Nabi Pun Izinkan Salib Menancap Sementara di Masjid Nabawi, Ini Kafir Bukan? Abdul Aziz Ketika bekerja di suatu instansi pendidikan yang diisi oleh orang-orang yang menurut saya sangat “islami” ditahun 2012-an, saya sempat dituduh sebagai pengikut Dajjal oleh seorang kolega. Tuduhan ini serius. Saya kaget bercampur lucu. Alasannya sepele: cocokologi. Saat itu saya sedang membawa buku French for Reading karya Karl C Sandberg dan Eddison T Tatham. Kebetulan di sampul depan bagian pojok kiri atas buku ini, ada gambar berbentuk mata satu, dengan bola mata berwarna merah. “Ini simbol Dajjal Pak,” kata teman saya itu. “Bisa murtad kalau terus-terusan pakai buku ini,” jelasnya dengan raut muka yang cukup serius. Saya hanya senyum tersungging menanggapi komentar seperti itu. Gak mau berdebat. Bisa panjang urusannya. Dan akhirnya, sejak saat itu, saya tidak pernah bawa buku itu lagi ke tempat kerja. Beberapa lama kemudian, saya dituduh lagi dengan tuduhan serupa, saya bisa jadi pengikut Dajjal katanya. Alasannya, teman saya ini sering lihat saya nonton film Naruto. Gubrak…!!!! Di serial Naruto, seperti yang kita tahu, memang ada mata Sharingan dan Rinnegan. Itu simbol Dajjal menurut teman saya ini. Selain itu, pada mata Sharingan itu, kita juga temukan gabungan segitiga yang menjulang ke atas dan ke bawah. “Simbol orang Yahudi itu Pak,” ujar teman saya. “Sebagai seorang muslim, saya hanya mengingatkan Pak Aziz saja, tahdzir kalau meminjam bahasa Ustadz saya, itu film memakai simbol-simbol iluminati Yahudi, alias pengikut Dajjal Pak, kita jangan ikutikut mereka nanti kita dikategorikan sama kaya mereka, naudzu billah,” begitu jelasnya panjang lebar sambil ngutip kata Ustadz ini itu yang paham simbol-simbol. Dan satu lagi, ini yang bikin ngeselin, burung Garuda Pancasila yang menjadi simbol negara kita ini, kata teman saya itu, “itu berhala, Pak Aziz.” Gubrak lagi dah!!! Beberapa tahun kemudian, ada teman saya yang kuliah di Belanda pernah mengirimkan cuplikan video yang menampilkan ceramah seorang Ustadz, saya sebut saja nama Ustadz itu ya, Ustadz Rahmat Baequni, isinya ceramah tentang simbolsimbol. Katanya kita harus hati-hati pada simbol mata, simbol api dan simbol segitiga. Simbol mata itu warisan agama-agama pagan mesir kuno, simbol api itu warisan agama Majusi, dan simbol segitiga itu warisan agama Yahudi. “Mari kita bersyahadat lagi,” kata Ustadz itu yang seolah kalau kita memakai simbol ini atau melihatnya akan membuat kita jadi murtad. Ada lagi, seorang Ustadz yang saat ini sedang melejit namanya, Ustadz Abdus Somad, menyarankan agar lambang Palang Merah yang ada di ambulans-ambulans itu diganti dengan lambang bulan sabit. Palang Merah itu simbol Kristen katanya sedangkan bulan sabit itu simbol Islam. Hadeuuuh, ribet amat yak!!! Mungkin kalau kasusnya Ustadz Rahmat Baequni, saya wajari saja. Sepengamatan saya, pengetahuan Ustadz ini sangat jauh levelnya di bawah Ustadz Abdus Somad, terutama soal hadis, ya walaupun kedua ustadz ini, secara akademik lahir di komunitas yang ada kaitannya dengan hadis: Rahmat Baequni lulusan tafsir Hadis STAI Demak dan ustadz Abdus Somad juga lulusan hadis al-Azhar dan Maroko. Ustadz Abdus Somad saya akui memang benar-benar pakar dalam hadis dan syarahnya. Jadi aneh, Ustadz secerdas dan sealim beliau ini kok corak berpikirnya sama dengan Ustadz dengan level di bawahnya: soal cocokologi dan soal mencurigai simbol agama lain sebagai sesuatu yang membahayakan akidah. Belakangan ada Ustadz lain lagi. Corak pikirnya sama. Ustadz Zainal Abidin namanya. Ceramah beliau lebih lengkap. Tidak hanya soal simbol, ceramah Ustadz ini juga menyinggung pemaknaan suatu kata dalam lagu-lagu anak kecil dan konotasinya dengan hal-hal yang berbau kristenisasi. Hijau dihubungkannya dengan Islam. Naik-naik ke Puncak Gunung dan Kiri-kanan dihubungkannya dengan salib dan pohon natal. Intinya, menurut Ustadz ini, ada proses kristenisasi secara tak sadar melalui lagu-lagu anak kecil. Dan masih banyak lagi deretan cerita seperti ini. Ujung-ujungnya, kalau diikutin terus, kita akan murtad, kafir, musyrik dan seterusnya, kalau kita pakai simbolsimbol ini. Konsep-konsep ini, setidaknya menurut pola pikir Ustadz-Ustadz ini, akan mengganggu tauhid. Padahal mah, kita tidak kepikiran sama sekali untuk ikut model keberagamaan Yahudi dan Kristen. Mungkin terlalu lebay juga pemahamannya kayaknya. Ringkasnya terhadap cara berpikir yang mirip-mirip cocokologi ini, saya hanya ingin menyampaikan dua hal; Pertama, hukum sesuatu itu tidak ditentukan oleh nama atau simbol formalisnya. Hukum itu ditentukan oleh sifat, perbuatan dan keadaan yang dirujuk oleh nama tersebut. Pembaca yang budiman mungkin bisa merujuk langsung kitab Maqasid asSyari’ah karya Ibnu Asyur dalam bab Nauthul Ahkam as-Syar’iyyah bi-Ma’anin wa Ausafin La bi Asma wa Asykal (Bab yang menjelaskan bahwa hukum syariat itu ditentukan oleh sifat, karakter, dan ciri-ciri sesuatu bukan oleh simbol/namanya). Dalam bab ini, Ibnu Asyur menyarankan bahwa dalam memahami hukum “Kita tidak boleh mengandalkan nama sesuatu atau bentuk simbolik sesuatu, apalagi nama dan bentuk simbolik ini tidak ada kaitannya dengan agama. Kalau cara pandang kita seformalis ini, kita akan terjerumus dalam kekeliruan.” Saya jelaskan lebih jauh yang dimaksud Ibnu Asyur ini dengan menggunakan contoh-contoh. Misalnya, kata teman saya, burung Garuda yang menjadi simbol negara itu berhala dan karenanya sistem negara itu berbasis pada kesyirikan. Kerangka pandang seperti ini merupakan kekeliruan kalau dibaca lewat kacamata Ibnu Asyur. Pasalnya, saat ini, unsur kesyirikan yang melekat pada burung Garuda itu sudah tidak ada sebab Garuda tidak diberhalakan. Kalau kata Cak Nur, sudah didesakralisasi. Unsur sakralitasnya sudah hilang. Jadi Garuda hanya ornament belaka, bukan berhala yang dimasukkan nilai-nilai sacral. Malah Garuda ini hanya sebentuk ornamen yang diisi dengan sesuatu yang tauhid: Ketuhanan Yang Maha Esa. Contoh yang lain. Dulu di era Jahiliyyah, menurut Ismail al-Faruqi, Allah itu nama untuk Dewa Air. Di Era Islam, makna yang diberikan kepada nama Allah ini jadi lain, yang semuanya terangkum dalam surat al-Ikhlas. Jadi unsur syiriknya dihilangkan dan diganti dengan makna baru yang sesuai dengan semangat Islam, yakni semangat mengesakan Tuhan. Kedua, kalau kita konsisten dengan corak berpikir seperti ini, corak pikir yang serba melihat simbol ini milik Yahudi, simbol itu milik Kristen dan seterusnya dan karena itu memakainya akan berarti sudah masuk perangkap Yahudi atau Kristen, tentunya di dunia ini tidak ada yang tidak kafir. Semuanya serba dapat menjerumuskan ke kafir, murtad dan musyrik. Bahkan mungkin Kanjeng Nabi dan umat Islam pun bisa dikafirkan kalau mereka benar-benar konsisten ya dengan corak mengaitkan simbolsimbol agama lain ini sebagai kekufuran. Apa pasalnya? Dalam Tabaqat Ibnu Sa’ad, Nabi pernah mengizinkan orang Kristen Najran untuk menancapkan salib dan melakukan kebaktian di masjid Nabawi. Ini informasi terkenal. Jadi cukup valid. Kalau di zaman sekarang, mungkin tokoh agama yang membolehkan seperti ini akan dicaci maki habis, kalau perlu dicap kafir. Dalam perjanjian Nabi dengan Kristen Najran, disebutlah janji Nabi akan membantu umat Kristen dalam perbaikan dan pembangunan gereja di Najran kalau-kalau tenaga umat Islam dibutuhkan saat itu. Ini juga fakta sejarah (Baca Nabi Pernah Bantu Bangun Gereja: Fiktif atau Fakta?). Kalau kita baca sunnah Nabi yang toleran ini dalam perspektif Somadian, Baequnian, atau Abidinian, tindakan Nabi ini jelas-jelas ialah kekufuran karena membantu orang non-Muslim beribadah dengan keyakinan kelirunya. Mengizinkan masjid jadi gereja sementara di kala dibutuhkan atau bantu bangun gereja yang rusak yang merupakan sunnah nabi itu akan dilihat oleh Ustadz-Ustadz ini sebagai kemurtadan dan kalau perlu dikafiran. Jangankan ini semua, lagu naik-naik ke puncak gunung saja, kata Ustadz Zainal Abidin, bentuk kristenisasi. Contoh lain lagi. Nabi seperti yang dapat kita temukan dalam beberapa kitab hadis induk seperti Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim lebih suka mengikuti adat-istiadat Yahudi-Kristen ketimbang orang Musyrik selagi memang tidak ada wahyu yang memerintahkan untuk membedakan diri dari adat mereka ini. Contohnya ialah model rambut. Nabi lebih suka model rambut orang-orang Bani Israel yang suka membiarkan rambutnya terurai lepas (yasdil sya’rahu) walaupun kemudian nabi juga ikut tradisi suku Quraisy yang membelah tengah rambutnya. Ini kan kebiasaan orang Yahudi dan Kristen dan Musyrik. Kalau pakai cara pikir yang suka simbolsimbol model Ustadz-Ustadz ini, ya Nabi berarti sudah sesat dari jalannya. Sebab beliau ikut budaya mereka, simbol adat istiadat mereka. Contoh lain lagi. Kalau di atas ialah contoh bagaimana Nabi mengikuti sunnahnya ahli kitab sepanjang tidak ada wahyu, bagaimana kalau ada wahyu? Dalam Sahih Bukhari dan Muslim, Nabi pernah bersabda: “Bedakanlah diri kalian dari model ibadahnya Yahudi dan Kristen. Mereka salat tidak memakai sandal dan sepatu (khuff).” Di sini, supaya beda dengan Yahudi dan Kristen, umat Islam diperintahkan Nabi untuk salat dengan sandal dan sepatu agar membedakan diri mereka dengan Yahudi-Kristen. Aneh ya! Tapi cerita ini ada hadisnya. Umat Islam sekarang kalau salat di Masjid atau di rumah pasti tidak memakai sandal. Jadi kalau kita ikuti corak pikirnya Ustadz Zainal ini, umat Islam semuanya sudah mengikuti Yahudi dan Kristen. Umat Islam telah murtad karena telah mengalami proses Yahudisasi dan Kristenisasi. Contoh lain lagi. Jangan-jangan kaum sufi yang mempraktekan zikir nafi-istbat, zikir la ilaha Illa Allah juga murtad karena gerakannya menyimbolkan bentuk salib: dari pusar ke kepala (gerak vertikal), dari kepala turun ke sebelah kanan dan dari kanan menuju ke sebelah kiri (gerak horizontal). Ini mirip salib. Secara detailnya saya kutipkan proses zikir tahlil ini demikian: “Bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat La Ilaha Illallah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi La permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, Illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.” Sekali lagi, kalau kita konsisten dengan cocokologi seperti yang dilakukan UstadzUstadz yang saya sebut di atas, zikir dengan gerakan seperti ini menyimbolkan gambar salib.