ANALISIS YURIDIS TERKAIT PENGATURAN BATAS USIA PENSIUN PEKERJA SWASTA SEBAGAI PENERIMA MANFAAT PROGRAM JAMINAN PENSIUN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN Dimas Putra Sugiantoro (S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) [email protected] Arinto Nugroho (S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya) [email protected] Abstrak Lahirnya BPJS Ketenagakerjaan memberikan program baru berupa program jaminan pensiun. Program jaminan pensiun memberikan manfaat berupa uang tunai kepada pekerja swasta ketika mencapai usia pensiun sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun. Usia untuk menerima manfaat pensiun menurut PP tersebut meningkat satu tahun dalam setiap tiga tahun. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, usia pensiun bagi pekerja swasta tidak diatur secara jelas dan tegas. Kondisi tersebut menjadikan pekerja swasta dirugikan akibat usia pensiun dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun yang berjenjang, sementara dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak diatur mengenai batas usia pensiun. Tujuan penelitian untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pekerja yang telah pensiun namun tidak dapat mencairkan manfaat jaminan pensiun dan untuk mengetahui kesesuaian dalam menentukan kapan seharusnya batas usia pensiun bagi pekerja swasta. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Jenis bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut kemudian di analisa menggunakan teknik preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat dilakukan dengan memberikan kompensasi kepada pekerja swasta yang pembayaran manfaatnya tertunda akibat tidak sesuai usia dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun. Usia pensiun dalam PP tersebut hanya menjelaskan usia ketika pekerja swasta dapat mencairkan manfaat jaminan pensiun, sedangkan usia pensiun bagi pekerja swasta untuk berhenti bekerja diatur dalam perjanjian kerja bersama atau dalam peraturan perusahaan karena ketentuan peraturan perundang-undangan tidak mengaturnya. Kata kunci: batas usia, pensiun, BPJS ketenagakerjaan Abstract A The birth of BPJS Ketenagakerjaan provides a new program i.e the pension security program. The pension security program is given to workers when they reach retirement age in Government Regulation Number 45 of 2015 concerning the Implementation of Pension security Programs. The age to receive pension benefits under the PP continues to increase by 1 (one) year in each 3 (three) year. While in Law Number 13 of 2003 concerning Manpower, in that Jurnal Novum, Volume 05, Nomor 01, Januari Tahun 2018, Hal 170-179 provision there is not clearly and explicitly stipulated how many retirement age limits apply to private workers. These conditions make private workers be a disadvantage due to retirement age in the provisions of the Government Regulation Number 45 of 2015 concerning the Implementation of Pension security Programs that is tiered, while in the Law Number 13 of 2003 concerning Manpower is not regulated regarding the retirement age limit. Based on explanation, this study has the objective to determine the legal protection for workers who have retired but cannot receive pension benefits and to determine the suitability of retirement age for private workers registered in the pension security program. This essay uses normative juridical research method by using the approach used is the statute approach, conceptual approach, and case approach. Types of legal materials are primary legal materials and secondary legal materials. The legal material is then analyzed using prescriptive analysis techniques. The results of the research show that the Legal protection can be done by providing compensation to private workers whose payment of benefits is delayed due to not in accordance age of the Government Regulation Number 45 of 2015 concerning the Implementation of Pension security Programs. Retirement age in the PP is only the age when participants of the pension security program can get retirement benefits. While the retirement age when stopping work according to only determined based on collective labor agreements or company regulations, while in the provisions of legislation do not regulate the retirement age limit. Keywords: age limit, retirement, BPJS ketenagakerjaan PENDAHULUAN Jaminan sosial merupakan hak dari setiap orang untuk mendapatkan perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara dengan tujuan agar tercapainya taraf kesejahteraan yang baik. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 34 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945), menjelaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemudian pada ayat (3) menjelaskan bahwa negara bertanggung jawab untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang layak. Berdasarkan amanat dari UUD 1945 maka Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut UU SJSN). Sistem jaminan sosial nasional (SJSN) adalah salah satu program negara yang bertujuan untuk memberikan perlindungan mendasar dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Asih Eka Putri, 2014: 7). Melalui program ini, setiap rakyat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan, menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, ataupun pensiun. Berselang 7 (tujuh) tahun semenjak disahkannya UU SSJN, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disebut UU BPJS). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah suatu badan hukum yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang yang diberikan kewenangan dalam urusan penyelenggaran jaminan sosial. BPJS 171 merupakan bentuk representasi negara dalam mewujudkan hak konstitusional bagi warga negara atas jaminan sosial. BPJS terbagi menjadi 2 (dua), yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan). Menurut ketentuan dalam UU BPJS, perubahan-perubahan yang terkait setelah keberadaan BPJS adalah beralihnya Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) ke BPJS Ketenagakerjaan dan Program Asuransi Kesehatan (ASKES) ke BPJS Kesehatan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2014. Dengan beralihnya kewenangan terkait penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) ke BPJS Ketenagakerjaan tersebut, maka terdapat program baru yang dulunya tidak terdapat dalam Jamsostek yakni program jaminan pensiun. Dalam pelaksanaan program jaminan pensiun, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun (selanjutnya disebut PP Jaminan Pensiun). Program jaminan pensiun adalah program yang diberikan kepada pekerja yang telah memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap yang ditentukan berdasarkan penetapan dari dokter agar peserta mendapat kehidupan yang layak pada saat tidak bekerja lagi. Penerimaan manfaat dari program jaminan pensiun adalah ketika pekerja memasuki usia pensiun yang berupa uang tunai setiap bulannya sampai meninggal dunia. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam PP Jaminan pensiun bahwa usia pensiun adalah usia saat peserta mulai dapat menerima manfaat pensiun. Mengenai usia pensiun dijelaskan dalam bunyi Pasal 15 PP Jaminan pensiun yaitu: 1) Untuk pertama kali usia Pensiun ditetapkan 56 Analisis Yuridis Terkait Pengaturan Batas Usia.......... (lima puluh enam) tahun 2) Mulai 1 Januari 2019, Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi 57 (lima puluh tujuh) tahun 3) Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya bertambah 1 (satu) tahun untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya sampai mencapai Usia Pensiun 65 (enam puluh lima) tahun 4) Dalam hal Peserta telah memasuki Usia Pensiun tetapi yang bersangkutan tetap dipekerjakan, Peserta dapat memilih untuk menerima Manfaat Pensiun pada saat mencapai Usia Pensiun atau pada saat berhenti bekerja dengan ketentuan paling lama 3 (tiga) tahun setelah usia pensiun. Persoalannya adalah pengaturan terkait usia pensiun pada pekerja swasta. Ketentuan peraturan perundang- undangan di Indonesia yang mengatur batas usia pensiun hanya terdapat dalam beberapa sektor saja yaitu Tentara/Polisi, Pegawai Negeri Sipil, dan Hakim yang temuat dalam aturan profesi yang bersangkutan. Sedangkan peraturan yang berkenaan dengan pekerja swasta di atur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan). Dikatakan dalam bunyi Pasal 154 huruf (c) UU Ketenagakerjaan bahwa pemutusan hubungan kerja (Selanjutnya disebut PHK) dapat dilaksanakan tanpa memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, atau peraturan perundang-undangan ketentuan lainnya mengenai usia pensiun pekerja swasta adalah terkait PHK, dalam Pasal 167 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut: “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).” Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dipahami bahwa UU Ketenagakerjaan hanya memuat mengenai ketentuan PHK karena usia pensiun namun tidak mengatur batas usia pensiun. Selama ini batas usia pensiun didasarkan pada ketentuanketentuan yang menyangkut masa tuanya, seperti Peraturan Menteri Tenaga Kerja 172 Nomor PER-02/MEN/1995 tentang Usia Pensiun Normal dan Batas Usia Pensiun Maksimum bagi Peserta Peraturan Dana Pensiun (Selanjutnya disebut Permenaker Usia Pensiun). Dalam Pasal 2 Permenaker Usia Pensiun, dimuat bahwa usia pensiun normal adalah 55 tahun dan maksimum 60 tahun, tetapi itu hanya berlaku bagi peserta dana pensiun yang diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Selanjutnya disebut UUDP). Dengan pertimbangan bahwa batas usia pensiun hanya didasarkan pada perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan tersebut maka akan timbul perbedaan dalam menentukan batas usia pensiun di antara masing-masing perusahaan. Salah satu contoh kasus mengenai tidak jelasnya aturan mengenai batas usia pensiun salah satunya di alami oleh Partini dan Tasri (Selanjutnya disebut penggugat). Penggugat merupakan karyawan di bagian produksi pada PT. Titani Alam Semesta (Selanjutnya disebut tergugat) yang bergerak di bidang industri pangan dan berlokasi di Jl. Raya Tenaru No. 18, Driyorejo, Gresik. Awal mula terjadinya perselisihan dikarenakan penggugat yang telah berusia 58 tahun merasa dirinya sudah tidak dapat melakukan pekerjaan secara maksimal akibat faktor usia dan telah mengajukan permohonan tertulis kepada tergugat untuk segera dipensiunkan. Tergugat memberikan jawaban atas permohonan tersebut dengan alasan bahwa untuk masalah pensiun masih harus menunggu perjanjian kerja bersama (PKB) yang masih dalam proses penyelesaian. Penggugat merasa keinginannya untuk pensiun dipersulit oleh tergugat lantas mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial Gresik. Penggugat dalam surat gugatannya mendasarkan pada ketentuan Perjanjian kerja bersama (PKB) di PT. Titani Alam Semesta periode 2002-2005 yang menyatakan batas usia pensiun 55 tahun, Pasal 15 PP Jaminan Pensiun, dan Surat Anjuran Dinas Tenaga Kerja Gresik Nomor: 567/1989/437.58/2014 tertanggal 02 Oktober 2014 yang isi anjurannya agar perusahaan mengakhiri hubungan kerja bagi pekerja yang telah berusia 58 tahun. Pada putusan pengadilan hubungan industrial di Gresik dengan Nomor: 14/Pdt.Sus-PHI.G/2015/PN.Gsk, Majelis Hakim menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima dengan alasan bahwa isi dari Surat Anjuran Dinas Tenaga Kerja Gresik Nomor: 567/1989/437.58/2014 tertanggal 02 Oktober 2014 tersebut tidak diperuntukkan kepada para penggugat karena isi anjuran tidak sesuai dengan usia penggugat saat mediator memberikan anjuran atas perselisihan tersebut. Jurnal Novum, Volume 05, Nomor 01, Januari Tahun 2018, Hal 170-179 Dengan adanya perbedaan pengaturan perbedaan batas usia pensiun di masing-masing perusahaan, serta tidak adanya pengaturan mengenai batas usia pensiun bagi pekerja swasta, maka akan timbul permasalahan mengenai manfaat dari jaminan pensiun. Dalam PP Jaminan pensiun tidak terdapat klausula yang menyatakan bahwa batas usia pensiun bagi setiap perusahaan harus mengacu pada ketentuan peraturan pemerintah tersebut. Peserta yang telah mencapai usia pensiun menurut perjanjian kerja pada perusahaan namun menurut PP Jaminan pensiun belum mencapai usia pensiun untuk memperoleh manfaat program jaminan pensiun. Permasalahan yang muncul berdasarkan penjelasan tersebut adalah berkenaan dengan bagaimana perlindungan hukum bagi pekerja yang terdaftar dalam program jaminan pensiun dan telah pensiun namun tidak dapat mencairkan manfaat karena usia pensiun berjenjang dalam PP Jaminan Pensiun, serta bagaimana seharusnya pengaturan hukum terkait batas usia pensiun pekerja pada ketentuan peraturan perundangundangan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja yang telah pensiun namun tidak dapat mencairkan manfaat dari keikutsertaan dalam program jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan karena usia pensiun berjenjang dalam PP Jaminan Pensiun, serta mengetahui dan menganalisis mengenai seharusnya pengaturan hukum terkait batas usia pensiun pekerja pada ketentuan peraturan perundangundangan di Indonesia. Kajian teoritik dalam penelitian ini antara lain, pertama yaitu tinjauan umum mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang berisikan sejarah, ruang lingkup, dan perbandingan BPJS Ketenagakerjaan dengan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kedua, tinjauan umum berkaitan tentang Hukum Ketenagakerjaan yang berisikan pengertian, sifat, sumber hukum ketenagakerjaan, pihakpihak dalam hukum ketenenagakerjaan, hubungan kerja, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, dan pemutusan hubungan kerja. Ketiga, tinjauan umum tentang Program Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan yang berisikan kepesertaan dan manfaat dari program jaminan pensiun. Keempat, tinjauan umum berkaitan dengan usia pensiun METODE Jenis penelitian dalam penelitian menggunakan penelitian hukum doktrinal yang biasa disebut penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian 173 yang menghasilkan secara sistematis aturan yang mengatur kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara aturan-aturan tertentu, menjelaskan bidang yang sulit, dan mungkin memprediksi perkembangan yang akan datang (Peter Mahmud, 2016: 32-33). Penelitian ini memfokuskan kepada usia penerimaan manfaat dari program jaminan pensiun yang berjenjang sedangkan batas usia pensiun bagi pekerja swasta yang belum ada pengaturannya. Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder (secondary data) yang terdiri atas Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Non- Hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu studi penelitian hukum (legal research), yang berarti mengumpulkan secara keseluruhan bahan hukum sesuai dengan pendekatan dalam penelitian hukum. Pengumpulan bahan hukum dengan cara inventarisasi dan identifikasi secara sistematis bahan hukum primer, melakukan studi kepustakaan terhadap bahan hukum sekunder dan bahan non-hukum yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Teknik pengolahan bahan hukum dilakukan dalam penelitian ini dengan melalui beberapa tahap untuk mendapatkan pandangan yang jelas yaitu, dengan cara pertama menyeleksi data bahan hukum, selanjutnya diklasifikasikan, dan kemudian terakhir melakukan penyusunan secara sistematis dan secara logis. Teknik analisa bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode preskriptif. Metode preskriptif adalah suatu kegiatan penafsiran keseluruhan bahan hukum yang ada, kemudian di analisa sesuai dengan sudut pandang yang akurat. Penggunaan metode ini bertujuan untuk menguraikan dan menganalisis permasalahan hukum yang diteliti, kemudian memberikan argumentasi kepada permasalahan tersebut (Mukti Fajar, 2013: 180-183). HASIL DAN PEMBAHASAN Program jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan secara konseptual digunakan untuk melindungi seseorang yang ketika tidak bekerja lagi karena memasuki usia pensiun, cacat total tetap, atau meninggal dunia. Jaminan pensiun tersebut bersifat wajib dikarenakan sifat BPJS Ketenagakerjaan itu sendiri sebagai badan hukum publik yang menyelenggalarakan program jaminan pensiun, sehingga hal tersebut mengharuskan pemberi kerja untuk mengikutsertakan seluruh Analisis Yuridis Terkait Pengaturan Batas Usia.......... pekerjanya menjadi peserta BPJS. Usia pensiun memiliki pengaruh yang besar terhadap penerimaan manfaat dari keikutsertaan pada program jaminan pensiun. Dalam UU Ketenagakerjaan yang merupakan pedoman atau acuan aturan di bidang ketenagakerjaan tidak mengatur mengenai batas usia pensiun. Hal tersebut tentunya akan menjadi kerugian bagi pekerja itu sendiri antara lain tingkat produktivitas kerjanya menurun dan tingkat kesehatan menurun (rentan terkena penyakit). Kasus lainnya selain daripada yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan yang masih terkait dengan belum adanya pengaturan batas usia pensiun bagi pekerja swasta, antara lain dialami oleh Suparno yang bekerja sebagai tenaga teknik pada PT. Langgeng Makmur Industri yang berlokasi di jalan raya Surabaya-Mojokerto KM 19, Desa Bringinbendo, Kecamatan Taman, Sidoarjo. Suparno yang berusia hampir 64 tahun dan telah bekerja sejak Agustus 1976 itu awalnya mengalami kondisi kesehatan yang terus menurun, mudah lelah, serta kurangnya pendengaran dan penglihatan, sehingga memutuskan memohon kepada perusahaan untuk berhenti dari pekerjaannya. Permohonan yang diajukan oleh Suparno melalui serikat pekerja tidak mendapatkan tanggapan dari pihak perusahaan. Setelah dua kali mengajukan permohonan dan tidak mendapatkan tanggapan sama sekali, Suparno melaporkan kejadian tersebut kepada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo. Upaya mediasi dilakukan, kemudian Dinas Sosial dan Tenaga Kerja menganjurkan kepada perusahaan agar Suparno segera dipensiunkan. Kendati telah mendapatkan anjuran tersebut, perusahaan tetap enggan untuk memberhentikan Suparno dari pekerjaannya, Suparno lantas mengajukan Permohonan Percatatan Perselisihan Hubungan Industrial Kabupaten Sidoarjo. Pada putusan dengan Nomor: 37/G/2016/PHI.Sby tanggal 13 Juni 2016, Majelis hakim membacakan putusan yang pada intinya menyatakan bahwa putus hubungan kerja diantara kedua belah pihak dengan mendasarkan pada Pasal 15 PP Jaminan Pensiun. Kontradiksi diantara kedua kasus tersebut menjelaskan bahwa Peraturan Perundang-undangan di Indonesia belum mengatur mengenai batas usia pensiun bagi pekerja swasta. Hal tersebut akan memberikan dampak kepada penerimaan manfaat program jaminan pensiun. Usia pensiun pada Pasal 154 huruf (c) UU Ketenagakerjaan bahwa disepakati menurut perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan, atau peratuan perundang-undangan. Hal tersebut 174 akan memunculkan perbedaan pengaturan usia pensiun pada masing-masing perusahaan sehingga berdampak kepada pengajuan klaim atau penerimaan dari manfaat jaminan pensiun dikarenakan belum adanya pengaturan mengenai batas usia pensiun, sementara penerimaan manfaat pensiun yang mengalami peningkatan 1 (satu) tahun atau berjenjang setiap 3 (tiga) tahunnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 PP Jaminan Pensiun. Dampak yang ditimbulkan adalah akan adanya jarak apabila pekerja telah pensiun menurut perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan tetapi belum dapat mencairkan manfaat dari program jaminan pensiun karena usianya berbeda dengan usia memperoleh manfaat jaminan pensiun pada Pasal 15 PP Jaminan Pensiun. Batas usia pensiun dan usia pensiun merupakan suatu hal yang berbeda. Pekerja swasta yang telah memasuki usia pensiun memang boleh untuk tetap dipekerjakan dan perusahaan tidak menyalahi aturan. Peraturan perundang- undangan di Indonesia memang tidak mengaturnya, namun bilamana tidak ada batasan dari usia pensiun maka sampai kapan pekerja akan secara terus-menerus bekerja. Pekerja yang telah memasuki usia tua sudah seharusnya dapat menikmati masa-masa tuanya dan merasakan hasil dari jerih payahnya dalam bekerja selama ini. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja yang Pensiun namun Tidak Dapat Mencairkan Manfaat pensiun BPJS Ketenagakerjaan Perlindungan hukum pada umumnya diberikan untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum. Terjadinya hubungan hukum antara BPJS Ketenagakerjaan dengan pemberi kerja dan pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan diwujudkan dalam bentuk kepesertaan para pekerja dalam perlindungan yang ditandai dengan diberikannya Kartu BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini ketika perusahaan mendaftarkan pekerjanya untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan maka telah timbul hubungan hukum di antara para pihak serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Berikut ini merupakan pengertian dari perlindungan hukum menurut Satjipto Raharjo, yaitu: “Perlindungan hukum adalah suatu bentuk pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan untuk masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum” (Satjipto Raharjo, 2000: 55). Kesimpulan dari hal tersebut, bahwa perlindungan hukum dalam arti sempit adalah Jurnal Novum, Volume 05, Nomor 01, Januari Tahun 2018, Hal 170-179 sesuatu yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Dapat dipahami bahwa fungsi dari adanya hukum jaminan sosial adalah untuk melindungi rakyat dan pada prinsipnya penyelenggaraan program jaminan pensiun ditujukan agar pekerja dapat mempertahankan kehidupan yang layak apabila tidak bekerja lagi. Dengan merujuk pendapat dari Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan hukum ada 2 (dua) macam, yaitu (1) Sarana Perlindungan Hukum Preventif yang mana pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah untuk mencegah agar tidak terjadi sengketa. (2) Sarana Perlindungan Hukum Represif yang mana perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini (Philipus M. Hadjon, 1987: 4-5). Bentuk Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan hukum secara preventif yang dapat diberikan dalam bidang jaminan sosial khususnya terkait permasalahan yang diakibatkan karena adanya tenggang waktu untuk dapat mencairkan manfaat dari program jaminan pensiun dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu, (1) Dengan memberikan kompensasi terlebih dahulu kepada peserta jaminan pensiun yang telah pensiun sebelum mencapai usia pensiun dalam PP Jaminan Pensiun. Tujuan dari adanya kompensasi ini berkaitan agar pekerja dapat tetap memenuhi kebutuhan hidup layaknya ketika berhenti bekerja meskipun masih belum dapat melakukan pencairan terkait manfaat jaminan pensiun. Konsekuensinya maka akan bertentangan dengan konsep jaminan pensiun, karena konsep manfaat jaminan pensiun bersifat langsung. (2) Konsep negara kesejahteraan yang dianut oleh Indonesia mengandung makna bahwa negara memiliki peran untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, sehingga setiap rakyat berhak mendapat kesempatan untuk memenuhi kehidupan yang layak. Walter Friedlander dalam Rukminto Adi mengatakan, kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari institusi dalam pelayanan sosial yang di rancang untuk membantu individu atau kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan (Isbandi Rukminto Adi, 1994:4). Bilamana dihadapkan dengan regulasi usia pensiun yang 175 menimbulkan perbedaan antara UU Ketenagakerjaan dengan PP Jaminan pensiun, maka hal tersebut bertentangan dengan konsep negara kesejahteraan. Keadaan tersebut menjadikan pekerja tidak dapat memperoleh manfaat jaminan pensiun ketika berhenti bekerja karena mencapai usia pensiun, hal tersebut tentu akan mengancam kesempatan untuk mendapat kehidupan yang layak ketika berhenti bekerja. Pengusaha selama ini berpedoman pada UU Ketenagakerjaan dalam menentukan usia pensiun bagi pekerjanya, meskipun sebenarnya dalam UU Ketenagakerjaan tidak mengatur dengan jelas pada usia berapakah pekerja akan pensiun. Sudah sewajarnya dalam hal ini Pemerintah dan DPR turun tangan untuk dapat menyelesaikan problematika dengan merevisi UU Ketenagakerjaan dan memasukkan usia berapakah pekerja akan pensiun yang mana dapat mengacu kepada Pasal 15 PP Jaminan Pensiun karena berkaitan dengan Program jaminan pensiun bagi pekerja yang wajib untuk diikuti, serta memasukkan sanksi agar pengusaha dapat mematuhi ketentuan tersebut. Bentuk Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum secara represif yang berkaitan dengan telah terjadinya sengketa pada program jaminan pensiun akan diselesasaikan melalui beberapa cara sebagai berikut, pertama, penyelesaian Melalui Pengaduan, penyelesaian permasalahan antara peserta dan BPJS dapat melalui pengaduan. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 48 ayat (1) UU BPJS yang menyatakan bahwa BPJS wajib untuk membentuk unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan dari peserta BPJS (pekerja maupun pemberi kerja). Kemudian pada Pasal 48 ayat (2) UU BPJS menjelaskan bahwa BPJS wajib menangani pengaduan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pengaduan tersebut. Kedua, penyelesaian melalui mediasi merupakan salah satu dari bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat dilakukan oleh peserta BPJS (BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan) apabila penyelesaian melalui mediasi tidak memperoleh penyelesaian. Gary Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan (Gary Goopaster, 1999:201). Penyelesaian melalui mediasi ini dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. Secara khusus, pengaturan mediasi di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ketiga, penyelesaian Melalui Pengadilan, Analisis Yuridis Terkait Pengaturan Batas Usia.......... penyelesaian sengketa antara peserta BPJS dengan pihak BPJS melalui pengadilan ini dapat dilakukan setelah upaya penyelesaian melalui unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan peserta melalui mekanisme mediasi tidak dapat terlaksana atau terselesaikan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan upaya penyelesaian terakhir yang dapat dilakukan bagi peserta maupun BPJS Ketenagakerjaan. Ketentuan terkait penyelesaian melalui pengadilan terdapat dalam Pasal 50 UU BPJS yang berbunyi sebagai berikut “Dalam hal pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan Peserta melalui mekanisme mediasi tidak dapat terlaksana, penyelesaiannya dapat diajukan ke pengadilan negeri di wilayah tempat tinggal pemohon.” Dari penjelasan bunyi pasal tersebut, dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa antara peserta dengan BPJS (BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan) dilakukan pada pengadilan negeri di wilayah tempat tinggal pemohon (penggugat). Dalam hukum perdata, dikenal adanya 2 (dua) macam perkara yaitu perkara permohonan (voluntair) dan perkara sengketa (contentiosa). Perkara permohonan merupakan perkara yang bersifat sepihak yaitu semata-mata untuk kepentingan pemohon, sedangkan perkara sengketa merupakan perkara yang muncul karena adanya perselisihan di antara para pihak (Yahya Harahap, 2008:46). Perkara yang terjadi antara peserta BPJS dengan BPJS dapat dipahami merupakan bentuk perkara sengketa (contentiosa), karena telah tersebut dalam judul BAB XII Bagian ketiga UU BPJS menyebutkan “Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan” dan perkara tersebut merupakan perselisihan diantara kedua belah pihak yaitu peserta BPJS dan pihak BPJS (BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan). Timbulnya sengketa dalam penyelenggaraan jaminan sosial dapat terjadi antara perserta dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), apabila peserta telah memenuhi kewajibannya berupa iuran berupa sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta pada program jaminan sosial ketenagakerjaan ternyata tidak mendapatkan haknya. Pelanggaran terhadap hak atas salah satu pihak yang terlibat dalam sengketa antara peserta dengan BPJS (BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan) merupakan bentuk pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan (Andika Wijaya, 2018:191). Hal tersebut dikarenakan jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan berbeda dengan asuransi swasta, pada jaminan sosial BPJS 176 Ketenagakerjaan mengenai hak dan kewajiban telah diatur dalam peraturan perundangundangan yang terkait, sedangkan pada program asuransi swasta mengenai hak dan kewajiban diatur dalam suatu perjanjian. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dasar gugatan dari sengketa antara peserta dengan pihak BPJS merupakan perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan cidera janji (wanprestasi) Pengaturan Hukum yang Seharusnya Berkaitan dengan Batas Usia Pensiun Pekerja pada Ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Pensiun adalah satu titik balik yang begitu signifikan dalam karir seseorang yang mana setidak-tidaknya telah menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktu hidup mereka untuk bekerja. Menurut Kasmir, Pensiun adalah hak seseorang untuk memperoleh penghasilan setelah bekerja sekian tahun dan sudah memasuki usia pensiun atau ada sebab-sebab lain sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan (Kasmir, 2012:289). Hubungan hukum yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha merupakan hubungan kerja yang terjadi karena adanya perjanjian kerja yang dilakukan oleh kedua pihak tersebut (Arinto Nugroho: 5). Pengakhiran hubungan kerja demikian, bilamana perjanjian kerja berakhir atau diakhiri, maka dengan sendirinya hubungan hukum yang terjadi antara pekerja dan pengusaha juga dengan sendirinya akan ikut berakhir. Dengan berakhirnya hubungan kerja menyebabkan hak dan kewajiban yang selama ini dimiliki oleh para pihak yaitu pekerja dan pengusaha akan ikut berakhir sehingga sejak saat itulah terjadi keadaan yang dinamakan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK), UU Ketenagakerjaan mengenal adanya 4 (empat) pemutusan hubungan kerja (PHK), yaitu (1) Pemutusan hubungan kerja (PHK) demi hukum, (2) Pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pekerja, (3) Pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha, (4) Pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengadilan. Berakhirnya hubungan kerja yang dikarenakan pekerja telah mencapai batas usia pensiun merupakan pemutusan hubungan kerja (PHK) demi hukum. Hal tersebut dikarenakan perjanjian kerja merupakan perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh pekerja dan pengusaha mengenai hak-hak dan kewajiban dari masing- masing pihak. Pasal 1320 KUHPerdata menjelaskan bahwa syaratsyarat sahnya perjanjian, antara lain: 1) Adanya kesepakatan 2) Para pihak telah cakap secara hukum untuk Jurnal Novum, Volume 05, Nomor 01, Januari Tahun 2018, Hal 170-179 membuat perjanjian 3) Suatu hal tertentu 4) Klausa yang halal Berkenaan dengan syarat pertama dan kedua yang merupakan syarat subyektif, sehingga bilamana tidak memenuhinya maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dalam hal ini dimintai pembatalan. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif, sehingga bila bertentangan dengan apa yang dipersyaratkan maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Kemudian dengan mengacu pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menjelaskan “semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang- undanghbagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa perjanjian kerja berlaku seperti undang-undang bagi pekerja dan pengusaha. Bilamana pekerja pensiun dengan mengacu pada batas usia pensiun yang telah disepakati dalam perjanjian kerja, maka kejadian tersebut dapat dikategorikan sebagai pemutusan hubungan kerja (PHK) demi hukum. Fakta yang terjadi ternyata berbeda dengan yang diharapkan, batas usia pensiun seringkali tidak diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, ataupun peraturan perusahaan. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa tercapainya batas usia tertentu menjadi salah satu penyebab atau alasan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan kata lain, dalam peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan tidak ada ketentuan mengenai batasan usia tertentu seseorang pekerja/buruh mencapai batasan usia pensiun sebagai saat berakhirnya hubungan kerja. Batas usia pensiun pada awalnya merupakan keadaan yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja demi hukum maka akan berganti menjadi pemutusan hubungan kerja yang dilakukanholeh pekerja itu sendiri. Salah satu alasan pengusaha tidak mencantumkan usia untuk pensiun bagi pekerja dapat dipahami karena pengusaha enggan untuk membayar uang pesangon bagi pekerjanya tersebut. Hal tersebut dikarenakan pada pemutusan hubungan kerja (PHK) demi hukum, pekerja memiliki hak untuk mendapatkan uang pesangon dan pengusaha memiliki kewajiban untuk membayarnya. Sedangkan pada pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pekerja, pengusaha tidak memiliki kewajiban untuk membayar uang pesangon dan pekerja tidak memiliki hak untuk memintanya karena telah mengajukan pengunduran diri. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa “Tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap- lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan”. (Sudikno 177 Mertokusumo, 2007: 37) Berdasarkan pendapat tersebut, maka sudah seharusnya untuk menemukan hukum apabila dalam suatu peraturan perundangundangan belum mencakup suatu permasalahan tertentu. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, menjelaskan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai berikut (1) Undang- Undang Dasar NRI 1945, (2) Ketetapan MPR, (3) Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), (4) Peraturan Pemerintah, (5) Peraturan Presiden, (6) Peraturan Daerah Provinsi, (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan penjelasan terkait usia pensiun pada beberapa peraturan perundangundangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa batas usia pensiun bagi pekerja swasta di Indonesia memang belum di atur dalam peraturan perundang-undangan (Kaidah Heteronom). Apabila merujuk kepada salah satu jenis metode penemuan hukum yaitu konstruksi hukum tepatnya dengan menggunakan salah satu metode konstruksi hukum yaitu argumentum per analogium, yang mana diartikan untuk mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik telah diatur dalam Undang-Undang maupun yang belum ada peraturannya (Sudikno Mertokusumo, 2007: 56). Bilamana dikaitkan dengan penentuan batas usia pensiun bagi pekerja swasta, maka dapat mempergunakan dan memperluas ketentuan isi dalam Pasal 15 PP Jaminan Pensiun karena berkaitan dengan hak-hak pekerja saat menerima manfaat pensiun sebagai bentuk perlindungan hukum preventif apabila terjadi ketidaksesuaian usia pensiun berhenti bekerja dengan usia pensiun untuk menerima manfaat jaminan pensiun. Manakala pengusaha tidak mempergunakan ketentuan Pasal 15 PP Jaminan Pensiun sebagai penentuan usia pensiun di perusahaanya maka tidak dapat diberikan suatu sanksi. Hal tersebut didasari karena memang tidak adanya paksaan atau sanksi apabila tidak mengikuti usia pensiun yang berada dalam Pasal 15 PP Jaminan pensiun, sehingga perlu adanya peran bagi Pemerintah untuk menengahi problematika ini dengan merevisi sejumlah aturan terkait dengan batas usia pensiun bagi pekerja swasta. Revisi atas suatu Undang-Undang dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pertama, mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) melalui program legislasi nasional (selanjutnya disebut prolegnas) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Selanjutnya disebut DPR) dan kedua, pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (PERPU) oleh Presiden. Cara yang kedua tersebut hanya dapat dilakukan apabila dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, ketentuan tersebut tercantum dalam Analisis Yuridis Terkait Pengaturan Batas Usia.......... Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 angka (4) UU Pembentukan Perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi telah memberikan penafsiran terhadap kegentingan yang memaksa dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ada 3 (tiga) syarat terkait kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksudi oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 angka (4) UU Pembentukan Perundangundangan, yaitu pertama, adanya suatu keadaan yang mendesak untuk dapat menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada (kekosongan hukum) atau ada Undang-Undang tetapi masih belum memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebuti tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian terkait penyelesaiannya. Berdasarkan ketiga syarat tersebut, bilamana dikaitkan dengan problematika batas usia pensiun bagi pekerja maka tidak dapat dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (PERPU). Hal tersebut dikarenakan syarat pertama dan syarat ketiga tidak terpenuhi. Berkaitan dengan syarat pertama yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk dapat menyelesaikan masalah hukum secara cepat, pada permasalahan batas usia pensiun masih belum mendesak karena masih dapat diselesaikan dengan mengacu kepada Peraturan lainnya yang berkaitan dengan masa tua bagi pekerja misalnya PP Jaminan Hari Tua dan PP Jaminan Pensiun. Sedangkan berkaitan dengan syarat ketiga yaitu kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan membuat Undang-Undang karena memerlukan waktu yang lama, pada permasalahan terkait kekosongan hukum batas usia pensiun bagi pekerja dapat diatasi dengan membuat Undang-Undang atau merevisi Undang-Undang yang lama. Hal tersebut dikarenakan Program jaminan pensiun yang baru dimulai pada 1 juli 2015 tergolong masih baru bagi pekerja, sehingga bilamana dilakukan upaya untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan jalan membuat Undang-Undang baru atau merevisi ketentuan UU Ketenagakerjaan yang lama masih dapat terselesaikan. Dengan jalan tersebut diharapkan pada masa mendatang keberlangsungan program jaminan pensiun dapat dirasakan secara langsung ketika pekerja berhenti dari perusahaan. Kendati demikian, diharapkan mulai dari sekarang diharapkan Pemerintah dan DPR untuk dapat segera membahas untuk merevisi aturan dalam UU Ketenagakerjaan. Alasan yang berkaitan dengan UU Ketenagakerjaan yang harus segera direvisi dan bukannya PP Jaminan pensiun adalah berkaitan 178 dengan susunan hierarki peraturan perundangundangan dan sanksi yang akan diberikan. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan Perundang-undangan, Undang-Undang berada di tingkat ketiga, yang mana dibawah UUD 1945 dan Ketetapan MPR sehingga kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah yang hanya sebatas peraturan pelaksana dari UndangUndang. Kemudian dalam Undang-Undang dapat dimasukkan sanksi pidana, berbeda dengan Peraturan Pemerintah yang tidak dapat memuat sanksi pidana. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Pembentukan Perundang-undangan, ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalami UndangUndang dan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diusulkan baik oleh DPR selaku Lembaga legislatif dan Presiden selaku eksekutif yang mana diwakilkan dengan kementerian atau Lembaga yang sesuai dengan lingkupi tugas dan tanggungi jawabnya (Pemerintah). Secara garis besar dan dengan mengacu pada Pasal 1 angka (1) UU Pembentukan perundang-undangan tersebut, maka perubahan atas suatu materi dalam Undang-Undang melalui beberapa tahapan yaitu Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan, Pengesahan, dan Pengundangan. Setelah melalui proses atau tahapantahapan tersebut, maka RUU hasil prolegnas tersebut telah menjadi Undang-Undang dan berlaku setelah. Revisi UU Ketenagakerjaan telah masuk ke dalam Prolegnas 2015- 2019 dengan urutan ke-123 yang diusulkan oleh Pemerintah, sehingga dalam hal ini Pemerintah untuk mempertimbangan permasalahan terkait usia pensiun bagi pekerja. Proses yang dilalui dalam Prolegnas tentu tidak selamanya berjalan dengan lancar, hambatan-hambatan akan muncul dalam proses prolegnas tersebut. Hambatan tersebut dapat dipahami sebagai berikut (1) Jumlah Rencana Legislasi baik jumlah rencana legislasi yang diusulkan untuk Prolegnas Jangka Menengah maupun Tahunan memang sangat banyak untuk dimasukkan ke dalam prolegnas sehingga menyebabkan proses tersebut berlangsung lama untuk dapat diselesaikan selama lima tahun. (2) Tidak ada jaminan bahwa selama lima tahun tidak akan muncul lagi rencana legislasi baru baik yang diusulkan DPR maupun Pemerintah. Kemudian faktor berat ringannya substansi RUU akan sangat mempengaruhi proses pembahasan, apabila susbtansi RUU tergolong berat maka pembahasannya akan berlangsung dalam jangka yang lama. (3) Pembahasan suatu RUU akan lebih mudah apabila naskah RUU tersebut telah melalui proses penyusunan dan perancangan yang baik dan sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang baku. Dengan begitu ketika tahap pembahasan di DPR tidak perlu lagi menyangkut dan Jurnal Novum, Volume 05, Nomor 01, Januari Tahun 2018, Hal 170-179 memperdebatkan persoalan titik koma serta pencarian asas dan kaidah dalam RUU tersebut. PENUTUP Simpulan Konsep usia pensiun yang terus berjenjang dalam PP Jaminan pensiun dan konsep usia pensiun dalam UU ketenagakerjaan adalah suatu hal yang berbeda. Perlindungan hukum bagi pekerja yang dapat diberikan terbagi menjadi perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif yang dilakukan adalah memberikan kompensasi dan melakukan revisi atas UU Ketenagakerjaan dengan memasukkan sanksi. Sedangkan perlindungan hukum represif yang dilakukan adalah menyelesaikan permasalahan melalui pengaduan, mediasi, dan pengadilan. Konsep usia pensiun PP Jaminan pensiun hanya terbatas usia pada saat timbulnya manfaat jaminan pensiun, sedangkan konsep usia pensiuni UU Ketenagakerjaan adalah usia saat pekerja diberhentikan oleh perusahaan baik atas permintaan atau sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan Ketentuan usia pensiun bagi pekerja swasta di Indonesia masih belum ada pengaturannya sehingga menjadikan pekerja seringkali mengalami kerugian akibat hal tersebut. Selama ini ketentuan mengenai usia pensiun saling berbeda pada masing-masing perusahaan melalui perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan (Kaidah otonom). Pengusaha dan perusahaan dalam menetapkan usia pensiun seringkali menafsirkan peraturanperaturan yang berkaitan dan relevan dengan masa tua pekerja. Pengaturan usia pensiun bagi pekerja sudah seharusnya diatur dengan jelas dan tegas dalam suatu Undang- Undang (kaidah heteronom), karena dengan Undang- Undang maka perusahaan maupun pengusaha dapat diberikan sanksi apabila tidak mematuhinya. Saran Saran dan masukan kepada Pemerintah dan DPR yaitu untuk segera melakukan revisi atas UU Ketenagakerjaan. Revisi atas UU Ketenagakerjaan memang telah dimasukkan ke dalam Program legislasi nasional (Prolegnas) 2015-2019 nomor ke-123, sudah seharusnya Pemerintah dan DPR mempertimbangkan untuk memasukkan ketentuan batas usia pensiun dan memuat sanksi yang tegas apabila ada perusahaan yang tidak mematuhinya. Revisi ini dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan terkait ketidaksesuaian usia pensiun bagi pekerja yang berakibat tertundanya penerimaan manfaat dari program jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan. DAFTAR PUSTAKA Adi, Isbandi Rukminto. 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu 179 Kesejahteraan Sosial: Dasar- dasar Pemikiran. Jakarta: PT Raja Grafindo Darmawan, Heru dan Nugroho, Arinto. 2018. Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No.05/WJM/I/2016 yang tidak Mencantumkan Klausul Jaminan Sosial yang Berakibat Tidak Ada Tanggung Jawab PT. Jaya Wahyu Mandiri Terhadap Martono saat Terjadi Kecelakaan Kerja. Jurnal Novum Unesa: Vol. 1, No. 1 Fajar, Mukti dan Yulianto, Achmad. 2013. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Goopaster, Gary. 1999. Panduan Negosiasi dan Mediasi. Jakarta: ELIPS Project Hadjon, Philipus M. 1987. Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu. Harahap, M. Yahya. 2008. Hukum Acara Perdata, Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. Kasmir. 2012. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya.Jakarta: Raja Grafindo Putri, Asih Eka. 2014. Paham SJSN: Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta: CV Komunitas Pejaten Mediatama. Marzuki, Peter Mahmud. 2016. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Mertokusumo, Sudikno. 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Nugroho, A, E. Sulistyowati, N. Hikmah. 2017. A Juridical Review of Partnership Agreements That Have The Elements of Work Agreements in Indonesia. Series 953 012169 doi: 10.1088/17426596 Raharjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Wijaya, Andika. 2018. Hukum Jaminan Sosial Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika