Uploaded by wiwidarianti1999

274978533-Pengertian-Ruang-Terbuka-docx

advertisement
Pengertian Ruang Terbuka
Ruang terbuka (Open Space) merupakan ruang terbuka yang selalu terletak di luar
massa bangunan yang dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh setiap orang serta
memberikan kesempatan untuk melakukan bermacam-macam kegiatan. Yang dimaksud
dengan ruang terbuka antara lain jalan, pedestrian, taman lingkungan, plaza, lapangan
olahraga, taman kota dan taman rekreasi (Hakim, 2003 : 50).
Menurut Lao Tze adalah bukan hanya sesuatu yang dibatasi secara fisik oleh lantai,
dinding dan langit-langit, tetapi “kekosongan” yang terkandung di dalam bentuk
pembatas ruang tadi (ITS, 1976 : 9).
Ruang terbuka ini terbentuk karena adanya kebutuhan akan perlunya tempat untuk
bertemu atau berkomonikasi satu sama lain. Dalam satu kawasan permukiman baik
yang tradisional maupun permukiman kota sering kita jumpai sebuah alahan kosong
yang dijadikan sebagai ruang bersama bagi penghuni yang ada disekitarnya dengan
jarak radius tertentu (Bappeda Tk. I Bali , 1992 : 28).
Macam-macam Bentuk Ruang Terbuka
Ruang terbuka sebagai wadah kegiatan bersama, dapat dibedakan menjadi dua
kelompok besar, yaitu
(Hakim, 2003 : 50) :
1. Ruang Terbuka Umum, dapat diuraikan menjadi berikut :
· Bentuk dasar dari ruang terbuka selalu terletak diluar massa bangunan
· Dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh setiap orang (warga)
· Memberi kesempatan untuk bermacam-macam kegiatan (multi fungsi).
Contoh ruang terbuka umum adalah jalan, pedestrian, taman lingkungan, plaza lapangan
olahraga, taman kota dan taman rekreasi.
2. Ruang Terbuka Khusus, pengertiannya adalah sebagai berikt:
· Bentuk dasar ruang terbuka selalu terletak di luar massa bangunan.
· Dimanfaatkan untuk kegiatan terbatas dan dipergunakan untuk keperluan khusus/
spesifik.
Contoh ruang terbuka khusus adalah taman rumah tinggal, taman lapangan upacara,
daerah lapangan terbang, dan daerah untuk latihan kemiliteran.
Ruang terbuka ditinjau dari kegiatanya, menurut kegiatannya ruang terbuka
terbagi atas dua jenis ruang terbuka, yaitu ruang terbuka aktif dan ruang terbuka
pasif (Hakim, 2003 : 51) :
· Ruang terbuka aktif, adalah ruang terbuka yang mempunyai unsur-unsur kegiatan
didalamnya misalkan, bermain, olahraga, jala-jalan. Ruang terbuka ini dapat berupa
plaza, lapangan olahraga, tempat bermain anak dan remaja, penghijauan tepi sungai
sebagai tempat rekreasi.
· Ruang terbuka pasif, adalah ruang terbuka yang didalamnya tidak mengandung
unsur-unsur kegiatan manusia misalkan, penghijauan tepian jalur jalan, penghijauan
tepian rel kereta api, penghijauan tepian bantaran sungai, ataupun penghijauan daerah
yang bersifat alamiah. Ruang terbuka ini lebih berfungsi sebagai keindahan visual dan
fungsi ekologis belaka.
Fungsi Ruang Terbuka
Pada dasarnya fungsi ruang terbuka dapat dibedakan menjadi dua fungsi utama yaitu
(Hakim, 2003 : 52) :
· Fungsi Sosial
Fungsi sosial dari ruang terbuka anatar lain:
a. tempat bermain dan berolahraga;
b. tempat bermain dan sarana olahraga;
c. tempat komunikasi sosial
d. tempat peralihan dan menunggu;
e. tempat untuk mendapatkan udara segar
f. sarana penghubung satu tempat dengan tempat lainnya;
g. pembatas diantara massa bangunan;
h. sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk
membentuk kesadaran lingkungan;
i. sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan keindahan
lingkungan.
· Fungsi Ekologis
Fungsi ekologis dari ruang terbuka antara lain (ITS, 1976 :
a. penyegaran udara, mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro;
b. menyerap air hujan;
c. pengendali banjir dan pengatur tata air;
d. memelihara ekosistem tertentu dan perlindungan plasma nuftah;
e. pelembut arsitektur bangunan.
Contoh perilaku manusia pada open space plaza :
Plaza Cihampelas Walk
Cihampelas Walk merupakan sebuah pusat perbelanjaan di Bandung yang didesain
mengikuti konsep pusat-pusat perbelanjaan di Eropa dan Amerika yang sedang diminati
yaitu konsep open mall. Awalnya CiWalk dibangun dengan tiga massa bangunan utama
yang membentuk koridor dan plaza di antaranya. Namun, saat ini sudah banyak
bangunan baru dengan gaya futuristik yang ditambahkan di sekitarnya.
Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang plaza utama CiWalk. Plaza ini
menjadi pusat aktivitas karena letaknya di antara bangunan-bangunan pusat
perbelanjaan. Plaza utama ini merupakan plaza terluas dibandingkan plaza lainnya di
CiWalk.
Spatio Temporal
Sebuah plaza yang baik adalah yang dapat menampung dan mewadahi segala aktivitas
di dalamnya. Dengan aktivitas yang terjadi di dalamnya, maka sebuah space dapat
dikatakan sudah menjadi place (tempat yang memiliki ruh/spirit kehidupan). Di CiWalk,
plaza utamanya bisa dikategorikan pula sebagai spatio temporal, yaitu ruang yang bisa
digunakan untuk berbagai fungsi yang berganti-ganti. Pada momen tertentu, plaza
digunakan untuk kegiatan konser musik, bazar, dan pagelaran. Jika ada perayaan
tertentu, plaza pun difungsikan dan didesain dengan tema perayaan tersebut, misalnya
Lebaran, Tahun Baru, dan Natal.
Dalam kondisi biasa (tidak ada event tertentu), plaza lebih banyak difungsikan sebagai
jalur lalu lalang yang hanya dilalui pengunjung untuk masuk ke dalam bangunan pusat
perbelanjaannya.
Aktivitas Manusia
Banyak sekali aktivitas yang dapat dilakukan di plaza ini. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, di plaza ini sering diadakan konser, bazar, pameran, festival, dan lain
sebagainya. Pada momen-momen tersebut, biasanya plaza dirancang sesuai dengan
konsep acaranya masing-masing. Sedangkan jika tidak ada acara khusus yang
berlangsung, plaza ini biasanya berfungsi sebagai jalur sirkulasi, tempat menunggu
orang, dan tempat duduk serta berdiskusi. Namun, terkadang open space ini kurang
direncanakan dengan baik sehingga kurang memberikan rasa nyaman bagi manusia
untuk melakukan aktivitas didalamnya.
Open Space Area Cihampelas Walk
Ruang Terbuka Hijau pada open space plaza
Keberadaan ruang terbuka hijau pada open space plaza sangatlah penting. Hal ini
dikarenakan RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya RTH,
maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam
hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang
paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang,
peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Maka dari itu,
keberadaan RTH ini pada open space plaza sangatlah penting, karena dapat melindungi
manusia yang sedang melakukan aktivitas di dalamnya seperti memberikan keteduhan
saat sedang berjalan, menunggu orang, dan saat duduk santai maupun berdiskusi.
Perilaku Manusia Pada Ruang Terbuka
Hijau
Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan
dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.
Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima,
perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai
sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu
tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan
sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi,
karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain.
Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur
oleh berbagai kontrol sosial. Dalam kedokteran perilaku seseorang dan keluarganya
dipelajari untuk mengidentifikasi faktor penyebab, pencetus atau yang memperberat
timbulnya masalah kesehatan. Intervensi terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam
rangka penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif.
Perilaku manusia dipelajari dalam ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi dan
kedokteran
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia

Genetika

Sikap – adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku
tertentu.

Norma sosial – adalah pengaruh tekanan sosial.

Kontrol perilaku pribadi – adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit
tidaknya melakukan suatu perilaku.

Ruang publik terbuka khususnya ruang terbuka hijau merupakan salah satu
kebutuhan masyarakat perkotaan saat ini dan itu menjadi paru-paru kota. Di
ruang publik terbuka itu, warga dapat bersosialisasi melalu berbagai
kegiatan seperti olahraga, bercengkerama, rekreasi, diskusi, pameran/bazar,
dan lainnya.Anak-anak mungkin bisa bermain dengan leluasa di bawah
teduhnya pohon-pohon yang rimbun. Singkatnya,ini menjadi tempat rekreasi
dan olahraga yang menyenangkan tanpa harus mengeluarkan biaya.

Di Jakarta, tepatnya di daerah Menteng masih memiliki banyak ruang
terbuka
publik
terbuka
misalnya
taman
bermain,
taman
kompleks
( perumahan ), dan taman rekreasi. Salah satu ruang terbuka hijau yang
masih bertahan hingga saat ini ialah Taman Suropati. Taman ini merupakan
salah satu taman yang sering didatangi oleh masyarakat baik pagi, siang,
maupun malam hari. Taman ini sering dipadati masyarakat karena banyak
orang mengatakan bahwa tempat ini asri, sejuk, dan tenang dibandingkan
dengan ruang public tetutup lainnya sehingga orang senang datang ke sini
untuk menikmati sejuknya tanaman yang ada di taman ini.

Jenis taman terbagi jadi 2 yaitu :
a. Taman aktif
Yang memiliki fungsi sebagai tempat bermain, dengan dilengkapi elemen-elemen
pendukung taman bermain antara lain ayunan, petung, dan sebagainya.
b. Taman pasif
Taman ini hanya sebagai elemen estetis saja, sehingga kebanyakan untuk menjaga
keindahan tanaman di dalam taman tersebut akan dipasang pagar di sepanjang sisi luar
taman.
Tiga nilai utama yang seharusnya dimiliki oleh ruang public agar menjadi ruang publik
yang baik ialah ;
a. Ruang yang responsive
Artinya ruang public didesain dan diatur untuk melayani kebutuhan pemakainya. Selain
itu ruang public menjadi suatu tempat menemukan hal-hal baru akan dirinya atau orang
lain. Pada ruang public masyarakat juga dapat menemukan ide-ide baru, sehingga dapat
dikatakan sebagai tempat mencari inspirasi.
b. Ruang yang demokratis
Ruang public harus dapat melindungi hak-hak kelompok pemakainya. Ruang public
dapat dipakai oleh semua kelompok dan memberikan kebebasan bertindak bagi
pemakainya sehingga untuk sementara mereka dapat memiliki ruang public tersebut. Ini
berarti pada suatu ruang public, seseorang dapat bebas melakukan apa saja yang
mereka inginkan tetapi tetap memperhatikan batasan ( norma ) yang berlaku sehingga
tidak mengganggu kebebasan orang lain.
c. Ruang yang mempunyai arti atau makna
Ruang public harus dapat memberikan pemakainya berhubungan kuat dengan ruang
public itu sendiri, kehidupan pribadinya, dan dunia yang lebih luas. Ruang public yang
memberikan arti seperti ini akan membuat masyarakat selalu ingin berkunjung ke sana
lagi.
Kualitas ruang public dapat ditinjau dari dua pokok segi yaitu segi fisik dan non fisik.
Beberapa criteria yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas seara fisik, antara lain :
§ Ukuran
Ruang terbuka yang ada harus sesuai dengan keputusan serta standar penyediaan
sarana yang ada. Contoh misalnya kebutuhan pedestrian ways yang baik ialah
sekitar2,5 sampai 4 meter sehingga pejalan kaki merasa bebas bergerak.
§ Kelengkapan sarana elemen pedukung
Kelengkapan saranan pendukung dalam suatu ruang public sangat menentukan kualitas
ruang tersebut. Beberapa kelengkapan pendukung dalam suatu ruang public khususnya
taman misalnya tempat duduk, papan anjuran, tempat sampah, dan lampu jalan atau
taman.
§ Desain
Desain dalam suatu ruang public akan menunjang fungsi serta aktivitas di dalamnya.
§ Kondisi
Kondisi suatu sarana lingkungan akan sangat menentukan terhadapa kualitas yang ada.
Di mana dengan kondisi sarana yang baik akan menunjang kenyamanan, keamanan,
dan kemudahan dalam menggunakan ruang public.
Sedangkan kualitas non fisik dapat dilihat melalui beberapa criteria, antara lain yaitu :
§ Kenyamanan ( comfort )
Yaitu ruang terbuka harus memiliki lingkungan yang nyaman serta terbebas dari
gangguan aktifitas di sekitarnya.
§ Keamanan dan keselamatan ( safety and security )
Yaitu terjamin keamanan dan keselamatan dari berbagai gangguan ( aktifitas lalu-lintas,
kriminalitas, dan lain-lain.
§ Kemudahan ( accessibility )
Yaitu kemudahan memperoleh pelayanan dan kemudahan akses transportasi untuk
menuju ruang public tersebut.
Seni taman sebagai bagian dari Arsitektur ialah suatu bagian dari bidang seni yang
berorientasi pada benda-benda hidup yang mempunyai evolusi yang tak henti-hentinya.
Arsitektur Lansekap adalah perpaduan antara pengetahuan arsitektur dan perencanaan
yang tidak hanya berbentuk gerombol penghijauan tapi juga meliputi pengerjaan konture,
pembentukan kolam air, perencanaan jalan-jalan, menciptakan kerja antara benda hidup
dan benda mati serta banyak lagi.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces)
suatu wilayah
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna
mendukung
manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota
tersebut yaitu
keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.
Berdasarkan bobot
kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi :
(a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan
(b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan
olah raga,
pemakaman, )
Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi
a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan
b) bentuk RTH jalur (koridor, linear),
Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi
a) RTH kawasan perdagangan,
b) RTH kawasan perindustrian,
c) RTH kawasan permukiman,
d) RTH kawasan pertanian,
e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah.
Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi
a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki
oleh
2 biropembangunan.acehprov.go.id
pemerintah (pusat, daerah), dan
b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.

Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan
yang rusak
adalah dengan pembangunan ruang terbuka hijau kota yang mampu memperbaiki
keseimbangan
ekosistem kota. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara membangun ruang terbuka hijau
yang memiliki
beranekaragam manfaat. Manfaat ruang terbuka hijau diantaranya adalah sebagai
berikut :
o Identitas Kota
Jenis tanaman dapat dijadikan simbol atau lambang suatu kota yang dapat dikoleksi
pada areal RTH.
Propinsi Sumatra Barat misalnya, flora yang dikembangkan untuk tujuan tersebut di atas
adalah Enau
(Arenga pinnata) dengan alasan pohon tersebut serba guna dan istilah pagar-ruyung
menyiratkan
makna pagar enau. Jenis pilihan lainnya adalah kayu manis (Cinnamomum burmanii),
karena
potensinya besar dan banyak diekspor dari daerah ini (Fandeli, 2004).
o Nilai Estetika
Komposisi vegetasi dengan strata yang bervariasi di lingkungan kota akan menambah
nilai keindahan
kota tersebut. Bentuk tajuk yang bervariasi dengan penempatan (pengaturan tata ruang)
yang sesuai
akan memberi kesan keindahan tersendiri. Tajuk pohon juga berfungsi untuk memberi
kesan lembut
pada bangunan di perkotaan yang cenderung bersifat kaku. Suatu studi yang dilakukan
atas keberadaan
RTH terhadap nilai estetika adalah bahwa masyarakat bersedia untuk membayar
keberadaan RTH
karena memberikan rasa keindahan dan kenyamanan (Tyrväinen, 1998).
o Penyerap Karbondioksida (CO2)
RTH merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting, selain dari fitoplankton, ganggang
dan rumput laut di samudera. Dengan berkurangnya kemampuan hutan dalam
menyerap gas ini sebagai
akibat menyusutnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran,
maka perlu dibangun
RTH untuk membantu mengatasi penurunan fungsi RTH tersebut. Jenis tanaman yang
baik sebagai
penyerap gas Karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen adalah damar (Agathis
alba), daun kupukupu
(Bauhinia
purpurea),
lamtoro
gung
(Leucaena
leucocephala),
akasia
(Acacia
auriculiformis), dan
beringin (Ficus benjamina). Penyerapan karbon dioksida oleh RTH dengan jumlah
10.000 pohon
berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun
(Simpson and
McPherson, 1999).
o Pelestarian Air Tanah
Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan mengurangi
tingkat erosi,
menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan kondisi air tanah. Pada musim
hujan laju aliran
permukaan dapat dikendalikan oleh penutupan vegetasi yang rapat, sedangkan pada
musim kemarau
3 biropembangunan.acehprov.go.id
potensi air tanah yang tersedia bisa memberikan manfaat bagi kehidupan di perkotaan.
RTH dengan
luas minimal setengah hektar mampu menahan aliran permukaan akibat hujan dan
meresapkan air ke
dalam tanah sejumlah 10.219 m3 setiap tahun (Urban Forest Research, 2002).
o Penahan Angin
RTH berfungsi sebagai penahan angin yang mampu mengurangi kecepatan angin 75 –
80 % ( Hakim
dan utomo, 2004 ). Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain RTH
untuk menahan
angin adalah sebagai berikut :

· Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang memiliki dahan yang
kuat.
a. Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang
b. Memiliki jenis perakaran dalam.
c. Memiliki kerapatan yang cukup (50 – 60 %).
d. Tinggi dan lebar jalur hutan kota cukup besar, sehingga dapat melindungi wilayah
yang
diinginkan.

· Penanaman pohon yang selalu hijau sepanjang tahun berguna sebagai
penahan angin pada
musim dingin, sehingga pada akhirnya dapat menghemat energi sampai dengan 50
persen
energi yang digunakan untuk penghangat ruangan pada pemakaian sebuah rumah.
Pada musim
panas pohon-pohon akan menahan sinar matahari dan memberikan kesejukan di dalam
ruangan
(Forest Service Publications. Trees save energy, 2003).
o Ameliorasi Iklim
RTH dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan suhu
pada waktu siang
hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat
menahan radiasi
balik (reradiasi) dari bumi. Jumlah pantulan radiasi matahari suatu RTH sangat
dipengaruhi oleh
panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari,
keadaan
cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada
daerah yang tidak
ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh RTH adalah
kelembaban.
Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island)
akibat pantulan
panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal dan baja. Daerah ini akan
menghasilkan suhu
udara 3-10 derajat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Penanaman
pohon pada suatu
areal akan mengurangi temperature atmosfer pada wilayah yang panas tersebut (Forest
Service
Publications, 2003. Trees Modify Local Climate, 2003).
o Habitat Hidupan Liar
RTH bisa berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hidupan liar dengan keanekaragaman
hayati yang
cukup tinggi. Hutan kota dapat menciptakan lingkungan alami dan keanekaragaman
tumbuhan dapat
menciptakan ekosistem lokal yang akan menyediakan tempat dan makanan untuk
burung dan binatang
lainnya (Forest Service Publications, 2003. Trees Reduce Noise Pollution and Create
Wildlife and
Plant Diversity, 2003).
4 biropembangunan.acehprov.go.id

Ruang Terbuka Hijau Sebagai Acuan Perencanaan Tata Ruang.
Pada dasarnya, penataan ruang bertujuan agar pemanfaatan ruang yang berwawasan
lingkungan,
pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budi daya dapat terlaksana,
dan pemanfaatan
ruang yang berkualitas dapat tercapai. Upaya penataan ruang juga dilakukan untuk
menciptakan
pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan
pemerataannya.
Pengembangan tata ruang ditujukan untuk memberikan hasil yang sebesar besarnya
dan bermanfaat
bagi kesejahteraan masyarakat, pendekatan yang akan dikembangkan mencakup dua
hal :
¨ Pengaturan pemanfaatan ruang yang adil untuk masyarakat
¨ Memelihara kualitas ruang agar lestari dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya.
Di dalam Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 pasal 29 ayat (2)
dijelaskan bahwa
proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin
keseimbangan ekosistem
kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikrolimat, maupun sistem
ekologis lain, yang
selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat,
serta sekaligus
dapat meningkatkan nilai estitika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi
ruang terbuka
hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan
di atas
bangunan gedung miliknya.
Tujuan perencanaan tata ruang wilayah kota adalah mewujudkan rencana tata ruang
kota yang
berkualitas, serasi dan optimal, sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan daerah
serta sesuai dengan
kebutuhan pembangunan dan kemampuan daya dukung lingkungan. Fungsi rencana
tata ruang wilayah
kota adalah:
1. Sebagai penjabaran dari rencana tata ruang provinsi dan kebijakan regional tata
ruang lainnya.
2. Sebagai matra ruang dari pembangunan daerah.
3. Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah kota.
4. Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah kota dan
antar
kawasan serta keserasian antar sektor.
5. Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat
dan swasta.
6. Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan.
7. Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang
8. Sebagai dasar pemberian izin lokasi pembangunan skala besar.
Lebih jauh, rencana tata ruang kota dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan
maupun
pelaksanaan program pembangunan di wilayah kota yang bersangkutan:
• Bagi departemen/instansi pusat dan pemerintah provinsi, digunakan dalam
penyusunan
program-program dan proyek-proyek pembangunan lima tahunan dan tahunan secara
terkoordinasi dan terintegrasi.
• Bagi pemerintah kota, digunakan dalam penyusunan program-program dan proyekproyek
pembangunan lima tahunan dan tahunan di wilayah kota yang bersangkutan.
5 biropembangunan.acehprov.go.id
• Bagi pemerintah kota dalam penetapan investasi yang dilaksanakan pemerintah,
masyarakat dan
swasta,
digunakan
sebagai
acuan
dalam
perijinan
pemanfaatan
ruang
serta
pelaksanaan kegiatan
pembangunan di wilayah kota.
Materi dalam rencana tata ruang kota memuat 4 (empat) bagian utama yaitu:
Tujuan pemanfaatan ruang wilayah kota, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan
pertahanan kemanan, yang meliputi:
a. Tujuan pemanfaatan ruang
b. Konsep pembangunan tata ruang kota
c. Strategi pembangunan tata ruang kota
Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kota, yang meliputi:
a.
Rencana
struktur
pengembangan wilayah,
tata
ruang,
yang
berfungsi
memberi
arahan
kerangka
yaitu:
- Rencana sistem kegiatan pembangunan
- Rencana sistem permukiman perdesaan dan perkotaan
- Rencana sistem prasarana wilayah
b. Rencana pola pemanfaatan ruang, yang ditujukan sebagai penyebaran kegiatan
budidaya dan
perlindungan.
Rencana umum tata ruang wilayah, meliputi:
a. Rencana pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.
b. Rencana pengelolaan kawasan perkotaan, perdesaan dan kawasan tertentu.
c. Rencana pembangunan kawasan yang diprioritaskan.
d. Rencana pengaturan penguasaan dan pemanfaatan serta penggunaan ruang wilayah.

Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota
Pengendalian
merupakan
upaya-upaya
pengawasan,
pelaporan,
evaluasi
dan
penertiban terhadap
pengelolaan,
penanganan
dan
intervensi
sebagai
implementasi
dari
strategi
pengembangan tata ruang
dan
penatagunaan
sumber
daya
alam,
agar
kegiatan
pembangunan
yang
memanfaatkan ruang sesuai
dengan perwujudan rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka rencana tata ruang merupakan suatu rencana yang
mengikat semua
pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Rencana
tata ruang
dengan demikian merupakan keputusan publik yang mengatur alokasi ruang, dimana
masyarakat,
swasta dan pemerintah perlu mengacunya. Oleh karena itu, suatu rencana tata ruang
akan dimanfaatkan
untuk diwujudkan apabila dalam perencanaannya sesuai dan tidak bertentangan dengan
kehendak
seluruh pemanfaatnya serta karakteristik dan kondisi wilayah perencanaannya, sehingga
dapat
digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang bagi para pemanfaatnya.
6 biropembangunan.acehprov.go.id
Pendekatan Psikologi Arsitektur dalam Perancangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
Kota-Kota Multikultural
Yulia Eka Putrie & Nunik Junara
Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural, permasalahan lingkungan hidup
acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang dan kurangnya rasa
memiliki dari masyarakat pendatang terhadap kota tersebut. Citra kota pun terdegradasi
akibat kenyataan ini. Karenanya, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian
permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus
mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Dari sudut
pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata justru
berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu,
pendekatan ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota
multikultural. Dengan pendekatan psikologi arsitektur, pemerintah dapat lebih bertindak
sebagai pendorong dan pengarah. Pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut
memiliki kepada masyarakat pendatang. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah
dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Masyarakat pendatang berperan
melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya
pada RTH yang disediakan. Seluruh penduduk pun dapat menyaksikan bahwa para
pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota. Taman-taman
itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat
pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka
tinggali. Dengan demikian, citra kota punmeningkat, baik di mata penduduknya sendiri
maupun di mata para wisatawan.
Pendahuluan
Perkembangan setiap kota, sejak awal peradaban manusia hingga abad-abad terakhir,
selalu diwarnai oleh pergerakan dan interaksi penduduknya dengan penduduk kota
lainnya. Pergerakan dan interaksi ini dapat hanya berupa pergerakan sementara, namun
dapat pula berupa perpindahan (migrasi) penduduk dari satu kota ke kota lain. Hal ini
merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, seiring dengan berkembangnya
kebutuhan dan keinginan manusia di dalam setiap peradaban. Suatu kota yang pada
awalnya secara kuantitas didominasi oleh etnis tertentu, dapat menjadi kota multikultural
karena banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang menetap di kota itu. Beberapa
kota di Indonesia yang dapat dijadikan contoh kota multikultural ini adalah Jakarta,
Surabaya, Palembang, Samarinda, Yogyakarta, Malang, Makassar dan Balikpapan.
Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural inilah, permasalahan lingkungan
hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang. Meningkatnya jumlah
pendatang seringkali tidak terprediksi sebelumnya oleh pemerintah kota yang
bersangkutan. Hal ini mengakibatkan daya tampung kota yang terbatas terpaksa
diperbesar dengan membuka daerah-daerah baru di sekeliling kota, yang sebenarnya
merupakan daerah penyangga ekosistem kota dari bahaya banjir, peningkatan suhu dan
polusi. Besarnya tekanan ekonomi akibat persaingan warga kota dengan pendatang juga
kerap menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan ini diabaikan. Pusat kota
kian padat dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang
ada pun diselewengkan menjadi tempat transaksi jual-beli dilakukan. Tingginya laju
pertumbuhan penduduk pada berbagai kawasan menyebabkan munculnya masalah
umum yang menyertai pertumbuhan perkotaan yang amat cepat, seperti pengangguran,
perumahan yang tak layak huni, kebakaran, menularnya penyakit, sanitasi yang buruk,
drainase yang tersumbat, pencemaran air dan udara, sampah yang menumpuk,
kerusakan lingkungan, sistem transportasi yang tidak manusiawi, dan sebagainya
(Dyayadi, 2008).
Di balik fenomena-fenomena fisik yang dipaparkan di atas, ternyata terdapat pula
banyak faktor nonfisik, di antaranya faktor psikologis, yang menyebabkan permasalahan
lingkungan hidup di kota multikultural kian kompleks. Permasalahan yang tidak kasat
mata, seperti kurangnya rasa memiliki oleh warga pendatang akan kota yang mereka
tinggali, merupakan salah satu faktor utama bertambah parahnya permasalahan
lingkungan hidup ini. Asas untung-rugi ekonomi yang sering dijadikan pertimbangan
seseorang untuk menetap di suatu daerah menjadikan tidak terciptanya ikatan
emosional mereka dengan kota itu, dibandingkan dengan ikatan emosional mereka
dengan kota asal atau kota kelahiran mereka.
Lebih jauh, kesalahan dalam penanganan masalah-masalah nonfisik ini dapat
meniadakan hubungan emosional antara para penduduk pendatang dengan kota yang
mereka tinggali. Penanganan yang refresif seringkali tidak menghasilkan perbaikan pada
tataran pemikiran. Kecenderungan manusia untuk bertindak defensif ketika diperlakukan
secara represif telah banyak diperlihatkan di berbagai belahan dunia. Dyayadi dalam
bukunya, “Tata Kota menurut Islam”, menyatakan pula bahwa upaya mengatasi
urbanisasi dengan pendekatan konvensional hanya melahirkan kegagalan, karena
birokrasi tidak mampu memahami kebutuhan, motif dan ketegaran kaum migran
(Dyayadi, 2008). Pada akhirnya, perbaikan pada tataran fisik pun tidak dapat bertahan
lama, karena tidak dibarengi perbaikan pada tataran pemikiran dan cara pandang.
Secara keseluruhan, seluruh permasalahan lingkungan hidup di atas akan berkaitan pula
dengan citra kota yang bersangkutan, baik citra internal maupun citra eksternal. Secara
internal, tidak ditemui keharmonisan dalam kehidupan penduduk di dalamnya, karena
tidak adanya keterikatan emosional yang baik antara mereka dengan kota yang mereka
tinggali.
Kecenderungan-kecenderungan
yang
tampaknya
sederhana
namun
sebenarnya merusak dapat diamati dari kebiasaan membuang sampah sembarangan di
jalan ataupun di sungai. Secara eksternal, citra kota mengalami penurunan, baik di mata
para wisatawan atau pengunjung, maupun di mata penduduk kota lain. Terdegradasinya
citra kota ini pada gilirannya akan berakibat pula pada penurunan tingkat ekonomi kota
yang
bersangkutan.
Inilah
lingkaran
setan
yang
harus
diputus,
agar
dapat
menyelesaikan permasalahan lingkungan di kota multikultural.
Untuk itu, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan
lingkungan
hidup,
mempertimbangkan
selain
mempertimbangkan
faktor-faktor
psikologis
faktor-faktor
penduduk
yang
fisik,
juga
multikultural
harus
ini.
Pertimbangan-pertimbangan psikologis ini meliputi perilaku keruangan (territoriality) dan
pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic human needs). Dari sudut pandang
psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata ini justru berpengaruh
besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan psikologi
arsitektur dapat dijadikan salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota
multikultural.
Pembahasan
Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa poin penting dalam aspek psikologis manusia
yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kependudukan dan lingkungan
hidup yang dihadapi oleh kota-kota multikultural. Dari teori-teori teritorialitas, diketahui
bahwa personalisasi pada suatu teritori, walaupun teritori itu bukan hak milik secara
mutlak, akan memberikan kesempatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk
memenuhi kebutuhan mereka akan citra diri dan pengakuan dari orang lain. Sementara
itu, dari paparan tentang kebutuhan dasar manusia diketahui bahwa secara umum,
manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis berupa kebutuhan fisiologis
(physiological needs), keamanan (safety), rasa memiliki (belongingness), penghargaan
(esteem), dan aktualisasi-diri (self-actualization). Tiga di antaranya, yaitu rasa memiliki,
penghargaan dan aktualisasi-diri merupakan faktor yang sangat signifikan dalam
membentuk kesadaran manusia secara persuasif.
Melalui pemahaman akan pentingnya pendekatan psikologi arsitektur ini, pemerintah
dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah, dibandingkan bertindak sebagai
pengatur dan pemaksa. Peraturan-peraturan pemerintah yang sebagian besar bersifat
fisikal
harus
didukung
pula
dengan
tindakan-tindakan
persuasif
berdasarkan
pemahaman akan kondisi psikologis para penduduknya. Telah jamak terjadi di berbagai
negara, tindakan-tindakan anarkis dan defensif dari penduduk sebagai buah dari
tindakan-tindakan represif pemerintahnya. Buruknya hubungan antara pemerintah
dengan penduduk ini pada gilirannya mengakibatkan buruknya citra kota yang
bersangkutan di mata para penduduk kota itu sendiri. Pada akhirnya, setiap peraturan
yang dikeluarkan hanya dituruti dalam pengawasan ketat dan keadaan terpaksa. Ketika
pengawasan itu berkurang, peraturan itu pun tidak lagi dituruti oleh masyarakat, baik
pendatang maupun penduduk asli kota itu.
Sebaliknya, dengan pendekatan yang persuasif, pemerintah dapat menanamkan rasa
bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Pengetahuan-pengetahuan
akan pentingnya teritorialitas, personalisasi dan kebutuhan psikologis berupa rasa
memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri, seperti dipaparkan di atas, semestinya
merupakan bekal yang sangat berharga dalam pendekatan yang persuasif ini. Ketika
para penduduk merasa cukup dihargai, didengarkan dan diberi kesempatan untuk turut
memperbaiki kota yang mereka tinggali, maka rasa memiliki itu akan muncul dengan
sendirinya dan kesadaran untuk memelihara dan menjaga lingkungan kotanya akan
tertanam lebih kuat di dalam diri mereka.
Salah satu contoh aplikasi konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya
sederhana. Pemerintah dapat bertindak selaku pencetus diadakannya lomba semacam
ini, sekaligus sebagai pengatur RTH yang tersedia. Masyarakat asli dan pendatang
dapat berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi
positif yang dibawa dari daerah asal mereka pada RTH yang disediakan. Tentu saja,
pemerintah harus tetap melakukan pengawasan agar segi-segi positif itu tidak malah
menyinggung atau merendahkan daerah lainnya.
Salah satu contoh kota yang pernah memberi kesempatan kepada paguyubanpaguyuban masyarakat pendatang untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya
adalah kota Balikpapan. Kota yang didominasi oleh para pendatang ini membagi satu
lokasi RTH menjadi beberapa kavling yang berdampingan sebagai area kreativitas para
pendatang. Peran pemerintah ini pada gilirannya mampu mengangkat citra kota
Balikpapan sesuai dengan slogannya, yaitu kota yang bersih, indah, aman dan nyaman.
Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada
lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat
menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan
lingkungan kota mereka. Hal ini pada gilirannya dapat pula berimbas pada kondusifnya
situasi keamanan di kota multikultural itu. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya
tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi
juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali.
Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan
penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi
timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan
kondusifnya kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial ini, citra kota pun akan
meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
Di balik semua itu, tentu pada konsep dan pendekatan ini terdapat kekurangankekurangan yang harus pula dipaparkan. Namun demikian, pemaparan kekurangankekurangan dari konsep dan pendekatan ini diharapkan dapat memacu lahirnya konsepkonsep dan pendekatan-pendekatan yang jauh lebih baik di kemudian hari. Selain itu,
kekurangan-kekurangan itu diyakini bukan tanpa jalan keluar. Pemaparan ini
dimaksudkan pula sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar
dari kekurangan-kekurangan itu sendiri.
Kekurangan pertama adalah kemungkinan berlebihnya keinginan dari masing-masing
penduduk pendatang untuk menonjolkan kelebihan dirinya sendiri. Hal ini dapat
menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara para penduduk pendatang itu.
Walaupun begitu, adanya pendampingan yang intensif dari pemerintah dapat mencegah
hal-hal yang tidak diinginkan semacam itu.
Kekurangan kedua adalah adanya kemungkinan berbedanya kemampuan masingmasing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung diadakannya
lomba taman ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk dapat mendorong kreativitas
mereka dalam kondisi yang terbatas itu dapat berimbas pada makin inferiornya mereka
terhadap kelompok masyarakat pendatang lainnya. Dengan demikian, pemerintah
diharapkan dapat mendorong kreativitas itu dengan motivasi-motivasi yang tepat, serta
dapat pula memberikan bantuan dana kepada setiap paguyuban peserta lomba.
Ketiga, adanya kemungkinan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada
saat pemeliharaan pasca-lomba. Hal ini, salah satunya dapat diatasi dengan pengalihan
pemeliharaan kepada instansi terkait yang memang bertanggung jawab dalam
pemeliharaan taman dan ruang terbuka hijau di kota itu.
Selain salah satu contoh penerapan pengetahuan psikologi arsitektur di atas, tentu
masih banyak lagi alternatif perancangan RTH dengan pendekatan ini. Hal ini dapat
dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing pemerintah kota, sesuai dengan
karakteristik dan potensi yang ada di masing-masing wilayah.
Penutup
Dari paparan panjang di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai aplikasi
pendekatan psikologi arsitektur dalam konsep perancangan ruang terbuka hijau (RTH),
khususnya pada kota-kota multikultural, sebagai berikut:
1. Pentingnya pengetahuan dan pemahaman akan adanya aspek-aspek
psikologis yang turut menentukan keberhasilan penanganan masalah
kependudukan dan lingkungan hidup di kota-kota multikultural.
2. Aspek-aspek psikologis yang mempengaruhi itu antara lain adalah
teritorialitas, personalisasi, kebutuhan akan rasa memiliki, penghargaan dan
aktualisasi-diri.
3. Pendekatan psikologi arsitektur berdasarkan aspek-aspek psikologis di atas
terutama ditekankan pada peran pemerintah sebagai pendorong dan
pengarah kepada partisipasi masyarakat pendatang dalam penyelesaian
masalah lingkungan hidup dan kependudukan di kota yang bersangkutan.
4. Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi
arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli
maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah
ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Selain itu,
taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar
menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong
mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali.
5. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasidiri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar
yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan
lingkungan sosialnya. Dengan demikian, citra kota pun akan meningkat, baik
di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
6. Kekurangan dari konsep ini adalah adanya kemungkinan-kemungkinan
persaingan yang tidak sehat akibat keinginan yang berlebih untuk
menonjolkan diri, berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk
menyediakan sarana dan prasarana pendukung, dan menurunnya semangat
masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba.
7. Pengembangan dari pendekatan psikologi arsitektur dalam perancangan
RTH di masing-masing kota multikultural dapat dilakukan oleh pemerintah
kota berdasarkan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah
Download