ketentuan
lainnya
mengenai usia pensiun pekerja swasta adalah
terkait PHK, dalam Pasal 167 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai
berikut:
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha
telah mengikutkan pekerja/buruh pada
program pensiun yang iurannya dibayar penuh
oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak
berhak mendapatkan uang pesangon sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).”
Berdasarkan penjelasan tersebut,
maka
dapat
dipahami
bahwa
UU
Ketenagakerjaan hanya memuat mengenai
ketentuan PHK karena usia pensiun namun
tidak mengatur batas usia pensiun. Selama ini
batas usia pensiun didasarkan pada ketentuanketentuan yang menyangkut masa tuanya,
seperti Peraturan Menteri Tenaga Kerja
172
Nomor PER-02/MEN/1995 tentang Usia
Pensiun Normal dan Batas Usia Pensiun
Maksimum bagi Peserta Peraturan Dana
Pensiun (Selanjutnya disebut Permenaker Usia
Pensiun). Dalam Pasal 2 Permenaker Usia
Pensiun, dimuat bahwa usia pensiun normal
adalah 55 tahun dan maksimum 60 tahun,
tetapi itu hanya berlaku bagi peserta dana
pensiun yang diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Selanjutnya disebut UUDP).
Dengan pertimbangan bahwa batas
usia pensiun hanya didasarkan pada perjanjian
kerja bersama atau peraturan perusahaan
tersebut maka akan timbul perbedaan dalam
menentukan batas usia pensiun di antara
masing-masing perusahaan. Salah satu contoh
kasus mengenai tidak jelasnya aturan
mengenai batas usia pensiun salah satunya di
alami oleh Partini dan Tasri (Selanjutnya
disebut penggugat). Penggugat merupakan
karyawan di bagian produksi pada PT. Titani
Alam Semesta (Selanjutnya disebut tergugat)
yang bergerak di bidang industri pangan dan
berlokasi di Jl. Raya Tenaru No. 18,
Driyorejo, Gresik. Awal mula terjadinya
perselisihan dikarenakan penggugat yang telah
berusia 58 tahun merasa dirinya sudah tidak
dapat melakukan pekerjaan secara maksimal
akibat faktor usia dan telah mengajukan
permohonan tertulis kepada tergugat untuk
segera dipensiunkan. Tergugat memberikan
jawaban atas permohonan tersebut dengan
alasan bahwa untuk masalah pensiun masih
harus menunggu perjanjian kerja bersama
(PKB) yang masih dalam proses penyelesaian.
Penggugat merasa keinginannya untuk
pensiun dipersulit oleh tergugat lantas
mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan
industrial Gresik.
Penggugat dalam surat gugatannya
mendasarkan pada ketentuan Perjanjian kerja
bersama (PKB) di PT. Titani Alam Semesta
periode 2002-2005 yang menyatakan batas
usia pensiun 55 tahun, Pasal 15 PP Jaminan
Pensiun, dan Surat Anjuran Dinas Tenaga
Kerja Gresik Nomor: 567/1989/437.58/2014
tertanggal 02 Oktober 2014 yang isi
anjurannya agar perusahaan mengakhiri
hubungan kerja bagi pekerja yang telah
berusia 58 tahun. Pada putusan pengadilan
hubungan industrial di Gresik dengan Nomor:
14/Pdt.Sus-PHI.G/2015/PN.Gsk,
Majelis
Hakim menyatakan bahwa gugatan penggugat
tidak dapat diterima dengan alasan bahwa isi
dari Surat Anjuran Dinas Tenaga Kerja Gresik
Nomor: 567/1989/437.58/2014 tertanggal 02
Oktober 2014 tersebut tidak diperuntukkan
kepada para penggugat karena isi anjuran
tidak sesuai dengan usia penggugat saat
mediator memberikan anjuran atas perselisihan
tersebut.
Jurnal Novum, Volume 05, Nomor 01, Januari Tahun 2018, Hal 170-179
Dengan
adanya
perbedaan
pengaturan perbedaan batas usia pensiun di
masing-masing perusahaan, serta tidak adanya
pengaturan mengenai batas usia pensiun bagi
pekerja
swasta,
maka
akan
timbul
permasalahan mengenai manfaat dari jaminan
pensiun. Dalam PP Jaminan pensiun tidak
terdapat klausula yang menyatakan bahwa
batas usia pensiun bagi setiap perusahaan
harus mengacu pada ketentuan peraturan
pemerintah tersebut. Peserta yang telah
mencapai usia pensiun menurut perjanjian
kerja pada perusahaan namun menurut PP
Jaminan pensiun belum mencapai usia
pensiun untuk memperoleh manfaat program
jaminan pensiun. Permasalahan yang muncul
berdasarkan penjelasan tersebut adalah
berkenaan dengan bagaimana perlindungan
hukum bagi pekerja yang terdaftar dalam
program jaminan pensiun dan telah pensiun
namun tidak dapat mencairkan manfaat karena
usia pensiun berjenjang dalam PP Jaminan
Pensiun,
serta
bagaimana
seharusnya
pengaturan hukum terkait batas usia pensiun
pekerja pada ketentuan peraturan perundangundangan di Indonesia.
Tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui dan menganalisis mengenai
perlindungan hukum terhadap pekerja yang
telah pensiun namun tidak dapat mencairkan
manfaat dari keikutsertaan dalam program
jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan
karena usia pensiun berjenjang dalam PP
Jaminan Pensiun, serta mengetahui dan
menganalisis
mengenai
seharusnya
pengaturan hukum terkait batas usia pensiun
pekerja pada ketentuan peraturan perundangundangan di Indonesia.
Kajian teoritik dalam penelitian ini
antara lain, pertama yaitu tinjauan umum
mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang
berisikan sejarah, ruang lingkup, dan
perbandingan BPJS Ketenagakerjaan dengan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kedua, tinjauan
umum
berkaitan
tentang
Hukum
Ketenagakerjaan yang berisikan pengertian,
sifat, sumber hukum ketenagakerjaan, pihakpihak dalam hukum ketenenagakerjaan,
hubungan kerja, perjanjian kerja bersama,
peraturan perusahaan,
dan pemutusan
hubungan kerja. Ketiga, tinjauan umum
tentang Program Jaminan Pensiun BPJS
Ketenagakerjaan yang berisikan kepesertaan
dan manfaat dari program jaminan pensiun.
Keempat, tinjauan umum berkaitan dengan
usia pensiun
METODE
Jenis penelitian dalam penelitian
menggunakan penelitian hukum doktrinal
yang biasa disebut penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian
173
yang menghasilkan secara sistematis aturan
yang mengatur kategori hukum tertentu,
menganalisis hubungan antara aturan-aturan
tertentu, menjelaskan bidang yang sulit, dan
mungkin memprediksi perkembangan yang
akan datang (Peter Mahmud, 2016: 32-33).
Penelitian ini memfokuskan kepada usia
penerimaan manfaat dari program jaminan
pensiun yang berjenjang sedangkan batas usia
pensiun bagi pekerja swasta yang belum ada
pengaturannya.
Metode pendekatan yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute
approach),
pendekatan
konseptual
(conceptual approach), dan pendekatan kasus
(case approach). Jenis bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder (secondary data) yang terdiri atas
Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum
Sekunder, dan Bahan Non- Hukum. Teknik
pengumpulan bahan hukum yang akan
digunakan dalam penelitian ini yaitu studi
penelitian hukum (legal research), yang
berarti mengumpulkan secara keseluruhan
bahan hukum sesuai dengan pendekatan
dalam penelitian hukum. Pengumpulan bahan
hukum dengan cara inventarisasi dan
identifikasi secara sistematis bahan hukum
primer, melakukan studi kepustakaan terhadap
bahan hukum sekunder dan bahan non-hukum
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian
ini. Teknik pengolahan bahan hukum
dilakukan dalam penelitian ini dengan melalui
beberapa tahap untuk mendapatkan pandangan
yang jelas yaitu, dengan cara pertama
menyeleksi data bahan hukum, selanjutnya
diklasifikasikan, dan kemudian terakhir
melakukan penyusunan secara sistematis dan
secara logis. Teknik analisa bahan hukum
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode preskriptif. Metode preskriptif adalah
suatu kegiatan penafsiran keseluruhan bahan
hukum yang ada, kemudian di analisa sesuai
dengan sudut pandang yang akurat.
Penggunaan metode ini bertujuan untuk
menguraikan dan menganalisis permasalahan
hukum yang diteliti, kemudian memberikan
argumentasi kepada permasalahan tersebut
(Mukti Fajar, 2013: 180-183).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Program jaminan pensiun BPJS
Ketenagakerjaan secara konseptual digunakan
untuk melindungi seseorang yang ketika tidak
bekerja lagi karena memasuki usia pensiun,
cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Jaminan pensiun tersebut bersifat wajib
dikarenakan sifat BPJS Ketenagakerjaan itu
sendiri sebagai badan hukum publik yang
menyelenggalarakan
program
jaminan
pensiun, sehingga hal tersebut mengharuskan
pemberi kerja untuk mengikutsertakan seluruh
Analisis Yuridis Terkait Pengaturan Batas Usia..........
pekerjanya menjadi peserta BPJS.
Usia pensiun memiliki pengaruh
yang besar terhadap penerimaan manfaat dari
keikutsertaan pada program jaminan pensiun.
Dalam UU Ketenagakerjaan yang merupakan
pedoman atau acuan aturan di bidang
ketenagakerjaan tidak mengatur mengenai
batas usia pensiun. Hal tersebut tentunya akan
menjadi kerugian bagi pekerja itu sendiri
antara lain tingkat produktivitas kerjanya
menurun dan tingkat kesehatan menurun
(rentan terkena penyakit).
Kasus lainnya selain daripada yang
telah disebutkan pada bagian pendahuluan
yang masih terkait dengan belum adanya
pengaturan batas usia pensiun bagi pekerja
swasta, antara lain dialami oleh Suparno yang
bekerja sebagai tenaga teknik pada PT.
Langgeng Makmur Industri yang berlokasi di
jalan raya Surabaya-Mojokerto KM 19, Desa
Bringinbendo, Kecamatan Taman, Sidoarjo.
Suparno yang berusia hampir 64 tahun dan
telah bekerja sejak Agustus 1976 itu awalnya
mengalami kondisi kesehatan yang terus
menurun, mudah lelah, serta kurangnya
pendengaran dan penglihatan, sehingga
memutuskan memohon kepada perusahaan
untuk
berhenti
dari
pekerjaannya.
Permohonan yang diajukan oleh Suparno
melalui serikat pekerja tidak mendapatkan
tanggapan dari pihak perusahaan. Setelah dua
kali mengajukan permohonan dan tidak
mendapatkan tanggapan sama sekali, Suparno
melaporkan kejadian tersebut kepada Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo.
Upaya mediasi dilakukan, kemudian
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja menganjurkan
kepada perusahaan agar Suparno segera
dipensiunkan. Kendati telah mendapatkan
anjuran tersebut, perusahaan tetap enggan
untuk
memberhentikan
Suparno
dari
pekerjaannya, Suparno lantas mengajukan
Permohonan
Percatatan
Perselisihan
Hubungan Industrial Kabupaten Sidoarjo.
Pada
putusan
dengan
Nomor:
37/G/2016/PHI.Sby tanggal 13 Juni 2016,
Majelis hakim membacakan putusan yang
pada intinya menyatakan bahwa putus
hubungan kerja diantara kedua belah pihak
dengan mendasarkan pada Pasal 15 PP
Jaminan Pensiun.
Kontradiksi diantara kedua kasus
tersebut menjelaskan bahwa Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia belum
mengatur mengenai batas usia pensiun bagi
pekerja swasta. Hal tersebut akan memberikan
dampak kepada penerimaan manfaat program
jaminan pensiun. Usia pensiun pada Pasal 154
huruf (c) UU Ketenagakerjaan bahwa
disepakati menurut perjanjian kerja, perjanjian
kerja bersama, peraturan perusahaan, atau
peratuan perundang-undangan. Hal tersebut
174
akan memunculkan perbedaan pengaturan usia
pensiun pada masing-masing perusahaan
sehingga berdampak kepada pengajuan klaim
atau penerimaan dari manfaat jaminan pensiun
dikarenakan belum adanya pengaturan
mengenai batas usia pensiun, sementara
penerimaan manfaat pensiun yang mengalami
peningkatan 1 (satu) tahun atau berjenjang
setiap 3 (tiga) tahunnya sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 15 PP Jaminan
Pensiun.
Dampak yang ditimbulkan adalah
akan adanya jarak apabila pekerja telah
pensiun menurut perjanjian kerja, perjanjian
kerja bersama atau peraturan perusahaan tetapi
belum dapat mencairkan manfaat dari
program jaminan pensiun karena usianya
berbeda dengan usia memperoleh manfaat
jaminan pensiun pada Pasal 15 PP Jaminan
Pensiun. Batas usia pensiun dan usia pensiun
merupakan suatu hal yang berbeda. Pekerja
swasta yang telah memasuki usia pensiun
memang boleh untuk tetap dipekerjakan dan
perusahaan tidak menyalahi aturan. Peraturan
perundang- undangan di Indonesia memang
tidak mengaturnya, namun bilamana tidak ada
batasan dari usia pensiun maka sampai kapan
pekerja akan secara terus-menerus bekerja.
Pekerja yang telah memasuki usia tua sudah
seharusnya dapat menikmati masa-masa
tuanya dan merasakan hasil dari jerih
payahnya dalam bekerja selama ini.
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja
yang Pensiun namun Tidak Dapat
Mencairkan Manfaat pensiun BPJS
Ketenagakerjaan
Perlindungan hukum pada umumnya
diberikan untuk menjamin terlaksananya hak
dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum.
Terjadinya hubungan hukum antara BPJS
Ketenagakerjaan dengan pemberi kerja dan
pekerja yang menjadi peserta BPJS
Ketenagakerjaan diwujudkan dalam bentuk
kepesertaan para pekerja dalam perlindungan
yang ditandai dengan diberikannya Kartu
BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini ketika
perusahaan mendaftarkan pekerjanya untuk
menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan maka
telah timbul hubungan hukum di antara para
pihak serta menimbulkan hak dan kewajiban
di antara para pihak. Berikut ini merupakan
pengertian dari perlindungan hukum menurut
Satjipto Raharjo, yaitu: “Perlindungan hukum
adalah suatu bentuk pengayoman terhadap hak
asasi manusia (HAM) yang dirugikan oleh
orang lain dan perlindungan itu diberikan
untuk masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum”
(Satjipto Raharjo, 2000: 55).
Kesimpulan dari hal tersebut, bahwa
perlindungan hukum dalam arti sempit adalah
Jurnal Novum, Volume 05, Nomor 01, Januari Tahun 2018, Hal 170-179
sesuatu yang diberikan kepada subjek hukum
dalam bentuk perangkat hukum baik dalam
bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Dapat
dipahami bahwa fungsi dari adanya hukum
jaminan sosial adalah untuk melindungi rakyat
dan pada prinsipnya penyelenggaraan program
jaminan pensiun ditujukan agar pekerja dapat
mempertahankan kehidupan yang layak
apabila tidak bekerja lagi.
Dengan merujuk pendapat dari
Philipus
M. Hadjon, bahwa sarana
perlindungan hukum ada 2 (dua) macam, yaitu
(1) Sarana Perlindungan Hukum Preventif
yang mana pada perlindungan hukum
preventif ini, subyek hukum diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Tujuannya adalah untuk mencegah agar tidak
terjadi sengketa. (2) Sarana Perlindungan
Hukum Represif yang mana perlindungan
hukum yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan
sengketa.
Penanganan
perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum
dan Pengadilan Administrasi di Indonesia
termasuk kategori perlindungan hukum ini
(Philipus M. Hadjon, 1987: 4-5).
Bentuk Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan
hukum
secara
preventif yang dapat diberikan dalam bidang
jaminan
sosial
khususnya
terkait
permasalahan yang diakibatkan karena adanya
tenggang waktu untuk dapat mencairkan
manfaat dari program jaminan pensiun dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu, (1)
Dengan memberikan kompensasi terlebih
dahulu kepada peserta jaminan pensiun yang
telah pensiun sebelum mencapai usia pensiun
dalam PP Jaminan Pensiun. Tujuan dari
adanya kompensasi ini berkaitan agar pekerja
dapat tetap memenuhi kebutuhan hidup
layaknya ketika berhenti bekerja meskipun
masih belum dapat melakukan pencairan
terkait
manfaat
jaminan
pensiun.
Konsekuensinya maka akan bertentangan
dengan konsep jaminan pensiun, karena
konsep manfaat jaminan pensiun bersifat
langsung. (2) Konsep negara kesejahteraan
yang dianut oleh Indonesia mengandung
makna bahwa negara memiliki peran untuk
dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya,
sehingga setiap rakyat berhak mendapat
kesempatan untuk memenuhi kehidupan yang
layak. Walter Friedlander dalam Rukminto
Adi
mengatakan, kesejahteraan sosial
merupakan sistem yang terorganisir dari
institusi dalam pelayanan sosial yang di
rancang untuk membantu individu atau
kelompok agar dapat mencapai standar hidup
dan kesehatan yang lebih memuaskan
(Isbandi Rukminto Adi, 1994:4). Bilamana
dihadapkan dengan regulasi usia pensiun yang
175
menimbulkan
perbedaan
antara
UU
Ketenagakerjaan dengan PP Jaminan pensiun,
maka hal tersebut bertentangan dengan konsep
negara kesejahteraan. Keadaan tersebut
menjadikan pekerja tidak dapat memperoleh
manfaat jaminan pensiun ketika berhenti
bekerja karena mencapai usia pensiun, hal
tersebut tentu akan mengancam kesempatan
untuk mendapat kehidupan yang layak ketika
berhenti bekerja. Pengusaha selama ini
berpedoman pada UU Ketenagakerjaan dalam
menentukan usia pensiun bagi pekerjanya,
meskipun
sebenarnya
dalam
UU
Ketenagakerjaan tidak mengatur dengan jelas
pada usia berapakah pekerja akan pensiun.
Sudah sewajarnya dalam hal ini Pemerintah
dan DPR turun tangan untuk dapat
menyelesaikan problematika dengan merevisi
UU Ketenagakerjaan dan memasukkan usia
berapakah pekerja akan pensiun yang mana
dapat mengacu kepada Pasal 15 PP Jaminan
Pensiun karena berkaitan dengan Program
jaminan pensiun bagi pekerja yang wajib
untuk diikuti, serta memasukkan sanksi agar
pengusaha dapat mematuhi ketentuan tersebut.
Bentuk Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum secara represif
yang berkaitan dengan telah terjadinya
sengketa pada program jaminan pensiun akan
diselesasaikan melalui beberapa cara sebagai
berikut, pertama, penyelesaian Melalui
Pengaduan, penyelesaian permasalahan antara
peserta dan BPJS dapat melalui pengaduan.
Hal tersebut terdapat dalam Pasal 48 ayat (1)
UU BPJS yang menyatakan bahwa BPJS
wajib untuk membentuk unit pengendali mutu
pelayanan dan penanganan pengaduan dari
peserta BPJS (pekerja maupun pemberi kerja).
Kemudian pada Pasal 48 ayat (2) UU BPJS
menjelaskan bahwa BPJS wajib menangani
pengaduan paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak diterimanya pengaduan tersebut. Kedua,
penyelesaian melalui mediasi merupakan
salah satu dari bentuk-bentuk penyelesaian
yang dapat dilakukan oleh peserta BPJS
(BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan)
apabila penyelesaian melalui mediasi tidak
memperoleh penyelesaian. Gary Goopaster
memberikan definisi mediasi sebagai proses
negosiasi pemecahan masalah di mana pihak
luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja
sama dengan pihak-pihak yang bersengketa
untuk membantu mereka memperoleh
kesepakatan perjanjian yang memuaskan
(Gary Goopaster, 1999:201). Penyelesaian
melalui mediasi ini dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
Secara khusus, pengaturan mediasi di
Indonesia terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ketiga,
penyelesaian
Melalui
Pengadilan,
Analisis Yuridis Terkait Pengaturan Batas Usia..........
penyelesaian sengketa antara peserta BPJS
dengan pihak BPJS melalui pengadilan ini
dapat dilakukan setelah upaya penyelesaian
melalui unit pengendali mutu pelayanan dan
penanganan pengaduan peserta melalui
mekanisme mediasi tidak dapat terlaksana
atau terselesaikan. Penyelesaian sengketa
melalui
pengadilan
merupakan
upaya
penyelesaian terakhir yang dapat dilakukan
bagi peserta maupun BPJS Ketenagakerjaan.
Ketentuan terkait penyelesaian melalui
pengadilan terdapat dalam Pasal 50 UU BPJS
yang berbunyi sebagai berikut “Dalam hal
pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit
pengendali mutu pelayanan dan penanganan
pengaduan Peserta melalui mekanisme
mediasi
tidak
dapat
terlaksana,
penyelesaiannya dapat diajukan ke pengadilan
negeri di wilayah tempat tinggal pemohon.”
Dari penjelasan bunyi pasal tersebut,
dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa
antara peserta dengan BPJS (BPJS
Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan)
dilakukan pada pengadilan negeri di wilayah
tempat tinggal pemohon (penggugat). Dalam
hukum perdata, dikenal adanya 2 (dua)
macam perkara yaitu perkara permohonan
(voluntair)
dan
perkara
sengketa
(contentiosa).
Perkara
permohonan
merupakan perkara yang bersifat sepihak yaitu
semata-mata untuk kepentingan pemohon,
sedangkan perkara sengketa merupakan
perkara yang muncul karena adanya
perselisihan di antara para pihak (Yahya
Harahap, 2008:46).
Perkara yang terjadi antara peserta
BPJS dengan BPJS dapat dipahami
merupakan
bentuk
perkara
sengketa
(contentiosa), karena telah tersebut dalam
judul BAB XII Bagian ketiga UU BPJS
menyebutkan “Penyelesaian Sengketa Melalui
Pengadilan” dan perkara tersebut merupakan
perselisihan diantara kedua belah pihak yaitu
peserta BPJS dan pihak BPJS (BPJS
Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan).
Timbulnya
sengketa
dalam
penyelenggaraan jaminan sosial dapat terjadi
antara perserta dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), apabila peserta telah
memenuhi kewajibannya berupa iuran berupa
sejumlah uang yang dibayar secara teratur
oleh peserta pada program jaminan sosial
ketenagakerjaan ternyata tidak mendapatkan
haknya. Pelanggaran terhadap hak atas salah
satu pihak yang terlibat dalam sengketa antara
peserta dengan BPJS (BPJS Kesehatan atau
BPJS Ketenagakerjaan) merupakan bentuk
pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan (Andika Wijaya, 2018:191). Hal
tersebut dikarenakan jaminan sosial BPJS
Ketenagakerjaan berbeda dengan asuransi
swasta,
pada
jaminan
sosial
BPJS
176
Ketenagakerjaan mengenai hak dan kewajiban
telah diatur dalam peraturan perundangundangan yang terkait, sedangkan pada
program asuransi swasta mengenai hak dan
kewajiban diatur dalam suatu perjanjian.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa dasar
gugatan dari sengketa antara peserta dengan
pihak BPJS merupakan perbuatan melawan
hukum dan bukan merupakan cidera janji
(wanprestasi)
Pengaturan Hukum yang Seharusnya
Berkaitan dengan Batas Usia Pensiun
Pekerja pada Ketentuan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia
Pensiun adalah satu titik balik yang
begitu signifikan dalam karir seseorang yang
mana setidak-tidaknya telah menghabiskan
seluruh atau sebagian besar waktu hidup
mereka untuk bekerja. Menurut Kasmir,
Pensiun adalah hak seseorang untuk
memperoleh penghasilan setelah bekerja
sekian tahun dan sudah memasuki usia
pensiun atau ada sebab-sebab lain sesuai
dengan perjanjian yang telah ditetapkan
(Kasmir, 2012:289).
Hubungan hukum yang terjadi antara
pekerja dengan pengusaha merupakan
hubungan kerja yang terjadi karena adanya
perjanjian kerja yang dilakukan oleh kedua
pihak tersebut (Arinto Nugroho: 5).
Pengakhiran hubungan kerja demikian,
bilamana perjanjian kerja berakhir atau
diakhiri, maka dengan sendirinya hubungan
hukum yang terjadi antara pekerja dan
pengusaha juga dengan sendirinya akan ikut
berakhir. Dengan berakhirnya hubungan kerja
menyebabkan hak dan kewajiban yang selama
ini dimiliki oleh para pihak yaitu pekerja dan
pengusaha akan ikut berakhir sehingga sejak
saat itulah terjadi keadaan yang dinamakan
dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK),
UU Ketenagakerjaan mengenal adanya 4
(empat) pemutusan hubungan kerja (PHK),
yaitu (1) Pemutusan hubungan kerja (PHK)
demi hukum, (2) Pemutusan hubungan kerja
(PHK) oleh pekerja, (3) Pemutusan hubungan
kerja (PHK) oleh pengusaha, (4) Pemutusan
hubungan kerja (PHK) oleh pengadilan.
Berakhirnya hubungan kerja yang
dikarenakan pekerja telah mencapai batas usia
pensiun merupakan pemutusan hubungan
kerja (PHK) demi hukum. Hal tersebut
dikarenakan perjanjian kerja merupakan
perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh
pekerja dan pengusaha mengenai hak-hak dan
kewajiban dari masing- masing pihak. Pasal
1320 KUHPerdata menjelaskan bahwa syaratsyarat sahnya perjanjian, antara lain:
1) Adanya kesepakatan
2) Para pihak telah cakap secara hukum untuk
Jurnal Novum, Volume 05, Nomor 01, Januari Tahun 2018, Hal 170-179
membuat perjanjian
3) Suatu hal tertentu
4) Klausa yang halal
Berkenaan dengan syarat pertama dan
kedua yang merupakan syarat subyektif, sehingga
bilamana tidak memenuhinya maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan atau dalam hal ini
dimintai pembatalan. Sedangkan syarat ketiga
dan keempat merupakan syarat obyektif,
sehingga bila bertentangan dengan apa yang
dipersyaratkan maka perjanjian tersebut batal
demi hukum. Kemudian dengan mengacu pada
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
menjelaskan “semua persetujuan yang dibuat
secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang- undanghbagi mereka yang
membuatnya”. Berdasarkan hal tersebut, dapat
dipahami bahwa perjanjian kerja berlaku seperti
undang-undang bagi pekerja dan pengusaha.
Bilamana pekerja pensiun dengan mengacu pada
batas usia pensiun yang telah disepakati dalam
perjanjian kerja, maka kejadian tersebut dapat
dikategorikan sebagai pemutusan hubungan kerja
(PHK) demi hukum.
Fakta yang terjadi ternyata berbeda
dengan yang diharapkan, batas usia pensiun
seringkali tidak diatur dalam perjanjian kerja,
perjanjian kerja bersama, ataupun peraturan
perusahaan. Sebagaimana telah disebutkan,
bahwa tercapainya batas usia tertentu menjadi
salah satu penyebab atau alasan pemutusan
hubungan kerja (PHK). Dengan kata lain, dalam
peraturan
perundang-undangan
mengenai
ketenagakerjaan tidak ada ketentuan mengenai
batasan usia tertentu seseorang pekerja/buruh
mencapai batasan usia pensiun sebagai saat
berakhirnya hubungan kerja.
Batas usia pensiun pada awalnya
merupakan
keadaan
yang
menyebabkan
terjadinya pemutusan hubungan kerja demi
hukum maka akan berganti menjadi pemutusan
hubungan kerja yang dilakukanholeh pekerja itu
sendiri. Salah satu alasan pengusaha tidak
mencantumkan usia untuk pensiun bagi pekerja
dapat dipahami karena pengusaha enggan untuk
membayar uang pesangon bagi pekerjanya
tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada
pemutusan hubungan kerja (PHK) demi hukum,
pekerja memiliki hak untuk mendapatkan uang
pesangon dan pengusaha memiliki kewajiban
untuk membayarnya. Sedangkan pada pemutusan
hubungan kerja (PHK) oleh pekerja, pengusaha
tidak memiliki kewajiban untuk membayar uang
pesangon dan pekerja tidak memiliki hak untuk
memintanya
karena
telah
mengajukan
pengunduran diri. Sudikno Mertokusumo
menyatakan bahwa “Tidak ada peraturan
perundang-undangan yang dapat mencakup
keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak
ada peraturan perundang-undangan yang lengkap
selengkap- lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya.
Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas,
maka harus dicari dan diketemukan”. (Sudikno
177
Mertokusumo, 2007: 37)
Berdasarkan pendapat tersebut, maka
sudah seharusnya untuk menemukan hukum
apabila dalam suatu peraturan perundangundangan belum mencakup suatu permasalahan
tertentu. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, menjelaskan bahwa hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia sebagai berikut
(1) Undang- Undang Dasar NRI 1945, (2)
Ketetapan MPR, (3) Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu), (4) Peraturan Pemerintah, (5) Peraturan
Presiden, (6) Peraturan Daerah Provinsi, (7)
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan penjelasan terkait usia
pensiun pada beberapa peraturan perundangundangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
batas usia pensiun bagi pekerja swasta di
Indonesia memang belum di atur dalam peraturan
perundang-undangan
(Kaidah
Heteronom).
Apabila merujuk kepada salah satu jenis metode
penemuan hukum yaitu konstruksi hukum
tepatnya dengan menggunakan salah satu metode
konstruksi hukum yaitu argumentum per
analogium, yang mana diartikan untuk mencari
esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa
hukum atau perbuatan hukum baik telah diatur
dalam Undang-Undang maupun yang belum ada
peraturannya (Sudikno Mertokusumo, 2007: 56).
Bilamana dikaitkan dengan penentuan
batas usia pensiun bagi pekerja swasta, maka
dapat
mempergunakan
dan
memperluas
ketentuan isi dalam Pasal 15 PP Jaminan Pensiun
karena berkaitan dengan hak-hak pekerja saat
menerima manfaat pensiun sebagai bentuk
perlindungan hukum preventif apabila terjadi
ketidaksesuaian usia pensiun berhenti bekerja
dengan usia pensiun untuk menerima manfaat
jaminan pensiun. Manakala pengusaha tidak
mempergunakan ketentuan Pasal 15 PP Jaminan
Pensiun sebagai penentuan usia pensiun di
perusahaanya maka tidak dapat diberikan suatu
sanksi. Hal tersebut didasari karena memang
tidak adanya paksaan atau sanksi apabila tidak
mengikuti usia pensiun yang berada dalam Pasal
15 PP Jaminan pensiun, sehingga perlu adanya
peran bagi Pemerintah untuk menengahi
problematika ini dengan merevisi sejumlah
aturan terkait dengan batas usia pensiun bagi
pekerja swasta.
Revisi atas suatu Undang-Undang
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pertama,
mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU)
melalui program legislasi nasional (selanjutnya
disebut prolegnas) kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (Selanjutnya disebut DPR) dan kedua,
pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang- Undang (PERPU) oleh Presiden. Cara
yang kedua tersebut hanya dapat dilakukan
apabila dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, ketentuan tersebut tercantum dalam
Analisis Yuridis Terkait Pengaturan Batas Usia..........
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 angka
(4) UU Pembentukan Perundang-undangan.
Mahkamah Konstitusi telah memberikan
penafsiran terhadap kegentingan yang memaksa
dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa ada 3 (tiga) syarat terkait
kegentingan yang memaksa sebagaimana
dimaksudi oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 1 angka (4) UU Pembentukan Perundangundangan, yaitu pertama, adanya suatu keadaan
yang mendesak untuk dapat menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan
Undang-Undang. Kedua, Undang-Undang yang
dibutuhkan tersebut belum ada (kekosongan
hukum) atau ada Undang-Undang tetapi masih
belum memadai. Ketiga, kekosongan hukum
tersebuti tidak dapat diatasi dengan cara
membuat Undang-Undang secara prosedur biasa
karena akan memerlukan waktu yang cukup
lama, sedangkan keadaan yang mendesak
tersebut perlu kepastian terkait penyelesaiannya.
Berdasarkan ketiga syarat tersebut,
bilamana dikaitkan dengan problematika batas
usia pensiun bagi pekerja maka tidak dapat
dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Penganti Undang-Undang (PERPU).
Hal tersebut dikarenakan syarat pertama dan
syarat ketiga tidak terpenuhi. Berkaitan dengan
syarat pertama yaitu adanya kebutuhan mendesak
untuk dapat menyelesaikan masalah hukum
secara cepat, pada permasalahan batas usia
pensiun masih belum mendesak karena masih
dapat diselesaikan dengan mengacu kepada
Peraturan lainnya yang berkaitan dengan masa
tua bagi pekerja misalnya PP Jaminan Hari Tua
dan PP Jaminan Pensiun.
Sedangkan berkaitan dengan syarat
ketiga yaitu kekosongan hukum tidak dapat
diatasi dengan membuat Undang-Undang karena
memerlukan
waktu
yang
lama,
pada
permasalahan terkait kekosongan hukum batas
usia pensiun bagi pekerja dapat diatasi dengan
membuat
Undang-Undang
atau
merevisi
Undang-Undang yang lama. Hal tersebut
dikarenakan Program jaminan pensiun yang baru
dimulai pada 1 juli 2015 tergolong masih baru
bagi pekerja, sehingga bilamana dilakukan upaya
untuk mengisi kekosongan hukum tersebut
dengan jalan membuat Undang-Undang baru atau
merevisi ketentuan UU Ketenagakerjaan yang
lama masih dapat terselesaikan. Dengan jalan
tersebut diharapkan pada masa mendatang
keberlangsungan program jaminan pensiun dapat
dirasakan secara langsung ketika pekerja berhenti
dari perusahaan. Kendati demikian, diharapkan
mulai dari sekarang diharapkan Pemerintah dan
DPR untuk dapat segera membahas untuk
merevisi aturan dalam UU Ketenagakerjaan.
Alasan yang berkaitan dengan UU
Ketenagakerjaan yang harus segera direvisi dan
bukannya PP Jaminan pensiun adalah berkaitan
178
dengan susunan hierarki peraturan perundangundangan dan sanksi yang akan diberikan.
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan
Perundang-undangan, Undang-Undang berada di
tingkat ketiga, yang mana dibawah UUD 1945
dan Ketetapan MPR sehingga kedudukannya
lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah yang
hanya sebatas peraturan pelaksana dari UndangUndang. Kemudian dalam Undang-Undang dapat
dimasukkan sanksi pidana, berbeda dengan
Peraturan Pemerintah yang tidak dapat memuat
sanksi pidana. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU
Pembentukan Perundang-undangan, ketentuan
pidana hanya dapat dimuat dalami UndangUndang dan Peraturan Daerah Provinsi atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Rancangan Undang-Undang (RUU)
dapat diusulkan baik oleh DPR selaku Lembaga
legislatif dan Presiden selaku eksekutif yang
mana diwakilkan dengan kementerian atau
Lembaga yang sesuai dengan lingkupi tugas dan
tanggungi jawabnya (Pemerintah). Secara garis
besar dan dengan mengacu pada Pasal 1 angka
(1) UU Pembentukan perundang-undangan
tersebut, maka perubahan atas suatu materi dalam
Undang-Undang melalui beberapa tahapan yaitu
Perencanaan,
Penyusunan,
Pembahasan,
Pengesahan, dan Pengundangan.
Setelah melalui proses atau tahapantahapan tersebut, maka RUU hasil prolegnas
tersebut telah menjadi Undang-Undang dan
berlaku setelah. Revisi UU Ketenagakerjaan telah
masuk ke dalam Prolegnas 2015- 2019 dengan
urutan ke-123 yang diusulkan oleh Pemerintah,
sehingga dalam hal ini Pemerintah untuk
mempertimbangan permasalahan terkait usia
pensiun bagi pekerja. Proses yang dilalui dalam
Prolegnas tentu tidak selamanya berjalan dengan
lancar, hambatan-hambatan akan muncul dalam
proses prolegnas tersebut. Hambatan tersebut
dapat dipahami sebagai berikut (1) Jumlah
Rencana Legislasi baik jumlah rencana legislasi
yang diusulkan untuk Prolegnas Jangka
Menengah maupun Tahunan memang sangat
banyak untuk dimasukkan ke dalam prolegnas
sehingga
menyebabkan
proses
tersebut
berlangsung lama untuk dapat diselesaikan
selama lima tahun. (2) Tidak ada jaminan bahwa
selama lima tahun tidak akan muncul lagi
rencana legislasi baru baik yang diusulkan DPR
maupun Pemerintah. Kemudian faktor berat
ringannya substansi RUU akan sangat
mempengaruhi proses pembahasan, apabila
susbtansi
RUU
tergolong
berat
maka
pembahasannya akan berlangsung dalam jangka
yang lama. (3) Pembahasan suatu RUU akan
lebih mudah apabila naskah RUU tersebut telah
melalui proses penyusunan dan perancangan yang
baik dan sesuai dengan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan yang baku.
Dengan begitu ketika tahap pembahasan di DPR
tidak
perlu
lagi
menyangkut
dan
Jurnal Novum, Volume 05, Nomor 01, Januari Tahun 2018, Hal 170-179
memperdebatkan persoalan titik koma serta
pencarian asas dan kaidah dalam RUU tersebut.
PENUTUP
Simpulan
Konsep usia pensiun yang terus
berjenjang dalam PP Jaminan pensiun dan
konsep usia pensiun dalam UU ketenagakerjaan
adalah suatu hal yang berbeda. Perlindungan
hukum bagi pekerja yang dapat diberikan terbagi
menjadi perlindungan hukum preventif dan
perlindungan hukum represif. Perlindungan
hukum preventif yang dilakukan adalah
memberikan kompensasi dan melakukan revisi
atas UU Ketenagakerjaan dengan memasukkan
sanksi. Sedangkan perlindungan hukum represif
yang
dilakukan
adalah
menyelesaikan
permasalahan melalui pengaduan, mediasi, dan
pengadilan.
Konsep usia pensiun PP Jaminan
pensiun hanya terbatas usia pada saat timbulnya
manfaat jaminan pensiun, sedangkan konsep usia
pensiuni UU Ketenagakerjaan adalah usia saat
pekerja diberhentikan oleh perusahaan baik atas
permintaan
atau
sesuai
dengan
yang
diperjanjikan. Sedangkan Ketentuan usia pensiun
bagi pekerja swasta di Indonesia masih belum
ada pengaturannya sehingga menjadikan pekerja
seringkali mengalami kerugian akibat hal
tersebut. Selama ini ketentuan mengenai usia
pensiun saling berbeda pada masing-masing
perusahaan melalui perjanjian kerja bersama atau
peraturan
perusahaan
(Kaidah
otonom).
Pengusaha dan perusahaan dalam menetapkan
usia pensiun seringkali menafsirkan peraturanperaturan yang berkaitan dan relevan dengan
masa tua pekerja. Pengaturan usia pensiun bagi
pekerja sudah seharusnya diatur dengan jelas dan
tegas dalam suatu Undang- Undang (kaidah
heteronom), karena dengan Undang- Undang
maka perusahaan maupun pengusaha dapat
diberikan sanksi apabila tidak mematuhinya.
Saran
Saran
dan
masukan
kepada
Pemerintah dan DPR yaitu untuk segera
melakukan revisi atas UU Ketenagakerjaan.
Revisi atas UU Ketenagakerjaan memang telah
dimasukkan ke dalam Program legislasi nasional
(Prolegnas) 2015-2019 nomor ke-123, sudah
seharusnya
Pemerintah
dan
DPR
mempertimbangkan
untuk
memasukkan
ketentuan batas usia pensiun dan memuat sanksi
yang tegas apabila ada perusahaan yang tidak
mematuhinya. Revisi ini dilakukan untuk
menyelesaikan
permasalahan
terkait
ketidaksesuaian usia pensiun bagi pekerja yang
berakibat tertundanya penerimaan manfaat dari
program jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 1994. Psikologi,
Pekerjaan
Sosial
dan
Ilmu
179
Kesejahteraan Sosial: Dasar- dasar
Pemikiran. Jakarta: PT Raja Grafindo
Darmawan, Heru dan Nugroho, Arinto. 2018.
Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu No.05/WJM/I/2016
yang tidak Mencantumkan Klausul
Jaminan Sosial yang Berakibat Tidak
Ada Tanggung Jawab PT. Jaya Wahyu
Mandiri Terhadap Martono saat
Terjadi Kecelakaan Kerja. Jurnal
Novum Unesa: Vol. 1, No. 1
Fajar, Mukti dan Yulianto, Achmad. 2013.
Dualisme Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Goopaster, Gary. 1999. Panduan Negosiasi dan
Mediasi. Jakarta: ELIPS Project
Hadjon, Philipus M. 1987. Perlindungan Bagi
Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina
Ilmu.
Harahap, M. Yahya. 2008. Hukum Acara
Perdata,
Gugatan,
Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Kasmir. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya.Jakarta: Raja Grafindo
Putri, Asih Eka. 2014. Paham SJSN: Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: CV
Komunitas Pejaten Mediatama.
Marzuki, Peter Mahmud. 2016. Penelitian
Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Mertokusumo, Sudikno. 2007. Penemuan Hukum
Sebuah
Pengantar.
Yogyakarta:
Liberty.
Nugroho, A, E. Sulistyowati, N. Hikmah. 2017.
A Juridical Review of Partnership
Agreements That Have The Elements
of Work Agreements in Indonesia.
Series 953 012169 doi: 10.1088/17426596
Raharjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
Wijaya, Andika. 2018. Hukum Jaminan Sosial
Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika
Download